Belum Usai [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Belum Usai Masih bergelung dengan selimut yang hangat, Sejak subuh tadi hujan sudah menerpa bumi dengan cukup deras, dinginnya membuat aku merasa nyaman berada di kasurku dan malas menapakkan kaki di lantai keramik yang dingin. Namun sadar aku harus membuatkan susu hangat untuk nenek, lantas aku memaksakan diri bangkit dari kenyamanan yang diberikan oleh tempat tidurku, memeriksa jam yang ternyata sudah cukup terang, jam setengah tujuh pagi. Lalu aku pun duduk di ujung kasur sambil meregangkan otot-otot yang terasa kaku, memang ketika tidur aku terlihat seperti mayat bernafas, hanya bertahan dalam satu posisi saja, laporan dari temanku yang sering aku tumpangi kosanya untuk tidur pada jam kosong perkuliahan. Terhitung sudah satu minggu aku berada di Bandung, Kota yang penuh kesejukan dan cocok untuk menenangkan diri. Aku beranjak menuju jendela, menyibakkan tirai nya dan membuka jendela kamarku. Embun pagi langsung membelai paras wajahku, ku cium aroma pagi yang bercampur dengan wangi tanah dan dedaunan hijau yang basah, rasa nya menggelitik seakan menjadi aroma terapi alami yang disuguhkan oleh alam. Memang rumah nenek ku ini terbilang asri, cukup luas dan banyak sekali tumbuhan yang ditanam, hampir sekelilingnya dipenuhi Oleh tumbuhan. Kicauan burung kecil mengalun indah di sepanjang halaman rumah, burung kecil liar yang terbang ke sana kemari mencari bebijian, dan kini hinggap di tepat di depanku. Aku perhatikan burung itu, senang sekali rasanya jika aku bisa seperti burung itu, terbang bebas dan bermain bersama awan di bawah luasnya langit diatas sana. ‘ Kau harus tetap bersyukur sebagai Manusia ‘ Terbesit Kata-kata yang Dia ucapkan. Seorang pemuda yang aku temui saat perjalanan menuju Ke Kota ini. Pemuda yang dengan santainya berbicara dengan ku, walau kami baru pertama kali bertemu, dan mungkin yang terakhir kali juga. Jam 22.00 menuju pertengahan malam, aku berada seorang diri di tengah keramaian stasiun Kereta Api saat itu. Berencana menyusul Bunda yang sudah terlebih dahulu pergi Ke Bandung bersama Adik bungsuku. Saat gerbong sudah berhenti tepat di depan ku, lekas saja aku memasuki gerbong itu dan mencari tempat duduk yang sudah aku pesan. Seperti biasa tempat favorit ku dekat dengan jendela, agar nanti saat menjelang pagi aku bisa menyapa mentari yang memancarkan



kemilaunya. Sesegera mungkin aku duduk di tempat, menyimpan tas di tempat penyimpanan, langsung saja aku membuka buku bacaan ku, Melipat Jarak karya sang pujangga Sapardi Djoko Damono. Dengan tangannya ia mampu melukis keindahan dengan kata-katanya yang ditorehkan dalam setiap bait pada puisinya. Kebiasaan ku saat memulai perjalanan adalah menikmati puisi-puisinya, agar tidak terserang rasa bosan yang bisa kumat kapan saja, perjalanan Yogyakarta-Bandung lumayan juga, sekitar delapan jam waktu yang akan ditempuh. Dalam dua menit, kereta akan memulai perjalanan nya. Brukk.. Kulihat Ada ransel gunung yang ukurannya hampir sepinggangku, mungkin lebih. Aku lihat siapa orang yang membawa ransel itu, ternyata seorang lelaki muda, berbadan tinggi dan tegap, berkulit kuning langsat kecokelatan seperti terlalu lama di bawah terik matahari, mungkin Dia seorang abdi negara. Masih aku perhatikan gerak gerik nya, saat menyimpan ransel hingga dia duduk tepat di depanku, mengambil handphone dan airphone, mungkin Dia ingin mendengarkan lagu atau entah apa pun itu. Hingga Dia menatap kearah ku, lantas aku mengalihkan pandanganku ke Buku kembali. ‘ Astaga, kenapa aku terus memperhatikan Dia... ‘ Saat itu aku merasa bodoh, tidak sadar jika aku memperhatikannya terlalu lama. Dengan sedikit malu aku kembali menatap Ke arahnya, tanpa disangka dia masih memperhatikan ku dengan matanya yang tajam, demi tuhan aku sangat malu sekali karena tertangkap basah telah menatap nya tadi, aku tidak sengaja memperhatikannya terlalu lama. Kembali aku menunduk untuk menghindari tatapannya itu. “ Melipat Jarak. Jarak mana yang ingin kau kikis kejauhannya Nona? “ Tiba-tiba Dia bertanya. Aku beralih menatap pemuda itu untuk kesekian kali, sedikit senyum tampak digaris bibirnya, manis. “ Eh.., Bandung. “ Dengan gugup aku menjawab. “ Tujuan Kita sama, senang bisa menghabiskan waktu di kereta ini bersama denganmu. Apa kau asal sana? “ Tanyanya kembali. Ku gelengkan kepala. “ Tidak, Aku asal sini. Aku hanya menyusul bunda dan adik bungsuku yang telah lebih dulu ke sana. “ “ Aku sarankan, lebih lama lah di sana. Memang tidak seantik kota ini, tapi Bandung akan memberikan suasana yang nyaman untuk mu. “ ungkapnya diakhiri dengan senyum tipis



khas lelaki. Kembali aku perhatikan wajahnya, Dia memiliki rahang yang tegas, dan leher yang kokoh. “ Apa Aku boleh duduk di sebelah mu saja? “ Tanya nya tiba-tiba. Sedikit gelagapan, takut tertangkap basah kembali karena kuperhatikan Dia lagi. “ Yah.., Silakan. “ ucapku pada akhirnya. Jujur tadi itu aku sedang menatap nakal. ‘Oh, Astaga ada apa dengan aku. ‘ Langsung saja pemuda itu beranjak dan duduk disamping kursiku. “ Kenapa memilih duduk disamping Ku? “ Tanya ku padanya. “ Agar bisa menikmati keindahan tuhan yang sesungguhnya. “ ujar Dia sambil menatapku dengan dalam. Aku kembali berkutik dengan buku, rasanya aku menjadi tidak waras jika terus mengobrol dengan Pemuda itu. Aku takut Dia lelaki tidak baik, dan juga dia hanya orang asing. “ Maaf jika aku kurang sopan, sifatku mempengaruhi gaya bicara ku.” Ungkapnya, Aku hanya diam tidak menanggapi ucapannya. Aku hanya ingin menikmati buku ku dan diam hingga aku sampai ke Bandung. “ Maaf yang tadi itu sungguh hanya gurauan. Aku tidak suka dekat jendela, nanti aku akan terganggu dengan sinar matahari saat pagi datang esok. “ ucap nya sambil tertawa kecil. “ Itu tidak lucu. “ balasku sambil menutup buku dengan sedikit kasar dan beralih menatap Dia. Sedikit jengkel dengannya, gurauannya membuat aku jantungan. “ Maaf.. Baiklah, jadi mengapa bundamu ke Bandung, sehingga mengharuskan kau menyusul ke sana? “ “ Nenek ku sakit, lalu kau sendiri? “ “ Aku asal Bandung. Aku disini hanya mengikuti pendakian gunung. “ ujarnya. “ Kau seorang pendaki? Bagaimana suasana di gunung sana? “ tanya ku dengan antusias. Jujur saja aku ingin sekali saja seumur hidupku untuk menaiki gunung, pasti sinar mentari akan terasa dekat saat pagi, angin akan lebih sering berdesis, dan alam terlihat dengan jelas membentang dengan luas, awan akan terlihat seperti kapas-kapas yang terbang



di langit sana. Namun sayang, Bunda tidak pernah mengizinkan aku melakukan itu, entah lah, keselamatan selalu menjadi alasan utamanya. “ Menyenangkan, disana keberadaan tuhan terasa nyata. Bumi ini tidak mungkin ada dengan sendirinya, pasti ada campur tangan tuhan. Kau juga akan lebih mengerti makna juang untuk sampai ke puncak yang tertinggi. “ jawab pemuda itu. “ Kau sangat beruntung, bisa mendaki sesuai dengan kehendakkan hatimu. Kadang aku ingin menjadi burung saja, bebas terbang ke tempat yang diinginkan, bunda selalu melarangku untuk bepergian. “ ujar ku, sedikit sedih jika mengingat hal itu. “Kau harus tetap bersyukur sebagai Manusia. Dibandingkan burung manusia lebih tinggi derajatnya, dan lagi kau tidak tahu kehidupan apa yang akan kau alami saat menjadi burung, syukur jika masih enak seperti saat ini, jika susah mau bagaimana? “ “ Dari mana kau tahu jika hidup ku enak? “ Pemuda itu lebih mendekatkan wajahnya kearah ku. “ Kau bisa hidup dengan aman, burung memang memiliki kebebasan berkelana diatas sana. Tapi kau tidak tahu bahaya apa yang mengintai setiap detiknya. Pemburuan liar masih marak dilakukan. “ lalu menjauhkan kembali wajahnya dari ku. “ kenapa kau selalu berbicara dengan mata yang menatapku secara mendalam. “ tanyaku dengan heran. “ Matamu indah dan aku nyaman menatapnya. “ ujarnya langsung. “ Sudahlah, mari kita tidur. Kulihat kau sedikit mengantuk. “ ajaknya. Aku hanya mengangguk seraya tersenyum, memang benar mataku sedikit berat. Bagaimana aku mengabaikan rasa lelahku hanya karena mengobrol. Dan lagi Pemuda itu seakan mengenali kondisi ku lebih baik. “ Baik mari kita tidur, jika lelah bersender ke kursi, kau boleh beralih menyenderkan kepalamu di pundakku. “ ujarnya kembali. “ Baiklah. “ balasku dengan makin tersenyum lebar. Lekas saja aku segera tidur. Namun tidur kunjung kulakukan, aku tidak nyaman tidur dalam posisi duduk seperti ini. Sudah aku gerakan badan ku untuk menemukan posisi yang nyaman, namun tidak kunjung aku dapatkan. Akhirnya aku kembali membuka mataku. ‘Huh... ‘



kuhelakan nafas, sedikit



menyebalkan. Aku torehkan pandanganku ke samping, Pemuda itu sudah tidur dengan



nyenyak, mungkin dia amat lelah karena sehabis mendaki gunung. Jika diperhatikan kembali dia memiliki alis yang tebal rapih, dan bulu mata yang sedikit lentik, sayang jika sadar kadang kala Dia menatap dengan tajam, seperti mata elang. Srekk... Tiba-tiba kepala pemuda itu bersandar ke pundakku, ' Ya ampun kenapa harus di pundakku.’ ingin rasanya aku memindahkan kepalanya itu, tapi aku takut mengganggu tidurnya. Dengan terpaksa aku membiarkan hal tersebut. Badanku juga sudah mulai lelah, kucoba pejamkan mata dan akhirnya aku tertidur. Hingga pagi tiba Aku terbangun dengan pancaran sinar mentari. Saat ku buka mata, aku baru menyadari bahwa kepala ku yang bersender di pundaknya saat ini, mungkin saat tidur tadi ada yang mengubah posisi awal saat kami tidur. lantas dengan tidak sengaja, aku langsung mengangkat kepalaku dan pemuda itu pun ikut terbangun. “ Maaf.. “ ujarku. “ Sudah pagi yah.. “ balasnya sambil meregangkan badan, sedikit menggesekkan mata dengan tangan untuk memperjelas pandangannya. “ Apa sudah sampai? “ tanya nya. “ Sepertinya sebentar lagi.” Jawab ku. Lantas aku Merapikan rambutku yang sedikit kusut, dan tidak lama kereta pun sampai distasiun. Dengan segera aku mengambil tas, dan pemuda itu dengan sigap membantuku, mungkin karena melihatku yang sedikit kesusahan. Kami pun segera menuju keluar dari kereta ini. “Sampai jumpa nona, mungkin nanti kita akan bertemu lagi. Entah dipinggir jalan atau didepan gang rumah mu. Aku harap saat itu akan segera tiba, maka dari itu aku sarankan untuk lebih lama lah di kota ini, karena selain nyaman, kota ini akan mempertemukan kita kembali.” Ucapnya dengan tatapan yang tenang dan mendalam kearahku, lalu pemuda itu berbalik badan dan pergi. Aku hanya termenung menatap punggung kokohnya yang menggendong ransel besarnya itu. ‘ Semoga tuhan mengabulkan ucapanmu, karena itu pun sudah menjadi keinginanku.’ Terhitung sejak itu hingga kini lekas seminggu, aku masih mengharapkan pertemuan itu, tapi kota ini terlalu luas untuk gadis kecil seperti ku. Sudah ku coba menjelajah kota kembang



ini,



namun



masih



nihil.



Mungkin



tuhan



dengan



kebesarannya



dapat



mempertemukan kita kembali. Aku ingin menyempurnakan Pertemuan yang dirasa masih belum usai. Sedikit menyesal pada saat itu, dengan bodohnya Aku tidak menanyakan siapa nama Pemuda itu. Tapi Aku yakin, kota ini memiliki keajaiban yang akan mempertemukan Aku dengan Dia. Entah dimana dan kapan, aku hanya bisa berteman dengan waktu dalam sebuah penantian. Segera saja aku tutup kembali jendela kamarku, terlalu lama aku mengenang delapan jam di kereta, hingga lupa harus membuatkan susu untuk nenek. Mungkin sudah dibuatkan Bunda, yang sebentar lagi akan memarahiku karena telat bangun.



Identitas Penulis Nama lengkap : Fina Rahmawati ID Instagram



: @finnaarahma



Nomer WA



: 088229207277



Email



: [email protected]



No. Rek



: 0817313223 BNI A.N Fina Rahmawati



Foto diri



: