Buku I KUHP Baru - BALI [PDF]

  • Author / Uploaded
  • ramli
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BUKU I KUHP BARU (ATURAN UMUM)



SURASTINI FITRIASIH FAKULTAS HUKUM-UNIVERSITAS INDONESIA



KUHP LAMA (569 PASAL)



KUHP BARU (624 PASAL)



• Buku I : Aturan Umum







(Pasal 1 sd Pasal 187)



(Pasal 1 sd 103) • Buku II : Kejahatan



Buku I : Aturan Umum







Buku II : - Tindak Pidana (Pasal 188 sd Pasal 612)



(Pasal 104 sd Pasal 488) • Buku III : Pelanggaran



- Ketentuan Peralihan (Pasal 613 sd Pasal 620)



(Pasal 489 sd Pasal 569)



- Ketentuan Penutup (Pasal 621 sd Pasal 624)







Penjelasan



SISTEMATIKA KUHP



BUKU I ATURAN UMUM • Disebut juga Ketentuan-Ketentuan Umum, Bagian Umum • Merupakan Pengendali seluruh sistem Hukum Pidana baik di dalam maupun di luar KUHP • Berisi Asas-Asas (hukum) pidana yang pada umumnya berlaku bagi hukum pidana positif, baik yang diatur dalam KUHP maupun Perundang-undangan di luar KUHP • Asas-Asas (hukum) pidana dipergunakan dalam implementasi hukum pidana positif • Selain mengatur Asas-Asas juga berisi Pengertian-Pengertian



BUKU I ATURAN UMUM KUHP LAMA



KUHP BARU



• Terdiri dari 9 bab : 8 bab berisi Asas dan 1 bab pengertian (Bab IX)



• Terdiri dari 6 bab: 4 bab Asas, 1 Bab pengertian (Bab V), 1 Bab Aturan Penutup



• Bab I: Batas-Batas Berlakunya Aturan Pidana dalam Perundang-undangan



• Bab I : Ruang Lingkup Berlakunya Ketentuan Peraturan Perundangundangan Pidana



• Bab II : Tentang Pidana • Bab III : Hal-hal yang Menghapuskan, Mengurangkan atau memberatkan pengenaan pidana



• Bab II : Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana • Bab III: Pemidanaan, Pidana dan Tindakan



….LANJUTAN



KUHP LAMA  Bab IV: Percobaan  Bab V : Penyertaan dalam Melakukan Perbuatan Pidana  Bab VI : Gabungan Tindak Pidana



 Bab VII : Ttg Mengajukan dan Menarik Kembali Aduan  Bab VIII: Ttg Hapusnya Kewenangan Menuntut dan Menjalankan Pidana  Bab IX : Arti beberapa Istilah



KUHP BARU • Bab IV : Gugurnya Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana • Bab V: Pengertian Istilah • Bab VI: Aturan Penutup



BEBERAPA HAL BARU DALAM KUHP BARU  Dihapuskannya perbedaan antara Kejahatan dan Pelanggaran  Meskipun tetap mengakui asas legalitas, tetapi hukum yang hidup dalam masyarakat (dhi. Hukum Adat ) dapat menjadi dasar untuk memidana  Terdapat ketentuan tentang kurang mampu bertanggungjawab, selain tidak mampu bertanggungjawab  Korporasi secara tegas diakui sebagai Subjek Tindak Pidana: kapan korporasi dianggap bertanggungjawab, siapa yang dapat dikenakan pidana, jenis pidana dan tindakan untuk korporasi



• Dicantumkannya tujuan pemidanaan • Dicantumkannya pedoman pemidanaan



…LANJUTAN  Diperkenalkannya jenis pidana pokok dan pidana tambahan yang baru • Adanya pemaafan hakim (judicial pardon)  Dibedakannya jenis pidana dan tindakan bagi orang dewasa, anak dan korporasi • Besaran pidana denda berdasarkan kategori



• Dihapuskannya pidana kurungan • Pidana mati sebagai pidana yang bersifat khusus (bukan pidana pokok)



BAB I • Bagian Kesatu: Berlakunya Hukum Pidana menurut Waktu • Asas Legalitas: Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan



PASAL 2 KUHP BARU • Diakuinya hukum yang hidup dalam masyarakat (yaitu Hukum Adat) sebagai dasar untuk memidana • Ruang lingkup keberlakuan/pembatasan:



- Berlaku di tempat hukum itu hidup (asas teritorial) - Sepanjang tidak diatur dalam KUHP - Sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, HAM dan Asas Hukum Umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa  Sanksi: Pemenuhan Kewajiban Adat, yang sebanding dengan Pidana Denda Kategori II (Rp. 10 juta)  Akan diatur dalam Peraturan Daerah (Perda), yang pembentukannya harus berdasarkan Peraturan Pemerintah yang menjadi pedoman bagi Daerah dalam menetapkan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat.



PERUBAHAN PERATURAN PERUUAN (PASAL 3 KUHP BARU) Bila terjadi perubahan Peraturan PerUUan sesudah perbuatan terjadi:  Diberlakukan UU yang baru, kecuali yang lama lebih menguntungkan bagi pelaku/pembantu  Dekriminalisasi: proses hukum dihentikan demi hukum atau pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan (bila putusan telah BHT), tanpa hak menuntut ganti rugi bagi tersangka, terdakwa, terpidana  Bila sudah BHT dan sanksi UU baru lebih ringan: pelaksanaan putusan pemidanaan disesuaikan dengan batas pidana UU baru



BAB I (PASAL 4 – PASAL 9 KUHP BARU) • Bagian Kedua: Berlakunya Hukum Pidana menurut Tempat • Asas Wilayah atau Teritorial: penambahan ketentuan untuk TP di bidang informasi • Asas Perlindungan dan Asas Nasionalitas Pasif: perluasan TP yang dicakup dan secara khusus ada perlindungan terhadap WNI • Asas Universal: dimasukkan ketentuan dalam hal pengambilalihan penuntutan oleh Pemerintah Indonesia • Asas Nasionalitas Aktif: tidak berlaku untuk TP yang hanya diancam maksimal Pidana Denda Kategori III



BAB II TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TINDAK PIDANA • Tindak Pidana • Permufakatan Jahat • Persiapan • Percobaan • Penyertaan • Pengulangan



• Tindak Pidana Aduan • Alasan Pembenar



PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA • Umum • Alasan Pemaaf



• Pertanggungjawaban Korporasi



TINDAK PIDANA Pasal 12 1) Tindak Pidana merupakan perbuatan yang oleh peraturan perundang- undangan diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan. (2) Untuk dinyatakan sebagai Tindak Pidana, suatu perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan oleh peraturan perundang- undangan harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. (3) Setiap Tindak Pidana selalu bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.



• Catatan: Rumusan Pasal 12 KUHP Baru ini tidak diatur dalam KUHP (WvS). Pasal 12 (2) dan (3) KUHP Baru menegaskan doktrin mengenai sifat melawan hukum dalam hukum pidana, yakni setiap tindak pidana melekat di dalamnya sifat melawan hukum. Baik melawan hukum itu menjadi unsur tertulis (bestandeel) maupun tidak tertulis; Pasal 12 (2) KUHP Baru menegaskan adanya hukum yang hidup dalam masyarakat. Di sini menunjukkan adanya sifat melawan hukum dalam arti materiiil. Apakah dalam arti negatif atau positif? Hal ini harus dikaitkan dengan Pasal 2 KUHP Baru Pasal 12 (3) KUHP Baru menegaskan bahwa setiap tindak pidana harus bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar. Jadi alasan pembenar itu berfungsi menghapus sifat melawan hukum dari suatu tindak pidana. Hilangnya sifat melawan hukum juga merupakan suatu alasan pembenar. Dengan hilangnya sifat melawan hukum suatu tindak pidana, maka perbuatan yang dilakukan bukan lagi tindak pidana. Orang yang melakukan tidak dapat dipidana karena dia melakukan sesuatu perbuatan yang bukan tindak pidana/ perbuatan yang legal/ yang sah.



PERMUFAKATAN JAHAT, PERSIAPAN, PERCOBAAN • Permufakatan Jahat  Pasal 13 & 14 (Pasal 88 KUHP Lama dan TP tertentu) • Persiapan  Pasal 15 & 16 (Tidak ada dalam KUHP Lama) • Percobaan  Pasal 17, 18, dan 19  Dahulu Pasal 53 & 54 KUHP



• Catatan: 1. KUHP Baru mengatur lengkap tentang



Permufakatan Jahat, Persiapan, dan Percobaan dalam Buku I; 2. Harus berhati-hati menggunakan ketentuan tentang permufakatan jahat dan persiapan , karena hanya berlaku untuk tindak pidana yang dengan tegas menyatakan bahwa permufakatan jahat dan persiapannya dapat dipidana. 3. Harus benar-benar diperhatikan unsur-unsur dan perbedaan antara permufakatan jahat, persiapan dan percobaan.



BAB II - Penyertaan: ketentuan tentang pihak-pihak yang terlibat dalam tindak pidana beserta pertanggungjawabannya - Pengulangan: dimasukkan ke dalam Buku I dan menjadi residive umum - Tindak Pidana Aduan - Alasan Pembenar: Melaksanakan ketentuan UU, Melaksanakan Perintah Jabatan, Keadaan Darurat, Bela Paksa, Tidak ada sifat melawan Hukum (dalam arti materil)



PENYERTAAN PASAL 20 KUHP BARU (PASAL 55 KUHP LAMA) Setiap Orang dipidana sebagai pelaku Tindak Pidana jika: a.



melakukan sendiri Tindak Pidana;



b.



melakukan Tindak Pidana dengan perantaraan alat atau menyuruh orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan;



c.



turut serta melakukan Tindak Pidana; atau



d.



menggerakkan orang lain supaya melakukan Tindak Pidana dengan cara memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, melakukan Kekerasan, menggunakan Ancaman Kekerasan, melakukan penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.



PASAL 21 KUHP BARU (PASAL 56 & 57 KUHP LAMA) (1) Setiap Orang dipidana sebagai pembantu Tindak Pidana jika dengan sengaja: a. memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan Tindak Pidana; atau b. memberi bantuan pada waktu Tindak Pidana dilakukan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II. (3) Pidana untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari maksimum ancaman pidana pokok untuk Tindak Pidana yang bersangkutan. (4) Pembantuan melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. (5) Pidana tambahan untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.



CATATAN • Pasal 20 KUHP Baru : 1.



Pasal 20 huruf b KUHP Baru memuat hal baru dibanding Pasal 55 (1) KUHP Lama, yakni kategori orang yang melakukan tindak pidana dengan perantaraan alat. Dalam Penjelasan Pasal 20 huruf b dijelaskan: Yang dimaksud "dengan perantaraan alat", misalnya remote control yang digunakan secara tidak langsung untuk melakukan Tindak Pidana.



2.



Pengaturan tentang penggunaan alat untuk melakukan tindak pidana ini sudah ada dalam hukum pidana negara-negara lainnya, yang dikenal sebagai: “Inanimate Object”



3.



Pasal 20 huruf b KUHP Baru menegaskan bentuk penyertaan menyuruh melakukan (doen plegen) yang tidak ada dalam terjemahan Pasal 55 (1) KUHP Lama, dimana dinyatakan: “menyuruh orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan”. Dalam penjelasan dinyatakan: “Dalam hal menyuruh melakukan, orang yang disuruh untuk melakukan Tindak Pidana tidak dipidana karena tidak ada unsur kesalahan.”



• Pasal 21 ayat (3) KUHP Baru:



merupakan pengganti dari ketentuan Pasal 57 KUHP Lama : “membantu melakukan pelanggaran tidak dipidana”. Mengingat tidak dikenal lagi tindak pidana pelanggaran, maka yang digunakan sebagai batasan adalah ancaman pidana, yaitu maksimal denda kategori II (Rp. 10 juta).



PENGULANGAN (PASAL 23 KUHP BARU) (1)Pengulangan Tindak Pidana terjadi jika Setiap Orang: a. melakukan Tindak Pidana kembali dalam waktu 5 (lima) tahun setelah menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan atau pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau b. pada waktu melakukan Tindak Pidana, kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan terdahulu belum kedaluwarsa.



(2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup Tindak Pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus, pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, atau pidana denda paling sedikit kategori III. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku untuk Tindak Pidana mengenai penganiayaan.



• Catatan: Dengan meletakkan pengaturannya di Buku I KUHP, maka ketentuan mengenai pengulangan tindak pidana bukan hanya berlaku untuk tindak pidana di Buku II KUHP saja, melainkan juga untuk tindak pidana di luar KUHP



ALASAN PEMBENAR • Pasal 31 KUHP Baru (Pasal 50 KUHP Lama) Setiap Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana, jika perbuatan tersebut dilakukan untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan.



• Pasal 32 KUHP Baru (Pasal 51 ayat (1) KUHP lama ) Setiap Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana, jika perbuatan tersebut dilakukan untuk melaksanakan perintah jabatan dari Pejabat yang berwenang.



• Pasal 33 KUHP Baru (Perluasan Pasal 48 KUHP Lama)  yang berupa keadaan darurat Setiap Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana, jika perbuatan tersebut dilakukan karena keadaan darurat.



• Pasal 34 KUHP Baru (Pasal 49 ayat (1) KUHP Lama) Setiap Orang yang terpaksa melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana, jika perbuatan tersebut dilakukan karena pembelaan terhadap serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan dalam arti kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain.



• Pasal 35 KUHP Baru  Tidak ada dalam KUHP (WvS) Ketiadaan sifat melawan hukum dari Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) merupakan alasan pembenar.



KUHP BARU MEMISAHKAN SECARA JELAS ALASAN PENGHAPUS PIDANA MENJADI: ALASAN PEMBENAR



ALASAN PEMAAF



• Diatur di bagian tentang Tindak Pidana



• Alasan pemaaf ini diatur di bagian tentang Pertanggungjawaban Pidana



• Fungsi dari alasan pembenar adalah menghapus sifat melawan hukum dari tindak pidana, sehingga tepat sekali diatur di bagian Tindak Pidana



• Fungsi dari alasan pemaaf adalah menghapus kesalahan si pelaku tindak pidana sehingga tepat sekali diatur di bagian pertanggungjawaban pidana



• Dinyatakan secara tegas apa saja yang merupakan alasan pembenar, yang dulu hanya ada dalam doktrin/ ajaran para ahli hukum dan yurisprudensi



• Dinyatakan secara tegas apa saja yang merupakan alasan pemaaf, yang dulu hanya ada dalam doktrin/ ajaran para ahli hukum dan yurisprudensi



PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA Pasal 36 KUHP Baru (1) Setiap Orang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan. (2) Perbuatan yang dapat dipidana merupakan Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja, sedangkan Tindak Pidana yang dilakukan karena kealpaan dapat dipidana jika secara tegas ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.



Pasal 37 KUHP Baru Dalam hal ditentukan oleh Undang-Undang, Setiap Orang dapat: a. dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur Tindak Pidana tanpa memperhatikan adanya kesalahan; atau b. dimintai pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan oleh orang lain.



Pasal 38 KUHP Baru Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan.



Pasal 39 Baru Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.



PENJELASAN • Pasal 36 Ayat (1) • Ketentuan ini menegaskan prinsip tiada pidana tanpa kesalahan. Secara doktriner, bentuk kesalahan dapat berupa kesengajaan dan kealpaan. • Ayat (2) Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan bahwa setiap Tindak Pidana dalam peraturan perundang-undangan harus selalu dianggap dilakukan dengan sengaja dan unsur kesengajaan ini harus dibuktikan pada setiap tahap pemeriksaan perkara. Bentuk lain dari sengaja biasanya dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan menggunakan istilah “dengan maksud”, “mengetahui”, “yang diketahuinya”, “padahal diketahuinya”, atau “sedangkan ia mengetahui”.



CATATAN TERKAIT PASAL 36 KUHP BARU (1) 1. Pasal 36 ayat (1) menyatakan bahwa Setiap Orang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan. Pasal 36 ayat (2) menyatakan bahwa Perbuatan yang dapat dipidana merupakan Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja, sedangkan Tindak Pidana yang dilakukan karena kealpaan dapat dipidana jika secara tegas ditentukan dalam peraturan perundangundangan. Penjelasan Pasal 36 (1) menyatakan bahwa “Ketentuan ini menegaskan prinsip tiada pidana tanpa kesalahan”. 2. Penjelasan Pasal 36 Ayat (2) menegaskan bahwa Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan bahwa setiap Tindak Pidana dalam peraturan perundangundangan harus selalu dianggap dilakukan dengan sengaja dan unsur kesengajaan ini harus dibuktikan pada setiap tahap pemeriksaan perkara. Hal penting yang harus digarisbawahi bahwa “unsur kesengajaan ini harus dibuktikan pada setiap tahap pemeriksaan perkara”.



CATATAN TERKAIT PASAL 36 KUHP BARU (2) 1. Penyidik dan jaksa tidak bisa menyerahkan persoalan pembuktian unsur kesalahan (khususnya kesengajaan) pada hakim di tahap persidangan; penyidik tidak bisa hanya mencari alat bukti untuk menemukanunsur-unsur tertulis yang secara tegas tertulis dalam rumusan delik (bestanddelen) saja. Soal “unsur sengaja” dalam kebanyakan pasal tidak disebutkan dalam Pasal (karena pengaruh ajaran monism dalam KUHP Baru). Penyidik dan jaksa tidak bisa menyerahkan saja, urusan pembuktian unsur sengaja di depan pengadilan, karena Penjelasan Pasal 36 ayat (2) KUHP Baru secara tegas menyatakan bahwa “unsur kesengajaan ini harus dibuktikan pada setiap tahap pemeriksaan perkara”. 2. Untuk bentuk lain dari unsur “dengan sengaja” yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan menggunakan istilah “dengan maksud”, “mengetahui”, “yang diketahuinya”, “padahal diketahuinya”, atau “sedangkan ia mengetahui” (Penjelasan Pasal 36 ayat (2 )KUHP Baru), sudah tidak ada keraguan lagi bahwa harus dibuktikan, karena merupakan unsur tertulis dalam rumusan tindak pidana (bestanddelen).



ALASAN PEMAAF Pasal 40 KUHP Baru belum diatur di KUHP Lama Pertanggungjawaban pidana tidak dapat dikenakan terhadap anak yang pada waktu melakukan Tindak Pidana belum berumur 12 (dua belas) tahun.



Pasal 41 KUHP Baru  Sesuai dengan UU SPPA Dalam hal anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan Tindak Pidana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional mengambil keputusan untuk: a.



menyerahkan kembali kepada Orang Tua/wali; atau



b.



mengikutsertakan dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik pada tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) Bulan.



Pasal 42 KUHP Baru  Dahulu Pasal 48 KUHP  yang berupa daya paksa Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana tidak dipidana karena: a.



dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan; atau



b.



dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari.



Pasal 43 KUHP Baru (Pasal 49 ayat (2) KUHP Lama Setiap Orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum, tidak dipidana.



Pasal 44 KUHP Baru (Pasal 51 ayat (2) KUHP Lama) Perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang tidak mengakibatkan hapusnya pidana, kecuali jika orang yang diperintahkan dengan iktikad baik mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya, termasuk dalam lingkup pekerjaannya.



PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI •



Penegasan bahwa Korporasi merupakan subjek Tindak Pidana







Luas lingkup Korporasi







Pengertian Tindak Pidana Korporasi: untuk menunjukkan siapa yang perbuatan dan/atau kesalahannya dipertanggungjawabkan oleh korporasi







Persyaratan untuk mempertanggungjawabkan korporasi



 Sistem pertanggungjawaban dalam tindak pidana korporasi  Dasar penghapus pidana untuk korporasi



PASAL 45 (1)



Korporasi merupakan subjek Tindak Pidana.



(2) Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, yayasan, koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau yang disamakan dengan itu, serta perkumpulan baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbentuk firma, persekutuan komanditer, atau yang disamakan dengan itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



PASAL 146 Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, yayasan, perkumpulan, koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, atau yang disamakan dengan itu, maupun perkumpulan yang tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbentuk firma, persekutuan komanditer, atau yang disamakan dengan itu.



TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI Tindak Pidana yang dilakukan oleh pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi Korporasi atau orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi atau bertindak demi kepentingan Korporasi, dalam lingkup usaha atau kegiatan Korporasi tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama



…juga dapat dilakukan oleh pemberi perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat Korporasi yang berada di luar struktur organisasi, tetapi dapat mengendalikan Korporasi.



PERSYARATAN UNTUK MEMPERTANGGUNGJAWABKAN KORPORASI  termasuk dalam lingkup usaha atau kegiatan sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi Korporasi;  menguntungkan Korporasi secara melawan hukum;  diterima sebagai kebijakan Korporasi;  Korporasi tidak melakukan Langkah-langkahyang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana; dan/atau  Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana



SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Pertanggungjawaban atas Tindak Pidana oleh Korporasi dikenakan terhadap a.



Korporasi,



b.



pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional,



c.



pemberi perintah,



d.



pemegang kendali, dan/atau



e.



pemilik manfaat Korporasi.



DASAR PENGHAPUS PIDANA UNTUK KORPORASI Alasan pembenar dan alasan pemaaf yang dapat diajukan oleh pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat Korporasi dapat juga diajukan oleh Korporasi sepanjang alasan tersebut berhubungan langsung dengan Tindak Pidana yang didakwakan kepada Korporasi.



BAB III : PEMIDANAAN, PIDANA DAN TINDAKAN • Bagian Kesatu: Tujuan dan Pedoman Pemidanaan • Bagian Kedua: Pidana dan Tindakan • Bagian Ketiga: Diversi, Tindakan dan Pidana Bagi Anak • Bagian Keempat: Pidana dan Tindakan Bagi Korporasi • Bagian Kelima: Perbarengan



TUJUAN PEMIDANAAN • Pencegahan • Pemasyarakatan/Rehabilitasi • Penyelesaian konflik, pemulihan keseimbangan, serta penciptaan rasa aman dan damai • Penumbuhan penyesalan terpidana



PEDOMAN PEMIDANAAN • Kewajiban hakim:  Untuk menegakkan hukum dan keadilan  Mengutamakan keadilan bila ada pertentangan antara hukum dan keadilan • Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan hakim ketika akan memutus perkara



• Pedoman untuk tidak menjatuhkan pidana penjara • Pemaafan Peradilan (judicial Pardon): Hakim dapat memutus perkara tanpa menjatuhkan pidana atau tanpa mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan sejumlah faktor



PIDANA DAN TINDAKAN • Pidana Pokok, Pidana Tambahan dan Tindakan berbeda –beda untuk orang dewasa, anak-anak, korporasi • Tidak lagi ada pidana kurungan • Pidana pokok baru bagi orang dewasa: pidana pengawasan dan pidana kerja sosial sebagai alternatif pidana penjara; merupakan cara melaksanakan pidana penjara (strafmodus)



• Pidana mati merupakan pidana yang bersifat khusus yang selalu diancamkan secara alternatif (Pasal 67) • Pidana denda berdasarkan kategori (I sampai dengan VIII)



PIDANA POKOK DAN TAMBAHAN BAGI ORANG DEWASA PIDANA POKOK



• pidana penjara



• pidana tutupan • pidana pengawasan • pidana denda • pidana kerja sosial



PIDANA TAMBAHAN • pencabutan hak tertentu • perampasan barang tertentu dan/tagihan • pengumuman putusan hakim • pembayaran gantirugi; • pencabutan izin tertentu;



• pemenuhan kewajiban adat setempat



PIDANA MATI DENGAN MASA PERCOBAAN (1) Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan: • a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau • b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana. (2) Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan. (3) Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) Hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.



........



DENDA: 8 KATEGORI



Minimum Rp. 50.000



Kategori



Besaran Maksimal (Rp.)



I



1 Juta



II



10 Juta



III



50 Juta



IV



200 Juta



V



500 Juta



VI



2M



VII



5M



VIII



50 M



JENIS PIDANA BAGI ANAK PIDANA POKOK



PIDANA TAMBAHAN



A. Pidana peringatan; B. Pidana dengan syarat: 1.Pembinaan di luar lembaga; 2. Pelayanan masyarakat; atau 3. Pengawasan. C. Pelatihan kerja; D. Pembinaan dalam lembaga; dan E. Pidana Penjara.



• Perampasan keuntungan yang diperoleh • Pemenuhan kewajiban adat



PIDANA DAN TINDAKAN BAGI KORPORASI PIDANA



TINDAKAN



• Pidana Pokok (Denda)



a. pengambilalihan Korporasi;



• Pidana Tambahan



b. penempatan di bawah pengawasan; dan/atau c. penempatan Korporasi di bawah pengampuan.



BAB IV: GUGURNYA KEWENANGAN PENUNTUTAN DAN PELAKSANAAN PIDANA • Bagian Kesatu: Gugurnya Kewenangan Penuntutan • Bagian Kedua: Gugurnya Kewenangan Pelaksanaan Pidana



KEWENANGAN PENUNTUTAN GUGUR, JIKA: a.



telah ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap seseorang atas perkara yang sama;



b.



tersangka atau terdakwa meninggal dunia;



c.



kedaluwarsa;



d.



maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II;



e.



maksimum pidana denda kategori IV dibayar dengan sukarela bagi Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III;



f.



ditariknya pengaduan bagi Tindak Pidana aduan; atau



g.



telah ada penyelesaian di luar proses peradilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang; atau



h.



diberikannya amnesti atau abolisi



KEWENANGAN GUGURNYA PENUNTUTAN BAGI KORPORASI: Ketentuan mengenai gugurnya kewenangan penuntutan bagi Korporasi sama dengan ketentuan untuk orang dengan memperhatikan ketentuan tentang pidana denda bagi korporasi.



KEWENANGAN PELAKSANAAN PIDANA DINYATAKAN GUGUR, JIKA: a. terpidana meninggal dunia; b. kedaluwarsa; c. terpidana mendapat grasi atau amnesti; atau d. penyerahan untuk pelaksanaan pidana ke negara lain



BAB V: PENGERTIAN ISTILAH • Berbeda dengan KUHP, Pengertian Istilah dalam KUHP berlaku juga berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang ( Pasal 187 RKUHP)



• Berisi pengertian, definisi atau batasan: rumusan tentang ruang lingkup dan ciri-ciri suatu konsep yang menjadi pokok bahasan



PENGERTIAN ISTILAH • Sebagian besar istilah sama dengan yang ada dalam KUHP Lama • Ada yang diambil dari UU di luar KUHP Lama • Ada istilah yang sama dengan KUHP Lama, tapi diberi pengertian yang berbeda, misalnya anak kunci palsu, ternak, kekerasan, makar • Ada istilah yang baru, misalnya korporasi, anak kunci, komputer, surat, korban, informasi elektronik, kode akses



BAB VI ATURAN PENUTUP (PASAL 187 KUHP BARU) Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab V Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut UndangUndang



• Menunjukkan hubungan antara KUHP dengan peraturan perundangundangan lain yang memuat sanksi pidana • Menunjukkan nuansa antisipatif apabila di kemudian hari terjadi perkembangan yang harus menyimpang dari asas kodifikasi (terlihat dari frasa”kecuali ditentukan lain menurut undang-undang)



SEMOGA BERMANFAAT TERIMA KASIH SELANJUTNYA MARI KITA BERDISKUSI...