Budaya Dalam Perkembangan Motorik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

I. Budaya dalam Perkembangan Motorik Kebudayaan juga mempengaruhi perkembangan motorik anak terutama yang berkaitan dengan keaktifan gerak anak. Keaktifan gerak berbeda dengan perkembangan gerak. Keaktifan gerak hanyalah semata-mata banyak sedikitnya gerak, sedangkan perkembangan gerak ialah perkembangan pengendalian dan koordinasi otot-otot yang diperlekukan untuk mendapatkan kecakapan gerak. Jika keaktifan gerak dipengaruhi oleh kebudayaan, maka sebaliknya perkembangan gerak hampir tidak terpengaruh oleh kebudayaan. Hal ini ditunjukkan oleh Dennis (dikutip dari Yapsir Gandi Wirawan, 1994) pada penelitiannya yang terkenal pada dua kelompok anak suku Indian Hopi. Kelompok yang satu terdiri dari bayi- bayi Hopi yang di asuh oleh orang tua mereka seperti cara orang-orang Amerika mengasuhnya, yakni di beri kebebasan bergerak sepenuhnya. Kelompok yang lain terdiri dari bayi-bayi Hopi yang beberapa saat setelah lahir di balut dengan kain erat-erat, mirip gedungan bayi-bayi di Jawa, hingga baik bagian lengan maupun kakinya sedikit sekali dapat bergerak, dan di ikat pada papan kayu kecil hingga mudah di bawa kian kemari di belakang punggung ibu mereka. Beberapa studi lain juga mengemukakan bahwa rendahnya tingkat rangsangan dan terbatasnya hubungan dengan ibu (penjagaan bayi dengan tenang) secara perlahan berkaitan dengan perkembangan motorik yang relaif lebih lambat di Mexico Selatan, Guatemala, dan Jepang (Brazelton, Robey & Coller, 1969 ; Arai, Ishikawa dan Toshima, 1958; Kagan dan Kelin, 1973).



II. Budaya dalam Perkembangan Kognitif Perkembangan kognitif adalah spesialiasasi dalam psikologi yang mempelajari bagaimna kemampuan berpikir sepanjang rentang kehidupan manusia. Kognitif juga diartikan sebagai kegiatan untuk memperoleh, mengorganisasikan dan menggunakan pengetahuan. Dalam psikologi, kognitif adalah referensi dari faktor-faktor yang mendasari sebuah prilaku. Kognitif juga merupakan salah satu hal yang berusaha menjelaskan keunikan manusia. Pola pikir dan perilaku manusia bertindak sebagai aspek fundamental dari setiap individu yang tak lepas dari konsep kemanusiaan yang lebih besar, yaitu budaya sebagai konstruksi sosial. 1) Teori Piaget Salah satu teori yang menonjol dan dominan pada teori kognitif adalah teori Piaget. Didasari oleh penelitiannya terhada pada anak – anak Swiss. Penelitiannya menhasilkan pernyataan bahwa individu mampu memecahkan tugas – tugas tertentu pada saat usia tertentu pula. Ia membai tahapan perkembangan kognitif sejak masa bayi hinga dewasa menjadi 4, yakni : Tahap



Usia/Tahun



Gambaran



Sensorimotor



0–2



Bayi bergerak dari tindakan refleks instinktif pada saat lahir sampai permulaan pemikiran



simbolis. Bayi membangun suatu pemahaman tentang dunia melalui pengkoordinasian pengalaman pengalaman sensor dengan tindakan fisik Preoperational



2–7



Anak mulai mempresentasikan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar ini menunjukan adanya peningkatan pemikiran simbolis dan melampaui hubungan informasi sensor dan tindak fisik.



Concrete operational



7 – 11



Pada saat ini anak dapat berfikir secara logis mengenai peristiwa-peristiwa yang konkrit dan mengklasifikasikan benda-benda kedalam bentuk-bentuk yang berbeda.



Formal operational



11 – 15



Anak remaja berfikir dengan cara yang lebih abstrak dan logis. Pemikiran lebih idealistik.



Namun teori Piaget menimbulkan berbagai postulat – postulat yang perlu diuji dalam telaah lintas budaya. Hal – hal yang perlu diuji meliputi : -



Apakah keempat tahap itu selalu terjadi dalam urutan sebagaimana yang dirumuskan Piaget?



-



Apakah rentang usia yang dihubungkan dengan tahap – tahap itu universal untuk semua budaya?



-



Apakah variasi dalam tiap – tiap tahap secara lintas budaya?



-



Akhirnya, apakah semua kebudayaan memandang penalaran ilmia menjadi titik terakhir dalam perkembanan kognitif?



Dalam survey lintas budaya, studi komparatif anak – anak suku Inuit di Kanada, Baoul di Afrika, dan Aranda di Australia menunjukkan bahwa setengah dari anak – anak suku Inuit dapat menyelesaikan tugas – tugas spasial pada usia 7 tahun. Namun, setengah dari anak – anak sku Aranda baru dapat memecahkan masalah spasial pada usia 12 tahun. Sementara anak – anak dari suku Baoul tidak dapat mencapai setngah anak yang dapat menyelesaikan tugas itu sampai usia 12 tahun. Hal ini dapat terjadi karena anak – anak suku Inuit dan Aranda hidup dalam masyarakat nomadic berpindah – pindah) dimana anak – anak perlu mempelajari keterampilan spasial sejak dini karena hidupnya yang berpindah – pindah. Sementara itum anak – anak suku Baoul hidup pada masyarakat yang menetap, dimana mereka jarang bepergian tapi hampir selalu ditugaskan mengambil air dan menyimpan butiran padi.



Keterampilan yang digunakan dalam kehidupan sehari – hari inilah yang mempengaruhi urutan untuk dapat menyelesaikan tugas – tugas Piaget dalam tahap operasional konkret. Dengan demikian telaah lintas budaya membuktikan bahwa kemampuan berpikir secara abstrak atau penalaran ilmiah oleh Piaget sebagi titik akhir perkembangan kognitif tidak berlaku secara universal.



2) Perkembangan Moral – Kohlberg Perubahan kognitif akan berhubungan dengan kemampuan penalaran moral, yaitu sejauh mana individu mampu melakukan analisis dan kesimpulan logis tentang dilemma – dilema yang melibatkan keputsan – keputusan moral. Teori Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut Kohlberg terdapat 3 tingkat dan 6 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap, sebagai berikut : Tingkat 1. Prakovensional moralitas Pada level ini anak mengenal moralitas berdasarkan dampak yang ditimbulkan oleh suatu  perbuatan, yaitu menyenangkan (hadiah) atau menyakitkan (hukuman). Anak tidak melanggar aturan karena takut akan ancaman hukuman dan otoritas.



2. Konvensional Suatu perbuatan dinilai baik oleh anak apabila mematuhi harapan otoritas atau kelompok sebaya.



Tahap 1. Orientasi kepatuhan dan hukuman pemahaman anak tentang baik dan buruk ditentukan oleh otoritas. Kepatuhan terhadap aturan adalah untuk menghindari hukuman dan otoritas 2. Orientasi hedonistic Instrumental suatu perbuatan dinilai baik apabila berfungsi sebagai instrument untuk memahami kebutuhan atau kepuasan diri. 3. Orientasi anak yang baik tindakan berorientasikan pada orang lain. Suatu perbuatan dinilai baik apabila menyenangkan bagi orang lain. 4. Orientasi keteraturan dan orientasi perilaku yang dinilai baik adalah menunaikan kewajiban, menghormati otoritas dan memelihara ketertiban sosial.



3. Pasca konvensional Pada level ini aturan dan institusi dari masyarakat tidak dipandang sebagai tujuan akhir. Tetapi diperlukan sebagai subjek. Anak mentaati aturan untuk menghindari hukuman kata hati



5. Orientasi control sosial legalistic dan semacam perjanjian antardirinya dan lingkungan sosial. Perbuatan dinilai baik apabila sesuai 6. Orientasi kata hari kebenaran ditentukan oleh kata hati, sesuai dengan prisip prinsip etika universal yang bersifat abstrak dan penghormatan terhadap martabat manusia.



Beberapa peneliti telah member kritik pada teori Kohlberg yang dianggap bias budaya (Bornstein & Paludi, 1998) Miller & Bersoff (1992) membandingkan respon terhadap tugas – tugas keputusan moral antara responden India dan Amerika. Ternyata, orang – orang India baik anak – anak maupun dewasa mempertimbangkan bahwa tidak menolong orang lain sebaai pelangaran moral lebih daripada subjek Amerika, mengabaikan apakah situasi itu mengancam hidupnya atau tidak. Miller dan Bersoff menafsirkan perbedaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan nilai – nilai afiliasi dan keadilan, yaitu bahwa pada orang – orang India ditanamkan ajaran untuk memilki tangung jawab social yang lebih besar dibandingkan dengan orang – orang Amerika. Snarey (1985) mereview beberapa studi lintas budaya tentang penalaran moral yang melibatkan subjek dari 27 negara dan menyimpulka bahwa penalaran moral sifatnya lebih culture specific (berlaku khusus untuk budaya tertentu). Misalnya Schweder (1990) menemukan moralitas post-konvensional berdasar penelitiannya di India didasari konsep hukum – hukum alam dan keadilan bukan prinsip individualism dan sekulerisme atau kontrak social atau mungkin model keluarga sebagai moral. Ma (19980 berdasar penelitianntya menyimpulkan bahwa orang – oran Cina menganggap moral baik “maksud baik” (good mean) yaitu berperilaku seperti yang diharapkan masyarakat, dan “kehendak baik” (good will) yaitu keutamaan bergabung atau menurut kehendak alam. 3) Perkembangan Sosio-emosional – Erikson Studi tentan perkembangan social dan emosional diakui sangat kompleks, karena merupakan produk dari beberapa tingkat. Salah satu teori yang sering menjadi referensi dalam teori perkembangan sosio-emosional adalah teori perkembangan dari Erikson. Ia membaginya ke dalam 8 tahapan yang akan terjadi sepanjang rentang kehidupan manusia, diantaranya : Developmental Stage



Basic Components



Infancy (0-1 thn)                    



Trust vs Mistrust



Early childhood (1-3 thn)         



Autonomy vs Shame, Doubt



Preschool age (4-5 thn) School age (6-11 thn)              Adolescence (12-10 thn)         



Initiative vs Guilt



Young adulthood ( 21-40 thn)   



Intimacy vs Isolation



Adulthood (41-65 thn)             



Generativity vs Stagnation



Senescence (+65 thn)            



Ego Integrity vs Despair



Industry vs Inferiority Identity vs Identity Confusion



Budaya orang – orang Amerika yang individualistis memandang perasaan otonomi pada tahap kedua diangap sebagai hasil yang lebih disenangi, sementara budaya lain mungkin tidak dan mungkin lebih menyukai anak – anak yang tergantung pada orang lain. Pada masyarakat yang memiliki buda kolektivistis tidak mendorong anggotanya untuk otonomi dan lebih mendorong “ktrgantungan” atau “merging relations”. “Malu” digunakan sebagai sanksi social pada individu yang otonomi pada masyarakat ini. Sementara di Cina, malu atau hai xiu dipandang sebagai reaksi hati – hati terhadap situasi baru yang menekan atau evaluasi social ; manifestasi perilaku malu atau hambatan social memang teridentifikasi juga di Cina. Daftar Pustaka Matsumoto, David. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset