Askep Bibir Sumbing Pada Anak [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu deformitas oro-fasial yang cukup sering dijumpai adalah celah bibir langitlangit, kedua jenis deformitas ini dapat terjadi secara terpisah atau bersamaan. (Sianita,2011). Labiopalatoschisis atau Cleft Lip and Palate (CLP) dalam bahasa Indonesia dikenal dengan bibir sumbing atau celah bibir dan atau langitan merupakan kelainan yang sering terjadi pada congenital deformity setelah clubfoot deformity. Celah bibir adalah suatu keadaan terbukanya bibir sedangkan celah langitan adalah kelainan terbukanya langit-langit rongga mulut. Hal ini merupakan suatu perkembangan bibir dan langitan yang tidak sempurna semasa janin terbentuk. Celah bibir dan atau langitan mempengaruhi kira-kira 1 dari 750 angka kelahiran. Celah ini berhubungan dengan banyak masalah termasuk estetik dan bentuk gigi yang abnormal juga dengan masalah wicara, pendengaran, dan wajah. (Pujiastuti, 2008). Insidens bibir sumbing dengan atau tanpa celah palatum adalah 1 dari 2.000 kelahiran di Amerika Serikat. Insidens bibir sumbing dengan atau tanpa celah palatum bervariasi berdasarkan etnis, dari 1.000 kelahiran didapatkan pada etnis Indian 3,6, etnis Asia 2,1, etnis kulit putih 1,0, dan etnis kulit hitam 0,41. Sebaliknya, insidens celah palatum konstan pada semua etnis, yaitu 0,5 dari 1.000 kelahiran. Di Indonesia, kelainan ini cukup sering dijumpai, walaupun tidak banyak data yang mendukung. Jumlah penderita bibir sumbing dan celah palatum yang tidak tertangani di Indonesia mencapai 5.000-6.000 kasus pertahun, diperkirakan akan bertambah 6.000-7.000 kasus per tahun. Namun karena berbagai kendala, jumlah penderita yang bisa dioperasi jauh dari ideal, hanya sekitar 1.000-1.500 pasien per tahun yang mendapat kesempatan menjalani operasi. (Irawan, 2014) Seorang anak yang dilahirkan dengan deformitas ini akan berbagai kesulitan dan seringkali berdampak serius. Kesulitan yang dimaksud antara lain dalam berbicara, mendengar, membaca, selain itu anak dengan celah bibir dan langit-langit sering merasa malu, rendah diri dan menarik diri dari lingkungannya (Sianita, 2011). Dari uraian tersebut diatas, maka Labiopalatoschisis atau Cleft Lip and



Palate (CLP) ini perlu dipelajari



khususnya dalam praktek asuhan keperawatan sistem pencernaan secara komprehensif.



1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Setelah proses pembelajaran, diharapkan mahasiswa mampu melakukan asuhan keperawatan sistem pencernaan pada klien dengan Labiopalatoschisis atau Cleft Lip and Palate (CLP) 1.2.2



Tujuan Khusus Mahasiswa mampu memahami: a Anatomi Fisiologi Rongga Mulut b Definisi Cleft Lip and Palate (CLP) c Etiologi Cleft Lip and Palate (CLP) d Manifestasi klinis Cleft Lip and Palate (CLP) e Patofisiologi dan WOC Cleft Lip and Palate (CLP) f Komplikasi Cleft Lip and Palate (CLP) g Pencegahan Cleft Lip and Palate (CLP) h Penatalaksanaan pada klien dengan Cleft Lip and Palate (CLP) i Asuhan keperawatan pada klien dengan Cleft Lip and Palate (CLP)



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Fisiologi Rongga Mulut Rongga mulut yang disebut juga rongga bukal, dibentuk secara anatomi oleh pipi, palatum keras, palatum lunak, dan lidah. Pipi membentuk dinding bagian lateral masingmasing sisi dari rongga mulut. Pada bagian eksternal dari pipi, pipi dilapisi oleh kulit.



Sedangkan pada bagian internalnya, pipi dilapisi oleh membran mukosa, yang terdiri dari epitel pipih berlapis yang tidak terkeratinasi. Otot-otot businator (otot yang menyusun dinding pipi) dan jaringan ikat tersusun di antara kulit dan membran mukosa dari pipi. Bagian anterior dari pipi berakhir pada bagian bibir (Tortora et al., 2009).



Secara anatomi, bibir dibagi menjadi dua bagian yaitu bibir bagian atas dan bibir bagian bawah. Bibir bagian atas terbentang dari dasar dari hidung pada bagian superior sampai ke lipatan nasolabial pada bagian lateral dan batas bebas dari sisi vermilion pada bagian inferior. Bibir bagian bawah terbentang dari bagian atas sisi vermilion sampai ke bagian komisura pada bagian lateral dan ke bagian mandibula pada bagian inferior (Jahan-Parwar et al., 2011). Kedua bagian bibir tersebut, secara histologi, tersusun dari epidermis, jaringan subkutan, serat otot orbikularis oris, dan membran mukosa yang tersusun dari bagian superfisial sampai ke bagian paling dalam. Bagian vermilion merupakan bagian yang tersusun atas epitel pipih yang tidak terkeratinasi. Epitelepitel pada bagian ini melapisi banyak pembuluh kapiler sehingga memberikan warna yang khas pada bagian tersebut. Selain itu, gambaran histologi juga menunjukkan terdapatnya banyak kelenjar liur minor. Folikel rambut dan kelejar sebasea juga terdapat pada bagian kulit pada bibir, namun struktur tersebut tidak ditemukan pada bagian vermilion (Tortorra et al., 2009; Jahan-Parwar et al., 2011). Permukaan bibir bagian dalam dari bibir atas maupun bawah berlekatan dengan gusi pada masing-masing bagian bibir oleh sebuah lipatan yang berada di bagian tengah dari membran mukosa yang disebut frenulum labial. Saat melakukan proses mengunyah, kontraksi dari otot-otot businator di pipi dan otototot orbukularis oris di bibir akan membantu untuk memosisikan agar makanan berada di antara gigi bagian atas dan gigi bagian bawah. Otot-otot tersebut juga memiliki fungsi untuk membantu proses berbicara. Palatum merupakan sebuah dinding atau pembatas yang membatasi antara rongga mulut dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi rongga mulut. Struktur palatum



sangat penting untuk dapat melakukan proses mengunyah dan bernafas pada saat yang sama. Palatum secara anatomis dibagi menjadi dua bagian yaitu palatum durum (palatum keras) dan palatum mole (palatum lunak). Palatum durum terletak di bagian anterior dari atap rongga mulut. Palatum durum merupakan sekat yang terbentuk dari tulang yang memisahkan antara rongga mulut dan rongga hidung. Palatum durum dibentuk oleh tulang maksila dan tulang palatin yang dilapisi oleh membran mukosa. Bagian posterior dari atap rongga mulut dibentuk oleh palatum mole. Palatum mole merupakan sekat berbentuk lengkungan yang membatasi antara bagian orofaring dan nasofaring. Palatum mole terbentuk dari jaringan otot yang sama halnya dengan paltum durum, juga dilapisi oleh membran mukosa (Marieb and Hoehn, 2010; JahanParwar et al., 2011). 2.2 Definisi a. Labio Palato skisis merupakan suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah mulut, palato skisis (sumbing palatum) dan labio skisis (sumbing tulang) untuk menyatu selama perkembangan embrio (Hidayat, Aziz, 2006). b. Bibir sumbing adalah malformasi yang disebabkan oleh gagalnya propsuesus nasal median dan maksilaris untuk menyatu selama perkembangan embriotik. (Wong, Donna L. 2003). c. Celah bibir dan celah langitan adalah suatu kelainan kelahiran yang terjadi di daerah mulut dan bibir. Keadaan kelainan ini dapat meyebabkan berbagai bervariasi problem yang berhubungan dengan rongga mulut, bicara, pendengaran dan mungkin juga mempengaruhi jumlah, ukuran, bentuk dan posisi gigi sulung maupun gigi tetap. (Pujiastuti,2008) 2.3 Klasifikasi Klasifikasi yang diusulkan oleh Veau dibagi dalam 4 golongan yaitu : Golongan I : Celah pada langit-langit lunak (gambar 1). Golongan II Golongan III Golongan IV



: Celah pada langit-langit lunak dan keras dibelakang foramen Insisivum (gambar 2). : Celah pada langit-langit lunak dan keras mengenai tulang alveolar dan bibir pada satu sisi (gambar 3). : Celah pada langit-langit lunak dan keras mengenai tulang alveolar dan bibir pada dua sisi (gambar 4).



Gambar 1. A. Celah pada langit-langit lunak saja. B. Celah pada langit-langit lunak dan keras. C. Celah yang meliputi langit-langit dan lunak keras juga alveolar pada satu sisi. D. Celah yang meliputi langit lunak dan keras juga alveolar dan bibir pada dua sisi. (Young & Greg. Cleft lip and palate. http://www2.utmb.edu/otoref/Grnds/Cleft-lip-palate9801/Cleft-lip-palate-9801. 2 December 2011.)



Sedangkan Klasifikasi dari American Cleft Association (1962) yaitu : 1. Celah langit-langit primer Celah bibir :  Unilateral, median atau bilateral dengan derajat luas celah 1/3, 2/3 dan 3/3.  Celah alveolar dengan segala variasinya. 2. Celah langit-langit sekunder  Celah langit-langit lunak dengan variasinya.  Celah langit-langit keras dengan variasinya.



Gambar 2. (A) Celah bibir unilateral tidak komplit, (B) Celah bibir unilateral (C) Celah bibir bilateral dengan celah langit-langit dan tulang alveolar, (D) Celah langit-langit. (Stoll et al. BMC Medical genetics. 2004, 154.)



2.4 Etiologi Etiologi celah bibir adalah multifaktorial dan etiologi celah bibir belum dapat diketahui secara pasti. Pembentukan bibir terjadi pada masa embrio minggu keenam sampai minggu kesepuluh kehamilan. Penyebab kelainan ini dipengaruhi berbagai faktor, disamping faktor genetik, bisa juga faktor non-genetik. a. Faktor Genetik Faktor herediter mempunyai dasar genetik untuk terjadinya celah bibir telah diketahui tetapi belum dapat dipastikan sepenuhnya. Kruger (1957) mengatakan sejumlah kasus yang telah dilaporkan dari seluruh dunia tendensi keturunan sebagai penyebab kelainan ini diketahui lebih kurang 25-30%. Dasar genetik terjadinya celah bibir dikatakan sebagai gagalnya mesodermal berproliferasi melintasi garis pertemuan, di mana bagian ini seharusnya bersatu dan biasa juga karena atropi dari pada epithelium ataupun tidak adanya perubahan otot pada epithelium ataupun tidak adanya perubahan otot pada daerah tersebut. Sebagai tanda adanya hipoplasia mesodermal. Adanya gen yang dominan dan resesif juga merupakan penyebab terjadinya hal ini. Teori lain mengatakan bahwa celah



bibir terjadi karena : 



Dengan bertambahnya usia ibu hamil dapat menyebabkan ketidak kebalan embrio terhadap terjadinya celah.







Adanya abnormalitas dari kromosom menyebabkan terjadinya malformasi kongenital yang ganda.







Adanya tripel autosom sindrom termasuk celah mulut yang diikuti dengan anomali kongenital yang lain



b. Faktor Non-Genetik 



Nutrisi yang kurang pada masa kehamilan merupakan satu hal penyabab terjadinya celah. Melalui percobaan yang dilakukan pada binatang dengan memberikan vitamin A secara berlebihan atau kurang. Yang hasilnya menimbulkan celah pada anak-anak tikus yang baru lahir. Begitu juga dengan defisiensi vitamin riboflavin pada tikus yang sedang dan hasilnya juga adanya celah dengan persentase yang tinggi, dan pemberiam kortison pada kelinci yang sedang hamil akan menimbulkan







efek yang sama. Menurut Siggers, dengan bertambahnya usia ibu waktu hamil, bertambah pula risiko dari ketidaksempurnaan pembelahan meiosis yang akan menyebabkan bayi dengan kelainan trisomi. Peningkatan risiko ini diduga sebagai akibat bertambahnya umur sel telur yang dibuahi. Wanita dilahirkan dengan kira-kira 400.000 gamet dan tidak memproduksi gamet-gamet baru selama hidupnya. Oleh karena itu, jika seorang







wanita berumur 35 tahun maka sel-sel telurnya juga berusia 35 tahun (Pai, 1987). Meskipun obat yang digunakan selama kehamilan terutama untuk mengobati penyakit ibu, tetapi hampir selalu janin yang tumbuh akan menjadi penerima obat. Penggunaan asetosal atau aspirin sebagai obat analgetik pada masa kehamilan trimeseter pertama dapat menyebabkan terjadinya celah bibir. Beberapa obat yang sebaiknya tidak dikonsumsi selama kehamilan



adalah



rifampisin,



fenasetin,



sulfonamid,



aminoglikosid, indometasin, asam flufetamat, ibuprofen, dan penisilamin.Beberapa obat antihistamin yang digunakan sebagai anti emetik selama kehamilan dapat menyebabkan terjadinya celah langit-langit. Obat-obat antineoplastik terbukti menyebabkan cacat ini pada binatang. Walaupun pada manusia belum terbukti, 



sebaiknya obat-obat ini tidak diberikan pada kehamilan. Beberapa ahli menyatakan bahwa penyakit sifilis dan virus rubella dapat menyebabkan terjadinya celah



bibir



kemungkinan dapat menyebabkan celah.



dan



langit-langit,



tetapi



hanya



sedikit







Strean dan Peer melaporkan bahwa trauma mental dan trauma fisik dapat menyebabkan terjadinya celah. Stress yang timbul menyebabkan fungsi korteks adrenal terangsang untuk mensekresi hidrokortison sehingga nantinya dapat mempengaruhi keadaan ibu yang sedang mengandung dan dapat menimbulkan celah, dengan terjadinya stress yang mengakibatkan celah yaitu : terangsangnya hipothalamus adrenocorticotropic hormone (ACTH). Sehingga merangsang kelenjar adrenal bagian glukokortikoid mengeluarkan hidrokortison, sehingga akan meningkat di dalam darah yang dapat menganggu pertumbuhan.



2.5 Manifestasi klinis Manifestasi klinis yang dapat dijumpai adalah : a. b. c. d. e. f. a)



Deformitas pada bibir Kesukaran dalam menghisap/makan Kelainan susunan archumdentis Distersi nasal sehingga bisa menyebabkan gangguan pernafasan Gangguan komunikasi verbal Regurgitasi makanan Pada Labio skisis • Distorsi pada hidung • Tampak sebagian atau keduanya • Adanya celah pada bibir b) Pada Palato skisis • Tampak ada celah pada tekak (unla), palato lunak, keras dan faramen incisive. • Ada rongga pada hidung. • Distorsi hidung • Teraba ada celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari. • Kesukaran dalam menghisap/makan



2.6 WOC Geneti k



Teratoge n



Toksikosis Kehamilan



Infeksi



Kegagalan perkembangan tulang dan jaringan lunak pada trimester I Prosesus maxilaris tumbuh ke 2 arah



Medial



Anterior



Penyatuan dengan pembentukan prosesus fronto nasal (pada 2 titik bawah lubang hidung untuk membentuk bibir atas)



Sel mesekim sebagai penginduksi Diferensiasi sel epitel pada prosesus palatal



Gagal Menyatu



Gagal Terdapat celah pada bibir saja/lubang hidung, tulang maxila, gigi



Hambatan Komunikasi Resiko Aspirasi



Labioski sis



Celah pada palato lunak dan keras, Palatoskisi s



Pembedahan Ketidakmamp uan menghisap Ketidakefektifan pemberian ASI



Nyeri



Kerusakan Integritas Kulit



2.7 Komplikasi a. Masalah asupan makanan Masalah asupan makanan merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita celah bibir. Adanya celah bibir memberikan kesulitan pada bayi untuk melakukan hisapan payudara ibu atau dot. Tekanan lembut pada pipi bayi dengan labioschisis mungkin dapat meningkatkan kemampuan hisapan oral. Keadaan tambahan yang ditemukan adalah refleks hisap dan refleks menelan pada bayi dengan celah bibir tidak sebaik normal, dan bayi dapat menghisap lebih banyak udara pada saat menyusu. Cara memegang bayi dengan posisi tegak lurus mungkin dapat membantu proses menyusui bayi dan menepuk-nepuk punggung bayi secara berkala dapat membantu. Bayi yang hanya menderita labioschisis atau dengan celah kecil pada palatum biasanya dapat menyusui, namun pada bayi dengan labiopalatochisis biasanya membutuhkan penggunaan dot khusus. Dot khusus (cairan dalam dot ini dapat keluar dengan tenaga hisapan kecil) ini dibuat untuk bayi dengan labio-palatoschisis dan bayi dengan masalah pemberian makan/ asupan makanan tertentu. b. Masalah dental Anak yang lahir dengan celah bibir mungkin mempunyai masalah tertentu yang berhubungan dengan kehilangan gigi, malformasi, dan malposisi dari gigi geligi pada area dari celah bibir yang terbentuk. c. Infeksi telinga Anak dengan labio-palatoschisis lebih mudah untuk menderita infeksi telinga karena terdapatnya abnormalitas perkembangan dari otot-otot yang mengontrol pembukaan dan penutupan tuba eustachius. d.



Gangguan berbicara Pada bayi dengan labio-palatoschisis biasanya juga memiliki abnormalitas pada perkembangan otot-otot yang mengurus palatum mole. Saat palatum mole tidak dapat menutup ruang/ rongga nasal pada saat bicara, maka didapatkan suara dengan kualitas nada yang lebih tinggi (hypernasal quality of 6 speech). Meskipun telah dilakukan reparasi palatum, kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk menutup ruang/ rongga nasal pada saat bicara mungkin tidak dapat kembali sepenuhnya normal. Penderita celah palatum memiliki kesulitan bicara, sebagian karena palatum lunak cenderung pendek dan kurang dapat bergerak sehingga selama berbicara udara keluar dari hidung. Anak mungkin mempunyai kesulitan untuk menproduksi suara/ kata "p, b, d, t, h, k, g, s, sh, dan ch", dan terapi bicara (speech therapy) biasanya sangat membantu



2.8 Pencegahan a. Menghindari merokok Ibu yang merokok mungkin merupakan faktor risiko lingkungan terbaik yang telah dipelajari untuk terjadinya celah orofacial. Ibu yang menggunakan tembakau selama kehamilan secara konsisten terkait dengan peningkatan resiko terjadinya celah-celah orofacial. b. Menghindari alkohol Peminum alkohol berat selama kehamilan diketahui dapat mempengaruhi tumbuh kembang embrio, dan langit-langit mulut sumbing telah dijelaskan memiliki hubungan dengan terjadinya defek sebanyak 10% kasus pada sindrom alkohol fetal (fetal alcohol syndrome) c. Nutrisi yang adekuat dari ibu hamil saat konsepsi dan trimester I kehamilan sangat penting bagi tumbuh kembang bibir, palatum dan struktur kraniofasial yang normal dari fetus. a) Asam Folat Pemberian asam folat pada ibu hamil sangat penting pada setiap tahap kehamilan sejak konsepsi sampai persalinan. Asam folat memiliki dua peran dalam menentukan hasil kehamilan, yang pertama adalah dalam proses maturasi janin jangka panjang untuk mencegah anemia pada kehamilan lanjut dan kedua adalah dalam mencegah defek kongenital selama tumbuh kembang embrionik. Telah disarankan bahwa suplemen asam folat pada ibu hamil memiliki peran dalam mencegah celah orofasial yang non sindromik seperti bibir dan/atau langit-langit sumbing. Ibu hamil membutuhkan 400mg-800mg asam folat pada tahap yang sangat awal dari kehamilan setiap harinya. b) Vitamin B-6 Vitamin B-6 diketahui dapat melindungi terhadap induksi terjadinya celah orofasial secara laboratorium pada binatang oleh sifat teratogennya demikian juga kortikosteroid, kelebihan vitamin A, dan siklofosfamid. Deoksipiridin, atau antagonis vitamin B-6, diketahui menginduksi celah orofasial dan defisiensi vitamin B-6 sendiri cukup untuk membuktikan terjadinya langit-langit mulut sumbing dan defek lahir lainnya pada binatang percobaan. c) Vitamin A Asupan vitamn A yang dikaitkan dengan peningkatan resiko terjadinya celah orofasial. Hale adalah peneliti pertama yang menemukan bahwa defisiensi



vitamin A pada ibu menyebabkan defek pada mata, celah orofasial, dan defek kelahiran lainya pada babi. Penelitian klinis manusia menyatakan bahwa paparan fetus terhadap retinoid dan diet tinggi vitamin A juga dapat menghasilkan kelainan kraniofasial yang gawat. d. Modifikasi Pekerjaan Dari data-data yang ada dan penelitian skala besar menyerankan bahwa ada hubungan antara celah orofasial dengan pekerjaan ibu hamil (pegawai kesehatan, industri reparasi,



pegawai



agrikulutur).



Teratogenesis



karena



trichloroethylene



dan



tetrachloroethylene pada air yang diketahui berhubungan dengan pekerjaan bertani mengindikasikan adanya peran dari pestisida, hal ini diketahui dari beberapa penelitian, namun tidak semua. Maka sebaiknya pada wanita hamil lebih baik mengurangi jenis pekerjaan yang terkait. Pekerjaan ayah dalam industri cetak, seperti pabrik cat, operator motor, pemadam kebakaran atau bertani telah diketahui meningkatkan resiko terjadinya celah orofasial. 2.9 Pemeriksaan Penunjang Terbentuknya celah pada bibir dan palatum biasanya terlihat selama pemeriksaan bayi pertama kali. Beberapa celah orofasial dapat terdiagnosa dengan USG prenatal, namun tidak terdapat skrining sistemik untuk celahorofasial. Diagnosa antenatal untuk celah bibir, baik unilateral maupun bilateral memungkinkan dengan USG pada usia gestasi 18 minggu. Celah palatum sendiri tidak dapat didiagnosa pada pemeriksaan USG antenatalkarena sulitnya melihat kedalam mulut janin. (Mayo, 2012). Selain USG, deteksi prenatal dapat dilakukan dengan beragam teknik. Fetoskopi telah digunakan untuk memberikan gambaran wajah fetus. Akan tetapi teknik ini bersifat invasif dan dapat menimbulkan resiko menginduksi aborsi. Namun demikian, teknik ini mungkin tepat digunakan untuk konfirmasi pada beberapa cacat/kelainan pada kehamilan. 2.10 Penatalaksanaan Ada tiga tahap penatalaksanaan labioschisis yaitu : 1. Tahap sebelum operasi Pada tahap sebelum operasi yang dipersiapkan adalah ketahanan tubuh bayi menerima tindakan operasi, asupan gizi yang cukup dilihat dari keseimbangan berat badan yang dicapai dan usia yang memadai. Patokan yang biasa dipakai adalah rule of ten meliputi berat badan lebih dari 10 pounds atau sekitar 4-5 kg , Hb lebih dari 10 gr dan usia lebih dari 10 minggu , jika bayi belum mencapai rule of ten ada beberapa nasehat yang harus diberikan pada orang tua agar kelainan dan komplikasi yang



terjadi tidak bertambah parah. Misalnya memberi minum harus dengan dot khusus dimana ketika dot dibalik susu dapat memancar keluar sendiri dengan jumlah yang optimal artinya tidak terlalu besar sehingga membuat bayi tersedak atau terlalu kecil sehingga membuat asupan gizi menjadi tidak cukup, jika dot dengan besar lubang khusus ini tidak tersedia bayi cukup diberi minum dengan bantuan sendok secara perlahan dalam posisi setengah duduk atau tegak untuk menghindari masuknya susu melewati langit-langit yang terbelah. Selain itu celah pada bibir harus direkatkan dengan menggunakan plester khusus non alergenik untuk menjaga agar celah pada bibir menjadi tidak terlalu jauh akibat proses tumbuh kembang yang menyebabkan menonjolnya gusi kearah depan (protrusio pre maxilla) akibat dorongan lidah pada prolabium , karena jika hal ini terjadi tindakan koreksi pada saat operasi akan menjadi sulit dan secara kosmetika hasil akhir yang didapat tidak sempurna. Plester non alergenik tadi harus tetap direkatkan sampai waktu operasi tiba. 2. Tahap sewaktu operasi Tahapan selanjutnya adalah tahapan operasi, pada saat ini yang diperhatikan adalah soal kesiapan tubuh si bayi menerima perlakuan operasi, hal ini hanya bisa diputuskan oleh seorang ahli bedah Usia optimal untuk operasi bibir sumbing (labioplasty) adalah usia 3 bulan. Usia ini dipilih mengingat pengucapan bahasa bibir dimulai pada usia 56 bulan sehingga jika koreksi pada bibir lebih dari usia tersebut maka pengucapan huruf bibir sudah terlanjur salah sehingga kalau dilakukan operasi pengucapan huruf bibir tetap menjadi kurang sempurna. Operasi untuk langit-langit (palatoplasty) optimal pada usia 18 – 20 bulan mengingat anak aktif bicara usia 2 tahun dan sebelum anak masuk sekolah. Palatoplasty dilakukan sedini mungkin (15-24 bulan) sebelum anak mulai bicara lengkap sehingga pusat bicara di otak belum membentuk cara bicara. Kalau operasi dikerjakan terlambat, sering hasil operasi dalam hal kemampuan mengeluarkan suara normal atau tidak sengau sulit dicapai. Operasi yang dilakukan sesudah usia 2 tahun harus diikuti dengan tindakan speech teraphy karena jika tidak, setelah operasi suara sengau pada saat bicara tetap terjadi karena anak sudah terbiasa melafalkan suara yang salah, sudah ada mekanisme kompensasi memposisikan lidah pada posisi yang salah. 3. Tahap setelah operasi. Tahap selanjutnya adalah tahap setelah operasi, penatalaksanaanya tergantung dari tiap-tiap jenis operasi yang dilakukan, biasanya dokter bedah yang menangani akan memberikan instruksi pada orang tua pasien misalnya setelah operasi bibir sumbing luka bekas operasi dibiarkan terbuka dan tetap menggunakan sendok atau dot khusus



untuk memberikan minum bayi. Banyaknya penderita bibir sumbing yang datang ketika usia sudah melebihi batas usia optimal untuk operasi membuat operasi hanya untuk keperluan kosmetika saja sedangkan secara fisiologis tidak tercapai, fungsi bicara tetap terganggu seperti sengau dan lafalisasi beberapa huruf tetap tidak sempurna, tindakan speech teraphy pun tidak banyak bermanfaat. 4. Perawatan a. Menyususi oleh ibu Menyusu adalah metode pemberian makan terbaik untuk seorang bayi dengan bibir sumbing tidak menghambat pengahisapan susu ibu. Ibu dapat mencoba sedikit menekan payudara untuk mengeluarkan susu. Dapat juga menggunakan pompa payudara untuk mengeluarkan susu dan memberikannya kepada bayi dengan menggunakan botol khusus (dot domba). b. Menggunakan alat khusus 1) Dot domba Karena udara bocor disekitar sumbing dan makanan dimuntahkan melalui hidung, bayi tersebut lebih baik diberi makan dengan dot yang diberi pegangan yang menutupi sumbing, suatu dot domba (dot yang besar, ujung halus dengan lubang besar), atau hanya dot biasa dengan lubang besar. 2) Botol peras Dengan memeras botol, maka susu dapat didorong jatuh di bagian belakang mulut hingga dapat dihisap bayi. c.



Posisi mendekati duduk dengan aliran yang langsung menuju bagian sisi atau



belakang lidah bayi d. Tepuk-tepuk punggung bayi berkali-kali karena cenderung untuk menelan banyak e.



udara Suatu kondisi yang sangat sakit dapat membuat bayi menolak menyusu. Jika hal ini terjadi arahkan dot ke bagian sisi mulut untuk memberikan kesempatan pada kulit yang lembut tersebut untuk sembuh



2.11 Asuhan Keperawatan Umum A. Pengkajian (pre op) 1. Anamnesa a. Identitas Klien b. Keluhan Utama Pada klien dengan CLP terdapat abnomali bentuk bibir / adanya celah pada bibir, kesulitan dalam menghisap atau makan dan berat badan yang tetap.



c. Riwayat Penyakit Sekarang Bayi mengalami kesulitan saat menghisap ASI, untuk anak yang sudah aktif berbicara dapat



menyebabkan



kesulitan



dalam berbicara, seringkali memiliki suara hidung



saat berbicara, kadang juga memiliki gangguan dalam pendengaran. d. Riwayat Kesehatan Lalu Konsumsi minuman beralkohol atau merokok saat masa



kehamilandapat



mempengaruhinya terjadinya bibir sumbing. e. Riwayat Kesehatan Keluarga Adakah anggota keluarga yang menderita kelainan seperti yangdiderita anak tersebut, biasanya terdapat salah satu anggotakeluarga yang juga menderita CLP. f. Riwayat Nutrisi Nutrisi tidak adekuat karena susu yang diminum keluar lewat hidung atau masuk ke dalam saluran pernapasan g. Riwayat Imunisasi Imunisasi apa saja yang sudah didapatkan misalnya BCG, POLIOI,II, III; DPT I, II, III; dan campak. h. Riwayat Psikososial Kaji psikososial yang dirasakan keluarga dalam merawat anaknyayang mengalami CLP. 2. Pemeriksaan Fisik Khusus Pada Klien dengan CLP Hidung 1. Inspeksi : kecacatan pada saat lahir untuk



mengidentifikasi



karakteristik



sumbing, kesukaran dalam menghisap ataumakan. 2. Inspeksi pada labia skisis : tampak sebagian atau keduanya,adanya celah pada bibir. 3. Inspeksi pada palato skisis: tampak ada celah pada kedua tekak(uvula), palate lunak dan keras, adanya rongga pada hidung,distorsia hidung 4. Palpasi dengan menggunakan jari : teraba celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari. Mulut 1. Terdapat celah pada bibir, palatum, atau keduanya. 2. Periksa gigi dan gusi apakah ada pergerakan atau pembengkakan 3. Gags reflex potisif 4. Perhatikan ovula apakah simetris kiri dan kanan 5. Rooting reflex potisif 6. Sucking reflex lemah 3. Pemeriksaan Fisik Per-Sistem B1 (Breath) : Kaji kesimetrisan dada, apakah ada penggunaan otot bantu nafas. B2 (Blood) : Ukur tekanan darah, adakah perubahan frekuensi jantung B3 (Brain):



Biasanya anak agak rewel, gelisah, menangis B4 (Bladder): Tidak ada masalah B5 (Bowel): Anak terjadi kesulitan dalam menyusu, biasanya anak tidakmenyusu. Sering terjadi refluk dan berat badan menurun. B6 (Bone): Tidak ada masalah. B. Pengkajian Post Op - Keluhan utama - Riwayat penyakit sekarang : kondisi setelah operasi apakah bayi tidak bisa -



menghisap, bayi mengalami ketidak nyamanan Pemeriksaan fisik : Pada hidung apakah ada jahitan, apakah ada pernafasan cuping hidung. Inspeksi kondisi jahitan pada mulut/palatum/bibir, masih ada celah atau tidak?, periksa adanya perdarahan, bengkak.



Diagnosa Keperawatan : Pre Operasi : a. Ketidakefektifan pemberian ASI b.d rekfleks hisap bayi buruk b. Ketidak seimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake tidak adekuat c. Risiko aspirasi berhubungan dengan gangguan menelan d. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan kesulitan berbicara e. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan benda asing dalam jalan napas Post Operasi : a. Nyeri berhubungan dengan inisiasi pembedahan b. Resiko infeksi berhubungan dengan insisi pasca pembedahan Intervensi Keperawatan Pre-Operasi : No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi 1 Ketidakefektifan pemberian Setelah dilakukan tindakan a. Kaji kemampuan bayi pemberian untuk menghisap ASI b.d rekfleks hisap bayi keperawatan, ASI pada bayi efektif secara efektif buruk b. Pantau keterampilan dengan kriteria hasil : ibu dalam - Keberlangsungan



-



pemberian ASI untuk menempelkan bayi ke menyediakan nutrisi puting c. Fasilitasi proses bagi bayi Diskontinuitas progresif bantuan interaktif pemberian ASI untuk membantu Pengetahuan pemberian mempertahankan ASI : tingkat keberhasilan proses pemahaman yang pemberian ASI ditunjukkan mengenai d. Sediakan informasi laktasi dan pemberian tentang laktasi dan akan bayi melalui teknik memompa ASI, pemberian ASI cara mengumpulkan dan menyimpan ASI e. Sediakan informasi tentang keuntungan dan kerugian pemberian ASI



2



Risiko aspirasi Setelah dilakukan tindakan berhubungan dengan keperawatan, bayi/anak gangguan menelan terhindar dari aspirasi, dengan kriteria hasil : Bayi menunjukkan peningkatan kemampuan menelan, bertoleransi terhadap asupan oral tanpa aspirasi



3



Hambatan komunikasi Setelah dilakukan tindakan verbal berhubungan dengan keperawatan, pasien tidak kesulitan berbicara mengalami hambatan komunikasi verbal, dengan kriteria hasil : - Mampu mengkomunikasikan kebutuhan dengan lingkungan - Komunikasi ekspresi : ekspresi pesan verbal atau pun non verbal bermakna



a. Jelaskan pada ibu tekhnik menyusui yang benar. b. Tempatkan anak pada posisi semi fowler c. Sendawakan bayi setelah setiap pemberian makan d. Pantau status pernapasan selama pemberian makan dan tanda-tanda aspirasi selama pemberian makan. a. Dorong pasien untuk berkomunkasi secara perlahan dan untuk mengulangi permintaan b. Dengarkan penuh perhatian c. Anjurkan ekspresi diri dengan cara lain dalam menyampaikan informasi (bahasa isyarat) d. Kolaborasi dengan terapi wicara



4



Ketidakefektifan bersihan Setelah dilakukan tindakan jalan nafas berhubungan keperawatan jalan nafas dengan benda asing dalam efektif dengan kriteria hasil: jalan napas - Bayi atau anak tetap bebas dari komplikasi pernapasan yang ditandai oleh memepertahankan pernapasan lancar, serta frekuensi teratur



a. Kaji pernafasan anak b. Pertahankan bayi atau anak dalam posisi tegak selama pemberian makan. c. Hentikan pemberian makan jika anak batukbatuk d. Sendawakan bayi atau anak setelah pemberian makan e. Lakukan suction jika diperlukan



Intervensi keperawatan post operasi



No 1



Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Nyeri berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan inisiasi pembedahan nyeri berkurang dengan kriteria hasil : · Bayi atau anak dapat mempertahankan tingkat kenyamanan yang ditandai oleh tangisan dan iritabilitas yang berkurang



2



Kerusakan



Intervensi a. Kaji bayi atau anak untuk mengetahui iritabilitas dan kegelisahan setiap 2 jam setelah pembedahan. b. Berikan posisi/rasa nyaman pada bayi c. Beri obat analgesik, sesuai program. d. Lakukan aktivitas pengalihan, misalnya, permainan, kartu, videotapes, dan membaca buku untuk anak yang lebih besar.



integritas Setelah diberikan asuhan a. Bersihkan garis sutura dengan menggunakan jaringan kulit berhubungan keperawatan diharapkan integritas kulit baik larutan salin dan dengan prosedur bedah dengan kriteria hasil : aplikator berujung · Bayi atau anak kapas basah. tidak menderita - Oleskan salep antibiotik sesuai program untuk kerusakan pada integritas melembabkan mulut kulit yang ditandai oleh dan mencegah insisi tetap utuh, jahitan



tidak meregang



pemisahan sutura. - Pantau tanda dan gejala infeksi. b. Beri sedikit air setelah pemberian makan untuk membersihkan mulut dari setiap sisa susu, yang dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri. c. Pasang restrain lengan, sesuai program. d. Setelah pembedahan celah bibir, posisikan bayi atau anak dengan baik, berbaring miring atau telentang- jangan posisikan telungkuppertahankan kepala tempat tidur ditinggikan.



BAB 3 STUDI KASUS 3.1 Contoh Kasus



Ny. A datang ke rumah sakit dengan anaknya bernama An. B yang berumur 2 bulan dengan keluhan terdapat belahan pada bibir yang menyebabkan bayi susah untuk menelan dan menyusu. a. Pengkajian - Anamnesa a) Identitas Klien: Nama : An. B Usia : 2 bulan Tempat tgl lahir : Surabaya, 21 Januari 2016 Berat badan : 3000gr P.B : 48cm Berat lahir :3000gr P.B lahir : 48 cm



b) Keluhan Utama : Ibu pasien mengatakan pada bibir anak terdapat celah, anak susah nyusu dan menelan c) Riwayat Penyakit Sekarang : sejak dilahirkan 2 bulan lalu di bidan, anak terdapat celah pada bibir dan langit-langit, anak susah untuk menyusu. Dari bidan dianjurkan untuk segera dibawa ke RS besar, tapi baru ada biaya dan bantuan sekarang. d) Riwayat Kesehatan Lalu (Riwayat kehamilan) Ibu pasien mengatakan, sewaktu hamil jarang periksa ke bidan karena menganggap bayinya dalam keadaan sehat dan aktif didalam kandungan, selama mengandung tidak meminum asaam folat, dan vitamin lainnya. e) Riwayat Kesehatan Keluarga Ibu pasien mengatakan di keluarga tidak ada yang mengalami kelaianan pada celah bibir f) Riwayat Nutrisi Ibu pasien mengatakan saat hamil, tidak meminum susu, makan seperti biasanya. Saat anak lahir, anak kesulitan untuk menyusu, kadang tersedak.



g) Riwayat Psikososial Ibu pasien mengatakan saat mengetahui anaknya ada kelainan merasa cemas, namun saat bidan memberi tahu tentang kelainan anaknya dan kelainan bisa dioperasi, sudah cukup tenang 4. Pemeriksaan Fisik Khusus Pada Klien dengan CLP Hidung Inspeksi : terdapat celah di hidung Inspeksi pada labia skisis : tampak sebagian adanya celah pada bibir. Palpasi dengan menggunakan jari : teraba celah langit-langit saat diperiksa dengan jari. Mulut Terdapat celah pada bibir, palatum Gusi terdapat celah pada bagian kanan atas Gags reflex potisif Ovula tidak simetris Rooting reflex potisif Sucking reflex lemah 5. Pemeriksaan Fisik Per-Sistem B1 (Breath) : Tidak ada kelainan B2 (Blood) : Tidak ada kelaian B3 (Brain): Anak tampak menangis, rewel



B4 (Bladder): Tidak ada masalah B5 (Bowel): Saat menyusu, anak tampak kesulitan untuk menghisap asi dan sering tersedak B6 (Bone): Tidak ada masalah.



b. Analis data No 1



Data Subjektif : Ibu pasien mengatakan : - sejak lahir anak terdapat celah pada bibir - anak susah menyusu objektif :



-



-



2



terdapat celah di hidung Inspeksi pada labia skisis : tampak sebagian adanya celah pada bibir. Palpasi dengan menggunakan jari : teraba celah langitlangit saat diperiksa dengan jari.



-



Masalah keperawatan



Kegagalan perkembangan tulang dan jaringan lunak pada trimester1



rekfleks hisap bayi



Ketidakefektifan pemberian ASI b.d buruk



Kegagalan penyatuan prosesus nasal medial dan maxilaris Celah pada bibir Kesukaran menghisap



saat menyusu, anak tampak kesulitan sucking refleks negatif rooting refleks positif



Subjektif : Ibu pasien mengatakan : - sejak lahir anak terdapat celah pada bibir - anak susah menelan objektif



-



Analisis data Faktor predisposisi (kurang asam folat, vitamin)



Faktor predisposisi (kurang asam folat, vitamin) Kegagalan perkembangan tulang dan jaringan lunak pada trimester1



terdapat celah di Kegagalan penyatuan prosesus nasal medial dan maxilaris hidung Inspeksi pada labia



Risiko aspirasi



-



-



skisis : tampak sebagian adanya celah pada bibir. Palpasi dengan menggunakan jari : teraba celah langitlangit saat diperiksa dengan jari. Saat menyusu, anak tampak kesulitan,



Celah pada bibir



Ketidakmampuan mengkoordinasi menghisap, bernapas dan menelan Gangguan menelan



anak terlihat kesusahan saat akan menelan dan bernafas.



c. Diangnosa keperawatan (Pre Operasi) 1. Ketidakefektifan pemberian ASI b.d rekfleks hisap bayi buruk 2. Risiko aspirasi berhubungan dengan gangguan menelan d. Diangnosa keperawatan (Post Operasi) 1. Nyeri berhubungan dengan inisiasi pembedahan 2. Resiko infeksi berhubungan dengan insisi pasca pembedahan 3. Intervensi Keperawatan (Pre Operasi) No 1



Diagnosa



Ketidakefektifan



Tujuan kriteria hasil



Setelah dilakukan pemberian ASI b.d tindakan keperawatan, pemberian ASI pada rekfleks hisap bayi buruk bayi efektif dengan kriteria hasil : - Keberlangsungan pemberian ASI untuk menyediakan nutrisi bagi bayi - Diskontinuitas progresif pemberian ASI - Pengetahuan pemberian ASI : tingkat pemahaman yang ditunjukkan mengenai laktasi dan pemberian akan bayi melalui pemberian ASI



Intervensi



a. Kaji kemampuan bayi untuk latch on dan menghisap secar efektif b. Pantau keterampilan ibu dalam menempelkan bayi ke puting c. Fasilitasi proses bantuan interaktif untuk membantu mempertahankan keberhasilan proses pemberian ASI d. Sediakan informasi tentang laktasi dan teknik memompa ASI, cara mengumpulkan dan menyimpan ASI e. Sediakan informasi tentang keuntungan



dan kerugian pemberian ASI 2



Risiko



aspirasi Setelah dilakukan berhubungan dengan tindakan keperawatan, bayi/anak terhindar dari gangguan menelan aspirasi, dengan kriteria hasil : Bayi menunjukkan peningkatan kemampuan menelan, bertoleransi terhadap asupan oral tanpa aspirasi



a. Jelaskan pada ibu tekhnik menyusui yang benar. b. Tempatkan anak pada posisi semi fowler saat pemberiaan makan c. Sendawakan bayi setelah setiap pemberian d. Pantau status pernapasan selama pemberian makan dan tanda-tanda aspirasi selama pemberian makan.



4. Intervensi Keperawatan (Post Operasi)



No 1



Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Nyeri berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan inisiasi pembedahan nyeri berkurang dengan kriteria hasil : · Bayi atau anak dapat mempertahankan tingkat kenyamanan yang ditandai oleh tangisan dan iritabilitas yang berkurang



2



Kerusakan



Intervensi a. Kaji bayi atau anak untuk mengetahui iritabilitas dan kegelisahan setiap 2 jam setelah pembedahan. b. Berikan posisi/rasa nyaman pada bayi c. Beri obat analgesik, sesuai program. d. Lakukan aktivitas pengalihan, misalnya, permainan, kartu, videotapes, dan membaca buku untuk anak yang lebih besar.



integritas Setelah diberikan asuhan e. Bersihkan garis sutura dengan menggunakan jaringan kulit berhubungan keperawatan diharapkan integritas kulit baik larutan salin dan dengan prosedur bedah dengan kriteria hasil : aplikator berujung · Bayi atau anak kapas basah. tidak menderita - Oleskan salep antibiotik sesuai program untuk kerusakan pada integritas



kulit yang ditandai oleh insisi tetap utuh, jahitan tidak meregang



e. Evaluasi keperawatan a) Pola pemberian ASI pada bayu efektif b) Bayi/anak tidak terjadi aspirasi



melembabkan mulut dan mencegah pemisahan sutura. - Pantau tanda dan gejala infeksi. f. Beri sedikit air setelah pemberian makan untuk membersihkan mulut dari setiap sisa susu, yang dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri. g. Pasang restrain lengan, sesuai program. h. Setelah pembedahan celah bibir, posisikan bayi atau anak dengan baik, berbaring miring atau telentang- jangan posisikan telungkuppertahankan kepala tempat tidur ditinggikan.



BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan



Labio Palato skisis merupakan suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah mulut, palato skisis (sumbing palatum) dan labio skisis (sumbing tulang) untuk menyatu selama perkembangan embrio. Kelainan ini belum dapat diketahui secara pasti penyebabnya, kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik dan nongenetik seperti defisiensi nutrisi, konsumsi obat-obatan, rokok, dan alkohol saat masa kehamilan. Labipalatoskisis ini dapat dicegah dengan mengkonsumsi asam folat, vitamin A dan vitamin B6 saat hamil. Penatalaksanaan pada kondisi ini dapat dilakukan dengan proses pembedahan dan diikuti dengan memberikan speech therapy. Diagnosa



keperawatan pada klien dengan



labiopalatoskisis adalah ketidakefektifan pemberian ASI, ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, risiko aspirasi, hambatan komunikasi verbal, dan ketidakefektifan bersihan jalan nafas. Sedangkan untuk diagnosa keperawatan setelah operasi yaitu nyeri, dan risiko infeksi. 4.2 Saran Sebagai mahasiswa keperawatan diharapkan terus mempelajari asuhan keperawatan pada pasien dengan CLP secara komprehensif.



Daftar Pustaka Behrman & Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak (edisi 15 , vol 2). Jakarta : EGC Donna, L. Wong. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi 4. EGC : Jakarta.



Hidayat, Aziz Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika Irawan, Hendry. 2014. Teknik Operasi Labiopalatoskiziz. CDK-215/vol.41 no. 4. Kalimantan Selatan. Pujiastuti, Nurul.2008. Perawatan Celah Bibir dan Langitan Pada Anak Usia 4 Tahun. Indonesian Journal of Dentistry 2008:15 (3) : 232-238. Jakarta Sianita, Pricillia Priska. 2011. Kelainan Bibir Serta Langit-Langit dan Permasalahannya dalam kaitan dengan Interaksi dan Perilaku. Jurnal Ilmiah dan Teknologi Kedokteran Gigi FKG UPDM. JITEKGI 2011,8(2): 42-46. Jakarta



ASKEP PADA PASIEN DENGAN CLEFT LIP AND PALATE



Oleh:



KELOMPOK 2 AJ1 Agnes Ose Tokan



131511123003



Tri Sulistyawati



131511123005



Dwi Retna Heruningtyas



131511123011



Hardiansyah



131511123021



Agus Saputro



131511123029



Fauzan Rifai



131511123071



Aisyah Nur Izzati



131511123075



Maria Roswita Loin



131511123085



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2016