Anak Semua Bangsa [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ANAK SEMUA BANGSA Karya Pramoedya Ananta Toer SINOPSIS Anak Semua Bangsa merupakan novel kedua dari tetralogi Buru. Annelis Mellema, istri Minke, meninggal saat akan dikirim ke Netherland. Mendengar kabar itu, Panji yang menjadi perawat Annelis sampai meninggal, dan Nyai Ontosoroh menenangkan Minke agar lepas dari dukacita. Kehidupan pun berjalan tanpa Annelis. Jean Marais, seniman Perancis, meminta Minke untuk belajar bahasa Melayu agar bisa menulis dengan bahasa Melayu. Lalu suatu hari Minke disuruh mewawancarai seorang pemuda dari Cina yang tergabung dalam organisasi angkatan pemuda Cina yang bernama Khow Ah Soe. Perkenalannya dengan Khow Ah Soe adalah sebuah perkenalan yang penting dalam kehidupan Minke sendiri. Banyak cerita pergerakan kaum terpelajar yang ia dengar di luar negeri yang semakin membuatnya bersemangat. Perjuangan di Filipina, Cina, membuatnya termotivasi selain tentunya dari Revolusi Perancis yang ia kagumi. Ia bisa mengenal bahwa saatnya kehidupan kaum muda mulai bergerak dan membawa perubahan. Tapi saat surat kabar hasil wawancara yang ia lakukan bersama Khow Ah Soe terbit, sangat berbeda dengan hasil yang ia kerjakan. Hal ini menyadarkannya bahwa Eropa yang selama ini dibelanya, tidak sebaik yang ia pikirkan. Masalah lain mulai bermunculan. Khow Ah Soe diburu polisi Hindia atas tuduhan penyelundupan ilegal. Akhirnya Khow Ah Soe dipersilakan tinggal bersama Minke dan sang mama. Tetapi tidak bertahan lama, Khow Ah Soe meninggal dunia atas penderitaan. Kepercayaan Minke akan Belanda yang selama ini diagung-agungkan semakin pudar. Minke berusaha lebih mengenal bangsanya. Apalagi saat ia pergi dari Wonokromo dan tinggal sementara bersama petani bernama Trunodongso. Ia semakin mengenal kehidupan pribumi yang sengsara dengan kolong-kolong kolonialisme Belanda. Pertemuannya dengan Trunodongso membuat matanya semakin terbuka dengan kehidupan pribumi yang sangat terimpit akan adanya kolonialisme. Trunodongso adalah seorang petani yang memiliki beberapa anak dengan kehidupan yang sulit diakibatkan oleh pabrik gula pada masa itu. Tanah yang dimiliki oleh Trunodongso lama-lama berkurang karena digerus oleh perkebunan gula. Minke sempat tinggal bersama keluarga itu dan Minke dengan jelas melihat dan merasakan bagaimana kehidupan kolonial benar-benar membuat pribumi sulit dalam hidup. Minke menulis catatan mengenai keluarga ini dan berniat akan memuatnya dalam Koran SN/VD. Namun tulisan tersebut tidak sempat dipublikasikan karena itu jelas mengganggu kelangsungan pabrik gula. Selain itu, Koran SN/VD juga merupakan koran yang dibawahi oleh perusahaan gula. Saat kembali bertemu sang mama di Wonokromo, Minke diberitahu bahwa ternyata Robert, anak lain mama, sudah meninggal dan memiliki anak dengan gadis bernama Minem. Kepulangan Minke juga tersambut dengan datangnya Letnan kolonel Ir. Maurits Mallema, saudara tiri Annelis sekaligus pemegang perwaliannya. Selama ini warga tidak tahu bahwa Annelis ternyata dibunuh oleh saudara tirinya sendiri yaitu Maurits demi perebutan warisan, hak perkebunan dan peternakan. Seluruh warga mencerca Maurits, tetapi lelaki itu pergi meinggalkan rumah Minke dan Mama tanpa kejelasan. TANGGAPAN Pramoedya mengisahkan secara apik bagaimana pergolakan yang terjadi lewat tokoh Minke. Setelah pada Bumi Manusia adalah tahap penjajakan atas apa yang penjajahan dan



kekaguman atas Eropa, dalam Anak Semua Bangsa ini, mengisahkan bagaimana Minke mendapatkan sebuah pengalamna yang ia lihat sendiri bagaimana kekuasaan kolonial yang begitu mengimpit kehidupan pribumi. Secara keseluruhan, latar dan tokoh digambarkan dengan rinci. Latar fungsional karena mempengaruhi jalan cerita yang memang masih tentang zaman hindia belanda, kepercayaan yang lebih besar kepada bangsa eropa yang akhirnya beralih ke negara sendiri.



SINOPSIS Novel Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer menggambarkan penderitaan rakyat Jawa dibawah pemerintahan Belanda yang licik dan haus kekuasaan. Dari sudut pandang Minke, seorang penulis pribumi yang begitu mendewakan Eropa, kita dapat melihat kembali sejarah bangsa Indonesia, serta bercermin melihat diri sendiri. Kita diajak menelusuri pikiran Minke yang terombang-ambing dalam keyakinannya, sampai akhirnya sadar bahwa ia harus turun dan memperhatikan bangsanya sendiri. Minke kehilangan istrinya, Annelies Mellema, pada bagian awal novel. Sahabatnya, Panji Darman atau Robert Jan Dapperste-lah yang menemani Annelies sampai ajalnya di Belanda. Banyak surat dikirimkan oleh Panji Darman untuk Minke dan mertuanya, Nyai Ontosoroh. Selama waktu ini, Minke dan mertuanya (Mama) saling mendukung untuk lepas dari dukacita. Pandangan Minke akan dunia dan bangsa-bangsa yang ada di dalamnya dipengaruhi oleh para temantemannya yang kebanyakan orang Eropa, karena ia sendiri adalah lulusan HBS. Ia sering berkirim surat dan bertukar pikiran dengan keluarga De la Croix (Sarah, Miriam, Herbert), Salah satu sahabatnya, Jean Marais, adalah seorang seniman berkebangsaan Prancis. Suatu hari ia meminta Minke untuk menulis dalam bahasa Melayu, dengan tujuan agar bangsanya sendiri dapat membaca karya Minke. Minke terkejut dan merasa terhina, ia merasa rendah apabila harus menulis dalam Melayu. Karena percakapan ini, hubungannya dengan Marais menjadi dingin. Hanya karena Maysaroh, anak Jean, Minke akhirnya mau berbaikan dengan Jean. Selanjutnya, Minke diminta Maarten Niijman, atasannya di S.N. v/d D., untuk mewawancarai Khouw Ah Soe dalam Bahasa Inggris, seorang aktivis dari Cina yang berusaha membangunkan bangsanya dari mimpi-mimpi mereka. Ia dapat melihat Jepang mulai menyamai kedudukan negara-negara Eropa. Tetapi betapa terkejutnya Minke, saat harian itu terbit, yang tercetak berbeda sekali dengan wawancara dan tulisan yang telah ia kerjakan! Artikel tersebut berisi tuduhan pada Khouw Ah Soe yang mengatakan dirinya seorang pelarian. Kejadian ini menyadarkan Minke bahwa Eropa yang selama ini ia agung-agungkan tidak selamanya benar. “Eropa tidak lebih terhormat daripada kau sendiri, Nak! Eropa lebih unggul hanya di bidang ilmu, pengetahuan dan pengendalian diri. Lebih tidak, “ jelas Mama kepadanya. “Kalau mereka bisa disewa siapa saja yang bisa membayarnya, mengapa iblis takkan menyewanya juga?” Sepertinya semesta belum mengijinkan Minke untuk tenang, karena setelah itu Kommer, teman Jean Marais, mendukung apa yang telah Jean katakan sebelumnya. Selama ini Kommer telah menerjemahkan tulisan Minke ke dalam bahasa Melayu. Kommer mengatakan bahwa Minke tidak mengenal bangsanya sendiri, karena selama ini ia melihat keadaan dari kacamata Eropa. Minke tidak terima dikatai seperti itu, tapi ia tidak dapat membuktikan sebaliknya juga. Karena masih diselimuti kesedihan, Minke dan Mama lalu memutuskan untuk berlibur ke Tulangan, Sidoarjo, kampung halaman Mama. Mereka menginap di rumah Sastro Kassier, saudara Mama. Mata Minke menjadi terbuka akan kenyataan bangsanya. Dulu Mama dijual untuk menikahi Tuan Administratur Mellema. Kini Surati, anak Sastro Kassier, terpaksa menikahi Tuan Administratur Vlekkenbaaij karena jebakan orang Belanda itu. Untungnya Surati sengaja menularkan cacar dari kampung sebelah pada Vlekkenbaaij. Jadilah Vlekkenbaaij meninggal, dan Surati yang dulu jelita kembali ke rumah dengan borok di wajahnya. Kepercayaan Minke akan Belanda mulai pudar, ia makin bertekad untuk mengenal bangsanya. Maka menginaplah ia selama beberapa hari di rumah salah satu petani, Trunodongso, yang tinggal bersama



dengan istri dan empat anaknya. Trunodongso bercerita kepadanya mengenai kecurangan-kecurangan pemerintah Belanda yang sering memaksa dan tidak menepati janji, sementara para petani tidak bisa berbuat apa-apa untuk menuntut hak mereka. Minke berjanji pada Trunodongso akan membantunya dengan jalan menuliskan penderitaannya. Selain itu ia juga menulis tentang Surati. Tetapi saat ingin menerbitkan tulisannya tentang Trunodongso, Niijman menolak. Minke putus asa, memutuskan melanjutkan studinya di Betawi untuk menjadi dokter. Di tengah perjalanan di laut, ia bertemu dengan Ter Haar yang menceramahinya cara kerja dan tujuan penjajahan Belanda di Hindia. Minke hampir berkunjung ke kantor koran lokal di Semarang untuk menulis lagi. Sayang, ia malah dijemput polisi untuk kembali ke Wonokromo, rumah Mama. Mama mempunyai berita untuk Minke. Robert, anaknya yang lain, telah meninggal karena sakit dan ternyata mempunyai anak dengan salah satu gadis desa bernama Minem. Anak itu dinamai Rono. Mama menampung Minem, tapi pada akhirnya Minem pergi dan meninggalkan anak tersebut di Wonokromo. Saat Minke pulang, Mama harus berhadapan dengan anak resmi Tuan Administratur Mellema, Ir. Maurits Mellema. Karena perebutan warisanlah Annelies meninggal. Dengan bantuan penjaga keamanan Mama (Darsam), Minke, Jean Marais dan anaknya, serta Kommer, Mama mempertahankan dirinya dan rumahnya. Novel ditutup dengan Maurits Mellema menunda pengusiran mereka dari rumah. Melewati peristiwa-peristiwa tersebut, bertemu dengan berbagai macam orang dan opininya masingmasing, telah mengubah total cara berpikir Minke. Eropa dulu diagung-agungkannya, Eropa tak pernah salah, Eropa bisa maju dengan ilmu pengetahuannya, sedangkan pribumi hanya bisa disuruh. Dengan bantuan sahabat-sahabatnya, pada akhirnya ia melihat juga kebusukan-kebusukan Eropa. Ia belajar, ternyata sikap seseorang tidak ditentukan oleh kebangsaannya. Ia sadar, sebagai pribumi yang terpelajar yang menguasai banyak bahasa, ia merupakan salah satu dari segelintir yang bisa menggerakkan dan memajukan bangsanya sendiri. “Semua yang terjadi di bawah kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir.”



Sinopsis (Ringkasan Cerita) Novel Anak Semua Bangsa Cerita diawali dengan kisah Annelis yang harus pergi ke negeri Belanda atas perintah pengadilan berdasarkan tuntutan Ir. Maurits Mellema. Pram mengisahkan kejadian ini lewat surat-surat Panji Darman kepada Minke dan Nyai Ontosoroh. Diceritakan bahwa Annelis sakit keras selama di perjalanan. Sesampainya di Belanda, ia meninggal dunia pasca beberapa hari dirawat di rumah sakit. Meninggalnya Ann membuat Minke dan Nyai Ontosoroh benar-benar terpukul. Tapi keduanya bertekad untuk terus berjuang. Minke sendiri masih tinggal di rumah Nyai meski beberapa kali menyatakan ingin pergi. Ia merasa tak berkembang di hadapan seorang wanita luar biasa yang menjadi mertuanya itu. Sedangkan di sisi lain, Nyai berusaha untuk menahannya tetap tinggal di Wonokromo. Karena masih bimbang, Minke meneruskan aktivitasnya menulis. Dan di sini, ia mendapat kritik pedas dari dua sahabatnya, Jean dan Kommer. Jean Marais, misalnya, mengatakan ia tak mengenal bangsanya sendiri. Ia menyindir Minke yang hanya mau menulis dengan Bahasa Belanda dan tak mau menulis dalam Bahasa Melayu. Minke tersinggung. Selama ini, ia merasa sangat terpelajar seperti orang Belanda karena menggunakan bahasa tersebut. Ia mengira pemakaian Bahasa Melayu akan merendahkan dirinya seperti pribumi kebanyakan. Jean yang dulunya serdadu kumpeni itu balik menanyakan pada Minke mengenai perlakuan Belanda pada dirinya. Apakah Belanda berpihak ke pribumi? Lantas untuk apa menggunakan bahasa yang hanya dimengerti Belanda, bukannya pribumi?Bukankah dengan menggunakan bahasa pribumi, dia akan dibela oleh sesama kaumnya?Bukankah dulu Kommer yang indo itu juga membela Minke dengan koran berbahasa Melayu? Perdebatan panas itu membuat keduanya marah satu sama lain. Tapi anak Jean, Maysaroh berhasil meluluhkan kedua sahabat itu untuk berbaikan lagi. Minke juga sedikit banyak terpengaruh kritikan sahabatnya. Apalagi saat koran Belanda tempatnya menulis (S.N v/d D) mempublikasikan tulisan palsu yang menyerang seorang China yang ia kagumi, Kow Ah Sue. Kow Ah Soe adalah seorang pejuang kemerdekaan China yang pergi ke Indonesia untuk menghimpun peranakan China supaya bangkit melawan penjajahan di negaranya. Ia ingin China meniru Jepang yang saat itu mulai bangkit dan mampu duduk sama setara dengan bangsa kulit putih. Rupanya, hal ini dibenci pemerintah kolonial Belanda termasuk medianya karena dianggap akan memprovokasi pribumi melakukan hal yang sama. Tulisan wawancara Minke pada Ah Soe diubah total oleh S.N v/d D menjadi pemberitaan yang sangat mendiskreditkan pejuang dari negeri tirai bambu tersebut. Minke kecewa, dan pandangannya bahwa Belanda adalah bangsa yang beradab mulai goyah. Ah Soe sendiri jadi target pengejaran karena dianggap membahayakan. Suatu hari, ia datang ke tempat Nyai Ontosoroh dan Minke. Minke menjelaskan duduk perkaranya. Nyai pun dengan segera menaruh simpati pada pemuda tersebut dan bersedia melindunginya dengan menempatkannya di bawah pengawasan Darsam. Di sisi lain, Kommer juga mulai memanasi Minke. Ia mengatakan bahwa sahabatnya itu lebih kenal Belanda dibanding kaumnya sendiri. Saat diajak Nyai Ontosoroh berlibur ke kampung halamannya di desa sekitar Pabrik Gula Tulangan, Minke bertekad untuk menjawab kritik Kommer dan Jean. Ia sendiri mulai sadar bahwa ia memang tak kenal dengan bangsanya sendiri. Ia sadar akan status dirinya sebagai anak priyayi pengagum Belanda yang lupa akar dirinya sebagai kaum terjajah. Berjalan-jalan di suatu sore di sekitar pabrik gula, Minke mendengar ada keributan. Ia mendapati ada seorang petani yang sedang mengamuk. Pelan-pelan, Minke mendekatinya dan mencoba mencari tahu apa yang membuat petani jawa yang biasanya ramah dan nrimo menjadi beringas seperti itu. Rupanya, akar permasalahannya terjadi tatkala si petani yang bernama Trunodongso hendak digusur sawah dan rumahnya oleh pabrik gula. Uang gantinya juga sangat sedikit dan tak sepadan dengan tanah yang harus diserahkan. Tapi Belanda terus mengancam. Ia pun menjadi satu-satunya petani yang bertahan di antara teman-temannya yang akhirnya menyerah. Minke membuat laporan peristiwa tersebut dan berjanji akan membantu Truno. Tapi lagilagi, saat kembali ke kota, laporannya disingkirkan oleh koran tempatnya bekerja. Rasa percayanya pada Belanda pun raib. Pada satu malam, Nyai dan Minke mendapat kabar meninggalnya Kow Ah Soe saat pemuda tersebut mencoba meneruskan misinya di Indonesia. Dalam suasana berkabung, tiba-tiba pintu rumah mereka diketuk. Dan ternyata, Truno yang datang dengan luka menganga di tubuhnya akibat bentrok dengan pabrik gula Belanda. Nyai bersedia membantu keluarga petani itu. Apalagi setelah tahu bahwa modal usaha dari suaminya dulu kemungkinan besar berasal dari dirampasnya tanah kaum tani. Nyai Ontosoroh berpikir bahwa pabrik tersebut berhutang pada semua petani yang digusur suaminya saat menjabat menjadi pimpinan pabrik Tulangan. Selain bertekad menampung keluarga Truno, ia juga bertekad membuatkan sekolah untuk kaum tani. Pada saat itu juga, secara mengejutkan Nyai meminta Minke untuk ke Batavia dan melanjutkan sekolah di sana. Minke menyetujui rencana dadakan tersebut dengan senang meski bimbang melihat Nyai harus mengurus Truno sendiri. Tapi ia tetap berangkat. Sayangnya, belum lama ia di kapal, ia diminta untuk kembali. Ada sesuatu dari



Nyai yang sangat mendesak: Ir. Maurits Mellema datang ke Hindia Belanda dan kemungkinan besar akan merampas harta Nyai Ontosoroh dan pabriknya. Tak punya pilihan lain, Minke akhirnya kembali ke Buitenzorg Wonokromo. Tapi tahu bahwa mereka akan kalah, Minke hanya memanggil sahabatnya (Jean dan Kommer) untuk menyambut kedatangan Ir. Maurits Mellema. Ketika yang bersangkutan datang (sekaligus untuk mengembalikan pakaian Annelis yang tertinggal di Belanda), Minke, Nyai, sampai Jean mengkonfrontir orang tersebut. Dicap sebagai pembunuh dan perampas harta orang, Maurits Mellema terdiam dan murka karena merasa terhina. Ia pun meninggalkan Wonokromo untuk sementara waktu sembari diirangi tangis May yang baru tahu bahwa Annelis telah mati di Belanda. Pasrah, Nyai tak berharap banyak. Tapi Minke mengatakan, “Kita sudah melawan, Ma. Meski hanya dengan mulut.” Dan dengan kalimat itulah novel ini diakhiri.