Aksara Senada Extra Part 3 - 4 - 5 (SFILE [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Nida
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Aksara Senada ; Extra Part ; 3 - 4 - 5 Tiga



Sebelum mereka resmi menikah, Nada dan Aksa sudah terlebih dahulu membicarakan rencana masa depan mereka. Tentang pendidikan si kembar, juga mengenai beberapa hal yang mungkin akan sedikit berubah di rumah. Seperti menambah gaji untuk asisten rumah tangga mereka. Tak ketinggalan, juga menambah beberapa barang. Karena Aksa akan tinggal bersama, mereka mendiskusikan beberapa penyesuaian. Sebenarnya sih, tidak banyak. Karena jauh sebelumnya, mereka pernah bersama dalam satu atap. Sedikit banyaknya, keduanya paham betul bagaimana karakteristik pasangan. Tidak sulit, sebab mereka saling memahami. Namun yang perlu diluruskan dalam kehidupan berumahtangga versi mereka adalah Aksa menginginkan Nada berada di rumah. Seperti dulu, seperti waktu itu. Tujuannya, bukan karena ingin Nada hanya khusus mengurusinya dan anak-anak.



Toh, anak-anak mereka sudah remaja. Aksa pun bisa mengurus dirinya sendiri. Delapan tahun, ia sudah membuktikannya. Jadi, alasannya meminta Nada berada di rumah, tentu saja bukan untuk mengurusi mereka. Tentu saja, bukan begitu. Bagi Aksa, seorang istri adalah ratu di dalam rumah. Dan sebagaimana pemahamannya, ratu itu tidak bekerja. Ratu hanya memerintah. Karena, ada dirinya yang akan bekerja keras memenuhi semua kebutuhan mereka. Ia lebih menyukai fakta bahwa istri dan anak-anaknya berada di tempat yang aman. Supaya, ia pun bisa bekerja dengan tenang. Beruntung saja, Nada tidak keberatan pada permintaan tersebut. Karena bagi Nada, dulu ia terpaksa bekerja karena statusnya menuntut untuk itu. Ia perlu menafkahi dirinya. Lingkungan kerja, tidak pernah membuatnya benar-benar nyaman. Ia kurang suka berinteraksi dengan banyak orang. Basa-basi dengan orang baru pun, bukan keahliannya. Jadi, ia menyanggupi keinginan Aksa waktu itu. Makanya, tepat satu



minggu sebelum mereka menikah, ia menyerahkan surat pengunduran diri. Dan setelah satu minggu kembali dari cuti, yang sebenarnya sangat memakai orang dalam sekali, Nada pun bekerja seperti biasa. Ah, tidak seperti biasa sih, karena sudah mengundurkan diri, Nada hanya menyelesaikan sisa-sisa pekerjaannya saja. Dan ia berada di sana selama dua minggu. Hari ini adalah hari terakhirnya. Sudah ada anak baru yang akan menggantikannya. Mengingat Nada tidak terlalu suka keramaian, ia memilih tidak mengadakan makan malam perpisahan. Sebagai gantinya, ia menyerahkan bingkisan yang ia beli sendiri untuk rekan-rekan di divisinya. Tak lupa, ia menambahkan tiga bingkisan untuk Dira, Pak Adit, juga Fuad. Walau berbeda divisi, namun mereka pernah menemani hari-hari Nada di firma ini. “Padahal, gue udah klop banget lha, sama elo, Nad,” Uti menerima bingkisan yang Nada bagikan di sore hari menjelang jam pulang. “Tapi, ya, kalau lo udah mutusin buat berhenti kerja, gue harus bilang apa? Mana laki lo bos gue lagi,” celetuk sambil meringis.



Nada hanya menanggapi perkataan itu dengan tawa. “Iya, Mbak Uti. Aku sama Mas Aksa udah diskusi panjang. Dan aku sendiri kok yang mutusin buat berhenti.” “Tapi kapan-kapan, lo main-main dong ke sini, Nad?” pinta Uti. “Ya, entah itu pas lagi nganter makan siang buat Pak Aksa. Atau, lo sendiri inisiatif temu kangen sama kita-kita.” “Oke, Mbak. Mudah-mudahan, ada waktunya, ya?” ia tidak ingin menjanjikan apa-apa. Karena dirinya bukan tipikal wanita yang senang berpergian. Namun, sesekali sepertinya boleh juga. “Sekali lagi, makasih, ya, Mbak Uti, udah jadi rekan kerja aku selama hampir lima bulan di sini. Dan maaf juga, kalau aku selalu ngerepotin Mbak Uti.” Kemudian, mereka berpelukan sejenak. Setelah itu, Nada kembali membagi bingkisannya pada yang lain. “Maaf, ya, Bu July, karena nggak bisa lama kerja di sini,” ia memeluk kepala divisinya itu dengan hangat. Menghaturkan penyesalan karena tidak bia memenuhi ekspektasi wanita tersebut diawal



bergabungnya dirinya pada divisi ini. “Ada tugas baru yang menanti saya di rumah, Bu.” Status baru. Tentu saja, tugas baru. Walau Aksa tetap memperkerjakan Bu Tina untuk membantunya mengurus rumah. Namun, hal itu bukan berarti Nada akan menyerahkan seluruh pekerjaan rumah pada wanita setengah baya itu. Ia masih terlampau mampu mengurusi kebutuhan suami dan anak-anaknya. Kehadiran Bu Tina di rumah, akan ia anggap sebagai teman setelah ia resmi menyandang gelar ibu rumah tangga kembali. “Dari pernikahan pertama dulu, Mas Aksa udah komit, pengin istrinya di rumah aja, Bu. Makanya, begitu kami rujuk lagi, dia juga pengin saya tetap berada di rumah,” Nada menjelaskan singkat. “Iya, nggak apa-apa,” Bu July menaruh bingkisan yang diberikan Nada ke atas mejanya. Ia menyentuh lengan kurus wanita tersebut sambil menyunggingkan senyum kecil. “Semoga kamu bahagia selalu, ya, Nad? Saya nggak bermaksud kepo, tapi berita-berita yang beredar di luaran sana



tentang kamu dan anak-anak kamu, membuat saya mengerti kalau kalian udah melewatkan hari-hari yang berat.” “Terima kasih doanya, Bu,” senyum Nada tersinggung tulus. “Nggak cuma saya dan anak-anak yang menghadapi hari-hari berat, Bu. Tapi, Mas Aksa juga.” “Duileeh, selama ini yang gue pikir bucin akut tuh, Pak Aksa ke elo, Nad. Eh, ternyata elo juga cinta mati, ya?” Uti menggoda telak. “Kaayaknya emang, dari awal tuh, lo nggak pernah rela banget kalau bapaknya anak-anak elo, kena sumpah serapah kita, ya?” Nada tergelak sambil menutupi tawanya dengan punggung tangan. Merasa malu dengan perkataan Uti, ia mencoba bersikap santai, walau kini wajahnya terasa memanas. “Ya, memang Mas Aksa nggak pantes kok kena sumpah, Mbak,” ia bela suaminya di sisa-sisa kekehan geli. “Kisah kami rumit, Mbak. Cuma, dari dulu aku tahu Mas Aksa itu orang baik.” “Iya, makanya gue bersyukur banget ada sosmed sekarang. Karena kalau menantikan elo cerita tentang kehidupan masa lalu lo sama Pak Aksa,



sampai kita semua ditutup tanah, lo pasti nggak bakal pernah cerita.” Nada hanya memberi cengiran. Ia memang tidak akan menceritakan kisah hidupnya pada siapa-siapa. Baginya, kisah yang ia miliki bukanlah dongeng indah. Terlalu banyak air mata di dalamnya. Walau akhirnya ia dan Aksa dipertemukan lagi dalam mahligai rumah tangga. Namun, terlalu banyak liku untuk sampai ke sana. Menggeser langkah, Nada masih mempertahankan senyum kecil ketika ia tiba dihadapan rekan kerjanya yang lain. Bingkisan yang berada dalam genggamannya ia serahkan pada wanita muda yang semenjak fakta mengenai dirinya terungkap, tak sekali pun wanita muda itu mampu bersikap seperti biasa lagi kepadanya. Padahal, Nada merasa tak ada salah. Ia juga tak menuntut permohonan maaf. “Ret?” Reta menerima bingkisan tersebut dengan canggung. Senyumnya bahkan terukir riskan. “Ma—makasih, Mbak Nada.”



Nada mengangguk. Ia pun tak terlalu mahir berbasa-basi. Jadi, setelah memberi bingkisan tersebut pada Reta, Nada bersiap melangkah lagi. Namun, langkah itu harus tertahan karena tiba-tiba saja Reta menarik sikunya. “Mbak?” Dengan kening berkerut, Nada menatap wanita tersebut. “Ya, Ret?” tak ada prasangka apa-apa. “Ma—maafin gue, Mbak,” cicit Reta merasa malu. Ia bahkan menundukkan kepala sejenak. “Maafin gue, karena pernah ngomongin elo yang nggak-nggak selama ini, Mbak,” ia mencoba menghadapi Nada dengan kepala yang pelan-pelan terangkat. “Gue salah, Mbak. Nggak seharusnya gue ngomong pedes ke elo.” “Aku udah maafin kamu kok, Ret,” ungkap Nada tak perlu berpikir ribuan kali. “Pendapat kamu itu wajar kok, Ret.” “Tapi gue udah ngomongin elo jahat banget, Mbak.”



“Hm, jahat menurutku itu, kalau kamu sampai ngelukain fisik orang lain. Dan selama ini yang aku tahu, kamu nggak begitu kok ke aku. Jadi, ya, udah aku nggak masalah. Kita semua boleh beda pendapat. Dan kita juga nggak harus suka ke semua orang.” Nada benar-benar tidak menaruh dendam pada Reta. Namun, bila wanita muda itu menjadi sungkan padanaya, itu bukan urusannya. Yang jelas, tak sekalipun ia mempermasalahkan sikap yang ditunjukkan Reta padanya. Karena, jauh sebelum Reta, Nada sudah mengenal banyak rekan kerja yang seperti itu. Bahkan, atasannya di tempat kerja sebelumnya, mengatakan hal yang lebih buruk untuknya. Jadi, seperti yang ia lakukan pada mbak Uty dan bu July tadi, Nada pun memeluk Reta. Ia menepuk-nepuk punggung wanita tersebut dengan senyum yang masih menghiasi wajah. “Aku nggak marah sama kamu, Ret. Dan aku juga nggak naruh dendam apa-apa. Cuma sedikit masukan dari aku, kurang-kurangin, ya, ngurusin hidup orang? Karena



hidup kamu jauh lebih berharga daripada hidup orang lain,” ia beri nasehat singkat. Menepuk pelan punggung Reta, Nada menghaturkan senyum tulus. “Jalan hidup kamu masih panjang, Ret. Kembangin diri aja, supaya kamu jauh lebih produktif.” Karena, andai diperkenankan mengulang masa muda, Nada mungkin sudah pergi ke sana sejak lama. Menyelesaikan kuliahnya jika bisa. Lalu menikah dengan Aksa di usia yang tepat. Menghadirkan si kembar dalam bingkai kesiapan mental serta finansial mereka. Memastikan tak ada yang terluka, hingga perpisahan yang menyakitkan itu tak akan pernah ada. Sayang sekali, perandaian tersebut hanya diperkenankan mengendap di angan. Sebab, tak seorang pun dapat berangkat ke masa silam. “Hallo semuanya, selamat sore!” Nada mengenal suara itu dengan sangat baik. Tanpa menoleh, ia yakin sosok itu akan menghampirinya.



“Wah, Bu July gimana sih anggotanya itu? Masa hari terakhir nggak ada traktir makanan?” Nada abaikan seloroh itu. “Nah, berhubung saya merasa bertanggung jawab atas anggotanya Bu July ini, makanya saya bawain pizza buat semuanya.” Kini, Nada telah menoleh. Ia sudah selesai memberikan bingkisan. Anak baru yang menggantikannya pun tak lupa ia beri juga. Sambil menitipkan tiga bingkisan untuk Dira dan yang lainnya pada Reta. “Pak Aksa memang pengertian, ya, Pak?” Uti tertawa sambil menerima enam kotak pizza yang disodorkan atasan mereka itu. “Oh, kalau saya jangan ditanya lagi dong, gimana pengertiannya,” sahut Aksa penuh percaya diri. Walau sudah sore, namun penampilannya masih terbilang rapi. Minus dasi yang sepagian tadi melilit lehernya. “Gimana, Sayang, udah semua?” ketika



istrinya berjalan mendekat, Aksa tak canggung menyentuh punggung belakang Nada. “Udah beres?” senyumnya sampai ke mata. Orang-orang yang melihatnya pasti tahu, bahwa ia sedang jatuh cinta. Ia memang sengaja menjemput istrinya sore ini. Selain untuk menyerahkan makanan yang ia bawa, ia juga berniat membawakan barang-barang sang istri. “Mau pulang sekarang?” tanya Aksa lembut. Kini, tangannya telah merangkul pinggang Nada yang ramping. “Atau mau bikin acara dadakan ke mana gitu?” tawarnya yang tak keberatan bila harus mengantar istrinya ke mana pun wanita itu inginkan. “Udah kok, Mas,” jawab Nada kikuk. Ia menjauhkan sedikit diri dari Aksa agar rangkulan pria itu terlepas dari pinggulnya. Bila Aksa tak masalah dengan keintiman mereka yang menjadi konsumsi publik. Nada justru keberatan. “Aku ambil tas dulu,” ia langsung berjalan ke mejanya. Menyampirkan tas ke bahu, ia membawa storage berukuran sedang yang bersisi sedikit barangnya ke arah sang suami. “Sini, aku aja yang bawa.”



Nada menyerahkannya tanpa ada penolakan. “Kalau gitu, kami pamit, ya, Bu July,” Aksa berpamitan dengan ramah. Ia menggunakan kedua tangannya untuk membawa storage sang istri. “Semuanya, saya ucapkan terima kasih yang sangat mendalam. Karena selama hampir lima bulan ini, sudah menjadi rekan kerja yang baik untuk istri saya.” Nada juga melakukan hal serupa, ia mengucapkan terima kasih yang begitu tulus untuk kesempatan bekerja dengan rekan-rekannya di divisi arsip. Walau hari-harinya tak selalu berjalan baik, namun ia tidak menyesal mengenal mereka.



***



Tiga bulan berselang …



“Kamu yakin, nggak mau ngelanjutin kuliah lagi, Nad?” Nada mengangguk, yakin. Senyum simpulnya hadir menyemarakkan wajahnya. Sambil membalas genggaman tangan ibu mertua, Nada menatap wanita setengah baya itu dengan penuh ketulusan. “Nada yakin, Mi,” ungkapnya lewat lisan. “Seenggaknya buat sekarang, Mi. Nada lagi pengin nikmati waktu sebagai ibu rumah tangga. Ngurus Mas Aksa sama anak-anak. Ternyata, bereksperimen di dapur sambil buat camilan untuk mereka, juga menyenangkan, Mi,” tambahnya sedikit menyempilkan tawa. “Tapi, Mami pengin banget kamu nerusin Kasih Perempuan, Nad,” Yashinta tidak ingin membebani menantunya. Hanya saja, harapnya masih sebesar dulu untuk istri putranya itu. “Kasih Perempuan butuh kamu, Nad.” Dengan lembut, Nada menggeleng. “Tapi anak-anak saya, lebih membutuhkan saya, Mi,” ia menolak halus tanggung jawab yang ingin diserahkan sang mertua. “Mi, Kasih Perempuan baik-baik aja dalam kepemimpinan mbak Gina. Sesekali, aku nggak keberatan kok damping Mami atau mbak Gina untuk



mengunjungi perempuan-perempuan yang nggak tersentuh keadilan hukum. Tapi, buat menetap di Kasih Perempuan sebagai wakil Mami, aku nggak bakal sanggup, Mi,” ungkapnya jujur. Sepenggal percakapan Nada dan ibu mertuanya itu, terjadi kemarin. Saat mereka menggelar acara barberque-an di halaman samping rumah mertuanya. Mengingat, mulai besok si kembar dan Jordan akan resmi menjadi murid kelas delapan, Nada membantu anak-anaknya menyiapkan peralatan sekolah baru yang mereka beli beberapa hari yang lalu. Tidak melakukannya di kamar anak-anaknya masing-masing. Lova dengan segala kehebohannya, menuang semua peralatan sekolah di karpet ruang keluarga. Hasilnya, tentu saja terjadi adu mulut di antara si kembar. Tetapi hal itu bisa diselesaikan dengan baik, ketika Nada berpura-pura mengeluh pusing. Dan, yuups …! Sekejab saja, pertengkaran pun berakhir.



“Tapi, Bun, Adiva memang kasihan lho,” Lova yang memulai perbincangan mengenai Adiva yang ditemuinya minggu lalu bersama ayah dan juga Faye. Bahkan, mereka juga menginap dua malam di sana. “Waktu Adek sama Ayah mau pulang, dia nggak berhenti nangis lho, Bun,” adunya sambil mengingat-ingat ekspresi menyedihkan Adiva ketika mereka tinggal. “Adek sampek nggak tega lho, Bun,” ucapnya sambil menghela. “Ya, ‘kan, Yah?” Aksa mengangguk tanpa ragu. “Iya, Dek. Ayah juga nggak tega. Mau lama-lama di sana, Ayah masih harus kerja. Adek sih, Ayah suruh tinggal di sana lebih lama juga nggak mau,” ia merangkul pinggang istrinya. Ia berempat tengah duduk di atas karpet, dengan peralatan sekolah si kembar yang berantakan. “Iihhh, masa Adek sendiri yang nginep lama-lama di sana? Faye aja ikut pulang bareng Ayah,” sebenarnya Lova mau-mau saja menginap lebih lama. Hanya saja, ia butuh teman. Faye tidak bisa diharapkan. Anak kecil itu, malah ingin ikut pulang bersama ayahnya. Ya, sudahlah, ia ikut juga. “Tapi Adek selama di sana hebat lho, Bun,” Aksa memuji anak gadisnya dengan sengaja. “Dia



bener-bener jadi kakak yang baik buat Adiva sama Faye. Ke mana-mana, mereka digandeng sama dia, Bun. Sabar banget dia, ngurusin mereka yang pada heboh minta es krim.” “Ya, iya, dong, Kakak Lova gitu lho,” Lova mengibaskan rambutnya dengan bangga. Lalu terkikik geli melihat kelakuannya. “Wah, itu ada tandanya lho, Dek?” Aksa memancing putrinya. “Tandanya apa, Yah?” dan Lova menangkap pancingan itu dengan sangat baik. “Tandanyaa …,” sengaja Aksa menjeda kalimatnya. “Hm, apa ya, kira-kira tandanya?” “Aha!” Lova menjentikan jari. “Tandanya, Kakak Lova butuh adik baruuuu, Yaahh!” serunya sambil bertepuk tangan. “Wah, bener itu, Dek!” Aksa tak kalah bersemangat. “Eh, kok Adek, sih? Maunya mulai dipanggil Kakak ‘kan, Sayang?” “Betuulll, Ayahhh!”



Lalu sepasang ayah dan anak itu tertawa. Menyisakan Oka dan bundanya yang menatap kedua orang tersebut dengan mata berpendar malas. Aksa sih, tak masalah dengan ekspresi yang ditampilkan istri dan anak bujangnya. Yang jelas, ia merasa sangat bangga karena anak gadisnya benar-benar sekutu terbaik yang ia miliki. Dengan tak tahu malu, ia mencolek pinggang istrinya. “Gimana, Bun? Kakak Lova butuh adik tuh,” ia gunakan anaknya tuk bersiasat. “Ya, udah, makanya Adiva bawa aja ke sini. Aku bakal ikhlas ngurusin dia. Aku bakal sayangi dia kayak anak sendiri,” sahut Nada santai. Aksa berdecak, ia sudah akan mendebat. Namun sekali lagi, Lovata Almeera adalah sebaik-baiknya sekutu yang akan selalu berada di pihaknya hingga tetes teringat terakhir. “Bundaaa … Adek tuh penginnya punya adik bayi lhoooo …,” ia beringsut mendekati ayah dan bunda. Mengabaikan tasnya yang belum terkancing, Lova



memilih memeluk sebelah tubuh sang bunda. “Adik bayi, Bunda. Adek maunya gendong adik bayi.” “Yang dari perut Bunda ‘kan, Dek?” Aksa menuang bensin yang pasti langsung disambar anak gadisnya. “Yang nanti keluar dari perut Bunda ini, ‘kan , Dek?” ia sentuh perut istrinya sambil memutar-mutar bagian tersebut. “Iyaaa, Ayaahhh …!” sahut Lova membenarkan. “Beneran adik bayi dari perut Bunda,” kini ia ikut mengelus perut bunda yang ramping. “Bunda nggak mau punya anak lagi, apa?” “Nggak!” sahutan itu berasal dari Oka. “Nanti kalau punya anak lagi, anaknya kayak kamu, centil!” imbuhnya menatap sang adik dengan pendar tajam. “Cukup punya satu adek yang berisik kayak kamu deh, Lov. Abang nggak sanggup kalau sampai ada dua Lova di dunia,” cebiknya sambil menutup resleting tas. “Udahlah, Bun. Abang nggak mau punya adik lagi.” Selesai. Rengekan Lova dan siasat Aksa, dibantai habis oleh Oksata Altherio.



Bagus. Karena ayah dan putrinya itu, sontak saja berwajah muram.



***



Empat



“Abang, jagain Bunda, ya? Ayah mau nganter Adek dulu ke rumah temennya. Nanti, kalau nggak Abang jagain, Bunda ngerasa kesepian. Ayah nggak mau dong, kalau Bunda ngerasa kesepian,” kelakar Aksa yang buat anak laki-lakinya menatapnya dengan pendar datar. “Aduh, Ayah pusing banget deh, temen Adek tiap minggu ada aja yang ulangtahun,” kekehnya merasa geli. “Nanti, ulangtahun Abang sama Adek yang ke-14, kita rayain, juga, yuk, Bang?



Mau rayain di mana? Kaefsi? Mekdi? Atau di resto-resto gitu, Bang?” “Apaan sih, Yah?” komentar Oka dengan wajah malas. “Lova aja deh, kalau mau ngerayain. Abang nggak mau. Kayak anak kecil aja,” cebiknya enggan. “Iya deh, yang udah gede,” Aksa mengacak-acak rambut anaknya. “Ayah ….” Terkekeh, Aksa pun mencoba merapikan kembali rambut sang putra yang berantakan karena ulahnya. “Abang di sekolah udah ada yang ditaksir belum, Bang?” “Ck, apaan sih, Yah,” Oka langsung berdecak mendengar penuturan sang ayah. “Lho, Ayah ‘kan lagi nanya nih, Bang. Karena kalau yang naksir Abang pasti banyak ‘kan? Abang seganteng Ayah gini, pasti banyak yang naksir dong,” Aksa terkekeh geli begitu melihat pendar malas menghiasi wajah putranya. “Jadi gimana, Bang? Udah ada yang Abang taksir?” ia naik turunkan alis seraya menggoda.



Mereka tengah duduk di ruang tamu seraya menanti Lova bersiap. Sementara itu, Oka tengah asyik dengan permainan di ponsel ketika ayah datang mengganggu. Namun, walau begitu ia pun menghentikan fokusnya pada ponsel. Bunda selalu mengatakan, tidak sopan berbicara dengan orang bila mata hanya terpaku pada hape. Tidak peduli berapa pun usianya, orang yang mengajak kita berbicara harus dihargai. “Katanya Adek, temen sekelasnya dia ada yang naksir Abang, ya?” “Ayah kenapa sih, suka banget dengerin Lova cerita?” dengkus Oka kesal. “Lho, sebagai orangtua, Ayah wajib dengerin tiap kata yang keluar dari bibir anaknya,” Aksa membela dirinya. “Makanya, kalau Abang pengin curhat apa-apa itu, langsung ke Ayah aja, ya, Bang?” “Nggak ada yang pengin Abang ceritain,” balas Oka berusaha santai. “Nggak ada yang menarik di sekolah,” lanjutnya. “Masa sih, Bang?”



“Iya, Ayah.” “Cewek-ceweknya juga nggak ada yang menarik?” Memutar bola mata mendengar pertanyaan sang ayah, Oka kembali mendengkus. “Ayah ini kenapa sih? Kenapa malah ngedukung Abang naksir cewek? Lova naksir cowok aja, Ayah larang-larang,” tuturnya menuntut jawaban. “Ya, habisnya, masa Adek naksir cowok tapi dia yang ngebiayain tiap ketemu cowoknya. Itu namanya cowok matre, Bang,” ungkap Aksa berapi-api. “Itu siapa tuh nama cowoknya? Jaemin? Heechan? Ck, nggak modal banget sih mereka, Bang? Masa harus pakai duit dulu, kalau mau ketemu,” curhat Aksa terdengar jengkel. Namun hal itu malah membuat Oka tertawa. Nama-nama yang disebutkan ayahnya tadi adalah idol Korea Selatan yang digandrungi banyak orang. Termasuk, Lova. Dan apa yang dikatakan ayah memang benar. Adiknya sangat menyukai nama-nama tadi. Sudah merengek beberapa kali pada ayah dan bunda untuk diizinkan melihat pacar halu dengan datang ke konsernya. Ya, sekali lagi,



ayahnya benar. Harus Lova yang mengeluarkan uang demi bertemu pacar halunya tersebut. “Adek, ke mana sih, Bang? Lama banget,” mendadak Aksa mengeluh. Terhitung sudah dua minggu ini, ia terus mengantar anak gadisnya untuk menghadiri pesta ulangtahun. Dan selama itu pula, Aksa yang harus menunggu. “ “Biasa, dandan dulu.” Dan tak lama berselang, si buah bibir pun memperlihatkan diri. Dengan senyum sejuta dollar andalannya, Lova melompat-lompat semangat. Rambutnya di kuncir satu dengan banyak aksen pita menjuntai sepanjang rambutnya. Jepit rambut beraneka rupa turut menghiasi kepalanya. Dengan jaket denim yang menutupi dress polkadot hitamnya, Lova memadukan penampilannya tersebut lewat sepatu putih. “Yok, Yah!” serunya sambil mengamit lengan sang ayah. “Nanti, Ayah mau nungguin Adek sampai selesai acara?” “Duh, jangan, ya, Nak?” ringis Aksa langsung. “Nanti Ayah jemput lagi kok. Lho, itu bibirnya Adek kok



merah banget sih? Adek pakai lipstick, ya?” Aksa segera menatap anaknya penuh selidik. “Bukan, Ayah,” Lova membantah tuduhan itu. “Ini namanya liptint. Cuma, Adek ombre dikit sama lipcreame punya Bunda. Hehehe … udah minta izin kok sama Bunda. Iiihh, udah dong, Ayah! Jangan lihatin Adek kayak gituuu!” Lova menutup wajahnya dengan telapak tangan. “Adek, pipinya juga merah-merah lho, Nak,” kata Aksa kembali meringis. Ia sentuh pipi putrinya dengan raut seolah-olah ia tengah menahan kesakitan. Ia tahu persis apa yang dibubuhkan anaknya untuk mewarnai pipi itu. “Ini pakai punya Bunda juga?” ia teliti kembali wajah putrinya dengan saksama. Pendar di matanya mengisyaratkan sebuah kerisauan. “Hm, Adek pakai mascara juga, ya, Nak?” ia bertanya hati-hati. “Punya Bunda, iya? Kelopak matanya kok diwarnai juga sih, Nak?” pertanyaan itu datang bertubi-tubi. Lova tak segera menjawab, ia menunduk sambil memanyunkan bibirnya. Sebelum kemudian, kepalanya menggeleng pelan. “Pinjem punya Zora, Yah,” akunya dengan jujur.



“Tuh, kan! Mulai kecentilan!” Oka yang bereaksi. Kini, ia sudah berkacak pinggang di depan adiknya itu. “Udahlah, Yah! Jangan kasih pergi dia!” “Iih, Abang apaan sih?!” seru Lova tak terima. “Halah! Kamu tuh sekarang memang ganjen!” “Ganjen apaan sih, Oka?!” Lova mulai terlihat kesal pada kakaknya. “Ganjenlah! Kecentilan!” “Aku nggak pernah gitu!” “Udahlah, ngaku aja!” “Mana ada—“ “Anak-anak, stop!” seru Aksa menengahi keributan putra dan putrinya. Ia sampai harus mengelus dada. Kali ini, ia jelas berada di kubu sang putra. Ia sama sekali tak suka dengan riasan di wajah anak perempuannya itu. “Dek?” “Kenapa? Ayah mau bilang kalau Adek kecentilan juga?”



“Tuh, ‘kan! Mulai ngelawan kamu kalau dibilangin!” tuding Oka menghardik sang adik. Tak lama berselang, Nada berjalan cepat menghampiri keluarganya. Dengan apron berwarna merah yang di beberapa sisinya tampak putih bekas sentuhan tepung terigu. “Ada apa ribut-ribut?” ia tengah berada di dapur. Berniat membuat camilan untuk hari minggu ini. Biasanya, Lova akan senang membantunya. Namun, berhubung anak gadisnya punya acara, Nada pun mengerjakannya seorang diri. “Kenapa, Mas?” dari kedua anak-anaknya, ia alihkan perhatian pada sang suami. “Lova tuh, Bun!” Oka yang menyahut. “Lihat aja, dandanannya menor gitu!” cetusnya menatap sebal sang adik. “Dia emang udah centil luar biasa deh, Bun. Udahlah, jangan izinin dia ke mana-mana.” Nada langsung mengarahkan pandangan ke arah sang putri. Untuk beberapa saat, ia cukup terhenyak melihat penampilan Lova. Sebenarnya, dari segi pakaian tidak ada yang berlebihan. Hanya saja, warna merah yang menyebar di wajah sang putri benar-benar mengkhawatirkan. Apalagi dengan biru menyolok yang tersapu di kelopak matanya,



sudahlah Nada mencoba mengelus dadanya dengan sabar. “Temen Adek si Vina itu ulangtahun yang keberapa, Nak?” tanpa amarah ia melemparkan tanya. “Ke-14, ya, Sayang?” ketika putrinya mengangguk takut-takut, Nada menyunggingkan senyum kecil pada suami dan anak laki-lakinya. “Yuk, Bunda bantuin bersihin tumpahan saos di wajah Adek,” ungkapnya dengan geli. “Bunda bantuin rapiin penampilan Adek, yuk, Nak?” Tanpa menunggu persetujuan, Nada menarik tangan putrinya lembut. “Ayah, bentar, ya? Abang, ini Adek bukan menor dandanannya, Bang. Cuma, Adek lagi make barang yang nggak sesuai umur. Makanya, mau Bunda bersihkan dulu, ya, Bang?” “Ck, terserah aja deh, Bun. Kalau menurut Abang, dia nggak usah dibolehin pergi sekalian,” Oka menatap Lova dengan tajam. Nada mengangguk kecil ketika mendengar saran putranya. Namun, ia tahu tidak perlu sampai seperti itu. Jadi, tanpa amarah, ia menggandeng anak gadisnya ke arah kamarnya dan Aksa. Mendudukkan putrinya di depan cermin hias. Dengan telaten, Nada



menuangkan cairan pembersih make up ke atas kapas. “Adek tahu nggak kenapa make up ini diciptakan?” dengan hati-hati, ia sapukan kapas yang telah basah tersebuh ke wajah anak gadisnya. “Atau, Adek tahu nggak, kenapa make up ditujukan untuk orang dewasa?” ketika anaknya menggeleng, Nada masih berusaha mempertahankan senyumnya. “Karena, orang-orang dewasa perlu menutupi tanda-tanda penuan di wajahnya. Ada garis-garis halus, juga bintik-bintik hitam yang harus disamarkan. Nah, apa Adek udah punya garis-garis halus di sudut matanya?” “Belum, Bun.” “Ada nggak sih, bintik-bintik hitam di muka Adek?” “Nggak ada juga, Bun.” Nada selesai membersihkan wajah sang putri menggunakan dua buah kapas. Kini, ia pandangi wajah cantik putrinya dengan senyum cerah. “Makanya, Adek nggak butuh semua itu, Nak,” ia hadapkan sang putri ke arah cermin. “Lihat itu?” ia menunjuk pantulan wajah putrinya di cermin. “Adek



cantik ‘kan? Adek belum butuh, pakai lipstick, bloush on, atau mascara. Kalau Adek memang mau kelihatan seger, Adek cukup pakai bedak tabur aja. Pakai liptint Adek tipis-tipis juga boleh kok. Terus, semprotin aja parfum. Udah. Adek udah cantiik banget, Nak.” Menghadapi anak remaja itu susah-susah gampang. Dan selama ini, Nada berusaha keras untuk tidak menunjukkan amarah saat anak-anaknya berbuat salah. Ia memiliki cara pandang sendiri mengenai bagaimana mendidik anak-anaknya. Ia bisa bersikap tegas, ketika merasa apa yang dilakukan si kembar sudah kelewatan. Namun, selama ini, anak-anaknya tidak pernah bertindak melewati batas. Makanya, yang Nada lakukan adalah membimbing mereka dengan baik. Mengarahkan sedikit, bila si kembar mulai salah arah. “Lagipula, di usia Adek ini. Adek cukup menjadi cantik, untuk diri Adek sendiri aja. Cukup jadi cantik buat Ayah sama Bunda. Selebihnya, Adek nggak perlu ngikut-ngikutin teman-teman Adek, Nak. Karena bagi Bunda, Ayah, sama Abang, Adek tuh benar-benar berharga.”



***



Ayah : Bun, Ayah nungguin Adek sampai selesai acara aja, ya, Bun? Nggak tenang Ayah ninggalin Adek. Temen-temennya nyaris dandan semenor Adek tadi, Bun. Ayah ngeri, ninggalin dia.



Begitulah isi pesan Aksa satu jam yang lalu. Dan Nada menyetujui pilihan yang diambil suaminya itu. Mereka memang memberi kepercayaan pada anak-anak. Namun, bukan berarti anak-anak bebas



melakukan apa pun yang mereka mau. Tetap perlu dilakukan pengawasan. Dan itulah yang tengah Aksa lakukan pada putri mereka. “Ayah beneran nungguin Lova, Bun?” “Iya, Bang. Kata ayah, nanggung kalau mau pulang-pulang lagi,” bukan berdusta. Nada hanya sedang menutupi sedikit fakta dari putranya. Sebab, ia tahu bila kejujuran ia katakan, pulang nanti Lova pasti akan menghadapi amukkan Oka kembali. “Biarin aja deh, ayah ngabisin seharian inii nemenin adek. Sebagai gantinya, hari ini, Abang gantian nemenin Bunda, ya?” “Siap, Bun!” balas Oka sigap. “Kita mau makan browniesnya di mana, Bun?” Minggu lalu, Nada sudah membuat cookies dengan anak gadisnya. Dan minggu ini, tiba-tiba saja ia ingin memasak brownies. Namun, Nada memotong browniesnya menjadi dua bagian. Menambahkan selai strawberry yang ia buat sendiri. Kemudian, menumpuknya dengan potongan yang sebelumnya. “Abang mau makannya di mana?”



“Sambil nonton boleh nggak, Bun?” “Boleh dong, Nak,” sahutnya tertawa. “Abang mau minum apa?” “Abang mau bikin es leci aja, Bun. Bunda mau juga?” “Nggak deh, Bunda mau minum air hangat aja.” Dengan sigap, Oka langsung membawa dua piring berisi brownies miliknya dan bunda ke ruang televisi. Kemudian, ia kembali lagi ke dapur untuk membuat minumannya dan mengambil air hangat untuk bunda. “Wiih, enak banget lho, Bun,” pujinya sungguh-sungguh. “Abang suka selai yang kayak gini, Bun. Masih terasa asemnya stowberrynya. Kalau yang manis gitu, Abang malah nggak suka.” Nada menyetujui pendapat sang putra. Sebab, ia pun demikian. “Bunda juga lho, Bang. Makanya, Bunda tadi emang nekat mau bikin selai sendiri. Ternyata, sesuai selera Abang sama Bunda,” kekehnya singkat. “Udah bisa belum nih, Bang, Bunda buka toko roti?” tanyanya iseng.



“Bunda mau buka toko roti?” namun Oka menanggapinya dengan serius. Nada terkekeh kecil sambil menggelengkan kepala. “Nggak, ah, Bang. Bunda bercanda aja tadi,” Nada memilih memakan browniesnya dengan sendok. Ia duduk di atas karpet dengan punggung bersandar pada kaki sofa bed di belakang. Sementara itu, anaknya duduk bersila tak jauh darinya. Televisi di depan mereka, menayangkan film animasi Cars 3, yang sudah menjadi kesukaan Oka sejak dulu. “Kalau serius, juga nggak apa-apa kali, Bun,” sahut Oka sambil menatap sang bunda. “Ah, nggak, Bunda mau fokus jagain anak-anak Bunda aja,” Nada mengatakan hal itu sembari mengedipkan sebelah matanya. “Abang sama Lova udah gede lho, Bun. Ngapain kita dijagain? Kemarin itu, Eyang juga minta Bunda buat ngelanjutin kuliah ‘kan? Kok Bunda nggak mau sih?” “Ya, karena kayak yang Bunda bilang tadi, Bunda mau fokus ngurusin anak-anak Bunda aja,” ucap Nada santai.



Oka nyaris berdecak kecil, hanya saja ia berhasil menahan diri. “Bunda, Abang sama Lova udah gede,” ia ulang kalimat yang serupa dengan yang tadi sempat ia katakan. “Kami udah bisa ngurusin diri kami sendiri. Abang janji, Abang nggak akan nyusahin Bunda kalau Bunda memang mau kuliah lagi. Abang juga bakal lebih sabar ngadepin Lova, kalau-kalau Bunda khawatir Abang sama Lova berantem terus-terusan,” Oka mengungkapkan janjinya sungguh-sungguh. Menatap anaknya dengan pendar penuh kebahagiaan, Nada membuat raut lucu di wajah dengan mengerutkan hidungnya. “Abang sama Lova mungkin udah bisa ngurus diri sendiri. Abang sama Lova, tentu aja nggak perlu dijagain lagi. Tapi,” menjeda kalimatnya, Nada meletakkan piring bekas browniesnya yang sudah habis. “Adiknya Abang yang ada di sini,” Nada menunjuk perutnya. “Butuh diurus dengan baik. Juga, harus dijagain sungguh-sungguh,” ucapnya sambil melebarkan senyuman. Oka menatap bunda tak berkedip. Ia mengerjap dua kali demi mencerna apa yang dimaksudkan oleh bundanya itu. “Ma—maksudnya?” ia tergagap



tiba-tiba. Pandangannya berpindah dari wajah bunda ke arah perut bunda. “Bunda?” Nada mengangguk, senyumnya terurai manis. Dengan hati-hati, ia raih sebelah tangan putranya. Mengelus punggung tangan anaknya itu dengan sayang. “Maafin Bunda, ya, Abang, Bunda kasih Abang tanggung jawab lagi, buat lebih sabar jadi seorang kakak.” “Bunda, hamil?” cicit Oka ragu. Nada masih terus melengkungkan senyuman. Ia mengangguk kecil, sambil terus mengelus punggung tangan putranya. “Jangan bilang-bilang dulu sama ayah, ya, Bang?” “Kenapa?” kini Oka menjadi bingung. “Ayah belum tahu?” “Iya, ayah belum tahu, Bang,” Nada membenarkan. “Abang, orang pertama yang Bunda kasih tahu lho.” “Kenapa gitu?” Oka tak mengerti. Terlebih, ia pun bingung harus memberikan reaksi. “Lova juga belum tahu, Bun?”



“Iya, Abang. Adek sama ayah belum tahu. Baru Abang nih, satu-satunya yang Bunda kasih tahu bakal punya adik,” walau diutarakan dengan santai, percayalah Nada teramat berhati-hati dalam menyampaikan kabar ini. “Abang bingung, ya, kenapa Abang yang Bunda kasih tahu pertama kali?” ketika anaknya itu mengangguk. Nada menyunggingkan senyum. “Karena nanti, setelah ayah sama Bunda udah nggak ada di dunia, Abang yang bakal jadi perpanjangan tangan ayah sama Bunda buat sayangi adik-adiknya.” Oka menatap bunda dalam diam. Matanya bergerak gelisah, sementara kepalanya sedang memikirkan banyak hal. Tetapi selebihnya, ia tak mampu mengungkapkan apa-apa. Tetap memilih diam, sambil menikmati senyum yang tersungging di bibir bunda. “Abang masih nggak mau, ya, punya adik lagi?” Jujur, Oka ingin mengangguk. Namun, bila hal itu berurusan dengan bunda, ia selalu merasa tak tega. “Bunda boleh tanya, alasannya kenapa, Nak?”



Pertanyaan bunda yang begitu lembut, membuat Oka merasa harus menjawabnya. “Abang takut, nanti adiknya kayak Lova, Bun,” ia utarakan dengan jujur. “Memangnya kenapa sama Lova, Bang?” Oka tak menarik tangannya dari genggaman bunda. Ia biarkan tangan mereka bertaut. Bila harus memilih, siapa yang paling ia sayang di dunia ini, bundalah orangnya. “Lova itu centil, Bun,” ucapnya mula-mula. “Dia sekarang udah sering cerita soal cowok sama temen-temennya. Dia juga ceroboh banget orangnya. Dia juga berisik. Dia suka gangguin Abang,” Oka mengungkap semua sifat Lova yang tak ia sukai. “Pokoknya, Lova nyebelin, Bunda.” “Jadi, apa Abang benci Lova?” Membenci Lova? Oka terdiam. Ia tidak membenci saudara kembarnya itu. Demi Tuhan, sama sekali tidak pernah membencinya.



“Abang nggak benci, Bun,” jawabnya atas pertanyaan bunda tadi. “Cuma, kenapa sih, dia tuh nggak tenang aja orangnya? Kenapa dia nggak kalem gitu, Bun? Kenapa harus pecicilan sih? Abang ‘kan pusing.” Nada mengangguk mengerti. Dengan senyum yang semakin lebar, ia ikut melipat kakinya seperti sang putra. Punggungnya yang semula bersandar, ia tegakkan. “Karena semua sifat manusia itu istimewa, Bang,” tuturnya memberi pengertian. “Itulah yang ngebuat setiap manusia berharga. Sifat kita yang berbeda-beda, itu disebut keberagaman. Abang nggak bisa nuntut setiap orang harus punya sifat seperti yang Abang mau. Karena Allah juga nyiptain kita semua beda-beda ‘kan? Nah, begitu pula sifat-sifat kita.” Nada membelai kepala putranya dengan sayang. Merapikan rambut putranya itu dengan sisiran jemarinya. Kemudian, ia tepuk-tepuk pelan rahang sang putra sambil memperdengarkan tawa kecil. “Gimana nyebelinnya sifat Adek, dia itu sayang banget sama Abang lho,” ujar Nada menambahkan.



“Inget nggak, waktu Abang kecelakaan waktu itu? Adek terus nangisin Abang. Adek nelpon ayah sambil nangis-nangis. Bahkan, Adek juga nggak mau disuruh pulang ke rumah ‘kan? Dia setia, mau nungguin Abang sampai sembuh di rumah sakit.” Ah, bunda benar. Kenapa hal itu luput dari pemahamannya, ya? Oka sontak mengerjap. Bayangan Lova yang menangisinya langsung mengisi benak. Kebersamaan mereka selama ini, begitu kuat membayangi ingatan. Tentang semua perjalanan mereka ke sekolah. Mengenai segala hal yang dulu selalu mereka bagi bersama. Entah itu tangis karena diam-diam merindukan ayah. Tak jarang, mereka juga saling menguatkan saat tak tega melihat bunda harus pergi bekerja. Dan semua kenangan-kenangan masa lalu, membuat mata Oka memanas. Ia ingat, bagaimana Lova yang selalu menggandeng tangannya. Lova yang lebih berani daripada dirinya. Ya, Tuhan … mengapa ia melupakan semua itu?



“Bunda …,” Oka tak mampu berkata-kata. “Maafin Abang, Bun,” sesalnya sungguh-sungguh. “Abang nggak benci Lova, Bun. Abang juga sayang dia, Bun,” air matanya hampir jatuh saat mengutarakan hal itu. “Iya, Bunda tahu kok,” kini Nada menyatukan kembali kedua tangan mereka dalam genggaman. “Jadi, sekarang gimana? Abang bisa nggak terima adik baru yang ada di perut Bunda?” melepaskan satu tangan, Nada kembali mengelus perutnya yang masih rata. “Kira-kira, Abang mau nggak, sayang juga sama adik yang di sini?” Nada tak menerima jawaban melalui lisan. Namun, Oka yang tiba-tiba memeluknya sudah menjadi jawaban terbaik atas segala pertanyaan yang tadi ia sampaikan.



***



Lima



Nada punya alasan kuat, mengapa ia lebih memilih memberitahu kehamilannya terlebih dahulu pada sang putra dibanding suaminya sendiri. Karena, beberapa kali pembahasan mengenai penambahan anggota keluarga baru diangkat oleh suami dan anak gadisnya dalam perbincangan santai mereka, jawaban yang diberikan sang putra selalu sama. Iya, Oka menolak gagasan memiliki adik baru. Waktu itu, Nada memang sengaja tidak menanyakan alasan mengapa anaknya tidak mau memiliki adik. Tetapi, saat pagi tadi ia memeriksa urinenya dengan alat tes kehamilan dan menemukan dua garis di sana, Nada paham sudah waktunya ia mencari tahu alasan dibalik keengganan putranya memiliki adik. Sebagai seorang wanita bersuami, Nada tak mungkin abai ketika tamu bulanan yang biasa rutin mengunjunginya tak kunjung tiba hingga tiga minggu dari jadwal yang seharusnya. Mengingat bagaimana rajinnya Aksa bermesraan dengannya, Nada tahu sesuatu telah terjadi di tubuhnya. Dan itulah mengapa Nada menolak tawaran ibu mertuanya.



Dan kini, tugas Nada adalah memberitahu pria 35 tahun yang tengah sibuk menatap ponsel sembari berbicara pada Adiva di seberang pulau sana. Nada sendiri telah berada di ranjang dan memilih menonton suaminya. Diam-diam, ia mengagumi pria itu. Selain parasnya yang rupawan, Aksa benar-benar memiliki hati yang baik. Melihatnya mencoba menenangkan Adiva yang tengah menangis karena mimpi buruk, buat Nada mengulum senyum simpul sambil mengelus perutnya yang rata. “Tapi nanti kalau monsternya datang lagi di mimpi Diva gimana, Pa?” Aksa duduk di sofa kamarnya. Wajahnya sudah terlihat mengantuk. Hari ini, ia lelah menunggui anak gadisnya sampai acara ulangtahun temannya itu selesai. Namun, ia juga tak bisa mengabaikan Adiva. Makanya, dengan sabar ia mendengar cerita gadis kecil itu mengenai mimpi buruk yang baru saja dialami. “Monsternya udah pergi kok, Sayang,” ia tatap layar ponsel sembari memperhatikan tangis Adiva yang sesekali masih terdengar. Wajah bundar Adiva yang tampak sembab, membuat hatinya sedikit tercubit. “Nanti dari sini, Papa bakal jagain Diva di dalam mimpi, ya?”



“Emangnya bisa, Pa?” “Bisa dong,” seru Aksa dengan nada penuh percaya diri. Senyum hangatnya menghiasi layar ponsel, dan keinginan terbesarnya adalah membawa Adiva untuk tinggal bersamanya. “Gini-gini, Papa punya sabuk hitam taekwondo lho, Nak. Jadi, monster-monster pasti takut sama Papa,” ucapnya sambil menepuk dada dengan bangga. “Tapi monsternya serem, Pa. Diva takuuutt.” “Sekarang, monster jeleknya udah pergi kok, Nak. Nanti kalau Diva mimpi, pasti yang dateng cowok-cowok keren kayak kesukaannya kak Lova itu lho.” “Siapa, Pa?” “Itu, sih Jaemin, nanti Papa bilang ke kak Lova suruh si Jaemin singgah ke mimpi Diva, ya? Soalnya, kata kak Lova, dia sering banget ketemu Jaemin itu di mimpi.” “Dia monster juga, Pa?”



“Eh?” Aksa menggaruk kepala. Kemudian bertukar pandang pada istrinya. “Heum, Div, ini Bunda mau ngomong nih sama Diva,” Aksa mencari jalan aman untuk menghindari pertanyaan itu. Bukan apa-apa, bila Lova mendengarnya menjelek-jelekkan idolanya, anak gadisnya itu pasti murka. Buru-buru, ia kembali melangkah ke arah ranjangnya. Memberikan ponsel pada istrinya dengan senyum manis. “Bunda aja ya, yang nenangin Diva? Ayah suka ngelantur kalau ngomong,” pinta Aksa sambil berbisik. Nada mencebik tanpa suara, namun ia tetap menerima sodoran ponsel dari suaminya. “Makasih, Bunda,” kekeh Aksa sambil mengecup pipi istrinya. “Div, ngobrol bareng sama Bunda juga, ya, Nak?” sebab Aksa sudah mengambil tempat di sebelah sang istri. “Bunda, tadi Diva mimpi buruk lho, Bun,” ia hanya memberikan umpan sedikit saja. Dan Nada menangkap umpan itu dengan sangat baik. “Lho, Diva mimpi buruk? Mimpi apa, Sayang?” “Mimpi ada monster di kamar Diva, Bunda,” ungkap Adiva malu-malu. “Diva takut. Diva pengin bobo sama Papa, tapi Papa jauh, Bunda.”



Ah, anak ini …. “Pengin telpon Mama, tapi Mama ‘kan lagi sekolah lagi. Diva takut Maama kepikiran sama Diva. Makanya, Diva telpon Papa.” Nada merasakan remasan kuat di dadanya mendengar penuturan tersebut. Netranya memancarkan kesedihan yang luar biasa. Andai mampu, ia pun ingin merengkuh tubuh mungil itu dalam dekapannya. Memeluk Adiva sepanjang malam, supaya anak tersebut merasa aman dalam lelapnya. “Nanti, kalau ada libur panjang di sekolah, Diva telepon Papa, ya, Nak? Biar Diva dijemput Papa. Diva nginep di tempat Bunda, ya, Sayang? Biar bisa bobonya dipeluk Papa.” Ia ingin menangis rasanya. Anak sekecil Adiva, tidak bersalah. Anak itu adalah korban sesungguhnya dari permainan kotor orang dewasa yang ada di sekitarnya. “Nanti, kalau Diva nginep di tempat Bunda, Bunda bakal buatin makanan favorit Diva.”



“Bener, Bunda?” “Bener dong, Nak,” tak kuat melihat wajah antusias itu, Nada menjatuhkan air matanya tanpa sadar. Namun cepat-cepat ia menghapusnya. “Nanti, Bunda ajarin bikin kue, mau nggak?” “Mau, Bunda! Mau!” seru Adiva kesenangan. “Kak Lova bilang, dia bisa bikin brownies enak, ya, Bun? Kak Lova bilang, dia diajarin sama Bunda. Diva mau juga, Bunda!” Astaga …. Nada mengelus dadanya demi mengusir himpitan sesak yang tiba-tiba menerpa di sana. Ia tatap suaminya sejenak dengan pandangan berkaca-kaca. Dan yang dilakukan pria itu adalah mengecup keningnya, seolah mengerti mengenai nelangsa yang kini ia rasa. “Makanya, nanti kalau ada libur panjang di sekolah, Diva langsung telpon Papa, ya, Sayang?” Nada mengulang kembali perkataannya. “Bunda juga kangen sama Diva. Bunda juga pengin banget peluk



Diva,” aku nada dengan jujur. “Diva mau nggak dipeluk Bunda juga?” Selanjutnya, ia serahkan ponsel tersebut kepada suaminya kembali. Tak kuat bersikap tegar, Nada ingin menangis demi menumpahkan sesak di dada. Adiva, anak itu tidak bersalah. Adiva, anak itu telah menjadi yatim bahkan sebelum terlahir ke dunia. Dan Adiva, merupakan korban paling merana dari rencana-rencana licik orang dewasa. Si kembar mungkin menderita, namun masih ada dirinya yang terus berada di sisi mereka. Aksa pun menyayangi anak-anaknya. Mereka mungkin pernah berpisah untuk waktu yang lama. Namun hal itu tak sebanding dengan pilu yang kelak akan dirasakan Adiva ketika mengetahui kebenaran dibalik kelahirannya. Ya Tuhan … tolong, jaga anak itu untuk mereka.



“Iya, sekarang Diva bobok lagi, ya, Nak? Papa berdoa dari sini, supaya monsternya nggak ganggu Diva lagi. Iya, Sayang. Bunda lagi ke kamar mandi. Bunda lagi kebelet pipis.” Padahal, Nada masih ada di sana. Hanya saja, dengan pipi yang sudah basah. Nada hanya sedang berusaha tak bersuara. Sebab, bila ia membuka mulutnya, yang terdengar hanyalah rintih kesedihan yang tak mampu ia tahan. Setelah sambungan dengan Adiva terputus, Aksa segera menyimpan ponselnya di atas nakas. Ia langsung mendekap istrinya yang menangis di tepi ranjang. Membawa kembali wanita itu naik tengah ranjang. Mengecupi kepalanya dengan sayang, tak lupa Aksa mengelus lengan istrinya tuk memberikan kekuatan. “Aku nggak tega sama Adiva, Mas,” cicit Nada yang berusaha tenang di tengah gempuran rasa yang menyesakkan dada. “Aku nggak tega lihat dia begitu,” imbuhnya menekan sesak.



“Aku tahu,” bisik Aksa lirih. “Aku juga nggak tega ngebiarin dia hidup di sana,” walau hidupnya baik-baik saja. Adiva sama sekali tak kekurangan apa-apa di tempat tinggal barunya. Terlebih, Aksa juga tetap mengirimi nafkah untuknya. Hanya saja, jarak di antara mereka terlampau jauh. “Dia nggak bersalah.” Nada menganggk menyetujui. Dengan perlahan, ia memutar tubuh, hingga kini ia bertemu pandang dengan sang suami. Posisi mereka kini, bersandar penuh pada kepala ranjang. “Anak itu begitu malang, Mas.” Memang. Sungguh, membicarakan kemalangan Adiva tak akan ada habisnya. Jadi, setelah istrinya tenang, Aksa membawa tubuh mereka untuk berbaring bersisian. Masih saling memeluk, Aksa sudah mematikan lampu utama dan menggantinya dengan penerangan redup yang menentramkan netra. “Kamu tahu nggak alasan kenapa tadi aku akhirnya milih buat nungguin Lova?” dengan pandangan sayu,



ia belai wajah sang istri yang juga tengah menatapnya. Ia sisihkan anak-anak rambut wanita itu yang berjatuhkan menutupi wajahnya yang cantik. “Aku takut, Nad.” “Takut?” Kepala Aksa mengangguk. Awalnya, ia hanya berniat mengantarkan anaknya saja lalu pulang. Tak keberatan kembali untuk menjemput nanti. Begitulah yang tadi sempat ia rencanakan. “Temen-temen Lova datang ke pesta itu dengan dandanan yang nyaris mirip kayak dandanan Lova sebelumnya. Dan di sana, juga banyak anak laki-laki yang ternyata di undang. Ngelihat remaja-remaja itu, mendadak aku takut ngelepasin Lova sendirian di tengah-tengah mereka.” Aksa mengatakan dengan jujur hal yang ia rasakan tadi. Bagaimana jantungnya seolah berirama kencang melihat keramahan putrinya dalam menyapa beberapa teman sebayanya. Dan di antara teman-teman yang disapa anaknya, banyak dari mereka yang berjenis kelamin laki-laki. Mereka juga membalas sapaan Lova tak kalah ramah. Terbiasa menghadapi anak laki-lakinya yang begitu cuek, mendadak Aksa tak siap membiarkan anak gadisnya



dikelilingi remaja-remaja yang hiperaktif. “Ternyata, kamu bener, Nad. Jadi, orangtua itu berat.” Nada mengerti gundah yang tengah menghinggapi suaminya. Semenjak pulang sore tadi, pria ini memang terlihat resah. Sang suami mendadak menjadi pendiam. Dan pandangannya hanya mengarah pada anak gadis mereka saja. “Anak-anak kita memasuki usia remaja, Mas,” Nada mengelus lembut alis lebat sang suami. Bibirnya, melengkungkan senyum tipis yang terlihat samar di antara temaram lampu yang menerangi. “Mereka butuh banyak teman. Mereka butuh banyak bersosialisasi. Mereka sedang berusaha menemukan jati diri.” “Dan itu yang bikin aku makin takut, Nad,” Aksa mengeratkan dekapan pada istrinya. Seolah, ia benar-benar tak siap menghadapi semua itu. Tangannya yang berada di pinggang sang istri meremas lembut bagian tersebut demi menyalurkan resahnya. “Aku takut Lova salah pergaulan,” itulah yang sejak tadi bercokol di kepalanya. “Aku percaya kalau Oka punya pendirian yang teguh. Oka juga tahu, mana yang salah dan yang nggak boleh diikuti. Tapi, Lova?” Aksa menghela. “Lova itu terlalu mudah terseret arus pergaulan.”



Nada paham risau itu. Sebab, ia pun punya kecemasan begitu. Menjadi orangtua, tidak mudah. Ia sudah melihatnya sendiri dari kedua orangtuanya. Membesarkan anak-anak dengan karakteristik yang berbeda-beda merupakan ujian yang luar biasa mencekam. Salah mendidik, takutnya anak akan salah mengambil jalan. “Aku yakin Lova nggak akan kayak gitu, Mas,” kalimat itu bukan hanya untuk menenangkan suaminya. Tetapi juga untuk dirinya. “Kalau pun suatu saat kita luput memantau pergaulan Lova, aku yakin kita bisa mengatasinya.” “Nad—“ “Mas, Lova memiliki kita sebagai keluarga yang selalu bisa mengingatkan dia tentang hal-hal keliru yang mungkin aja suatu saat bisa jadi bahan pertimbangannya. Lova punya kamu, ayahnya yang luar biasa dicintainya. Dia nggak akan pernah berpaling dari kamu, Mas,” senyum Nada terbit lebih lebar dari sebelumnya. Dan di antara temaram yang memenuhi kamar, ia dapat memastikan bahwa



suaminya dapat menonton senyum yang ia tawarkan untuk laki-laki itu. “Dan kalau-kalau kamu lupa, Lova juga punya kakak laki-laki yang omelannya ngalahin ibu tiri, Mas,” ia tertawa bila mengingat bagaimana pertengkaran-pertengkaran Oka dan Lova terjadi selama ini. “Oka pasti nggak akan tinggal diam kalau Lova salah melangkah. Dia bakal bikin Lova sadar, sekalipun anak perempuan kita itu udah terlanjur salah.” Tadi siang, Nada menyisir rambut anak laki-lakinya. Dan malam ini, Nada menggunakan jemarinya tuk membelai rambut pria yang sudah memberinya dua anak di dunia ini. Ah, hampir tiga, maksud Nada. Ya, tiga. Atau mungkin empat, ya? Astaga, Nada tak ingin menutup kemungkinan bisa saja bayi yang saat ini dikandungnya juga kembar. Hanya saja, bila boleh meminta, Nada ingin satu saja. Iya, satu bayi mungil yang lucu.



Dan kini, ia tak sabar memberi kabar gembira itu, pada sang suami. Namun sebelumnya, ia harus memastikan ayah dari putra-putrinya ini, sudah jauh lebih tenang. “Mas,” Nada memanggil laki-laki itu dengan sengaja. Ia ingin atensi penuh, dan syukurlah itu yang ia dapatkan. “Walau Lova nggak sehebat Oka, tapi aku yakin, anak perempuan kita itu bisa diandalkan. Dia mungkin kelihatan ceroboh,” tiba-tiba ia mengingat perkatakan anak laki-lakinya dalam menggambarkan Lova. “Dia boleh kelihatan berisik dan nggak pernah serius sama apa pun di hidupnya sekarang ini. Tapi, Lova itu hebat, Mas. Perasaannya begitu tulus. Dan yang terpenting, dia menyayangi kita.” “Hm,” Aksa menghela napas panjang seraya memejamkan mata. “Mungkin gini, ya, dulu risaunya Bapak punya anak gadis secantik kamu,” celetuk Aksa mengingat mertuanya. “Susah ngejagainnya. Eh, masih muda udah dinikahin. Ya ampuunn … Nad, aku nggak sanggup ngebayangin anak kita dinikahin orang,” serunya tiba-tiba.



Nada sontak tertawa. Ia gigit dagu sang suami dengan gemas. “Suatu saat nanti, Lova harus nikahlah, Mas. Berdoa aja, semoga nggak nikah muda kayak Ayah sama Bundanya,” ujarnya sengaja. “Iya, ya ampuun, aku nggak bakal terima kalau dia nikah muda. Awas aja, aku bakal ngamuk sama laki-laki yang berani-beraninya ngajak anak kita nanti nikah mudah. Ck, enak aja dia!” mendadak saja, Aksa jadi emosi sendiri. “Kayaknya, apa yang Oka bilang bener deh, Nad?” “Oka bilang apa?” “Iya, cukup punya satu Lova aja. Kita nggak usah nambah-nambah Lova-Lova yang lain lagi deh.” “Maksudnya, gimana, ya? Kok aku nggak paham, ya, Mas?” Nada mencoba membuat jarak. “Ya, itu, ya udahlah, dua anak cukup. Kita ikuti aja anjuran pemerintah.” Sudah pernah Nada bilang, bukan, bahwa suaminya ini benar-benar duplikat Lova sekali? Nah, inilah contoh nyatanya.



Pria itu suka sekali melantur ke mana-mana bila sedang panik. Anehnya, hal itu hanya terjadi di rumah. Sebab, Aksa tak pernah melantur di persidangan. Entah kenapa, Nada justru merasa geli mendengar penuturan itu. Ia tak lagi menahan diri tuk tertawa. “Mau dua anak aja?” tanyanya sembari menyelipkan nada geli di sana. “Yakin?” godanya sengaja. “Iyalah, ngeri aku ngejaga anak perempuan ini,” ringis Aksa jujur. Nada masih mempertahankan sirat geli di mata. Tangannya lantas terulur demi menyalakan lampu di atas nakas di sisi ranjangnya. Sebelum kemudian, ia bergerak membuka laci paling atas dan meraih sesuatu dari dalam sana. “Cukup punya Oka sama Lova, aja nih?” Nada bertanya sekali lagi. “Iya, Sayang,” Aksa mencoba menggapai tubuh istrinya lagi. “Udah, yuk, tidur ….”



“Tunggu, dong, Mas,” Nada melarang sang suami untuk tidur terlebih dahulu. “Aku masih mau mastiin satu hal nih.” “Apa sih, Bun?” lama-lama Aksa gemas juga dengan istrinya. “Mastiin apa? Mastiin seberapa besar Ayah cinta Bunda, ya?” “Iih, ngarang!” Nada memukul lengan Aksa yang mencoba menggapai-gapai tubuhnya. “Udah, fix, ini, nggak mau nambah anak lagi? Maunya punya anak dua aja?” “Iyalah, Bun. Udah, dua aja,” Aksa manggut-manggut sendiri. “Wah, sayang banget,” Nada terkekeh geli. Ia sodorkan testpack kepada suaminya. Pria itu memang langsung menerimanya, namun karena minimnya pencahayaan, pria itu butuh waktu cukup lama untuk menyadari benda apa yang Nada berikan padanya. “Sayang banget deh, si anak ketiga nggak diterima ayahnya,” ucapnya hiperbolis. Tak lupa, ia elus perutnya. “Dek, gimana nih, Ayah maunya cuma sama abang Oka sama kakak Lova aja. Kalau gitu, adek sama Bunda aja, ya?”



“Eh, apa-apaan itu?” Aksa menemukan kejanggalan dari gerak sang istri. Buru-buru, ia meraih remote lampu yang berada di atas nakasnya. Menekan tombol besar, hingga membuat seluruh lampu yang berada di kamar menyala. Dengan mata sedikit menyipit, Aksa langsung menatap benda yang berada di tangannya. Walau asing, namun ia mengenali benda itu. “Bun?” ia tatap Nada dengan mata melotot. Dan istrinya itu malah tersenyum manis dengan telapak tangan yang masih membelai bagian perutnya. “Serius, Bun?” tanyanya tak percaya. “Serius nggak ya, Dek?” Nada bertanya balik pada perutnya. “Eh, Adek belum bisa ngomong, ya? Jadi, belum bisa kasih tahu Ayah, Adek beneran ada atau nggak di perut Bunda,” Nada tersenyum jahil. “Jadi beneran?” senyum Aksa terbit perlahan. Wajahnya yang tadi terlihat kaget, kini benar-benar semringah. Tawanya mengudara dengan bahagia. Kembali memeluk istrinya, Aksa mengecupi wajah wanita itu dengan penuh rasa syukur. “Alhamdulillah,” kekehnya kesenangan.



“Lho, kok seneng gitu sih? Katanya cukup punya dua anak aja, kayak anjuran pemerintah?” sindir Nada setengah geli melihat kelakuan suaminya. “Nggak, ah, aku nggak suka taat-taat hukum banget orangnya,” kekeh Aksa dengan tangan yang kini sudah berada di atas perut istrinya. “Udah berapa bulan?” tanyanya dengan binar mata yang menguarkan semangat empat lima. Nada menggeleng. Kedua lengannya terulur mengalung di leher suaminya. Tak menolak kala pria itu memindahkan tubuhnya ke atas pangkuan, Nada memberikan senyum hangat kala mata mereka memancarkan bahagia yang sama. “Belum tahu. Tadi pagi, baru aku cek. Dan hasilnya positif,” jelasnya sambil mengerutkan hidung dengan lucu. “Seneng?” Aksa mengangguk tanpa ragu. “Aku nggak nyangka,” bisiknya penuh haru. Telapak tangannya masih berada di atas perut istrinya. Membelai lembut dengan senyum yang tak lekang. “Serius, kamu nggak nyangka?” tanya Nada sangsi. “Kamu tuh semangat banget bikinnya, ih,” tampaknya Nada perlu mengingatkan pria itu. “Kalau aku minta buang di luar, alasannya nggak sempetlah,



lupalah,” mendadak Nada jadi jengkel bila mengingat tipu muslihat pria itu. Mendengar penjabaran tersebut, Aksa semakin tertawa lebar. Melabuhkan ciuman hangat di bibir tipis sang istri, Aksa sengaja menarik-narik bibir bawah Nada, lalu mengulumnya dengan gemas. “Habisnya enak, Bun,” kekehnya memberi pembelaan. “Jadi, Lova beneran harus pensiun jadi adek, ya, Bun?” “Pensiun banget sih bahasa kamu, Mas?” ia memukul bahu sang suami. Namun setelah itu, ia memeluk leher Aksa. “Dulu, setelah bercerai sama kamu, aku nggak punya mimpi bakal menikah lagi. Bagiku, hidupku cukup dengan si kembar. Tapi, siapa yang menyangka, ternyata takdir kita masih ada. Sekarang, nggak cuma kembali menikah, rupanya Tuhan masih mempercayai kita untuk menjadi orangtua lagi.” Aksa menyetujui perkataan sang istri. “Demi Tuhan, aku bahagia, Nad.” Nada pun sama.



Walau awalnya enggan memiliki bayi lagi, kini justru Nada yang tak sabar tuk melahirkan bayi ini ke dunia. Bersama si kembar yang telah beranjak remaja. Dalam kepalanya, Nada sudah bisa membayangkan seheboh apa nanti rumah mereka bila si kecil ini terlahir. “Aku sayang banget sama kamu, Mas,” bisiknya mengungkap perasaan pada sang suami. “Demi Tuhan, sayang banget,” ungkapnya jujur. Pria ini adalah orang yang pernah menyakitinya di masa lalu. Namun sepaket dengan itu, pria ini juga merupakan orang yang kerap membuatnya bahagia. Nada mencintainya. Iya, dia mencintai suaminya. Aksara Bhumi yang keberadaannya bagai semesta yang menaungi dunia kecil, milik Senada yang tak terlalu istimewa.



***



Yessss, udaaah yaaaa



Mudah2an kaliaan yang gk pernah puas ini, beneran puaass yaaa hahaha aku belum tahu belum mau bikin cerita apa yaa, beberapa harii belakangan ini akuuu sakiitt gigiii. ya ampuun, sakitt bangeettt. tapi semoga pelan-pelan nanti, bisa nyiptain dongeng buat kaliaan. makasih yaaa buat kaliaan yang udah ngikuti semalam inii. semoga Aksara Senada dapat menghibur kita semuaa. see uu semuaanyyaaaa ….