Analisis Psikologi Pengarang Dalam 3 Puisi Karya Sapardi Djoko Damono Melalui Pendekatan Ekspresif (Sastrawan) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ANALISIS PSIKOLOGI PENGARANG DALAM 3 PUISI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO MELALUI PENDEKATAN EKSPRESIF (SASTRAWAN) ARTIKEL ILMIAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH PSIKOLOGI SASTRA Yang dibina oleh Fiyan Ilman Faqih, M.Pd.



Penulis: Fa‟izatul Karimah 21601071097



UNIVERSITAS ISLAM MALANG FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA Mei 2018



1



ANALISIS PSIKOLOGI PENGARANG DALAM 3 PUISI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO MELALUI PENDEKATAN EKSPRESIF (SASTRAWAN) Penulis: Fa‟izatul Karimah 21601071097



ABSTRAK Artikel ini membahas tentang analisis 3 puisi karya Sapardi Djoko Damono. Ketiga puisi tersebut berjudul “Hujan Bukan Juni” “Yang Fana Adalah Waktu” dan “Aku Ingin”. 3 puisi tersebut dianalisis menggunakan pendekatan ekspresif. Yaitu pendekatan yang menekankan kepada sudut pendang pengarang, penulis atau sastrawan. Sehingga puisi-puisi tersebut akan dianalisis berdasarkan pengalaman serta kondisi sikologi sastrawan. Alasan mengapa dipilih 3 puisi karya Sapardi Djoko Damono adalah karena Sapardi adalah sosok yang dielu-elukan banyak orang karena karyanya. Selain itu Sapardi juga identik dengan ciri khas menulis puisi menggunakan yang sederhana (tidak menggunakan diksi yang rumit), namun memiliki makna yang sangat unik dan mampu membuat orang ternganga. Puisi sapardi selalu diibaratkan dengan fenomena yang ada di sekitar kita, bahkan sering kita jumpai.



1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang A.Teeuw memaknai sastra dengan memadankan beberapa kata dari berbagai pengertian. Salah satumya ialah pengertian sastra dalam bahsa inggris ialah literrature yang artinya karya tulis yang didalam nya mencakup 2 aspek, yakni aspek normatif (sesuai dan tidak menyimpang dari aspek ketatabahasaan) dan aspek ekspresif (menyimpang dari aspek ketatabahasaan). Dari pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak semua karya sastra bersifat menyimpang dari aspek ketatabahasaan. Adanya penyimpangan yang terjadi pada aspek ketatabahasaan di karenakan semata-mata sebagai kepentingan estetik. Dan salah satu karya sastra yang mempunyai kelebihan pada aspek ekspresif adalah karya sastra dengan genre puisi. Karena karya sastra genre ini lebih mengutamakan keindahan estetik meski isinya pun juga memiliki kategori penting untuk dapat diketahui pembaca. Selain tergolong karya sastra yang mengutamakan aspek ekspresif, karya sastra genre ini juga tergolong karya sastra paling unik. Karena untuk mengetahui makna dan isinya kita harus lebih dahlu menikmati keindahannya dan tak jarang dibacakan dengan ekspresi dan intonasi yang khas (hal ini juga membantu penikmat untuk menginterpretasi karya sastra) untuk kemudian diinterpretasi agar mengetahui makna dan isinya. Pandanga bahwa bahasa dalam karya sastra adalah bahasa yang khas sudah luas tersebar. Khususnya karya sastra pada genre puisi. Karya sastra genre tersebut dianggap umum menunjukkan pemakaian bahasa yang sangat unik, yang sangat khas dan spesial,



2



bahasa yang hanya dimanfaatkan oleh penyair. Dan bahasa tersebut dianggap menyimpang dari bahasa bahasa pada umumnya. (Teeuw, 1984:70) Sejalan dengan pendapat Sayuti dalam Sadikin (1989:23),” Puisi adalah penguapan bahasa yang memperhitungkan adanya aspek-aspek bunyi di dalamnya,yang mengungkapkan pengalaman imajinatif,emosional dan intelektual penyair yang ditimba dari kehidupan individu dan sosialnya, yang diungkapakan dengan teknik pengalaman tertentu pula dalam diri pembaca atau pendengar”. Kemudian menurut Waluyo (2005:1),” Puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan,dipersingkat,dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif)”. Seperti halnya dijelaskan terdahulu, bahwa puisi mempunyai keunikan akan bahasanya. Bahasa yang khas yang tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ilmu sastra sejak dahulu keistimewaan pemakaian bahasa dalam sastra, khususnya dalam puisi, ditonjolkan. Selain itu puisi juga bisa dibacakan dengan nada dan intonasi yang sesuai, disertai dengan mimik wajah yang sesuai pula. Karenanya, keunikan puisi dapat dinilai dari segala sudut pandang. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana psikologi Sapardi Djoko Damono sebagai seorang sastrawan? 2. Bagaimana analisis 3 puisi Sapardi Djoko Damono menggunakan pendekatan ekspresif (sastrawan)? 1.3 Manfaat Tujuan analisis ini adalah memaparkan kandungan serta latar belakang 3 puisi Sapardi Djoko Damono, yaitu: “Hujan Bulan Juni”, “Yang Fana Adalah Waktu”, dan “Aku Ingin” 3 puisi ini tentu diciptakan dengan tujuan dan pasti memiliki pesan yang akan berpengaruh bagi kehidupan. Dengannya, pesan-pesan akan mudah dipahami dengan menganalisis puisi dari psikologi pengarang melalui pendekatan ekspresif. 2. PEMBAHASAN 2.1 Psikologi Sapardi Djoko Damono Sebagai Seorang Sastrawan Sebagai anak sulung dari seorang abdi ndalem keraton, yang lahir di bulan sapar pada Rabu, 20 Maret 1940 Surakarta Jawa Tengah. Sapardi Djoko Damono dididik oleh kedua orang tuanya Sadyoko dan Sapariah, dengan adat keraton yang tentu kental dengan kehidupan sopan santun serta memiliki unggah-ungguh yang sangat baik. Anak sulung dari dua bersaudara abdi dalem Keraton Surakarta itu mungkin mewarisi kesenimanan dari kakek dan neneknya. Kakeknya dari pihak ayah pintar membuat wayang hanya sebagai kegemaran dan pernah memberikan sekotak wayang kepada sang cucu. Nenek dari pihak ibunya gemar menembang (menyanyikan puisi Jawa) dari syair yang dibuat sendiri. “Tapi saya tidak bisa menyanyi, suara saya jelek,” ujar bekas pemegang gitar melodi band FS UGM Yogyakarta itu. Sadar akan kelemahannya, Sapardi kemudian mengembangkan diri sebagai penyair. Jika dikaitkan dengan sastra seperti ungkap Sigmun Freud bahwa sastra adalah obat, jika maknanya diperluas, sastra juga bisa diartikan sebagai kedamaian dan ketentraman. Kehidupan keraton adalah kehidupan yang menjunjung tinggi budi luhur, dengan penggunaan bahasa yan bertingkat-tingkat diharapkan seseorang akan memiliki rasa hormat yang tulus kepada sesama makhluk hidup sehingga kedamaian dan ketentraman itu dirasakan. Dalam tulisan “Permainan Makna” (Sihir Rendra, 1999:255-273) dikatakan oleh Sapardi, “Ternyata, kemudian, masa kecil yang sama sekali tidak istimewa itu



3



menjadi sumber bagi sebagian puisi saya; setidaknya bisa dikatakan bahwa beberapa sajak yang saya sukai mengingatkan saya pada masa kecil tersebut”. Dari kalimat yang diucapkannya itu terlihat bahwa Sapardi ternyata sangat tertarik dengan kehidupan batinnya sendiri. Masa kecil rupanya menjadi sumber kreativitasnya. Pada tahun 1957, sang ayah memutuskan untuk meninggalkan Ngadijayan dan pindah ke sebuah kampung bernama Komplang. Sapardi menafsirkan, pilihan ayahnya untuk pindah itu merupakan usaha untuk bisa mendapatkan tanah yang luas dan suasana yang lebih tenang. Di tempat tinggalnya yang baru, saat itu belum ada listrik. Keadaan desa pun waktu itu masih sangat sepi, sehingga sempat menimbulkan perasaan aneh di hati Sapardi. Sebab, di kampung tempatnya tinggal sebelumnya, Ngadijayan, Sapardi kerap keluyuran untuk menonton pagelaran wayang kulit. Namun lambat laun, Sapardi mulai terbiasa dengan keadaan yang jauh berbeda itu. Meski demikian, ia memutuskan untuk lebih banyak tinggal di rumah. “Mungkin karena suasana yang „aneh‟ itu menyebabkan saya memiliki waktu luang yang banyak dan „kesendirian‟ yang tidak bisa saya dapatkan di tengah kota,” kata Sapardi. Walaupun memutuskan untuk lebih banyak tinggal di rumah dan menikmati „kesendirian‟, hobi keluyurannya tak lantas berhenti begitu saja. Namun, „keluyuran‟-nya bukan dalam arti fisik di dunia nyata melainkan dunia batinnya sendiri. (Ossiris, 2013) Dari hal tersebut, kecintaannya terhadap kehidupan yang damai akhirnya terwujud dalam dirinya. Sehingga Sapardi memilih menjadi seseorang yang mengakrabkan dirinya dengan dunia sastra. Rekam jejak perjalannya telah bersama-sama kita saksikan. awal karir menulis Sapardi dimulai dari bangku sekolah. Saat masih di sekolah menengah, karya-karyanya sudah sering dimuat di majalah. Kesukaannya menulis semakin berkembang ketika dia kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM. Dari kemampuannya di bidang seni, mulai dari menari, bermain gitar, bermain drama, dan sastrawan, tampaknya bidang sastralah yang paling menonjol dimilikinya. Pria yang dijuluki sajak-sajak SDD ini tidak hanya menulis puisi, namun juga cerita pendek. Ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, esai, dan sejumlah artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola. Sapardi juga sedikit menguasai permainan wayang, karena kakeknya selain menjadi abdi dalem juga bekerja sebagai dalang. Penyair yang tersohor namanya di dalam maupun luar negeri ini juga sempat mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Ia juga pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar serta menjadi redaktur pada majalah Horison, Basis, dan Kalam. Namun kini ia telah pensiun. Hal lain yang membuat jasanya besar untuk sastra adalah berkat jasanya merintis dan memprakarsai Himpunan Sarjana Kesustraan Indonesia (Hiski), setiap tahun dewasa ini ada penyelenggaraan seminar dan pertemuan para sarjana sastra yang terhimpun di dalam organisasi tersebut. Dari latar belakang kehidupan Sapardi Djoko Damono tersebut, bisa dikaitkan dengan psikologi yang dialami saat Sapardi menulis puisi, dan latar belakang terciptanya puisi-puisi sapardi tentunya memiliki ciri khas akan sesuatu yang pernah tergambar dalam kehidupannya di masa lalu. Karena setiap puisi Sapardi yang ditulis selalu ada keterkaitan antara manusia dengan benda-benda mati atau makhluk hidup yang ada disekeliling kita, serta fenomena-fenomena alam, kejadian yang bahkan seringkali kita jumpai dalam kehidupan kita. Hal tersebut memiliki kesinambungan dengan kehidupan masa lalunya, bahawa memang ia dididik oleh seorang abdi ndalem keraton. Yang tentu mengabdikan dirinya kepada keraton dan raja dengan segala aturan yang ada. Dari fenomena dan peristiwa tersebut, Sapardi mampu mengimplementasikan sebuah perasaan melalui puisi yang tidak lepas dari fenomena-fenomena yang mengelilinginya, seperti hujan, kayu bakar, dan lainnya 4



2.2 Analisis 3 Puisi Sapardi Djoko Damono Menggunakan Pendekatan Ekspresif (Sastrawan) 2.2.1 Analisis Puisi “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Damono Menggunakan Pendekatan Ekspresif (Sastrawan) Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra momfokuskan perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta karya sastra, pendekatan ini memandang karya sastra sebagai ekspresi sastrawan. Atau sebagai produk imajinasi sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi pikiran atau perasaan, aspek sosiologi ekspresif ditinjau dari segi curahan rasa pengarang terhadap situasi tertentu. Keadaan jiwa pengarang yang meliputi latar belakang sosial budaya, pandangan (agama, kepercayaan, keyakinan, sikap hidup, dan emosi) (Tamaraw, 2015). Berikut puisi Sapardi Djoko Damono: Hujan Bulan Juni Tak ada yang lebih tabah Dari hujan bulan Juni Dirahasiakannya rintik rindunya Kepada pohon berbunga itu Tak ada yang lebih bijak Dari hujan bulan Juni Dihapusnya jejak-jejak kakinya Yang ragu-ragu di jalan itu Tak ada yang lebih arif Dari hujan bulan Juni Dibiarkannya yang tak terucapkan Diserap akar pohon bunga itu Sapardi Djoko Damono (1989)



Sapardi menulis puisi Hujan Bulan Juni berdasarkan pengalaman yang tak mulukmuluk. Saat berada di Yogya dan Solo pada masa mudanya, ia selalu menjalani Juni yang kemarau kering dengan malam-malamnya yang dingin menusuk tulang. Juni-Juli adalah masa libur buat mahasiswa, dan hujan tak pernah diingatnya mampir ke bulan-bulan tersebut. “Tapi kemudian, setelah saya ke Jakarta, kok di bulan Juni malah hujan?” celetuk Sapardi ketika disambangi kumparan, Kamis (8/6). Hujan yang turun “salah jadwal” di bulan Juni itu kemudian memantik sulur-sulur serebrum Sapardi untuk menuliskan puisi Hujan Bulan Juni. Kala itu, bagi Sapardi (dan bentangan imajinasinya), hujan salah jadwal tersebut janggal dan jadi masalah. Kenapa hujan mesti repot-repot datang di bulan Juni yang merupakan puncak kemarau? “Kalau sekarang nggak masalah, ya. Juni juga hujan. Tapi dulu nggak pernah begitu,” ujar Sapardi. Jika dimaknai dari bait ke bait, bait ke-1: Tak ada yang lebih tabah Dari hujan bulan Juni



5



Dirahasiakannya rintik rindunya Kepada pohon berbunga itu Dikaitkan dengan pengalaman Sapardi, Bait ke-1 ini memiliki makna tentang sebuah kerinduan yang dirasakan “pohon” kepada “hujan” di bulan Juni. Karena jika dilogika, hujan tidak biasa turun dibulan Juni. Seperti ungkap Sapardi saat Ia pergi ke Jakarta dan disana turun hujan, “Hujan dibulan Juni ini salah jadwal”. Hal tersebut bisa menjadi gambaran alam. Bahwa DKI Jakarta adalah kota yang panas, penuh polusi terlebih pada saat kemarau yang jadwalnya jatuh pada bulan JuniJuli. Beberapa pohon yang “masih” tumbuh tentu tersiksa dengan keberadaan polusi di jakarta. Ia membutuhkan rintik hujan saat bulan-bulan kemarau. Sayangnya hujan tidak datang saat musim kemarau. Maka penantian tersebut membutuhkan ketabahan yang tiada tara. Namun istilah “pohon” dan “hujan” juga boleh jadi diartikan sebagai kerinduan seseorang kepada kekasihnya yang di Ibaratkan melalui istilah “hujan” dan “pohon”. Bahwa seseorang tengah merindukan kekasihnya seperti menantikan Hujan jatuh di bulan Juni. Karena jikapun terjadi, itu adalah kejadian yang langka sehingga sang kekasih harus tabah menanti kekasihnya dengan menyembunyikan kerinduannya, seperti menunggu jatuhnya hujan di bulan Juni. Sekali lagi puisi yang baik adalah puisi yang mengandung multitafsir dari pembacanya. Makna dari Bait ke-2: Tak ada yang lebih bijak Dari hujan bulan Juni Dihapusnya jejak-jejak kakinya Yang ragu-ragu di jalan itu Bait ini dapat diartikan bahwa hujan seperti meninggalkan jejak-jejak kakinya saat musim kemarau. Sehingga pohon merasa bijak. Tetap berdiri kokoh meski daun-daunnya berguguran dan mengering saat musim kemarau. Penantiannya tidak akan berakhir. Namun, dikaitkan lagi dengan pengalaman Sapardi bahwa sebenarnya “hujan yang salah jadwal” itu benar-benar bijak. Ia menghampiri pohon meski bukan waktunya. Dan sebelum hujan reda, ia melentikkan rintiknya (gerimis) yang menjadi makna dari “Dihapusnya jejak-jejak kakinya, Yang ragu-ragu di jalan itu”. Peristiwa tersebut juga boleh jadi menjadi sebuah istilah untuk memaknai kisah sepasang kekasih. Bahwa kerinduan seorang kekasih yang saking rindunya, sehingga Ia tetap menghampiri, menemui kekasihnya meski belum waktunya. Kejadian itu terjadi hingga pada waktunya ia menyadari bahwa belum waktunya ia menemui kekasihnya sehingga ia memutuskan untuk pergi;meski dengan perasaan ragu. Makna dari bait ke-3: Tak ada yang lebih arif Dari hujan bulan Juni Dibiarkannya yang tak terucapkan Diserap akar pohon bunga itu Sesuai dengan pengalaman pengarang, bait ini mengisahkan hujan begitu arif;bijaksana. Hujan membiarkan rintiknya yang “salah jadwal” diserap akar pohon, serta bunga yang ada. Sekali lagi, peristiwa ini dapat menjadi suatu ibarat bagi peristiwa lain. Misal peristiwa sepasang kekasih, dan peristiwa-peristiwa lainnya. Namun dapat dipetik sebuah



6



pesan. Bahwa mengapa musim kemarau jatuh pada bulan yang tak semestinya? Memang hal ini pengaruh dari taksir. Namun kita sebagai manusia juga sebenarnya memiliki hubungan timbal balik dengan alam. Apakah ada, perbuatan-perbuatan kita yang tidak menghargai lingkungan dan sebagainya. Dalam perumpamaan “kita bisa memberi ruang bagi pohon agar tetap merasa nyaman meski kemarau tiba, sehingga hujan tidak perlu repot-repot hadir saat kemarau tiba”. Artinya ada perbuatan kita sebagai manusia yang memang harus terlebih dahulu diperbaiki. Khususnya hubungan dengan alam. Namun sekali lagi, keterkaitan pengalaman Sapardi dengan puisi “Hujan Bulan Juni” serta analisis dan makna puisi yang telah dipaparkan diatas, juga bisa jadi menjadi ibarat peristiwa lain. Seperti apresiasi film yang berjudul “Hujan Bulan Juni”, konsep dan peristiwanya mengacu pada sebuah hubungan sepasang kekasih. 2.2.2 Analisis Puisi “Yang Fana Adalah Waktu” karya Sapardi Djoko Damono Menggunakan Pendekatan Ekspresif (Sastrawan) Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra momfokuskan perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta karya sastra, pendekatan ini memandang karya sastra sebagai ekspresi sastrawan. Atau sebagai produk imajinasi sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi pikiran atau perasaan, aspek sosiologi ekspresif ditinjau dari segi curahan rasa pengarang terhadap situasi tertentu. Keadaan jiwa pengarang yang meliputi latar belakang sosial budaya, pandangan (agama, kepercayaan, keyakinan, sikap hidup, dan emosi) (Tamaraw, 2015). Berikut puisi Sapardi Djoko Damono: Yang Fana Adalah Waktu Yang fana adalah waktu. Kita abadi; Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga Sampai pada suatu hari Kita lupa untuk apa Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” Tanyamu Kita abadi Sapardi Djoko Damono (1978)



Bait dalam puisi ini jika dikaitkan dengan latar belakang sapardi sebagai seorang yang dididik oleh keluarga abdi ndalem keraton, tentunya beliau benar-benar merasakan kehidupan yang dirangkai dari waktu ke waktu sehingga ia menjadi seorang sastrawan yang menuliskan karya. Sapardi berkata bahwa sesungguhnya yang fana;yang tidak kekal adalah waktu. Bukan kita. Sebab waktu akan selalu berganti dan hilang dimakan masa. Kita kecil dahulu. Namun sekarang sudah besar. Masa kecil kita telah hilang, namun kita tetap ada. Meski dengan keadaan yang berbeda. Maka dari itu, sebaiknya kita pungut detik demi detik dengan merangkainya seperti bunga. Yaitu melakukan sesuatu yang berharga sehingga jika dirangkai akan menjadi indah;seperti bunga. Sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa kita melakukan kebaikan-kebaikan serta suatu yang berharga itu? (karena memang seebaiknya manusia melupakan kebaikan yang diperbuat dan mengingat kebaikan orang lain kepada dirinya masing-masing). (Sapardi dan Kisahnya tentang Hujan Bulan Juni, 2017) Hingga kata “Yang fana adalah waktu” dan “Kita abadi” di ulang sebanyak 2 kali. Itu termasuk penegasan. Bahwa kita abadi, karena kebaikan, serta sesuatu yang kita lakukan (entah baik atau buruk) hal itu akan mudah diingat bahkan masih bisa terus



7



dikenang. Namun satu hal lagi yang membuat kita abadi. Ialah sebuah karya. Spardi mengatakan kalimat tersebut dalam puisinya ialah untuk menegaskan bahwa berkaryalah. Dengan memanfaatkan detik demi detik. Karena yang dapat tergerus adalah waktu. Bukan kita. 2.2.3 Analisis Puisi “Aku Ingin” karya Sapardi Djoko Damono Menggunakan Pendekatan Ekspresif (Sastrawan) Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra momfokuskan perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta karya sastra, pendekatan ini memandang karya sastra sebagai ekspresi sastrawan. Atau sebagai produk imajinasi sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi pikiran atau perasaan, aspek sosiologi ekspresif ditinjau dari segi curahan rasa pengarang terhadap situasi tertentu. Keadaan jiwa pengarang yang meliputi latar belakang sosial budaya, pandangan (agama, kepercayaan, keyakinan, sikap hidup, dan emosi) (Tamaraw, 2015). Berikut puisi Sapardi Djoko Damono: Aku Ingin Aku ingin mencintaimu dengan sederhana; Dengan kata yang tak sempat diucapkan Kayu kepada api yang menjadikannya abu Aku ingin mencintaimu dengan sederhana; Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang Menjadikannya tiada Sapardi Djoko Damono (1980)



Sapardi memang keturunan keluarga yang akrab dengan seniman. Sehingga tak heran jika Sapardi mampu seromantis ini membuat ungkapan kasih sayang atau bisa kita sebut cinta. Puisi “Aku Ingin” ini salah satu wujudnya. Struktur batin puisi “Aku Ingin adalah sebuah pengungkapan makna yang hendak disampaikan penyair dan stuktur batin puisi yang akan dikemukakan oleh penyair dengan perasaan dan suasana juwanya (Waluyo, 1987:102) Sapardi memiliki latar belakang kehidupan yang cukup memprihatinkan. Terdapat peristiwa saat Ibunya menitipkannya kepada Ibu tirinya, Ia merasa sangat terpukul. (Ossiris, 2013) kemudian ia juga mengatakan bahwa sebagian besar kaaryanya lahir dari kisah masa kecilnya dahulu. dari hal tersebut bisa diartikan bahwa seorang Sapardi ingin sekali mencintai Ibunya dengan sederhana;sesuatu yang tidak berbelit-belit. “Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu” artinya kesederhanaan kecintaannya tetap tak memiliki istilah yang sesuai dalam kata. Karena pengorbanannya terjadi dengan kurun waktu yang begitu lama, dengan segala macam perasaan serta cobaan ibarat api yang sedang membakar kayu hingga menjadikannya abu. Atau bahkan seperti isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. Kata “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana” dituliskan 2 kali. Sehingga dapat menimbulkan makna penegasan yang memiliki pesan, cintailah Ibumu dengan lumrah. Seperti bakti seorang anak yang sesungguhnya. Tidak perlu berbelit-belit. Bahkan sampai kecintaanmu tak dapat diistilahkan dan diisyaratkan. Berbuatlah begitu untuk Ibumu yang rela memperjuangkan segalanya hingga mati demi anaknya, yang pengorbanannya idak dapat ditebus, ataupun dijuluki dengan sebutan apapun. Karena Ibu begitu menikmati 8



masa pengabdiannya mendidik serta mengasuh anak. Lebih lama pengorbanannya dari api yang membakar kayu hingga menjadikannya abu.



3. KESIMPULAN Sapardi Djoko Damono adalah anak sulung dari dari seorang abdi ndalem keraton, yang lahir di bulan sapar pada Rabu, 20 Maret 1940 Surakarta Jawa Tengah. Sapardi Djoko Damono dididik oleh kedua orang tuanya Sadyoko dan Sapariah, dengan adat keraton yang tentu kental dengan kehidupan sopan santun serta memiliki unggah-ungguh yang sangat baik. Anak sulung dari dua bersaudara abdi dalem Keraton Surakarta itu mungkin mewarisi kesenimanan dari kakek dan neneknya. Kakeknya dari pihak ayah pintar membuat wayang hanya sebagai kegemaran dan pernah memberikan sekotak wayang kepada sang cucu. Nenek dari pihak ibunya gemar menembang (menyanyikan puisi Jawa) dari syair yang dibuat sendiri. “Tapi saya tidak bisa menyanyi, suara saya jelek,” ujar bekas pemegang gitar melodi band FS UGM Yogyakarta itu. Sadar akan kelemahannya, Sapardi kemudian mengembangkan diri sebagai penyair.Pada tahun 1957, sang ayah memutuskan untuk meninggalkan Ngadijayan dan pindah ke sebuah kampung bernama Komplang. Sapardi menafsirkan, pilihan ayahnya untuk pindah itu merupakan usaha untuk bisa mendapatkan tanah yang luas dan suasana yang lebih tenang. Di tempat tinggalnya yang baru, saat itu belum ada listrik. Keadaan desa pun waktu itu masih sangat sepi, sehingga sempat menimbulkan perasaan aneh di hati Sapardi. Sebab, di kampung tempatnya tinggal sebelumnya, Ngadijayan, Sapardi kerap keluyuran untuk menonton pagelaran wayang kulit. Namun lambat laun, Sapardi mulai terbiasa dengan keadaan yang jauh berbeda itu. Meski demikian, ia memutuskan untuk lebih banyak tinggal di rumah. “Mungkin karena suasana yang „aneh‟ itu menyebabkan saya memiliki waktu luang yang banyak dan „kesendirian‟ yang tidak bisa saya dapatkan di tengah kota,” kata Sapardi. Walaupun memutuskan untuk lebih banyak tinggal di rumah dan menikmati „kesendirian‟, hobi keluyurannya tak lantas berhenti begitu saja. Namun, „keluyuran‟-nya bukan dalam arti fisik di dunia nyata melainkan dunia batinnya sendiri. (Ossiris, 2013) 3 puisi Sapardi Djoko Damono dengan judul “Hujan Bulan Juni”, “Yang Fana Adalah Waktu”, dan “Aku Ingin” masing-masing memiliki analisis yang tergolong dalam persoalan hidup. Masing-masing memiliki makna yang berbeda dan sangat berguna jika diterapkan dalam kehidupan. Puisi “Hujan Bulan Juni” memiliki pesan didalamnya, bahwa apa yang kita tuai selalu memiliki hubungan timbal balik. Tentunya dalam hidup, kita harus memiliki etika terhadap alam dan lingkungan salah satu upayanya adalah menjaga kelestarian alam. Kemudian puisi “Yang Fana Adalah Waktu” memiliki pesan yang sangat dalam, bahwa waktu bukan sesuatu yang kekal. Maka ciptakan rangkaian karya atau kebaikan ditiap detik yang menghampiri. Agar kita abadi dan berguna bagi orang lain. Yang terakhir adalah puisi “Aku Ingin” memiliki pesan moral yang sangat indah yakni cintailah Ibumu dengan lumrah. Seperti bakti seorang anak yang sesungguhnya. Tidak perlu berbelit-belit. Bahkan sampai kecintaanmu tak dapat diistilahkan dan diisyaratkan. Berbuatlah begitu untuk Ibumu yang rela memperjuangkan segalanya hingga mati demi anaknya, yang pengorbanannya idak dapat ditebus, ataupun dijuluki dengan sebutan apapun. Karena Ibu begitu menikmati masa pengabdiannya mendidik serta mengasuh anak. Lebih lama pengorbanannya dari api yang membakar kayu hingga menjadikannya abu.



9



DAFTAR RUJUKAN Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta. PT Girimukti Pasaka. Sadikin, Mustofa. 2010. Kumpulan Sastra Indonesia. Jakarta. Gudang Ilmu Waluyo. Herman J. 2002. Apresiasi Puisi. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama Ossiris, S. (2013, Juni 17). Biografi dan Kumpulan Puisi Sapardi Djoko Damono. Biografi dan Kumpulan Puisi Sapardi Djoko Damono, hal. 1. Tamaraw, J. (2015). Analisis Sosiologi Sastra Terhadap Novel 5 CM. Analisis Sosiologi Sastra Terhadap Novel 5 CM, 14. Damono, Sapardi Djoko (1989). Hujan Bulan Juni.Kumpulan Puisi Damono, Sapardi Djoko (1978). Yang Fana Adalah Waktu. Kumpulan Puisi Damono, Sapardi Djoko (1980). Aku Ingin.Kumpulan Puisi



10