Bab 1 Paradigma [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Bab 1 PARADIGMA Apa Itu Paradigma? Secara Etimologi berasal dari bahasa yunani paradeigma yang berarti “membandingkan”. ”bersebalahan” atau “memperlihatkan”. Secara Epistemologi adalah pandangan dasar mengetahui pokok persoalan atau metodelogi dalam pendekatan pokok permasalahan (objek kajian) ilmu pengetahuan, asumsi dasar ini terbentuk oleh apa yang realitas perlihatkan. Paradigma pertama kali di perkenalkan oleh thomas khun, seorang ahli fisika teoritik, paradigma di jelaskan dalam buku-bukunya yaitu “the Structure of Sociology,1970” dalam 21 konteks yang berbeda. Namun, dari 21 konteks berbeda tersebut di klarisifikasi menjadi tiga pengertian paradigma. 1. 2. 3.



Paradigma metafisik yang mengacu pada sesuatu yang menjadi pusat kajian keilmuan Paradigma Sosiologi yang mengacu pada sesuatu kebiasaan sosial masyarakat Paradigma konstruk sebagai semuatu yang mendasari bangunan konsep dalam lingkup tertentu, misal paradigma pembangunan, paradigma pergerakan dan lain-lain.



Namun paradigma menurut kaum pergerakan merupakan pisau anlisis dalam membedah persoalan atau bisa juga di sebut kerangka berpikir dan bertindak dalam menganalisa persoalan, hal ini tentu sangat penting bagi kader PMII karena melihat kondisi dan situasi kehidupan yang terus berkembang seperti revolusi industri 4.0 dan revolusi tatan negara feodalistik menjadi demokrasi. Arus perubahan ini juga menentukan pola pikir masyakrakat luas, sehingga muncul minset baru ataupun perkembangan ideologi baru di dalamnya. Dalam sintesis perkembangan paradigma sosial : Wiliam Perdue memetakan paradigma menjadi tiga jenis, yaitu: 1.



Order Paradigm (Paradigma Keteraturan) Paradigma ini menjelaskan bahwa masyarakat di pandang sebagai sistem sosial yang terdri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan. Asumsi dasarnya dari paradigma ini adalah : Setiap struktur sosial merupakan fungsional terhadap struktur lainya. Kemiskinan, peperangan, ketimpangan sosial misalnya merupakan sesuatu yang wajar. Dan hal ini melahirkan teori strukturalisme fungsional. Secara luas teori ini di tuduh konservatif pro-satus quo dan a historis dan karenanya anti perubahan 2.



Conflic Paradigm (Paradigma Konflik) Secara konsep paradigma konflik bertentangan dengan paradigma keteraturan, dalam paradigma ini menjelaskan bahwa dalam setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung kontradiksi-kontradiksi yang menjadi penggerak perubahan,`dalam jangka panjang sistem sosial harus mengalami konflik sosial dalam lingkar setan (vicios circle) tak berujung pangkal kritik. Konflik di pandang sebagai inheren dalam setiap komunitas dan tak bisa dihilangkan karena konflik merupakan instrumen perububahan yang tidak hanya selalu gradual namun juga revolusioner 3.



Plural Paradigm (Paradigma Plural)



Dari kontradiksi atau perbedaan antara paradigma keteraturan dan paradigma konflik tersebut melahirkan upaya membangun sintesis keduanya yang melahirkan paradigma plural. Paradigma plural meamndang bahwa manusia merupakan individu yang independen, bebas dan memliliki otoritas (kekuatan) untuk melakukan pemaknaan dan penafsiran realitas sosial yang ada di sekitarnya. Ketiga paradigma di atas merupakan pijakan untuk membangun paradigma baru. Dari optic pertumbuhan teori sosiologi telah lahir Paradigma kritis setelah dilakukan elaborasi antara paradigma pluralis dan paradigma konflik. Paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya bahwa manusia merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya perunbahan atas dominasi satu kelompok pada kelompok yang lain. Apa itu Kritis? Kritis secara etimologi adalah Tajam/ tegas dan teliti dalam menanggapi atau memberikan penilaian secara mendalam. Kritis secara epistemologi adalah teori yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap realitas. Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak bisa lepas dari Madzhab Frankfurt. Dengan kata lain, teori kritis merupakan produk dari institute penelitian sosial, Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi oleh kalangan neo-marxis Jerman Teori kritis merupakan anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama Madzab Fankfrut adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika). Pada intinya madzhab Frankfurt tidak puas atas teori Negara Marxian yang terlalu bertendensi determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi berasumsi bahwa perubahan akan terjadi apabila masalah ekonomi sudah stabil. Jadi basic strurtur (ekonomi) sangat menentukan supras truktur (politik, sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan manusia). Kemudian mereka (madzhab fankfurt) mengembangkan tori ini terhadap alalisis sosial dan berbagai sistem pengetahuan, Teori kritis dapat kita temudan dan pelajari dalam manifesto yang di tulis di dalam Zeischrift tahun 1957 oleh Horkheimer, Dalam artikel tentang “Teori Tradisional dan teori Kritik” (Traditionelle und KritischeTheorie) ini, konsep “Teori kritis” pertama kalinya muncul. Tokoh utama teori kritis ini adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979) yang kemudian dilanjutkan oleh Generasi kedua mazhab Frankfurt yaitu Jurgen Habermas yang terkenal dengan teori komunikasinya. Secara ringkas teori tritis berfungsi untuk mengkritisi : 1. Teori Marxian yang di distorsi oleh stalin dan beberapa tokoh marxisme; Menjadikan ideologi dan regulasi politik Uni Soviet



2. Positivisme dalam Sosiologi yang mencangkok metode sains eksak dalam wilayah sosialhumaniora; katakanlah kritik epistimolog dan pengahapusan emansipatoris 3. Kritik terhadap masyarakat modern yang terjebak pada irasionalitas perkembangan nalar teknologis; nalar instrumental yang gagal membebaskan manusia dari dominasi Pengertian “kritik” Dalam Diskursus Teori Kritis Madzhab farankfrut mengembangkan apa yang di sebut dengan kritik ideologi atau kritik dominsi. Sasaran kritik ini terobjek pada stuktur sosial dalam pengaruh Ideologi dan dominasi. Terori kritis ini berangkat dari empat kritik yang di konseptualikan oleh Emanuael Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmun Freud. 1. Kritik Dalam Pengertian Kantian: Dalam pengertian Emanuel Kant teori kritis menggunakan pendekatan yang subjektif. Kant menumpukkan analisnya pada aras epistemologis; metodelogi untuk menemukan isi pengetahuan/kebenaran pengetahuan, kant mempertanyakan Condition of Possibility (kondisi kemungkinan pengetahuan), sederhananya kritik kant terhadap penggalian kebenaran tentang (kapasitas rasio dalam persoalan pengetahuan) bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap kempuannya sendiri atau akal memiliki kemapuan sendiri tanpa perlu di bentuk oleh realitasnya dan dapat menjadi pengadilan tertinggi. kritik ini bersifat transdentral dan digunakan untuk menguji keabsahan pengetahuan, teori kant juga membantah teorinya pembanding dari tokoh filsafat sebelumnya se 2. Kritik Dalam Arti Hegelian: Makna krirtik Dalam Hegelian merupakan kritik terhadap pemikiran kritis Kantian. Menurut Hegel, Kant berambisi membangun suatu “meta-teori” untuk menguji validitas suatu teori. Menurut Hegel pengertian kritis merupakan refleksi-diri dalam upaya menempuh pergulatan panjang menuju ruh absolute. Hegel merupakan peletak dasar metode berpikir dialektis yang diadopsi dari prinsip tri-angle-nya Spinoza Diktumnya yang terkenal adalah therational is real, the real is rational. Sehingga, berbeda dengan Kant, Hegel memandang teori kritis sebagai proses totalitas berfikir. Dengan kata lain, kebenaran muncul atau kritisisme bisa tumbuh apabila terjadi benturan dan pengingkaran atas sesuatu yang sudah ada. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia. 3. Kritik Dalam Arti Marxian: Menurut Karl Marx Konsep Hegel dipandang terlalu idealis, yang memandang bahwa, yang berdialektika adalah pikiran. Ini kesalahan serius sebab yang berdialektika adalah kekuatan-kekuatan material dalam masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal produksi masyarakat). Sehingga teori kritisbagi Marx sebagai usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan oleh penguasa di dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat. 4. Kritik Dalam Arti Freudian: Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.Sigmund Freud mampu memberikan basis



psikologis masyarakat dan mampu membongkar konstruk kesadaran dan pemberdayaan masyarakat. Freud memandang teori kritis dengan refleksi dan analisis psikoanalisanya. Artinya, bahwa orang bisa melakukan sesuatu karena didorong oleh keinginan untuk hidupnya sehingga manusia melakukan perubahan dalam dirinya. Berdasarkan empat pengertian kritis di atas, teori kritis adalah teori yang bukan hanya sekedar kontemplasi pasif prinsip-prinsip obyektif realitas, melainkan bersifat emansipatoris. Sedang teori yang emansipatoris harus memenuhi tiga syarat : Pertama, bersifat kritis dan curiga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada zamannya. Kedua, berfikir secara historis, artinya selalu melihat proses perkembangan masyarakat. Ketiga, tidak memisahkan teori dan praksis. Tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapatkan hasil yang obyektif. Teori Transformatif Paradigma kritis di atas mampu menjawab persoalan stuktur formasi sosial yang sedang bekerja, dan juga hanya bertumpu pada logika teoritik dan idealis. Namun belum mampu mentransformasikannya, disinilah “Term Transformatif” melengkapi teori kritis. Dalam perspektif Transformatif terdapat epistimologi perubahan. Perubahan yang tidak hanya menumpukan pada revolusi politik atau perubahan yang bertumpu pada agen tunggal sejarah; entah kaum miskin kota (KMK), buruh atau petani, tapi perubahan yang serentak yang dilakukan secara bersama-sama. Disisi lain makna tranformatif mampu mentranformasikan gagasan dan gerakan sampai pada wilayah tindakan praksis ke masyarakat. Model-model transformasi yang bisa dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain: 1. Tranformasi Elitis ke Populi Dalam model tranformasi ini digunakan model pendekatan, bahwa mahasiswa dalam melakukan gerakan sosial harus setia dan konsisten mengangkat isu-isu kerakyatan, semisal isu advokasi buruh, advokasi petani, pendampingan terhadap masyarakat yang terdampak perampasan ruang hidup oleh korporasi dan kaum elitis, yang semuanya itu menyentuh akan kebutuhan masyarakat secara rill. Fenomena yang terjadi masih banyak mahasiswa yang lebih memprioritaskan isu elit, melangit dan jauh dari apa yang dikehendaki oleh rakyat, bahkan kadang sifatnya sangat utopis. Oleh karena itu, kita sebagai kaum intelektual terdidik, jangan sampai tercerabut dari akar sejarah kita sendiri. Karakter gerakan mahasiswa saat ini haruslah lebih condong pada gerakan yang bersifat horizontal bukan vertikal pada arah tatanan politik praktis. 2. Transformasi Negara ke Masyarkat Model tranformasi kedua adalah transformasi dari Negara ke masyarakat. Kalau kemudian kita lacak basis teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl Marx terhadap G.W.F. Hegel. Hegel memaknai Negara sebagai penjelmaan roh absolute yang harus ditaati kebenarannya dalam memberikan kebijakan terhadap rakyatnya. Disamping itu, Hegel mengatakan bahwa Negara adalah satu-satunya wadah yang paling efektif untuk meredam terjadinya konflik internal secara nasional dalam satu bangsa. Hal ini dibantah Marx. Marx mengatakan bahwa justru masyarakatlah yang mempunyai otoritas penuh dalam menentukan kebijakan tertinggi. Makna transformasi ini akan sesuai jika gerakan mahasiswa bersama-sama rakyat bahu-membahu untuk terlibat secara langsung atas perubahan yang terjadi disetiap bangsa atau Negara.



3. Tranformasi Srtuktur ke Kultur Bentuk transformasi ketiga adalah transformasi dari struktur ke kultur, yang mana hal ini akan bisa terwujud jika dalam setiap mengambil keputusan berupa kebijakan-kebijakan ini tidak sepenuhnya bersifat sentralistik seperti yang dilakukan pada masa orde baru, akan tetapi seharusnya kebijakan ini bersifat desentralistik. Jadi, aspirasi dari bawah harus dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam mengambil keputusan, hal ini karena rakyatlah yang paling mengerti akan kebutuhan, dan yang paling bersinggungan langsung dengan kerasnya benturan sosial di lapangan. 4. Transformasi Individu ke Massa Model transformasi selanjutnya adalah transformasi dari individu ke massa. Dalam disiplin ilmu sosiologi disebutkan bahwa manusia adalah mahluk sosial, yang sangat membutukan kehadiran mahluk yang lain. Bentuk-bentuk komunalitas ini sebenarnya sudah dicita-citakan oleh para foundhing fathers kita tentang adanya hidup bergotong royong. Rasa egoisme dan individualisme haruslah dibuang jaung-jauh dari sifat manusia. Salah satu jargon yang pernah dikatakan oleh Tan Malaka (Sang Nasionalis Kiri), adalah adanya aksi massa. Hal ini tentunya setiap perubahan meniscayakan adanya power atau kekuatan rakyat dalam menyatukan program perjuangan menuju perubahan sosial dalam bidang apapun (ipoleksosbudhankam). Paradigma Kritis Transformatif PMII Paradigma merupakan suatu yang vital dalam PMII -seperti halnya Organtubuh (otak) dalam manusia, karena paradigma merupakan titik pijak dalam rekonstuksi pemikiran dan cara memandang persoalan. Disamping itu, dengan paradigma organisasi dapat berjalan terarah. berkarakter dan memiliki gaya berfikir Selama ini PMII belum memiliki paradigma yang terintegral dalam menentukan acuan gerakananya. Cara pandang dan bersikap kader selama ini mengacu pada Nilai Dasar Pergerakan (NDP). Sehingga dalam perjalanannya sering dihadapkan pada berbagai penafsiran atas nilai-nilai yang menjadi acuan yang akhirnya berujuang pada keberagamaan cara pandang bahkan sampai bias penafsiran. Perlu juga kita cermati dialektika sejarah terkait perkembangan paradigma PMII. Sebelum Paradigma Kritis Transformatif  hadir, sudah ada benih paradigma lain yang pernah dilahirkan PMII, yaitu Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran (Paradigma Pergerakan) yang dirumuskan pada saat Sahabat Muhaimin Iskandar menjadi Ketua Umum PB PMII pada tahun 1994-1997. Paradigma ini dibuat untuk melawan kesewenang-wenangan orde baru yang menindas rakyat. Landasan teori kritis dan konsep perlawanannya dapat membawa perubahan bagi kader PMII. Sifat frontal paradigma ini diperkuat oleh gerakan intelektual organik melalui advokasi, proses rekayasa sosial dan free market of ideas yang dilakukan PMII untuk melawan hegemoni kekuasaan dan kemapanan. Totalitas pemikiran, sikap dan tindakan kader PMII dicurahkan sepenuhnya untuk melawan. Sehingga pada masa orde baru mulai populer jargon-jargon perlawanan seperti "hanya ada satu kata, lawan!", "diam tertindas atau bangkit melawan" dan sebagainya. Seiring berlanjutnya kepemimpinan PMII, Sahabat Syaiful Bahri Ansori mentransformasi Paradigma Pergerakan menjadi Paradigma Kritis Transformatif , pada saat periode



kepemimpinannya pada tahun 1997-2000. Paradigma ini memperkaya perlawanannya secara teoretik dengan konsep pemikiran kritis ala Mazhab Frankfurt yang bersifat totality against, juga wacana intelektual kiri Islam ala Hassan Hanafi, Ali Syariati, Asghar Ali Engineer dan lain sebagainya, yang bicara soal hermeneutika pembebasan dan tafsir revolusioner tentang pembaharuan menyeluruh dan transformasi radikal. Bedanya, perlawanan dalam Paradigma ini tidak lagi frontal, tapi substansial karena meniscayakan adanya transformasi. Hal ini dibuat untuk sedikit menyesuaikan realitas sosial politik ketika Gus Dur yang tadinya sebagai inspirasi perlawan, tiba-tiba muncul ke permukaan sebagai penguasa. Lewat paradigma Kritis Transformatif ini PMII berupaya menegakkan sikap dalam berkehidupan dengan menjadikan inspirasi yang dapat mengembalikan dan menfungsikan ajaran agama sesungguhnya yang bersifat dinamis, dan paradigma ini memiliki peran menegakkan harkat dan martabat manusia dari belenggu yang diakibatkan oleh proses sosial yang bersifat profan dan juga melawan segala bentuk dominasi dan penindasan. Sehingga dapat membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonik. Semua ini adalah semangat yang dikandung oleh Islam. Oleh karenanya, pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak paradigma kritis di kalangan warga PMII. Contoh yang paling konkrit dalam hal ini bisa ditunjuk pola pemikiran yang menggunakan paradigma kritis dari berbagai intelektual Islam diantaranya : Hasan Hanafi : Penerapan paradigma kritis oleh Hasan Hanafi ini terlihat jelas dalam konstruksi pemikiranya terhadap agama. Dia menyatakan untuk memperbaharui masyarakat Islam yang mengalami ketertingalan dalam segala hal, pertama-tama diperlukan analisis sosial. Menurutnya selama ini Islam mengandalkan otoritas teks kedalam kenyataan, atau dogmatis terkstual yang ada pada kitab-kitab dan tokoh agama. Hasan Hanafi mengembalikan peran agama dalam menjawab problem sosial yang dihadapi masyarakat dengan metode “kritik Islam” yaitu metode pendefinisian realitas secara kongkret untuk mengetahui siapa memiliki apa,. Penjabaran dari metode ini, dia menjelaskan “desentralisasi Ideologi” dengan cara menjalankan teologi sebagai antropologi. Pikiran ini dimaksudkan untuk menyelamatkan Islam agar tidak semata-mata menjadi sistem kepercayaan (sebagai teologi parexellence), melainkan juga sebagai sistem pemikiran. Usaha Hasan Hanafi dalam gagasannya ditempuh dengan mengadakan rekontruksi terhadap teologi tradisional yang telah mengalami pembekuan dengan memasukkan hermeneutika dan ilmu sosial sebagai bagian integral dari teologi. Dalam pemikiran Hassan Hanafi, ungkapan “teologi menjadi antropologi” merupakan cara ilmiah untuk mengatasi ketersinggungan teologi itu sendiri. Cara ini dilakukan melalui pembalikan sebagaimana pernah dilakukan oleh Karl Marx terhadap filasafat Hegel. Upaya ini tampak secara provokatif dalam artikelnya “ideologi dan pembangunan “ lewat sub-judul; dari tuhan ke bumi, dari keabadian ke waktu, dari takdir ke hendak bebas, dan dari otoritas ke akal, dari teologi ke tindakan, dari jiwa ke tubuh, dari eskatologi ke futurology. Ali Syariati



Ali Syariati adalah seorang sarjana muslim yang disebut-sebut sebagai seorang ideolog revolusi Islam di Iran. Dia mendalami ilmu filsafat dan ilmu-ilmu sosial modern, dan secara cerdik menggunakan hazanah tersebut secara kritis untuk menganalisis kondisi sosial politik umat Islam. Usaha besar Syariati terletak pada yang dengan demikian menunjukkan terdapat beberapa asas pokok pembebasan dalam agama Islam. Ali Syariati menganalisis bahwa sesungguhnya dalam diri manusia terdapat nilai-nilai humanisme sejati sebagai warisan budaya moral dan keagamaan. Manusia adalah makhluk yang merdeka, dapat membuat pilihan-pilihan dan bebas berpendapat dan berkreatifitas, sehingga di sepanjang sejarah umat manusia berusaha merealisasikan nilai-nilai humanisme tersebut meski di benturkan dengan kegetiran dan petaka saat melawan kekuasaan otoriter dan penindas. Mengenai hal ini Syariati menganalogikan tokohtokoh simbolik Kain dan Habel untuk menjelaskan dan menganalisis sejarah kekuasaan. Menurut Qur’an Kain dan Habel mempersembahkan kurban kepada Allah. Hanyak kurban Habel yang diterima, sementara Kain, karena iri hati, membunuh Habel. Kain adalah petani dan Habel adalah gembala. Syariati melihat hal ini sebagai munculnya monopoli produksi pertanian dan hak milik pribadi yang menyebabkan munculnya ketidaksamaan ekonomis dan adanya dominasi kekuasaan. Dalam pandangan Syariati figur simbolis Kain dan Habel ini hadir di tengah sejarah kita dalam tiga bidang: uang, kekuasaan dan agama. Fir’aun adalah tokoh simbolis yang melambangkan kekuasaan, Croesus melambangkan kekayaan, dan Bala’am memerankan kaum rohaniawan dan agamawan yang memonopoli agama sebagai sistem upacara ritual. Ketiganya tak henti-hentinya berkolaborasi satu sama lain dalam membangun dan melestarikan kecenderungan sejarah. Di abad Pertengahan, manusia dikurung oleh Gereja Abad Pertengahan dan sistem teokrasi yang menindas, lalu di abad Modern yang menjunjung tinggi asas liberalisme manusia dijanjikan demokrasi sebagai kunci pembebasan namun yang didapatinya adalah teokrasi baru di tangan kapitalisme. Demikian juga komunisme yang menjanjikan persamaan dan kesetaraan ternyata menghasilkan fanatisme Di sisi lain kapitalisme telah menjadi imperialisme dan terus berkembang menjadi sebuah sistem yang mendominasi ekonomi dan kebudayaan negara-negara dunia ketiga. Kapitalisme telah menciptakan kebudayaan materialis dan konsumerisme yang proses melucuti akarakar kebudayaan dan intergiditas bangsa, melucuti kemanusiaan mereka sehingga menjadi objek-objek yang mudah dieksploitasi. Ali Syariati membubuhkan spirit pembebasan Islam dalam sebuah bait doa dalam Martyrdom berikut ini: Ya Allah, Tuhan orang-orang yang terampas! Engkau hendak merahmati, Orang-orang yang terampas di dunia ini, Orang kebanyak yang bernasib tak berdaya, Dan kehilangan hidup, Orang yang diperbudak sejarah,Korbankorban penindasan, Dan penjarahan waktu, Orang-orang celaka di atas bumi ini, Menjadi pemimpin-pemimpin umat manusia, Dan pewaris-pewaris bumi, Sekarang sudah tiba waktunya, Dan orang-orang terampas di atas bumi ini, Merupakan pengharapan akan janji-Mu. Ali Asghar Engineer Ali Asghar adalah seorang guru ahli teologi, pejuang HAM dan aktivis islam yang membebaskan rakyat dari kebodohan dan penindasan rakyat Mekkah dari



ketidakadilan sosial dan ekonomi, dia cenderung menggunakan pendekatan tekstual untuk menggali elemen-elemen dan prinsip-prinsip pembebasan dalam Islam yang terangkum dalam penegasannya mengenai persamaan dan keadilan Secara doktrin, menurut Asghar Ali, ajaran tawhid yang disampaikan Nabi tidak hanya mengandung makna teologis tentang konsep monoteisme Tuhan (keesaan Tuhan), tetapi juga memuat makna sosiologis sebagai kesatuan sosial. Argumentasi ini didasarkan pada firman Allah berbunyi: Hai manusia, Kami telah menciptakan kamu semua dari seorang laki-laki dan perempuan, dan telah membuat kamu menjadi bangsabangsa dan suku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orangorang yang termulia dari antara kamu semua di mata Allah adalah orang yang paling jujur (dan adil). Lebih lanjut kesatuan sosial yang tercantum dalam Qur’an ini menjelaskan penghapusan ketidakadilan akibat dari perbedaan ekonomis. Argumentasi ini didasarkan pada dua kata yang digunakan dalam Qur’an yang menyatakan keadilan, yakni adl dan qist. Adl bermakna ganda, bisa berarti keadilan juga bisa berarti menyamakan atau meratakan. Lawannya adalah zulm yang berarti penindasan. Selain berbagai seruan untuk berbuat adil di atas, Islam juga mencontohkan bagaimana mempraktekkan tindakan yang adil itu dalam kehidupan. Melalui konsep zakat yang merupakan salah satu dari rukun Islam, setiap individu umat Islam diwajibkan untuk mendistribusikan kekayaannya kepada kaum miskin yang tidak bisa terlibat dalam proses-proses produksi. Allah berfirman:Dan dalam kekayaan mereka orang-orang yang berkekurangan dan melarat (fakir miskin) mempunyai bagian semestinya (Qur’an, 51: 19) Demikianlah prinsip-prinsip dan semangat pembebasan dalam Islam yang dipantulkan melalui berbagai ayat dalam Kitab Suci Qur’an. Kenyataan itu semakin meneguhkan bahwa dalam tradisi Islam sendiri sesungguhnya memuat spirit pembebasan yang potensial menjadi suatu gerakan masif. Yakni suatu gerakan untuk melawan segala bentuk penindasan dan penjajahan yang membuat rakyat miskin dan terpinggirkan. Bahkan di bawah panjipanji keadilan dan kesamaan, teologi pembebasan dalam Islam melampaui berbagai ranah, mulai dari bersikap adil terhadap kaum perempuan sampai penghormatan dan sikap terbuka serta toleran terhadap agama-agama dan keyakinan lain yang dianut oleh umat manusia. Mohammad Arkoun: Arkoun menilai bahwa pemikiran Islam selama ini belum membuka diri pada kemodernan pemikiran dan tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi umat muslim kontemporer. Dia ingin dimasukkan pengetahuan modern ke dalam pemikiran Islam. Karena krituknya terlalu krirtis ini, Arkoun sering memberikan jawaban diluar kelazimanumat Islam (Uncommon Answer) ketika menjawab problem-prolem kehidupan yang dialami umat Islam. Jawaban seperti inu terlihat jelas dalam penerapan teori pengetahuan (theory of knowledge). Teori pengetahuan yang diasumsukan oleh Arkoun ini meliputi landasan epistimpologi kajian tentang studi–studi agama Islam. Dalam hal ini dia membedakan wacana ideologis, wacana rasional, dan wacana profetis. Upaya ini dilakukan untuk membuka dialog terusmenerus antara agama dengan realitas untuk menentukan wilayah-wilayah mana dari agama yang bisa didialogkan dan diinterpretasikan sesuai dengan konteksnya.



Disamping kedua pemikir Islam diatas sebenarnya masih banyalk pemikir lain yang menerapkan pemikiran kritis dalam mendekati agama, misalnya Abdullah Ahmed An-naim, Asghar Ali Enggineer, Thoha Husein, dan sebagainya. Dari kedua contoh diatas terlihat bahwa paradigma kritis sebenarnya berupaya membebaskan manusia dengan semangat dan ajaran agama yang lebih fungsional. Dengan kata lain, kalau paradigma kritis Barat berdasarkan pada semangat revolusioner sekuler dan dorongan kepentingan sebagai dasar pijakan, maka paradigma kritis PMII justru menjadikan nilai-nilai agama yang terjebak dalam dogmatisme itu sebagai pijakan untuk membangkitkan sikap kritis melawan belenggu yang kadang disebabkan oleh pemahaman yang distortif.Jelas ini terlihat ada perbedaan yang mendasar penerapan paradigma kritis antara barat dengan Islam (yang diterapkan PMII). Ada beberapa alasan yang menyebabkan PMII harus memiliki Paradigma Kritis Transformatif sebagai dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan analisa terhadap realitas sosial. Alasan-alasan tersebut adalah: 1. Masyarakat Indonesia saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern, dimana kesadaran masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu budaya kapitalisme,konsumerisme dan pola berpikir pragamatis dan apatis. 2. Masyarakat Indonesia merupakan pengguna internet terbesar di dunia sehingga perlu penanaman paragidma untuk meng-filter arus polarisai media 3. Pemerintahan yang menggunakan sistem yang represifotoriter dengan pola yang hegemonik (sistem pemerintahan dikuasi oleh oligarki pengguasan sda bumi, perampasan ruang hidup). 4. Kuatnya belenggu dogmatisme agama atas kepentingan politik dan trorisme , akibatnya agama menjadi fanatik dan terdistorsi, bahkan tidak jarang agama justru menjadi memjadi penguat kapitalisme dan oligarki Beberapa alasan mengenai mengapa PMII memilih Paradigma Kritis Tansformatif untuk dijadikan pisau analisis dalam menafsirkan realitas sosial. Karena pada hakekatnya dengan analisis Transformatif mengidealkan sebuah bentuk perubahan dari semua level dimensi kehidupan masyarakat (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan dll) secara bersama-sama. Hal ini juga tercermin dalam keinhginan PMII yang mengidealkan orientasi out-put kader PMII yang diantaranya adalah : Intelektual Organik, Agamawan Kritis, Profesional Lobbiyer, Ekonom Cerdas, Budayawan Kritis, Politisi Tangguh, dan Praktisi Pendidikan yang Transformatif.