Aktualisasi Peran Dan Fungsi KOHATI Dalam Upaya Mewujudkan Masyarakat Madan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



A. LATAR BELAKANG Melihat realitas saat ini secara global bangsa kita dilanda keprihatian yang berkepanjangan. Terkait persoalan-persoalan sosial yang tidak kalah merajalelanya adalah kasus-kasus perempuan, seperti masalah ekonomi dan kesejahteraan, seringkali perempuan menjadi korbannya. Salah satu kasusnya saat ini adalah tidak stabilnya perekonomian negara, menjadikan perempuan harus mampu menghadapi agar tetap bisa bertahan hidup. Dari adanya beberapa contoh yang tampak oleh indra penglihatan faktor penyebab salah satunya adalah masih minimnya SDM yang dimiliki oleh para perempuan, sehingga terkadang sulit untuk di ajak bangkit di saat kondisi tidak stabil, sikap apatis yang masih ada di sebagian masyarakat kita membawa dampak yang tidak baik bagi perkembangan kaum perempuan khususnya, sehingga diharapkan ada satu pencerahan yang mampu membangkitkan ghiroh berintelektual dan mamperbaiki diri. Jika menginginkan negara ini baik sudah selayaknya para perempuannya juga baik, karena merupakan tiang negara. Sebagai generasi penerus bangsa sudah menjadi komitmen kita untuk merespon persoalan-persoalan sosial dan segala ketimpangan yang ada agar mampu mengangkat martabat bangsa ini kembali dari keterpurukan. KOHATI adalah singkatan dari Korp HMI-wati, yang merupakan salah satu badan khusus HMI yang bertugas membina, mengembangkan dan meningkatkan potensi HMI-wati dalam wacana dan dinamika gerakan keperempuanan. KOHATI didirikan pada tanggal 2 Jumadil Akhir 1386 H, bertepatan dengan tanggal 17 September 1966 pada Kongres HMI ke-8 di Solo. Berbagai Latar Belakang berdirinya KOHATI. Dijelaskan dalam buku Korp HMI Wati Dalam Sejarah 1966-1994 yaitu : Pertama, Perjuangan HMI makin meningkat sesuai dengan gerakan perjuangan bangsa. Terutama pada masa peralihan dari orde lama menuju orde baru. Peningkatan kesadaran kaum wanita dan masyarakat pada umumnya untuk aktif dalam aspek kehidupan semakin besar. Oleh karena itu, dalam rangka pencapaian tujuan HMI lebih



1



maksimal, dilakukanlah pembagian tugas yang lebih efektif. Manifestasi dari pembagian tugas tersebut dikembangkanlah lembaga- lembaga khusus. Misalnya Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam, Lembaga Pers Mahasiswa Islam, Lembaga Ekonomi Mahasiswa Islam, Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam dan lain lain sesuai dengan kebutuhan anggota. Kesadaran untuk lebih meningkatkan peranan dan aktifitas HMI- Wati telah mendorong terbentuknya Corps HMI-WAti (KOHATI). Jika dikatakan HMI merupakan kader ummat dan kader bangsa, dengan demikian HMIWati turut serta bersamanya menjadi kader wanita islam. Untuk itu sudah sewajarnyalah jika HMI-Wati melakukan suatu usaha untuk meningkatkan kualitas dan perananya dalam setiap gerak HMI. Kedua, dapat di kutip disini keterangan Anniswati Rokhlan (ketua umum pertama KOHATI PB HMI) yang dimuat dalam majalah KOHATI sebagai berikut : Banyak sekali arti yang dapat diambil dari eksistensi KOHATI dalam HMI. Semula memang maksud didirikanya KOHATI adalah pengerahan massa dalam KAP (Kesatuan Aksi Pengayangan) GESTAPU/PKI, dimanakita ikut berpartisipasi aktif. Dalam bentuk Departemen Keputrian, palingpaling hanya tiga atau empat orang saja yang bersedia bekerja, yang lain hanya menonton saja. Dengan korp HMI-wati, maka banyak HMI-Wati yang ambil bagian, sehingga dengan demikian lebih banyak kegiatan yang dilakukan dan lebih banyak HMI-Wati yang belajar dari pengalaman di HMI. Dengan kata lain pembinaan HMIWati sebagai anggota HMI lebih riil. .Ketiga, mengutip keterangan Yulia Mulyati Mantan Sekretaris Umum KOHATI PB yang pertama dikatakan bahwa yang mendorong didirikanya KOHATI adalah karena dibentuknya berbagai korp dalam angkatan bersenjata sebagai wadah khusus perempuan, seperti Angkatan Laut punya KOWAL, Angkatan Darat punya KOWAD, Angkatan Udara punya KOWAU, Angkatan Kepolisian punya POLWAN, maka HMI punya KOHATI. Tujuan dari terbentuknya berbagai korp tersebut adalah untuk mengerahkan masa dalam menghadapi komunis. Yulia juga mengatakan gambaran sebenarnya yang mendorong berdirinya KOHATI adalah untuk pembentukan kader- kader HMI-Wati ysng dapat membawakan aspirasi HMI dimanapun berada, disamping itu juga kualitas dan kuantitas HMI-Wati semakin meningkat sehingga dirasakan sangat penting adanya sebuah



wadah



yaitu



KOHATI.



Mengutip



pendapatnya



Nurhayati



Jamaz



mengungkapkan bahwa situasi sosial-politik pada sekitar tahun 1966 menyebabkan



2



timbulnya hasrat dan semangat dari seluruh unsur masyarakat yang ada untuk mempersatukan kekuatan dalam menumpas gerakan PKI pada waktu itu. PKI merupakan lawan ideologis HMI yang masuk melalui pintu gerakan perempuan (GERWANI). Upaya HMI untuk bersentuhan langsung pada gerakan keperempuanan membawa konsekwensi logis masuknya HMI ke kancah perjuangan gerakan perempuan, baik formal maupun informal. Sebagai langkah taktis untuk masuk ke wilayah perempuan akan lebih efektif bila HMI memiliki kelompok kepentingan (interest-group) yang dapat diperhitungkan sebagai bagian langsung dari gerakan perempuan yang berbasis organisasi perempuan Ada dua alasan yang paling mendasar membuat KOHATI didirikan yaitu: 1. Secara internal, departemen keputrian yang ada pada waktu itu sudah tidak mampu lagi menampung aspirasi para kader HMI-Wati, disamping basic-needs anggota tentang berbagai persoalan perempuan kurang bisa di fasilitasi oleh HMI. Dengan hadirnya sebuah institusi yang secara spesifik menampung aspirasi HMI-Wati juga diharapkan HMI-Wati secara internal memiliki keleluasaan untuk mengatur diri mereka sendiri dan lebih memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan organisasi yang muncul dari basic-needs anggotanya sendiri yaitu kader HMI-Wati.Secara eksternal, HMI mengalami tantangan yang cukup pelik dikaitkan dengan hadirnya lawan ideologis HMI yaitu komunis yang masuk melalui pintu gerakan perempuan (GERWANI). 2. Selain itu maraknya pergerakan perempuan yang ditandai dengan munculnya organisasi perempuan dengan berbagai pariasi bentuk ideologi, pilihan isu, maupun strategi gerkannya membuat HMI harus merapatkan barisannya dengan cara terlibat aktif dalm kancah gerakan perempuan yang berbasis organisasi perempuan. Atas dasar pertimbangan itulah pada tanggal 17 September 1966 M bertepatan dengan 2 Jumadil Akhir 1386 H pada Kongres VII di Solo dideklarasikan KOHATI. Terpilih sebagai Ketua Umum KOHATI pertama waktu itu adalah Anniswati Rokhlan. KOHATI sebagai salah satu badan khusus yang ada di HMI memiliki bidang kerja yang sangat khusus dan visioner, yakni keperempuanan. Bicara mengenai perempuan bukanlah hal yang terdengar asing di lingkungan kita, apalagi di kalangan aktivis dan juga sebagai mahasiswa. Pembicaraan mengenai perempuan itu tidak jauh dari seputar fisik



3



perempuan, peran perempuan–publik dan domestik, tenaga kerja perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, dan segala isu lain yang menyangkut perempuan. Memang terdengar menjadi begitu spesialnya makhluk yang bernama perempuan ini, sehingga banyak didiskusikan di berbagai kalangan di berbagai tempat. Dan HMI, sebagai organisasi mahasiswa pertama di Indonesia juga harus berstrategi untuk mengembangkan misinya dalam bidang keperempuanan ini. Sudah fitrahnya pula, permasalahan perempuan senantiasa berkembang seiring dengan perubahan masyarakat. Karena itu, pemikiran-pemikiran yang bersifat mendalam dari kader-kader Kohati sangat diperlukan, mengingat permasalahan tersebut merupakan hal yang sangat mendasar dan menuntut keluasaan dan kedalaman peran dan fungsi perempuan.



Pada



gilirannya



perempuan



yang



berkualitaslah



yang



dapat



menjawabnya.Karena itu, sekali lagi keberadaan Kohati harus bisa terasa dalam berbagai aspek. Terutama pada masalah-masalah yang menimpa kaum perempuan. Masalah tenaga kerja wanita TKW Indonesia misalnya yang kerap ditimpa derita di luar negeri: menjadi korban pemerkosaan/pelecehan seksual, kekerasan, hingga gaji mereka yang tak dibayar majikannya, mestinya menjadi bahan advokasi bagi Kohati. Begitu pun masalah pembantu rumah tangga (PRT). Kita tahu, pekerjaan yang didominasi kaum perempuan ini hingga kini belum diakui statusnya sebagai tenaga kerja oleh dinas tenaga kerja. Akibatnya masih banyak PRT yang tak memeroleh upah layak atau UMP. Ini karena para majikan tidak dituntut oleh regulasi untuk memberi upah layak kepada para PRT-nya. TKW dan PRT hanya secuil dari beragam masalah perempuan di Indonesia yang menanti dan terus membutuhkan peran kohati untuk membela dan memperjuangkan mereka menggapai hak-haknya. Tentulah sejak didirikan, KOHATI mengalami tantangan zaman yang luar biasa mempengaruhinya. Almarhum Anniswati secara luar biasa pula pernah menuliskan bahwa ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian kita bersama dengan keberadaan lembaga ini. Hal tersebut antara lain peningkatan kualitas KOHATI secara periodik dan kontinue di tingkat pusat, regional dan cabang; kepemimpinan KOHATI yang handal, kompak dan terdiri atas berbagai disiplin ilmu, adanya pemanfaatan para alumniwati di setiap periode bagi perkembangan KOHATI; adanya pembinaan langsung dari HMI; serta berbagai program tukar informasi. Dikatakan luar biasa karena keseluruhan yang disebutkan oleh beliau masih dirasakan sampai sekarang.



4



B. RUMUSAN MASALAH Adapun masalah-masalah yang memicu penulisan makalah dengan mengambil judul ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana peran dan fungsi KOHATI dalam upaya mewujudkan masyarakat madani?. 2. Faktor dan langkah apa yang perlu dilakukan KOHAT dalam upaya mewujudkan masyarakat madani.? 3. Apa yang mempengaruhi sehingga KOHATI perlu berperan dalamupaya mewujudkan masyarakat madani.?



C. TUJUAN PENULISAN Selain rumusan masalah diatas, makalah ini pun ditulis dengan tujuan yaitu: 1. Memberikan pemahaman kepada kita semua mengenai peran dan fungsi KOHATI dalam upaya mewujudkan masyarakat madani 2. Memberikan pemahaman mengenai faktor dan langkah-langkah yang perlu dilakukan KOHATI dalam upaya mewujudkan masyarakat madani 3. Menjelaskan sebab-sebab mengenai perlunya KOHATI berperan dalam upaya mewujudkan masyarakat madani. 4. Sebagai syarat untuk mengikuti Latihan Khusus KOHATI (LKK) HMI Cabang Serang.



5



BAB II PEMABAHASAN



A. MASYARAKAT MADANI Civil society diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan sebutan masyarakat sipil atau masyarakat madani. Kata madani berasal dari kata Madinah, yaitu sebuah kota tempat hijrah Nabi Muhammad SAW. Madinah berasal dari kata “madaniyah” yang berarti peradaban. Oleh karena itu masyarakat madani berarti masyarakat yang beradab. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi norma, nilai-nilai, dan hukum yang ditopang oleh penguasaan teknologi yang beradab, iman dan ilmu. Menurut Nurcholis Madjid, masyarakat madani adalah masyarakat yang merujuk pada masyarakat Islam yang pernah dibangun Nabi Muhammad SAW di Madinah, sebagai masyarakat kota atau masyarakat berperadaban dengan ciri antara lain : egaliteran(kesederajatan), menghargai prestasi, keterbukaan, toleransi dan musyawarah. Menurut Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Allah (al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi “khairu ummah” karena mereka menjalankan amar ma’ruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. (Quraish Shihab, 2000, vol.2: 185). Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang kesatuan yang ditunjuk oleh ayat sebelumnya (lihat, QS. Ali Imran [3]: 105). Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik sebagaimana yang tercermin dalam QS an-Nahl [16]: 125. Dalam rangka membangun “masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan



6



umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya. Makna Civil Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278). Antara Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya. Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 8). Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15: Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan



7



bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”. B. MASYARAKAT MADANI DALAM SEJARAH Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu: 1. Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman. 2. Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. C. KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADANI Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya: 1.



Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.



2.



Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.



3.



Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.



4.



Terjembataninya



kepentingan-kepentingan



individu



dan



negara



karena



keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukanmasukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah. 5.



Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.



6.



Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.



7.



Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.



8



8.



Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial.



9.



Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.



10. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi kebebasannya. 11. Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut. 12. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial. 13. Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia. 14. Berakhlak mulia. Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingankepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience). Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani sbb: 1.



Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.



9



2.



Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugastugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.



3.



Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.



4.



Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembagalembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.



5.



Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.



6.



Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.



7.



Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya. Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon.



Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992). Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa: 1.



Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial.



2.



Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya.



10



Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.” Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya. 3.



Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumbersumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat. Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil, agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa. Masyarakat Sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris Civil Society yang



mengambil dari bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya Adam Ferguson merupakan salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society), yang kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat Madani. Gagasan masyarakat sipil



11



merupakan tujuan utama dalam membongkar masyarakat Marxis. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan diri individual dan pemenuhan maksudmaksud pribadi secara bebas, dan merupakan bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial) atau berbeda dari negara. Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu bidang politik (juga moral) dan bidang sosial ekonomi yang secara moral netral dan instumental (lih. Gellner:1996). Seperti Durkheim, pusat perhatian Ferguson adalah pembagian kerja dalam masyarakat, dia melihat bahwa konsekuensi sosio-politis dari pembagian kerja jauh lebih penting dibanding konsekuensi ekonominya. Ferguson melupakan kemakmuran sebagai landasan berpartisipasi. Dia juga tidak mempertimbangkan peranan agama ketika menguraikan saling mempengaruhi antara dua partisipan tersebut (masyarakat komersial dan masyarakat perang), padahal dia memasukan kebajikan di dalam konsep masyarakatnya. Masyarakat sipil dalam pengertian yang lebih sempit ialah bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik dalam konteks tatanan sosial di mana pemisahan seperti ini telah terjadi dan mungkin. Selanjutnya sebagai pembanding, Ferguson mengambil masyarakat feodal, dimana perbandingan di antara keduanya adalah, pada masyarakat feodal strata politik dan ekonomi jelas terlihat bahkan dijamin secara hukum dan ritual, tidak ada pemisahan hanya ada satu tatanan sosial, politik dan ekonomi yang saling memperkuat satu sama lain. Posisi seperti ini tidak mungkin lagi terjadi pada masyarakat komersial. Kekhawatiran Ferguson selanjutnya adalah apabila masyarakat perang digantikan dengan masyarakat komersial, maka negara menjadi lemah dari serangan musuh. Secara tidak disadari Ferguson menggemakan ahli teori peradaban, yaitu Ibnu Khaldun yang mengemukakan spesialisme mengatomisasi mereka dan menghalangi kesatupaduan yang merupakan syarat bagi efektifnya politik dan militer. Di dalam masyarakat Ibnu Khaldun militer masih memiliki peran dan berfungsi sebagai penjaga keamanan negara, maka tidak pernah ada dan tidak mungkin ada bagi dunianya, masyarakat sipil. Pada kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani sebagai padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara historis kita lebih mudah secara



langsung



masyarakatnya



me-refer



justru



kepada



banyak



“masyarakat”nya



mengandung



Ibnu



muatan-muatan



Khaldun.



Deskripsi



moral-spiritual



dan



mengunakan agama sebagai landasan analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat sipil



12



tidak sama dengan masyarakat Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Alatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah menjadi Medinah bermakna di sanalah din berlaku (lih. Alatas, 2001:7). Secara historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum. Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Alquran. Meski Alquran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat yang ideal kita dapat meneladani perjuangan rasulullah mendirikan dan menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di Madinah. Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw. beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab). Selang dua tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural, beliau kemudian melakukan beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani alNajjar dan lainnya yang beragam saat itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani. Dalam pandangan saya, setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam masyarakat madani. Pertama, diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah



13



keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi dalam pandangan Alquran. Pluralitas juga pada dasarnya merupakan ketentuan Allah SWT (sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran surat Al-Hujurat (49) ayat 13. Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Dalam ajaran Islam, pluralisme merupakan karunia Allah yang bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis. Ia (pluralitas) juga merupakan sumber dan motivator terwujudnya vividitas kreativitas (penggambaran yang hidup) yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan (Muhammad Imarah:1999). Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit akan tercipta manakala umat Islam memiliki sikap inklusif dan mempunyai kemampuan (ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan identitas sejati atas parameter-parameter autentik agama tetap terjaga. Kedua, adalah tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama Muslim maupun terhadap saudara non-Muslim. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain. Senada dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan Islam tidak semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun juga mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan seiring dan saling menghormati satu sama lain. Sebagaimana hal itu pernah dicontohkan Rasulullah Saw. di Madinah. Setidaknya landasan normatif dari sikap toleransi dapat kita tilik dalam firman Allah yang termaktub dalam surat Al-An’am ayat 108. Ketiga, adalah tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal dengan istilah musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep demokrasi dengan musyawarah, saya memandang dalam arti membatasi hanya pada wilayah terminologi saja, tidak lebih. Mengingat di dalam Alquran juga terdapat nilai-nilai demokrasi (surat As-Syura:38, surat Al-Mujadilah:11). Ketiga prinsip dasar setidaknya menjadi refleksi bagi kita yang menginginkan terwujudnya sebuah tatanan sosial masyarakat madani dalam konteks hari ini. Paling tidak hal tersebut menjadi modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan.



14



D. PERAN



DAN



FUNGSI



KOHATI



DALAM



UPAYA



MEWUJUDKAN



MASYARAKAT MADANI KOHATI sebagai salah satu pilar HMI, memiliki fungsi dan peran khusus dalam menjalankan misi organisasi. Bukan berarti menegasikan aspek gender, kekhususan gerakan KOHATI memang lebih tepat sebagai fasilitator pembelajaran atau pendidikan (educations), penguatan dan pemberdayaan (empowering), serta pendampingan atau pembelaan (advokasi) terhadap masyarakat khususnya kaum perempuan. Advokasi sebenarnya hanya membutuhkan dua syarat, berani dan punya ilmu. Di tengah situasi yang arahnya semakin sulit diprediksikan, belum lagi faktor internal organisasi yang mengalami kemunduruan (untuk tidak menyebut sebagai kejumudan atau kebekuan kreatifitas pikiran dan progresifitas gerakan), KOHATI dituntut untuk kembali merefleksikan, mengevaluasi dan memproyeksikan ulang tujuan, target serta metodologi dari setiap gagasan gerakannya. Mengurai permasalahan internal serta eksternal yang diasumsikan sebagai pangkal dari sunyinya gerakan KOHATI sekarang, belumlah cukup untuk memberikan jalan sehingga KOHATI benar-benar mampu mengobjektifikasikan nilai yang terkandung di dalam gagasan gerakannya. Membutuhkan sebuah analisis yang tajam serta perencanaan tindakan prediktif-visioner sehingga setiap gerakan KOHATI nantinya dapat mencapai hasil yang efektif. Di samping itu, satu hal penting bagi gerakan KOHATI mendatang adalah nilai yang menjadi fondasi dasar dari setiap gerakannya, ideologi. Ideologi, mungkin membutuhkan re-empowering untuk dapat menggerakan niat dan semangat KOHATI. Untuk menjawab permasalahan di atas, ideologi dan metodologi gerakan menjadi penting bagi gerakan KOHATI mendatang. Niat baik akan baik juga hasilnya jika dilaksanakan dengan cara yang baik dan benar (tepat). Bagi gerakan KOHATI, ilmu tentang sebuah cara dalam menjalankan ide sangat penting. Sebab dengan itulah tingkat keberhasilan sebuah gerakan dapat diukur dan dievaluasi. Gerakan KOHATI harus memuat tiga hal pokok, pendidikan, empowering, dan advokasi. Tiga hal pokok tadi harus terjangkau dalam satu jenis atau bentuk program kerja KOHATI. Membicarakan mengenai metodologi gerakan, dalam ruang yang terbatas ini tentu tidak dapat secara detil. Berikut beberapa kerangka terkait dengan metodologi gerakan (sederhana dan lebih subyektif, hasil refleksi lapangan). 1. Pemahaman terhadap realitas (fenomena atau fakta). 2. Menangkap fenomena, untuk menemukan noumena di baliknya.



15



a. Memilih dan melahirkan isu strategis, pengerjaan isu ini melingkupi pilihan proses (pendek, menengah,dan panjang). Isu dapat dianggap strategis apabila: b. Rasional, jangan hanya sebatas asumsi kosong dan main-main. Serius, berasarkan hasil pengamatan objektif di lapangan secara rasional. c. Relevan, sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang sedang terjadi. d. Signifikan (penting, berdampak). Jika dilaksanakan akan berdampak apa? Jika tidak ditanggapi dan dilaksanakan, dampaknya apa? (positiv dan negativ). e. Dapat dipantau dan dievaluasi. Isu dan gerakan yang tidak dapat dipantau serta dievaluasi akan sulit untuk menemukan kelemahan atau kekurangan dalam sebuah gerakan. Tidak dapat mengambil pelajaran dari kegagalan dan keberhasilan gerakan. 3. Isu yang harus menghegemoni. Isu tersebut, supaya dapat ditangkap, dicerna dan mempengaruhi masyarakat, maka isu tersebut harus bersifat hegemonik.[[5]] Bagaimana hegemoni itu? Sederhananya seperti ini. a. Artikulasi ke dalam (articulate in), maksudnya adalah bagaimana isu dapat terinternalisasi ke dalam diri para pengurus KOHATI. Frame yang sama dan pemahaman serta rencana yang sama terhadap tindak lanjut dan program kerj dalam rangka penanganan isu tersebut. b. Artikulasi ke bawah (articulate down), maksudnya bagaimana isu dan agendaagenda kerja gerakan dapat terinternalisasi dan didukung sepenuhnya dalam pelaksanaannya oleh anggota KOHATI yang berada di bawah atau di luar kepengurusan (komisariat, korkom, lembag lain, dll). c. Artikulasi



ke



yang



sejajar/silang



(articulate



across),



isu



juga



harus



ditransformasikan secara silang. Bagaimana isu dapat didengar, diperhatikan, difikirkan, diterima,kemudian dapat diajak bekerja sama di bawah gagasanpokok KOHATI olah gerakan atau organisasi-organisasi yang lain yang sejajar dengan KOHATI, khususnya gerakan atau organisasi-organisasi perempuan. d. Artikulasi ke atas (articulate on), isu harus ditransformasikan juga pada level yang lebih atas dari KOHATI (khususnya secara struktural dan relasional-struktural maupun non-relsional struktural). Isu harus mempengaruhi birokrasi-birokrasi (pemerintah desa, kabupaten, provinsi, kalau bisa pusat) dan lembaga-lembaga



16



keperempuanan yang lain yang sejajar dengan pemerintahan atau berada di bawah naungan pemerintahan. Artikulasi, menjadi sangat penting bagi sebuah gerakan sehingga selain penyampaian gagasan dari intelegensia dan masyarakat, juga sebagai upaya untuk melakukan hegemoni. Analisa dan Perencanaan. Dalam sebuah gerakan perlu adanya analisa yang tajam dan jeli terhadap pra-masalah, masalah dan akar masalah. Setelah dilakukan analisa, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh sebuah gerakan sebelum bekerja secara keras, secara tuntas dan ikhlas di lapangan (aksi kongkrit, pelaksnaan program kerja), adalah perencanaan yang detil dan matang. Di dalam ilmu organisasi sering kita mendengar atau mendapatkan bahkan mungkin sering menerapkan adanya SWOT dan POAC. Catatannya adalah, seringkali kita belajar teori dan belum tentu kita mencoba menerapkan teori. Apalagi mengkombinasikannya dengan potensi, kapasitas dan keadaan di luar secara kontekstual dan relevan, a. Analisa SWOT, pentingnya melihat kapasitas (internal) dan kerawanan (eksternal). SWOT merupakan analisa yang banyak dikembangkan di Jepang sebenarnya. Hingga kini telah banyak organisasi ataupun lembaga-lembaga baik pemerintah maupun nonpemerintah menggunakan SWOT dalam melihat potensi kapasitas dan kerawanan sebelum merencanakan sebuah tindakan. Pada wilayah internal terdapat kekuatan dan kelemahan, sedangkan pada wilayah eksternal terdapat peluang dan tantangan. SWOT membaca keempat hal tersebut. b. POAC (perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan kontrol. Supaya sistematis dan terarah serta terukur, POAC dibutuhkan dalam merancang atau mendesain agenda kerja (dalam hal ini realisasi gagasan KOHATI). Bagaimana gagasan yang ada diturunkan menjadi sebuah desain dan rancangan kerja yang sistematis serta terukur, kemudian hasil kerja difikirkan kembali dan menghasilkan desain yang berikutnya, dan seterusnya. Sehingga selalu ada penyempurnaan ketika terdapat kekurangan dan peningkatan ketika terdapat indikasi keberhasilan sebuah gerakan.



17



BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Untuk mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanya kesejahteraan umat maka kita sebagai generasi penerus supaya dapat membuat suatu perubahan yang signifikan. Selain itu, kita juga harus dapat menyesuaikan diri dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat sekarang ini. Agar di dalam kehidupan bermasyarakat kita tidak ketinggalan berita. Adapun beberapa kesimpulan yang dapat saya ambil dari pembahasan materi yang ada di bab II ialah bahwa di dalam mewujudkan masyarakat madani dan kesejahteraan umat haruslah berpacu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang diamanatkan oleh Rasullullah kepada kita sebagai umat akhir zaman. Sebelumnya kita harus mengetahui dulu apa yang dimaksud dengan masyarakat madani itu dan bagaimana cara menciptakan suasana pada masyarakat madani tersebut, serta ciri-ciri apa saja yang terdapat pada masyarakat madani sebelum kita yakni pada zaman Rasullullah. Selain memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat pada potensi manusia yang ada di masyarakat, khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di dalam diri manusia sangat mendukung kita untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena semakin besar potensi yang dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam maka akan semakin baik pula hasilnya. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki potensi yang kurang di dalam membangun agamanya maka hasilnya pun tidak akan memuaskan. Oleh karena itu, marilah kita berlomba-lomba dalam meningkatkan potensi diri melalui latihan-latihan spiritual dan praktek-praktek di masyarakat. Adapun di dalam Islam mengenal yang namanya zakat, zakat memiliki dua fungsi baik untuk yang menunaikan zakat maupun yang menerimanya. Dengan zakat ini kita dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat higga mencapai derajat yang disebut masyarakat madani. Selain zakat, ada pula yang namanya wakaf. Wakaf selain untuk beribadah kepada Allah juga dapat berfungsi sebagai pengikat jalinan antara seorang muslim dengan muslim lainnya. Jadi wakaf mempunyai dua fungsi yakni fungsi ibadah dan fungsi sosial. Maka diharapkan kepada kita semua baik yang tua maupun yang muda agar dapat mewujudkan masyarakat madani di negeri kita yang tercinta ini yaitu Indonesia. Yakni



18



melalui peningkatan kualiatas sumber daya manusia, potensi, perbaikan sistem ekonomi, serta menerapkan budaya zakat, infak, dan sedekah. Insya Allah dengan menjalankan syariat Islam dengan baik dan teratur kita dapat memperbaiki kehidupan bangsa ini secara perlahan. Demikianlah makalah rangkuman materi yang dapat kami sampaikan pada kesempatan kali ini semoga di dalam penulisan ini dapat dimengerti kata-katanya sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman di masa yang akan datang. . Sebuah thesis yang pernah dituliskan oleh seorang aktivis pergerakan perempuan, Shalah Qazan, di antaranya secara lantang, ia menuliskan bahwa suatu gagasan tanpa pergerakan akanlah lenyap dan terlupakan. Pergerakan tanpa mesin penggerak seperti suatu organisasi juga akan mati. Tentu kita juga sering mendengar sebuah pepatah yang amat terkait dengan thesis tersebut; suatu kebaikan yang tidak terorganisir akan dapat dikalahkan oleh suatu keburukan yang terorganisir. Demikian pula halnya dengan peranan KOHATI. Masyarakat di luar sana, baik secara lokal, nasional dan ataupun internasional banyak membahas berbagai isu tentang keperempuanan. Persoalan ini sudah menjadi persoalan setiap daerah, dan bahkan sampai menjadi isu internasional. HMI harus dapat merespons hal yang dimaksud. Salah satu yang diperlukan dalam melakukan perubahan itu adalah perluasan networking. Hal tersebut memerlukan sisterhood yang kuat. Sebagai suatu lembaga semi otonom yang ada di HMI, atau sebagai lembaga sayap keperempuanan yang ada di HMI tentulah kita tidak ingin ketinggalan isu. Perlu ada suatu pembahasan khusus tentang isu tersebut yang tertuang dalam suatu kelembagaan yang terstruktur, dan KOHATI-lah lembaga yang dipunyai HMI. Karenanya, sekali lagi ditekankan, gagasan tanpa pergerakan akan mati. Kita adalah perempuan yang sarjana dan sarjana yang perempuan. B. SARAN Semoga makalah yang kmai sajikan ini tidak membuat para peserta puas karena apa yang penulis susn masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mohon kritikan dan masukan yang bersifat membangun demi kedepannya lebih baik lagi. Yakusa...!!!!!!



19



Daftar Pustaka



PDK bab I pasal 1, 2 & 3 Pasal 57 ART HMI sekilas-mengenai-keberadaan-korp-hmi.



By



Betty



Epsilon



Idroos,



Ketua Kohati PB HMI periode 2006-2008 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika, (Yogyakarta: Tiara Wacana), 2006. Muhadi Sugiono, Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2006. Antonio Gramsci, Selections from Prison Notebooks, (London), 1971. Yudi Latief, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim di Indonesia, (Mizan).



20



21