Baluwarti Keraton Kasepuhan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

7



Bab



2



DESKRIPSI



2. 1. Historis  



Dari Purwaka Caruban Nagari dan Babad Cirebon dituliskan bahwa pada awalnya,



Cirebon adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa atau yang dikenal dengan Mbah Kuwu Cirebon I. Lama-kelamaan Cirebon berkembang menjadi sebuah desa yang ramai yang diberi nama Caruban. Diberi nama demikian karena di sana bercampur para pendatang dari beraneka bangsa, agama, bahasa, dan adat istiadat.  



Mata pecaharian sebagian besar masyarakat Cirebon kala itu adalah nelayan,



pekerjaan mereka diantaranya adalah menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai pesisir utara Laut Jawa, serta pembuatan terasi, petis dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon ini berkembang sebutan cai-rebon (bahasa sunda : air rebon), yang kemudian menjadi Cirebon. Wilayah Cirebon menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa. Dari pelabuhan Cirebon, kegiatan pelayaran dan perniagaan berlangsung antar-kepulauan nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Dengan berkembangnya daerah menjadi wilayah yang makin meluas, kemudian dikenal sebutan Cirebon larang untuk wilayah pesisir dan Cirebon girang utuk wilayah pedalaman dengan mayoritas masyarakat yang agraris. Selain itu, Cirebon juga tumbuh menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa Barat.  



Ki Gedeng Tapa, mulai membuka hutan, membangun bangunan pertama pada



tanggal 1 Sura 1358 (tahun Saka), bertepatan dengan tahun 1426 M yang kemudian dikenal dengan sebutan Witana. Sejak saat itu, mulailah para pendatang menetap dan membentuk masyarakat baru di Desa Caruban. Kuwu atau kepala desa pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang. Walangsungsang adalah putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangrancang, putri Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang meninggal Walangsungsang bergelar Ki Cakrabumi diangkat sebagai Kuwu Caruban II menggantikan Ki Gedeng Alang-alang dengan gelar Pangeran Cakrabuana. Ketika kakek Ki Gedeng Tapa meninggal, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskannya, melainkan mendirikan Istana Pakungwati, dan membentuk pemerintahan Cirebon. Dengan demikian yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Pangeran Cakrabuana (…. – 1479). Seusai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana disebut



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



8 Haji Abdullah Iman, dan tampil sebagai raja Cirebon pertama yang memerintah istana Pakungwati, serta aktif menyebarkan Islam di Jawa Barat.  Pada Tahun 1470 M, Syekh Syarif Hiyatullah yang merupakan buah perkawinan antara adik Pangeran Cakrabuana, yakni Nyai Mas Rarasantang, dengan Syarif Abdullah dari Mesir diutus ibundanya untuk kembali ke Nusa Jawa menemui uwaknya. Setelah berguru di Mesir, Mekah, Bagdad, Campa dan Samudra Pasai, Syekh Syarif Hidayatullah datang ke Nusa Jawa. Mula-mula beliau tiba di Banten kemudian menuju Jawa Timur dan mendapat kesempatan untuk bermusyawarah dengan para wali yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Musyawarah tersebut menghasilkan suatu lembaga yang bergerak dalam penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa dengan nama Wali Sanga. Sebagai anggota dari



lembaga tersebut, Syarif Hidayatullah datang ke Carbon untuk menemui uwaknya, yaitu Tumenggung Sri Mangana (Pangeran Walangsungsang) untuk mengajarkan Agama Islam di daerah Carbon dan sekitarnya, maka didirikanlah sebuah padepokan yang disebut Pekikiran (di Gunung Sembung sekarang) Setelah Sunan Ampel wafat tahun 1478 Masehi, maka dalam musyawarah Wali Sanga di Tuban, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikannya memimpin Dewan Wali Sanga dan disebut sebagai Wali Kutub. Akhirnya pusat kegiatan Wali Sanga dipindahkan dari Tuban ke Gunung Sembung di Carbon yang kemudian disebut juga sebagai



puser



bumi,



sedangkan



sebagai



pusat



pemerintahan



Keraton



Cirebon



berkedudukan di Keraton Pakungwati dengan sebutan GERAGE. Pada Tahun 1479 M, Syarif Hidayatullah dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan putrinya dari Nyai Mas Endang Geulis yang bernama Nyi Mas Pakungwati. Sejak saat itu Pangeran Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Carbon yang pertama dan menetap di Keraton Pakungwati. Sebagaimana lazimnya yang selalu dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana mengirim upeti ke Pakuan Pajajaran, maka pada tahun 1482 M setelah Syarif Hidayatullah diangkat menajdi Sultan Carbon I beliau membuat maklumat kepada Raja Pakuan Pajajaran PRABU SILIWANGI untuk tidak mengirim upeti lagi karena Kesultanan Cirebon sudah menjadi Negara yang merdeka. Selain itu Pangeran Syarif



Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga berulangkali memohon Raja Pajajaran untuk berkenan memeluk Agama Islam tetapi tidak berhasil. Hal tersebutlah yang mendorong beliau untuk memerdekakan diri dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Peristiwa merdekanya Cirebon dari kekuasaan Pajajaran tersebut, dicatat dalam sejarah tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, atau bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijriah atau 2 April 1482 M yang sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon.



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



9



Syekh Syarif Hidayatullah memimpin Keraton Cirebon cukup lama dikarenakan usia beliau pada waktu meninggal mencapai 120 tahun (1448 – 1568 M). Dalam Gedenk Boek Gemeente Cheribon 1906-1931 yang diterbitkan pada peringatan 25 tahun berdirinya Gemeente Cirebon tahun 1931 beliau disebut juga sebagai Syekh Israel Maulana Faletehan. Setelah wafat, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama Susuhunan Gunung Jati, atau juga bergelar Ingkang Sinuhun Kanjeng Jati Purba Penetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatura Rasulullah. Pertumbuhan dan perkembangan Keraton Cirebon yang pesat dimulai ketika pemerintahan Syarif Hidayatullah. Beliau kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti Keraton Cirebon dan Banten. Penerus Kesultanan Cirebon adalah putra bel iau dari Nyi Mas Tepasari, putri dari Ki Ageng Tepasan yang berasal dari Majapahit, sedangkan Kesultanan Banten dipimpin oleh putra beliau dari Nyi Mas Kawunganten. Dimasa kepemimpinannya pemerintahan Keraton Cirebon mengalami perkembangan pesat, selain itu dibidang keagamaan beliau mempunyai peran yang sangat besar dalam menyebarkan syiar Islam di Majalengka, Kuningan, Kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Ketika beliau sudah sepuh tahta kepemimpinan Keraton Cirebon diberikan kepada cucunya Pangeran Pesarean dan beliau melanjutkan dakwahnya tinggal di Gunung Sembung. Setelah Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya, calon kuat penggantinya adalah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pengeran Pasarean, cucu Syarif Hidayatullah. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal terlebih dahulu pada tahun 1565. Kekosongan pemerintahan



itu kemudian diisi oleh



pejabat istana sekaligus menantu Syekh Syarif



Hidayatullah yang menjadi tangan kanan beliau dalam melaksanakan dakwah. Pejabat tersebut adalah Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik tahta, secara resmi menjadi Sultan Cirebon sejak tahun 1568.  



Naiknya Fatahillah dapat terjadi karena dua kemungkinan pertama, keturunan Sunan



Gunung Jati, yaitu Pangeran Pasarean, Pangeran Jayakelana, dan Pangeran Bratakelana, meninggal lebih dahulu, sedangkan putra yang masih hidup, yaitu Sultan Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin), memerintah di Banten berdiri sendiri sejak tahun 1552 M. Kedua, Fatahillah adalah menantu Sunan Gunung Jati (Fatahillah menikah dengan Ratu Ayu, putri Sunan Gunung Jati), dan telah menunjukkan kemampuannya dalam memerintah Cirebon (1546 – 1568) mewakili Sunan Gunung Jati. Sayang, hanya dua tahun Fatahillah menduduki tahta Cirebon, karena ia meninggal pada 1570.  



Sepeninggal Fatahillah, tahta jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati, yaitu Pangeran



Emas. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I, dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun. Setelah Panembahan Ratu I meninggal pada tahun 1649,



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



10 pemerintahan kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Karim, karena ayahnya yaitu Panembahan Adiningkusumah meninggal dunia terlebih dahulu. Selanjutnya, Pangeran Karim dikenal dengan sebutan Panembahan Ratu II atau Panembahan Girilaya.  Pada masa pemerintahan Panembahan Girilaya, Cirebon terjepit di antara dua kekuatan, yaitu kekuatan Banten dan kekuatan Mataram. Banten curiga, sebab Cirebon dianggap mendekat ke Mataram. Di lain pihak, Mataram pun menuduh Cirebon tidak lagi sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi panas ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya saat



 



berkunjung ke Kartasura. Beliau kemudian dimakamkan di bukit Girilaya, Jogyakarta, dengan posisi sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri. Perlu diketahui, Panembahan Girilaya adalah juga menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma. Bersamaan dengan meninggalnya panembahan Girilaya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yakni para putra Panembahan Girilaya di tahan di Mataram. Dengan kematian Panembahan Girilaya, terjadi kekosongan penguasa. Sultan



  Ageng



Tirtayasa



segera



menobatkan



Pangeran



Wangsakerta



sebagai



pengganti



Panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan Ageng Tirtayasa pun kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu Trunajaya, yang pada saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram. Dengan bantuan Trunajaya, maka kedua putra Penembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan, dan dibawa kembali ke Cirebon. Bersama satu lagi putra Panembahan Girilaya, mereka kemudian dinobatkan sebagai penguasa kesultanan Cirebon.  



Panembahan Girilaya memiliki tiga putra, yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran



Kartawijaya, dan Pangeran Wangsakerta. Pada penobatan ketiganya di tahun 1677, kesultanan Cirebon terpecah menjadi tiga. Ketiga bagian itu dipimpin oleh tiga anak Panembahan Girilaya, yakni : 1. Pangeran Martawijaya atau Sultan Keraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh Abi Makarimi Muhammad Samsudin (1677 – 1703) 2.



Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677 – 1723)



3.



Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677 – 1713)



 



Perubahan gelar dari “panembahan” menjadi “sultan” bagi dua putra tertua Pangeran



Girilaya dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sebab, keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di Ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh,



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



11 rakyat, dan keraton masing-masing. Adapun Pangeran Wangsakerta tidak diangkat sebagai sultan, melainkan hanya panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para ilmuwan keraton.  



Pergantian kepemimpinan para sultan di Cirebon selanjutnya berjalan lancar, sampai



pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798 – 1803). Saat itu terjadilah pepecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.  



Kehendak Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Belanda yang mengangkatnya



menjadi Sultan Cirebon pada tahun 1807. namun Belanda mengajukan satu syarat, yaitu agar putra dan para pengganti raja Kanoman tidak berhak atas gelar sultan. Cukup dengan gelar pangeran saja. Sejak saat itu, di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu kesultanan Kacirebonan. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803 – 1811).  



Sesudah kejadian tersebut, pemerintah kolonial Belanda pun semakin ikut campur



dalam mengatur Cirebon, sehingga peranan istana-istana kesultanan Cirebon di wilayahwilayah kekuasaannya semakin surut. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, ketika kekuasaan pemerintahan kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan pengesahan berdirinya Kota Cirebon. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) P.Adipati Pasarean (P. Muhammad Arifin)n) P.Dipati Carbon I (P.Sedang Kamuning) Panembahan Ratu Pakungwati I (P.Emas Zainul Arifin) P.Dipati Carbon II (P.Sedang Gayam) Panembahan Ratu Pakungwati II (Panembahan Girilaya) P. Sjamsudin Martawidjaya (Sultan Sepuh I) P. Djamaludin (Sultan Sepuh II) P.Djaenudin Amir Sena I (Sultan Sepuh III) P.Djaenudin Amir Sena II (Sultan Sepuh IV) P. Sjafiudin/ Sultan Matangadji (Sultan Sepuh V) P.Hasanudin (Sultan Sepuh VI) P.Djoharudin (Sultan Sepuh VII) P.Radja Udaka (Sultan Sepuh VIII) P.Radja Sulaeman (Sultan Sepuh IX) P.Radja Atmadja (Sultan Sepuh X) P.Radja Alud Tadjul Arifin (Sultan Sepuh XI) P.Radja Radjaninigrat (Sultan Sepuh XII) PRA.Dr.H.Maulana Pakunigrat (Sultan Sepuh XIII) PRA Arief Natadingrat,SE (Sultan Sepuh XIV) PR. Lukman Zulkaedin,SH.MKn (Sultan Sepuh XIV) Skema : 2.1. Silsilah Sultan Keraton Kasepuhan Sumber : Keraton Kasepuhan



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



12



2.2. Deskripsi Keraton Kasepuhan Keberadaan Keraton Kesepuhan tidak bisa lepas dari



alun-alun yang ada



didepannya yang disebut sebagai Alun-alun Sangkala Buana. Dalam morfologi Kota-kota tradisional di pulau Jawa keberadaan pusat pemerintahan (keraton/kerajaan) menyatu dengan keberadaan alun-alun sebagai fasilitas komunal yang menampung berbagai macam kegiatan masyarakat. Biasanya di sebelah barat alun-alun terdapat masjid atau tempat ibadah dan pasar sebagai pusat perdagangan. Tatanan Kota tradisional Jawa mengacu pada sumbu utara-selatan dengan Keraton menghadap ke laut Jawa dan membelakangi Gunung Ciremai atau dikenal dengan istilah Angadep Jaladri Amungkur Giri (menhadap lautan dan membelakangi gunung). Hal tersebut mengacu pada tatanan morfologi kota yang disebut dengan Catur Gatra Tunggal. Alun-alun Sangkala Buana di Keraton Kasepuhan juga berfungsi sebagai tempat latihan keprajuritan yang diadakan pada hari Sabtu atau istilahnya pada waktu itu adalah Saptonan. Alun-alun juga difungsikan sebagai tempat peradilan dan pelaksanaan berbagai macam hukuman terhadap setiap rakyat yang melanggar peraturan seperti hukuman  cambuk dan tempat dilaksanakannya perayaan dan tradisi/adat istiadat Keraton. Pada bagian tengahnya dahulu terdapat sepasang pohon beringin, tetapi semenjak tahun 1930 beringin tersebut sudah tidak ada.



Gambar : 2.1. Morfologi Tata Ruang Keraton Kasepuhan Cirebon



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



13 Sumber : Keraton Cirebon, Kedutaan Belanda (1991) Di sebelah barat Keraton Kasepuhan terletak masjid negara yang dibangun pada masa wali sanga yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Di sebelah barat alun-alun berdiri bangunan masjid yang dinamai Sang Cipta Rasa, yang berarti (Sang=keagungan, Cipta=dibangun, Rasa=digunakan, artinya: bangunan besar ini dipergunakanlah untuk ibadah dan kegiatan agama).



2.2.1. Kajian Arsitektur Keraton Kasepuhan Cirebon Keraton Kasepuhan terbagi menjadi 2 komplek utama yaitu komplek Keraton lama yang disebut sebagai Dalem Agung Pakungwati yang saat ini sudah hancur dan menjadi situs dan Keraton sekarang yang dibangun pada masa Panembahan Ratu yang sekarang disebut sebagai Keraton Pakungwati. Dari penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Jawa Barat pada tahun 2019 kondisi bangunan didalam komplek Dalem Agung Pakungwati pada saat ini sudah tidak utuh lagi dan telah mengalami beberapa perubahan tanpa arahan cagar budaya sehingga menyebabkan perubahan tata letak dan bentuk bangunannya. Bagian yang tersisa utuh dari komplek Dalem Agung Pakungwati adalah bagian Siti Hinggil yang sekarang berada di depan komplek Keraton Kasepuhan Cirebon menghadap kearah alun-alun Sangkala Buana.



A. Dalem Agung Pakungwati Dalem Agung Pakungwati merupakan bangunan keraton awal yang dibangun oleh Pangeran Cakrabuana. Pada masa tersebut orientasi Keraton Cirebon berbeda dengan Keraton yang ada sekarang. Menurut sumber Babad Cirebon Naskah Mertasinga disebutkan : Ladjeng Pangeran Tjakrabuwana karsanipun wangun Padaleman sakidulipun Pakuwon Lemahwungkuk, sasampune



wangunan



madjeng ngaler, dunungipun salere Kali Krijan,



punika



waradin,



Pedaleman



dipun



nameni



Kraton



Pakungwati, antuk mendet nami putrinipun. Padaleman kawangun tjaraning Kraton, saklilingipun dipun damel kuta pangubeng, hing salebeting kuta pangubeng wangun panggenan-panggenan ibadah, kasebut Tadjug Agung, ladjeng wangun sumursumur kanggo susutji. Hing wekdal punika dateng daerah Tjirebon awit wonten Pedaleman wewangunipun Agung. Mila pedaleman punika kasebat Kraton Pakungwati, ingkang djumeneng hing Pedaleman punika Ki Kuwu Tjirebon II, ingkang djumeneng hing Kraton Pakungwati.



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



14 Atau bila diartikan adalah sebagai berikut : Kemudian Pangeran Cakrabuwana mendirikan Keraton yang terletak di sebelah selatan Pakuwan Lemahwungkuk dan menghadap kearah utara, sampai dengan sebelah utara Kali Kriyan . Setelah selesai bangunan tersebut dinamai Keraton Pakungwati sesuai dengan nama putri beliau. Bangunan Keraton tersebut dikelilingi oleh tembok, (kuta) keliling yag didalamnya terdapat bangunan untuk beribadat yang disebut sebagai Tajug Agung dan dilengkapi dengan sumur-sumur untuk bersuci. Pada masa itu didaerah Cirebon belum ada bangunan besar, oleh karena itu tempat tinggal Pangeran Cakrabuana tersebut kemudian disebut Keraton Pakungwati. Disebutkan pula bahwa yang mendiami tempat tinggal tersebut adalah Kuwu Cirebon II yaitu Pangeran Cakrabuana. Kekuasaannya meliputi wilayah Caruban Nagari dan mengutamakan pada perkembangan agama Islam. Rakyat dan masyarakat mendukung



pemerintahan



Pangeran



Cakrabuana,



malah



Pemerintahan



Agung



(Kerajaan Siliwangi Pajajaran) memberikan hadiah berupa umbul-umbul, payung, pedang dan kandaga, serta gelar Adipati kepada Pangeran Cakrabuana1 Tak berapa lama setelah itu Pangeran Cakrabuana juga mendirikan masjid di sebelah timur Keraton Pakungwati, diluar tembok kuta keliling dan diberi nama Masjid Pajlagrahan. Untuk bersuci dibuat sumur sepasang yang disebut Sumur Kilayu dan Sumur Panglipur. Pembangunan Masjid tersebut dilakukan secara gotong royong (grubuwan). Oleh karena itu tempat disekitar sumur tersebut kemudian dikenal dengan nama Grubugan dari kata grubuwan. Sejak itu bendera Islam di Cirebon terdengar sampai dimana-mana. Dalam Laporan



Arkeologi VIRTUAL RECONSTRUCTION DALEM AGUNG



PAKUNGWATI KERATON KASEPUHAN, CIREBON yang disusun oleh Balai Arkeologi Jawa Barat disebutkan bahwa Dalem Agung Pakungwati adalah satu-satunya peninggalan keraton atau kediaman penguasa dari masa peralihan ke kerajaan Islam, menurut beberapa catatan dibangun sekitar pertengahan kedua abad ke-15. Dimasa itu para penguasa muslim mulai menggantikan sistem kenegaraan sebelumnya yang berlandaskan kebudayaan Hindu-Jawa, tetapi kebudayaan wadagnya (material culture), terutama arsitektur, masih menggunakan teknologi dan tipologi sebelumnya dengan beberapa penyesuaian. Tipologi yang baru sama sekali adalah masjid, yang memang menampung fungsi dan syarat baru serta menjadi lambang kekuasaan politik yang baru.



1



Babad Cerbon Naskah Mertasinga Bab Adegipun Kraton Pakungwati, halaman 84



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



15 Bangunan utuh yang masih tersisa dari peninggalan keraton lama tersebut adalah komplek Siti Inggil yang terletak dibagian depan Keraton Kasepuhan sekarang menghadap ke Alun-alun Sangkala Buana. Selain itu terdapat Situs Rara Denok (sekarang terletak di sebelah barat Dalem Agung Pakungwati di halaman dalam Museum Pusaka Keraton Kasepuhan). Bangunan tersebut diperkirakan dahulu adalah tempat Gedong Jimat (tempat penyimpanan benda-benda pusaka). Pada tahun 2013, diwaktu pelaksanaan revitalisasi Keraton Kasepuhan Cirebon pada saat peggalian didepan museum kereta Singa Barong ditemukan struktur bata yang melintang tegak lurus arah Taman Dewandaru. Diperkirakan struktur tersebut adalah bagian dari struktur kolam yag mengelilingi bangunan Rara Denok. Dalam Carub Kandha Carang Seket [Sudibyo Z.H. (alih aksara); Sudjana, T.D. (alih bahasa) (1980) Carub Kandha Carang Seket. [ Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.], Dalem Agung Pakungwati disebutkan di dua tempat:



XV. SINOM 11. ... /Cakrabuwana ing kana agegarwa 12. Putrane sang Sri Mangana/ kang nami Kencanawati/ wus kinatur in pinutra/ careming ajatuh krami/ kaduga asesiwi/ kekalih estri winastanan/ Nyi Dalem Pakungwati/ ingkang jalu sinebut nama Pangeran 13. Pangeran Carebon punika/ marmane sami amukim/ ing dalem punika/ Dalem Agung kuloneki/ Pajalagrahan dadi/ daleme saturun-turun/ mbesuk dumugi arja/ nipun kangjeng Sunan Jati/ pon ing kono anggonipun padaleman. 14. Kana kocap sasaka jarak payonipun godhong jati/ pribasane panor sabda/ reh aku nanggonan doip/ tatapi pakir miskin/ wong ngabdi ing kana kumpul/ angadhep Cakrabuwana/ yen mbesuk manawi nuli/ angratoni sasirnane ramanira [hal. 109-110] dengan terjemahan: o



Cakrabuwana, menikah dengan anak Sri Mangana yang bernama Kencanawati, agar punya keturunan. Sesudah menikah berputera dua, yang perempuan diberi nama Nyi Dewi Pakungwati, yang lelaki bernama Pangeran Carbon.



o



Mereka berdiam bersama di Dalem Agung, di sebelah barat (masjid) Pajalagrahan, yang akan ditinggali turun-temurun sampai jaman kejayaan Sunan Gunung Jati.



o



Dikatakan rumah itu bertiang (kayu) jarak dan beratap daun jati, sebagai kiasan karena kesederhanaannya. Namun fakir miskin dan para pengikutnya berkumpul menghadap



Cakrabuwana,



karena



ayahandanya



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



berharap



ia



menjadi



raja



sepeninggal



16



Dalam Babad Cerbon naskah “Mertasinga” Pembangunan Kraton Pakungwati dituliskan berbeda : XXII PUCUNG 33. Komarane pan ngebeki jagat iku, kang sinebut nama, Kanjeng Sinuhun Jatine, ingkang linggih Pakungwati ingkang mulya 34. Para geden para wadya gih puniku, angamini sedaya, ing jenenge pagustene, nulya ana ing karsane wangun pura 35. Ya ing Carbon ingkang den linggih iku, pramila katelah dalem magung Pakungwatine, dalem magung iku ingkang lininggiyan. 36. Patonipun nganggo roning jati iku, sasakane jarak, tan kenang inaprajane, berkahipun angaubi ya sedaya. [hal. 316] dengan terjemahan: o



Cahaya Kanjeng Sinuhun Jati, yang berkedudukan di Pakungwati, memenuhi seluruh jagat.



o



Para pembesar dan sanak saudara yang hadir semua setuju akan nama yang diberikan (oleh) kepada junjungannya itu. Kemudian dibangun pura di Carbon tempat kedudukannya yang kemudian dikenal dengan nama Dalem Agung Pakungwati. Sebuah pura yang sederhana 'beratap daun jati dan bertiang kayu jarak'. Tetapi berkahnya mengayomi semuanya.



[hal. 68] Dari dua hal tersebut terdapat perbedaan tentang siapa yang membangun Dalem Agung



Pakungwati.



Dalam



naskah



yang



pertama



disebutkan



adalah



Pangeran



Cakrabuwana sedangkan dalam Naskah kedua adalah Sinuhun Gunung Jati. Hal tersebut bisa saja terjadi dikarenakan Dalem Agung Pakungwati dibangun secara bertahap dan mengalami perkembangan. Mengenai bentuk awal dari Dalem Agung Pakungwati tidak ada petunjuk yang dapat dijadikan sebagai sumberdata, akan tetapi pada peta lama Cirebon yang dibuat oleh VOC untuk menunjukkan letak benteng De Bescherming dalam koleksi KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde). Yang dibuat sekitar abad 17 terlihat blok Keraton Kasepuhan yang disebut dengan Paseban van Sultan Seppo dengan orientasi kearah utara selatan dan sungai yang membelah ditengahnya kearah timur barat (Sungai Sipadu)



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



17



Gambar : 2.2. Peta lama Cirebon yang dibuat sekitar abad ke-17. Keraton Kasepuhan terletak pada blok g dan h Sumber : Arsip KITLV Dalam laporan studi teknis yang dilakukan oleh kedutaan Belanda tahun 1991 terlihat bahwa di komplek Dalem Agung Pakungwati hanya tersisa puing-puing dan kolam dengan tembok keliling dan bangunan paseban didepannya. Tidak disebutkan adanya bangunan lain yang utuh didalam komplek Dalem Agung Pakungwati terebut, seperti tercantum dalam uraian berikut : “ Berbatasan dengan area yang terbuka untuk umum, terdapat sisa-sisa tembok dan kolam-kolam bekas istana terdahulu Kraton Pakungwati yang sudah kami sebut diatas. Kraton ini tidak mungkin dibangun lagi menjadi komplek gedung, karena puing-puingnya kurang banyak dan tidak ada catatan tentang bentuk dan teknik bangunannya yang asli. Paling-paling hanya dapat dibangun tembok sepanjang beberapa puluh meter kubik. Bahkan itu pun sudah merupakan masalah teknis, seperti akan dijelaskan nanti”



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



18



Gambar : 2.3. Denah Komplek Keraton Kasepuhan tahun 1991 Warna kuning adalah perkiraan komplek Keraton lama Sumber Keraton Cirebon, Kedutaan Belanda-1991 Kondisi di Komplek Dalem Agung Pakungwati sekarang dikelilingi oleh tembok kuta kosod



yang



merupakan



hasil



rekonstruksi



ulang



pada



tahun



1997



menjelang



dilaksanakannya Festval Keraton Nusantara (FKN) yang ke-2 di Cirebon. Untuk memasuki komplek tersebut terdapat sebuah gerbang lawang kori dengan pintu kayu berukir. Kemudian setelah memasuki halaman terbuka terdapat beberapa halaman lain yang temboknya telah dsusun kembali dan jalan setapak menggunakan paving. Pada halaman dalam terdapat beberapa kolam dan sumur diantaranya adalah sumur tujuh, sumur upas, sumur kejayaan dan sumur bandung.



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



19



Gambar : 2.4. Gerang Lawang Kori memasuki Komplek Dalem Agung Pakungwati



Gambar : 2.5. Gerang Lawang Kori memasuki Situs Dalem Agung Pakungwati



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



20 Situs Dalem Agung terletak di halaman dalam yang tertutup dan tidak diperkenankan dimasuki oleh wanita. Didepannya terdapat bangunan Paseban dengan bentuk atap limasan. Bangunan-bangunan hasil rekonstruksi yang dilakukan tahun 1996 didalam situs Dalem Agung Pakungwati dibuat tanpa dinding seperti pendopo dengan tiang-tiang bangunan berdiri diatas pedestal atau umpak berbentuk prisma terpancung terbuat dari batu. Bentuk atapnya ada yang berbentuk limasan dan ada pula yang berbentuk tajug bersusun dua.



Gambar : 2.6. Bangunan Paseban didepan situs Dalem Agung Pakungwati dengan atap berbentuk limasan dan gerbang pagar kayu



Gambar : 2.7. Bangunan di dalam situs Dalem Agung Pakungwati hasil rekonstruksi tahun 1991 Di halaman selanjutya terdapat taman Kanyaputri dengan hiasan karang-karangan atau wadasan khas Cirebon seperti halnya yang terdapat di Taman Air Gua Sunyaragi. Diperkirakan taman tersebut dibangun pada periode yang sama. Taman ini tidak terlalu luas



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



21 dan terdapat relung-relung didalamnya Disebelahnya terdapat sumur bandung yang juga dikelilingi oleh tembok bata kuta kosod. Komplek halaman setelah taman ini dahulu meruakan komplek keputren Dalem Agung Pakungwati. Didalam komplek tersebut masih tersisa reruntuhan bentuk gerbang atau lawang kori dan tembok aling-aling yang biasa dibuat sebagai batas penghalang pandangan agar orang yang akan memasuki komplek tersebut tidak dapat melihat langsung kearah dalam. Dari halaman tersebut terdapat debuah gerbang kori dengan pintu kayu untuk menuju halaman terbuka diluar komplek Dalem Agung Pakungwati.



Gambar : 2.8. Taman Kanya Putri denga kolam dan hiasan karang wadasan pada dindingnya



Gambar : 2.9. Halaman Keputren dan gerbang keluar dari Dalem Agung Pakungwati



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



22 Selain komplek tersebut yang tersisa dari Keraton lama adalah situs Sirara Denok yang terletak didalam Museum Pusaka yang dibangun pada tahun 2017. Sebelum Mesum tersebut dibangun, situs ini terletak dihalaman samping selatan Museum Kereta Singa Barong. Yang tersisa dari situs ini kemungkinan hanya bagian bangunan gerbangnya saja yang dahulu berupa lawang kori dengan bentuk lengkung busur diatasnya.



Gambar : 2.10. Sisa reruntuhan Gedong Pusaka Sirara Denok yang sekarang berada di halaman dalam Museum Pusaka Keraton Kasepuhan



Hasil



penelusuran



Rekonstruksi



Virtual



dari



Balar



Jawa



Barat



menyebutkan Dalem Agung Pakungwati pertama kali dibangun pada masa awal Cirebon, diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-15. Pada masa itu, yaitu masa menyurutnya hegemoni Majapahit, bersamaan dengan kebangkitan ‘federasi’ negara-negara Islam di sepanjang pantai utara Jawa (pasisiran). Budaya material Pasisiran, khususnya dalam arsitektur, diwakili oleh istana Majapahit berupa kompleks kediaman yang terdiri atas sekelompok pekarangan atau palebahan atau mandala (seperti yang masih hidup di Bali), yang dipisahkan oleh tembok padat, biasanya dari batu bata, dan dihubung-hubungkan oleh pintu dan gapura dalam berbagai bentuk dan ukuran. Seperti yang masih tampak di Bali, maka pembagian pekarangan ini didasarkan pada konsep sangamandala atau



sembilan



pusat



(=pekarangan),



yang



diangkat



dari



astadikpalaka



(kedudukan delapan dewa di kedelapan mata angin) ditambah titik pusat. Pada budaya Pesisiran, yang sudah memeluk agama Islam, nampaknya penyesuaian yang terjadi lebih jauh lagi. Penyesuaian paling mendasar adalah dihapusnya Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



23



sanggah atau pamerajan sebagai tempat pemujaan dewa serta leluhur serta bale semanggen untuk menyimpan jenazah sebelum pemulasaraan lebih lanjut. Sebagai ganti sanggah adalah masjid atau tajug yang meminta persyaratan berbeda. Jika sanggah sifatnya tertutup untuk umum, hanya untuk keperluan penghuni, maka masjid justru sebaliknya, terbuka untuk semua orang (jamaah). Oleh karena itu, rujukan yang utama yang dilakukan mengacu pada istana atau keraton Majapahit, yang dibuat oleh W.F. Stutterheim [Stutterheim, W.F. (1948) De Kraton van Madjapahit. ] dan telah dikajiulang serta diperkuat oleh A. Gomperts, A. Haag dan P. Carey (2008, 2010, 2012). Rujukan tambahan adalah hasil pengamatan atas puri di Bali serta peninggalan istana Kutagede dan Plered di Yogyakarta [Adrisijanti, I. (2000) Arkeologi Perkotaan Mataram Islam. Dari penelusuran tersebut juga didapat bahwa Dalem Agung Pakungwati dibangun pada 2 tahap yaitu pada masa Pangeran Cakrabuwana dimana bangunan yang ada masih sangat sederhana dan kemudian dikembangkan pada masa Sunan Gunungjati dengan mengadakan perluasan bangunan kearah barat dan selatan serta mengubah orientasi komplek keraton yang tadinya kearah timur-barat menjadi kearah utara-selatan.



Gambar : 2.11. Hasil Rekonstruksi Dalem Agung Pakungwati era Pangeram Cakrabuwana Sumber : Laporan Rekonstruksi Dalem Agung Pakungwati – Balai Arkeologi Jawa Barat



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



24 Seperti disebutkan terdahulu bahwa sebelum Masjid Pajlagrahan didirikan didalam Dalem Agung Pakungwati berdiri Tajug Agung sebagai tempat beribadah. Sementara setelah dibangunnya Masjid maka Masjid Pejlagrahan adalah bagian depan dari Keraton di era Kuwu Cirebon II yang bukan hanya digunakan penghuni Dalem Agung saja tetapi terbuka untuk umum. Bagian depan Dalem Agung adalah paseban, yang menjadi ruang tunggu untuk diundang masuk ke Jinem Arum di sisi baratnya. Jinem Arum menjadi tempat penguasa menerima tamu atau bersidang (setara dengan Saren Agung, di puri Bali). Hal ini diperkuat dengan masih bertahannya larangan bagi wanita untuk masuk ke dalam palebahan ini sampai sekarang. Bagian paling dalam, di sisi barat jinem Arum, adalah kediaman permaisuri (padmi) dan anggota keluarga wanita lainnya. Bahwa di bagian ini terdapat kolam dari batu yang terawat baik memperkuat bahwa kawasan ini adalah kawasan wanita. Bangunan yang digunakan pada era ini diperkirakan menyerupai bentuk bangunan seperti yang di Trusmi atau Witana di Kanoman dengan arah hadap ke Timur dengan denah berbentuk persegi Panjang. Atapnya diperkirakan menggunakan alang-alang seperti pada umumnya bangunan di komplek Kabuyutan Trusmi



Gambar : 2.12. Dugaan Bentuk Arsitektur Bangunan di Dalem Agung Pakungwati pada era Pangeran Cakrabuwana (kiri : Saren Agung di Bali dan kanan: Bangunan di Koplek Kabuyutan Trusmi) Sumber : Laporan Rekonstruksi Dalem Agung Pakungwati – Balai Arkeologi Jawa Barat



Perubahan besar terjadi ketika Sunan Gunung Jati diangkat menjadi penguasa yang mandiri. Catatan mengenai pembangunan Dalem Agung Pakungwati dan Masjid Agung Sang Cipta Rasa terdapat pada “Naskah Kreta Bumi Tritya Sarg” (Buku Ketiga) yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta pada Tahun 1670 dan diterjemahkan oleh TD Sudjana (1987).didalamnya disebutkan :



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



25 (92) Pada tahun 1421 Saka (1499/1500 Masehi) Sultan Demak Raden Patah dan para pengikutnya serta para Wali antara lain Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus,Sunan Drajat, Syekh Bentong dan beberapa pasukan Bhayangkari kerajaan dan para pengawal pribadi Sultan Demak berdatangan ke Cirebon tatkala matahari ada di atas Keraton Pakungwati (tengah hari). Sunan Cirebon dengan para pembesar Negara, para Kyai Gendeng, para Komandan Panglima Perang menyambut dengan gembira atas kedatangan mereka para pembesar Negara dan para wali serta Sultan Demak.Dengan mengadakan jamuan yang lezat-lezat, lalu mereka mengutarakan segala rencana dan pembangunan



negaranya



yang



cukup



luas



dan



besar.Semua



rencana



pembangunan itu didukung oleh masyarakat Demak dan Cirebon.Di Demak sendiri sudah membangun masjid Negara, kemudian Cirebon setahun kemudian masjid Negara di Cirebon. (93) (93) telah berkumpul masyarakat sebanyak 500 orang, 300 orang dari cirebon dan 200 orang dari Demak. Seluruh para tukang (tenaga ahli) diketuai oleh Sunan Kali Jaga,



karena



yang



dipercayakan



kepadanya



ialah



Raden



Sepat



(ahli



bangunan/arsitektur) sebagai wakil Sunan Kalijaga ia dari Majapahit yang sudah menjadi muslimdan sebagai orang pengikut setia kerajaan Demak. Adapun pekerjaan yang akan digarapnya adalah membangun masjid besar yang kemudian masjid itu dinamai “ Sang Cipta Rasa”, Kedua membangun tembok keliling Keraton Pakungwati. Ketiga, membangun jalan di sepanjang pinggir laut dari Selatan ke Utara yaitu dari Keraton Pakungwati sampai ke Bukit Amparan. Sedangkan jalan-jalan yang melintasi daerah Panjunan selalu menimbulkan banjir, serta selalu dalam keadaan berlumpur dan selalu “ambles” apabila teinjakinjak kuda dan pedai, oleh karena itu semua masyarakatnya menyebutnya dengan nama(94) (94) Karanggetas, selanjutnya Sunan Cirebon memutuskan Ki tLebe Pakungwati Kedaton ialah Ki Musa namanya untuk diperintahkan penanggungjawab pemeliharaan masjid Negara Sang Cipta Rasa itu kepadanya…. dst Walaupun tidak ditemukan catatan yang jelas mengenai bentuk bangunan pada masa itu, tetapi diketahui dimulainya pembuatan Sitihinggil sebagai bagian dari Dalem Agung Palungwati dipimpin oleh Sunan Kalijaga yang mengutus Raden Sepat sebagai wakilnya. Pada pembangunan tersebut arah orientasi keraton berubah menjadi arah utara-selatan dan kemudian disusul dengan dimulainya pembangunan Masjid Negara yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa setahun setelah Masjid Demak didirikan.. Selain



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



26 membangun tembok kuta kosod yang mengelilingi keraton, pembangunan infrastruktur juga dilakukan dengan membenahi jalan dari Keraton menuju Amparan Jati (komplek Astana Gunung Jati sekarang) dan memperbaiki jalan Karanggetas sampai ke Panjunan Dalem Agung Pakungwati sendiri nampaknya diperluas seperti pada gambar berikut :



Gamb ar : 2.13. Perluasan Dalem Agung Pakungwati pada era Sinuhun Gunung Jati yang mmengubah arah orientasi Keraton menjadi kearah utara-selatan Sumber : Laporan Rekonstruksi Dalem Agung Pakungwati – Balai Arkeologi Jawa Barat



Keterangan Gambar : A - ancak saji (pelataran depan), sekarang lapangan giyanti B - kemandungan (untuk persiapan menghadap) C - sri manganti (menunggu panggilan) D - paseban (ruang depan/ foyer) E - jinem arum (kediaman raja) F - natar (pelataran tengah, untuk upacara) G - padmi (ruangan permaisuri)



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



J - taman sari K - mungkin tempat para abdi dan pengawal (magersari) L - kediaman kerabat/ saudara raja M - mungkin kediaman ibusuri N - kediaman kerabat/ saudara raja O - pagedogan atau pekapalan, tempat kuda dan kendaraan P - tidak jelas, mungkin tempat tidur tamu (rangki)



27 H - tidak jelas, mungkin untuk para selir



Q - lumbung dan dapur



I - Sirara denok (bale kambang)



Gambar : 2.13. Perkiraan Susunan Tata Ruang Komplek Dalem Agung Pakungwati pada era Sinuhun Gunung Jati Sumber : Laporan Rekonstruksi Dalem Agung Pakungwati – Balai Arkeologi Jawa Barat



Gambar : 2.14. Perkiraan Susunan Tata Ruang Komplek Inti yang disebut Dalem Arum Pada Komplek Dalem Agung Pakungwati pada era Sinuhun Gunung Jati Sumber : Laporan Rekonstruksi Dalem Agung Pakungwati – Balai Arkeologi Jawa Barat



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



28 Meskipun kondisi Dalem Agung Pakungwati sudah tidak utuh lagi akan tetapi jejak peninggalan masa lampau tentang keberadaan keraton Cirebon periode awal perlu untuk dilestarikan sebagai jejak perkembangan sejarah awal mula pendirian Keraton Cirebon.



B. Keraton Pakungwati Komplek Keraton Pakungwati ini didirikan pada tahun 1529 oleh Pangeran Mas Moh.Arifin II di sisi selatan Dalem Agung Pakungwati, cicit dari Sunan Gunung Jati. Pembangunan Keraton kemudian dilanjutkan oleh Pangeran Kararangen atau Pangeran Harya Cirebon adik dari Pangeran Jamaludin (Sultan Sepuh II). Beliau dikenal sebagai Pangeran yang cakap dan pandai. Beliaulah yang membuat motif hiasan kembang kanigaran yang terdapat di Bangsal Prabayaksa Keraton Ksepuhan. Selain meneruskan pembangunan Keraton beliau juga yang meneruskan pembangunan Taman Air Gua Sunyaragi pada tahun 1628 dengan dukungan masyarakat Tionghoa yang mengungsi dari Rembang karena Kerajaan Demak tengah mengalami kekacauan akibat Perang Trunajaya.2 Tata letak bangunan di komplek Keraton Pakungwati atau yang sekarang dikenal dengan Keraton Kasepuhan Cirebon disebut juga sebagai Baluwarti yang meliputi urutan bangunan dari depan sampai ke belakang dengan orientasi arah utara.menuju ke selatan Orientasi Keraton mengikuti sumbu imajiner gunung dan laut dimana Keraton menghadap kearah Laut Jawa dan membelakangi Gunung Ciremai. Di belakang Keraton Kasepuhan berbatasan dengan Sungai Kriyan terdapat bangunan Lawang Sanga yang dahulu merupakan pintu gerbang utama menuju Keraton dari arah perairan. Keseluruhan tatanan Baluwari Keraton Kasepuhan Cirebon terlihat pada gambar berikut :



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



29



Gambar : 2.15 Baluwarti Keraton Kasepuhan Cirebon Sumber : Masterplan Kawasan Keraton Cirebon (2012) 2



. Irianto, Drh.H.R, Bambang. Ki Tarka Suarahardja, , Rumah Budaya Nusantara Pesambangan Jati Cirebon, Sejarah Cirebon Naskah Keraton Kacirebonan, halaman 124-126



Susunan Baluwarti Keraton Kasepuhan dari mulai depan sampai belakang dapat diuraikan sebagai berikut :



1. Pancaniti Sebelum memasuki gerbang komplek Keraton Kasepuhan terdapat dua buah pendopo. Pendopo sebelah timur disebut Pancaniti yang merupakan tempat para perwira keraton ketika diadakannya latihan keprajuritan di alun-alun. Panca berarti jalan, dan niti dari kata nata atau raja, yang dapat juga berarti atasan. Bangunan ini berfungsi sebagai: a. Tempat perwira yang sedang melatih perang-perangan b. Tempat istirahat setelah berbaris c. Tempat jaksa yang akan menuntut hukuman mati terdakwa Pancaniti adalah bangunan tanpa dinding dengan 4 buah tiang saka utama dan 12 saka panamping terbuat dari



kayu jati yang berdiri diatas umpak batu.



Bangunan ini mempunyai atap berbentuk tajug dengan penutup atap dari genteng dengan momolo diatasnya. Bagian lantai tengah mempunyai dibuat lebih tinggi daripada lantai sekelilingnya dan dikelilingi oleh pagar pengaman dari besi yang dipasang belakangan.



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



30 Bangunan Pancaniti mengalami perubahan pada bagian plafond pada waktu Kegiatan Revitalisasi Keraton yang dilaksanakan pada tahun 2013. Pekerjaan yang dilaksanakan meliputi : 



Penggantian atap genteng







Bagian plafond yang semula dipasang anyaman bambu diganti dengan papan kayu jati.







Penggantian keramik penutup lantai







Pengecatan dan perapihan



Gambar : 2.16 Bangunan Pancaniti Keraton Kasepuhan Cirebon Tahun 1915 Sumber : Arsip KITLV-Leiden



Gambar : 2.17 Perbandingan kondisi Bangunan Pancaniti Keraton Kasepuhan Cirebon (sebelah kiri tahun 1991, sebelah kanan kondisi sekarang)



2. Panca Ratna Bangunan ini terletak di sebelah barat jembatan/kreteg pangrawit atau gerbang



keraton.



berkumpulnya



Disebut Pancaratna yang



dahulunya



para punggawa Keraton, lurah atau



pada



merupakan zaman



tempat sekarang



disebut pamong praja. Panca berarti lima, yang berarti Panca Indra yaitu Pangucap,



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



31 pangirup (hidung), pangrungu (telinga), pandeleng (mata) dan nafsu; selain itu panca dapat diartikan juga sebagai jalan. Ratna berarti suka, sehingga panca ratna dapat diartikan jalannya kesukaan. Bangunan Panca Ratna berfungsi sebagai tempat seba, atau menghadap para penggede desa yang kemudian diterima oleh para Demang atau Wedana Keraton. Para penggede desa tersebut setiap hari Sabtu pertama diwajibkan



bermain



sodor



kuda



yang



semacam



perang-perangan



dengan



mengendarai kuda, yang kemudian kegiatan ini disebut Sabton. Sultan biasanya sangat menyukai permainan ini dan melihatnya dari Siti Hinggil dengan para pengiringnya. Bangunan ini mempunyai tiang saka utama dari kayu dengan umpak bata plester bercat



putih yang menopang atap berbentuk limasan. Sebagai saka



panamping terdapat tiang-tiang kolom berbentuk doric dari bata plester dan dicat warna putih. Sekeliling bangunan juga dikelilingi pagar pengaman seperti halnya di Pancaniti. Bagian lantai tengah sampai saka panamping pada bangunan Pancaratna mempunyai ketinggian yang sama, tidak dipertinggi seperti di Pancaniti Pada saat Revitalisasi Keraton Tahun 2013 bangunan juga mengalami perbaikan berupa: 



Penggantian atap genteng







Penggantian keramik penutup lantai







Pengecatan dan perapihan



Gambar : 2.18 Perbandingan kondisi Bangunan Pancaniti Keraton Kasepuhan Cirebon (sebelah kiri tahun 1991, sebelah kanan kondisi sekarang)



3. Kreteg Pangrawit Memasuki Keraton terdapat jembatan yang melintasi Sungai Sipadu yang merupakan pintu masuk utama menuju Komplek Keraton Kasepuhan. Sipadu . berarti perbatasan Menurut laporan Kedutaan Belanda tahun 1991 jembatan tersebut dahulu merupakan jembatan angkat. Tetapi tidak disebutkan sejak kapan kemudian



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



32 berubah menjadi jembatan mati seperti sekarang. Jembatan atau Kreteg Pangrawit saat ini sudah mengalami perubahan yang cukup signifikan dikarenakan dibuat gerbang candi bentar dari bata dan pagar besi dengan konstruksi atap berbentuk limasan beratap genteng sirap yang menutupi bagian atas jembatan. Gerbang dan penutup atap tersebut dibuat pada tahun 2014.



Gambar : 2.19 Jembatan Pangrawit Keraton Kasepuhan Cirebon sekarang



Gambar : 2.20 Jembatan Pangrawit Keraton Kasepuhan Cirebon tahun 1915 Sumber : Arsip KITLV Leiden



4. Siti Hinggil



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



33 Memasuki jalan kompleks Keraton di sebelah kiri terdapat bangunan yang cukup tinggi dengan tembok bata kokoh disekelilingnya. Bangunan ini bernama Siti Hinggil atau dalam bahasa Cirebon sehari-harinya adalah lemah duwur yang berarti tanah yang tinggi. Sesuai dengan namanya bangunan ini memang tinggi dan nampak seperti kompleks candi. Bangunan ini didirikan pada tahun 1529, pada masa pemerintahan Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Tembok bagian utara kompleks Siti Hinggil masih asli sedangkan sebelah selatan sudah pernah mengalami pemugaran/renovasi. Di dinding tembok kompleks Siti Hinggil terdapat piring-piring dan porselen-porselen yang berasal dari Eropa dan negeri Cina. Di pelataran depan Siti Hinggil terdapat meja batu berbentuk segi empat dengan dua buah bangku Panjang yang diberinama Kalingga dan Gujarat. Meja ini merupakan bagian tambahan yang dibuat pada tahun 1800-an. Di tengahnya dahulu terdapat hiasan berbentuk bunga jantung tetapi kemungkinan kaena rusak sekarang bagian konstruksi jantung tersebut telah dipindahkan ke samping bangunan Wanowati di utara Siti Hinggil.



Gambar : 2.21 Meja dan tempat duduk batu Kalingga dan Gujarat di halaman depan Siti Hinggil, dengan hiasan berbentuk jantung dibagian depannya, Sumber : Colectie Tropenmuseum(1920-19300 Arsip KITLV Leiden (1915)



Siti Hinggil memiliki dua gapura dengan bentuk candi bentar. Gapura yang terletak di sebelah utara bernama Gapura Adi sedangkan gapura di sebelah selatan bernama Gapura Banteng. Di bawah Gapura Banteng ini terdapat  candra sengkala dengan tulisan Kuta Bata Tinata Banteng yang jika diartikan adalah tahun 1451 Saka yang merupakan tahun pembuatannya (1451 Saka = 1529 M). Di dalam kompleks Siti Hinggil terdapat lima bangunan tanpa dinding yang memiliki nama dan fungsi tersendiri. Bangunan tersebut antara lain: Malang



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



34 Semirang, Pendawa Lima, Semar Tinandu, Mande Pangiring, dan bangunan Mande Karasemen.



Gambar : 2.22 Denah Kompleks Siti Hinggil Keraton Kasepuhan. Sumbere : DED Masterplan Keraton-Keraton Cirebon, 2012



Gambar : 2.23 Gapura Adi dan Gapura Banteng yang menjadi gerbang masuk kompleks Siti Hinggil Sumber : Dokumentasi TACB



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



35



Gambar : 2.24 Perbandingan Kompleks Siti Hinggil Keraton Kasepuhan. Dari masa ke masa (atas kiri tahun 1915, atas kanan: tahun 1991, bawah : kondisi :sekarang) Sumber : Arsip KITLV Leiden, Keraton-keraton Cirebon - Kedutaan Belanda 1991 & Dokumentasi TACB



Kompleks Siti Hinggil tersebut mengalami beberapa perubahan terutama pada halaman depan (sisi selatan). Tampak ada bagian-bagian bangunan yang sekarang telah hilang seperti hiasan didepan meja batu dan tugu berbentuk jantung diujung tembok keliling halaman depan. Selain itu pada bagian kompleks utama bangunan juga telah mengalami perubahan bahan penutup atap yang semula genteng menjadi sirap jati ketika diadakan perbaikan oleh Jawatan Purbakala Pemrintah Belanda tahun 1936, kemudian dirubah lagi menjadi sirap ulin (belum ditemukan catatan tahun pemugaran) dan setelah Revitalisasi Keraton 2013 dikembalikan lagi menjadi sirap jati. Dari catatan yang disusun oleh Kedutaan Belanda dalam buku Keraton-keraton Cirebon (1991) disebutkan bahwa pada tahun 1936 Siti Inggilnya dipugar persis seperti keadaan semula oleh seorang arsitek Belanda untuk Jawatan Purbakala Bangunan utama yang terletak di tengah bernama Malang Semirang dengan denah berbentuk persegi Panjang serta jumlah tiang utama dari kayu jati sebanyak 6 buah yang melambangkan rukun iman. Jika dijumlahkan keseluruhan tiangnya berjumlah 20 buah yang melambangkan 20 sifat-sifat Allah SWT. Bangunan ini merupakan tempat sultan melihat latihan keprajuritan atau melihat pelaksanaan hukuman. Bangunan ini mempunyai bentuk atap limasan dengan penutup atap sirap dengan bagian bubungan mengarah ke timur barat dan umpak batu marmer putih dengan ukiran yang indah, Pada bagian lagit-langit terdapat bagian tumpangsari yang juga berhias ukiran. Bangunan tercatat sudah mengalami beberapa kali renovasi.



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



36



Gambar : 2.25 Perbandingan Kondisi Bangunan Malang Semirang. Sebelum dan seyelah dilakukan pemugaran oleh Jawatan Purbakala Pemrintah Hindia Belanda yahun 1936. Tampak penggantian penutup atap genteng menjadi sirap jati (kiri tahun 1915, kanan: tahun 1936) Sumber : Arsip KITLV Leiden



Gambar : 2.26 Kondisi Bangunan Malang Semirang sekarang setelah mengalami perbaikan (konservasi kayu & penggantian penutup atap dari sirap ulin ke sirap jati pada saat Revitalisasi Keraton 2013) Sumber : Dokumentasi TACB



Bangunan di sebelah barat



bangunan utama bernama Pendawa Lima



dengan denah berbentuk bujur sangkar. Bangunan menggunakan konstruksi kayu dan jumlah tiang penyangga sebanyak 5 buah yang melambangkan rukun Islam. Bangunan ini mempunyai bentuk atap tajug dengan penutup sirap jati dan momolo pada bagian puncaknya. Fungsinya sebagai tempat para pengawal pribadi sultan. Seperti halnya bangunan lainnya dikomplek Siti Hinggil bangunan ini juga mengalami perlakuan yang sama ketika dilakukan perbaikan dan revitalisasi.



Gambar : 2.27 Kondisi Bangunan Pandawa Lima sekarang Sumber : Dokumentasi TACB



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



37



Bangunan di sebelah timur bangunan utama bernama Semar Tinandu dengan 2 buah tiang yang melambangkan Dua Kalimat Syahadat. Bangunan ini adalah tempat penasehat Sultan (Penghulu). Bangunan mempunyai bentuk atap limasan dengan penutup sirap jati yang didukung oleh tiang kayu dengan 3 buah sekur yang mempunyai ukiran berbentuk sulur-suluran (lung-lungan) yang sangat indah. Pada bagian tumpeng sari juga mempunyai detail ukiran yang sangat halus bermotif kawung dan banyu netes/udan riris. Seperti pada umumnya bangunan tradisional Cirebon lainnya pada mahkota tiang terdapat hiasan bermotif untu walang. Dan ukiran tumpal pada bagian bawahnya. Bangunan berdiri diatas bagian dasar yang cukup tinggi dengan dinding bata keliling dan lantai dari terakota.



Gambar : 2.28 Kondisi Bangunan Semar Tinandu sekarang Sumber : Dokumentasi TACB



Di belakang bangunan utama, atau sebelah selatan, berdiri bangunan yang bernama Mande Pangiring yang merupakan tempat para pengiring Sultan. Sama seperti bangunan lainnya, bangunan ini juga menggunakan konstruksi dari kayu jati dengan tiang saka berdiri diatas umpak batu yang diletakkan diatas di bagian dasar yang cukup tinggi dengan dinding bata keliling dan beratap sirap. Bentuk atapnya berupa limasan bersusun 2 dengan bagian teritisan mempunyai sudut yang lebih landai dibandingkan bagian bangunan utama, Hal tersebut selain untuk melindungi cahaya matahari juga berfungsi untuk mengurangi deras air hujan yang turun kebawah.



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



38



Gambar : 2.29 Kondisi Bangunan Mande Pengiring sekarang Sumber : Dokumentasi TACB



Bangunan yang terakhir dalam kompleks Siti Hinggil ini terletak di sebelah barat Mande Pangiring yaitu Mande Karasemen. Tempat ini merupakan tempat pengiring tetabuhan/gamelan. Bangunan juga memnggunakan konstruksi kayu dan mempunyai tiang saka guru berjumlah 4 yang berdiri diatas umpak batu diatas lantai teracota yang menutupi bagian dasar yang cukup tinggi. Saka panamping berjumlah empat dengan bentuk atap limasan bersusun dua Di bangunan inilah sampai sekarang masih digunakan untuk membunyikan Gamelan Sekaten (Gong Sekati), gamelan ini hanya dibunyikan 2 kali dalam setahun yaitu pada saat Idul Fitri dan Idul Adha.



Gambar : 2.30 Kondisi Bangunan Mande Karesmen sekarang Sumber : Dokumentasi TACB



Gambar : 2.31 Sultan Sepuh XIV menyaksikan penabuh Gamelan Sekati pada peringatan Hari Raya Idul Adha Tahun 2015 Sumber : Dokumentasi Pribadi Yovita Adriani



Selain 5 bangunan tanpa dinding terdapat juga semacam batu Lingga Yoni yang merupakan lambang dari kesuburan. Lingga melambangkan laki-laki dan yoni perempuan. Bangunan ini berasal dari budaya Hindu, hal tersebut tak lepas dari



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



39 budaya Majapahit yang dibawa oleh Raden Sepat, arsitek yang ditugaskan oleh Sunan Kalijaga untuk membangun Keraton Cirebon atas perintah Sunan Gunung Jati.



Gambar : 2.32 Batu Lingga dan Yoni di Siti Hinggil Keraton Kasepuhan



Keseluruhan kompleks bangunan Siti Hinggil ini memperlihatkan akulturasi antara berbagai budaya. Arsitektur Hindu Majapahit terlihat dari ciri khas bangunan yang terbuat dari bata dan bale/mande dengan konstruksi kayu yang berdiri diatas bagian dasar yang cukup tinggi dengan penutup atap berbentuk tajug dan limasan. Ciri khas lainnya terlihat dari motif ukiran pada tiang, balok, sekur kayu dan tumpangsari. Selain itu terdapat unsur dari budaya Cina dan Belanda yang mempengaruhi ragam hias bangunan dengan ditempelkannya piring-piring Cina (bulat) dan keramik (kotak) pada bagian sisi utara dinding Siti Hinggil yang menghadap kearah halaman depan. Kemungkinan keramik dari Belanda dipasang belakangan mengingat pada saat tahun berdirinya Siti Hinggil tersebut Belanda belum datang ke Nusantara. Sementara itu unsur Islam mempengaruhi unsur filosofi bangunan yang mengambil unsur-unsur angka 2 (syahadat), 5 (rukun Islam, 6 (rukun iman), 20 (sifat-sifat Allah). Peninggalan Arsitektur Kompleks Siti Hinggil di Keraton Kasepuhan ini merupakan satu-satunya bagian bangunan istana, peninggalan dari arsitektur zaman peralihan kerajaan Hindu-Budha ke kerajaan Islam yang masih utuh di Pulau Jawa, mengingat kerajaan Demak dan Kerajaan Banten yang berasal dari periode yang hampir bersamaan sudah tidak dapat dilihat jejaknya dengan utuh lagi.



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



40 Gambar : 2.33 Hiasan piring dan keramik pada sisi utara dinding Kompleks Siti Hinggil Keraton Kasepuhan.



Bagian yang bulat merupakan piring dari Cina dan bagian yang berbentuk kotak adalah keramik dari Delf-Belanda Sumber : Colectie Tropenmuseum & Dokumentasi TACB



5. Pangada Di sebelah selatan Siti Hinggil terdapat sebuah bangunan yang bernama Pangada. Bangunan ini terdiri dari dua bagian, yaitu bangunan depan berupa pendopo dan bagian belakang dengan pembatas berupa tembok bata setinggi kurang lebih 1 meter dan pagar railing kayu pada bagian depannya yang membatasiya dengan bagian pendopo. Pada waktu Revitalisasi Keraton Tahun 2013 bagian pendopo bagian belakang ditutup dengan dinding dari triplek dan dijadikan sebagai ruang sekretariat dan pos untuk guide. Akan tetapi setelah bagian dinding tersebut dibongkar ternyata terdapat railing kayu didalamnya sehingga dikembalikan kebentuk semula. Didepan Pangada terdapat pohon beringin yang cukup besar. Pohon beringin dalam filosofi jawa mengandung arti melindungi/mengayomi. Pohon tersebut biasanya ditempatkan ditempat-tempat penting seperti alun-alun, istana, makam raja/sesepuh, dan tempat-tempat keramat atau suci. Orientasi bangunan Pangada mengarah timur-barat dengan bagian serambi di bagian barat. Bangunan ini dahulu fungsinya sebagai tempat prajurit atau semacam paseban di Dalem Agung. Bangunan ini sekarang difungsikan hanya jika ada acaraacara tertentu untuk penyambutan tamu atau penyelenggaraan pameran seni dan budaya Keraton.



Gambar : 2.34 Denah bangunan Pangada Keraton Kasepuhan



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



41



Bangunan Pangada merupakan bangunan dengan konstruksi utama dari kayu dengan ketinggian lantai yang berbeda antara bagan serambi dan bagian ruang dalamnya. Bagian serambi mempunyai dengak bujur sangkar dengan 4 buah saka guru



yang berdiri diatas umpak dan mempunyai bentuk atap joglo ceblokan.



Sedangkan bagian dalam mempunyai denah empat persegi panjang dengan 4 buah saka guru yang didirikan diatas umpak yang lebih besar dan mempunyai bentuk atap limasan. Pada bagian langit-langit ditutup dengan papan kayu. Papan kayu ini menggantikan langit-langit anyaman bambu yang dipasang sebelumnya pada saat revitalisasi Keraton tahun 2014. Kemungkinan bangunan tersebut dahulu digunakan juga untuk pementasan wayang mengingat bagian antara serambi depan dan ruang dalam menyerupai bagian pringgitan pada rumah-rumah Jawa.



Gambar : 2.35 Bangunan Pangada Keraton Kasepuhan



6. Lapangan Giyanti Lapangan



Giyanti



merupakan



pekarangan



terbuka



yang



terletak



berseberangan dengan bangunan Pangada atau sebelah barat kompleks Siti Hinggil. Lapangan Giyanti dibangun oleh Pangeran Arya Carbon Kararangen atau Pangeran Giyanti, sehingga lapangan ini dinamai dengan lapangan Giyanti sesuai dengan nama pembuatnya. Lapangan Giyanti berfungsi sebagai tempat berkumpul prajurit kerajaan, namun sekarang digunakan untuk lapangan parkir bagi tamu Sultan. Dihalaman tersebut terdapat beberapa pohon manga, pohon tanjung & bidara yang ditanam sebagai bagian dari elemen lansekapnya.



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



42



Gambar : 2.36 Lapangan Giyanti Keraton Kasepuhan



7. Gapura Lonceng Di sebelah timur Pangada terdapat sebuah gapura paduraksa yang dahulu dijaga oleh dua orang prajurit yang memakai lonceng, sehingga gerbang ini disebut sebagai Gapura Lonceng. Hal ini dimaksudkan sebagai tanda apabila akan ada yang memasuki keraton ketika maka lonceng yag dipakai penjaga akan berbunyi. Namun sekarang hal tersebut hanya sebagai simbol saja, karena baik penjaga maupun loncengnya sudah tidak difungsikan sebagaimana mestinya.



Gambar : 2.37 Gapura Lonceng Keraton Kasepuhan



Ukuran panjang dasar gerbang lonceng tersebut adalah 3,10 x 5 m. Gerbang lonceng berbentuk paduraksa atau gapura beratap menggunakan struktur dari bahan bata kosod. Di area ini juga dilengkapi dengan sumur kemandungan yang berada di selatan bangunan, berfungsi untuk mencuci senjata perang atau jamasan pusaka pada setiap tanggal 1-10 Muharram. .



8. Regol Pangada Regol Pangada terletak di sebelah sebelah selatan Pangada, sejajar dengan Gapura Lonceng. Dahulu pintu ini berdaun pintu kayu seroja yang dijaga dua orang



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



43 laskar prajurit bertombak. Gerbang ini memiliki ukuran panjang dasar 5 x 6,5 m. Dan ditutup konstruksi atap dari kayu dengan atap berbentuk limasan dan penutup genteng diatasnya. Gerbang yang berbentuk paduraksa ini menggunakan bahan dari bata plesteran dan merupakan gerbang kedua yang menghubungkan antara Lapangan Giyanti dan Halaman Kemandungan



Gambar : 2.38 Regol Pangada Keraton Kasepuhan



9. Halaman Kemandungan dan Museum Pusaka Halaman Kemandungan merupakan halaman terbuka yang dahulu digunakan untuk tempat prajurit cadangan. Pada halaman ini terdapat halaman terbuka dengan Sumur Kemandungan di sisi timur dan Langgar Agung dengan Rumah Bedug Sang Manggiri di sebelah barat. Sejak tahun 2017 di Halaman Kemandungan didirikan Museum Pusaka yang difungsikan untuk menyimpan benda-benda pusaka milik Keraton Kasepuhan yang sebelumnya ditempatkan di bangunan Museum Benda Kuno dan Dalem Agung. Bangunan Museum ini menyambung dengan Museum Kereta Singa Barong yang terletak di sebelah selatannya. Didalam museum terdapat barang-barang berharga milik Keraton Kasepuhan diantaranya adalah Kereta dan Tandu Kebesaran, perhiasan, berbagai cinderamata milik kerajaan, pakaian adat dan senjata pusaka kerajaan, gamelan dan alat musik lainnya, serta naskah-naskah kuno. Selain itu di halaman dalam terdapat situs peninggalan Keraton lama yaitu situs rara denok dan batu gilang yang merupakan batu yang digunakan untuk menunjukkan arah kiblat.



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



44



Gambar : 2.39 Museum Pusaka yang menempati sisi timur Halaman Kemandungan Keraton Kasepuhan Tampak Sumur Kemandungan di sisi kanan halaman depan (dipagari besi)



Gambar : 2.40 Sebagian Koleksi benda-benda pusaka berharga milik Keraton Kasepuhan yang tersimpan didalam Museum Pusaka



10. Langgar Agung



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



45 Berseberangan dengan Museum Pusaka, di sebelah barat terdapat Langgar Agung dan Rumah Bedug Sang Mangir.. Bedug tersebut ditempatkan pada sebuah bangunan kecil dengan atap tajug di sisi selatan halaman depan Langgar Agung. Bedug dibunyikan pada saat acara drugdag atau tanda dimulainya puasa Ramadhan Bangunan langgar merupakan bangunan dengan atap tumpang bertingkat dua dengan bagian kemuncak



terdapat hiasan memolo. Pada bagian serambi



bangunan terdiri atas dinding tembok pada bagian bawah dan pagar jeruji kayu pada bagian atasnya. Langgar Agung difungsikan sebagai tempat ibadat keluarga keraton dan tempat dilaksanakan sakralan pada acara Panjang Jimat. Langgar Agung menghadap ke arah timur, memiliki bangunan utama dengan ukuran 66 x 6 m, serambi 8 x 2,5 m. Denah bangunan ini berbentuk “T” terbalik karena teras depan lebih besar dari bangunan utama. Bagian teras berdinding kayu setengah dari permukaan lantai, kemudian setengah bagian atas diberi teralis kayu. Dinding bangunan utama merupakan dinding tembok bata plester. Mihrab berbentuk busur melengkung berukuran 6 x 3 x 3 m, yang di dalamnya terdapat mimbar terbuat dari kayu berukuran 0,90 x 0,70 x 2 m.



Gambar : 2.41 Langgar Agung dan Bedug Ki Mangir



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



46 Selain sebagai tempat ibadah, Langgar Agung sampai saat ini masih dipergunakan untuk pelaksanaan Selamatan Bubur Slabuk pada tanggal 10 Muharam, Selamatan Apem pada tanggal 15 Safar, Sakralan Panjang Jimat pada waktu Muludan setiap tanggal 12 Rabiul Awal (ba’da salat isya s/d selesai), Selamatan Lebaran pada tanggal 1 Syawal dan penyembelihan hewan qurban pada tanggal 10 Dzulhijjah oleh pihak keraton.



11. Pintu Gledegan Setelah Halaman Kemandungan  area untuk menuju ke halaman berikutnya kita harus melewati sebuah gerbang tembok yang diatasnya ditutup dengan atap genteng berukuran 4 × 6,5 × 4 m. Gerbang tersebut dilengkapi dua daun pintu dari besi. Pintu tersebut meggantikan daun pintu sebelumnya yang terbuat dari kayu dan jika dibuka atau ditutup akan berbunyi keras seperti geledeg (bahasa Indonesia: guntur). Oleh karena itu maka disebut sebagai pintu gledegan 



Gambar : 2.42 Pintu Gledegan menuju Halaman Dewandaru Keraton Kasepuhan



12. Taman Dewandaru Setelah melewati Pintu Gledegan terdapat taman yang asri dengan vegetasi yang cukup baik yang diberi nama Bunderan Dewandaru. Taman tersebut dibatasi oleh pagar yang berbentuk lingkaran (bahasa jawa : bunderan). Disebut Dewandaru dikarenakan dalam taman tersebut terdapat pohon Dewandaru (sejenis cemara). Di dalam tradisi Hindu, hutan yang banyak ditumbuhi pohon Dewadaru biasa digunakan para petapa untuk memohon berkah Dewa Siwa. Namun dalam persfektif Cirebon makna



Taman



Dewandaru



yang



berbentuk



lingkaran



adalah



sebagai



sebuah pangeling (bahasa Indonesia: pengingat) agar manusia selalu mencari mereka yang masih tinggal di dalam kegelapan lalu membawanya keluar dari sana menuju jalan yang terang yang diberkahi Allah SWT.



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



Di sebelah timur meriam



47 terdapat pohon tanjung, yang melambangkan “nanjung”, tahta, bertahta, yang dihubungkan dengan pepatah “nanjung ratu waskita swalaning pranala” yang artinya “jadi raja mengetahui penderitaan rakyatnya (Marwoto, 1981). Pada taman ini juga terdapat pohon Soka (lambang suka hati), dua buah patung macan putih (lambang keluarga besar Pajajaran), arca Nandi, meja dan dua buah



bangku



batu



serta



sepasang



meriam



yang



dinamakan



meriam Ki



Santomo dan Nyi Santoni.



Gambar : 2.43 Taman Dewandaru Keraton Kasepuhan



13. Museum Benda Kuno Museum Benda Kuno digunakan untuk menyimpan dan memamerkan benda-benda koleksi Keraton Kasepuhan. Denah bangunan berbentuk huruf U, dengan pintu masuk di sebelah selatan. Façade bangunan terdapat di bagian tengah dengan bagian atap yang berbentuk meruncing. Pada sisi kiri dan kanannya terdapat semacam hiasan tiang dengan bagian puncak berupa kuncup bunga.



Gambar : 2.44 Museum Benda Kuno



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



Gambar : 2.45 Museum Kereta Singa Barong



48 Menurut pihak Keraton museum tersebut merupakan bangunan baru yang dibuat pada sekitar tahun 1970an, dan sekarang sudah tidak difungsikan lagi karena mengalami beberapa kerusakan. Benda-benda yang terdapat didalamnya telah dipindahkan ke Museum Pusaka yang baru di halaman kemandungan.



14. Museum Kereta Singabarong Terletak di sebelah timur Taman Dewandaru atau berseberangan dengan Museum Benda Kuno, terdapat bangunan Museum Kereta. Denah bangunan ini berupa segi empat dengan bagian dalam yang dipartisi oleh dinding tembok. Facade bangunan memiliki tiga buah pintu, pintu utama yang paling besar terletak di tengah yang diapit oleh sebuah pintu di samping kanan dan kirinya yang berukuran lebih kecil. Di dalam bangunan ini tersimpan koleksi kereta pusaka Kesultanan yaitu Kereta Singa Barong beserta duplikatnya, kursi tandu, serta koleksi meriam dan senjata pusaka keraton berupa tombak. Bangunan tersebut dihubungkan dan menjadi



satu



bagian



dengan



Museum



Pusaka



yang



baru



pada



saat



pembangunannya di tahun 2017, Didalamnya juga terdapat Ruang Pusaka tempat menyimpan benda-benda peninggalan Sunan Gunung Jati yang hanya dibuka untuk umum seminggu sekali dan dilindungi oleh pintu pengaman dari teralis dari besi.



15. Lunjuk Terletak bersebelahan dengan Museum Benda Kuno, fungsinya sebagai tempat petugas melayani tamu yang akan menghadap Sultan. Bangunan bagian depan berbentuk pendopo mempunyai denah berbentuk persegi empat dengan 4 saka guru dengan tumpang sari dan atap genteng berbentuk limasan, sementara dibagian belakang terdapat ruang



dengan dinding bata plester untuk menerima



tamu. Dibelakang ruangan tersebut dibuat ruang tambahan yang dilengkapi WC pada tahun 2014 yang difungsikan sebagai kantor secretariat BPKK (Badan Pengelola Keraton Kasepuhan) yang bertugas mengurusi administrasi pengelolaan Keraton.



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



49 Gambar : 2.46 Bangunan Lunjuk dan detail pada tiang saka gurunya



16. Sri Manganti Di sebelah selatan Museum Kereta terdapat bangunan yang bernama Srimanganti. Bangunan ini mempunyai denah segi empat dengan sekat dinding bata plester di sisi timur. Bangunan ini berupa serambi tanpa dinding dengan empat buah tiang besar berhias mahkota kolom dengan morif untu walang. Di bagian tengah plafon terdapat hiasan kayu tumpeng sari dengan dominasi ragam hias berwarna coklat dan putih.  Atap bangunan berbentuk joglo dengan penutup atap genteng dan didukung dengan 4 tiang saka guru yang berdiri diatas umpak batu bulat. Saka panamping berjumlah 12 tiang dan 12 saka rawa di bagian terluar. Bagian langitlangit terdapat dua tumpang sari yang dipenuhi ukiran-ukiran berwarna putih dan coklat. Pada bagian dinding timur terdapat pintu kayu menuju bagian teritisan yang beratap pendek dibelakangnya Bangunan ini berfungsi sesuai dengan namanya yaitu. Sri Manganti berfungsi sebagai tempat menunggu keputusan raja, tetapi saat ini digunakan sebagai tempat penabuh gamelan dan pagelaran tari pada acara-acara kebudayaan.



\ Gambar : 2.47 Bangunan Sri Manganti



17. Buk Bacem Bangunan Buk Bacem adalah gerbang paduraksa yang terdapat disebelah kiri dan kanan Bangsal Utama Keraton. Sebelah kiri merupakan pembatas untuk menuju halaman Dalem Arum dan Keputran, sedangkan sebelah kanan menuju ke halaman Langgar Alit, Keputren dan Dapur Mulud. Saat ini bagian sisi timur diperuntukkan untuk akses penghuni Keraton dan sisi selatan yang diperkenankan untuk akses pengunjung / wisatawan. Bangunan terbuat dari dinding bata plester dengan bagian atap berbentuk lengkung busur yang berhiaskan relief sulur-suluran dan piring-piring kecil dari Cina. Bagian pintu gerbang terbuat dari kayu jati dengan daun pintu berukir. Pada saat



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



50 pembuatannya kayu tersebut direndam dahulu dalam ramuan pengawet (dibacem) sehingga bangunan ini kemudian dinamai Buk Bacem.



Gambar : 2.48 Buk Bacem



18. Bangsal Agung Pakungwati Bangsal utama Keraton Kasepuhan disebut juga sebagai Keraton Pakungwati merupakan



bangunan



yang



terdiri



dari



beberapa



ruangan.



Bangunan



ini



menunjukkan adanya akulturasi dari berbagai budaya yaitu Hindu, Islam, Cina dan Eropa. Pada awalnya yang dibangun terdahulu adalah Bangsal Panembahan dan Pungkuran. Kemudian dilanjutkan dengan bagian Prabayaksa dan Pringgadani. Hiasan pada Bangsal Pabayaksa berupa relief “Manuk Keduwung Kembang Kanigaran” dibuat oleh Pangeran Kararangen, adik dari Sultan Sepuh II dibantu oleh orang-orang Cina yang datang dari Rembang dikarenakan di keraton Demak sedang terjadi kekacauan akibat pemberontakan Trunojoyo. Bangunan Kutagara Wadasan dan Bangsal Jinem Pangrawit dibangun oleh Sultan Sepuh I pada tahun 1679 sedangkan Blok Gajah Nguling yang menghubungkan antara Jinem Pangrawit dan Pringgadani baru dibangun pada masa pemerintahan Sultan Sepuh ke IX pada tahun 1845



Gambar : 2.49



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



51 Tampak Depan Bangsal Utama Keraton Kasepuhan Cirebon Sumber : Arsip KITLV Leiiden 1920-1930



Gambar : 2.50 Denah Bangsal Utama Keraton Kasepuhan Cirebon Sumber : Keraton-keraton Cirebon, Kedutaan Belanda 1991



Bangsal Agung Keraton terdiri dari a. Tugu Manunggal Yaitu tugu dari batu berukuran pendek sekitar 50 cm, dikelilingi wadasan berbentuk denah belah ketupat yang melambangkan Allah SWT yang satu.Tugu ini diletakkan didepan Kutagara Wadasan dengan hiasan berbentuk wadasan disekelilingnya. Dari sumber data dokumentasi foto lama tahun 1930an tugu tersebut belum ada, jadi diperkirakan dibuat belakangan



Gambar : 2.50 Tugu Manunggal di depan Bangsal Utama Keraton Kasepuhan Cirebon



b. Kutagara Wadasan



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



52 Gapura Kutaraga Wadasan adalah bagian depan dari Jinem Pangrawit, atau dengan kata lain terletak di sebelah utara ruang tersebut. Bentuk dari gapura ini adalah semacam serambi yang diberi atap seperti kanopi, dimana kendaraan ataupun orang dapat lewat dibawahnya. Bangunan Kutagara Wadasan berukuran lebar 2,5 m dan tinggi ± 2,5 m, dibangun oleh Sultan Sepuh I Syamsudin Martawidjaja pada tahun 1678/1679. yang digunakan parkir kendaraan sultan. Bagian plafon dahulu terbuat dari bilik bambu bermotif tetapi pada tahun 2014 diganti dengan papan kayu jati yang difinishing dengan politur. Bagian lantai terbuat dari ubin terakota yang disusun dengan menggunakan spesi. Gapura di bagian depan berupa tembok bata plester warna putih dengan hiasan di bagian kaki berbentuk relief wadasan dan bagian atasnya berupa relief megamendung. Bagian depan diberi atap memanjang yang disebut kuncung, dan denah melingkar dengan pembatas berupa batu-batu karang (wadasan). Arti relief tersebut yaitu seseorang harus mempunyai pondasi yang kuat jika sudah menjadi pimpinan atau sultan harus bisa mengayomi bawahan dan rakyatnya.



Gambar : 2.51 Kutagara Wadasan Utama Keraton Kasepuhan Cirebon



c. Bangsal Jinem Pangrawit Jinem pangrawit merupakan sebuah ruang yang terletak paling utara dari bangunan bangsal keraton. Ruang ini merupakan ruang terdepan dari bangunan bangsal. Terdapat empat tiang kayu sebagai tiang utama. Tiang tersebut berdiri di atas umpak berbentuk segi empat yang mengerucut di bagian atasnya. Bagian plafonnya disusun dari papan kayu yang dirapatkan dan dicat warna hijau tua. Di bagian tengah plafon terdapat tumpangsari dengan ornamentasi warna merah dan emas . Terdapat empat buah tiang berbentuk bulat dari batu plester di sebelah utara empat tiang utama. Tiang tersebut dicat warna putih dan mendukung atap bagian serambi yang berbentuk limasan diatasnya. Pada



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



53 bagian teritisan depan yang menyambung dengan Kutagara wadasan terdapat lantai berundak dengan tiang-tiang dari besi cor yang digunakan untuk menyangga bagian atapnya.. Pada bagian dinding terdapat tempelan keramik. Pada dinding barat dan timur terdapat dua buah jendela berteralis kayu yang bercat hijau tua. Pada dinding selatan terdapat pintu kayu yang menghubungkan ruang ini dengan ruang Gajah Nguling. Bagian yang unik adalah adanya jendela semu dibagian depan, yaitu dinding yang bagian tengahnya dibuat lubang tanpa adanya daun jendela. Terdapat unsur batu karang yang ditambahkan dalam bentukan jendela tersebut, sehingga menjadi hiasan/aksesoris dari jendela tersebut. Bagian plafond serambi terbuat dari kayu jati yang dicat berwarna hijau dan diatas balok terdapat hiasan ukiran bermotif suluran dan bunga berwarna hijau, merah dan emas



Gambar : 2.52 Jinem Pangrawit Keraton Kasepuhan Cirebon



d. Bangsal Gajah Nguling Ruangan Gajah Nguling terletak di sebelah utara Pringgandani. Ruangan ini berupa semacam koridor yang diberi atap yang menghubungkan Pringgandani dengan ruang Jinem Pangrawit didepannya. Bentuk denah bangunan tidak lurus poros bangsal utama melainkan agak miring sehingga bentuknya seperti belalai gajah yang sedang menguak. Oleh karena itu bagian ini disebut sebagai Gajah Nguling (Bahasa jawa nguling= menguak)



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



54 Koridor ini disangga oleh enam buah tiang dari bahan batu plester yang dicat warna putih dan berbentuk bulat. Tiang kolom tersebut terdapat di sisi timur dan barat masing-masing tiga buah. Plafon tersusun atas papan dari kayu jati yang disusun rapat dan dicat warna hijau tua. Pada bagian kiri dan kanan Gajah Nguling terdapat taman kecil dan tembok pagar pembatas dari bata plester setinggi 1,50 m yang diberi railing besi pada bagian atasnya.



Gambar : 2.53 Bangsal Gajah Nguling



e. Bangsal Pringgadani Bangsal Pringgandani terletak di sebelah utara ruang Prabayaksa. Ruang ini semacam serambi sebelum menuju ruang Prabayaksa. Dinding terdapat di sisi barat dan timur, sementara dinding selatan merupakan batas antara ruang ini dan ruang Prabayaksa. Pintu masuk terdapat di dinding barat dan timur. Pada dinding ruang ini juga terdapat hiasan keramik perse gi dari Delf yang menempel di permukaan dinding. Terdapat empat tiang berhias sebagai tiang utama yang berdiri diaras umpak yang cukup tinggi di ruangan ini. Tiang dicat dengan warna hijau tua dengan ornamen mahkota tiang bermotif untu walang dan dicat warna merah dan emas. Plafon tersusun dari papan kayu yang dirapatkan dengan cat warna hijau tua. Pada bagian tengah plafon terdapat ornamentasi tumpangsari dengan kombinasi warna merah dan emas. Lantai sebagian besar terdiri dari ubin PC berukuran 30 x 30 cm berwarna abu-abu dengan ubin hijau dan kuning di bagian tengah ruangan. Pintu pada sisi timur dan barat mempunyai bagian angin-angin diatasnya yang cukup lebar dan dihiasi ukiran berbentuk sulursuluran dan bunga berwarna merah dan emas. Pada bagian sisi barat selain ornament tersebut terdapat hiasan berbentuk gajah dan tongkat cis. Jendela mempunyai 6 daun yaitu daun jendela terluar berupa jendela krepyak, daun jendela setengah yang membuka keluar pada bagian tengah, yang dibuat dengan maksud agar apabila jendela luar dibuka maka pandangan keruang



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



55 dalam masih terhalang oleh



jendela tersebut. Pada bagian dalam terdapat



jendela dengan kaca bening yang membuka kedalam, sehingga apabila bagian jendela luas dan tengah dibuka semua orang yang berada didalam ruangan masih dapat melihat keluar melalui permukaan yang transparant. Pada sisi utara yang berbatasan dengan Bangsal Prabayaksa tidak dibatasi oleh pintu tetapi pada bagian perlubangan dindingnya terdapat hiasan ukiran bermotif sulur-suluran dan bunga berwarna emas yang memberikan kesan megah dan indah pada ruangan.



Gambar : 2.54 Sisi Luar dan dalam Bangsal Pringgadani



f.



Bangsal Prabayaksa Bangsal Prabayaksa merupakan ruang paling besar dan berfungsi sebagai tempat sultan menerima tamu kehormatan, sehingga terdapat furniture berupa perangkat kursi berukir dengan warna putih dan emas. Ruang ini disangga oleh delapan tiang kayu berhias yang merupakan tiang utama yang berwarna hijau muda yang berdiri diatas umpak batu. Plafon tersusun dari papan kayu jati yang dicat warna yang sama dengan tiang yaitu hijau muda. Lantai ruangan ini tersusun dari ubin PC berwarna abu-abu, kuning dan hijau dengan ukuran 30 x 30 cm. Pada sisi barat dan timur masing-masing terdapat sebuah pintu dan dua buah jendela di kiri dan kanannya terbuat dari kayu dan dicat warna yang sama dengan tiang dan plafond. Jendela-jendela tersebut mempunyai teralis dari kayu. Bagian teritisan menggunakan lantai ubin PC dengan tiang penyangga dari besi cor serta listplank kayu berbentuk gerigi. Dinding bangunan berupa bata plester yang dicat warna putih berhias keramik berbentuk persegi dari Delf. Bagian atapnya berupa limasan dengan penutup atap dari genteng dan bagian ujung yang berbatasan dengan Bangsal pringgadani mempunyai hiasan berbentuk kuncup bunga teratai. Bagian ujung atapnya dihiasi dengan bentuk lengkung



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



56 menyerupai kepala angsa. Pada waktu revitalisasi keraton tahun 2014 bangunan mengalami perbaikan berupa perbaikan genteng dan talang, melapisi bagian berwarna emas dengan prada serta pengecatan kembali, tetapi tidak merubah bentuk aslinya.



Gambar : 2.55 Foto lama Bangsal Pringgadani dengan kursi singgasana Sultan (1920an) Sumber : KITLV Leiden



Gambar : 2.56 Sisi Luar dan dalam Bangsal Prabayaksa sekarang



g. Bangsal Agung Panembahan Bangsal Panembahan terletak di sebelah utara Pungkuran dan sebelah selatan Prabayaksa, merupakan ruang berdinding di sisi barat, timur, dan selatan. Pada dinding sisi selatan terdapat dua buah pintu yang berhubungkan ruang ini dengan Pungkuran. Pintu di Bangsal Prabayaksa ini dahulu berada ditengah ruangan, dan kemudian di rubah, akan tetapi belum diketahui kapan perubahan tersebut dilakukan. Pada sisi selatan ini juga terdapat dua ruang tambahan berdinding kayu pada sudut barat dan sudut timur. Pada bagian dinding luar terdapat hiasan keramik yang ditempel pada dinding tersebut. Lantai pada serambi sisi selatan berupa ubin terakota berukuran 30 x 30 cm yang dipasang dengan menggunakan spesi antar ubin.



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



57 Bangsal Agung Panembahan menyerupai sebuah panggung, berupa lantai yang ditinggikan dengan anak tangga yang terletak di tengah-tengahnya. Di seluruh permukaan tangga direkatkan porselen putih bergambar dengan warna biru dan coklat dan pada sisi kiri kanan anak tangga terdapat hiasan bermotif bunga teratai. Pada dinding ini yang menghadap



Prabayaksa terdapat relief



yang menggambarkan bunga kanigaran, buah delima dan dua ekor burung putih yang menunduk kebawah serta ornamen berupa piring keramik dari Cina. Daun, bunga dan burung disebut sebagai “Dandang Wulung Manuk Keduwung Kembang Kanigaran” artinya seorang pemimpin dalam memimpin negara harus selalu mengayomi dan melihat kebawah (memperhatikan rakyatnya) serta berlaku adil dan bijaksana. Buah Delima merupakan stilirisasi dari Dal Lima atau huruf dal dalam Surat Al Ikhlas. Dimana seorang pemimpin harus selalu mengingat atas kekuasaan Allah SWT yang satu.



Gambar : 2.57 Foto lama awal tahun 1900an. Pintu di belakang Bangsal Panembahan masih terletak ditengah ruangan Sumber : Arsip KITLV Leiden



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



58



Gambar : 2.58 Kondisi Bangsal Panembahan sekarang



Bagian atap Bangsal Panembahan didukung oleh tiang saka guru berjumlah 8 buah terbuat dari kayu jati. Bagian tumpang sari disusun dari kayu papan bertumpuk2 meruncing keatas membentuk piramid yang cukup tinggi dan berhias ukiran yang indah dan dicat wana hijau, merah dan emas. Bagian plafond diluar tumpang sari ditutup papan kayu dan dicat warna hijau. Pada bagian depan berbatasan dengan lantai yang ditinggikan terdapat railing dari kayu jati. Bagian serambi yang berbatasan dengan Prabayaksa maupun pungkuran ditutup atap yang cukup lebar yang diperpanjang dan lebih rendah dari atap utama dengan tiang penyangga dari besi cor dan plafond dari kayu jati. h. Pungkuran Pungkuran merupakan bagian paling selatan dari bangunan bangsal. Ruang ini merupakan ruangan terbuka (tanpa dinding). Bagian lantai berupa lantai keramik warna merah berukuran 30 x 30 cm (lantai baru). Terdapat delapan buah tiang bulat dengan bahan bata plester bercat putih yang bagian bawahnya terdapat umpak segi empat dengan bahan yang sama. Selain itu sebagai penyangga atap terdapat pula tiang-tiang dari bahan besi dan kayu. Plafon ruangan ini berupa dahulu



anyaman bambu bermotif etapi kemudian



diganti dengan papan kayu jati pada waktu revitalisasi keraton tahun 2014.



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



59



Gambar : 2.59 Kondisi Pungkuran saat ini



19. Jinem Arum Melewati sebuah gerbang yang disebut dengan Buk Bacem disisi timur, kita akan menjumpai sebuah bangunan yang bernama Jinem Arum. Bangunan Jinem Arum mempunyai denah segi empat. Bangunan ini mempunyai dua buah dinding yang terdapat di sisi utara dan timur, sementara disisi selatan terdapat dinding berukuran pendek menyerupai semacam pagar. Sisi barat bangunan ini merupakan sisi terbuka yang dipenuhi oleh kenampakan tiang-tiang penyangga bangunan. Terdapat empat buah tiang kayu berhias dengan umpak yang terdapat di bagian tengah ruangan. Di sisisisi bangunan terdapat tiang-tiang bulat konstruksi bata dan semen yang berjumlah lima buah berwarna putih. Pada bagian tengah plafon terdapat hiasan kayu yang cukup raya dengan nuansa warna hijau dengan aksen warna merah dan emas. Lantai bangunan tersusun dari ubin warna abu-abu berukuran 20 x 20 cm, terkecuali di bagian tengah ruangan yang terdiri dari ubin warna hijau dan kuning berukuran 30 x 30 cm.



Gambar : 2.60 Bangunan Jinem Arum



20. Langgar Alit Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



60 Bangunan langgar yang lebih kecil disebut Langgar Alit yang terletak di sebelah barat bangunan Bangsal Pringgadani. Langgar tersebut berupa bangunan bertiang, beratap tajug dengan moolo dan penutup dari sirap. Bangunan ini tidak mempunyai dinding. Pada bagian tempat shalat, lantainya ditinggikan sehingga berbeda dengan bagian serambinya. Pada dinding lantai yang ditinggikan terdapat ornamen dan keramik yang menempel pada dinding. Tiang penyangga samping berjumlah sepuluh buah dengan sebuah tiang utama berukir (saka tunggal) yang terletak di tengah-tengah bangunan. Selain untuk sholat, bangunan ini digunakan sebagai tempat tadarus pada malam likuran (diatas tanggal 20 Ramadhan)



Gambar : 2.61 Bangunan Langgar Alit



21. Dalem Arum Bangunan ini terletak di sebelah timur dari bangsal Panembahan, merupakan tempat tinggal Sultan beserta keluarganya. Dalam bangunan terdapat ruangan yang cukup lebar untuk menerima tamu dengan kursi-kursi berderet pada bagian serambinya. Bagian serambi tersebut merupakan bagian tambahan dan mempunyai akses pintu utama menuju ke halaman samping dibelakang Jinem Arum. Pada bagian dalam terdapat beberapa kamar yang digunakan untuk ruang tidur Sultan Sepuh, Ruang Tidur Ibu Suri, Ruang Pusaka, Ruang Tidur putra/putri Sultan, Ruang Makan dan Dapur. Pada bagian belakang terdapat Pungkuran Dalem Arum yang difungsikan sebagai tempat caos dan atur bakti pada waktu bulan Maulud. Pada bagian sisi timur terdapat serambi untuk menerima abdi dalem yang datang dan disebut juga sebagai Omah Wetan.



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



61



Gambar : 2.62 Dalem Arum



22. Keputren Bagian Keputren dahulu merupakan tempat tinggal putri-putri Sultan. Bangunan ini terletak di sebelah barat daya Bangsal Agung Panembahan, di sebelah selatan Langgar Alit. Sekarang bangunan ini digunakan sebagai tempat tinggal kerabat Sultan dan pada waktu Siraman Panjang Jimat bagian serambi belakang digunakan sebagai tempat untuk mencuci piring-piring tapsi dan jambangan peninggalan para wali yang akan digunakan sebagai tempat sesaji pada waktu pelaksanaan PanjangJimat. Bangunan Keputren mempunyai gaya Imperialis Indis dengan bagian serambi depan yang cukup lebar dan didukung oleh tiang bata plesteran bercat putih dengan langgam doric. Bagian plafond bangunan ditutup dengan papan kayu jati yang difinishing politur dan balok-balok rangka bangunan dicat warna hijau. Lantai bangunan awalnya berupa lantai terakota tetapi sekarang sudah diganti dengan lantai keramik dengan warna merah. Bagian serambi mempunyai pintu tengah dan jendela disisi kiri dan kanannya. Bagian tengah terdiri dari kamar-kamar tempat tinggal putri-putri Sultan dan bagian serambi belakang atau pungkuran Keputren .



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



62



Gambar : 2.63 Keputren Keraton Kasepuhan



23. Keputran Keputran terdapat di sebelah utara Dalem Arum dibelakang Jinem Arum dan dahulu merupakan tempat tinggal para pangeran atau putra‐putra raja. Bangunan ini mempunyai gaya yang hampir sama dengan bangunan Keputren tetapi tidak ada bagian selasar di sampingnya. Bangunan ini sekarang dihuni oleh kerabat Sultan.



Gambar : 2.64 Keputran Keraton Kasepuhan



24. Dapur Mulud Merupakan bangunan yang dipakai sebagai tempat untuk persiapan sesajian dan makanan pada waktu upacara Panjang Jimat menyambut perayaan kelahiran Nabi Muhamad di bulan Maulud. Bangunan ini mempunyai dinding bata plesteran dengan jendela teralis dan pintu dari kayu, Pada bagian tengah bagian atap didukung oleh 4 buah tiang saka guru yang berdiri diatas umpak batu, dan bagian tengah ruangan terdapat cekungan yang dipakai untuk tungku untuk memasak Nasi Jimat. Bangunan ini juga dilengkapi dengan dapur untuk memasak nasi dan lauk lainnya serta bagian lantai yang ditinggikan menyerupai bale-bale untuk tempat menyiapkan sesaji dan makanan. Pada sisi selatan terdapat sumur untuk sumber air yang digunakan untuk keperluan memasak. Bangunan ini mengalami perbaikan total pada bagian atapnya pada saat revitalisasi Keraton tahun 2014. Kesuluruhan usuk, reng



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



63 dan penutup atap diganti dengan kayu dan penutup atap baru dikarenakan atap yang lamanya sudah rusak parah. Bagian lantai banngunan juga diganti dengan penutup lantai keramik berwarna merah bata.



Gambar : 2.65 Bangunan Dapur Mulud dan suasana Persiapan jelang Panjang Jimat di Dapur Mulud



25. Pamburatan Pamburatan berada di selatan bangunan Kaputrenmenghadap ke halaman di belakang



Pungkuan. Pamburatan



/



Burat berasal



dari kata



dalam



bahasa



Cirebon (membuat mengerik kayu untuk membuat boreh atau bubuk untuk ukupukup), Pamburatan berfungsi sebagai tempat mengerik kayu-kayu wangi untuk kelengkapan selamatan perataan Maulud Nabi SAW. Bangunan ini mempunyai serambi berbentuk kuncungan dengan hiasan lengkung dan bunga teratai pada bagian atasnya. Bagian kiri dan kanannya berupa teritisan lebar dengan atap yang cukup landai. Pada sisi sebelah selatan terdapat tungku dan bagian dalam tedapat ruang yang cukup lebar untuk menampung aktivitas mengerik kayu tersebut dengan perlubangan dinding berbentuk lengkung busur tanpa pintu menghadap kearah keputren, Bagian dalam bangunan ini merupakan kamar-kamar yang sekarang dihuni oleh kerabat keraton dan hanya bagian serambinya saja yang digunakan pada waktu acara Panjang Jimat.



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



64



Gambar : 2.66 Bangunan Pamburatan



26. Bale Kambang dan Kolam Langensari Terletak di bagian belakang arah tenggara Keraton, merupakan bangunan berbentuk panggung dengan denah bujur sangkar beratap tajug yang dikelilingi oleh kolam. Untuk mencapainya harus melalui jembatan berdinding bata merah yang kondisinya sudah patah dan rapuh. Kolam di langensari ini airnya tidak pernah kering dikarenakan terdapat mata air dibawahnya.



Gambar : 2.67 Bale Kambang dan Kolam Langensari



27. Gunung Indrakila Dibelakang kompleks Keraton Kasepuhan tedapat sebuah bukit kecil yang dinamakan Gunung Indrakila. Diatasnya terdapat sebuah bangunan cungkup kecil dan batu gilang sebagai penunjuk arah kiblat. Dari atas bukit bisa dilihat suasana sekeliling keraton sehingga tempat ini dahulu kemungkinan digunakan untuk mengawasi keadaan disekeliling keraton.



28. Balong Gede Balong Gede adalah kolam buatan yang cukup besar yang terletak di sisi timur kolam Langen Sari. Sumber air mengambil dari air yang ada di kolam



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



65 langensari. Kolam atau Balong Gede ini akan surut jika musim kemarau tiba, dan saat ini digunakan juga sebagai kolam resapan untuk mencegah banjir pada musim penghujan. Sekeliling kolam ditanami dengan tumbuhan Kihujan sehingga membuat suasana kolam menjadi teduh dan asri



29. LawangSanga Bangunan Lawang Sanga terletak di sebelah selatan kompleks Keraton Kasepuhan. Lokasinya sekarang berada di sekitar rumah penduduk dan berada agak jauh dari bangunan-bangunan yang telah disebutkan sebelumnya di atas. Kondisi bangunan ini sebelumnya mengalami kerusakan cukup parah, mulai dari lantai sampai dengan atap bangunan sehingga pada waktu tahun 2014 mengalami perbaikan total. Bagian kayu balok penyangga atap diganti dengan kayu baru dengan ukuran dan bahan yang sama. Bangunan ini mempunyai denah segi empat dengan orientasi bangunan utara-selatan. bagian serambi merupakan sisi selatan bangunan berbatasan langsung dengan jalan lingkungan menghadap ke sungai Kriyan. , sementara sisi utara berbatasan dengan rumah penduduk Pada dinding sisi barat, timur dan utara merupakan terdapat profil gapura berupa tiang dengan lengkung setengah lingkaran pada bagian atasnya. Pada sisi barat dan timur masing-masing terdapat satu buah profil dengan bagian tengah yang berlubang dan satu buah profil gapura semu. Sedangkan pada dinding sisi utara terdapat profil tiga buah gapura dengan lubang di bagian tengahnya. Pada Gapura sebelah timur terdapat patung berupa singa putih Macan Ali yang terletak di kiri dan kanan pintu masuk. Bagian atasnya berupa paduraksa dengan bentuk lengkung busur pada bagian atasnya dan dihiasi dengan mahkota terbuat dari bata plester berundak. Lantai bangunan terbuat dari terakota dengan pintu kayu yang cukup besar. Bangunan ini diperkirakan dibangun oleh Pangeran Wangsa Kerta pada abad ke-17 pada saat akan diadakan GotraSawala, yaitu mengumpulkan ahli-ahli naskah seluruh Nusantara untuk menulis sejarah tentang kerajaan di Nusantara. Pada waktu itu akses utama menuju keraton dari arah perairan melalui Sungai kriyan dan Lawang Sanga menjadi Gerbang Utama masuk kehalaman keraton. Pada bagian kiri dan kanan bangunan lawang sanga dibatasi oleh dinding kuta kosod, tetapi beberapa bagian tembok kuta kosod tersebut runtuh dan menjadi tempat pemukiman penduduk yang cukup padat.



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021



66



Gambar : 2.68 Lawang Sanga



. Kompleks Keraton kasepuhan merupakan sebuah kumpulan bangunan yang diperuntukkan sultan yang dibatasi oleh pagar keliling yang disebut dengan Kuta Kosod. Pagar tersebut mengitari sisi barat, timur dan selatan keraton. Kondisi pagar sekarang ini berbagai macam bentuknya. Ada bagian pagar yang masih utuh, ada bagian pagar yang menyatu dengan rumah penduduk, ada bagian pagar yang tinggal pondasinya saja dan ada bagian pagar yang mengalami kerusakan. Bagian-bagian pagar Kuta Kosod pun berbagai macam bentuknya, mulai dari bagian dinding, bagian gapura dan bagian tiang pagar (sudut pagar). Melihat fungsinya sebagai batas wilayah, sebenarnya keberadaan kuta kasad sangat penting karena dapat menjadi pembeda antara wilayah keraton dan di luar keraton. Selain itu keberadaan pagar dapat membantu mengurangi resiko penetrasi pembangunan di sekitar lingkungan ke dalam keraton sehingga Keraton Kasepuhan dapat tetap terjaga kelestariannya.



Kajian TACB _ Keraton Kasepuhan 2021