BJT - HKUM4203 Hukum Pidana [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH TUGAS 1



Nama Mahasiswa



:



KAHARUDDIN



Nomor Induk Mahasiswa/ NIM



:



043116692



Kode/Nama Mata Kuliah



:



HKUM4203/Hukum Pidana



Kode/Nama UPBJJ



:



08 / MAKASSAR



Masa Ujian



:



2021/21.2 (2021.2)



KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS TERBUKA



1. Dewasa ini, media sering menggunakan istilah “kriminalisasi” (misal: kriminalisasi ulama). Jelaskan pandangan Saudara tentang istilah tersebut jika dikaitkan dengan pengertian Kebijakan Hukum Pidana sebagai suatu bagian dari cabang ilmu Hukum Pidana. Berikanlah contoh kriminalisasi yang tepat ! Jawaban : Tahap formulasi hukum pidana atau penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana disebut dengan istilah kriminalisasi, sebaliknya penghapusan suatu perbuatan pidana yang semula adalah tindak pidana menjadi bukan tindak pidana lagi disebut dengan istilah dekriminalisasi kedua hal tersebut menurut penulis adalah formulasi hukum. Kriminalisasi merupakan formulasi sebagai proses menjadikan suatu perbuatan yang tadinya bukan merupakan tindak pidana kemudian karena perbuatan tersebut dapat mengakibatkan kerugian bahkan dapat membahayakan kehidupan manusia, maka dirumuskan dalam perundang-undangan dan diancam dengan pidana sehingga perbuatan tersebut dinyatakan sebagai tindak pidana. Kebijakan pidana merupakan salah satu cara atau alternatif dalam penyelesaian masalah kejahatan karena pada dasarnya politik hukum pada intinya adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita – citakannya. Contoh kriminalisasi, pemalsuan surat Pasal 263 KUHP, yang dirumuskan sebagai perbuatan yang terwujud “membuat surat palsu” tanpa disebutkan akibat tertentu dari penulisan surat palsu tersebut. 2. Salah satu tujuan hukum pidana adalah memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan masyarakat. Di sisi lain hukum pidana memberikan derita terhadap pelaku kejahatan. Pemberian derita kepada pelaku kejahatan tersebut tentunya harus tetap dilaksanakan oleh penguasa dalam kerangka mencapai tujuan dari hukum pidana. a) Berdasarkan pemikiran di atas, berikan penjelasan Saudara tentang dasar pembenar penjatuhan pidana dari penguasa terhadap pelaku tindak pidana! b) Sebutkan masing- masing tokoh pemikir dari dasar pembenar penjatuhan pidana tersebut! c) Setelah memberikan penjelasan pada poin a, pilihlah pada dasar pembenar yang mana Saudara lebih setuju, berikan alasannya! Jawaban : a) Penjatuhan pidana harus memperhatikan pemberian atau penjatuhan sanksi pidana kepada si pelaku, apakah mereka pantas dijatuhi pidana yang membuat mereka menjadi jera dan takut melakukan tindakan pidana itu lagi, dan atau si pelaku lebih pantas mendapatkan sanksi berupa pembinaan yang bertujuan memperbaiki pola pikir mereka bahwasanya perbuatan yang dilakukan mereka merupakan perbuatan yang dilarang dan juga tidak baik. b) Tokoh pemikir dasar pembenar penjatuhan pidana Andi Hamzah, Feurbach, Van Hamel, Satochid Kartanegara, Arief, J.E. Sahetapy, Jeremy Bantham, roeslan saleh, Muladi dan Barda Nawawi c) Teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief menjelaskan, bahwa: Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuantujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan). Karena tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk



mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum. 3. Apakah para PSK dalam kasus tersebut dapat dipidana? Berikan argumentasi Saudara berdasarkan asas hukum pidana ! Jawaban : Tidak ada ketentuan khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapat menjerat pengguna jasa Pekerja Seks Komersial (PSK). Ketentuan KUHP hanya dapat digunakan untuk menjerat germo/muncikari/penyedia PSK. Sedangkan, pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pemakai/pengguna PSK diatur dalam peraturan daerah masing-masing. Di dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), tidak ada pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengguna PSK maupun PSK itu sendiri. Ketentuan KUHP hanya dapat digunakan untuk menjerat penyedia PSK/germo/muncikari berdasarkan ketentuan Pasal 296, Pasal 506 KUHP: Pasal 296 Barang siapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 217) menjelaskan bahwa pasal ini gunanya untuk memberantas orang-orang yang mengadakan bordil atau tempat-tempat pelacuran. Supaya dapat dihukum harus dibuktikan bahwa perbuatan itu menjadi pencahariannya atau kebiasaannya. Pasal 506 Barang siapa sebagai muncikari (souteneur) mengambil keuntungan dari pelacuran perempuan, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun. Soesilo (hal. 327) menjelaskan bahwa muncikari adalah makelar cabul, yakni seorang laki-laki yang hidupnya seolah-olah dibiayai oleh pelacur yang tinggal bersama-sama dengan dia yang dalam pelacuran menolong, mencarikan langganan-lagganan dari mana ia mendapat bagiannya. Walaupun tidak ada ketentuan khusus mengatur tentang pengguna jasa PSK dalam KUHP, tetapi jika pelanggan PSK tersebut telah mempunyai pasangan resmi (atas dasar pernikahan), dan kemudian pasangannya tersebut mengadukan perbuatan pasangannya yang memakai jasa PSK, maka orang yang memakai jasa PSK tersebut dapat dijerat dengan pasal Perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 KUHP. Meski demikian, di beberapa peraturan daerah ada sanksi pidana bagi pengguna PSK. Sebagai contoh adalah Pasal 42 ayat (2) Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (“Perda DKI 8/2007”). Pasal 42 ayat (2) Perda DKI 8/2007: Setiap orang dilarang: a. menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks komersial;



b. c.



menjadi penjaja seks komersial; memakai jasa penjaja seks komersial.



Orang yang melanggar ketentuan ini dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp. 500 ribu dan paling banyak Rp. 30 juta. Jadi, ketentuan KUHP hanya dapat digunakan untuk menjerat germo/muncikari/penyedia PSK. Pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pemakai/pengguna PSK diatur dalam peraturan daerah masing-masing.