Analisis Keunggulan Komparatif Dan Kompetitif Usahatani Jagung Dan Padi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA



ZULKIFLI MANTAU



SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009



SURAT PERNYATAAN



Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis



saya yang berjudul: ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA



merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.



Bogor, Agustus 2009



Zulkifli Mantau NRP. H353070191



ABSTRACT



ZULKIFLI MANTAU. The Analysis of Comparative and Competitive Advantages of Maize and Paddy Farming in Kabupaten Bolaang Mongondow, North Sulawesi Province (HARIANTO as a Chairman and NUNUNG NURYARTONO as a Member of the Advisory Committee). The aims of this research are : (1) to analyze the profitability of maize and paddy farming in Kabupaten Bolaang Mongondow, (2) to analyze the comparative and competitive advantages of maize and paddy farming in Kabupaten Bolaang Mongondow, (3) to analyze the impact of government policy on competitiveness of maize and paddy farming in Kabupaten Bolaang Mongondow, (4) to analyze the price changed sensitivity of input, output and wage of labor on comparative and competitive advantages of maize farming in Kabupaten Bolaang Mongondow. The analysis method use a Policy Analysis Matrix (PAM). The PAM results showed that private and social profitability of maize farming are Rp. 218 926 and Rp. 3 045 938. Private Cost Ratio of maize and paddy farming were 0.97 and 0.69. Domestic Resources Cost Ratio of maize and paddy farming were 0.65 and 0.68. Based on the results of Output Transfer and Nominal Protection Coefficient on Output can be indicated that output price in domestic market was lower than output price in international market. Based on the results of Input Transfer and Nominal Coefficient on Input can be indicated that there’s subsidy policy impact in input price of maize farming. In additional, factor transfer result indicated that there’s tax policy impact in domestic factors. The result of Effective Protection Coefficient of maize (0.80) indicates that there’s low protection of maize product in Bolmong. Net Transfer result was negative. The profitability rates of maize farming just only 7 percent in private price. Subsidy Ratio to Producers was negative. It means that there’s a high budget of production budget of maize farming, especially in private factor. Finally, based on sensitivity analysis can be shown that the ninth scenario (fertilizer price decreased 10 percent and output price increased 30 percent) was the best scenario with result of private and social profitabilities, PCR and DRCR are Rp. 3 027 171/ year and Rp. 6 849 398/ year, 0.69 and 0.46.



Keywords :



comparative and competitive advantages, maize and paddy farming, Policy Analysis Matrix



RINGKASAN



ZULKIFLI MANTAU. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow Propinsi Sulawesi Utara (HARIANTO sebagai Ketua, dan NUNUNG NURYARTONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Pemerintah Indonesia menargetkan swasembada jagung pada tahun 2007 setelah pencanangan kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) pada tahun 2005. Selanjutnya pemerintah daerah Propinsi Sulawesi Utara menyambut RPPK 2005 tersebut dengan meluncurkan Crash Program Agribisnis, dimana ditetapkan beberapa komoditas pertanian dan perikanan yang menjadi prioritas utama untuk ditumbuh kembangkan yaitu jagung, rumput laut dan VCO (Virgin Coconut Oil). Mengacu dari strategi kedua kebijakan RPPK yaitu peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah dan kemandirian produksi dan distribusi PPK melalui praktek usaha pertanian yang baik (good agriculture practice), maka perlu dilakukan penelitian dan atau kajian mengenai aspek daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) khususnya komoditi jagung di Bolaang Mongondow yang merupakan sentra jagung di Sulawesi Utara selain juga terkenal sebagai lumbung berasnya Sulawesi Utara, agar dapat dirumuskan suatu kebijakan yang sesuai (langkah-langkah intervensi) untuk pengembangan komoditas unggulan tersebut, dimana sasaran akhirnya tidak terlepas dari faktor peningkatan produksi dan kesejahteraan petani (berhubungan dengan strategi pertama yaitu pengurangan kemiskinan dan kegureman petani). Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis aspek profitabilitas usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang Mongondow, (2) menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang Mongondow, (3) menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing usahatani jagung dan padi di Bolaang Mongondow, dan (4) menganalisis sensitivitas perubahan harga input, output dan upah tenaga kerja terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung di Bolaang Mongondow. Metode analisis menggunakan Policy Anylisis Matrix (PAM). Dengan PAM dapat diketahui nilai profitabilitas privat dan sosial, Private Cost Ratio (PCR) untuk rasio keunggulan kompetitif, Domestic Resources Cost Ratio (DRCR) untuk rasio keunggulan komparatif dan aspek divergensi atau dampak kebijakan yang terdiri dari Output Transfer (OT), Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO), Input Transfer (IT), Nominal Coefficient on Input (NPCI), Factor Transfer (FT), Effective Protection Coefficient (EPC), Profitability Coefficient (PC) dan Surplus Ratio to Producer (SRP). Dari 100 orang petani responden diperoleh hasil usia rata-rata sebesar 45 tahun dengan pendidikan terakhir umumnya sekolah dasar (49 persen). Petani responden di lima kecamatan lokasi penelitian (Poigar, Bolaang, Bolaang Timur, Lolayan dan Lolak) semuanya bermata pencaharian utama dari kegiatan usahatani, baik tanaman pangan, peternakan maupun perkebunan. Sebagian besar petani merupakan pemilik lahan, hanya satu kecamatan saja yang keseluruhan



petaninya tidak memiliki lahan atau hanya menggarap (HGU) yaitu di Kecamatan Lolak (Desa Lolak II). Hasil analisis PAM menunjukkan profitabilitas privat usahatani jagung dan padi masing-masing sebesar Rp. 218 926 dan Rp. 3 870 106 dengan RCratio sebesar 1.02 dan 1.39, sedangkan provitabilitas sosial masing-masing sebesar Rp. 3 045 938 dan Rp. 3 446 567 per dua musim tanam dengan RC-ratio sebesar 1.33 untuk jagung dan 1.37 untuk padi. Berdasarkan nilai PCR dapat dikemukakan bahwa usahatani jagung memerlukan 0.97 satuan untuk dapat bersaing dengan usahatani padi yang hanya memerlukan tambahan biaya faktor domestik pada harga privat sebesar 0.69 satuan. Nilai DRCR usahatani jagung menunjukkan bahwa setiap US $ 1.00 yang dibutuhkan untuk mengimpor produk tersebut, hanya membutuhkan biaya domestik sebesar US $ 0.65, artinya untuk memenuhi kebutuhan domestik, maka komoditas jagung sebaiknya di produksi sendiri di Bolaang Mongondow dan tidak perlu didatangkan atau diimpor dari daerah atau negara lain. Demikian halnya dengan usahatani padi yang memiliki nilai DRCR sebesar 0.68. Sehingga dapat dikemukakan bahwa kedua komoditas tersebut lebih menguntungkan diproduksi di dalam Kabupaten Bolaang Mongondow daripada mengimpornya. Selanjutnya berdasarkan analisis dampak kebijakan dalam Tabel PAM diperoleh hasil untuk usahatani jagung nilai OT negatif (Rp. -3 016 041.83) dengan NPCO 0.75 sedangkan usahatani padi nilai OT positif (Rp. 944 028.37) dengan NPCO 1.07. Hasil ini menunjukkan harga domestik jagung lebih rendah dari harga internasionalnya sebaliknya harga domestik padi (beras) lebih tinggi dari harga internasionalnya, yang mengindikasikan adanya kebijakan disinsentif terhadap output jagung (pajak komoditas). Hasil IT baik usahatani jagung maupun padi samasama negatif, yaitu Rp. -1 219 818.82 dan Rp. -785 522.96 dengan NPCI masingmasing 0.64 dan 0.62. Hasil ini menunjukkan secara implisit adanya subsidi terhadap faktor input yang besarannya 64 persen untuk jagung dan 62 persen untuk padi. Sebaliknya hasil FT yang positif, yaitu Rp. 1 030 788.26 untuk jagung dan Rp. 1 306 012.31 untuk padi menunjukkan adanya subsidi sebesar nilai-nilai tersebut terhadap faktor domestik masing-masing usahatani. Nilai EPC untuk jagung lebih kecil dari satu (0.80) sedangkan padi lebih besar dari satu (1.16) yang menunjukkan adanya kebijakan proteksi terhadap komoditi padi (beras). Nilai NT dan SRP usahatani jagung yang negatif menunjukkan adanya pengurangan surplus produsen (petani) dan tingginya biaya produksi, dengan rasio keuntungan pada harga privat hanya sebesar 7 persen (PC). Berdasarkan analisis sensitivitas maka kebijakan yang dapat diambil pemerintah daerah pada usahatani jagung di Bolaang Mongondow adalah dengan menurunkan harga pupuk sebesar 10 persen dan menaikkan harga output sebesar 30 persen (skenario ke-9). Kata kunci :



keunggulan komparatif dan kompetitif, Policy Analysis Matrix, usahatani jagung dan padi



© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB



ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA



ZULKIFLI MANTAU



Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian



SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009



Penguji Luar Komisi: Dr. Ir. Heny K.S. Daryanto, M.Ec



Judul Tesis



: Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow Propinsi Sulawesi Utara



Nama Mahasiswa



:



Zulkifli Mantau



Nomor Pokok



:



H353070191



Mayor



:



Ilmu Ekonomi Pertanian



Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing



Dr. Ir. Harianto, MS Ketua



Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS Anggota



Mengetahui,



2. Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian



3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB



Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA



Prof. Dr. Ir. Khairil A.Notodiputro, MS



Tanggal Ujian Tesis : 13 Juli 2009



Tanggal Lulus: 4 September 2009



KATA PENGANTAR



Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, atas rakhmat dan hidayah-Nya sehingga Tesis Program Magister Sains ini dapat terselesaikan. Tesis ini mengkaji dan mengulas mengenai aspek-aspek daya saing serta kebijakan bagi usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang Mongondow Propinsi Sulawesi Utara. Dengan selesainya tesis ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.Ir. Harianto, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr.Ir. Nunung Nuryartono, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan arahan, saran serta pemikirannya dari awal penulisan proposal sampai dengan penyelesaian tesis ini. Terima kasih yang sama penulis sampaikan pula kepada Dr.Ir. Heny K.S. Daryanto, M.Ec selaku penguji luar komisi.



Banyak terima kasih penulis sampaikan juga kepada : 1. Kepala Badan Litbang Pertanian – Deptan serta Kepala BPTP Sulawesi Utara yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melanjutkan pendidikan S-2 di IPB. 2. Prof.Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Koordinator serta seluruh staf dosen dan pegawai Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian SPS – IPB (mba Rubi, mba Yani, mba Aam, Ibu Kokom, Pak Husen) yang telah banyak membantu dan memberikan bimbingan, wawasan kepada penulis selama kuliah di EPN - IPB.



3. Para Penyuluh Pertanian Lapangan, Ketua GAPOKTAN, Kepala Desa dan petani responden di Desa Poigar, Bolaang, Langagon, Lolayan dan Lolak II yang telah banyak membantu penulis memperoleh data dan informasi selama penelitian lapang berlangsung.



4. Saudara Aryanto, SPt dan Ben Kumontoi yang telah membantu penulis saat pengambilan data lapang. 5. Para staf di dinas pertanian, dinas perdagangan propinsi dan kabupaten, bea cukai Pelabuhan Bitung dan Gorontalo, Pelindo Bitung, BPS Propinsi, Direktorat Bina Pasar Departemen Perdagangan, yang telah banyak membantu dalam penyediaan dan penelusuran data-data. 6. Teman-teman EPN angkatan 2007 : Adhi Setyanto, Ferryanto W.K, Narta, M.Suryadi, Ambar Kurniawan, Roni Afrizal, Desi Aryani, Dian Hafizah, Wanti Fitrianti, Asri, Wiwik Hidayati, atas bantuan dan dorongan semangatnya. 7. Teman-teman peneliti, penyuluh serta staf administrasi di BPTP Sulut atas segala bantuan yang diberikan. Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Papi Abdullah Mantau (Alm) dan yang teristimewa untuk Mami tercinta Hj. Kartin Ali atas doa, dukungan dan perhatiannya. Kepada Istri terkasih Salmah Tirajoh serta dua permata hati Zahra dan Raya yang telah dengan sabar menanti dan mendoakan penulis. Kepada Kakak-kakakku Abdul Halim dan Mercy atas doa dan dukungannya. Akhirnya, semoga tesis ini dapat lebih memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan penelitian di Indonesia.



Bogor, Agustus 2009 Zulkifli Mantau



RIWAYAT HIDUP



Penulis dilahirkan di Manado pada tanggal 6 Juni 1974 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Drs.Abdullah Mantau (Alm) dengan Ir.Hj.Kartin Ali. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SD Laboratorium IKIP Negeri Manado pada tahun 1986, kemudian pendidikan menengah di SMP Laboratorium IKIP Negeri Manado pada tahun 1989 dan SMA Negeri 7 Manado pada tahun 1992. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi Manado dan meraih gelar sarjana pada tahun 1997. Penulis bekerja sebagai staf peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara sejak April 1998. Pada tahun 2007 memperoleh kesempatan melanjutkan pendidikan S-2 pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui beasiswa dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia.



DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................... ............



xiv



DAFTAR GAMBAR ................................................................. ............



xvi



DAFTAR LAMPIRAN ............................................................... ............



xvii



PENDAHULUAN .................................................................................



1



1.1.



Latar Belakang ...........................................................................



1



1.2.



Perumusan Masalah ...................................................................



5



1.3.



Tujuan Penelitian ......................................................................



6



1.4.



Manfaat Penelitian ....................................................................



7



1.5.



Ruang Lingkup Penelitian ...........................................................



7



1.6.



Keterbatasan Penelitian ..............................................................



8



II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................



9



I.



2.1.



Teori Keunggulan Komparatif dan Kompetitif ..........................



9



2.2.



Kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan .....



15



2.3.



Penelitian Terdahulu ..................................................................



18



III. KERANGKA PEMIKIRAN ..................................................................



22



3.1.



Kerangka Pemikiran Analisis ....................................................



22



3.2.



Policy Analysis Matrix ...............................................................



25



IV. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................



28



4.1.



Waktu dan Lokasi Penelitian ......................................................



28



4.2.



Data dan Sumber Data ...............................................................



28



4.3.



Prosedur Penelitian dan Metode Pengambilan Contoh ...............



30



4.4.



Metode Analisis .........................................................................



32



4.5.



Metode Penentuan Harga Bayangan ...........................................



38



4.5.1. Harga Bayangan Output ..................................................



39



4.5.2. Harga Bayangan Lahan ..................................................



39



4.5.3. Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan ............



40



4.5.4. Harga Bayangan Tenaga Kerja .......................................



41



4.5.5. Harga Bayangan Suku Bunga Modal .............................. 42 4.5.6. Harga Bayangan Nilai Tukar Rupiah .............................. 42 4.6.



Analisis Sensitivitas ...................................................................



43



V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................



47



5.1.



Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...........................................



47



5.2.



Karakteristik Petani Responden ..................................................



49



5.3.



Struktur Pendapatan Petani dan Kepemilikan Lahan ..................



53



5.4.



Justifikasi Harga Bayangan .........................................................



56



5.4.1. Harga Bayangan Output .................................................. 57 5.4.2. Harga Bayangan Lahan .................................................. 58 5.4.3. Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan ........... 58 5.4.4. Harga Bayangan Tenaga Kerja ...................................... 61 5.4.5. Harga Bayangan Suku Bunga Modal ............................. 63 5.4.6. Harga Bayangan Nilai Tukar Rupiah ............................. 63 5.5.



Profitabilitas Privat dan Sosial ....................................................



64



5.6.



Keunggulan Komparatif dan Kompetitif ...................................



69



5.7.



Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah ....................................



73



5.7.1. Kebijakan Output ............................................................ 74 5.7.2. Kebijakan Input ............................................................... 78 5.7.3. Kebijakan Input-Output ................................................. 85 5.8.



Analisis Sensitivitas ...................................................................



88



VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ................................



92



6.1.



Kesimpulan ................................................................................



92



6.2.



Implikasi Kebijakan ...................................................................



93



DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................



95



LAMPIRAN ........................ ................................................................... 100



xiii



DAFTAR TABEL



Nomor



1.



Halaman



Perkembangan Produksi dan Luas Tanaman Padi dan Jagung di Sulawesi Utara Tahun 2003 – 2005 .............................................................. 21



2. Policy Analysis Matrix .......................................................................................... 27 3. Persentase Kenaikan Harga Jagung kurun waktu Tahun 1991 – 2006 ....... 46 4. Curah Hujan selang Tahun 2004 – 2008 ........................................................... 47 5. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Lapangan Usaha Tahun 2007 ................. 48 6.



Luas Tanam Usahatani Tanaman Pangan Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2007 ..................................................................... 49



7. Karakteristik Usia Petani Responden................................................................. 50 8. Karakteristik Pendidikan Terakhir Petani Responden.................................... 51 9. Status dan Peranan Anggota Keluarga .............................................................. 53 10.



Sebaran Petani Responden Menurut Luas Lahan Garapan Usahatani Jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2009.......... 54



11. Struktur Pendapatan Rumah tangga Tani Responden .................................... 55 12. Rekap Harga Sewa Lahan Rata-Rata di Lokasi Penelitian ........................... 58 13.



Rekap Harga Privat dan Sosial Sarana Produksi Usahatani Jagung di Lokasi Penelitian ............................................................................................... 60



14.



Rekap Harga Privat dan Sosial Upah Tenaga Kerja Tidak Terampil Usahatani Jagung ................................................................................. 62



15.



Hasil Analisis Policy Analysis Matrix Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow .................................................................. 66



16.



Hasil Perhitungan Privat Cost Ratio dan Domestic Resource Cost Ratio Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow ................ 69



17.



Output Transfer dan Nominal Protection Coeficient on Output Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow ................ 74



xiv



18.



Retribusi Distribusi Komoditi Kabupaten Bolaang Mongondow sesuai Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2001 ............................................ 76



19.



Input Transfer, Nominal Protection Coeficient Input dan Factor Transfer Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow ................ 79



20.



Rata-Rata Harga Beli Pupuk “Bersubsidi” pada Lima Lokasi Penelitian di Kabupaten Bolaang Mongondow ............................................... 80



21.



Effective Protection Coefficient, Net Transfer, Profitability Coeficient dan Susidy Ratio to Producers Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow .................................................................. 85



22. Analisis Sensitivitas Usahatani Jagung di Bolaang Mongondow ................ 89



xv



DAFTAR GAMBAR



Nomor



Halaman



1. Dua Belas Pilar Competitiveness ........................................................................ 14 2. Tahapan-Tahapan dalam Membangun Competitiveness ............................... 14 3. Hubungan Tingkat Pendidikan Petani dengan Jenis Usahatani ................... 52



xvi



DAFTAR LAMPIRAN



Nomor



Halaman



1. Peta Lokasi Penelitian ...................................................................................... 101 2. Rekap Pendapatan Rata-Rata Rumah tangga Tani Responden di Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2008..................................102 3. Analisis Finansial dan Ekonomi Usahatani Jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2008 ........................................................103 4. Analisis Finansial dan Ekonomi Usahatani Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2008 ........................................................105 5. Koefisien PAM Usahatani Jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow ............................................................................107 6. Koefisien PAM Usahatani Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow ............................................................................108 7. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditi Unggulan Sulawesi Utara Tahun 2002 - 2007 .......................................................109 8. Pola Tanam Usahatani Jagung dan Padi secara Umum di Lokasi Penelitian ...............................................................................................110



xvii



I.



1.1.



PENDAHULUAN



Latar Belakang



Sampai kurun waktu 1976 Indonesia masih termasuk salah satu negara pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah kurun waktu tersebut, dari negara pengekspor menjadi negara pengimpor (net importer) (Swastika, 2002; Nuryartono, 2005). Hal ini berkaitan erat dengan pola konsumsi yang lambat laun berubah, dimana jagung tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok (pangan) namun juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri, khususnya pakan ternak (Nuryartono, 2005). Tercatat kebutuhan jagung nasional untuk bahan baku pakan ternak pada tahun 2005 saja sudah mencapai 4.5 juta ton dan diprediksi akan meningkat setiap tahunnya (WWF Indonesia, 2008). Sedangkan sampai akhir tahun 2007 kebutuhan jagung nasional secara keseluruhan sebesar 13.8 juta ton, dimana 13.2 juta ton merupakan produksi dalam negeri sementara 600 ribu ton diimpor dari negara lain. Adapun peningkatan permintaan terhadap komoditas jagung tersebut diperkirakan mencapai 2.40 persen per tahun (Antara News, 2007). Kebijakan swasembada beras selama ini menempatkan beras sebagai produk pangan utama di Indonesia, sementara jagung menjadi second commodity dalam tatanan produk pangan di Indonesia. Hal ini tidaklah mengherankan karena sejak era orde lama komoditi padi (dalam hal ini beras) telah memiliki peran strategis terutama menyangkut isu ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan stabilitas politik.



2



Kebijakan perberasan nasional kemudian dimantapkan dalam GBHN 1999 – 2004, yang mengatur landasan utama perumusan kebijakan perberasan nasional (Puslitbangtan, 2005). Selanjutnya kebijakan perberasan nasional semakin dipermantap dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (INPRES) No. 3 Tahun 2007 dan No.1 Tahun 2008 tentang Kebijakan Perberasan Nasional. Dimana pada intinya mengatur mengenai: (1) harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah (kering panen dan kering giling), beras dan stabilisasi harga beras, (2) fasilitasi pupuk untuk usahatani padi, (3) penyaluran beras bersubsidi serta sasarannya, (4) masalah ekspor dan impor beras, dan (5) menyangkut koordinasi dan instruksi bagi kementrian dan departemen terkait serta pemerintah daerah.



Selanjutnya jagung lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri baik untuk pakan ternak maupun bio-energi, daripada antisipasi ketahanan pangan. Sehingga aspek regulasi pun tidak semantap dan sekonsisten kebijakan perberasan. Alasan yang mendasari perubahan isu dari kepentingan pangan menjadi kepentingan industri pakan adalah semata-mata sebagai antisipasi dari perkembangan industri ternak Indonesia yang semakin pesat. Sebagai gambaran umum bahwa kapasitas produksi Perusahaan Makanan Ternak (PMT) di Indonesia, sekitar 6 908 000 ton per tahun. Apabila 50 persen berat bahan bakunya adalah jagung, berarti setiap tahun memerlukan pasokan hampir 3.5 juta ton. Dengan rata-rata produksi jagung hibrida 5 ton per ha dan 2 kali tanam per tahun, ini berarti untuk memenuhi kebutuhan PMT saja akan diperlukan lahan sekitar 350 000 ha per tahun (Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha Kecil Bank Indonesia, 2008).



3



Menurut Gabungan Perusahaan Makanan Ternak Indonesia (GPMTI) proyeksi kebutuhan jagung untuk pakan ternak akan naik dari 3.5 juta ton per tahun menjadi 7 juta ton per tahun dalam kurun waktu tahun 2004 – 2010 (Departemen Perindustrian, 2004). Data FAO menunjukkan bahwa produksi jagung nasional pada tahun 2006 sebesar 11 610 646 ton dengan luas areal panen sebesar 3 346 427 ha (FAO, 2008). Sedangkan Produksi jagung Sulawesi Utara pada tahun 2006 menurut data BPS, sebesar 406 759 ton dengan luas areal panen sebesar 115 664 ha (Badan Pusat Statistik, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 30 persen dari produksi jagung nasional tersebut tersedot oleh kebutuhan pabrik pakan ternak, dan ini akan meningkat terus setiap tahunnya sesuai dengan proyeksi dari GPMTI. Sementara produksi jagung Sulawesi Utara hanya memberikan kontribusi sekitar 12 persen dari total kebutuhan jagung untuk pakan ternak. Seiring kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan pada tahun 2005, pemerintah Indonesia kemudian memandang optimis akan perkembangan jagung ini dengan menargetkan swasembada jagung pada tahun 2007 (Nuryartono, 2005). Antisipasi ini dimungkinkan mengacu pada pertumbuhan produksi jagung lima tahun terakhir (2000-2004) yang besarnya 4.24 persen per tahun dan laju peningkatan kebutuhan yang besarnya 2.74 persen per tahun (Badan Litbang Pertanian, 2005 dalam Suryana, 2006). Target pemerintah ini tidak lepas dari kebijakan umum RPPK, dimana strategi kedua adalah peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah dan kemandirian produksi dan distribusi PPK melalui praktek usaha pertanian yang baik (good agriculture practice) (Departemen Pertanian, 2005).



4



Selanjutnya pemerintah daerah Propinsi Sulawesi Utara menyambut RPPK 2005 tersebut dengan meluncurkan Crash Program Agribisnis, dimana ditetapkan beberapa komoditas pertanian dan perikanan unggulan yang menjadi prioritas utama untuk ditumbuhkembangkan yaitu jagung, rumput laut dan kelapa dalam bentuk Virgin Coconut Oil (VCO). Mengacu dari strategi kedua kebijakan RPPK tersebut (aspek daya saing komoditas unggulan), maka perlu dilakukan penelitian dan atau kajian mengenai aspek daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) khususnya komoditi jagung di Bolaang Mongondow yang merupakan salah satu wilayah sentra jagung di Sulawesi Utara selain juga terkenal sebagai “lumbung berasnya” Sulawesi Utara. Komoditas jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow sejak tahun 2006 mengalami peningkatan produksi yang signifikan. Tahun 2005 tercatat produksi total jagung Bolmong sebesar 69 000 ton, meningkat menjadi 110 670 ton pada tahun 2006, selanjutnya naik menjadi 119 282 ton pada tahun 2007 dan tahun 2008 meningkat lagi menjadi 126 857 ton (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bolaang Mongondow, 2006 dan 2008). Peningkatan produksi tersebut diikuti oleh peningkatan luas areal tanam, luas areal panen dan produktivitasnya. Pada tahun 2006 luas areal tanam, luas areal panen dan produktivitas jagung berturut-turut masih sebesar 38 692 ha, 36 835 ha dan 30.15 ton per ha. Kemudian meningkat pada tahun 2008 sebesar 38 813 ha, 37 839 ha dan 35.50 ton per ha (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bolaang Mongondow, 2006 dan 2008). Bahkan pada tahun 2007 sebanyak 2000 ton jagung Bolmong telah diekspor ke Davao, Phillipina (Harian Komentar, 2 Juni 2007).



5



Peningkatan luas areal tanam, luas areal panen, produktivitas dan produksi jagung di Bolaang Mongondow selama kurun waktu tiga tahun terakhir terjadi karena sejak dicanangkannya Crash Program Agribisnis Sulawesi Utara jagung dipacu dan diangkat menjadi komoditas unggulan, sehingga bisa lebih memiliki daya saing serta membuka peluang untuk ekspor (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bolaang Mongondow, 2006 dan 2008).



1.2.



Perumusan Masalah



Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan ekspor hasil pertanian dapat dikelompokkan dalam tiga aspek, yaitu: (1) permasalahan yang timbul sebagai konsekuensi kebijaksanaan pemerintah yang diambil selama ini, (2) permasalahan yang berkaitan dengan sifat-sifat yang melekat pada komoditas pertanian, dan (3) permasalahan yang berkaitan dengan kebijaksanaan perdagangan yang dilakukan oleh partner dagang. Permasalahan-permasalahan ini perlu diatasi dalam upaya pengembangan ekspor hasil pertanian guna meningkatkan penerimaan ekspor dengan melakukan reorientasi kebijaksanaan ekspor dan kebijaksanaan pembangunan pertanian (Dillon dan Suryana, 1990 dalam Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara, 2000). Di lain pihak, untuk mengembangkan komoditas ekspor pertanian perlu mempertimbangkan aspek keunggulan komparatif dan kompetitifnya, sehingga tercipta pewilayahan komoditas yang benar-benar mencerminkan kemampuan suatu wilayah dalam menghasilkan komoditi pertanian serta mampu menangkap peluang pasar.



6



Berhubungan dengan hal tersebut, hasil penelitian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Utara pada tahun 1999 menunjukkan komoditas jagung di Bolaang Mongondow memiliki keunggulan komparatif dengan nilai Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) sebesar 0.53, sedangkan padi memiliki nilai DRCR sebesar 0.61 (BPTP Sulut, 2000). Sementara itu, selama kurun waktu hampir 10 tahun tidak banyak diperoleh informasi terbaru mengenai tingkat keunggulan komparatif maupun kompetitif usahatani jagung serta padi di wilayah tersebut. Apakah telah mengalami peningkatan atau bahkan penurunan, sebab keunggulan komparatif bersifat dinamis dan sewaktu-waktu keunggulan yang dimiliki tersebut dapat diambil alih oleh komoditas lain. Padahal informasi atau data ini sangat penting tersedia sebagai acuan bagi pemerintah daerah dalam menentukan arah kebijakan atau langkah-langkah intervensi guna pengembangan komoditas jagung tersebut dalam rangka mensukseskan Crash Program Agribisnis Propinsi Sulawesi Utara. Berdasarkan permasalahan tersebut memunculkan beberapa pertanyaan bahwa apakah usahatani jagung yang dilakukan selama ini masih memiliki keunggulan komparatif dan bagaimana keunggulan kompetitifnya dengan komoditas lain yang merupakan kompetitor utama di Bolaang Mongondow, yaitu padi ? Selanjutnya, bagaimana kontribusinya terhadap tingkat pendapatan petani di Kabupaten Bolaang Mongondow ?



1.3.



Tujuan Penelitian



Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan pada bagian 1.1. dan 1.2. maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut:



7



1. Menganalisis aspek profitabilitas usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang Mongondow 2. Menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang Mongondow. 3. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing usahatani jagung dan padi di Bolaang Mongondow. 4. Menganalisis sensitivitas perubahan harga input, output dan upah tenaga kerja terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung di Bolaang Mongondow.



1.4.



Manfaat Penelitian



Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan masukan dan informasi bagi pihak pengambil kebijakan daerah tentang sejauh mana atau seberapa besar keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung serta padi di Kabupaten Bolaang Mongondow saat ini. Sehingga dapat dirumuskan langkah kebijakan selanjutnya mengenai program revitalisasi jagung khususnya di Kabupaten Bolaang Mongondow, terutama dalam hal penentuan kadar intervensi pemerintah terhadap usahatani tersebut.



1.5.



Ruang Lingkup Penelitian



Lingkup pokok bahasan dalam penelitian ini meliputi analisis komparatif dan kompetitif usahatani jagung dan padi yang meliputi perhitungan/ penentuan Domestic Resource Cost Ratio (DRCR), Private Cost Ratio (PCR), analisis keuntungan baik sosial maupun privat serta aspek dampak kebijakan pemerintah



8



yang mempengaruhi daya saing jagung serta padi. Keseluruhan indikator tersebut akan menunjukkan seberapa besar tingkat daya saing (komparatif dan kompetitif) dari usahatani jagung serta padi di Kabupaten Bolaang Mongondow. Disamping itu, pengamatan lebih difokuskan pada tingkat usahatani dan bukan pada tingkat/skala industri besar seperti industri pakan ternak yang memanfaatkan jagung sebagai bahan baku utamanya.



1.6.



Keterbatasan Penelitian



Adapun keterbatasan dalam penelitian ini adalah : 1.



Penelitian ini hanya dibatasi pada analisis komparatif dan kompetitif termasuk profitabilitas sosial dan privat serta dampak kebijakan sesuai hasil Policy Analysis Matrix (PAM) untuk perumusan suatu kebijakan.



2.



Keterbatasan informasi atau kegagalan informasi dari pedagang pengumpul mengenai harga beli riil jagung di tingkat petani serta keterbatasan informasi dari pihak birokrat sebagai alasan untuk pengamanan program daerah.



3.



Batas-batas wilayah administratif yang belum jelas sebagai akibat proses pemekaran wilayah yang belum tuntas menyebabkan kesulitan dalam hal koordinasi dan validasi data sekunder terutama data potensi serta luas lahan dan pertanaman jagung secara total di Kabupaten Bolaang Mongondow.



4.



Penentuan input-input tradable serta validitas harga yang berlaku di Kabupaten Bolaang Mongondow khususnya dan Sulawesi Utara pada umumnya.



9



II.



2.1.



TINJAUAN PUSTAKA



Teori Keunggulan Komparatif dan Kompetitif



Teori ini disinggung pertama kali oleh Adam Smith kemudian diperkaya dan dikembangkan oleh David Ricardo pada awal abad ke 19, sehingga untuk menggambarkan teori ini secara umum, maka sering digunakan istilah “Ricardian Model” (Gonzalez, 2004). Gonzalez (2004) mengemukakan bahwa terdapat kesalahpahaman dalam mengartikan keunggulan komparatif. Pertama, prinsip dari keunggulan komparatif adalah sangat kontra-intuitif. Banyak hasil dari model formal mengandung kontroversi secara logika. Kedua, teori tersebut sangat mudah untuk membawa kebingungan dengan dugaan lain mengenai keuntungan, yang dikenal dalam teori perdagangan sebagai teori keunggulan absolut. Dasar pemikiran dari keunggulan absolut cukup intuitif. Kebingungan antara dua konsep teori ini membuat banyak orang untuk berpikir bahwa mereka paham keunggulan komparatif dalam faktanya, padahal yang dipahami adalah keunggulan absolut. Dalam penjelasan mengenai teori keunggulan komparatif sering disajikan dalam bentuk matematis, menggunakan contoh-contoh numerik atau representasi diagrammatic untuk menggambarkan hasil dasar dan implikasi terdalam dari teori tersebut. Bagaimanapun, teori tersebut mudah untuk dilihat secara matematik, tanpa perlu memahami intuisi dasar dari teori tersebut. Selanjutnya dikemukakan bahwa disebabkan ide dasar dari keunggulan komparatif yang tidak intuitif, maka cara terbaik untuk memahami teori ini adalah dengan mempelajari temuan dari David Ricardo. Dalam contohnya, Ricardo



10



menyajikan dua negara, Inggris dan Portugal yang memproduksi dua barang, yaitu pakaian dan anggur dengan menggunakan tenaga kerja sebagai input penjualan dalam produksi. Ricardo berasumsi bahwa produktivitas tenaga kerja (seperti kuantitas produksi per pekerja) bervariasi antara industri dan antar negara. Inggris lebih produktif dalam produksi salah satu barang dan Portugal lebih produktif pada hal yang lain, Ricardo berasumsi bahwa Portugal lebih produktif pada kedua barang tersebut. Jika Portugal dua kali relatif lebih produktif dalam produksi kain dan tiga kali dalam produksi anggur, maka kemudian dikatakan bahwa Portugal memiliki keunggulan komparatif untuk produk anggur. Sebaliknya Inggris dikatakan lebih memiliki keunggulan komparatif untuk produk kain. Hal ini menyiratkan bahwa untuk mendatangkan keuntungan dari spesialisasi produk dan perdagangan bebas, maka Portugal harus mengkhususkan diri memproduksi dan memperdagangkan barang-barang yang paling baik dalam produksi, sedangkan Inggris mengkhususkan diri memproduksi dan memperdagangkan barang-barang yang sedikit buruknya dalam produksi (Gonzalez, 2004).



Namun dewasa ini teori keunggulan komparatif (comparative advantage) telah mengalami pergeseran, seiring dikonsepkannya kembali comparative advantage oleh Paul Krugman, seorang ekonom penerima hadiah Nobel tahun 2008. Menurut Handerson (2008) teori Krugman menjelaskan bahwa banyak perdagangan inernasional mengambil lokasi antar negara dengan ratio capital yang sama untuk tenaga kerja. Teori Krugman mencontohkan industri mobil di Swedia yang menggunakan intensive capital dimana Swedia mengeskpor mobil ke Amerika, sementara konsumen Swedia juga mengimport mobil dari Amerika.



11



Penjelasan Krugman mengenai comparative advantage didasari pada economies of scale. Teori Krugman mengatakan bahwa: “sebab dari economies of scale, produsen mempunyai insentif untuk berkonsentrasi memproduksi setiap barang atau jasa pada jumlah terbatas dari lokasi tertentu. Disebabkan karena biaya transaksi melewati jarak (secara geografis), maka lokasi yang diinginkan dari tiap produsen adalah tempat dimana permintaan besar atau jumlah input yang sesuai – yang secara umum adalah suatu lokasi yang dipilih oleh produsen yang lain. Sehingga (secara geografis) konsentrasi dari industri, sekali dimapankan/ dimantapkan, sehingga cenderung untuk berkelanjutan dengan sendirinya” (Handerson, 2008). Intinya, tidak seperti Ricardo yang menyarankan bahwa setiap negara atau daerah harus memiliki spesialisasi dalam memproduksi suatu barang agar dapat memiliki comparative advantage terhadap negara/daerah lain dengan memproduksi barang



yang berbeda, namun Krugman mengemukakan bahwa setiap negara dapat memiliki comparative advantage terhadap negara lainnya dengan memproduksi barang yang sama atau tidak perlu spesialisasi produksi karena adanya kemajuan teknologi (Krugman and Venables, 1996; Handerson, 2008). Berhubungan



dengan



hal



spesialisasi



produk,



Ricci



(1999)



dalam



penelitiannya mengenai aglomerasi versus spesialisasi menemukan bahwa aglomerasi dalam suatu negara akan mengurangi spesialisasi dalam industri yang



Increasing Return to Scale (IRS). Selanjutnya dikemukakan bahwa keunggulan komparatif menentukan model atau pola spesialisasi. Dimana dalam aktivitas IRS,



masing-masing negara akan lebih mengkhususkan pada produksi barang yang memiliki keunggulan komparatif. Tsakok (1990) mengemukakan bahwa konsep dari keunggulan komparatif



dan absolut memang sering membingungkan, namun pada prinsipnya mereka sangat berbeda. Keungguan absolut merujuk pada perbedaan dalam tingkat biaya



12



absolut pada produksi suatu negara. Sedangkan keunggulan komparatif merujuk pada perbedaan dalam opportunity cost diantara negara yang melakukan perdagangan. Keunggulan komparatif memiliki dua pengertian. Pertama, pengertian mengenai efisiensi produksi yang membandingkan antara dua atau lebih negara-negara yang melakukan perdagangan. Negara-negara dengan opportunity cost yang paling rendah adalah relatif lebih efisien dan memiliki keunggulan komparatif. Mereka memiliki biaya keunggulan dibanding dengan produsen lainnya dan memiliki daya saing internasional (internationally competitive). Kedua, pengertian keunggulan komparatif merujuk pada efisiensi dari berbagai jenis produksi di dalam ekonomi domestik, yang dibandingkan pada pendapatan atau simpanan dari setiap unit devisa. Adapun konsep atau teori keunggulan kompetitif (competitiveness) digunakan untuk mengukur kelayakan suatu aktivitas atau keuntungan privat yang dihitung berdasarkan harga pasar yang berlaku (analisis finansial). Porter (2008) mengemukakan bahwa competitiveness merupakan suatu konsep yang tidak mudah dipahami, namun dilain pihak arti pentingnya diterima secara luas. Definisi yang paling intuitif mengenai competitiveness adalah share suatu negara dari pasar dunia untuk produk tertentu. Hal ini membuat competitiveness sebagai suatu “zero-sum game”, sebab salah satu keuntungan suatu negara datang dari biaya negara lainnya. Gambaran mengenai competitiveness ini adalah legalisasi tindakan suatu negara untuk intervensi pasar atau disebut juga kebijakan industrial, termasuk kebijakan untuk menyediakan subsidi, menahan upah lokal dan mendevaluasi mata uang suatu negara. Faktanya,



13



hal ini masih sering dikatakan bahwa upah yang lebih rendah atau devaluasi akan membuat suatu negara lebih kompetitif. Untuk dapat mengerti competitiveness, maka harus diawali atau didasari pada sumber-sumber kemakmuran. Standar hidup suatu negara ditentukan oleh produktivitas ekonominya yang diukur dengan nilai barang dan jasa per unit yang diproduksi dari sumberdaya manusia, kapital dan sumberdaya alam suatu negara. Produktivitas tergantung pada nilai produk dan jasa suatu negara yang diukur dengan harga di pasar bebas serta efisiensi. Selain itu competitiveness suatu negara atau wilayah membaik jika negara atau wilayah tersebut mampu meningkatkan kapabilitas produksi mereka yang didorong oleh faktor-faktor : level negara, industri, perusahaan dan individu (Porter, 2008). Martin et al. (2008) mengemukakan bahwa terdapat dua belas pilar dari competitiveness. Pernyataan tersebut dijelaskan pada Gambar 1, dimana walaupun keduabelas pilar competitiveness tersebut digambarkan secara terpisah, namun hal ini tidak mengaburkan fakta bahwa bukan hanya terkait satu dengan lainnya namun keduabelas pilar tersebut cenderung saling menguatkan satu sama lain. Contohnya, inovasi (pilar keduabelas) tidak mungkin ada didunia ini tanpa suatu institusi (pilar pertama) yang menjamin kebebasan intelektual. Dimana hal ini tidak dapat dibentuk pada negara-negara dengan tingkat pendidikan dan kualitas angkatan kerja yang rendah (pilar kelima). Selain itu, tidak akan mendapat tempat dalam ekonomi dengan pasar yang inefisien (pilar keenam, tujuh dan delapan) atau tanpa infrastruktur yang ekstensif dan efisien (pilar kedua). Namun pengaruh pilar-pilar tersebut akan berbeda antara satu negara dengan negara lainnya, terutama antara negara-negara berkembang dan negara-negara maju.



14



Basic requirements • Institutions • Infrastructure • Macroeconomic stability • Health and primary education



Key for Factor-driven economies



Efficiency enhancers • Higher education and training • Goods market efficiency • Labor market efficiency • Financial market sophistication • Technological readiness • Market size



Key for Efficiency-driven economies



Innovation and sophistication factors



• •



Key for



Business sophistication Innovation



Innovation-driven



economies



Sumber : Martin et al. (2008) Gambar 1. Dua Belas Pilar Competitiveness Selanjutnya berdasarkan kluster yang terbentuk dari keduabelas pilar tersebut, Porter (2008) menggambarkan tahapan dalam membangun competitiveness seperti terlihat pada Gambar 2. Factor-driven economy



Investment-driven economy



Input Cost



Efficiency



Innovation-driven economy Unique value



Sumber: Porter (2008) Gambar 2. Tahapan-Tahapan dalam Membangun Competitiveness Tahap factor-driven merupakan faktor kondisi awal seperti biaya tenaga kerja rendah dan sumberdaya alam yang tidak terproses (terolah). Dimana hal tersebut merupakan sumber yang dominan dari keunggulan kompetitif dan eksport. Perusahaan memproduksi komoditi atau produk yang relatif sederhana. Pada tahap investment-driven, efisiensi dalam memproduksi produk standar dan



15



jasa menjadi sumber dominan dari keunggulan kompetitif. Sedangkan faktor investasi besar dalam infrastruktur, administrasi negara yang baik, insentif terhadap investasi dan akses yang baik pada kapital menciptakan produktivitas yang baik. Investment-driven economy dikonsentrasikan pada manufaktur dan jasa-jasa eksport. Pada tahap innovation-driven, kemampuan inovasi produk dan jasa menjadi terdepan. Dengan menggunakan beberapa metode lanjutan, maka hal ini menjadi sumber yang dominan dari keunggulan kompetitif. Institusi dan insentif mendukung inovasi dengan baik. Perusahaan-perusahaan bersaing dengan produk-produk strategis secara global. Pada tahap ini ekonomi memiliki high share dari jasa-jasa dalam ekonomi dan tahan terhadap external shock.



2.2.



Kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan RPPK merupakan salah satu dari Triple Track Strategy Kabinet Indonesia



Bersatu dalam rangka pengurangan kemiskinan dan pengangguran, serta peningkatan daya saing ekonomi nasional. Target penurunan kemiskinan dari 16.6 persen tahun 2004 menjadi 8.2 persen tahun 2009 dan penurunan pengangguran terbuka dari 9.7 persen tahun 2004 menjadi 5.1 persen tahun 2009, mengharuskan dilakukannya berbagai usaha pembangunan ekonomi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata hingga 6.6 persen per tahun, rasio investasi terhadap PDP harus naik dari 16 persen pada tahun 2004 menjadi 24.4 persen pada tahun 2009 (www.aphi-net.com, diakses pada 26 Agustus 2008 jam 14:00). Triple Track Strategy tersebut yaitu: (1) stabilisasi ekonomi makro mendukung pertumbuhan 6.6 persen per tahun, (2) menggerakkan kembali sektor riil, khususnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), dan (3) revitalisasi



16



pertanian dan perekonomian pedesaan. Sebagai konsekuensi maka diperlukan kebijakan yang mensinergikan sektor pertanian, industri dan jasa. Berkaitan dengan hal tersebut, Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) ditetapkan sebagai salah satu program pembangunan, dengan maksud: 1. Menegaskan komitmen pemerintah terhadap revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan Indonesia. 2. Mensosialisasikan arah dan strategi revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan Indonesia. 3. Memberi arah dan mendorong investasi di bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan, baik investasi publik, investasi swasta, maupun investasi masayarakat. 4. Menjadi awal bagi perumusan dan implementasi rangkaian kebijakan di bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan. 5. Menfasilitasi komunikasi antar petani, nelayan, pengusaha pertanian, investor, pemerintah, akademisi dan stakeholder lainnya (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2008). Sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat tersebut, maka Pemerintah Propinsi Sulawesi Utara meluncurkan Crash Program Agribisnis pada tahun 2005, dimana salah satunya adalah program revitalisasi komoditas jagung. Pemilihan jagung dengan alasan bahwa kebutuhan Indonesia terhadap jagung mencapai 11 juta ton per tahun, sementara produksi dalam negeri baru mencapai 9 juta ton, sedangkan impor jagung setiap tahun mencapai 2 juta ton. Produksi jagung Sulawesi Utara sekitar 140 ribu ton pada tahun 2004, sementara lahan yang potensial untuk pertanaman jagung sebesar 200 ribu hektar. Sehingga



17



pemerintah menargetkan 50 ribu hektar diantaranya dapat dikelola secara intensif dengan target produksi 400 ribu ton per tahun. Hal ini diharapkan selain dapat memenuhi permintaan nasional, juga diorientasikan untuk penyediaan bahan baku bagi pabrik pakan ternak yang akan dibangun di Sulawesi Utara dengan kebutuhan sekitar 150 ribu ton per tahun. Disamping itu masyarakat Sulawesi Utara sangat familiar dengan tanaman jagung, hal ini ditunjukkan dengan adanya varietas unggul lokal yang bernama “Manado Kuning” (Manado Post, 10 November 2005). Secara umum kebijakan dan strategi Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan



Kehutanan adalah sebagai berikut: 1. Pengurangan kemiskinan dan kegureman, pengurangan pengangguran, serta pencapaian skala keekonomian usaha Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (PPK) terutama melalui pengelolaan pertanahan, tataruang dan keagrariaan; fasilitasi pengembangan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha diluar usahatani diwilayah pedesaan, pengembangan agroindustri pedesaan, diversifikasi kegiatan produksi PPK, pengembangan infrastruktur, dan pengembangan kelembagaan usaha petani, nelayan dan petani-hutan serta pemenuhan hak-hak dasar petani, nelayan dan petani-hutan. 2. Peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah dan kemandirian produksi dan distribusi PPK terutama melalui praktek usaha pertanian yang baik (good agriculture



practices),



pengembangan pengembangan



pengembangan



agroindustri



pedesaan,



usaha



baru



dan



pengembangan



multiproduk, infrastruktur,



kelembagaan usaha petani, nelayan dan petani hutan,



pengembangan dan peningkatan akses terhadap berbagai layanan usaha,



18



pengurangan hingga penghilangan berbagai hambatan usaha dan sumber ekonomi biaya tinggi, serta perlindungan usaha atas persaingan tidak adil. 3. Pelestarian dan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumberdaya alam secara berkelanjutan, terutama melalui pengelolaan konservasi, pengelolaan pertanahan, tata-ruang dan keagrariaan serta mendorong pengembangan usaha, penerapan teknologi dan kelembagaan yang ramah lingkungan serta penegakkan hukum (www.aphi-net.com, diakses pada 26 Agustus 2008 jam 14:00).



2.3.



Penelitian Terdahulu



Penelitian mengenai keunggulan komparatif dan kompetitif terutama untuk komoditas jagung dan padi telah banyak dilakukan di berbagai daerah. Di Sulawesi Utara sendiri pada tahun 1999 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Utara telah melakukan penelitian mengenai keunggulan komparatif dan kompetitif tanaman pangan di Kabupaten Bolaang Mongondow. Selain itu terdapat pula penelitian-penelitian di daerah lain yang relevan dengan penelitian penulis, seperti hasil penelitian Suryana (1980), Oktaviani (1991), Haryono (1991), Emilya (2001), Anapu et al. (2005) dan Suprapto (2006). Hasil penelitian BPTP Sulawesi Utara pada tahun 1999 menemukan bahwa tingkat produktifitas minimal masing-masing komoditas tanaman pangan dan holtikultura yang harus dihasilkan untuk berkompetisi dengan jagung adalah berturut-turut kedelai 4 566.04 kg per ha, padi sawah 3 826.6 kg per ha, nenas 2 410.15 kg per ha serta kentang 4 566.04 kg per ha. Rincian nilai tersebut relatif berbeda jauh jumlahnya dikaitkan angka produktifitas riil di lapangan. Demikian



19



pula dengan tingkat harga yang ditunjukkan bahwa untuk mampu bersaing dengan harga jagung yang sebesar Rp. 850 per kg pada tahun 1999, maka harga minimal masing-masing komoditas yang harus dihasilkan adalah Rp. 1 761 (padi/ beras), Rp. 2 660 (kentang), Rp. 2 100 (kedelai) serta Rp. 1 109 (nenas) (BPTP Sulawesi Utara, 2000). Realitas dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa komoditas-komoditas padi, kedelai dan nenas memiliki tingkat produktifitas serta harga yang mampu bersaing dengan jagung karena tingkat produktifitas dan harga yang cukup kompetitif karena berada di bawah nilai ambang dan tingkat harga riil di lapangan. Hasil analisis keunggulan komparatif komoditas tanaman pangan dan hortikultura berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa komoditas padi memiliki nilai DRCR sebesar 0.61, jagung (DRCR = 0.53), nenas (DRCR = 0.36), kemudian rasio DRC kentang dan kedelai masing-masing sebesar 0.33 dan



0.19. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa komoditas padi sawah merupakan komoditas



tanaman



pangan



yang



memiliki



peluang



terkecil



untuk



dimaksimalkan, dilain pihak kedelai memiliki peluang terbesar dari aspek komparatif (BPTP Sulawesi Utara, 2000). Suryana (1980) dalam tesisnya menyimpulkan bahwa secara ekonomi berdasarkan hasil analisis DRCR menunjukkan usahatani ubi kayu lebih menguntungkan dibanding usahatani jagung baik di Lampung maupun di Jawa Timur, namun untuk pengembangannya Lampung lebih menguntungkan. Sebaliknya secara finansial usahatani ubi kayu dan jagung lebih menguntungkan jika dilaksanakan di Jawa Timur daripada Lampung.



20



Oktaviani (1991) dalam tesisnya menyimpulkan bahwa kebijakan insentif (kebijakan harga) pada komoditas padi, jagung, kedele dan ubi kayu menyebabkan surplus produsen berkurang. Kebijakan pemerintah berupa subsidi input sebaiknya ditetapkan per wilayah. Pada daerah di luar Jawa, besaran subsidi disesuaikan dengan biaya distribusi agar Harga Eceran Tertinggi (HET) yang diterima petani produsen sama di tiap wilayah. Haryono (1991) dalam tesisnya menyimpulkan bahwa hasil analisis DRCR menunjukkan komoditas kedelai, jagung dan ubi kayu di Propinsi Lampung memiliki keunggulan komparatif, dengan tingkat proteksi efektif (Effective Protection Coefficient) menunjukkan adanya proteksi pemerintah terhadap petani produsen kedelai dan jagung sementara petani produsen ubi kayu dirugikan.



Emilya (2001) dalam tesisnya mengemukakan bahwa usahatani padi, kedelai dan jagung di Propinsi Riau memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, dimana yang tertinggi komoditas padi, diikuti kedelai dan jagung. Suprapto (2006) dalam hasil penelitiannya mengemukakan bahwa komoditas jagung di Jawa Timur untuk orientasi ekspor memperoleh proteksi dari pemerintah sedangkan komoditas jagung untuk orientasi subtitusi impor dan perdagangan antar daerah tidak mendapatkan proteksi dari pemerintah. Hasil penelitian Anapu et al. (2005) mengenai dampak kebijakan tarif impor beras di Kabupaten Minahasa Propinsi Sulawesi Utara menunjukkan bahwa kebijakan tarif impor menciptakan pemborosan sumberdaya. Usahatani padi tidak efisien ditunjukkan dengan tingkat keuntungan sosial yang negatif. Sebaliknya usahatani kacang tanah memberikan keuntungan sosial yang jauh lebih tinggi dari



21



padi. Namun, petani lebih suka menanam padi dengan pertimbangan keamanan pangan keluarga, mengurangi resiko dan mudah memasarkan hasil. Hasil kajian yang dilakukan Departemen Pertanian (2009) mengenai Peluang Perencanaan Investasi Pertanian Indonesia menunjukkan jenis tanaman pangan jagung dan padi merupakan komoditas unggulan untuk sub sektor tanaman pangan. Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa laju pertumbuhan produksi jagung lebih cepat daripada padi, namun laju pertumbuhan areal padi lebih tinggi daripada jagung. Sedangkan laju peningkatan produksi kedua komoditas ini jauh lebih tinggi daripada peningkatan areal tanamnya. Tabel 1. Perkembangan Produksi dan Luas Tanaman Padi dan Jagung di Sulawesi Utara Tahun 2003 – 2005 Tahun Komoditas Produksi (ton) Luas (ha) Produksi (ton) Jagung Luas (ha) Padi



2003



2004



369 930 84 385 144 671 65 656



407 358 92 439 150 128 66 196



2005 432 625 94 946 195 305 71 644



Laju pertumbuhan (%) per tahun 8.2 6.1 16.9 4.5



Sumber: Departemen Pertanian (2009), www.deptan.go.id/ppi/investasi/Lapora-Final.pdf.



22



III.



3.1.



KERANGKA PEMIKIRAN



Kerangka Pemikiran Analisis



Dewasa ini pengembangan sektor pertanian menghadapi tantangan dan tekanan yang semakin berat disebabkan adanya perubahan lingkungan strategis berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin pesatnya kemajuan teknologi. Berkaitan dengan itu maka strategi pengembangan pertanian kedepan senantiasa berorientasi kompetisi atas dasar keunggulan komparatif dan kompetitif. Hal ini berkaitan erat pula dengan pelaksanaan revitalisasi pertanian di Propinsi Sulawesi Utara yang secara umum diharapkan mencapai tujuan seperti yang diamanatkan oleh Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM-D) Sulawesi Utara tahun 2005-2010, yakni peningkatan produktifitas dan produksi pertanian, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, mengurangi kemiskinan, membuka lapangan kerja baru, meningkatkan ketahanan pangan, meningkatkan daya saing ekonomi serta melestarikan lingkungan hidup. Menurut Tsakok (1990) terdapat dua cara untuk mengukur keunggulan komparatif, yaitu : Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) atau Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (RBSD) dan Net Economic Benefit Ratio (NEBR). Kedua koefisien menggunakan informasi yang sama dalam penggunaan harga dan input, namun DRCR penggunaanya lebih luas dibanding NEBR. Kedua teknik tersebut mensyaratkan bahwa input primer dan antara dalam proses produksi dinilai atau dihitung dalam harga bayangan (shadow prices). Keunggulan komparatif suatu



23



komoditi yang diukur dengan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (RBSD) yaitu rasio antara BSD dan harga bayangan nilai tukar uang (V1) sebagai berikut :



dengan catatan jika nilai RBSD suatu komoditi kurang dari satu (RBSD < 1) menunjukkan komoditi tersebut di dalam negeri relatif lebih menguntungkan secara ekonomis dibanding dengan mengimpornya. Dalam penerapan model ini, dipertimbangkan dua jenis harga (riil dan harga bayangan) untuk setiap komponen input dan output. Harga riil merupakan harga ditingkat petani, sementara harga bayangan mengacu pada harga Cost Insurance Freight (CIF) untuk komoditi impor dan harga Free on Board (FOB) untuk komoditi ekspor. Sedangkan Analisis Keunggulan Kompetitif dapat menentukan sampai seberapa jauh komoditas unggulan mampu bersaing dengan komoditas pembandingnya (pesaing) dimana perlu memperhatikan beberapa kondisi yakni : (1) komoditas pembandingnya adalah komoditas yang umumnya ditanam pada hamparan dan musim yang sama, (2) umur komoditas pembandingnya relatif hampir sama, (3) produksi dan harga komoditas pembandingnya diasumsikan tidak mengalami perubahan (konstan), dan (4) biaya produksi baik komoditas yang dibandingkan maupun komoditas pembandingnya diasumsikan tetap. Analisis keuntungan kompetitif produksi akan memberi gambaran pada tingkat produksi minimal berapa komoditas yang ditanam petani baru bisa memberikan tingkat keuntungan yang bersaing dengan komoditas pesaingnya. Sedangkan analisis keuntungan kompetitif harga akan memberikan gambaran mengenai tingkat harga minimal yang harus diterima petani, agar komoditas yang



24



ditanamnya mampu memberikan keuntungan yang bersaing dengan tanaman pesaingnya (BPTP Sulawesi Utara, 2000). Pada garis besarnya, tujuan petani berproduksi adalah untuk meningkatkan taraf hidup melalui usaha produksi dari pengelolaaan sumberdaya tanah, tenaga kerja dan modal. Pada kenyataannya, alokasi sumberdaya sektor pertanian yang dilakukan petani untuk kegiatan usahatani belum dilakukan secara optimal.



Dalam usahatani prinsip keunggulan komparatif menjelaskan lokasi produksi pertanian, berbagai jenis tanaman dan ternak dengan syarat-syaratnya yang berbeda, harus diusahakan di daerah-daerah atau pada usahatani yang keadaan fisik serta sumberdaya lainnya secara ekonomi sangat sesuai. Karena itu usahatani dengan sumberdaya yang sangat miskinpun dapat mempunyai keunggulan



komparatif



untuk



beberapa



komoditi.



Prinsip



keunggulan



komparatif berlaku untuk wilayah yang luas (dunia, negara) ataupun untuk perbandingan antar usahatani. Prinsip ini sangat mudah diterima oleh setiap orang sehingga sering dilupakan penggunaannya, terutama dalam memilih tanaman untuk daerah-daerah pemekaran (daerah baru). Terdapat beberapa faktor yang dapat mengubah keunggulan komparatif, diantaranya: 1.



Pengembangan pola usahatani baru atau perbaikan teknologi



2.



Perubahan biaya produksi dan harga relatif dari berbagai komoditas usahatani



3.



Perubahan biaya angkutan seperti yang terjadi bila jalan diperbaiki atau rusak



4.



Perbaikan kualitas lahan karena drainase, irigasi dan sebagainya



5.



Pengembangan produk substitusi yang lebih murah.



Sehingga setiap daerah dapat memperbaiki posisi ekonominya dengan komoditas tanaman tertentu, ataupun kehilangan posisi ekonominya (Soekartawi et al. 1986).



25



Dari kerangka di atas diharapkan akan dihasilkan suatu acuan pengembangan pertanian daerah berdasarkan skala prioritas, selain dapat menjadi andalan pertumbuhan perekonomian daerah, juga akan dapat ditetapkan beberapa komoditas yang dapat memberi kepastian usaha bagi para petani berdasarkan spesifikasi wilayah.



3.2.



Policy Analysis Matrix Policy Analysis Matrix (PAM) menyediakan informasi untuk membantu



pengambil kebijakan di pusat dan daerah terhadap tiga isu sentral dari analisis kebijakan pertanian. Isu pertama adalah apakah sistem pertanian kompetitif di bawah teknologi dan harga-harga yang ada saat ini. Apakah para petani, pedagang dan pengolah memperoleh keuntungan ketika menghadapi harga aktual pasar. Kebijakan harga akan mengubah nilai dari output atau biaya input serta pula profitabilitas privat dalam sistem. PAM dapat menunjukkan efek secara individual maupun kolektif dari harga dan kebijakan faktor. Selain itu PAM juga menyediakan informasi baseline yang penting dan esensial untuk analisis benefit-cost (analisis keuntungan biaya) dari suatu investasi pertanian (Pearson et al. 2005). Selanjutnya model PAM dapat pula digunakan untuk menganalisis efisiensi ekonomi dan besarnya insentif atau intervensi pemerintah serta dampaknya pada sistem komoditas secara bersamaan (Yao, 1997; Emilya, 2001).



Isu yang kedua adalah dampak dari investasi publik pada infrastruktur dalam efisiensi sistem pertanian. Efisiensi diukur dengan profitabilitas sosial, penilaian dari keuntungan dalam efisiensi harga. Kesuksesan investasi publik (pada irigasi atau transportasi) akan meningkatkan nilai output atau menurunkan



26



biaya input. Perbandingan keuntungan sosial sebelum dan sesudah adanya investasi publik dapat menjadi tolok ukur peningkatan dalam social profit. Isu yang ketiga (hampir sama dengan komponen isu kedua) adalah dampak dari investasi publik yang baru dalam penelitian pertanian atau teknologi pada efisiensi sistem pertanian. Kesuksesan investasi publik dalam penyediaan benih unggul baru, teknik pertanian, atau teknologi pengolahan akan meningkatkan hasil pertanian atau hasil olahan dan sekaligus meningkatkan penerimaan atau menurunkan biaya-biaya. Perbandingan keuntungan sosial sebelum dan sesudah adanya investasi publik dalam penelitian dapat merupakan tolok ukur perolehan/ keberhasilan dalam social profitability. Analisis PAM dapat digunakan pada sistem komoditas dengan berbagai wilayah, tipe usahatani dan teknologi. Tabel 2 memberi gambaran bahwa PAM terdiri dari tiga baris, dimana baris pertama adalah perhitungan dengan private price (harga pasar/ aktual) yaitu harga yang diterima petani, baris kedua merupakan perhitungan social price (harga bayangan) yaitu harga yang menggambarkan nilai sosial atau nilai ekonomi yang sesungguhnya bagi unsur biaya maupun hasil, dari dua perhitungan tersebut masing-masing dihitung keuntungan. Keuntungan merupakan perbedaan antara penerimaan dan biaya. Perbedaan perhitungan antara private price dengan social price disebabkan terjadinya kegagalan pasar atau masuknya kebijakan pemerintah yang terletak pada baris ketiga. Jika kegagalan pasar dianggap faktor yang tidak begitu berpengaruh, maka perbedaan tersebut lebih banyak disebabkan adanya insentif kebijakan yang dapat dianalisis (Monke and Pearson, 1989; Emilya, 2001).



27



Setiap matriks memiliki empat kolom yaitu kolom pertama adalah penerimaan, kolom kedua adalah kolom biaya yang terdiri dari biaya input yang dapat diperdagangkan (tradable input) dan biaya faktor domestik (domestic factors). Input yang digunakan seperti pupuk, pestisida, benih/ bibit, peralatan dan lain-lain dipisahkan menjadi input yang dapat diperdagangkan dan faktor domestik (Monke and Pearson, 1989; Pearson et al. 2005). Tabel 2. Policy Analysis Matrix



Uraian



Biaya



Penerimaan (revenue)



Input tradable



Faktor domestik



A



B



C



E



F



G



I=A–E



J=B-F



K=C-G



Nilai finansial (private price) Nilai ekonomi (social price) Divergensi/ dampak kebijakan dan distorsi pasar



Profit D=A–B– C H=E–F– G L=D–H= I–J–K



Sumber : Monke and Pearson (1989) Keterangan :



D = private profitability; H = social profitability; I = output transfer; J = input transfer; K = factor transfer; L = net transfer



Penggunaan



private



dan



social



price



dalam



matriks



PAM



menggambarkan bahwa matriks ini mengandung analisis privat dan sosial. Dalam analisis sosial, tinjauan aktivitas dilihat dari sudut masyarakat secara keseluruhan sedangkan pada analisis privat tinjauan aktivitas pelaku ekonomi (individu atau perusahaan) yang berkepentingan langsung dalam kegiatan ekonomi. Matriks PAM menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan sumberdaya.



28



IV.



4.1.



METODOLOGI PENELITIAN



Waktu dan Lokasi Penelitian



Penelitian ini dilakukan dari Bulan Pebruari sampai April 2009, mengambil lokasi di 5 Kecamatan pada wilayah zona lahan kering dataran rendah Kabupaten Bolaang Mongondow, yaitu: Poigar, Bolaang, Bolaang Timur, Lolayan dan Lolak. Selanjutnya dari lima kecamatan tersebut diambil masing-masing satu desa, yaitu Desa Nonapan I Kecamatan Poigar, Desa Bolaang Kecamatan Bolaang Timur, Desa Langagon Kecamatan Bolaang, Desa Lolayan Kecamatan Lolayan dan Desa Lolak II Kecamatan Lolak.



4.2.



Data dan Sumber Data



Kegiatan penelitian ini lebih terfokus pada kegiatan survei. Dalam survei, data dan informasi dikumpulkan dengan menggunakan daftar kuesioner secara terstruktur dan interview langsung. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan para petani, pedagang pengumpul (desa dan kecamatan), Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), sedangkan data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Utara dan Bolaang Mongondow, Dinas Pertanian dan Peternakan Propinsi dan Kab. Bolaang Mongondow, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Bolaang Mongondow, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sulawesi Utara dan Kabupaten Bolaang Mongondow, Bea Cukai, dan Pelindo. Adapun data-data yang dikumpulkan adalah sebagai berikut:



29



Data Primer: 1. Input-input tradable dan faktor domestik (non tradable) yang berlaku di Sulawesi Utara. 2. Karakteristik rumahtangga tani 3. Penguasaan aset lahan 4. Kegiatan usahatani : pendapatan, penggunaan faktor-faktor produksi, hasilhasil yang diperoleh (berhubungan dengan nomor 1) 5. Kegiatan dan karakteristik on farm, off farm dan non farm (berhubungan dengan nomor 1 dan 4). 6. Pemasaran hasil produksi dan pengadaan sarana produksi (berhubungan dengan nomor 1, 4 dan 5). 7. Penentuan harga ditingkat petani



Data Sekunder: 1. Aturan pemerintah mengenai pengusahaan komoditas jagung serta sarana dan prasarana pendukungnya, termasuk ketentuan tentang pajak ekspor – impor, perizinan dan sebagainya. 2. Perkembangan produksi usahatani, volume dan nilai ekspor serta impor selama kurang lebih 5 tahun terakhir (lebih dikhususkan di Propinsi Sulawesi Utara).



3. Perkembangan harga-harga ekspor, harga domesik, pendapatan dan nilai tukar mata uang negara pengimpor. 4. Pola usahatani jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow (masing-masing kecamatan).



30



4.3.



Prosedur Penelitian dan Metode Pengambilan Contoh



Secara garis besar prosedur yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Studi pustaka berupa pengumpulan berbagai bahan bacaan baik dari berbagai buku, makalah, laporan, jurnal, web site serta bahan lain yang berkaitan dengan obyek yang diteliti. Data dan informasi yang diperoleh dalam tahap ini merupakan himpunan data sekunder. 2. Menyangkut kegiatan persiapan pelaksanaan penelitian lapangan. Kegiatan ini mencakup pembuatan daftar kuisioner, diskusi dengan pihak-pihak terkait dan para pakar yang berkaitan dengan kegiatan ini, pengurusan perijinan, pemantapan tim kerja peneliti, serta negosiasi dengan calon responden tentang penetapan waktu penelitian dan wawancara. 3. Pelaksanaan dilapangan, yaitu kegiatan wawancara dengan responden dan observasi lapangan serta pengumpulan data sekunder pendukung. Dalam wawancara, kepada responden diajukan sejumlah pertanyaan sesuai dengan daftar kuesioner yang telah dipersiapkan. Sedangkan observasi lapangan digunakan untuk menggali data fisik yang diperlukan untuk melengkapi data yang tidak terhimpun dalam kuesioner (berupa wawancara terbuka tanpa kuisioner). Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive berdasarkan pertimbangan potensi pengembangan usahatani



jagung berupa tingkat



produktivitas serta jarak ke Ibukota Propinsi (Manado) dan kota kabupaten (Kotamobagu). Hal ini penting karena pertimbangan walaupun suatu kecamatan memiliki luas areal tanam maupun panen yang cukup besar namun jika jauh dari pusat-pusat ekonomi daerah, maka akan memperlemah posisi tawar produk yang



31



bersangkutan. Usahatani jagung diambil sebagai tolok ukur penentuan lokasi penelitian karena dalam penelitian ini memang fokus utamanya adalah usahatani jagung, sehingga pemilihan lokasi pun disesuaikan dengan daerah sentra pengembangan jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow. Berdasarkan hal tersebut diperoleh 5 kecamatan dari 12 kecamatan di Kabupaten Bolaang Mongondow yang dapat memenuhi kriteria potensi pengembangan jagung dan jarak ke pusat ekonomi, yaitu Kecamatan Poigar (produktivitas usahatani jagung 3.44 ton per ha per tahun), Bolaang Timur (produktivitas usahatani jagung 3.46 ton per ha per tahun), Bolaang (produktivitas usahatani jagung 3.46 ton per ha per tahun), Lolak (produktivitas usahatani jagung 3.47 ton per ha per tahun), dan Lolayan (produktivitas usahatani jagung 3.41 ton per ha per tahun), dimana kelima kecamatan tersebut memiliki jarak rata-rata ke ibukota propinsi 50 – 80 km dan ke kota Kotamobagu 10 – 30 km (Badan Pusat Statistik Bolaang Mongondow, 2008). Pada tiap kecamatan kemudian ditentukan desa-desa sampel dengan rasio sampling sebesar 5 persen, sehingga diperoleh rata-rata satu desa tiap kecamatan yang dapat mewakili sejumlah desa pada masing-masing kecamatan. Selanjutnya desa mana yang akan dijadikan sampel tiap kecamatan ditentukan secara purposive berdasarkan informasi dan rekomendasi dari Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan, yaitu Desa Nonapan I (Kecamatan Poigar), Desa Bolaang (Kecamatan Bolaang Timur), Desa Langagon (Kecamatan Bolaang), Desa Lolak II (Kecamatan Lolak) dan Desa Lolayan (Kecamatan Lolayan). Selanjutnya pada tiap desa diambil 20 petani responden yang melakukan kegiatan usahatani utama jagung, sehingga jumlah total responden sebesar 100



32



responden. Pengamatan dilakukan di tingkat Rumahtangga Tani (RTT). Penentuan petani sampel dilakukan menurut kriteria acak sederhana. Sedangkan untuk informan kunci seperti Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), aparat desa, dan tokoh masyarakat ditentukan secara sengaja (purposive) dengan maksud untuk mempermudah perolehan informasi yang lebih mendalam dan terarah. Dalam penelitian ini menitikberatkan pengamatan dan pengambilan data pada kegiatan usahatani jagung, disamping itu sebagai pembanding digali pula informasi mengenai usahatani lain yang juga dilakukan di lahan petani yang bersangkutan.



4.4.



Metode Analisis



Dalam penelitian ini menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) atau Matriks Analisis Kebijakan. Dimana dalam PAM dapat diketahui besaran/ rasio keunggulan komparatif (DRCR) dan kompetitif (PCR) serta dampak dari kebijakan, singkatnya perhitungan dapat dilakukan secara menyeluruh serta sistematis (output merupakan keuntungan privat dan sosial, efisiensi serta besaran insentif intervensi pemerintah pada produsen, konsumen dan pedagang pengumpul). Metode analisis PAM tidak hanya digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif (keuntungan sosial) tapi juga mengukur dampak intervensi pemerintah pada suatu aktivitas ekonomi (dalam hal ini usahatani jagung dan padi). Policy Analisis Matrix juga dapat digunakan untuk menganalisis kegiatan usahatani sebagai suatu sistem, termasuk di dalamnya pasca panen, pengolahan dan pemasaran.



33



Tahapan penggunaan metode PAM dalam penelitian ini adalah: 1. Identifikasi input dan output secara lengkap dari usahatani jagung dan padi 2. Menentukan harga bayangan dari input dan output usahatani jagung dan padi 3. Memisahkan unsur biaya ke dalam kelompok tradable dan domestik 4. Menghitung penerimaan usahatani jagung dan padi 5. Menghitung dan menganalisis berbagai indikator keunggulan komparatif dan kompetitif berdasarkan Tabel PAM. Nilai pada masing-masing sel dalam Tabel PAM untuk usahatani jagung dan padi dihitung dalam periode satu siklus produksi (dua musim tanam dalam setahun). Dari data tersebut selanjutnya dianalisis berbagai indikator sebagai berikut: A.



Analisis Keuntungan



1.



Private Profitability : D = A – (B + C). Keuntungan privat merupakan indikator keunggulan kompetitif dari sistem komoditi berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Apabila D > 0, berarti sistem komoditi itu memperoleh profit di atas normal. Hal ini memberikan implikasi bahwa komoditi itu mampu melakukan ekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya komoditi alternatif yang lebih menguntungkan.



2.



Social Profitability : H = E – (F + G). Keuntungan sosial merupakan indikator keunggulan komparatif atau efisiensi dari sistem komoditi pada kondisi tidak ada divergensi dan penerapan kebijakan yang efisien, apabila H > 0. Sebaliknya, bila H < 0, berarti komoditi itu tidak mampu bersaing tanpa bantuan atau intervensi dari pemerintah.



34



B.



Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif



1.



Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) = G/(E – F). Nilai DRCR merupakan indikator kemampuan sistem komoditi membiayai faktor domestik pada harga sosial. Jika DRCR > 1 maka sistem komoditi tidak mampu hidup tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. Sehingga memboroskan sumberdaya domestik yang langka. Sebaliknya jika DRCR < 1 dan atau lebih kecil lagi, maka sistem komoditi makin efisien dan memiliki daya saing tinggi (keunggulan komparatif) serta mampu hidup atau berkembang tanpa bantuan dan intervensi pemerintah disamping memiliki peluang ekspor yang lebih besar.



2.



Private Cost Ratio (PCR) = C/(A – B). Nilai PCR menjelaskan berapa banyak sistem komoditi dapat menghasilkan untuk membayar faktor domestik dan tetap dalam kondisi kompetitif. Sehingga suatu usahatani komoditi akan lebih kompetitif jika nilai D > 0 atau nilai C (harga privat faktor domestik) < (A – B). Keuntungan maksimal akan diperoleh dengan cara meminimumkan biaya faktor domestik. Apabila PCR < 1 dan atau nilainya lebih kecil, maka artinya sistem produksi suatu usahatani mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat dan kemampuannya semakin meningkat atau memiliki keunggulan kompetitif.



C.



Dampak Kebijakan Pemerintah



a.



Kebijakan Output



1.



Output Transfer : OT (I) = A-E : Transfer output merupakan selisih antara penerimaan yang dihitung atas harga finansial (private) dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga bayangan atau sosial. Nilai OT



35



menunjukkan terdapat kebijakan pemerintah yang dapat diterapkan pada output sehingga membuat harga output privat dan sosial berbeda. Jika nilai OT > 0 menunjukkan adanya transfer dari masyarakat (konsumen) terhadap produsen, demikian juga sebaliknya. Dalam pengertian masyarakat membeli dan produsen menerima dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya, begitu sebaliknya jika OT < 0 (negatif). 2.



Nominal Protection Coefficient on Output : NPCO = A/E : merupakan rasio penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial yang merupakan indikasi dari transfer output. NPCO menunjukkan dampak kebijakan (kegagalan pasar yang tidak dikoreksi oleh kebijakan efisiensi) yang menyebabkan divergensi antara harga privat dan sosial terhadap harga output. Kebijakan bersifat protektif terhadap output jika nilai NPCO > 1 atau dengan kata lain pemerintah menaikkan harga output di pasar domestik di atas harga efisiensinya (harga dunia), dan sebaliknya kebijakan bersifat disinsentif jika



b.



Kebijakan Input



1.



Input Transfer : IT (J) = B – F : Transfer input adalah selisih antara biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga privat dengan biaya yang dapat diperdagangkan pada harga sosial. Nilai IT menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradable. Jika nilai IT > 0 (positif), menunjukkan adanya transfer dari petani produsen kepada produsen input tradable, demikian juga sebaliknya, atau dengan kata lain menunjukkan



36



besarnya transfer (insentif) dari produsen ke pemerintah melalui penerapan kebijakan tarif impor. 2.



Nominal Protection Coefficient on Input: NPCI = B/F : indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input pertanian domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap input jika nilai NPCI < 1, berarti ada kebijakan subsidi terhadap input tradable, dimana hal ini dapat pula menunjukkan adanya hambatan ekspor input, sehingga proses produksi dilakukan dengan menggunakan input dalam negeri. Sebaliknya jika NPCI > 1 artinya pemerintah menaikkan harga input tradable di pasar domestik diatas harga efisiensinya. Hal ini membawa implikasi sektor yang menggunakan harga input tersebut dirugikan dengan tingginya harga beli input produksi.



3.



Factor Transfer : FT (K) = C – G : Transfer faktor merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosialnya yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Nilai FT menunjukkan adanya kebijakan pemerintah terhadap produsen dan konsumen yang berbeda dengan kebijakan pada input tradable. Intervensi pemerintah untuk input domestik dilakukan dalam bentuk kebijakan subsidi (positif dan negatif). Jika nilai FT > 0 atau positif, artinya terdapat transfer dari petani produsen kepada produsen input non tradable, atau dengan kata lain terdapat kebijakan pemerintah yang melindungi produsen faktor domestik dengan pemberian subsidi positif, demikian juga sebaliknya, jika negatif atau FT < 0 maka kebijakan lebih berpihak pada petani.



37



c.



Kebijakan Input-Output



1.



Effective Protection Coefficient : EPC = (A-B)/(E-F) : yaitu indikator yang menunjukkan tingkat proteksi simultan terhadap output dan input tradable. Kebijakan masih bersifat protektif jika nilai EPC > 1 atau dengan kata lain pemerintah menaikkan harga output atau input yang diperdagangkan diatas harga efisiensinya. Semakin besar nilai EPC berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap komoditi pertanian domestik. Sebaliknya jika nilai EPC < 1 maka kebijakan pemerintah tersebut tidak berjalan efektif.



2.



Net Transfer : NT (L) = D – H : Transfer bersih merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. Nilai NT > 0, menunjukkan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output, demikian juga sebaliknya.



3.



Profitability Coefficient : PC = D/H : Koefisien keuntungan adalah perbandingan antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. PC merupakan indikator yang lebih lengkap dibandingkan EPC, yang menunjukkan dampak insentif (transfer) dari semua kebijakan (harga output, input dan faktor domestik), sehingga merupakan proteksi dari net policy transfer. Jika PC > 0, berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen. Sebaliknya jika nilai PC < 1 menunjukkan kebijakan pemerintah membuat keuntungan yang diterima produsen lebih kecil dibandingkan



tanpa



adanya



kebijakan.



Artinya



produsen



mengeluarkan sejumlah dana kepada masyarakat (konsumen).



harus



38



4.



Subsidy Ratio to Producer : SRP = L/E atau (D-H)/E : indikator yang menunjukkan proporsi penerimaan pada harga sosial yang diperlukan apabila subsidi atau pajak digunakan sebagai pengganti kebijakan. SRP memungkinkan



membuat



perbandingan



antara



besarnya



subsidi



perekonomian bagi sistem komoditi pertanian. Apabila nilai SRP < 0 (negatif) menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari opportunity cost, demikian pula sebaliknya.



4.5.



Metode Penentuan Harga Bayangan



Dalam penelitian ini untuk setiap input dan output ditetapkan dua tingkat harga, yaitu harga pasar (harga privat/ harga aktual) dan harga bayangan (harga sosial/ harga ekonomi/ harga akuntansi). Harga pasar adalah tingkat harga pasar yang diterima petani dalam penjualan hasil produksinya (hasil panen) atau tingkat harga yang dibayar dalam pembelian faktor produksi. Squire and van der Tak (1976) dalam Suryana (1980) mendefinisikan harga bayangan sebagai harga yang menggambarkan peningkatan dalam kesejahteraan dengan adanya perubahan marjinal dalam persediaan komoditi dan faktor-faktor produksi. Dengan demikian dalam memperkirakan harga bayangan terlebih dahulu perlu diketahui fungsi kesejahteraan sosial yang diwujudkan dalam pernyataan matematik, serta harus betul-betul mengerti pembatas dan kebijakan yang menentukan arah pembangunan negara sekarang dan yang akan datang.



39



Definisi yang lebih sederhana dikemukakan oleh Gittinger (1986), harga bayangan merupakan merupakan harga yang terjadi dalam perekonomian pada keadaan persaingan sempurna dan kondisi keseimbangan. Kondisi biaya imbangan sama dengan harga pasar sulit ditemukan, maka untuk memperoleh nilai yang mendekati biaya imbangan atau harga sosial perlu dilakukan penyesuaian terhadap harga pasar yang berlaku.



4.5.1. Harga Bayangan Output Harga yang digunakan sebagai harga bayangan output adalah harga perbatasan (border price). Harga Free on Board (FOB) dipakai bila output sedang diekspor atau barang ekspor potensial di masa datang dan Cost Insurance Freight (CIF) untuk barang atau komoditi yang sedang diimpor atau kemungkinan diimpor (Monke and Pearson, 1989; Yao, 1997; Pearson et al. 2005). Dalam penelitian ini border price yang digunakan merupakan harga FOB jagung di pelabuhan terdekat yaitu Pelabuhan Anggrek Propinsi Gorontalo, sebesar US $ 275 per ton.



4.5.2. Harga Bayangan Lahan Penentuan harga bayangan lahan dapat dilakukan melalui cara: (1) pendapatan bersih usahatani tanaman alternatif terbaik yang biasa ditanam pada lahan tersebut, (2) nilai sewa yang berlaku di daerah setempat, dan (3) nilai tanah yang hilang karena proyek. Dalam penelitian ini harga bayangan lahan adalah nilai sewa lahan yang berlaku di daerah setempat. Hal ini didasari pada pemikiran bahwa mekanisme pasar lahan di pedesaan berjalan dengan baik.



40



4.5.3. Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan Harga bayangan sarana produksi dan peralatan didasarkan pada harga input tradable dan non tradable (faktor domestik). Benih, pupuk urea dan phonska serta herbisida cair dan pestisida cair termasuk dalam input tradable sedangkan peralatan termasuk dalam input non tradable. Harga privat pupuk urea dan phonska merupakan harga jual aktual (harga pasaran) di lokasi penelitian. Sedangkan penentuan harga bayangan pupuk urea dan phonska dilakukan pendekatan yang berbeda. Harga bayangan pupuk urea ditentukan berdasarkan harga border (border price) di pelabuhan terdekat sedangkan pupuk phonska mengacu pada harga di pasar bebas, sebab border price hanya pada bahan baku pembuatan pupuk phonska (NPK 15-15-15). Adapun harga bayangan herbisida dan pestisida ditentukan berdasarkan harga pasaran karena ketiadaan subsidi pada produk ini selain itu karena border price hanya mencakup harga bahan-bahan baku untuk pembuatan produk tersebut. Harga bayangan benih berupa harga bayangannya sebagai output. Namun karena benih memiliki aspek quality control maka harga bayangan relatif lebih besar dibanding harga bayangan output yaitu : HBbenih = dimana: HB = harga bayangan; HA = harga aktual (harga pasar) Peralatan seperti sekop, cangkul, parang, alat bajak, alat pipil jagung dan perontok padi merupakan produk domestik. Saat ini peralatan pertanian seperti itu banyak diproduksi di desa/ kecamatan oleh tukang setempat. Dilihat dari keseimbangan pasar, maka barang tersebut berada dalam pasar yang mendekati



41



bersaing sempurna. Oleh karenanya, harga bayangan untuk peralatan pertanian ditentukan berdasarkan atau sama dengan harga pasarnya. Demikian pula dengan traktor untuk pengolahan tanah. Di lokasi penelitian traktor hanya dimiliki oleh kelompok tani atau desa, sedangkan para petani yang hendak menggunakannya dikenakan biaya sewa dengan ketentuan borongan. Sehingga sangat sukar untuk menentukan komponen asing dan domestiknya sebab para penyewa atau petani responden tidak tahu menahu mengenai masalah solar atau oli yang digunakan, lagipula terkadang satu kali pengisian solar dapat digunakan sampai dua minggu atau untuk 2 – 3 petani penyewa, sehingga untuk memudahkan maka komponen traktor dimasukkan dalam input non tradable (faktor domestik). Dengan asumsi bahwa para petani setempat dapat dengan mudah mengakses atau menyewa traktor tersebut.



4.5.4. Harga Bayangan Tenaga Kerja Bila pasar tenaga kerja bersaing sempurna, maka tingkat upah yang berlaku mencerminkan opportunity costnya. Artinya, tingkat upah yang berlaku merupakan nilai produk marginal (Gittinger, 1986). Hal ini tidak berlaku untuk sektor pertanian karena tingkat upah pedesaan cenderung lebih tinggi (tidak mengikuti/ terikat dengan ketentuan upah minimum) karena adanya kegiatan gotong royong (di Bolaang Mongondow disebut “tumoyo”). Pearson et al. (2005) mengemukakan bahwa hampir seluruh tenaga kerja dalam kegiatan usahatani di pedesaan adalah tenaga kerja tidak terampil. Dengan demikian tingkat upah privat (tingkat upah pasar) dapat digunakan sebagai penduga yang baik bagi tingkat upah



42



sosialnya. Walaupun diakui divergensi akan terjadi pada upah tenaga kerja terampil. Meskipun begitu, dalam penelitian ini mengacu pada metode perhitungan oleh Suryana (1980), dimana khusus untuk tenaga kerja pengolahan tanah dengan bantuan ternak dan atau traktor, harga bayangannya disamakan dengan tingkat upah pasar (upah yang berlaku di lokasi penelitian), karena dengan tambahan penggunaan alat tersebut maka dapat digolongkan ke dalam tenaga kerja terampil. Disamping itu biasanya menjelang penanaman dibutuhkan tenaga kerja yang cukup besar (pengolahan tanah) begitupun pada saat panen, sehingga diasumsikan pasar tenaga kerja mendekati persaingan sempurna. Sedangkan tenaga kerja tidak terampil diperhitungkan sebesar 80 persen dari upah aktualnya.



4.5.5. Harga Bayangan Suku Bunga Modal Harga bayangan suku bunga modal adalah tingkat suku bunga tertentu atau tingkat pengembalian riil atas proyek-proyek pemerintah (Suryana, 1980). Tingkat suku bunga modal diperlukan dalam menghitung biaya tunai yang dikeluarkan pada proses usahatani mulai tanam sampai panen. Dalam penelitian ini, penentuan harga bayangan suku bunga modal melalui pendekatan tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI-rate). Sedangkan penentuan harga privat suku bunga modal digunakan suku bunga kredit pada lembaga kredit informal pedesaan.



4.5.6. Harga Bayangan Nilai Tukar Rupiah Harga bayangan nilai tukar uang adalah harga uang domestik dalam kaitannya dengan mata uang asing yang terjadi pada pasar nilai tukar uang pada



43



kondisi persaingan sempurna. Salah satu pendekatan untuk menghitung harga bayangan nilai tukar uang adalah harga bayangan harus berada pada tingkat keseimbangan nilai tukar uang. Keseimbangan terjadi apabila dalam pasar uang, semua pembatas dan subsidi terhadap ekspor dan diimpor dihilangkan. Keseimbangan nilai tukar uang dapat dihitung menggunakan Standart Conversion



Factor (SCF) sebagai faktor koreksi terhadap nilai tukar resmi yang berlaku. Tsakok (1990) mengemukakan formula sebagai berikut: ; atau atau dimana: SER



= Shadow Exchange Rate (nilai tukar bayangan tahun ke-t) (Rp/US$) OER = Official Exchange Rate (nilai tukar resmi pemerintah) Xt = nilai ekspor tahun ke-t (Rp) TXt = pajak ekspor tahun ke-t (Rp) Mt = nilai impor tahun ke-t (Rp) TMt = pajak impor tahun ke-t (Rp)



4.6.



Analisis Sensitivitas Setelah dilakukan analisis PAM selanjutnya dilakukan analisis sensitivitas



yang bertujuan untuk melihat bagaimana hasil analisis suatu aktivitas ekonomi bila terjadi perubahan dalam perhitungan biaya atau manfaat. Analisis sensitivitas dilakukan dengan mengubah suatu unsur atau mengkombinasikan unsur-unsur dan menentukan pengaruh dari perubahan tersebut pada hasil analisis semula. Pannell



(1997) mengemukakan



bahwa



penggunaan



analisis



sensitivitas



dapat



44



dikelompokkan ke dalam empat kategori utama yaitu: pengambilan keputusan atau membangun rekomendasi untuk para pengambil kebijakan, komunikasi, peningkatan pengertian atau kuantifikasi suatu sistem dan model pembangunan. Dalam analisis kelayakan proyek pertanian, baik secara finansial maupun ekonomi, terdapat empat faktor yang sangat sensitif terhadap suatu perubahan. Keempat faktor tersebut adalah harga, keterlambatan pelaksanaan, kenaikan biaya dan perubahan hasil. Untuk dapat melihat pengaruh-pengaruh yang akan terjadi akibat perubahan faktor tersebut maka perlu dilakukan analisis sensitivitas (Gittinger, 1986). Analisis sensitivitas dalam penelitian ini terutama hanya dilakukan pada kegiatan usahatani jagung. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa kebijakan pemerintah untuk usahatani jagung belum seketat atau sekonsisten kebijakan bagi usahatani padi (kebijakan perberasan nasional). Selain itu kebijakan untuk usahatani padi merupakan kebijakan nasional yang bersifat “top down” sehingga dianggap kebijakannya telah tetap dan tidak perlu lagi mencari suatu skenario kebijakan baru. Dalam analisis sensitivitas usahatani jagung terdapat 4 simulasi (12 skenario) yang selanjutnya akan dilakukan analisis sensitivitas untuk memperoleh bentuk kebijakan yang efektif, yaitu: 1. Analisis sensitivitas harga output naik 10, 20 dan 30 persen dari harga aktual dan harga bayangan dalam penelitian ini, dengan asumsi faktor lainnya tetap. 2. Analisis sensitivitas harga input (pupuk) dan output secara bersamaan naik 10, 20 dan 30 persen dari harga aktual dan harga bayangan, dengan asumsi faktor lainnya tetap.



45



3. Analisis sensitivitas harga input (pupuk) turun 10 persen, sementara harga output naik 10, 20 dan 30 persen dari harga aktual dan harga bayangan, dengan asumsi faktor lainnya tetap. 4. Analisis sensitivitas upah tenaga kerja turun 10 persen, sementara harga output naik 10, 20 dan 30 persen dari harga aktual dan harga bayangan, dengan asumsi faktor lainnya tetap. Hal yang mendasari penetapan besaran persentase terutama pada variasi persentase kenaikan harga output adalah berdasarkan data base harga jagung FAO menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1991 – 2006 (15 tahun terakhir) kenaikan harga jagung rata-rata sebesar 20 persen per tahun (Tabel 3). Sehingga, mengacu pada persentase kenaikan harga jagung rata-rata per tahun tersebut, maka dicobakan skenario variasi persentase kenaikan harga jagung, yaitu 10 persen (10 persen di bawah data FAO), 20 persen (data FAO) dan 30 persen (10 persen di atas data FAO). Sedangkan skenario penurunan persentase harga input (pupuk) mengacu pada persentase penurunan harga eceran tertinggi pupuk (dalam hal ini urea) yang terjadi selama kurun waktu 1973 – 2006, yaitu sebesar 13 – 14 persen (PT. PUSRI, 2009). Besaran persentase penurunan 10 persen yang digunakan dalam analisis sensitivitas merupakan persentase minimal dari persentase acuan berdasarkan data PT. PUSRI tersebut. Upah buruh tani di Bolaang Mongondow pada tahun 1999 rata-rata sebesar Rp. 15 000 per Hari Orang Kerja (HOK), sementara pada tahun 2009 telah mencapai rata-rata Rp. 35 000 per HOK, sehingga terdapat kecenderungan kenaikan upah buruh tani sebesar 13 persen per tahun. Berdasarkan hal ini, maka



46



dalam analisis sensitivitas penulis mencoba menawarkan suatu bentuk kebijakan jika upah buruh tani tersebut dapat diturunkan minimal 10 persen (pada harga privat dan sosial) pada tahun berjalan (2008 – 2009), sementara harga output dinaikkan 10, 20, 30 persen (pada harga privat dan sosial), bagaimana pengaruhnya terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow. Tabel 3. Persentase Kenaikan Harga Jagung kurun waktu Tahun 1991 – 2006



Persentase Tahun



Keterangan



1991-1992



(%) -8



1992-1993



10



1993-1994



24



1994-1995



16



1995-1996



21



1996-1997



4



1997-1998



74



1998-1999



24



1999-2000



-13



2000-2001



32



2001-2002



-2



2002-2003



4



2003-2004



9



2004-2005



2



2005-2006



14



Rata-Rata Kenaikan



20



Sumber : FAO (2008) (diolah)



turun



turun



turun



47



V. HASIL DAN PEMBAHASAN



5.1.



Gambaran Umum Lokasi Penelitian



Setelah pemekaran wilayah terakhir pada tahun 2008, maka wilayah Bolaang Mongondow terbagi menjadi lima daerah tingkat dua, yaitu Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dan Kota Kotamobagu. Adapun Kabupaten Bolaang Mongondow saat ini secara administratif terbagi atas 12 Kecamatan dengan luas wilayah 4 628.68 km 2 (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bolaang Mongondow, 2008). Wilayah ini memiliki iklim tropis yang relatif basah dengan curah hujan tinggi mencapai 2000 – 3000 mm per tahun (Tabel 4). Iklim di Bolaang Mongondow termasuk iklim tipe A (Tipe Schmidt dan Ferguson) pada daerah dataran tinggi. Sedangkan pada daerah dataran rendah termasuk iklim tipe B. Tabel 4. Curah Hujan selang Tahun 2004 – 2008 (mm/tahun) No.



Bulan



1.



Januari



2.



2004



2005



2006



2007



2008



2 889.4



2 769.5



2 023



1 775.5



1 881.1



Pebruari



2 745



915



2 049



1 997



1 881



3.



Maret



874.7



632



2 131



2 047



1 887



4.



April



2 580.3



628.1



692



1 311



1 441



5.



Mei



2 654.2



941.8



1 491



878.5



1 113



6.



Juni



5 862.2



4 038.2



1 034



912



831



7.



Juli



908



4 336



2 090



877



788



8.



Agustus



1 558.3



485



146



675



767



9.



September



2 136.5



4 047.5



654



618



1 121



10.



Oktober



764



562



0



789



922



11.



Nopember



4 653.9



2 294



1 092



812



1 107.8



12.



Desember



4 118.1



3 046.6



172



918.5



1 671.5



Sumber: Laporan Tahunan Dinas Pertanian dan Peternakan Bolmong (2008)



48



Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Bolmong (2008) jumlah penduduk di Kabupaten Bolaang Mongondow pada tahun 2007 berjumlah 213 464 jiwa yang terdiri dari 110 221 jiwa penduduk laki-laki dan 103 243 jiwa penduduk perempuan. Berdasarkan lapangan usaha maka penduduk yang berusaha sebagai petani sebanyak 114 703 jiwa (Tabel 5). Keadaan ini menunjukkan bahwa sebagian besar pekerjaan masyarakat di Kabupaten Bolaang Mongondow adalah petani dengan rasio 58.66 persen. Tabel 5. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Lapangan Usaha Tahun 2007 No.



Lapangan Usaha



1.



Pertanian



2.



Industri pengolahan



3. 4.



Perdagangan besar dan eceran, rumah makan dan hotel Jasa kemasyarakatan



Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan (Jiwa) (Jiwa) 97 159 17 544



Jumlah (Jiwa) 114 703



5 529



2 019



7 548



8 298



16 480



24 778



11 285



12 047



23 332



23 275



1 915



25 190



145 546



50 005



195 551



Lainnya: pertambangan, listrik, gas, air, konstruksi, angkutan, 5.



penggudangan dan komunikasi, keuangan dan lainnya. Total



Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bolaang Mongondow (2008)



Keadaan lahan menurut luas tanam di Kabupaten Bolaang Mongondow terdiri atas lahan padi (sawah + ladang), jagung, ubi kayu, dan kacang tanah dengan luas masing-masing yaitu padi 52 888 ha, jagung 22 007 ha, ubi kayu 349 ha dan kacang tanah sebesar 619 ha. Selengkapnya mengenai luas tanam usahatani tanaman pangan tersebut seperti terlihat pada Tabel 6.



49



Tabel 6. Luas Tanam Usahatani Tanaman Pangan Mongondow Tahun 2007



Kabupaten Bolaang



Luas Tanam (ha) No.



Kecamatan



Padi (sawah + Kacang Jagung Ubi Kayu ladang) Tanah 1. Passi Timur 330 1 740 29 43 2. Passi Barat 221.5 502 20.5 19.5 3. Bilalang 221.5 502 20.5 19.5 4. Lolayan 7 298 1 515 33 64 5. Dumoga Utara 13 262 2 907 31 59 6. Dumoga Timur 13 003 3 007 4 127 7. Dumoga Barat 7 980 3 025 38 69 8. Poigar 4 012 935 48 36 9. Bolaang 503.5 893 16.5 47 10. Bolaang Timur 503.5 893 16.5 47 11. Lolak 3 139 3 875 47 44 12. Sangtombolang 2 414 2 213 45 44 TOTAL 52 888 22 007 349 619 Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bolaang Mongondow (2008) (diolah)



Berdasarkan data pada Tabel 6 tersebut terlihat bahwa Kecamatan Dumoga Utara, Timur dan Barat memiliki areal pertanaman padi (sawah dan ladang) paling luas di Kabupaten Bolaang Mongondow. Hal ini tidak mengherankan karena sejak dulu Kecamatan Dumoga (sebelum dimekarkan) sudah menjadi lumbung beras bagi Bolaang Mongondow khususnya dan propinsi Sulawesi Utara pada umumnya. Sedangkan tanaman jagung luas areal pertanamannya umumnya merata pada setiap kecamatan di Kabupaten Bolaang Mongondow.



5.2.



Karakteristik Petani Responden Secara umum karakteristik petani responden dalam penelitian ini meliputi



umur, pendidikan terakhir, pengalaman berusaha tani, status anggota keluarga, potensi usahatani yang dimiliki/ diusahakan serta sumber-sumber pendapatan



50



rumahtangga tani baik dari on farm, off farm maupun dari non farm. Pengertian on farm dalam penelitian ini adalah setiap pendapatan rumahtangga tani yang berasal langsung dari hasil usahatani yang dilakukan oleh setiap anggota keluarga rumahtangga tani. Sedangkan off farm adalah setiap pendapatan rumahtangga tani yang berasal dari hasil usaha yang masih berhubungan dengan kegiatan usahatani yang dilakukan, seperti buruh tani, pengolah hasil pertanian dan lain-lain. Adapun non farm merupakan hasil pendapatan rumahtangga tani yang berasal dari kegiatan selain atau tidak berhubungan dengan kegiatan usahatani yang dilakukan, seperti berdagang, karyawan swasta, pegawai negeri, dan lain-lain.



Dari 100 orang petani responden diperoleh hasil usia rata-rata sebesar 45 tahun dengan pendidikan terakhir umumnya sekolah dasar (49 persen). Tabel 7 memberikan gambaran umum mengenai kondisi usia para petani responden.



Tabel 7. Karakteristik Usia Petani Responden



Usia



Persentase (%)



20 -30 tahun



7



30 - 40 tahun



36



40 - 50 tahun



28



50 - 60 tahun



22



> 60 tahun



7



Total



100



Berdasarkan Tabel 7 tersebut dapat dikemukakan bahwa kondisi usia para petani responden rata-rata masih pada usia produktif (usia kerja). Hal ini mengindikasikan bahwa masih terdapat peluang untuk mengembangkan lagi usahatani yang sudah ada.



51



Faktor pendidikan sangat memegang peranan penting dalam suatu manajerial usaha. Hal ini dapat terlihat dari kemampuan membaca peluang usaha yang dilakukan masing-masing petani responden. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa dari 100 orang petani responden hanya satu orang petani yang memiliki pendidikan terakhir perguruan tinggi (sarjana ekonomi). Dimana petani tersebut memiliki total pendapatan rumahtangga tani tertinggi yaitu



Rp. 129 840 000 per tahun. Selengkapnya mengenai kondisi pendidikan petani responden seperti terlihat pada Tabel 8. Tabel 8. Karakteristik Pendidikan Terakhir Petani Responden Pendidikan Terakhir



Persentase (%)



Perguruan Tinggi



1



SMA



27



SMP



21



SD



49



Tidak Lulus SD



2



Total



100



Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa sebagian besar petani responden berpendidikan SD. Hal ini berpengaruh pada kemampuan dan kesempatan untuk memperoleh alternatif usaha guna pemenuhan pendapatan rumahtangga tani. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh bahwa dari 100 orang petani responden terdapat 31 orang petani yang menjadi buruh tani (tenaga harian dan pemanjat kelapa) atau rata-rata terdapat 1 – 2 orang anggota rumahtangga yang menjadi buruh tani. Pilihan menjadi buruh tani di luar kegiatan rutin usahatani terpaksa



52



dilakukan karena mere ka tidak memiliki ketrampilan lain selain bert ani, hal ini sebagai dam pak dari tingkat pendidikan yang rendah. Berhubungan dengan hal tersebut, hasil peneliti an Puspadi et al. (200 5) menunj ukkan bahw a terdapat hubungan (k orespondensi) antara ti ngkat pendid ikan petani dengan jenis usahatani utama yang dikelola. Petani yang ti ngkat pendid ikannya relatif tinggi, berada pada usahatani c ampuran, sedangkan petani yan g tingkat pendidikannya rendah cenderung memilih usa hatani panga n, hal ini d idasari kare na kemajuan pola pikir yang dimilik i oleh para petani yang berpendidikan lebih tin ggi (Gambar 3).



Sumber : Puspadi et al. (2005) Gambar 3. Hubung an Tingkat Pendidikan Petani deng an Jenis Usa hatani Tabe l 9 mempe rlihatkan sta tus dan peranan tiap a nggota kelu arga dalam



satu rumaht angga tani di lokasi p enelitian. Dapat dikem ukakan ba hwa selain suami sebag ai pencari nafkah utam a, ternyata posisi istri bu kan hanya sebagai ibu rumahtangga namun berperan penting pula dalam m enambah pendapatan rumahtangga tani, dima na terdapat r asio sebanyak 71 perse n istri yang bekerja dan hanya 29 persen yang m enjadi ibu r umahtangga biasa.



53



Tabel 9. Status dan Peranan Anggota Keluarga Sekolah



Bekerja



(%)



(%)



Tidak Kerja/ belum sekolah (%)



Suami (KK)



0



100



0



Istri



0



71



29



Anak (< 15 tahun)



68



1



18



Anak (> 15 tahun)



44



20



14



Tanggungan lain (< 15 tahun)



5



0



2



Tanggungan lain (> 15 tahun)



1



1



4



Anggota keluarga



Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, diperoleh informasi bahwa umumnya para istri membantu para suami melakukan kegiatan usahatani, disamping itu sebagian lagi ada yang berdagang ataupun menjadi pegawai/ karyawan.



5.3.



Struktur Pendapatan Petani dan Kepemilikan Lahan Petani responden di lima kecamatan lokasi penelitian semuanya bermata



pencaharian utama dari kegiatan usahatani, baik tanaman pangan, peternakan maupun perkebunan. Dimana sebagian besar merupakan pemilik lahan, hanya satu kecamatan saja yang keseluruhan petaninya tidak memiliki lahan atau hanya menggarap yaitu di Kecamatan Lolak (Desa Lolak II). Lahan di Desa Lolak II merupakan milik perusahaan perkebunan kelapa daerah sehingga statusnya Hak Guna Usaha (HGU), sedangkan para petani merupakan keturunan keempat dari penduduk asal Sangihe Talaud yang bertransmigrasi bedol desa karena bencana



54



alam Gunung Awu dan Gunung Karangetang pada tahun 50-an. Pada lahan HGU



tersebut diberlakukan ketentuan pembayaran sewa sebesar 5 persen dari hasil penjualan komoditi (jagung dan padi) per tahunnya yang disetorkan ke mandor perusahaan. Selengkapnya mengenai status dan penguasaan lahan pertanian oleh petani di lokasi penelitian seperti terlihat pada Tabel 10. Tabel 10. Sebaran Petani Responden Menurut Luas Lahan Garapan Usahatani Jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2009 No.



Luas Lahan (ha)



Jumlah petani (orang)



Persentase (%)



1.



0.25 - 0.75



24



24



2.



1- 2



70



70



3.



3- 4



4



4



4.



>4



2



2



Total



100



100



Keseluruhan petani responden melakukan kegiatan usahatani jagung dan padi sebagai sumber mata pencaharian utama, disamping sebagian kecil berusahatani kedelai, peternakan (sapi, kambing dan babi) dan perkebunan (kelapakopra). Hal ini didasari pada curahan waktu kerja pada kegiatan usahatani jagung dan padi sebanyak 8 – 10 jam per hari. Sedangkan pendapatan rumahtangga tani yang berasal dari off farm adalah buruh tani harian dan pemanjat kelapa musiman serta penangkar benih pohon. Sebagian lagi petani responden memiliki alternatif usaha di luar kegiatan usahatani (non-farm) diantaranya berdagang, karyawan swasta, Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI/Polri, penjahit,



55



tukang bangunan dan pengendara angkutan. Selengkapnya mengenai struktur pendapatan petani responden seperti terlihat pada Tabel 11. Tabel 11. Struktur Pendapatan Rumahtangga Tani Responden Sumber pendapatan



Rasio petani (%)



Pendapatan (rata-rata) per Periode (Rp)



On Farm : 1. UT Jagung (MT)



100



3 771 776



2. UT Padi (MT)



69



8 367 037



3. UT kedelai (MT)



4



1 217 250



4. Perkebunan (kwartal)



20



6 131 825



5. Peternakan (musiman)



20



3 863 158



26



679 194



5



270 000



1



700 000



1. Dagang (mingguan)



16



804 688



2. Karyawan (bulanan)



1



4 000 000



3. PNS/TNI/POLRI (bulanan)



6



1 191 667



4. Penjahit (mingguan)



1



1 140 000



5. Tukang bangunan (mingguan)



5



772 000



6. Angkutan (mingguan)



7



817 500



Off Farm : 1. Buruh tani (mingguan) 2. Buruh pengumpul/pemanjat kelapa (mingguan) 3. Penangkar benih pohon (bulanan) Non Farm :



Berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa secara umum pendapatan rata-rata rumahtangga tani responden dari kegiatan usahatani masih rendah, terutama dari usahatani jagung. Sehingga jika rumahtangga tani hanya melakukan satu usahatani monokultur saja, misalnya hanya jagung saja, maka dapat dipastikan akan terjadi kesulitan keuangan dalam rumahtangga. Hal ini biasanya diatasi



56



petani dengan cara meminjam atau mengijon terlebih dahulu usahataninya pada pedagang pengumpul desa (toko pertanian). Dari lima desa lokasi penelitian diperoleh data Desa Nonapan I Kecamatan Poigar memiliki tingkat pendapatan rumahtangga tani terendah, yaitu hanya Rp. 19 972 850 per tahun atau rata-rata per bulan Rp. 1 664 404 dan umumnya petani responden hanya menggantungkan hidup pada satu sampai dua alternatif usaha untuk menghidupi rumahtangganya. Sedangkan yang tertinggi pendapatan rumahtangga taninya adalah Desa Langagon Kecamatan Bolaang yang rata-rata pendapatan rumahtangga taninya Rp. 38 758 188 per tahun atau rata-rata per bulan Rp. 3 229 849 dengan dua sampai empat alternatif usaha untuk menghidupi rumahtangganya. Selengkapnya rata-rata pendapatan rumahtangga tani masingmasing responden pada lima lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.



5.4.



Justifikasi Harga Bayangan



Dalam penelitian ini untuk menentukan besaran harga sosial dalam analisis PAM menggunakan perhitungan harga bayangan disesuaikan menurut definisi Gittinger (1986) (lihat kembali bagian 4.5. Metode Penentuan Harga Bayangan), sehingga harga bayangan yang digunakan secara umum ditentukan dengan cara mengeluarkan distorsi akibat adanya kebijakan-kebijakan seperti subsidi, pajak, penentuan upah minimum, harga pembelian pemerintah dan lainlain. Harga bayangan tersebut meliputi harga bayangan output, lahan, input (sarana produksi dan peralatan), tenaga kerja, suku bunga modal dan nilai tukar rupiah.



57



5.4.1. Harga Bayangan Output Harga yang digunakan sebagai dasar penentuan harga bayangan output adalah harga perbatasan (border price). Berdasarkan informasi dan data yang diperoleh dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sulawesi Utara bahwa kegiatan ekspor jagung terakhir yang tercatat berlangsung pada tahun 2007. Untuk tahun-tahun selanjutnya produksi jagung hanya diperuntukkan bagi kebutuhan lokal. Sehingga ditempuh pendekatan kegiatan ekspor jagung di pelabuhan terdekat, yaitu Gorontalo. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Propinsi Gorontalo, diperoleh harga FOB jagung di Pelabuhan Anggrek Gorontalo pada tahun 2008 sebesar US $ 275 per ton. Kemudian dikonversi dengan Shadow Exchange Rate (SER) Rp.9 753.59, maka diperoleh harga FOB sebesar Rp. 2 682 per kg. Selanjutnya ditambah dengan dengan biaya angkut (ke kabupaten dan kecamatan) sebesar Rp. 140 per kg, dan biaya bongkar muat di pelabuhan (truck losing) sebesar Rp. 19 per kg, sesuai data Pelindo (2009). Sehingga diperoleh harga sosial output jagung pipilan di tingkat petani sebesar Rp. 2 841 per kg. Harga bayangan beras dilakukan pendekatan pada harga CIF Bangkok (15 persen broken) rata-rata tahun 2008 sebesar US $ 515.8 per ton, sesuai data Harga Komoditi di Pasar Dunia - Bank Indonesia (2009). Setelah dikurangi dengan bea masuk sebesar Rp. 450 per kg dan PPH impor 2.5 persen maka harga border beras menjadi sebesar Rp. 4 455 per kg. Selanjutnya ditambah dengan biaya penanganan dan angkutan, maka harga sosial beras di tingkat petani sebesar Rp. 4 614 per kg.



58



5.4.2. Harga Bayangan Lahan Dalam penelitian ini harga bayangan lahan adalah nilai sewa lahan yang berlaku di daerah setempat. Hal ini didasari pada pemikiran bahwa mekanisme pasar lahan di pedesaan berjalan dengan baik. Walaupun berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa sebagian besar petani merupakan pemilik lahan baik yang diperoleh secara beli tunai maupun warisan orang tua, namun terdapat pula beberapa petani yang menyewa lahan bahkan di Desa Lolak II Kecamatan Lolak keseluruhan status lahan petani adalah penggarap sewa karena lahan di lokasi tersebut berstatus Hak Guna Usaha (HGU). Sehingga untuk perhitungan harga bayangan ditempuh cara menyeragamkan ke dalam nilai sewa lahan, dimana untuk Desa Lolak II Kecamatan Lolak berlaku ketentuan sewa 5 persen dari hasil panen per tahun, sedangkan untuk empat kecamatan lainnya berlaku 20 persen dari hasil panen per tahun. Secara ringkas harga sewa lahan yang berlaku di lokasi penelitian seperti terlihat pada Tabel 12. Tabel 12. Rekap Harga Sewa Lahan Rata-Rata di Lokasi Penelitian Ukuran Lahan (ha)



Rata-Rata Harga Sewa (Rp)



0.25 - 0.75



701 228



1- 3



1 280 732



>4



2 960 000



5.4.3. Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan Pada penelitian ini ditemukan fakta bahwa para petani setempat saat ini hanya menggunakan dua jenis pupuk yaitu urea dan phonska. Adapun KCl tidak digunakan lagi karena harganya yang sangat mahal dan tidak terjangkau petani



59



kecil (mencapai Rp. 800 000 per 50 kg), sedangkan SP-36 sudah sangat jarang ditemukan di pasaran. Harga privat pupuk dalam penelitian ini menggunakan harga jual aktual (harga pasaran) di lokasi penelitian (Tabel 13). Sedangkan penentuan harga bayangan pupuk urea dan phonska dilakukan pendekatan yang berbeda. Harga bayangan pupuk urea mengacu pada harga FOB pupuk urea produksi PT. Pupuk Kaltim di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya (posisi harga tahun 2008) sebesar Rp. 4 100 per kg, sesuai data dari Forum Tani (2009). Kemudian ditambah dengan biaya bongkar muat sebesar Rp. 19 per kg, biaya angkut dari pelabuhan ke kota propinsi sebesar Rp. 70 per kg dan dari kota propinsi ke kecamatan sebesar Rp. 70, sesuai data dari Pelindo Bitung (2009). Sehingga diperoleh harga pupuk urea di tingkat petani sebesar Rp. 4 250 per kg (Tabel 13). Harga sosial pupuk phonska dalam analisis PAM menggunakan pendekatan harga pupuk tersebut di pasar bebas. Hal ini dilakukan karena sulitnya mencari border price pupuk phonska, yang tersedia hanya harga border bahan-bahan baku untuk pembuatan pupuk sehingga sulit menentukan border price harga pupuk tersebut. Untuk itu, dilakukan pendekatan pada harga NPK 15-15-15 yang dipasarkan oleh PT. Anugrah Tambang Pratama sebesar Rp. 5 000 per kg (Tabel 13). Hal ini dapat dilakukan karena pupuk phonska produksi PT. Petrokimia Gresik merupakan jenis pupuk majemuk NPK 15-15-15. Selain itu karena harga sosial merupakan harga yang bebas dari pengaruh distorsi harga dalam ini kebijakan subsidi, sehingga produk yang tidak terkena subsidi harga jualnya di lepas ke mekanisme pasar (pasar bebas), maka pendekatan harga sosial phonska melalui harga jual dipasar bebas dapat dilakukan.



60



Harga bayangan benih jagung didekati dari harga bayangan komoditi tersebut sebagai output, namun karena memiliki aspek quality control maka harga bayangan benih lebih besar dibanding harga bayangannya sebagai output. Sehingga harga bayangan (sosial) benih pada Tabel 13 dihitung berdasarkan rata-rata harga aktual (harga privat) benih jagung di lokasi penelitian, kemudian dibagi dengan ratarata harga jual aktual jagung pipilan (output) di lokasi penelitian (rata-rata Rp. 2 138 per kg), selanjutnya dikali dengan harga bayangan jagung pipilan (output) sebesar Rp. 2 785 per kg. Cara yang sama dilakukan untuk harga bayangan benih padi, dimana acuan harga adalah harga privat atau harga aktual setempat yaitu sebesar Rp. 2 734 per kg. Hanya saja untuk benih padi perlu mempertimbangkan faktor konversinya yaitu 1 kg padi = 0.64 kg beras.



Tabel 13. Rekap Harga Privat dan Sosial Sarana Produksi Usahatani Jagung di Lokasi Penelitian No.



Uraian



Satuan



Harga Privat



Harga Sosial



(Rp)



(Rp)



1.



Benih hibrida



kg



30 941



41 127



2.



Pupuk urea



kg



1 476



4 259



3.



Pupuk phonska



kg



2 505



5 000



4.



Herbisida cair



liter



76 424



76 424



5.



Pestisida cair



liter



66 882



66 882



6.



Sewa alat pipil



56



56



7.



Penyusutan alat : sekop, cangkul dan parang



60 313



60 313



Rp/kg



Untuk komponen herbisida dan pestisida cair, harga privat dan sosial (harga bayangan) merupakan harga beli di lokasi penelitian (harga pedagang pengumpul desa/ toko saprodi setempat) (Tabel 13). Hal ini didasari asumsi



61



bahwa border price hanya pada komponen atau bahan baku pembuatan pestisida dan herbisida tersebut, sehingga sulit untuk menentukan harga bayangan berdasarkan border price bahan baku. Selain itu karena baik herbisida maupun pestisida merupakan input sarana produksi yang tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah, sehingga harga jual di lepas ke mekanisme pasar (pasar bebas). Untuk itu harga sosial (harga bayangan) sama dengan harga privatnya (harga aktualnya).



Terlihat pada Tabel 13 bahwa untuk sewa alat pipil menggunakan satuan Rp per kg. Hal ini karena perhitungan sewa alat pipil berdasarkan jumlah koli (kg) jagung pipilan yang dihasilkan. Dimana untuk pembayaran sewa alat ratarata dihargai sebesar Rp. 56 per kg jagung pipilan. Biasanya pembayaran dalam bentuk uang tunai namun ada pula penyewa alat yang membayar dalam bentuk natura (jagung pipilan), hal ini terjadi sesuai kesepakatan kedua belah pihak.



5.4.4. Harga Bayangan Tenaga Kerja Tenaga kerja dalam penelitian ini digolongkan ke dalam tenaga kerja terampil dan tidak terampil. Tenaga kerja terampil yaitu tenaga kerja pengolahan tanah dengan bantuan ternak dan traktor, tenaga kerja penanaman dengan bantuan ternak (larik), tenaga kerja pengendalian hama dan penyakit (penyemprotan), tenaga kerja pemipilan (operator alat pipil), tenaga kerja pengangkutan dengan bantuan gerobak sapi dan kendaraan lainnya (mobil dan bentor). Harga bayangan upah tenaga kerja terampil tersebut disamakan dengan harga aktualnya (privat).



Adapun tenaga kerja tidak terampil (tanpa bantuan alat dan atau ternak) penentuan harga bayangan tenaga kerja sebesar 80 persen dari tingkat upah yang berlaku (Suryana, 1980) (Tabel 14). Kalau di Bolaang Mongondow saat ini upah



62



tenaga kerja harian yang berlaku rata-rata Rp. 35 000 per HOK, maka harga bayangannya rata-rata sebesar Rp. 28 000 per HOK. Hal ini didasari pada asumsi bahwa terdapat 20 persen opportunity cost dari para petani tersebut untuk memperoleh pendapatan/ pekerjaan di luar usahatani jagung atau dengan kata lain 20 persen opportunity cost tersebut merupakan jumlah pendapatan di luar kegiatan usahatani jagung, misalnya menjadi pembantu tukang bangunan, pemanjat kelapa dan lain-lain. Tabel 14. Rekap Harga Privat dan Sosial Upah Tenaga Kerja Tidak Terampil Usahatani Jagung di Lokasi Penelitian No.



Uraian



Unit



Harga Privat (Rp)



Harga Sosial (Rp)



1.



Olah tanah I (manusia)



Rp/HOK



53 032



42 426



2.



Olah tanah II (manusia)



Rp/ HOK



60 000



48 000



3.



Garu I (manusia)



Rp/ HOK



65 000



52 000



4.



Garu II (manusia)



Rp/ HOK



65 000



52 000



5.



Penanaman (manusia)



Rp/ HOK



49 758



39 807



6.



Penyiangan 1 & 2



Rp/ HOK



50 176



40 141



7.



Pemupukan 1 & 2



Rp/ HOK



52 313



41 850



8.



Panen & kupas



Rp/ HOK



48 389



38 711



9.



Jemur



Rp/ HOK



49 022



39 218



10.



Pemipilan (manusia)



Rp/ HOK



31 750



25 400



11.



Pengangkutan (manusia)



Rp/ HOK



50 783



40 626



Selengkapnya mengenai harga privat dan sosial upah tenaga kerja usahatani jagung dilihat pada Lampiran 3. Sedangkan tenaga kerja pada usahatani padi di Lampiran 4.



63



5.4.5. Harga Bayangan Suku Bunga Modal Harga bayangan suku bunga modal dalam penelitian ini mengacu pada tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI-rate) tahun 2008. Berdasarkan data dari Bank Indonesia tercatat BI-rate per Desember tahun 2008 sebesar 9.25 persen (Tinjauan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, 2009). Asumsi yang mendasari hal ini adalah karena BI-rate merupakan suku bunga acuan perbankan nasional yang belum terdapat distorsi seperti ambil untung (laba) perbankan, pajak dan biaya-biaya lainnya. Sedangkan harga privat suku bunga modal mengacu pada ketentuan pinjam meminjam di lokasi penelitian antara petani dan pedagang pengumpul desa. Dimana setiap nominal peminjaman (baik dalam bentuk uang maupun natura) ada selisih Rp. 250 yang diambil pihak pemberi pinjaman. Cicilan pinjaman dilakukan setiap periode panen atau 3 – 4 bulan, sehingga dalam setahun (dua musim tanam) bunga yang dikenakan oleh pihak pemberi pinjaman rata-rata mencapai 25 persen. Selengkapnya mengenai harga privat dan sosial serta budget privat dan sosial suku bunga modal usahatani jagung dapat dilihat pada Lampiran 3.



5.4.6. Harga Bayangan Nilai Tukar Rupiah Pada tahun 2008 nilai total ekspor dan impor Indonesia untuk komoditi jagung dan padi (beras) serta turunannya masing-masing sebesar Rp. 167.2 juta per kg dan Rp. 2.05 milliar per kg, pajak ekspor dan impor masing-masing sebesar Rp. 4.18 juta dan Rp. 51.30 juta (Departemen Perdagangan, 2009). Nilai SCF tahun 2008 sebesar 0.979, sehingga nilai tukar bayangan (SER) adalah Rp. 9753.59 per 1 US $.



64



5.5.



Profitabilitas Privat dan Sosial Analisis finansial dan ekonomi usahatani jagung memberikan gambaran



umum dan sederhana mengenai tingkat kelayakan usahatani jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow, khususnya pada lima kecamatan lokasi penelitian. Selain itu profitabilitas privat (finansial) merupakan indikator keunggulan kompetitif dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Sedangkan profitabilitas sosial (ekonomi) merupakan indikator keunggulan komparatif atau efisiensi dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada distorsi pasar dan kebijakan pemerintah. Berdasarkan hasil perhitungan pada Lampiran 3 dapat dikemukakan bahwa baik secara finansial maupun ekonomi usahatani jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow selama satu tahun terakhir (dua musim tanam) menunjukkan tingkat kelayakan usaha yang baik. Salah satu indikator sederhana dapat dilihat pada nilai Revenue Cost Ratio (RC-ratio) yang lebih besar dari satu. Selain itu hasil pendapatan pada analisis ini juga merupakan indikator keuntungan privat dan sosial dalam policy analysis matrix. Selanjutnya, secara ekonomi harga jual jagung yang diterima petani pada tingkat harga sosial lebih tinggi daripada harga aktualnya (harga privat). Dimana terlihat bahwa pendapatan bersih (diluar komponen lahan) secara ekonomi yaitu Rp. 4 519 566 per tahun dengan RC-ratio 1.59, lebih besar dibandingkan secara finansial yang berjumlah Rp. 1 692 554 per tahun dengan RCratio 1.23. Demikian halnya jika komponen lahan dimasukkan maka diperoleh pendapatan bersih secara ekonomi sebesar Rp. 3 045 938 per tahun dengan RC-ratio 1.33 dan secara finansial diperoleh pendapatan bersih sebesar Rp. 218 926 per tahun dengan RC-ratio 1.02 (lihat Lampiran 3).



65



Hal ini menunjukkan bahwa secara ekonomi masyarakat tani setempat sebenarnya lebih diuntungkan dibanding dengan produsen input tradable maupun domestik (non tradable). Sebaliknya secara finansial (individu petani) perolehan pendapatan yang rendah selama dua musim tanam terakhir menunjukkan tingginya komponen biaya produksi (tradable dan faktor domestik) yang harus dikeluarkan setiap petani (secara individual) untuk kelangsungan hidup usahataninya. Sementara biaya produksi yang tinggi tidak diimbangi dengan harga jual yang memadai pada tingkat harga aktual. Berdasarkan hasil analisis PAM pada Tabel 15 menunjukkan bahwa walaupun usahatani jagung memperoleh profitabilitas privat di atas normal (D > 0) yaitu 2.39 persen. Namun jika dibandingkan komoditi kompetitor utamanya, yaitu padi terlihat bahwa profitabilitas privat usahatani jagung menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan profitabilitas privat usahatani padi. Selain itu berdasarkan analisis finansial dan ekonomi pada Lampiran 4 terlihat bahwa secara finansial usahatani padi memiliki RC-ratio (tingkat kelayakan usaha) jauh lebih besar dibanding usahatani jagung (1.39), namun secara ekonomi tidak begitu nyata perbedaannya (1.37). Profitabilitas privat (finansial) adalah selisih penerimaan dan biaya total dengan dasar perhitungan harga output yang diterima dan harga input yang dibayar petani produsen. Total biaya telah mencakup nilai sewa lahan dan sewa tenaga kerja dalam keluarga. Pada kondisi aplikasi teknologi aktual, kinerja usahatani, pada tingkat harga yang dibayar dan diterima petani, dan kebijakan yang sedang berjalan nampak bahwa usahatani jagung belum memberikan



66



keuntungan pada petani produsen secara individual (privat) dibandingan usahatani padi (Tabel 15). Profitabilitas sosial mengindikasikan keunggulan komparatif suatu komoditas dalam pemanfaatan sumberdaya yang langka di dalam negeri. Pada kondisi ini harga input dan output diperhitungkan dalam kondisi persaingan sempurna, dimana segala bentuk subsidi dan proteksi yang bersifat mendistorsi pasar telah dihilangkan. Sistem komoditas dengan tingkat profitabilitas sosial (ekonomi) yang makin tinggi maka menunjukkan tingkat keunggulan komparatif yang semakin besar. Tabel 15 memperlihatkan bahwa usahatani jagung memiliki profitabilitas sosial yang tinggi (24 persen), dimana tidak berbeda secara signifikan dengan profitabilitas sosial usahatani padi (25 persen). Hasil ini merupakan indikasi awal bahwa usahatani jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow memiliki keunggulan komparatif. Tabel 15. Hasil Analisis Policy Analysis Matrix Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow (Rp) No 1.



2.



Uraian



Revenue



Input Tradable



Faktor Domestik/ non tradable Lahan & Tenaga Kerja Modal



Profit



Jagung: a.Privat b.Sosial c.Divergensi



9 160 790.63 12 176 832.45 -3 016 041.83



2 135 557.29 3 355 376.11 -1 219 818.82



4 560 657 3 962 836 597 821



2 245 650 1 812 683 432 968



218 926 3 045 938 -2 827 011



Padi : a.Privat b.Sosial c.Divergensi



13 705 580.09 12 761 551.72 944 028.37



1 268 151.97 2 053 674.92 -785 522.96



5 434 977 4 706 137 728 840



3 132 345 2 555 173 577 172



3 870 106 3 446 567 423 539



Profitabilitas privat (finansial) usahatani jagung yang rendah merupakan indikasi awal rendahnya keunggulan kompetitif usahatani jagung. Komoditas ini akan mengalami hambatan dalam pengembangannya karena komoditas



67



kompetitornya yaitu padi ternyata memiliki daya saing lebih tinggi secara finansial atau lebih kompetitif. Terlihat pada Tabel 15 profitabilitas privat usahatani jagung lebih kecil dibanding profitabilitas sosialnya. Perbedaan ini terjadi diduga karena adanya praktek monopsoni di lokasi penelitian. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa adanya ketergantungan para petani pada pedagang pengumpul desa atau dengan kata lain para pedagang pengumpul di masing-masing desa penelitian menjadi satu-satunya pembeli hasil panen dan tempat bergantung petani untuk aspek keuangan serta pengadaan input. Sehingga para pedagang pengumpul tersebut memiliki kekuatan dalam mengendalikan pasar input dan output, akibatnya harga jual input menjadi tinggi sementara harga beli output justru ditekan. Pearson et al. (2005) mengemukakan bahwa salah satu penyebab terjadinya divergensi adalah kegagalan pasar. Pasar dikatakan gagal apabila tidak mampu menciptakan harga yang kompetitif serta menciptakan alokasi sumberdaya maupun produk yang efisien. Terdapat tiga jenis kegagalan pasar yang menyebabkan divergensi, yaitu: (1) monopoli (penjual yang menguasai harga pasar) atau monopsoni (pembeli menguasai harga pasar), (2) eksternalitas negatif yaitu biaya, dimana pihak yang menimbulkan terjadinya biaya tersebut tidak bisa dibebani biaya yang ditimbulkannya atau eksternalitas positif yaitu manfaat, dimana pihak yang menimbulkan manfaat tersebut tidak bisa menerima kompensasi atau imbalan atas manfaat yang ditimbulkannya), dan (3) pasar faktor domestik yang tidak sempurna, dimana tidak adanya lembaga yang dapat memberikan pelayanan yang kompetitif serta informasi yang lengkap.



68



Penyebab kedua terjadinya divergensi adalah kebijakan pemerintah yang distorsif. Penerapan kebijakan distorsif untuk mencapai tujuan yang bersifat non-efisiensi (pemerataan atau ketahanan pangan), akan menghambat terjadinya alokasi sumberdaya yang efisien dan dengan sendirinya akan menimbukan divergensi. Misalnya, tarif impor beras yang diterapkan untuk meningkatkan pendapatan petani (tujuan pemerataan) dan meningkatkan produksi beras dalam negeri (tujuan ketahanan pangan), namun dilain pihak akan menimbulkan kerugian efisiensi bila harga beras impor yang digantikannya ternyata lebih murah dari biaya domestik yang digunakan untuk memproduksi beras dalam negeri, sehingga akan timbul trade-offs (Pearson et al. 2005). Pengambil kebijakan harus memberikan bobot tertentu pada masing-masing tujuan yang saling bertentangan tersebut untuk menentukan apakah kebijakan tarif impor perlu diterapkan atau tidak. Secara teori, kebijakan yang paling efisien dapat dicapai jika pemerintah mampu menciptakan kebijakan yang mampu menghapuskan kegagalan pasar dan jika pemerintah mampu mengabaikan tujuan non-efisiensi serta menghapuskan kebijakan yang distorsif. Apabila tindakan menciptakan kebijakan yang efisien dan menghilangkan kebijakan yang distorsif tersebut mampu dilaksanakan, maka divergensi dapat dihilangkan dan efek divergensi (nilai-nilai divergensi pada Tabel 15) akan menjadi nol. Pada kondisi seperti itu, nilai-nilai pada bagian privat (baris pertama tabel PAM) akan sama dengan nilai pada bagian sosial (baris kedua tabel PAM) atau dengan kata lain pendapatan (revenue), biaya dan profitabilitas privat akan sama dengan pendapatan, biaya dan profitabilitas sosial.



69



5.6.



Keunggulan Komparatif dan Kompetitif



Tabel 16 memperlihatkan nilai PCR dan DRCR dari usahatani jagung berdasarkan analisis PAM dan sebagai pembanding diperlihatkan juga nilai PCR dan DRCR dari usahatani padi di Kabupaten Bolaang Mongondow. Tabel 16. Hasil Perhitungan Private Cost Ratio dan Domestic Resource Cost Ratio Usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang Mongondow No.



Usahatani



Private Cost Ratio (PCR)



Domestic Resource Cost Ratio (DRCR)



1.



Jagung



0.97



0.65



2.



Padi



0.69



0.68



Nilai PCR usahatani jagung seperti pada Tabel 16 tersebut, menunjukkan bahwa usahatani jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow selang satu tahun terakhir dikategorikan sedikit memiliki keunggulan kompetitif karena nilai PCR
1.0 ha. Diperoleh hasil rata-rata divergensi output adalah 39 persen, dimana 30 persen diantaranya bersumber dari



76



kebijakan tarif impor. Tanpa adanya proteksi, maka keuntungan privat akan negatif. Tabel 18. Retribusi Distribusi Komoditi Kabupaten Bolaang Mongondow sesuai Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2001 No.



Jenis



Quantum (kg)



Besaran Tarif (Rp)



1.



Cengkih



100



50 000



2.



Vanili kering



100



50 000



3.



Vanili basah



100



25 000



4.



Biji pala



100



25 000



5.



Fuli



100



40 000



6.



Jagung



100



5 000



7.



Kedele



100



5 000



8.



Beras



100



5 000



9.



Kentang



100



5 000



10.



Sayur



100



5 000



11.



Coklat



100



10 000



12.



Kopi biji



100



5 000



13.



Kopra



100



10 000



14.



Telur ayam



100



5 000



15.



Ayam daging



100



20 000



Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Bolaang Mongondow (2009)



Kebijakan yang bersifat protektif terhadap harga output beras tersebut sejalan dengan kebijakan pemerintah yang menetapkan harga pembelian pemerintah terhadap beras pada tahun 2009 ini sebesar Rp.4 600 per kg. Selain itu beras sebagai makanan pokok utama masih memiliki nilai jual yang lebih tinggi di pasar lokal dibanding jagung, yaitu pada kisaran Rp. 5 000 – 7 000 per kg. Hal ini berbeda dengan harga jagung pipilan yang belum pernah menembus Rp. 4 000 per kg (kondisi Bolaang Mongondow). Walaupun diakui bahwa komoditi jagung ini



77



berpeluang ekspor, namun dengan adanya berbagai macam retribusi terhadap komoditi pertanian (Tabel 18), menjadi salah satu penyebab tetap rendahnya pendapatan petani produsen dari usahatani jagung ini secara finansial (privat). Berhubungan dengan masalah tarif tersebut, hasil penelitian Hadi dan Wiryono (2005) mengenai usahatani padi menunjukkan bahwa skenario penghapusan tarif impor baik yang eksplisit maupun implisit akan menyebabkan keuntungan usahatani padi menurun sekitar Rp. 827 ribu sampai dengan Rp. 1.46 juta atau rata-rata Rp. 1.19 juta per hektar per musim atau menurun sekitar 40.41 persen sampai dengan 111.37 persen atau rata-rata 53.48 persen. Sedangkan skenario mempertahankan seluruh tarif implisit (Rp.117.4 per kg) dan menghapus seluruh tarif eksplisit (Rp. 430 per kg) akan menyebabkan keuntungan petani menurun sekitar Rp. 650 ribu sampai dengan Rp. 1.06 juta atau rata-rata Rp. 933 ribu per hektar per musim atau menurun sekitar 31.76 persen sampai dengan 87.53 persen atau rata-rata 42.03 persen. Sementara skenario penghapusan seluruh tarif implisit dan mempertahankan seluruh tarif eksplisit akan menyebabkan keuntungan petani menurun sekitar Rp. 177 ribu sampai dengan Rp. 314 ribu atau rata-rata Rp. 255 ribu per hektar per musim atau menurun sekitar 8.67 persen sampai dengan 23.89 persen atau rata-rata 11.47 persen. Terlihat bahwa dampak skenario kebijakan non tarif lebih ringan daripada skenario kebijakan tarif.



Hadi dan Wiryono (2005) menyimpulkan bahwa kebijakan proteksi yang merupakan kombinasi tarif dan non tarif berhasil meningkatkan harga produsen, jumlah produksi, surplus produsen dan pendapatan petani serta menurunkan jumlah impor beras secara signifikan. Kebijakan nontarif mempunyai efek lebih besar daripada kebijakan tarif. Namun tidak berarti bahwa salah satu kebijakan



78



dapat dihilangkan karena keduanya saling memperkuat. Jika salah satu kebijakan tersebut dihapus, apalagi keduanya, maka dikhawatirkan akan menyebabkan usahatani padi hancur sehingga tingkat ketergantungan Indonesia pada pasar dunia yang tipis akan makin besar. Kebijakan tarif saja atau kebijakan nontarif saja tampaknya tidak cukup untuk melindungi pertanian padi nasional. Apalagi dengan penerapan kesepakatan WTO saat ini yang mengharuskan setiap negara anggota untuk membuka pasar yang berdampak pada terjadinya fenomena banjir impor (import surge). Ironisnya justru banjir impor terjadi pada produk-produk bahan pangan, sehingga hal ini dapat merupakan suatu indikator ancaman (faktor ancaman) terhadap keberlanjutan ketahanan pangan nasional. Dampak jangka panjangnya adalah ketergantungan pada bahan pangan impor atau anjloknya kemandirian pangan (Simatupang, 2004).



5.7.2. Kebijakan Input Secara keseluruhan hasil perhitungan Input Transfer (IT), Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) dan Factor Transfer (FT) pada Tabel 19 menunjukkan adanya kebijakan yang bersifat protektif terhadap produsen input tradable dan faktor domestik (non tradable) baik pada usahatani jagung maupun usahatani padi. Bentuk kebijakan tersebut biasanya diwujudkan lewat pemberian subsidi (insentif) baik terhadap proses produksi maupun terhadap produk akhir. Hal ini sebenarnya dilakukan dengan harapan agar para petani sebagai pengguna (konsumen) dapat menerima harga input yang lebih rendah sehingga dapat menekan biaya produksi usahataninya, namun kenyataan di lapangan jauh berbeda dengan harapan dan sasaran dari program kebijakan ini.



79



Berdasarkan hasil IT usahatani jagung dan padi pada Tabel 19 menunjukkan nilai yang negatif. Artinya bahwa secara implisit terdapat subsidi terhadap input tradable (dalam hal ini pupuk) yang harus disediakan pemerintah setiap tahunnya. Pengertian lain bahwa terdapat transfer (insentif) dari produsen pupuk ke petani. Sedangkan NPCI yang merupakan rasio untuk mengukur tingkat input transfer menunjukkan bahwa karena adanya subsidi terutama pada pupuk maka total biaya input sebesar 64 persen dari biaya seharusnya untuk usahatani jagung dan 62 persen untuk usahatani padi, yaitu jika subsidi ditiadakan.



Tabel 19. Input Transfer, Nominal Protection Coeficient on Input dan Factor Transfer Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow Usahatani



IT



NPCI



FT



Jagung



Rp. -1 219 818.82



0.64



Rp. 1 030 788.26



Padi



Rp. -785 522.96



0.62



Rp. 1 306 012.31



Nilai FT pada Tabel 19 menunjukkan bahwa secara implisit subsidi yang harus disediakan terhadap faktor domestik (tenaga kerja, modal dan lahan) pada dua musim tanam sebesar Rp. 1 030 788.26 untuk usahatani jagung dan Rp. 1 306 012.31 untuk usahatani padi. Kondisi yang penulis temukan di lapangan, menunjukkan bahwa para petani setempat umumnya hanya menggunakan dua jenis pupuk dalam usahataninya yaitu urea dan phonska. Kedua pupuk ini merupakan pupuk bersubsidi dengan Harga Eceran Tertinggi Pemerintah (HET) sampai ke Lini IV (kecamatan) masing-masing sebesar Rp. 1 200 per dan Rp. 1 750 per kg. Namun pada kenyataannya harga pupuk bersubsidi di lokasi penelitian justru lebih mahal



80



dibandingkan HET. Untuk lebih memperjelas hal ini, Tabel 20 memperlihatkan harga jual pupuk yang berlaku pada lima lokasi penelitian di wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow. Tabel 20. Rata-Rata Harga Beli Pupuk “Bersubsidi” pada Lima Lokasi Penelitian di Kabupaten Bolaang Mongondow Harga Pupuk di Lokasi Penelitian (Rp/kg) Bolaang Poigar Bolaang Lolayan Lolak Timur



No.



Jenis Pupuk



1.



Urea



1 463



1 373



1 571



1 433



1 592



2.



Phonska



2 641



2 306



2 890



2 181



2 583



Fenomena tersebut jelas memperlihatkan tidak operasionalnya kebijakan subsidi pupuk yang diterapkan pemerintah selama ini. Oleh karena itu, perlu adanya alternatif kebijakan untuk mengatasi hal ini, misalnya dengan pengalihan subsidi dari subsidi gas untuk proses produksi pupuk menjadi subsidi distribusi atau transportasi ke petani yang bisa menekan biaya transportasi dan bisa berakibat langsung pada stabilisasi harga pupuk di tingkat petani. Darwis dan Nurmanaf (2004) dalam kajiannya mengemukakan bahwa beberapa kebijakan strategis yang perlu dipertimbangkan pemerintah menyangkut masalah pupuk di tingkat usahatani, yaitu: (1) rasionalisasi penggunaan pupuk di tingkat petani, (2) rekomendasi pupuk berdasarkan atas analisis tanah spesifik lokasi, (3) peningkatan efektivitas penggunaan pupuk anorganik yang dikomplemen dengan pemanfaatan pupuk organik, (4) perbaikan pelaksanaan standarisasi dan sertifikasi pupuk, dan (5) pelaksanaan kebijakan ekspor dan impor pupuk yang kondusif bagi kontinuitas dan harga pupuk di tingkat petani. Menyangkut masalah subsidi pupuk, Syafa’at et al. (2007) dalam kajiannya mengemukakan bahwa terdapat kekuatan dan kelemahan subsidi pupuk



81



langsung ke produsen pupuk ataupun ke petani. Dikemukakan bahwa kekuatan modus subsidi langsung ke produsen pupuk, yaitu: 1. Pengelolaan subsidi relatif mudah. Hal ini karena pemerintah hanya perlu berhubungan dengan beberapa produsen pupuk saja, yaitu Pupuk Iskandar Muda (PIM), Pupuk Sriwijaya (PUSRI), Pupuk Kujang Cikampek (PKC), Petro Kimia Gresik (PKG), dan Pupuk Kalimantan Timur (PKT) 2. Tidak diperlukan identifikasi petani penerima subsidi. Hal ini karena pengecer resmi (lini IV) dapat menjual pupuk bersubsidi kepada siapa saja baik petani yang berhak maupun bukan. Namun sesuai kondisi lapangan pada saat penelitian, hal ini justru menjadi kelemahan modus subsidi langsung ke produsen. Sebab hal ini mengakibatkan kelangkaan pupuk atau naiknya harga pupuk di tingkat petani. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa umumnya petani membeli pupuk pada toko atau pedagang pengumpul desa dengan harga tinggi, artinya pupuk bersubsidi justru dijual ke pedagang pengumpul karena terdapat kebebasan distributor di lini IV (tingkat kecamatan) untuk menjual pupuk bersubsidi kepada siapapun. 3. Efektivitas dalam meningkatkan daya beli petani untuk membeli pupuk relatif



tinggi. Hal ini berlaku dengan syarat apabila efektivitas HET terjamin. Adapun kelemahan subsidi harga pupuk langsung ke produsen pupuk menurut Syafa’at et al. (2007), yaitu: 1. Harga pupuk terasa relatif murah. Hal ini karena Harga Eceran Tertinggi (HET) jauh lebih rendah daripada harga pasar bebas. Akibatnya, petani cenderung melebihi dosis dalam penggunaan pupuk. Namun dalam penelitian ini menunjukkan bahwa harga pupuk di tingkat petani lebih mahal daripada



82



HET pemerintah. Artinya ada kelemahan dalam pola distribusi pupuk, entah di lini I – II ataukah di lini III – IV. Malahan sebagian petani terpaksa tidak memupuk lahan pertaniannya karena ketiadaan biaya untuk membeli pupuk dan kalaupun ada kemampuan membeli pupuk, jumlah pupuk yang tersedia justru terbatas, sehingga pemupukan dilakukan tidak sesuai anjuran pemupukan berimbang. 2. Terjadi dualisme pasar pupuk domestik, yaitu pasar pupuk dengan harga bersubsidi dan pasar pupuk dengan harga tidak bersubsidi. Hal ini membuka peluang terjadinya aliran pupuk dari pasar bersubsidi ke pasar non subsidi yang memicu terjadinya langka pasok. Selanjutnya Syafa’at et al. (2007) mengemukakan terdapat pula kekuatan dan kelemahan jika subsidi harga pupuk diberikan langsung ke petani, yaitu: Kekuatan : 1. Harga pupuk terasa relatif mahal. Hal ini karena harga pupuk yang dibayar petani adalah harga pasar bebas. Akibatnya, petani cenderung tidak overdosis dalam penggunaan pupuk. 2. Dualisme pasar pupuk domestik, yaitu pasar pupuk dengan harga bersubsidi dan pasar pupuk dengan harga tidak bersubsidi, tidak terjadi. Hal ini karena hanya ada satu harga pupuk yang berlaku di pasar yaitu harga pasar itu sendiri. Dalam hubungan ini petani penerima subsidi membeli pupuk dengan harga pasar. 3. Ketepatan subsidi mencapai sasaran adalah relatif tinggi. Hal ini karena petani penerima subsidi telah melalui seleksi dengan sejumlah kriteria tertentu. Potensi mark-up dana subsidi adalah relatif sulit. Hal ini karena besarnya dana



83



subsidi yang dapat di-claim oleh produsen pupuk harus sesuai dengan jumlah kupon (voucher) yang telah digunakan untuk membeli pupuk bersubsidi tingkat pengecer resmi. Kelemahan : 1. Pengelolaan subsidi adalah relatif sulit. Hal ini karena pemerintah perlu berhubungan dengan puluhan juta petani. 2. Diperlukan identifikasi petani penerima subsidi. Hal ini sudah barang tentu membutuhkan dana yang tidak kecil khususnya pada tahun pertama diterapkannya modus bersangkutan. 3. Dibutuhkan dana relatif besar untuk mencetak dan mendistribusikan kupon (voucher). Dana ini harus tersedia setiap tahun selama modus tersebut diterapkan. 4. Potensi konflik antara petani dan petugas lapangan relatif tinggi. Hal ini karena walaupun petani penerima subsidi telah melalui seleksi dengan kriteria tertentu namun tetap terbuka peluang ada petani yang tidak menerima subsidi meskipun mereka berhak berdasarkan kriteria yang berlaku. 5. Efektivitas dalam meningkatkan daya beli petani untuk membeli pupuk relatif rendah. Hal ini berlaku dengan syarat apabila terjadi jual beli kupon (voucher) guna dibelikan kebutuhan pokok sehari-hari seperti beras, minyak tanah, dsb. Fenomena semacam itu sangat mungkin terjadi dalam kondisi daya beli masyarakat yang rendah. Karena kupon (voucher) dijual untuk mendapatkan uang tunai guna membeli makanan maka anggaran petani untuk membeli makanan membengkak (naik) sedangkan anggaran petani untuk membeli pupuk tetap atau mungkin turun. Ini berarti daya beli petani untuk membeli



84



makanan meningkat, sedangkan daya beli petani untuk membeli pupuk adalah tetap. Karena daya beli petani untuk membeli pupuk adalah tetap maka jumlah pupuk yang sanggup dibeli petani tidak berubah. Akibatnya, kuantitas produksi yang diperoleh juga tetap. Dengan demikian pemberian subsidi harga pupuk yang dimaksudkan oleh pemerintah agar petani mampu meningkatkan penggunaan pupuk dan sekaligus meningkatkan kuantitas produksi menjadi sia-sia. Nugroho (2009) dalam kajiannya mengemukakan bahwa pemerintah menetapkan HET dan memberikan subsidi untuk mendukung kebijakan pangan murah. Namun pencapaian tujuan ini menimbulkan efek samping negatif sebagai berikut: 1. Transfer pendapatan dari pembayar pajak kepada pekerja pabrik pupuk dan produsen pengguna pupuk bersubsidi (tidak selalu petani tanaman pangan, namun juga pengusaha perkebunan yang secara ilegal membeli pupuk bersubsidi). Dengan HET Rp. 1 200, masyarakat harus mensubsidi paling sedikit Rp. 2 800 per kg urea produksi PT. Pupuk Kaltim. Sementara untuk pupuk urea produksi tiga perusahaan lainnya (PT. Pusri, PT. Petrokimia, PT. Pupuk Kujang), masyarakat mensubsidi paling sedikit Rp. 900 per kg urea. 2. Inefisiensi penggunaan pupuk urea. Petani yang mengejar peningkatan produksi akan menggunakan pupuk urea melebihi takaran efisien. Dampak jangka panjangnya adalah penurunan kualitas hara tanah yang justru semakin mendorong petani untuk menggunakan pupuk lebih banyak lagi.



85



3. Tidak menariknya penggunaan pupuk organik karena pupuk urea cukup murah dan jauh lebih praktis. Padahal pupuk organik lebih aman bagi kesehatan dan lingkungan.



5.7.3. Kebijakan Input-Output Secara keseluruhan hasil perhitungan Effective Protection Coefficient (EPC), Net Transfer (NT), Profitability Coeficient (PC) dan Subsidy Ratio to Producers (SRP) pada Tabel 21 menunjukkan belum adanya keberpihakan pemerintah terhadap usahatani jagung dan para petani jagung karena tingkat proteksi yang rendah terhadap hasil jagung petani, dimana hal ini berdampak pada pengurangan surplus petani yang sangat merugikan petani kecil. Secara rinci dapat dikemukakan bahwa nilai PC usahatani jagung sebesar 0.07 menunjukkan bahwa rasio keuntungan usahatani jagung hanya sebesar 7 persen atau dengan NT yang negatif (Rp. -2 827 011) hanya mendatangan rasio keuntungan sebesar 7 persen terhadap harga privat. Pengertian lain bahwa terdapat kebijakan pemerintah atau distorsi pasar pada input dan output secara keseluruhan yang merugikan petani. Nilai SRP -0.23 menunjukkan bahwa petani produsen mengeluarkan biaya produksi yang besar. Hal ini mungkin saja tidak akan terjadi seandainya pemerintah dapat menerapkan kebijakan tarif impor terhadap produk jagung impor sebesar 23 persen, sehingga dapat meningkatkan harga jual produk domestik, dampaknya pada peningkatan tingkat penerimaan petani dan profitabilitas privat.



86



Tabel 21. Effective Protection Coefficient, Net Transfer, Profitability Coeficient dan Susidy Ratio to Producers Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow Usahatani



EPC



NT



PC



SRP



Jagung



0.80



Rp. -2 827 011



0.07



-0.23



Padi



1.16



Rp. 423 539



1.12



0.03



Di lain pihak kebijakan subsidi input justru merugikan petani karena pada kenyataannya harga subsidi input jarang dirasakan petani sebagai akibatnya biaya produksi usahataninya menjadi lebih besar, belum lagi ditambah serapan dan biaya tenaga kerja yang tinggi semakin memperkecil pendapatan petani dari usahatani jagung ini. Kesimpulannya tingkat proteksi pemerintah yang rendah terhadap hasil jagung petani menyebabkan sebagian besar kebijakan pemerintah mengenai usahatani jagung ini berjalan tidak efektif, hal ini ditunjukkan dengan nilai EPC yang kurang dari satu (Tabel 21). Suprapto (2006) dalam hasil penelitiannya mengemukakan bahwa komoditas jagung baik hibrida maupun komposit, menggunakan teknologi rekomendasi maupun teknologi petani, asalkan komoditas jagung tersebut digunakan untuk promosi ekspor maka memperoleh proteksi dari pemerintah yang ditandai dengan nilai EPC > 1. Sedangkan komoditas jagung yang digunakan untuk orientasi subtitusi impor dan perdagangan antar daerah tidak memperoleh proteksi pada harga outputnya, namun hanya memperoleh subsidi pada input usahataninya. Sehingga jika dihubungkan dengan hasil penelitian penulis maka dapat dikemukakan bahwa komoditas jagung di Bolmong pun harus dipacu agar berorientasi ekspor, berdaya saing tinggi dengan meningkatkan produksi, memperbaiki kualitas produk melalui pengembangan teknologi pasca panen serta



87



peningkatan nilai tambah produk (pengembangan produk turunan) agar supaya kebijakan pemerintah dapat lebih berpihak pada usahatani jagung tersebut. Fenomena yang terjadi di usahatani jagung, berbeda jauh dengan yang terjadi pada usahatani padi di Bolaang Mongondow. Berdasarkan Tabel 21 dapat dikemukakan bahwa dari nilai EPC yang diperoleh menunjukkan adanya kebijakan yang memproteksi output dan input usahatani padi, artinya harga domestik diupayakan berada di atas harga efisiensinya (harga dunia) sehingga diharapkan hal ini dapat menghambat kegiatan ekspor ilegal. Dengan adanya kebijakan terhadap output dan input ini semakin menambah surplus petani (nilai NT). Kesimpulannya berdasarkan nilai PC dan SRP maka untuk usahatani padi keseluruhan kebijakan pemerintah umumnya menguntungkan petani produsen dan menyebabkan biaya produksi dapat ditekan. Berdasarkan keseluruhan hasil indikator analisis dampak kebijakan tersebut menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap usahatani jagung masih rendah jika dibandingkan dengan usahatani padi. Hal ini tidak mengherankan karena isu swasembada beras bukan hanya sekedar isu sosial namun juga berpengaruh secara politis yang berdampak pada stabilitas nasional. Sehingga sejak dulu beras selain merupakan komoditi pangan pokok, tapi juga dikenal sebaai komoditi politis yang bisa menentukan kelangsungan hidup suatu pemerintahan di Indonesia. Dugaan penulis ini semakin diperkuat dengan pernyataan Dirjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian Sutarto Alimuso dalam Sinar Harapan online, yang menegaskan bahwa Harga Pembelian Pemerintah (HPP) hanya diperlukan untuk suatu komoditas yang jika HPP tersebut tidak ditetapkan akan dapat menimbulkan gejolak yang mengganggu stabilitas sosial



88



ekonomi (Sinar Harapan, Sabtu 15 Nopember 2008). Artinya secara tersirat ada anggapan pemerintah bahwa Harga Pembelian Pemerintah untuk jagung belum diperlukan, jika dibandingkan dengan beras. Sebab walaupun HPP jagung tidak ditetapkan, belum akan mengganggu stabilitas sosial ekonomi karena jagung bukan merupakan bahan pangan utama penduduk Indonesia.



5.8.



Analisis Sensitivitas



Breierova and Choudhari (2001) mengemukakan bahwa analisis sensitivitas digunakan untuk menentukan bagaimana sensitivitas suatu model untuk suatu perubahan nilai-nilai parameter dari model tersebut, dan untuk merubah struktur dari model tersebut. Analisis sensitivitas membantu untuk membangun tingkat kepercayaan terhadap suatu model dengan mempelajari ketidakpastian yang sering diasosiasikan dengan parameter-parameter dalam suatu model. Berdasarkan pengertian dan maksud dilaksanakannya analisis sensitivitas tersebut, maka dalam penelitian ini pun dilakukan analisis sensitivitas sebanyak 12 skenario variasi perubahan harga pada input (pupuk), tenaga kerja serta output (harga jual jagung petani). Hal ini dilakukan untuk mencari bentuk kebijakan yang kira-kira efektif dalam peningkatan keuntungan dan daya saing usahatani jagung di Bolaang Mongondow. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas pada Tabel 22, terlihat bahwa skenario ke-9 yaitu harga pupuk turun 10 persen dan harga output naik 30 persen merupakan skenario terbaik. Hal ini karena skenario ke-9 menunjukkan tingkat daya saing (komparatif dan kompetitif) terbaik yang dimiliki oleh usahatani jagung. Semakin kecil nilai PCR dan DRCR menunjukkan semakin



89



baik tingkat daya saing komoditi usahatani jagung, dimana nilai ini berhubungan dengan peningkatan profitabilitas baik secara privat maupun sosial. Tabel 22 menunjukkan bahwa skenario ke-9 memiliki rasio keuntungan terbesar terhadap hasil penjualan komoditi jagung baik secara privat maupun sosial, yaitu 25 persen dan 43 persen. Atau dengan kata lain skenario ke-9 dapat memperoleh keuntungan sebesar 25 persen (privat) dan 43 persen (sosial) dari sejumlah hasil penjualan output jagung. Tabel 22. Analisis Sensitivitas Usahatani Jagung di Bolaang Mongondow Skenario



Perubahan Harga



Output naik 10 persen Output naik 20 2. persen Output naik 30 3. persen Pupuk dan output 4. naik 10 persen Pupuk dan output 5. naik 20 persen Pupuk dan output 6. naik 30 persen Pupuk turun 10 7. persen, output naik 10 persen Pupuk turun 10 8. persen, output naik 20 persen Pupuk turun 10 9. persen, output naik 30 persen Upah TK naik 10 10. persen, output naik 10 persen Upah TK naik 10 11. persen, output naik 20 persen Upah TK naik 10 12. persen, output naik 30 persen Keterangan : TK = Tenaga Kerja 1.



Profitabilitas (Rp) Privat Sosial



PCR



DRCR



1 135 005



4 263 621



0.86



0.58



2 051 084



5 481 304



0.77



0.51



2 967 164



6 698 987



0.70



0.46



1 074 998



4 113 210



0.86



0.58



1 931 069



5 180 482



0.78



0.53



2 787 140



6 247 755



0.71



0.48



1 195 013



4 414 032



0.85



0.57



2 111 092



5 631 715



0.76



0.51



3 027 171



6 849 398



0.69



0.46



678 940



3 867 337



0.91



0.61



1 447 656



4 937 658



0.84



0.56



2 511 098



6 302 704



0.74



0.49



90



Alternatif kebijakan kedua yang mungkin dapat diambil oleh pemerintah yaitu menaikkan harga output sebesar 30 persen (skenario ke-3) dengan asumsi faktor-faktor lain tetap harganya (Tabel 22). Dalam suatu kegiatan usahatani faktor input pupuk memegang peranan penting dalam keberhasilan usahatani. Sehingga umumnya pupuk banyak menyerap biaya produksi suatu usahatani. Namun penurunan harga pupuk belum merupakan suatu solusi yang final tanpa diiringi dengan pendistribusian yang tepat waktu serta ketersediaan di lapangan atau dengan kata lain harus benarbenar mengacu pada 6 tepat distribusi pupuk, yaitu tepat jumlah, jenis, harga, waktu, tempat dan mutu. Sehingga kelangkaan pupuk yang sering terjadi saat ini dapat teratasi. Simatupang (2002) mengemukakan bahwa pada kenyataannya subsidi pupuk yang diberikan pemerintah bukanlah subsidi pupuk langsung bagi petani, namun subsidi gas dari pemerintah bagi pabrik-pabrik penghasil pupuk. Padahal harga pupuk di tingkat petani tidak berkaitan langsung dengan harga pokok pabrik pupuk domestik. Pada tatanan pasar terbuka, seperti saat ini, harga pupuk di tingkat petani ditentukan oleh harga paritas impornya. Pengalaman membuktikan bahwa jika harga pupuk di pasar internasional meningkat, maka untuk mengejar laba yang lebih tinggi, pabrik pupuk domestik cenderung mengekspor produknya. Akibatnya adalah pasokan pupuk di tingkat petani menjadi langka dan harganya pun meningkat seiring dengan peningkatan harga pupuk internasional. Sebagai perusahaan komersial, produsen pupuk tentunya tidak dapat disalahkan mengekspor pupuk untuk mengejar laba sebesar-besarnya.



91



Sehingga dapat disimpulkan sementara bahwa untuk meningkatkan daya saing usahatani jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow pemerintah sebaiknya melakukan kebijakan umum berupa peningkatan harga jual jagung dengan menerapkan harga pembelian pemerintah yang diperketat. Hal ini sebagai upaya untuk mengontrol pasar agar harga ditingkat petani tidak dipermainkan oleh para pedagang pengumpul. Selain itu, seperti terlihat pada hasil Tabel 22, bahwa perubahan-perubahan harga input (terutama pupuk) serta tenaga kerja tidak akan banyak mempengaruhi tingkat keuntungan dan daya saing usahatani jagung, jika tidak dibarengi dengan perubahan pada harga output jagung.



92



VI.



6.1.



KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN



Kesimpulan



Berdasarkan tujuan serta hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu: 1.



Secara umum usahatani jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow layak untuk dilaksanakan baik secara finansial maupun ekonomi, terlihat dari profitabilitas privat (D) > 1 dan profitabilitas sosial (H) > 1 serta memiliki RC-ratio yang lebih besar dari satu.



2.



Usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang Mongondow memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif serta dianggap masih mampu membiayai input domestiknya, walaupun untuk usahatani jagung memiliki kecenderungan menurun jika tidak diimbangi dengan harga jual produk yang memadai.



3.



Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah untuk usahatani jagung masih belum menunjukkan keberpihakan yang menguntungkan para petani kecil dan kelangsungan hidup usahataninya. Hal ini berbeda dengan usahatani padi (beras) karena kebijakan perberasan bersifat nasional, top down dan instruksional sehingga memiliki konsistensi dalam penerapannya.



4.



Berdasarkan hasil analisis sensitivitas, maka kebijakan yang dapat diambil pemerintah daerah pada usahatani jagung di Bolaang Mongondow adalah dengan menurunkan harga pupuk sebesar 10 persen dan menaikkan harga output sebesar 30 persen (skenario ke-9).



93



6.2.



Implikasi Kebijakan



1.



Untuk meningkatkan daya saing usahatani jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow pemerintah sebaiknya melakukan kebijakan umum berupa peningkatan harga jual jagung dengan menerapkan harga pembelian daerah. Hal ini sebagai upaya untuk mengontrol pasar agar harga ditingkat petani tidak dipermainkan oleh para pedagang pengumpul.



2.



Beberapa hal yang harus segera dibenahi dalam sistem usahatani jagung di Bolaang Mongondow adalah: a) Mengenai mutu hasil panen. Keberhasilan pengembangan jagung tidak hanya ditentukan oleh tingginya produktivitas saja namun juga melibatkan kualitas dari produk itu sendiri. Agar komoditas tersebut mampu bersaing dan memiliki keunggulan kompetitif, maka harus dapat menghasilkan jagung dengan kualitas yang baik, sehingga tekhnik pasca panennya pun harus lebih diperhatikan dan ditangani lebih baik. Untuk itu perlu adanya pelatihan dan pendampingan teknologi yang dilakukan secara rutin kepada para petani agar hal ini dapat terwujud. b) Masalah retribusi. Mengurangi atau bahkan menghilangkan kebijakan retribusi komoditas pangan, sehingga dapat mendongkrak harga jual domestik yang diterima petani kecil dimana pada akhirnya dapat meningkatkan keunggulan kompetitif dan komparatif usahatani ini. Hal ini juga untuk menghindari kegagalan pemerintah, sebab pembebanan retribusi komoditi pertanian tanpa diimbangi langkah-langkah antisipatif untuk kesejahteraan petani maka akan menimbulkan kegagalan dalam hal peran alokasi, distribusi dan stabilisasi.



94



3.



Meskipun usahatani jagung di lokasi penelitian Kabupaten Bolaang Mongondow masih memiliki keunggulan komparatif, tetapi apabila tidak dilakukan beberapa langkah pembenahan seperti pada poin pertama dan kedua, maka akan menurunkan tingkat keunggulan komparatif dan akan semakin tidak kompetitif dengan usahatani pesaing utama, yaitu padi, apalagi orientasi pengembangan jagung ke depan adalah pasar ekspor.



4.



Disarankan perlu adanya penelitian lanjutan mengenai topik ini terutama pada



Kabupaten-Kabupaten



yang



juga



merupakan



wilayah



pengembangan jagung dan padi di Sulawesi Utara seperti Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Bolaang Mongondow Selatan, Bolaang Mongondow Utara, Minahasa, Minahasa Selatan dan Minahasa Utara. Sehingga dapat diperoleh suatu basis data mengenai posisi daya saing komoditas jagung dan padi di Sulawesi Utara.



95



DAFTAR PUSTAKA



Antara News. 2007. Produksi Jagung 2008 Diprediksi Penuhi Kebutuhan Dalam Negeri. Posting tanggal 12 Juli 2007 01:39. www.antara.co.id/arc/2007.



Anapu, H., E.Ruaw, C.Talumingan, A.Lobo dan L.Pangemanan. 2005. Dampak Kebijakan Tarif Impor Beras di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Dalam Buku Aplikasi Policy Analysis Matrix pada Pertanian di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Breierova, L. and M. Choudhari. 2001. An Introduction to Sensitivity Analysis. The Massachusetts Institute of Technology, Massachusetts. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Pencanangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan oleh Presiden RI. www.litbang.deptan.go.id. Bank Indonesia, 2009. Laporan Tinjauan Kebijakan Moneter (Ekonomi, Moneter dan Perbankan) Pebruari 2009. Bank Indonesia, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2008. Harvested Area, Yield Rate and Production of Maize by Province, 2006. www.bps.go.id. Badan



Pusat Statistik Kabupaten Bolaang Mongondow. 2006. Bolaang Mongondow Dalam Angka 2006. Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bolaang Mongondow, Kotamobagu.



___________________________________________________. 2008. Bolaang Mongondow Dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik Bolaang Mongondow, Kotamobagu. Balai



Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara. 2000. Penelitian Keunggulan Komparatif dan Kompetitif beberapa Komoditi Pertanian di Sulawesi Utara. Laporan Hasil Penelitian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara, Manado.



Darwis, V. dan A.R. Nurmanaf. 2004. Kebijakan Distribusi, Tingkat Harga dan Penggunaan Pupuk di Tingkat Petani. Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi, 22 (1) : 63 – 73. Departemen Perindustrian Republik Indonesia. 2004. Industri Pakan Ternak Tergantung Jagung Impor. Investor Daily 8 Oktober 2004. www.depperin.go.id/IND/Publikasi/Matriks_Berita/berita.asp?kd=2137



96



Departemen Pertanian Republik Indonesia. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) 2005. Draft 1 Juni 2005. Departemen Pertanian RI, Jakarta. _______________________________________. 2009. Perkembangan Produksi dan Luas Tanaman Padi dan Jagung di Sulawesi Utara, 2003 – 2005. http://www.deptan.go.id/ppi/investasi/Lapora-Final.pdf. Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2009. Data Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia menurut HS 6 digit (tahun 2003 – 2008). Departemen Perdagangan RI, Jakarta. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bolaang Mongondow, 2009. Data Retribusi Distribusi Komoditi Kabupaten Bolaang Mongondow sesuai Perda No.23 Tahun 2001. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bolaang Mongondow, Kotamobagu. Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bolaang Mongondow. 2006. Laporan Tahunan 2006. Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bolaang Mongondow, Kotamobagu. ___________________________________________________. 2008. Laporan Tahunan 2008. Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bolaang Mongondow, Kotamobagu. Emilya. 2001. Analisis Komparatif dan Kompetitif serta Dampak Kebijakan Pemerintah pada Pengusahaan Komoditas Tanaman Pangan di Propinsi Riau. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. FAO. 2008. Database Food Balance Sheet. www.faostat.fao.org Gonzalez, L. 2004. The Theory of Comparative Advantage. www.freerepublic.com/focus/f-news/1101717/posts.



http://



Gittinger, J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Terjemahan. Edisi Kedua. UI-Press dan John Hopkins, Jakarta. Haryono, D. 1991. Keunggulan Komparatif dan Dampak Kebijaksanaan pada Produksi Kedelai, Jagung dan Ubi Kayu di Propinsi Lampung. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.



Harian Komentar. 2007. Menteri Pertanian Bakal Resmikan Sillo Dryer di Bolmong. Berita Bolaang Mongondow, 2 Juni 2007. Handerson, D.R. 2008. Paul Krugman’s Nobel Prize. The Future of Freedom Foundation. www.fff.org.



97



http://www.news.roll.co.id/komoditas/23274-komoditi-jagung-kurang-diminatibuyershtml. 2009. Komoditi Jagung Kurang diminati Buyers. Berita Jumat 27 Pebruari 2009. Hadi, P.U. dan B. Wiryono. 2005. Dampak Kebijakan Proteksi Terhadap Ekonomi Beras di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, 23 (2) : 159 – 175. Krugman, P. and A.J. Venables. 1996. Integration, Specialization and Adjusment. European Economic Review Journal, 40 : 959 – 967. Martin, X.S., J.Blanke, M.D.Hanouz, T.Geiger, I.Mia and F.Paua. 2008. The Global Competitiveness Index: Prioritizing the Economic Policy Agenda. The Global Competitiveness Report 2008-2009. Editor: Porter, M.E. and K.Schwab. World Economic Forum. www.weforum.org/pdf.



Manado Post. 2005. Crash Program Agribisnis Atasi Krisis. Rubrik Khusus, Kamis 10 November 2005. Monke, E.A. and S.K. Pearson. 1989. The Policy Analysis Matrix For Agricultural Development. Cornell University Press, Ithaca. Nuryartono, N. 2005. Akankah Indonesia Berswasembada Jagung? Agrimedia, 10 (1) : 35 – 43.



Nugroho, A.A. 2009. Kerugian Masyarakat dari Regulasi Pupuk. Artikel Web Blog, Jumat Pebruari 2009. http://komentar-ekonomi.blogspot.com/ 2009/02/ahmad-adi-nugroho-pegiat-kppu.html. Pannell, D.J. 1997. Sensitivity Analysis of Normative Economic Models: Theoretical Framework and Practical Strategies. Journal of Agricultural Economics, 16 : 139 – 152. Pearson S., C.Gotsch dan S.Bahri. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix pada Pertanian Indonesia. Terjemahan.Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Porter, M.E. 2008. Building the Microeconomic Foundation of Prosperity: Findings from the Business Competitiveness Index. The Global Competitiveness Report 2008-2009. Editor: Porter, M.E. and K.Schwab. World Economic Forum. www.weforum.org/pdf. Puspadi, K., S.Hastuti dan K.W.Wijayanto, 2005. Preferensi Petani Terhadap Inovasi Pertanian dan Metode Pembelajaran Pada Agroekosistem Lahan Kering Kasus Di Kabupaten Lombok Timur. Makalah Hasil Penelitian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat, Mataram.http:///ntb.litbang.deptan.go.id/2005/TPH/preferensipetani.doc



Pusat



Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2005. Kebijakan Perberasan Nasional. Berita Puslitbangtan, (34) November 2005. Puslitbangtan, Bogor.



98



Oktaviani, R. 1991. Efisiensi Ekonomi dan Dampak Kebijaksanaan Insentif Pertanian pada Produksi Komoditi Pangan di Indonesia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.



Ricci,



L.A. 1999. Economic Geography and Comparative Advantage: Agglomeration versus Specialization. European Economic Review Journal, 43 : 357 – 377.



Simatupang, P. 2002. Subsidi Gas bagi Pabrik Pupuk Vs Subsidi Pupuk bagi Petani. Kompas, Kamis 19 Juli 2002. http://www.kompas.com ____________. 2004. Justifikasi dan Metode Penetapan Komoditas Strategis. Indonesian Centre for Agricultural Social Economic Research and Development (ICASERD) Working Paper, (51) : 1 – 24. Saptana, S. Friyatno dan Tri Bastuti P. 2008. Analisis Dayasaing Komoditi Tembakau Rakyat di Klaten Jawa Tengah. Makalah Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. www.pse.litbang.deptan.go.id. Soekartawi, A.Soeharjo, J.L.Dillon dan J.B.Hardaker. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. UI-Press, Jakarta. Suryana, A. 1980. Keuntungan Komparatif dalam Produksi Ubikayu dan Jagung di Jawa Timur dan Lampung dengan Analisa Penghematan Biaya Sumberdaya Domestik (BSD). Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. _________. 2006. Strategi Kebijakan Penelitian dan Pengembangan Palawija. Prosiding Seminar Nasional : Pengembangan Agribisnis Berbasis Palawija di Indonesia: Perannya dalam Peningkatan Ketahanan Pangan dan Pengentasan Kemiskinan. Bogor, 13 Juli 2006. CAPSA monograph, (49) : 23 - 50. United Nation of Economic and Social Commision for Asia and The Pacific. Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha Kecil Bank Indonesia. 2008. SIPUK BI: Produksi Jagung. www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no= 10401& idrb=40401. Squire, L. and G.H. van der Tak. 1976. Economic Analysis of Project. The John Hopkins University Press, Baltimore. Suprapto, 2006. Keunggulan Komparatif dan Dampak Kebijakan Produksi Jagung di Propinsi Jawa Timur. Buletin Penelitian Puslit Universitas Mercubuana, (10) : 89-106.



99



Syafa’at, N., A.Purwoto, K.M.Noekman, I.S.Anugerah, E.Suryani, Y.Marisa, A.Askin dan M.Suryadi. 2007. Kaji Ulang Sistem Subsidi dan Distribusi Pupuk. Makalah Seminar Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KB), Bogor. www.pse.litbang.deptan.go.id Swastika, D.K.S. 2002. Corn Self-sufficiency in Indonesia: The Past 30 years and Future Prospects. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 21 (3) : 75 – 83.



Tsakok, I. 1990. Agricultural Price Policy: A Practitioner’s Guide to Partial Equilibrium Analysis. Cornel University Press, Ithaca. Yao, S. 1997. Rice Production in Thailand seen through a Policy Analysis Matrix. Food Policy Journal, 22 (6) : 547 – 560.



World Wild Foundation Indonesia. 2008. Impor Pakan Ternak Naik 48%. http://rafflesia.wwf.or.id/library/admin/attachment/clips/2006-08-10114-0009-001-03-0899.pdf. www.aphi-net.com. 2008. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) 2005.



100



LAMPIRAN



101



Lampiran 1 . Peta Lok asi Penelitia n



PROPINSI SULAWES I UTARA



102



Lampiran 2. Rekap Pendapatan Rata-Rata Rumahtangga Tani Responden di Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2008 Kecamatan/ Desa (Rp) No Resp



Poigar/ Desa Nonapan I



Bolaang/ Desa Langagon



Bolaang Timur/ Desa Bolaang



Lolayan/ Desa Lolayan 27 270 000



Lolak/ Desa Lolak II



1



20 830 000



33 340 000



23 723 000



16 400 000



2



17 600 000



40 800 000



10 891 500



7 037 500



9 980 000



3



22 095 000



58 000 000



22 546 000



36 546 000



58 560 000



4



6 000 000



4 160 000



41 534 700



11 230 000



30 910 833



5



3 930 000



31 535 000



25 632 600



34 243 000



93 571 250



6



45 206 000



18 077 000



60 580 000



8 268 000



101 514 660



7



13 215 000



54 121 000



20 490 000



10 213 000



9 833 420



8



11 970 000



43 350 500



25 877 800



220 000



6 482 500



9



35 137 500



21 607 500



12 037 100



31 704 000



29 756 000



10



18 150 000



56 175 000



89 000



3 229 000



12 788 000



11



21 750 000



20 700 000



499 500



3 741 000



17 919 500



12



25 725 000



22 460 000



1 600 000



18 933 000



41 353 125



13



21 859 500



28 550 000



6 394 875



3 772 000



28 972 000



14



11 234 500



20 245 750



3 377 000



810 000



5 860 000



15



31 210 000



5 558 000



109 063 000



20 931 000



23 616 000



16



6 252 000



63 505 000



45 538 000



181 170 000



6 392 000



17



13 725 000



18 990 000



67 133 000



29 780 000



12 330 800



18



7 065 000



65 885 000



78 709 000



23 920 000



16 196 700



19



22 050 000



129 840 000



7 951 000



34 925 000



14 716 900



20



44 452 500



38 264 000



7 055 000



43 815 000



5 627 200



Total Rata-Rata per Tahun Rata-Rata per Bulan



399 457 000



775 163 750



570 722 075



531 757 500



542 780 888



19 972 850



38 758 188



28 536 104



26 587 875



27 139 044



1 664 404



3 229 849.96



2 378 008.65



2 215 656.25



2 262 587.03



103



Lampiran 3. Analisis Finansial dan Ekonomi Usahatani Jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2008 No. A.



Input



Satuan



Jml Fisik (rata-rata)



Harga Sosial (Rp)



Harga Privat (Rp)



Finansial (Rp)



Ekonomi (Rp)



Tradable input



1



Benih hibrida



31.00



30 941



41 127



959 157



1 274 944



2



Urea



kg/ha



233.13



1 476



4 259



343 992



992 922



3



Ponska



kg/ha



102.24



2 505



5 000



256 085



511 187



4



Herbisida



liter



7.63



71 759



71 759



547 265



547 265



5



Pestisida cair



liter



0.43



66 882



66 882



29 057



29 057



B



kg/ha



Faktor Domestik



B.1 Tenaga kerja 1Olah tanah I (manusia) : a. dalam keluarga



HOK



4



13 897



11 118



58 245



46 596



b. luar keluarga



HOK



10



39 135



31 308



377 601



302 081



a. dalam keluarga



HTK



0



0



0



0



0



b. luar keluarga



HTK



3



73 879



73 879



224 185



224 185



3



Olah tanah I (traktor)



HTK



2



113 426



113 426



235 254



235 254



4



Olah tanah II (manusia): a. dalam keluarga



HOK



3



15 000



12 000



42 000



33 600



b. luar keluarga



HOK



3



45 000



36 000



146 250



117 000



a. dalam keluarga



HTK



0



0



0



0



0



b. luar keluarga



HTK



3



70 000



70 000



233 333



233 333



6



Olah tanah II (traktor)



HTK



0



0



0



0



7



Garu I (manusia):



2



5



Olah tanah I (ternak) :



Olah tanah II (ternak):



a. dalam keluarga



HOK



1



15 000



12 000



22 031



17 625



b. luar keluarga



HOK



3



50 000



40 000



133 333



106 667



a. dalam keluarga



HTK



0



0



0



0



0



b. luar keluarga



HTK



2



74 688



74 688



155 599



155 599



a. dalam keluarga



HOK



2



15 000



12 000



24 000



19 200



b. luar keluarga



HOK



4



50 000



40 000



200 000



160 000



a. dalam keluarga



HTK



0



0



0



0



0



b. luar keluarga



HTK



2



71 250



71 250



124 688



124 688



11



Garu II (traktor)



HTK



0



0



0



0



12



Penanaman :



8



9



10



Garu I (ternak) :



Garu II (manusia) :



Garu II (ternak) :



a. dalam keluarga b. luar keluarga c. Ternak (bajak/ larik)) 13



14



HOK HOK



2 8



14 155 35 603



11 324 28 483



29 538 269 397



23 631 215 518



HTK



1



31 280



31 280



31 000



31 000



a. dalam keluarga



HOK



7



14 634



11 707



96 193



76 954



b. luar keluarga



HOK



7



35 542



28 434



247 969



198 376



HOK



2



14 473



11 579



31 524



25 219



Penyiangan 1 & 2:



Pemupukan 1 & 2: a. dalam keluarga



104 Lampiran 3. Lanjutan No.



Input



Satuan



Jml Fisik (rata-rata)



Harga Privat (Rp)



Harga Sosial (Rp)



Finansial (Rp)



Ekonomi (Rp)



b. luar keluarga



HOK



4



37 839



30 271



148 114



118 491



15



Pengendalian H&P



HOK



3



26 310



26 310



80 181



80 181



16



Panen & kupas tongkol:



17



18



19



a. dalam keluarga



HOK



3



14 232



11 386



35 866



28 693



b. luar keluarga



HOK



10



34 157



27 325



332 346



265 877



a. dalam keluarga



HOK



4



13 795



11 036



54 516



43 613



b. luar keluarga



HOK



5



35 227



28 182



174 535



139 628



Jemur:



Pemipilan: a. dalam keluarga



HOK



1



13 750



11 000



13 750



11 000



b. luar keluarga



HOK



15



18 000



14 400



275 400



220 320



c. Alat pipil



HTK



1



212 363



212 363



225 499



225 499



a. dalam keluarga



HOK



3



15 556



12 444



47 243



37 794



b. luar keluarga c. Roda sapi d. Lainnya (mobil & bentor)



HOK HTK



7 1



35 227 148 970



28 182 148 970



229 252 100 393



183 401 100 393



Pengangkutan



B.2



Sewa Lahan



B.3



Suku Bunga Modal Sewa alat pipil



B.4



C



HTK



1



145 278



145 278



161 420



161 420



ha



1.2



1 206 409



1 206 409



1 473 628



1 473 628



Rp.2 749 000



25 persen



9.25 persen



687 250



254 283



56



56



56



56



Rp/kg



1



penyusutan alat: a. sekop



1.00



17 831



17 831



17 831



17 831



b.cangkul



1.00



18 079



18 079



18 079



18 079



c.parang



2.00



24 403



24 403



48 807



48 807



4 285.75



2 138



2 841



9 160 791



12 176 832



Produksi (pipilan)



Rp/kg



Hasil Penjualan (Revenue)



Rp



9 160 791



Total Input tradable



Rp



2 135 557



12 176 832 3 355 376



a. Tenaga Kerja



Rp



4 560 657



3 962 836



b. Modal



Rp



687 306



254 338



d. penyusutan alat



Rp



84 717



c. Lahan



Rp



1 473 628



84 717 1 473 628



Rp



1 692 554



4 519 566



Rp



218 926



3 045 938



RC-ratio (di luar lahan)



1.23



1.59



RC-ratio_total



1.02



1.33



Total Faktor Domestik :



pendapatan bersih (blm masuk lahan) pendapatan bersih (masuk lahan)



105



Lampiran 4. Analisis Finansial dan Ekonomi Usahatani Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2008 No.



Input



A.



Tradable input



Satuan



Jml Fisik (rata-rata)



Harga Sosial (Rp)



Harga Privat (Rp)



Finansial (Rp)



Ekonomi (Rp)



1



Benih Padi



kg/ha



148.45



2 734



2 545



405 792



377 841



2



Urea



kg/ha



199.75



1 476



4 259



294 730



850 729



3



Ponska



kg/ha



103.19



2 505



5 000



258 467



515 942



4



Herbisida



l/ha



3.48



72 104



72 104



251 048



251 048



5



Pestisida cair



l/ha



0.87



66 882



66 882



58 115



58 115



B



Faktor Domestik



B.1 Tenaga kerja 1Olah tanah I (manusia) : a. dalam keluarga



HOK



4.05



14 500



11 600



58 750



47 000



b. luar keluarga



HOK



28.19



36 214



28 971



1 020 790



816 632



a. dalam keluarga



HTK



3.33



35 000



35 000



116 667



116 667



b. luar keluarga



HTK



2.75



87 308



87 308



240 096



240 096



3



Olah tanah I (traktor)



HTK



1.89



152 937



152 937



289 487



289 487



4



Olah tanah II (manusia) : a. dalam keluarga



HOK



2.58



15 833



12 667



40 903



32 722



b. luar keluarga



HOK



5.00



41 429



33 143



207 143



165 714



a. dalam keluarga



HTK



5.00



35 000



35 000



175 000



175 000



b. luar keluarga



HTK



3.13



61 667



61 667



192 708



192 708



6



Olah tanah II (traktor)



HTK



1.57



107 024



107 024



168 180



168 180



7



Garu I (manusia) : a. dalam keluarga



HOK



1.76



15 000



12 000



26 413



21 130



b. luar keluarga



HOK



2.88



38 750



31 000



111 406



89 125



a. dalam keluarga



HTK



1.73



13 333



13 333



23 077



23 077



b. luar keluarga



HTK



1.71



60 577



60 577



103 846



103 846



a. dalam keluarga



HOK



2.07



16 429



13 143



34 031



27 224



b. luar keluarga



HOK



2.00



42 500



34 000



85 000



68 000



a. dalam keluarga



HTK



1.56



10 000



10 000



15 625



15 625



b. luar keluarga



HTK



1.75



84 167



84 167



147 292



147 292



11



Garu II (traktor)



HTK



2.00



50 000



50 000



100 000



100 000



12



Penanaman : a. dalam keluarga



HOK



1.50



14 780



11 824



22 131



17 705



b. luar keluarga



HOK



7.22



37 474



29 979



270 507



216 406



c. Ternak (bajak/ larik))



HOK



0



0



0



0



0



a. dalam keluarga



HOK



1.62



17 308



13 846



27 959



22 367



b. luar keluarga



HOK



4.75



46 250



37 000



219 688



175 750



a. dalam keluarga



HOK



5.11



14 881



11 905



76 058



60 847



b. luar keluarga



HOK



9.37



38 329



30 663



359 160



287 328



2



5



8



9



10



13



14



Olah tanah I (ternak) :



Olah tanah II (ternak) :



Garu I (ternak) :



Garu II (manusia) :



Garu II (ternak) :



Sulam :



Penyiangan 1 & 2:



106 Lampiran 4. Lanjutan Jml Fisik (rata-rata)



a. dalam keluarga



HOK



1.38



16 250



13 000



22 452



17 961



b. luar keluarga



HOK



1.89



40 000



32 000



75 714



60 571



16



Pengendalian H&P



HOK



2.30



25 560



25 560



58 848



58 848



17



Panen & rontok:



15



17



18



Input



Finansial (Rp)



Ekonomi (Rp)



Pemupukan 1 & 2:



a. dalam keluarga



HOK



1.65



15 760



12 608



25 937



20 750



b. luar keluarga



HOK



11.25



48 894



39 115



550 001



440 001



a. dalam keluarga



HOK



3.53



14 796



11 837



52 239



41 791



b. luar keluarga



HOK



4.40



35 600



28 480



156 640



125 312



a. dalam keluarga



HOK



2.17



15 000



12 000



32 500



26 000



b. luar keluarga c. Roda sapi d. Lainnya (mobil & bentor)



HOK HTK



5.90 1.39



28 607 114 747



22 885 114 747



168 779 159 950



135 023 159 950



HTK



0



0



0



0



ha



1.12



1 539 083



0 1 539 083



1 717 528



1 717 528



Rp 3 664 585



25 persen



9.25 persen



916 146



338 974



1.00



413 954



413 954



413 954



413 954



a. sekop



1.00



17 831



17 831



17 831



17 831



b.cangkul



1.00



18 079



18 079



18 079



18 079



c.parang



2.00



24 403



24 403



48 807



48 807



2 765.57



4 956



4 614



13 705 580



12 761 552



Jemur padi:



Pengangkutan



B.2



Sewa lahan



B.3



Modal



1



Suku bunga modal



2



sewa alat rontok



B4



Penyusutan alat:



C



Harga Privat (Rp)



Harga Sosial (Rp)



Satuan



No.



Rp/unit



Produksi (beras)



kg/ha



Hasil Penjualan (Revenue)



Rp



13 705 580



12 761 552



Total Input tradable



Rp



1 268 152



2 053 675



a. Tenaga Kerja



Rp



5 434 977



4 706 137



b. Modal



Rp



1 330 101



752 929



c. Penyusutan alat



Rp



84 717



84 717



d. Lahan



Rp



1 717 528



1 717 528



Rp



5 587 634



5 164 095



Rp



3 870 106



3 446 567



RC-ratio (di luar lahan)



1.69



1.68



RC-ratio_total



1.39



1.37



Total Faktor Domestik :



pendapatan bersih (blm masuk lahan) pendapatan bersih (masuk lahan)



107



Lampiran



5. Koefisien PAM Usahatani Jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow



Uraian



Revenue (Rp)



Privat Sosial Divergensi



9 160 790.63 12 176 832.45 - 3 016 041.83



Faktor Domestik/ non tradable (Rp) Lahan & Tenaga Kerja Modal 2 135 557.29 4 560 657 2 245 650 3 355 376.11 3 962 836 1 812 683 - 1 219 818.82 597 821 432 968



Input tradable (Rp)



Parameter



Profit (Rp) 218 926 3 045 938 (-)2 827 011



Nilai



1. Privat Profitability (PP)



Rp



2. Social Profitability (SP)



Rp 3 045 938



218 926



3. Output Transfer (OT)



Rp - 3 016 041.83



4. Input Transfer (IT)



Rp - 1 219 818.82



5. Factor Transfer (FT) 6. Net Transfer (NT)



Rp 1 030 788.26 Rp - 2 827 011



7. Private Cost Ratio (PCR)



0.97



8. Domestic Resource Cost Ratio (DRCR)



0.65



9. Nominal Protection Coefficient (NPC) : a. On Tradable Outputs (NPCO)



0.75



b. On Tradable inputs (NPCI)



0.64



10. Effective Protection Coefficient (EPC)



0.80



11. Profitability Coeficient (PC)



0.07



12. Subsidy Ratio to Producers (SRP)



-0.23



108



Lampiran 6.



Uraian Privat Sosial Divergensi



Koefisien PAM Usahatani Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow Revenue (Rp)



Input tradable (Rp)



13 705 580.09 12 761 551.72 944 028.37



1 268 151.97 2 053 674.92 - 785 522.96



Parameter



Faktor Domestik/ non tradable (Rp) Lahan & Tenaga Kerja Modal 5 434 977 3 132 345 4 706 137 2 555 173 728 840 577 172



Profit (Rp) 3 870 106 3 446 567 423 539



Nilai



1. Privat Profitability (PP)



Rp 3 870 106



2. Social Profitability (SP)



Rp 3 446 567



3. Output Transfer (OT)



Rp 944 028.37



4. Input Transfer (IT)



Rp - 785 522.96



5. Factor Transfer (FT)



Rp 1 306 012.31



6. Net Transfer (NT)



Rp 423 539.02



7. Private Cost Ratio (PCR)



0.69



8. Domestic Resource Cost Ratio (DRCR)



0.68



9. Nominal Protection Coefficient (NPC) : a. On Tradeble Outputs (NPCO)



1.07



b. On Tradeble inputs (NPCI)



0.62



10. Effective Protection Coefficient (EPC)



1.16



11. Profitability Coeficient (PC)



1.12



12. Subsidy Ratio to Producers (SRP)



0.03



109



Lampiran 7. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditi Unggulan Sulawesi Utara Tahun 2002 - 2007 2002 No



Komoditi



2003



2004



2005



2006



2007



Volume



Nilai



Volume



Nilai



Volume



Nilai



Volume



Nilai



Volume



Nilai



Volume



Nilai



(kg)



(US $)



(kg)



(US $)



(kg)



(US $)



(kg)



(US $)



(kg)



(US $)



(kg)



(US $)



1.



Jagung



7 500



1 500



125 659



10 073



400 785



33 317



0



0



0



0



2 000 000



2.



Panili



2 970



193 050



3 000



214 990



0



0



4 777



1 109 484



7 499



175 822



19 957



357 093



3.



Minyak kelapa



260 669 965



103 477 040



173 750 834



78 533 352



28 832 065



14 669 109



223 081 808



30 642 645



222 188 393



142 606 709



362 739 628



273 242 131



4.



Karbon aktif



1 437 347



667 676



2 125 440



594 368



120 000



61 038



3 139 257



1 117 760



1 767 234



1 767 234



2 692 592



1 995 547



5.



Arang tempurung



3 779 598



359 283



3 564 036



345 043



272 000



34 476



2 739 523



390 642



6 755 529



656 059



7 831 903



876 922



6.



Tepung kelapa



13 896 471



19 282 632



9 757 773



6 731 551



1 627 643



1 077 604



14 476 290



15 316 656



7 086 559



4 952 121



6 497 961



6 396 427



7.



Bungkil kopra



104 546 407



6 951 147



51 241 500



3 290 707



17 782 934



1 495 019



63 789 337



10 027 685



125 557 032



13 353 483



121 143 419



13 427 629



8.



Kopra



21 466 729



4 424 516



16 722 601



2 549 960



2 200 000



717 464



78 738 547



11 671 141



29 798 458



6 060 830



7 830 000



3 592 909



9.



Pala



1 470 635



8 882 028



1 104 178



4 784 201



103 195



439 735



1 394 568



5 159 232



2 721 552



11 035 611



1 331 608



6 934 911



10.



Fuli



233 288



1 238 935



198 954



1 029 823



26 010



131 961



219 056



1 085 983



488 959



2 651 015



215 650



1 349 241



11.



Ikan kaleng



11 344 660



15 693 469



12 061 921



103 343 064



1 736 398



2 732 757



5 563 787



9 004 886



3 247 059



6 084 368



13 732 573



32 979 383



12



Ikan segar



19 866 801



1 173 293



4 413 787



10 582 404



1 076 453



558 021



4 659 125



2 623 750



8 171 595



2 570 815



8 386 122



2 159 012



13.



Ikan beku



37 412 960



37 470 987



37 838 765



26 362 316



22 027 375



12 352 858



79 519 618



32 885 193



16 089 767



9 041 431



19 853 002



10 940 026



14.



Rumput laut



15.



Ikan kayu



16.



Lain-lain Total



476 891



996 559



396 071



712 629



240 681



63 400



34 870



38 163



24 806



78 344



48 573



60 000



52 621



2 098 663



6 580 515



1 431 470



4 335 380



552 304



1 990 743



10 442 467



18 728 440



2 194 407



11 063 877



2 791 227



10 690 978



42 454 111



74 182 835



194 422 892



81 627 243



469 337 098



310 650 870



267 725 623



251 546 486



378 072 468



230 393 654



23 286 025



164 910 067



521 684 662



280 974 980



509 475 427



324 575 156



546 157 658



346 979 842



755 531 945



391 334 788



804 224 857



442 461 604



580 411 667



530 381 787



Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sulawesi Utara (2009)



109



110



Lampiran 8. Pola Tanam Usahatani Jagung dan Padi secara Umum di Lokasi Penelitian Bulan



Usahatani Januari



Pebruari



Maret



April



Mei



Juni



Juli



Agustus



September



Oktober



November



Desember



Jagung



Bera



Bera



MT I



MT I



MT I



panen



Bera



Bera



MT II



MT II



MT II



panen



Padi



MT I



Bera



Bera



MT II



MT II



MT II



Bera



Bera



MT I



MT I



MT I/ panen



MT II/ panen



Keterangan: MT = Musim Tanam



110