Bab 2 Konsep Relung REVISI [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ekologi Hewan adalah suatu cabang biologi yang khusus mempelajari interaksi-interaksi antara hewandengan lingkungan biotic dan abiotik secara langsung maupun tidak langsung. Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dilingkungannya, oleh sebab itu ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling memengaruhi. Makhluk hidup dalam ekosistem tidak dapat dipisahkan dengan unsurunsur kehidupan baik



biotik maupun abiotik. Dalam sebuah ekosistem,



terdapat kedudukan makhluk hidup yang beradadalam satu habitat yang disebut dengan relung. Relung atau Niche tidak dapat dipisahkan dari kajian habitat suatu ekosistem atau populasi serta individu didalamnya. Relung (Niche) menunjukkan peranan fungsional dan posisi suatu organisme dalam ekosistem. Relung suatu organisme ditentukan oleh tempat hidupnya (habitat) dan oleh berbagai fungsi yang dikerjakannya. Dapat dikatakan, bahwa relung adalah kedudukan organisme dalam habitatnya. Kedudukan organisme menunjukkan fungsi organisme dalam habitatnya. Seperti yang kita ketahui, berbagai organisme dapat hidup pada habitat yang sama akan tetapi apabila dua atau lebih organisme berbeda menempati relung yang sama dalam satu habitat akan terjadi persaingan. Makin besar kesamaan dalam relung dari tiap organisme pada suatu habitat maka semakin besar pula persaingan yang ada. Adanya kesamaan relung ini disebut dengan Niche overlap (relung tumpang tindih). Sejauh mengandalkan dua spesies yang sama jenis makanan untuk mempertahankan populasi mereka, sejauh itu mereka bersaing dengan satu sama lain. Organisasi bergantung pada lingkungan untuk sumber daya mereka untuk mempertahankan diri mereka sendiri, dan sehingga organisasi populasi



1



bersaing satu sama lain. Tingkat persaingan di antara dua populasi adalah sebanding dengan tingkat tumpang tindih dalam sumber daya relung mereka. Pengetahuan tentang konsep relung dalam ekologi merupakan hal yang penting, pengetahuan ini dapat dimanfaatkan untuk mengetahui kedudukan fungsional suatu makhluk hidup tertentu dalam komunitasnya. Konsep relung ekologi dapat diaplikasikan dalam upaya pelestarian atau konservasi hewan langka. Manfaat relung dalam ekologi untuk aktivitas konservasi adalah sebagai pengetahuan penggunaan sumber daya biotik dan abiotik oleh organisme yangsecara teoritis mampu digunakan oleh suatu populasi dibawah keadaan ideal,sehingga dapat dijadikan sebagai bahan acuan memahami dan mengatasi masalahkondisi dan sumberdaya yang membatasi atau secara potensian membatasi suatu populasi hewan langka tersebut.



B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah: 1. Apa yang dimaksud dengan habitat dan mikrohabitat? 2. Apa yang dimaksud dengan relung ekologi? 3. Bagaimana penjelasan asas eksklusi persaingan dan pemisahan relung? 4. Bagaimana pergeseran ciri dan ekivalen ekologi? 5. Bagaimana aplikasi konservasi relung ekologi pada hewan langka?



C. Tujuan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah: 1. Menjelaskan pengertian habitat dan microhabitat. 2. Menjelaskan konsep relung ekologi. 3. Menjelaskan asas eksklusi persaingan dan pemisahan relung. 4. Menjelaskan pergeseran ciri dan ekivalen ekologi. 5. Menjelaskan aplikasi konservasi relung ekologi pada hewan langka.



2



BAB II PEMBAHASAN A. Habitat Habitat ( bahasa Latin untuk "it inhabits") atau tempat tinggal makhluk hidup merupakan unit geografi yang secara efektif mendukung keberlangsungan hidup dan reproduksi suatu spesies atau individu suatu



spesies. Di dalam habitat



tersebut, makhluk hidup lainnya serta faktorfaktor abiotik yang satu dengan lainnya saling berinteraksi secara kompleks membentuk satu kesatuan yang disebut habitat di atas. Organisme lainnya antara lain individu lain dari spesies yang sama, atau populasi lainnya yang bisa terdiri dari virus, bakteri, jamur, protozoa, tumbuhan, dan hewan lain. Faktor abiotik suatu habitat meliputi makhluk/benda mati seperti air, tanah, udara, maupun faktor kimia fisik seperti temperatur, kelembaban kualitas udara, serta aspek geometris bentuk lahan yang memudahkan hewan untuk mencari makan, istirahat, bertelur, kawin, memelihara anak, hidup bersosial, dan aktivitas lainnya. Di alam atau lingkungan sekitar, kita dapat menemui berbagai jenis makhluk hidup, baik dari golongan hewan, tumbuhan ataupun mikroorganisme. Di tanah yang lembab dan gembur sering ditemukan cacing tanah, di perairan sering ditemukan berbagai jenis ikan, dan disemak belukar sering ditemukan ular. Masalah kehadiran suatu populasi hewan di suatu tempat dan penyebaran (distribusi) spesies hewan tersebut di muka bumi ini, selalu berkaitan dengan maslah habitat dan relung ekologinya. Habitat secara umum menunjukan bagaimana kondisi lingkungan yang ditempati populasi hewan, sedanngkan relung ekologi menunjukan dimana dan bagaimana kedudukan populasi hewan itu relative terhadap factor-faktor abiotik dan biotik lingkungannya. Secara lebih sederhana habitat diartikan sebagai tempat hidup makhluk hidup atau biotop.



3



Habitat juga sering diibaratkan sebagai “alamat” dari populasi hewan, sedangkan relung ekologi dimisalkan sebagai “profesi” di dalam habitat. Dalam memberi deskripsi hubungan ekologis mahluk-mahluk sangat penting dapat membedakan antara tempat suatu mahluk hidup dan apa yang dilakukan (peran) sebagai bagian dari ekosistemnya. Istilah habitat dan relung ekologi (ecological niche) berkenaan dengan dua konsep yang paling penting dalam ekologi. Habitat suatu mahluk hidup adalah tempat mahluk itu hidup. Ini adalah tempat fisik, bagian yang spesifik di permukaan bumi, udara, tanah,atau air. Menurut Clements dan Shelford (1939), habitat adalah lingkungan fisik yang ada disekitar suatu spesies, atau populasi spesies, atau kelompok spesies, atau komunitas . Dalam ilmu ekologi, bila pada suatu tempat yang sama hidup berbagai kelompok spesies (mereka berbagi habitat yang sama) maka habitat tersebut disebut sebagai biotop. Habitat suatu populasi hewan pada dasarnya menunjukan totalits dari corak lingkungan yang ditempatinya, termasuk factor-faktor abiotik berupa ruang, tipe sub ditempatinyastratum atau medium yang ditempatinya, cuaca dan iklim serta vegetasinya. Secara garis besar dikenal empat tipe habitat utama, yakni: daratan, perairan tawar, perairan payau dan estuaria serta perairan bahari/laut. Masingmasing kategori utama ini dapat dipilih lagi tergantung corak kepentingannya, mengenai aspek yang ingin diketahui. Dari sudut pandang dan kepentingan populasi-populasi hewan yang menempatinya, pemilihan tipe-tipe habitat didasarkan pada segi variasinya menurut waktu dan ruang. Berdasarkan varietas menurut waktu, dapat dikenal empat macam habitat. 1. Habitat yang konstan, yaitu suatu habitat yang kondisinya terus-menerus relatif baik atau kurang baik. 2. Habitat yang bersifat memusim, yaitu suatu habitat yang kondisinya secara relatif teratur berganti-ganti antara baik dan kurang baik.



4



3. Habitat yang tidak menentu, yaitu suatu habitat yang mengalami suatu perioda dengan kondisi baik yang lamanya bervariasi, diselang-selingi oleh perioda dengan kondisi yang kurang baik yang lamanya juga bervariasi, sehingga kondisinya tidak dapat diperkirakan. 4. Habitat yang ephemeral, yaitu suatu habitat yang mengalami perioda kondisi kurang baik yang berlangsung relative lama sekali. Berdasarkan variasi kondisi habitat menurut ruang, habitat dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam. 1. Habitat yang bersinambungan, yaitu apabila suatu habitat mengandung area dengan kondisi baik yang sangat luas, yang melebihi luas area yang dapat dijelajahi populasi hewan penghuninya. Sebagai contoh yang luas sebagai habitat dari populasi rusa yang berjumlah 10 ekor. 2. Habitat yang terputus-putus, merupakan suatu habitat yang mengandung area dengan kondisi baik letaknya berselang-seling dengan area kondisi kurang baik, dan hewan-hewan penghuninya dengan mudah menybar dari area berkondisi baik yang satu ke yang lainnya. 3. Habitat yang terisolasi, merupakan suatu habitat yang mengandung area berkondisi baik yang terbatas luasnya dan letaknya terpisah jauh dari area berkondisi baik yang lain, sehingga hewan-hewan tidak dapat menyebar untuk mencapainya, kecuali bila didukung dengan faktor kebetulan. Misalnya suatu pulau kecil yang dihuni oleh populasi rusa. Jika makana habis rusa tidak dapat berpindah ke pulau lain. Pulau kecil tersebut bukan merupakan habitat terisolasi bagi suatu populasi burung yang dapat dengan mudah pindah ke pulau lainnya, tetapi lebih cocok disebut habitat yang terputus. Berdasarkan habitatnya hewan dikelompokkan menjadi : 1. Hewan di Habitat Darat Hewan yang hidup dan tempat tinggalnya di darat antara lain yang dapat terbang seperti burung, lebah, dan kupu-kupu, hidup didalam tanah seperti cacing dan rayap, hidup didekat air seperti kuda nil, dan kura-kura, serta



5



yang tinggal di darat seperti tikus, cicak, harimau, singa, gajah, kijang, dan lainnya.24 2. Hewan di Habitat Air Hewan yang hidup di dalam air antara lain ikan, belut, udang, gurita, cumi-cumi, dan lainnya 3. Hewan di Habitat Darat-Air Hewan yang hidup di dua alam yaitu dapat hidup di air dan di darat antara lain kura-kura, buaya, katak, dan anjing laut.



B. Mikrohabitat Habitat-habitat dialam ini pada umumnya bersifat heterogen, dengan area-area tertentu dalam habitat itu yang berbeda vegetasinya. Populasipopulasi hewan yang mendiami habitat itu akan terkonsentrasi ditempattempat dengan kondisi yang paling cocok bagi pemenuhan persyaratan hidupnya masing-masing. Bagian dari habitat yang merupakan lingkungan yang kondisinya paling cocok dan paling akrab berhubungan dengan hewan dinamakan mikrohabitat. Sehubungan dengan bagaimana kisaran-kisaran toleransinya terhadap berbagai faktor lingkungannya, maka berbagai speseis hewan yang berkonsentrasi dalam habitat yang sama (berkohabitasi) akan menempati mikrohabitatnya masing-masing. Batas antara mikrohabitat yang satu dengan yang lainnya acapkali tidak nyata/jelas. Namun demikian microhabitat memegang peranan penting dalam menentukan keanekaragaman spesies yang menempati habitat itu. Tiap spesies akan berkonsentrasi dalam microhabitat yang paling sesuai baginya. Sebagai contoh, dalam suatu habitat perairan tawar yang mengalir (sungai) secara umum dapat dibedakan menjadi bagian riam dan lubuk. Riam berarus deras dan dasarnya berupa lumpur dan serasah. Ada beberapa populasi hewan air yang lebih menyukai tinggal atau bermikrohabitat diriam dan ada beberapa populasi hewan air yang lain yang bermikrohabitat dilubuk. Pemilihan atas dua microhabitat utama ini dapat dipilah-pilah lagi lebih lanjut, seperti bagian permukaan batu, disela-sela batu, dibawah lapisan serasah dan sebagainya. 6



Pemilihan atas dasar microhabitat-mikrohabitat yang berbeda itu terkait dengan masalah perbedaan status fungsional atau relung ekologi dari berbagai spesies hewan yang menempati habitat perairan tersebut. Kemampuan koeksistensi yang tidak sama pada setiap serangga yang hidup bersama-sama, menyebabkan pemisahan mikrohabitat serangga, sehingga menunjukkan kondisi habitat yang sesuai, bagian dari habitat yang merupakan lingkungan paling cocok dan paling akrab berhubungan dengan hewan dinamakan mikrohabitat, beberapa tipe habitat yaitu makrohabitat dan mikrohabitat. Secara umum, makrohabitat merujuk pada ciri khas dengan skala yang luas seperti zona asosiasi vegetasi yang biasanya disamakan dengan level pertama seleksi habitat sedangkan mikrohabitat adalah lingkungan yang paling cocok dan paling akrab hubungannya dengan hewan yang merupakan faktor penting dalam habitat. Hewan yang mendiami habitat itu akan terkonsentrasi ditempat-tempat dengan kondisi yang paling cocok bagi pemenuhan persyaratan hidupnya masing-masing, dalam habitat yang sama, dan menempati mikrohabitatnya sehingga interaksi spesies dengan lingkungannya sangat berpengaruh terhadap perilaku spesies sebagai bentuk reaksi terhadap (perubahan) factor fisik dan biokimia lingkungan. Habitat di alam ini pada umumnya bersifat heterogen dan populasiserangga-serangga yang mendiami habitat itu masing-masing akan terkonsentrasi di tempat-tempat dengan kondisi yang paling sesuai bagi pemenuhan persyaratan hidupnya. Kemampuan koeksistensi yang tidak sama pada setiap serangga yang hidup bersama-sama, menyebabkan pemisahan mikrohabitat serangga, sehingga menunjukkan kondisi habitat yang sesuai (Budiharsanto, 2006). Populasi beraneka jenis hewan yang berkoeksistensi dalam habitat yang sama mempunyai keserupaan pula dalam kisaran toleransinya terhadap beberapa faktor lingkungan dalam mikrohabitat. Batas antara mikrohabitat yang satu dengan yang lainnya tiap kali tidak nyata. Namun demikian mikrohabitat memegang peranan penting dalam menentukan keanekaragaman



7



jenis yang mempengaruhi habitat itu (Kramadibrata 1996 dalam Budiharsanto 2006). Contoh makrohabitat dan mikrohabitat yaitu Organisme penghancur (pembusuk) daun hanya hidup pada lingkungan sel-sel daun lapisan atas fotosintesis, sedangkan spesies organisme penghancur lainnya hidup pada selsel daun bawah pada lembar daun yang sama hingga mereka hidup bebas tidak saling mengganggu. Lingkungan sel-sel dalam selembar daun di atas disebut mikrohabitat sedangkan keseluruhan daun dalam lingkungan makro disebut makrohabitat. C. Relung Ekologi Definisi relung ekologi pun juga bermacam-macam. Menurut Kendeigh (1980), relung ekologi suatu populasi/spesies hewan adalah status fungsional hewan itu dalam habitat yang ditempatinya berkaitan dengan adaptasi-adaptasi fisiologis, structural/morfologi, dan pola perilaku hewan itu. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa tidak ada hewan (makhluk hidup) yang dapat hidup pada sembarang kondisi lingkungan. Artinya, bahwa hewan, termasuk organisme-organisme yang lain, hanya dapat lulus hidup, tumbuh dan berkembangbiak dalam batas-batas kisaran toleransinya



terhadap berbagai



kondisi faktor-faktor abiotik lingkungan dan ketersediaan sumberdaya yang diperlukannya. Batas-batas kisaran toleransi hewan terhadap kondisi berbagai faktor lingkungan ditentukan oleh perangkat kemampuan hewan untuk menghadapi kondisi lingkungan tersebut. Perangkat kemampuan tersebut ditentukan oleh adaptasi-adaptasi fisiologi, struktural, dan perilaku. Hutchinson (1957) dalam Begon, et al. (1986) telah mengembangkan konsep relung ekologi multidimensi (dimensi-n atau hipervolume). Setiap kisaran toleransi hewan terhadap suatu faktor lingkungan, misalnya suhu, merupakan suatu dimensi. Dalam kehidupannya hewan dipengaruhi oleh bukan hanya satu faktor lingkungan saja, melainkan banyak faktor lingkungan secara simultan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi atau membatasi



8



kehidupan organisme bukan hanya kondisi lingkungan, seperti suhu, cahaya, kelembapan, salinitas, tetapi juga ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan hewan (makanan dan tempat untuk membuat sarang bagi hewan dan nutrient bagi tumbuhan). Relung atau niche merupakan tempat makhluk hidup berfungsi di habitatnya, bagaimana cara hidup, atau peran ekologi makhluk hidup tersebut. Jadi pada dasarnya makhluk hidup secara alamiah akan memilih habitat dan relung ekologinya sesuai dengan kebutuhannya, dalam arti bertempat tinggal, tumbuh berkembang dan melaksanakan fungsi ekologi pada habitat yang sesuai dengan kondisi lingkungan (misalnya iklim), nutrien, dan interaksi antara makhluk hidup yang ada. Berbeda dengan istilah habitat yang sekarang sudah digunakan secara luas, istilah relung ekologi diluar bidang ekologi praktis tak dikenal. Salah satu penyebabnya ialah karena konsep relung ekologi relatif baru, bahkan dalam 30 tahun pertama sejak istilah tersebut diperkenalkan pengertiannya masih kabur. Sampai saat ini dikalangan guruguru biologi sekolah menengah juga masih kabur. Dalam ekologi, seluruh peranan dan fungsi makhluk hidup dalam komunitasnya dinamakan relung atau niche ekologi. Jadi relung ekologi merupakan semua faktor atau unsur yang terdapat dalam habitatnya yang mencakup jenis-jenis organisme yang berperanan, lingkungan, dan tempat tinggal yang sesuai dan spesialisasi populasi organisme yang terdapat dalam komunitas. Relung ekologi bukan konsep yang sederhana, melainkan konsep yang kompleks yang berkaitan dengan konsep populasi dan komunitas. Relung ekologi merupakan peranan total dari semua makhluk hidup dalam komunitasnya. Jika seandainya ada suatu organisme yang dapat hidup, tumbuh dan berkembangbiak dan mampu menjaga kestabilan populasinya hanya ditentukan/dibatasi oleh suatu kisaran suhu lingkungan saja, tidak oleh faktor lingkungan yang lain, maka relung organisme tersebut dalam dimensi suhu dapat digambarkan dalam bentuk gambar 1 dimensi seperti gambar 4.1.a. jika relung suatu organisme dibatasi oleh kisaran tertentu dari faktor suhu



9



kelembapan, maka dapat digambarkan dalam bentuk gambar 2 dimensi seperti pada gambar 4.1.b. Jika relung suatu organisme dibatasi oleh kisaran tertentu dari faktor suhu salinitas dan arus air, maka relungnya dapat digambarkan dalam gambar 3 dimensi seperti gambar 4.1.c. Pada di alam, faktor lingkungan yang mempengaruhi dan membatasi kehidupan organisme sangatlah banyak dan bekerja secara simultan, bagaimanakah cara menggambarkannya? Tentu konsep gambar yang kita maksudnya adalah sesuatu abstrak dan rumit, hal ini karena mata manusia hanya melihat dalam 3 dimensi



Gambar 1.1 gambaran relung ekologi 1 dimensi (a), 2 dimensi (b), dan 3 dimensi (c)



Selanjutnya Hutchinson membagi konsep relung menjadi relung fundamental dan relung yang terealisasikan. Relung fundamental menunjukan potensi secara utuh kisaran toleransi hewan terhadap berbagai faktor lingkungan, yang hanya dapat diamati dalam laboratorium dengan kondisi lingkungan terkendali. Misalnya yang diamati hanya satu atau dua faktor saja, tanpa ada pesaing, predator dan lain sebagainya. Relung realisasi adalah status fungsional yang benar-benar ditempati dalam kondisi alami, dengan beroperasinya banyak faktor lingkungan, seperti interaksi faktor, kehadiran pesaing, predator dan lain sebagainya. Dibandingkan dengan kisaran relung fundamental, kisaran dari relung yang terealisasikan itu pada umumnya lebih sempit, karena tidak seluruhnya potensi dari hewan dapat diwujudkan,



10



tentunya karena pengaruh dari beroperasinya berbagai kendala dari lingkungan. Istilah relung fundamental (fundamental niche) mengacu pada kumpulan sumberdaya yang secara teoristis mampu digunakan oleh suatu populasi dibawah keadaan ideal. Pada kenyataannya, masing-masing populasi terlibat dalam jaringjaring interaksi dengan populasi spesies lain, dan pembatas biologis, seperti kompetisi, predasi, atau ketidakhadiran beberapa sumberdaya yang dapat digunakan, bisa memaksa populasi tersebut untuk hanya menggunakan sebagian relung fundamentalnya. Sumberdaya yang sesungguhnya digunakan oleh suatu populasi secara kolektif disebut relung realisasi (realized niche)–nya. Sekarang kita dapat menyatakan kembali prinsip eksklusi kompetitif untuk menyatakan bahwa dua spesies tidak dapat hidup bersama-sama dalam suatu komunitas jika relungnya identik. Akan tetapi, spesies yang secara ekologis serupa, dapat hidup bersama-sama dalam suatu komunitas, jika terdapat satu atau lebih perbedaan yang berarti dalam relung mereka. Bila dua spesies bergantung pada sumber tertentu dalam lingkungannya, maka mereka saling bersaing untuk mendapatkan sumber tersebut. Yang paling sering terjadi, sumber yang diperebutkan tersebut adalah makanan, tetapi dapat pula halhal seperti tempat berlindung, tempat bersarang, sumber air, dan tempat yang disinari matahari (untuk tumbuhan). Semua persyaratan ekologis suatu spesies merupakan relung ekologis spesies tersebut. Habitat dan relung. Tempat hidup seekor hewan disebut habitatnya, sejumlah habitat umum , antara lain: tanah berlumpur, bendungan, kuala, gurun, dan sebagainya. Dalam golongan-golongan besar ini terdapat pembagian-pembagian



11



lagi. Jadi beberapa hewan di daerah tepi danau meliang di dalam lumpur sedangkan yang lain hidup di antara tumbuhan ini. Subdivisi habitat demikian itu disebut mikrohabitat. Relung ekologis suatu organisme harus tersedia di dalam habitatnya. Akan tetapi, konsep relung menyangkut pertimbangan yang tidak hanya sekedar tempat tinggal organisme. Kedudukan yang ditempati oleh suatu spesies di dalam jaringjaring makanan merupakan faktor utama dalam menentukan relung ekologisnya. Tetapi faktor lain juga ikut terlibat. Sebagai contoh kisaran suhu, kelembaban, salinitas dan sebagainya, yang dapat diterima oleh setiap dua spesies dalam suatu habitat untuk ikut menentukan relung ekologisnya. Dengan mengetahui alamat (habitat) seseorang, maka kita tahu ke mana kita cari orang tersebut, tetapi jika kita mengetahui pekerjaan, hobi, dan cara-cara bagaimana orang itu bergaul dengan orang lain dalam masyarakat, kita akan mengetahui lebih banyak lagi mengenai orang tersebut. Demikian pula, relung ekologis seekor hewan meliputi semua aspek dari kedudukan yang ditempati oleh hewan tersebut di dalam ekosistem tempat ia hidup. Tiap faktor yang merupakan bagian dari relung suatu spesies[1] biasanya berkisar sekitar suatu kisaran nilai. Jadi tiap organisme dapat menahan suatu kisaran tertentu dari suhu, kelembaban, PH (misalnya tumbuhan atau organisme air) salinitas (misalnya hewan-hewan di kuala), dan sebagainya. Pada umumnya organisme dengan kisaran toleransi yang luas lebih tersebar dibandingkan organisme dengan kisaran yang sempit. Konsep relung ekologi ucapkali digunakan sebagai dasar acuan penting untuk memahami kelimpahan dan penyebaran hewan dilingkungan alaminya. Masalah



12



relung ekologi pada dasarnya merupakan masalah interaksi, saling pengaruhmempengaruhi dan saling ketergantungan hewan dengan lingkungannya. Dihabitatnya atau disuatu ekosistem tidak hanya hidup satu populasi hewan tetapi seringkali banyak populasi hewan yang hidup bersama. Dua spesies hewan atau lebih yang hidup bersama dalam satu habitat dikatakan berkohabitasi atau berkoeksistensi.



Hewan-hewan



yang



berkoeksistensi



biasanya



memiliki



keserupaan dalam kisaran toleransi dan preferendum terhadap faktor lingkungan dalam habitat, bahkan mungkin juga memiliki keserupaan dalam jenis sumberdaya yang dibutuhkan. Berdasarkan konsep relung ekologi multidimensi, hal ini berarti antara kedua populasi tersebut memiliki keselingkupan relung dalam satu atau beberapa dimensi. Dua atau lebih spesies hewan yang berkoeksistensi dalam habitat yang sama dan sumberdayanya berselingkupan merupakan pesaing-pesaing potensial. Artinya jika dalam suatu saat jumlah sumberdaya yang dibutuhkan terbatas maka akan terjadi persaingan. Pada dasarnya tidak ada dua spesies yang adaptasinya (fisiologi, structural atau perilaku) serupa benar satu dengan yang lain. Akibatnya hewan yang memiliki adaptasi yang lebih baik dan lebih agresif jika terjadi kohabitasi dan persaingan akan dapat memenangkannya. Hewan yang menang bersaing akan memperoleh sumberdaya secara optimal dan akan lebih “survive”, sementara yang kalah bersaing akan kekurangan sumberdaya yang dibutuhkan dan akan mengalami kepunahan lokal.



D. Asas Eksklusi Persaingan dan Pemisahan Relung Dengan adanya interaksi persaingan antara dua spesies atau lebih yang memiliki relung ekologi yang sangat mirip maka mungkin saja spesies-spesies 13



tersebut tidak berkoeksistensi dalam habitat yang sama secara terus-menerus. Hal ini menunjukan bahwa suatu relung ekologi tidak dapat ditempati secara simultan dan sempurna oleh populasi stabil lebih dari satu spesies. Pernyataan ini dikenal sebagai “asas eksklusi persaingan” atau “Aturan Gause”. Sehubungan dengan asas tersebut diatas, menurut “asas koeksistensi”, beberapa spesies yang dapat hidup secara langgeng dalam habitat yang sama ialah spesies-spesies yang relung ekologinya berbeda-beda. Tentang pentingnya perbedaan-perbedaan diantaranya berbagai spesies telah lama dikemukakan oleh Darwin (1859). Darwin menyatakan bahwa makin besar perbedaan-perbedaan yang diperlihatkan oleh berbagai spesies yang hidup disuatu tempat, makin besar pula jumlah spesies yang dapat hidup disuatu tempat itu. Pernyataan Darwin tersebut disebut sebagai asas “Asas divergensi” Dari uraian tersebut diatas tampak bahwa aspek relung ekologi yang menyangkut dimensi sumberdaya, khususnya yang vital untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan, dari beberapa spesies harus berbeda (terpisah) agar dapat berkoeksistensi dalam habitat yang sama. Perbedaan atau pemisahan relung itu juga mencakup aspek waktu aktif. Contoh lain dari kasus pemisahan relung antara berbagai spesies yang berkohabitasi dapat dilihat dari contoh berikut ini. Serumpun padi dapat menjadi sumberdaya berbagai jenis spesies hewan. Orong-orong (Gryllotalpa Africana) memakan akarnya, walang sangit (Leptocorisa acuta) memakan buahnya, ulat tentara kelabu (Spodoptera maurita) yang memakan daunnya, ulat penggerek batang (Chilo supressalis) yang menyerang batangnya, hama ganjur



(Pachydiplosis



oryzae)



menyerang



pucuknya,



wereng



coklat



(Nilaparvata lugens) dan wereng hijau (Nephotettix apicalis) yang mengisap cairan batangnya. Tiap jenis hewan hama tersebut masing-masing telah teradaptasi khusus untuk memanfaatkan tanaman padi sebagai sumberdaya makanan pada bagian-bagian yang berbeda-beda



14



E. Ekivalen Ekologi Jika memperhatikan tentang kehidupan berbagai jenis hewan di berbagai tempat sering ditemukan spesies-spesies hewan serupa yang hidup di daerah geografi yang berbeda. Kita dapat menemukan cacing tanah dimana saja, misal di Indonesia, di Amerika, di Eropa, di Australis dan tempat lainnya. Cacing-cacing tanah tersebut secara morfologi serupa, namun sebenarnya mereka berbeda spesies. Cacing tanah di Jawa (Pheretima javanica) serupa dengan cacing tanah di Amerika (lumbricus terestris). Kedua jenis cacing tersebut menempati habitat tanah lembab dengan relung ekologi yang serupa. Jenis-jenis hewan yang menempati relung ekologi yang sama (ekivalen) dalam habitat yang serupa di daerah zoogeografi yang berbeda disebut ekivalen-ekivalen ekologi. Biasanya kekerabatan taksonomi dari ekivalen-ekivalen ekologi sangat dekat, namun tidak selalu demikian. Contoh lain dari hewan-hewan yang ekivalen-ekivalen ekologi antara lain; ular Chrysopelea, Boiga dan Trimeresurus yang hidup di semak-semak dan pohon hutan daerah Orientalia adalah ular Boiga dan Chondropython di daerah Australia-Papua, Boiga, Thresops dan Atheris di daerah Etiopia, Elaphe dan Ophiondrys di daerah Neratika, serta ular Boa dan Trimeresurus di daerah Neotropika. Untuk mengingatkan kembali tentang pembagian daerah geografi berdasarkan jenis atau komunitas hewannya di bawah ini disajikan peta zoogeografi. Secara umum ekivalen-ekivalen ekologi itu dapat dikenali dari kemiripan-kemiripan yang diperlihatkan hewan-hean tersebut dalam hal adaptasi-adaptasi morfologis (struktural) serta pola perilakunya. Sebabnya ialah karena berbagai adaptasi itu dalah tiada lain daripada perangkat “modal” kemampuan hewan untuk memanfaatkan sumberdaya-sumberdaya di dalam lingkungannya atau habitatnya.



15



F. Pergeseran Ciri Spesies-spesies hewan yang berkerabat dekat, satu marga atau genus misalnya, dapat ditemukan pada habitat atau daerah penyebaran yang sama (simpatrik) atau ditemukan pada daerah penyebaran yang berbeda (alopatrik). Jika spesies-spesies hewan yang berkerabat dekat (kogenerik) ditemukan dalam keadaan simpatrik, seleksi alam akan menghasilkan ciri-ciri tubuh yang semakin mencolok perbedaannya diantara spesies-spesies itu atau dikatakan mengalami evolusi divergen. Sebaliknya, apabila dalamkeadaan alopatrik seleksi alam akan menghasilkan evolusi konvergen sehingga perbedaan ciriciri itu makin kabur. Fenomena tersebut di atas dikenal sebagai pergeseran ciri. Evolusi yang menghasilkan pergeseran ciri pada spesies-spesies hewan dalam keadaan simpatrik mempunyai dua kepentingan adaptif bagi spesiesspesies yang bersangkutan. Pertama, karena ciri (adaptasi morfologis, misalnya) yang nyata bedanya akan menyebabkan terjadinya pemisahan relung ekologi. Dengan demikian maka kemungkinan terjadinya interaksi berupa persaingan, apabila spesies itu berkohabitasi, akan tereduksi. Kedua, berbedanya ciri morfologi yang menghasilkan berbedanya pola perilaku, misalnya perilaku berbiak, akan lebih menjamin terjadinya pemisahan genetik diantara spesies-spesies yang berkerabat itu bila berkohabitasi, atau menghindari terjadinya inbreeding yang tidak menguntungkan. Salah satu contoh fenomena pergeseran ciri adalah yang terjadi pada dua spesies burung dari genus Sitta, yakni Sitta tephronota dan Sitta neumayer, yang penyebarannya meliputi beberapa negara di daerah Asia Kecil (Turki, Yunani, Azerbayan, Iran, Afganistan, Pakistan, dll). Dalam keadaan alopatrik penampilannya sangat mirip satu dengan yang lain, sehingga hampirhampir tidak dapat dibedakan. Sebaliknya dalam keadaan simpatrik mudah sekali mengenali bagian kepala (di atas mata). Perbedaan panjang paruh menunjukkan kemungkinan perbedaan jenis dan ukuran makanan, sehingga mengurangi peluang persaingan. Perbedaan pita gelap di kepala mempunyai



16



peranan penting dalam pengenalan sesama jenisnya secara visual. Hal ini akan mengurangi terjadinya hibridisasi alami diantara kedua spesies yang akan menghasilkan keturunan steril atau akan mengalami perkawinan mati bujang. Berikut ini ditunjukkan gambaran perbedaan morfologi jenis burung.



Gambar 1.2 perbedaan ciri morfologi burung finches



G. Aplikasi Konservasi Relung Ekologi Pada Hewan Langka Aplikasi Relung (Niche) pada Konservasi Hewan Langka Konservasi adalah seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan situasidan kondisi setempat.



Konservasi



muncul



akibat



adanya



suatu



kebutuhan



untukmelestarikan sumber daya alam yang mengalami degradasi mutu secara tajam,dampak misalnya



degradasi



tersebut



dapat



menimbulkan



kepunahan,



satwalangka. Dengan memanfaatkan pengetahuan tentang relung



ekologi maka aktivitaskonservasi dapat dilaksanakn dengan baik. Pengetahuan tentang relung ekologibertujuan untuk mengetahui bagaimana cara hewan tersebut hidup sepertitumbuh kembang, tempat tinggal yang sesuai dengan hewan tersebut, sertainteraksi hewan dengan hewan lainnya. Jadi, dalam sebuah konservasi makaharus mempelajari segala hal yang berhubungan dengan hewan yang akankita lindungi tersebut, terutama kita mempelajari tentang relungnya agar kitadapat melestarikannya dengan baik.



17



Berikut beberapa contoh konservasi hewan langka. 1. Penangkaran Penyu Hijau (Chelonia mydas L.) Penyu hijau (Chelonia mydas L.) merupakan jenis penyu yang palingsering ditemukan dan hidup di laut tropis. Dapat dikenali dari bentuk kepalanyayang kecil dan paruhnya yang tumpul. Ternyata nama penyu hijau bukan karenasisiknya berwarna hijau, tapi warna lemak yang terdapat



di bawah sisiknyaberwarna



hijau. Tubuhnya



bisa



berwarna abu abu, kehitam-hitaman ataukecoklatcoklatan. Populasi penyu hijau di Indonesia terus menurun, penurunanpopulasi penyu hijau di alam disebabkan oleh



pencurian telur dan anak penyusemakin



meningkat, lalu lintas air yang semakin ramai oleh para nelayan sertapara pengunjung dan banyaknya vegetasi yang rusak akibat terjadinya abrasi yangmengakibatkan



terjadinya



pendegradasi habitat



penyu.



Oleh



karena itu perludilakukan upaya konservasi penyu hijau. Pantai tempat habitat untuk bertelur penyu memiliki persyaratan umumantara lain pantai mudah dijangkau dari laut, posisinya harus cukup tinggi agardapat mencegah telur terendam oleh air pasang tertinggi, pasir relatif lepas (loose)serta



berukuran



sedang



untuk



mencegah



runtuhnya lubang sarang pada saatpembentukannya. Pemilihan lokasi ini merupakan habitat tempat bertelur yangdisukai oleh penyu dengan keadaan lingkungan bersalinitasi rendah, lembab, dansubstrat yang baik sehingga telur-telur penyu tidak tergenang air selama masainkubasi. Salah satu tempat habitat bertelur penyu hijau adalah Kawasan TWASungai Liku



yang



terdapat



di



Kecamatan



Paloh



Kabupaten



Sambas.



KawasanTWA Sungai Liku merupakan pantai berpasir yang cukup luas dan relatif datardengan ketinggian tempat 0–5 meter dari permukaan laut yang sangat baik untukhabitat tempat bertelur penyu hijau. Hasil penelitian Pradana, dkk (2013) mengungkap bahwa kondisi fisikKawasan TWA Sungai Liku merupakan kawasan dengan pantai



18



yang cukuppanjang, dengan panjang yaitu sebesar 9.893 meter, kemiringan pantai sebesar 6–12% nilai tersebut menujukkan bahwa Kawasan TWA Sungai Liku termasukdalam kategori pantai landai. Hasil pengukuran suhu dan kelembaban udara padalokasi penelitian terdapat rerata yaitu suhu pada pukul 18.00 dengan rerata sebesar1826,4⁰C suhu terendah sedangkan kelembaban pada pukul 18.00 dengan reratasebesar 73% merupakan kelembaban tertinggi bahwa penyu naik untuk bertelurpada malam hari karena suhu relatif rendah dengan kelembaban udara yang tinggi.Jenis vegetasi yang terdapat di Kawasan TWA Sungai Liku yang palingmendominasi adalah jenis cemara (Casuarinaceae equisetifolia). Dari hasil penelitian diketahui bahwa kondisi habitat tempat bertelur penyu hijau



diKawasan TWA Sungai Liku masih sangat baik



untuk habitat dan tempat bertelurpenyu yang dapat dilihat dari kondisi fisik dan bioligis pada kawasan tersebut,walaupun beberapa



gangguan



yang



terjadi



namum



masih



terdapat



gangguantersebut masih



dapat bisa diatasi. 2. Konservasi Burung Maleo (Macrocephalon maleo) Burung maleo (Macrocephalon maleo) adalah satwa endemik Sulawesiyang statusnya dilindungi undang-undang, populasi burung maleo terus menurundengan drastis karena degradasi dan fragmentasi habitat, serta dipercepat oleheksploitasi terhadap telurnya. Degradasi habitat meliputi penurunan kualitas yangdisebabkan oleh kerusakan hutan dan pengurangan luas akibat konversi hutan.Fragmentasi habitat disebabkan oleh konversi hutan di sekitar habitatnya sehinggamenjadi terisolasi dan terpencar-pencar dalam kantong-kantong habitat yang kecil. Hal ini disebabkan oleh rencana tata ruang wilayah yang kurang memperhatikanaspek



ekologiakibat



kurangnya



koordinasi



antar



sektor.Komponen habitat burung maleo yang terpenting adalah lapangan



19



tempatmengeramkan telurnya, karena burung maleo tidak mengerami sendiri telurnya,melainkan memendamnya didalam tanah atau pasir pada kedalaman tertentu dipantai atau di hutan dengan cara menimbun tanah dan seresah dengan tinggi satusetengah meter dan diameter sarang 3 – 4 meter tergantung jumlah pasangan yangbertelur. Dalam rangka upaya konservasi



burung



maleo,



diperlukan



berbagaiinformasi ekologis



satwa tersebut. Salah satu aspek yang sangat penting untukdiketahui adalah strategi burung tersebut dalam seleksi dan penggunaan habitat tempat bertelurnya sehubungan dengan adanya perbedaan sumber panas,perubahan struktur vegetasi, keragaman jenis vegetasi, ketersediaan pakan danmeningkatnya gangguan oleh aktivitas oleh manusia. Hasil bahwa



penelitian Tuhumury (tanpa



tahun),



mengungkap



burungmaleo membuat sarang pengeraman telurnya dengan



bentuk, dimensi dan tipesedemikian rupa sehingga dapat memberikan fungsi pengeraman yang efektif danmemberikan perlindungan serta kemudahan bagi anak maleo setelah menetas agardapat mencapai permukaan tanah dengan selamat. Rata-rata masa pengeramannya65,19 hari, masa pengeraman terpendek 30 hari pada temperatur 38



°C



danterlama 98 hari pada temperatur 34 °C. Peningkatan temperatur lebih dari 34 °Cdapat



memperpendek



masa



pengeraman



tetapi



menurunkan keberhasilanpenetasan. Tipe sarang yang paling disukai oleh burung maleo di dalam hutanberturut-turut yaitu tipe sarang di antara banir pohon, di bawah pohon tumbang, disamping sistem perakaran, di bawah naungan tajuk danyang paling tidak disukaiadalah di tempat terbuka. Sementara itu, di Tanjung Maleo 100% sarang yangdipergunakan dibuat di tempat terbuka. Burung maleo berinteraksi dengan satwa liar lain di habitat tempat bertelurnya dalam bentuk pemangsaan, persaingan makanan dan komensalisme.Satwaliar yang menjadi pemangsa (predator) burung maleo atau telurnya antaralain: Hydrosaurus amboinensis, Varanus sp., Phyton



20



sp., Sus sp., dan burungelang. makanan



adalah



Pesaing



burung-burung



burung



maleo



dalam



yangmemiliki jenis makanan yang



sama (buah, biji dan invertebrata) dan mencarimakan di hutan. Interaksi dalam bentuk komensalisme terjadi dengan satwaliaryang memiliki makanan yang sama tetapi melakukan aktivitas makan di ataspohon dan karena aktivitasnya membuat makanan jatuh ke lantai hutan, sepertiburung rangkong



(Rhyticeros



plicatus),



pombo



hutan



(Ducula



consina/Duculabicolor) dan satwa-satwa pemakan buah/biji lainnya seperti kuskus (Phalangersp.). Predator yang sering di temukan pada malam hari adalah ular, kucing, anjing,babi, dan tikus, sedangkan pada siang hari yaitu; burung elang dan manusia yangmengambil telur atau satwa burung maleonya dengan menggunakan jerat. Berdasarkan hal diatas, maka upaya pelestarian dan pengelolaan burungmaleo, yaitu: a. Mengevaluasi rencana tata ruang wilayah yang melibatkan habitat tempatbertelur burung Maleo. b. Mencagarkan semua habitat tempat bertelur burung Maleo yang terletak diluar kawasan konservasi. c. Membersihkan rumput dan vegetasi sekunder yang menutupi lapanganpersarangan agar dapat memberikan ruang bagi sarang yang cukup. d. Mengefektifkan



Pengamanan



habitat



tempat



bertelur



burung



Maleo dansanksi terhadap pencuri telur burung Maleo. e. Melakukan penetasan buatan secara in-situ di beberapa lokasi yang rawan. f. Pembinaan yang



habitat



yang



telah



rusak



dan



restorasi



habitat



telahditinggalkan sangat diperlukan untuk meningkatkan



kualitas dan memulihkankembali fungsinya.



21



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Relung



ekologi



adalah posisi



atau



status



dari



struktur



adaptasiorganisme, respon psikologi, dan tingkah laku sesifik organisme. Relungekologi juga diartikan



sebagai



total kebutuhan



suatu



spesies



terhadapseluruh sumber daya dan kondisi fisik yang menjadi faktor penentu dimana dia hidup dan seberapa melimpah spesies tersebut pada suatu lokasidalam rentangan tersebut. Relung ekologi berbeda dengan habitat, habitatadalah suatu tempat organisme hidup sedangkan relung merupakan statusorganisme dalam suatu komunitas dan ekosistem tertentu yang merupakanakibat adaptasi struktural, tanggap fisiologis, serta perilaku spesifikorganisme itu. Niche



overlap (relung



tumpang



tindih)



terjadi



ketika ada duaorganisme yang menggunakan sumber daya alam yang sama atau variabellingkungan lainnya. Adanya interaksi persaingan antara dua spesies ataulebih yang memiliki relung ekologi yang sangat mirip maka mungkin sajaspesies-spesies tersebut tidak terkoeksistensi dalam habitat yang



samasecara terus-menerus. Berbagai jenis populasi dengan keperluan



sumberdaya yang sama tidak dapat berkoeksistensi (hidup bersama dalam satuhabitat) untuk waktu yang tidak terbatas dan bahwa hal ini akanmenyebabkan



terjadinya



pemisahan relung



ekologi



dalam



ekologi



maka



pemanfaatansumber daya. Manfaatkan aktivitaskonservasi



pengetahuan



tentang



relung



dapat dilaksanakan dengan baik. Pengetahuan tentang



relungekologi bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara hewan tersebut hidupseperti tumbuh kembang, tempat tinggal



yang sesuai dengan



hewantersebut, serta interaksi hewan dengan hewan lainnya. Jadi, dalam sebuahkonservasi maka harus mempelajari segala hal yang berhubungan



22



denganhewan yang akan dilindungi. Konservasi di Indonesia telah dilakukanseperti konservasi Penyu hijau, burung maelo dan ikan bilih. B. Saran Dengan mengetahui konsep relung ekologi diharapkan manusia dapat



lebih



menjaga



perilaku



dalam



menggunakan



unsur-unsur



kehidupan,karena segala unsur kehidupan yang ada saat ini sangat berpengaruhterhadapkelangsungan seluruh makhluk hidup yang ada di bumi. Konsep relung ekologi dapat dimanfaatkan dalam konservasihewan langka, dengan demikian diharapkan konservasi hewan langkadapat diselenggarakan ditempat yang memiliki dimensi yang sama denganhabitat asli hewan langka tersebut (konservasi ex-situ).



23