Analisis Kasus Pendidikan Teori Sosial Budaya [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ANALISIS KASUS PENDIDIKAN BERDASARKAN TEORI SOSIAL BUDAYA Kasus Melonjaknya Angka Siswa Bunuh Diri akibat Tekanan Pembelajaran Jarak Jauh melalui Perspektif Durkhemian Suicide



Dosen Pengampu: Ali Imron, S. Sos., M. A Anggota Kelompok: Ivenna Salsa Windika (19041344014) Cindy Arinda Diah Pratama (19041344023) Iqlima Nurjannah (19041344042) Andi Setiawan (19041344036)



PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN IPS FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA 2020



Abstrak Bunuh diri merupakan kasus yang banyak ditemui dalam masyarakat. Emile Durkheim seorang tokoh sosiologi klasik membahas perihal kejadian bunuh diri yang terjadi di masyarakat disebabkan karena pengaruh integrasi sosial. Durkheim tertarik untuk melakukan penelitian terhadap kejadian bunuh diri di lingkungannya dan membukukannya dalam buku tulisannya Suicide a Study in Sociology. Semenjak munculnya wabah baru ditahun 2019, sistem kehidupan manusia mengalami banyak perubahan, khususnya perubahan pada sistem pembelajaran luring menjadi daring. Sistem baru ini memicu berbagai masalah sosial yang muncul akibat ketidakmampuan individu dalam bertahan dengan sistem yang baru. Kasus bunuh diri kembali mencuat sebagai akibat pelaksanaan sistem pembelajaran baru secara jarak jauh.



A. PENDAHULUAN Kasus bunuh diri sudah ditemukan sejak ribuan tahun lalu tepatnya pada zaman kekaisaran yunani kuno, kala itu bunuh diri dianggap sebagai perbuatan yang salah karena tidak memaknai arti hidup, jenazah orang yang bunuh diri tersebut tidak akan dikubur selayaknya jenazah-jenazah yang lain. Pada masa sekarang ini kasus bunuh diri juga masih marak terjadi, penyebabnya beragam mulai dari depresi hingga gangguan kepribadian. Namun berdasarkan riset 50% pelaku bunuh diri tidak sedang mengalami gangguan kejiwaan, hal ini menimbulkan banyaknya sebab-sebab lain yang mengakibatkan seseorang memilih jalan untuk mengakhiri hidupnya. Emile Durkheim, seorang tokoh sosiologi klasik tertarik untuk melakukan penelitian terhadap kasus bunuh diri. Dalam bukunya yang berjudul Suicide a Study in Sociology, Durkheim mengemukakan dengan jelas bahwa penyebab bunuh diri adalah pengaruh dari integrasi sosial. Teori ini muncul ketika orang-orang disekitar Durkheim melakukan bunuh diri, yang kemudian Durkheim tertarik untuk menjadikannya bahan penelitian di berbagai negara mengenai hal tersebut. Durkheim mendefinisikan bunuh diri sebagai kematian yang secara langsung atau tidak langsung merupakan hasil dari tindakan positif atau negatif dari sang korban itu sendiri, (Suicide, 1897). Durkheim menjelaskan bahwa empat tipe bunuh diri di dasarkan pada dua kekuatan sosial, yakni integrasi sosial (kemampuan individu untuk terikat pada tatanan masyarakat) dan regulasi moral (aturan atau norma-norma yang mengatur kehidupan individu). Empat tipe bunuh diri yang dibedakan Durkheim antara lain; egoistik, altruistik, anomik, dan fatalistik. Dewasa ini kasus bunuh diri kembali mencuat di media berita. Namun menariknya hal ini terjadi disebabkan karena suatu hal yang sama. Sejak munculnya virus corona yang merebak di seluruh dunia, menyebabkan tatanan sosial setiap negara berubah. Hal ini dilakukan untuk mengatasi penyebaran virus yang sangat cepat. Perubahan-perubahan



yang terjadi secara cepat menyebabkan manusia mengalami ketimpangan dalam menyesuaikan kehidupannya. B. DESKRIPSI KASUS I.



Siswi kelas 2 SMA Negeri 18 di Gowa, Sulawesi Selatan tewas usai menenggak racun akibat beban tugas daring, MI ditemukan di dalam kamarnya dengan kondisi mulut berbusa, korban tewas diduga karena bunuh diri dengan cara meminum racun rumput. Polisi mengamankan barang bukti berupa cangkir the berisi cairan biru, dan ponsel dengan rekaman video korban tengah menenggak racun. Penyebab korban bunuh diri (diduga) akibat depresi dengan banyaknya tugas-tugas daring dari sekolahnya dimana korban sering mengeluh kepada rekanrekan sekolahnya atas sulitnya akses internet di kediamannya yang menyebabkan tugas-tugas daringnya menumpuk, (Kompas.com, 2020).



II.



Siswa SMP berusia 15 tahun di Tarakan, Kalimantan Utara. NA nekat bunuh diri karena stress dengan tekanan pembelajaran jarak jauh. Siswa tersebut ditemukan gantung diri di kamar mandi tempat tinggalnya. Pemicu korban bunuh diri adalah banyaknya tugas sekolah daring yang menumpuk yang belum dikerjakan korban sejak tahun ajaran baru, padahal syarat mengikuti ujian akhir semester adalah mengumpulkan seluruh tugas tersebut. Ibu korban mengaku bahwa anaknya yang pendiam ini mengalami kesulitan memahami pelajaran lewat sistem PJJ. Pada fase awal PJJ korban masih bisa mengatasi hal ini karena materi sebelumnya telah diajarkan disekolah, namun seiring berjalannya waktu beban penugasan lebih banyak daripada materi yang diajarkan. Sehari sebelum kejadian, korban mendapatkan surat dari pihak sekolah mengenai tagihan tugas dari 11 mata pelajaran. Korban yang merasa tertekan akan hal tersebut memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, (Tribun Manado, 2020).



III.



Seorang siswi miskin di India ditemukan meninggal dunia setelah diketahui bunuh diri. Korban diduga meminum racun untuk mengakhiri hidupnya, diduga DE melakukan aksi bunuh diri akibat takut ketinggalan kelas selama masa lockdown yang terjadi di India. Hal ini lantaran keluarganya tak memiliki cukup uang untuk membeli kuota internet. Ayah korban diketahui sedang tidak bekerja lantaran sakit, ia juga menjelaskan putrinya mengalami depresi karena tidak bisa mengikuti pembelajaran online. Dari keterangan ayahnya, DE selalu mengatakan agar membetulkan televisi, agar setidaknya mampu mengikuti kelas yang disiarkan melalui tv, namun ayahnya menerangkan bahwa sedang tidak memiliki uang untuk memperbaiki televisi, apalagi membelikan ponsel. Diberitakan dari India Today, saat dilakukan investigasi mereka menemukan catatan yang ditinggalkan DE “Saya Pergi”, ucapnya. (Line Today, 2020).



C. ANALISIS Berdasarkan studi kasus diatas mengenai berbagai kejadian bunuh diri disebabkan hal yang berbeda, masing-masing korban memiliki masalahnya sendiri, mulai dari terbatasnya aspek internet, menumpuknya tugas daring, hingga keterbatasan biaya untuk memiliki ponsel dan akses internet. Namun hal tersebut bersumber dari satu masalah yang sama, yakni sistem pembelajaran jarak jauh. Penelitian terhadap kasus bunuh diri yang dilakukan oleh Durkheim, menghasilkan hasil statistik berupa data yang dikumpulkan dari kasus bunuh diri. Dari data yang dikumpulkan tersebut Durkheim membuat kesimpulan bahwa gejala-gejala psikologis sebenarnya tidak berpengaruh terhadap kecenderungan seseorang untuk melakukan bunuh diri. Menurut Durkheim peristiwa-peristiwa bunuh diri sebenarnya merupakan kenyataankenyataan sosial tersendiri sehingga dapat dijadikan sarana penelitian dengan menghubungkannya terhadap struktur sosial dan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat. Jika dilihat dari kasus yang diangkat, kejadian bunuh diri tersebut memang tidak semata-mata terjadi karena gejala psikologis, namun didasari oleh kenyataan sosial yang dihadapi korban yakni kesulitan mendapatkan aspek internet untuk pembelajaran jarak jauh, kesulitan memahami materi dan mengerjakan tugas, hingga kesulitan biaya untuk memiliki ponsel dan kuota internet. Kenyataan-kenyataan sosial yang dihadapi korban tersebut lalu dihubungkan dengan struktur serta derajat integrasi sosial masyarakat, yakni korban merasa tidak mampu survive dengan kehidupannya dan masyarakat sekitar. Bunuh diri sendiri melalui perspektif Durkhemian dibagi menjadi 4 tipe yakni egoistik, altruistik, anomik, dan fatalistik. Tipe bunuh diri egoistik adalah bunuh diri yang diakibatkan karena terlalu sedikitnya integrasi sosial yang berhasil dilakukan oleh individu, dimana individu tidak mampu bercakap dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Kedua adalah tipe bunuh diri altruistic, yakni bunuh diri yang disebabkan karena adanya integrasi sosial yang terlalu kuat, hal ini menyebabkan individu kehilangan pandangan terhadap keberadannya sendiri, dan mendorong mereka melakukan sebuah pengorbanan demi kepentingan-kepentingan kelompoknya. Ketiga adalah tipe bunuh diri anomi, yakni bunuh diri yang terjadi karena keadaan anomi(tanpa aturan) ketika individu masih berada pada norma lama, sementara lingkungannya telah mengalami perubahan norma-norma baru, hal ini menjadikan individu tidak memiliki pegangan hidup, kehilangan cita-cita, tujuan dan norma dalam hidupnya. Tipe keempat adalah tipe bunuh diri fatalistic, yakni bunuh diri diakibatkan seseorang kehilangan kebebasannya karena merasa tertekan dengan adanya norma, aturan, keyakinan dan nilai-nilai baru dalam masyarakat. Dari beberapa kasus diatas, jika dilihat berdasarkan tipe bunuh diri yang di klasifikasikan oleh Durkheim, maka termasuk dalam tipe anomi dan fatalistik. Bunuh diri tipe anomi muncul karena keadaan anomi, tidak adanya peraturan sehingga seseorang kehilangan arah dalam kehidupan sosialnya. Seperti yang kita ketahui sekolah merupakan



lembaga sosial yang memiliki seperangkat aturan atau tata tertib di dalamnya, aturan ini berfungsi untuk mengatur seluruh warga sekolah untuk mencapai ketertiban dalam sekolah. Ketika proses pembelajaran di sekolah ditiadakan, maka secara otomatis sistem dan tata aturan dalam sekolah tidak lagi berlaku, siswa tidak lagi memili aturan yang paten dalam melakukan kegiatan pembelajaran (anomi), namun tetap memiliki kewajibannya sebagai siswa. Ketika pembelajaran jarak jauh dilaksanakan tanpa adanya aturan-aturan yang mengikat, namun diselingi dengan kewajiban yang harus dituntaskan, maka akan tercipta kondisi individu yang kehilangan arah. Pada kasus pertama dan ketiga, korban memiliki permasalahan berupa akses internet yang tidak terjangkau, serta tidak memiliki media untuk mengikuti pembelajaran karena keterbatasan ekonomi, di sisi lain korban memiliki kewajiban untuk menuntaskan kewajibannya bersekolah dan mengerjakan tugas, namun hal ini terhambat karena kondisi anomi, yang menyebabkan korban kehilangan arah, cita-cita, pegangan hidup, dan tujuan, yakni korban mengalami kebingungan untuk kembali melangsungkan kehidupannya, karena menemui jalan buntu maka korban memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Durkheim menjelaskan kondisi ini sebagai gangguan moral dimana manusia tidak mengetahui batas-batas keinginannya, dan terus menerus dalam keadaan kekecewaan. Jika berkaca pada kasus kedua, kasus ini memiliki tipe bunuh diri yang berbeda. Diketahui korban mengalami tekanan yang hebat akibat beban materi yang tidak dipahaminya dan beban tugas yang terus menumpuk, beban ini semakin menggila ketika pihak sekolah mengiriminya surat peringatan dan menginformasikan ke korban agar segera menyelesaikan tagihan tugasnya yang berjumlah 11 mata pelajaran, hal ini juga berujung mengenai ancaman korban tidak dapat mengikuti ujian akhir jika seluruh penugasan tidak dikumpulkan segera, korban terbayangi jika ia tidak bisa menamatkan sekolah menengah pertama, mengingat korban duduk di kelas 9 SMP. Akibat permasalahan tersebut, korban merasakan frustasi, sebenarnya korban telah mengalami kesulitan sejak awal pembelajaran daring, namun orang tua tidak mampu membantu korban. Ketika pihak orang tua meminta tolong kepada pihak sekolah, sekolah hanya memberi keringanan berupa perpanjangan waktu pengumpulan, dimana solusi ini tidak selaras dengan permasalahan yang sedang dialami korban. Karena keadaan yang semakin memburuk, korban merasakan tekanan dalam hidupnya, hal ini menyebabkan korban memilih untuk mengakhiri hidupnya. Maka tipe bunuh diri ini diklasifikasikan Durkheim sebagai bunuh diri fatalistik. Ditinjau melalui paradigma perilaku sosial dengan pendekatan behavioristik oleh Skinner, stimulan yang diterima individu, akan menyebabkan individu melakukan tindakan-tindakan tertentu dengan konsekuensi-konsekuensi tertentu. Munculnya respons yang diberikan individu sebagai akibat dari adanya penguatan, pada dasarnya penguatan dalam behavioristik dibagi menjadi dua; penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan positif disebabkan oleh stimulus yang mendukung dan menghasilkan respons yang baik (positif). Sementara penguatan negatif disebabkan oleh stimulus yang merugikan (tidak menyenangkan), dan menghasilkan respons yang buruk (negatif). Dalam kasus tersebut tampak bahwa guru sebagai pihak stimulan, memberikan stimulasi



yang buruk kepada siswanya, guru yang seharusnya membimbing dan memberi stimulus positif, justru cenderung acuh dan memberikan ancaman peringatan. Hal ini menyebabkan siswa mendapat penguatan negatif. Dan berujung tindakan bunuh diri yang dilakukan siswanya. Hubungan dalam metode pengukuran etika terdapat tiga metode: empiris deskriptif, fenomenologi, dan normatif. Melalui metode empiris deskriptif, fenomena bunuh diri baik anomi dan fatalistik, dihubungkan dengan fakta moral yang ada di masyarakat, dan sejarah atau budaya. Metode fenomenologi menetapkan fenomena bunuh diri berhubungan dengan kesadaran korban dalam melakukan bunuh diri, dalam kasus tersebut dapat diketahui bahwa secara sadar korban melakukan bunuh diri dikarenakan korban sempat merekam kejadian saat ia menenggak racun, dan korban juga menulis serta meninggalkan catatan sebagai tanda kepergiannya. Sementara metode normatif menempatkan fenomena bunuh diri berhubungan dengan norma-norma yang hanya bisa diterima golongan tertentu pada tempat tertentu, yakni kemampuan korban dalam menerima norma-norma tata kelakuan (mores) yang ada di sekolahnya saja.



D. KESIMPULAN Bunuh diri merupakan suatu perbuatan yang dilakukan dan terjadi karena pengaruh dari integrasi sosial. Bunuh diri masuk dalam suatu kenyataan sosial karena dapat diteliti dengan cara dihubungkan dengan struktur sosial dan derajat integrasi sosial. Perubahan norma di masyarakat yang drastis menyebabkan beberapa individu tidak mampu bertahan dengan norma-norma yang baru, karena masih terpengaruh dan tidak bisa lepas dengan norma yang lama, baik dalam keadaan anomi, maupun keadaan yang memaksakan dan menekan (fatalistik). Individu yang mengalami hal-hal tersebut berpotensi untuk mengambil jalan keluar berupa suicide, dengan harapan segala ketidak mampuan, keputusasaan dan segala tekanan yang dialaminya hilang. Hal tersebut tidak semata-mata dilakukan karena gangguan psikologis, namun individu yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, sebagian besar didasari oleh berbagai kenyataan sosial yang dihadapi oleh korban suicide.



E. REFERENSI Durkheim, E. (1952). SUICIDE: A Study in Sociology. Routledge. Kota, W. (2020, Oktober 30). Tribun Manado. Retrieved from manado.tribunnews.com: https://manado.tribunnews.com/2020/10/30/terjadi-lagi-siswa-smp-bunuh-diri-karenatekanan-belajar-daring-pjj-tugas-numpuk-disorot-kpai?page=all Mashabi, S. (2020, Oktober 23). KOMPAS.com. Retrieved from nasional.kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2020/10/23/15110441/siswi-bunuh-diri-didugadepresi-karena-tugas-sekolah-daring-kpai-surati?page=all Mustaqim. (n.d.). PARADIGMA PERILAKU SOSIAL DENGAN PENDEKATAN BEHAVIORISTIK. 5-9. Ritzer, G. (2014). Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Depok: PT RajaGrafindo Persada. Style, T. (2020, Juni 08). Line Today Intermezzo. Retrieved from today.line.me: https://today.line.me/id/v2/article/lny1We