Burst Abdomen Dan WSD [PDF]

  • Author / Uploaded
  • riya
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BURST ABDOMEN



A. Definisi Burst abdomen juga dikenal sebagai abdominal wound dehiscence atau luka operasi terbuka, didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai terbukanya sebagian atau seluruh luka operasi yang disertai protusi atau keluarnya isi rongga abdomen. Keadaan ini sebagai akibat kegagalan proses penyembuhan



luka operasi. Wound dehiscence merupakan komplikasi



pertama dari pembedahan abdominal. Insidensinya sekitar 0,2% sampai dengan 0,6% dengan angka mortalitas cukup tinggi, mencapai 10% sampai dengan 40%, disebabkan penyembuhan luka operasi yang inadekuat (Baxter, 2003). Terjadinya



wound dehiscence dengan berbagai kondisi seperti



anemia, hipoalbumin, malnutrisi, keganasan, obesitas dan diabetes, usia lanjut, prosedur pembedahan spesifik seperti pembedahan pada kolon atau laparatomi emergency. Wound dehiscence dapat juga terjadi karena perawatan luka yang tidak adekuat serta faktor mekanik seperti batuk batuk yang berlebihan, ileus obstruktif dan hematom serta tekhnik operasi yang kurang baik (Afzal, 2008). Burst abdomen atau abdominal wound dehiscence adalah terbukanya tepi-tepi luka sehingga menyebabkan evirasi atau pengeluaran isi organorgan dalam seperti usus, hal ini merupakan salah satu komplikasi post operasi dari penutupan luka di dalam perut. (Saktya, 2011).



B. Klasifikasi Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi menjadi dua : a. Dehisensi luka operasi dini : terjadi kurang dari 3 hari paska operasi yang biasanya disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding perut yang tidak baik. b. Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari sampai 12 hari paska operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan dengan usia, adanya infeksi, status gizi dan faktor lainnya (Sjamsudidajat R, 2005).



C. Etiologi Faktor penyebab dehisensi luka operasi berdasarkan mekanisme terjadinya dibedakan atas tiga yaitu: a. Faktor mekanik : adanya makanan dapat menyebabkan akibat jahitan jaringan semakin meregang dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi. Faktor mekanik tersebut antara lain batuk batuk yang berlebihan, ileus obstruktif dan hematom serta tekhnik operasi yang kurang. b. Faktor metabolic : hipoalbuminemia, diabetes mellitus, anemia, gangguan keseimbangan elektrolit serta defesiensi vitamin dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka. c. Faktor infeksi : semua faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka operasi akan meningkatkan terjadinya dehisensi luka operasi. Secara klinis biasanya terjadi pada hari ke 6 sampai dengan 9 pasca operasi dengan gejala suhu badan yang meningkat disertai tanda peradangan disertai luka. Menurut National Nosocomial Infection Survelance System, luka operasi dibedakan menjadi luka bersih, bersih terkontaminasi, terkontaminasi dan kotor. Infeksi luka jahitan yang terjadi dini ditandai dengan peningkatan temperature dan terjadinya selulitis dalam waktu 48 jam setelah penjahitan. Dehisensi luka operasi akan segera terjadi jika infeksi tidak diatasi. Infeksi dini seringkali disebabkan oleh streptococcus B haemolyticus. Sedangkan pada infeksi lanjut seringkali tidak disertai peningkatan temperatur dan pembentukan pus, dan terutama disebabkan oleh Stafilococcus aureus (Afzal, 2008). Terjadinya



burst



abdomen



dipengaruhi



oleh



banyak



faktor.



Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan faktor resiko akan dibedakan menjadi tiga bagian yaitu faktor pre-operative, operative, dan postoperative (British Medical Journal: 1966). a. Pre operasi Faktor pre-operative ini biasanya berhubungan dengan keadaan pasien sebelum operasi dan karakteristik pasien.



1. Jenis kelamin Kejadian pada pria dan wanita didapatkan perbedaan yang sedikit meningkat pada pria yang mana berbanding 3:1. Hal ini dapat



dipicu karena faktor merokok, pada pria sering mengalami batuk persisten sehingga dapat meningkatkan tekanan intraabdomen dan lebih beresiko terjadi burst abdomen. 2. Umur Kejadian burst abdomen meningkat dengan bertambahnya umur. Burst abdomen pada pasien yang berumur 45 tahun sebesar 5,4%. (Schwartz et al, Principles Of Surgery) Burst abdomen sering terjadi pada usia >60 tahun. Hal ini dikarenakan sejalan dengan bertambahnya umur, organ dan jaringan tubuh mengalami proses degenerasi dan otot dinding rongga perut melemah. (Lotfy, 2009) Hal ini mungkin dikarenakan hal-hal sebagai berikut: a) Faktor penentu sebelum terjadinya burst abdomen yang sering ditemukan yaitu batuk kronis, konstipasi kronis dan dysuria. b) Adanya anemia, hypoproteinaemia, dan beberapa kekurangan vitamin dalam kelompok usia ini. c) Komplikasi pasca operasi seperti mengejan, batuk, dan muntah berulang. 3. Anemia Hemoglobin menyumbang oksigen untuk regenerasi jaringan granulasi



dan



penurunan



tingkat



hemoglobin



mempengaruhi



penyembuhan luka. (Lotfy, 2009). Pada beberapa studi dikemukakan bahwa rendahnya kadar hemoglobin ( 140 mg/dl atau GDA> 200 mg/dl) Pada orang dengan diabetes, proses penyembuhan luka berlangsung lama. (Lotfy, 2009). DM berkaitan dengan gangguan metabolisme pada jaringan ikat hal tersebut tentu saja amat sangat berpengaruh terhadap daya tahan tubuh sehingga akan mengganggu proses penyembuhan luka operasi. Sehingga pengendalian DM yang baik dibutuhkan untuk menghindari DM sebagai faktor resiko. b. Operasi 1. Tipe insisi



Midline incision memiliki insiden terjadinya burst abdomen lebih besar dari pada transverse incision. Midline incision tidak anatomis karena incisi ini memotong serabut aponeurotik, sedangkan pada transverse incision memotong diantara serabut. Kontraksi pada dinding abdomen akan memberikan tekanan untuk membantu penutupan



luka.



Pada



midline



incision,



kontraksi



ini



dapat



menyebabkan adanya luka baru pada lateral jahitan, sedangkan pada transverse incision, jahitan akan merapat. Midline incision banyak digunakan karena dengan teknik ini lapangan pandang saat operasi menjadi lebih luas untuk melakukan explorasi.



Tipe insisi midline



Tipe insisi transversal 2. Jahitan luka Berdasarkan hasil penelitian teknik continuous Z memiliki faktor resiko terjadinya burst abdomen lebih besar yaitu sebesar 14,8% sedangkan pada teknik interrupted X hanya sebesar 2,17%. c. Post operasi 1. Peningkatan tekanan intra-abdominal Peningkatan tekanan ini dapat disebabkan oleh batuk, muntah, ileus, dan retensi urine. Setelah beberapa operasi intra abdomen, kejadian ileus tidak dapat dielakkan. Tekanan intra abdomen yang tinggi mungkin disebabkan pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik yang biasanya mereka menggunakan otot-otot abdomen sebagai otot tambahan untuk respirasi. Sebagai tambahan, batuk yang terjadi mendadak dapat meningkatkan tekanan intra abdomen. Beberapa factor yang berperan dalam peningkatan tekanan abdomen seperti obstruksi usus post opersi, obesitas, dan cirrhosis dengan adanya ascites. Tekanan intraabdominal yang tinggi akan menekan otot-otot dinding abdomen sehingga akan teregang. Regangan otot dinding abdomen inilah yang akan menyebabkan berkurangnya kekuatan jahitan bahkan pada kasus yang berat akan



menyebabkan putusnya benang pada jahitan luka operasi dan keluarnya jaringan dalam rongga abdomen. Hal



yang



menyebabkan



peningkatan



tekanan



intra



abdomen



diantaranya: a) Mengangkat beban berat b) Batuk dan bersin yang kuat c) Mengejan akibat konstipasi 2. Infeksi pada luka Produk infeksi yang dihasilkan dapat menghambat proses penyembuhan luka. Gagalnya penyatuan fasia karena adanya nekrosis dipercaya dapat menyebabkan burst abdomen. Selain itu terjadinya burst abdomen atau wound dehiscence dapat disebabkan oleh beberapa factor sistemik dan local yang berpengaruh terhadap timbulnya luka komplikasi ini. a. Faktor Sistemik. Burst abdomen jarang diderita pada pasien dibawah usia 30 tahun tetapi pada pasien diatas usia 60 tahun dengan operasi laparotomi hanya didapatkan sebanyak 5 %. Burst abdomen banyak dijumpai



pada



pasien



immunosuppresion,



dengan



jaundice,



Diabetes



sepsis,



mellitus,



hipoalbuminemia,



uremia, pasien



dengan obesitas, riwayat keganasan, maupun pasien dengan penggunaan obat-obatan kortikosteroid. b. Faktor Lokal. Ketiga factor local yang penting untuk terjadinya burst abdomen diantaranya adalah: penutupan luka yang tidak adekuat, peningkatan tekanan intraabdomen, dan gangguan pada proses penyembuhan luka. Burst abdomen lebih sering terjadi karena kombinasi ketiga factor tersebut dibandingkan bila hanya muncul salah satu saja. Jenis incise pada saat operasi seperti incise transversal maupun longitudinal sampai saat ini tidak berpengaruh terhadap insiden dari burst abdomen. 3. Penutupan jahitan dari Luka Operasi Penutupan yang adekuat dari luka operasi merupakan salah factor yang penting dalam hal penyembuhan luka operasi. Lapisan fasial memberikan kekuatan pada saat penutupan dan ketika fascia



terbuka atau rusak (disrupts) luka akan terbuka dan menjadi rusak. Keakuratan penutupan pada lapisan anatomi sangat penting untuk penutupan luka yang adekuat. Banyak luka-luka menjadi rusak (burst/dehiscence) disebabkan karena terputusnya jahitan sampai kedalam fascia. 4. Gangguan pada Penyembuhan Luka Infeksi merupakan factor yang berhubungan pada separuh lebih terjadinya luka karena rusak. Adanya drain, seroma, dan luka hematom juga sebagai tanda adanya penyembuhan luka yang terlambat. Normalnya, “healing ridge” ( penebalan kira-kira 0,5 cm dari masing-masing sisi jahitan) tampak pada akhir dari minggu pertama setelah operasi. Jika muncul jenis luka seperti ini maka secara klinis penyembuhan luka berjalan dengan baik dan adekuat, dan ini biasanya tidak muncul pada luka yang rusak. 5. Terapi radiasi Riwayat pemakaian terapi radiasi mengganggu sintesis protein normal, mitosis, migrasi dari faktor peradangan, dan pematangan kolagen.



D. Manifestasi Klinis Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya penderita sering merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang bergerak keluar disertai keluarnya cairan serous berwarna merah muda dari luka operasi (85% kasus). Pada pemeriksaan didapatkan luka operasi yang terbuka. Terdapat pula tanda tanda infeksi umum seperti adanya rasa nyeri, edema dan hiperemesis pada daerah sekitar luka operasi, dapat pula terjadi pus atau nanah yang keluar dari luka operasi (Sjamsudidajat, 2005). Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara klinis terjadi pada hari keempat hingga Sembilan pascaoperasi. Penderita datang dengan klinis febris, hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah leukosit yang sangat tinggi dan pemeriksaan jaringan disekitar luka



operasi



didapatkan



reaksi



radang



berupa



kemerahan,



hangat,



pembengkakan, nyeri, fluktasi dan pus (Afzal, 2008). Keadaan umum pasien juga menurun ditandai dengan wajah tampak anemis dan pasien tampak sangat kesakitan. Luka yang terjadi pada dinding abdomen menjadi jelek dan kelihatan rusak. Dalam satu hari keadaan ini akan diikuti oleh penonjolan usus dari luka kulit yang menganga pada operasi kulit (incisional hernia). Gejala intraperitoneal sepsis merupakan salah satu tanda adanya burst abdomen. a. Nyeri setelah beberapa hari operasi b. Keluar cairan merah pada bekas jahitan atau bahkan keluar nanah c. Luka jahitan menjadi lembek dan merah (hiperemi) d. Perut distended (membesar dan tegang) yang menandai adanya infeksi di daerah tersebut e. Keadaan umum pasien juga menurun ditandai dengan wajah tampak anemis dan pasien tampak sangat kesakitan E. Pemeriksaan Diagnostik 1. Laboratorium Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui resiko yang dapat memperparah



penyakit.



Pemeriksaan



laboratorium



ini



meliputi



pemeriksaan darah lengkap dan kimia darah. 2. Sinar X abdomen Sinar X abdomen menunjukkan abnormalnya tinggi kadar gas dalam usus atau obstruksi usus. 3. CT scan atau MRI Untuk mendiagnosa kelainan-kelainan yang terdapat dalam tubuh manusia, juga sebagai evaluasi terhadap tindakan atau operasi maupun terapi yang akan dilakukan terhadap pasien. 4. Tes Darah lengkap Hemoglobin, serum protein, gula darah, serum kreatinin, dan urea. Hitung darah lengkap dan serum elektrolit dapat menunjukkan hemokonsentrasi (peningkatan



hematokrit),



ketidakseimbangan elektrolit.



peningkatan



sel



darah



putih,



dan



F. Penatalaksanaan Penatalaksanaan burst abdomen dipengaruhi oleh keadaan umum pasien dimana dapat dibagi menjadi dua, yaitu terapi non-operatif dan operatif. 1. Terapi non-operatif Terapi ini dilakukan bila keadaan umum pasien stabil dan tidak disertai adanya eviserasi. Perawatan luka yang dilanjutkan dengan penutupan secara steril perlu dilakukan. Pasien dianjurkan tidak turun dari tempat tidur dan menutup luka dengan handuk yang dibasahi dengan cairan steril. Abdominal binder dapat digunakan untuk membantu proses penutupan luka. Diharapkan luka dapat menutup kembali, atau jika keadaan pasien sudah membaik, maka dapat direncanakan operasi. Jika pasien datang dengan burst abdomen dan eviserasi : a. Inform Consent b. Puasa dilakukan 4 jam sebelum pembedahan, pemasangan NGT dekompresi. c. Pasang infus, bericairan standard N4 dengan tetesan sesuai kebutuhan. d. Antibiotik pra bedah diberikan secara rutin. e. Dilakukan rawat luka pada abdomen dengan teknik steril selama dua f.



hari sekali. Perlu diperhatikan juga tentang nutrisi pasien. Pemberian nutrisi tinggi protein dan serat pada pasien dengan burst abdomen membantu



penyembuhan dan fungsi saluran cerna pasien. 2. Terapi operatif Tindakan yang harus segera dilakukan oleh ahli bedah bila menjumpai adanya burst abdomen adalah dengan memperbaiki kembali luka



operasi



yang



ditimbulkan



segera



dengan



terlebih



dahulu



mengevaluasi struktur di dalamnya. dibilas dengan cairan isotonis ringer lactate yang mengandung antibiotic dan kemudian dilakukan penutupan kembali dinding abdomen. Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum operasi. Tindakan repair ini harus dilakukan dalam keadaan steril (diatas meja operasi) dan dengan anastesi general. Lepas dahulu jahitan yang telah dilakukan operasi pada bagian yang mengalami burst, kemudian explore bagian terdalam dari luka yang rusak dengan jari yang menggunakan sarung



tangan steril sampai bagian jahitan yang terbuka kemudian evaluasi apa yang terjadi apakah terdapat sumber infeksi. Kemudian dilakukan pencucian luka secara mekanik dengan cairan isotonis yang mengandung antibiotic yang berlimpah, setelah itu dilakukan perbaikan jahitan dengan memberikan jahitan ekstra untuk mencegah timbulnya luka dehiscence berulang. Operasi Pembedahan Penjahitan dilakukan dengan tehnik yang sesuai dan teliti dengan menggunakan jarum dan benang yang sesuai (monofilamen nilon atau poligycolic acid), setelah repair jahitan selesai luka ditutup dengan kassa basah steril dan diberi antibiotik, kemudian ditutup kembali sehingga tidak terkontaminasi dengan dunia luar. 1. Operasi pembedahan, dilakukan untuk menutup lubang dan memperkuat bagian yang lemah, otot perut dirapatkan menutupi lubang yang ada. 2. Kebanyakan untuk pasien akut atau baru saja terjadi luka disarankan untuk operasi kembali. 3. Kebanyakan teknik yang utama adalah segera menjahit kembali pada tempat jahitan semula yang mengalami perobekan. 4. Pemberian antibiotic preoperative spektum meluas. 5. Bebaskan lipatan peritonim dan usus untuk jarak yang pendek pada permukaan yang dalam dari luka pada kedua sisi. 6. Masukkan jahitan luka yang dalam. 7. Kemudian proses akir dari dinding abdomen, yakinlah untuk mengambil potongan yang dalam dari jari, memakai materi jahitan yang banyak dan hindari tegangan yang berlebihan pada luka. 8. Tutup kulit dengan agak longgar dan mempertimbangkan pemakaian pengering luka dangkal. Jika terjadi infesi luka yang buruk , jangan biarkan luka terbuka dan bungkuslah. Penumpukan Jahitan Ada beberapa teknik penumpukan jahitan, tetapi pada prinsipnya adalah : 1) Memakai jahitan luka yang padat dan tidak menyerap. 2) Luas potongan paling tidak 3cm dari tepi luka dan interval stik jahitan 3cm atau kurang. 3) Salah satu dari eksternal (menggabungkan semua lapisan peritonium melewati kulit) atau (semua lapisan kecuali kulit) mungkin digunakan.



4) Penumpukan jahitan luka internal dapat menghindari pembentukan bekas luka yang tidak sedap dipandang akan tetapi luka itu tidak dapat dipindahkan pada waktu berikutnya(meningkatkan resiko infeksi) 5) Jangan mengikat terlalu kuat 6) Penumpukan jahitan luka eksternal biasanya dibiarkan selama paling tidak tiga minggu. G. Asuhan Keperawatan Diagnosa keperawatan 1. Nyeri akut berhubungan dengan terbukanya luka operasi. 2. Pola napas tidak teratur berhubungan dengan nyeri. 3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nafsu makan menurun 4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses invasif pada abdomen 5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan dan peningkatan terhadap pajanan. Intervensi 1. Nyeri akut berhubungan dengan terbukanya luka operasi. Tujuan: rasa nyeri pasien berkurang bahkan hilang Intervensi



Rasional



1. Kaji tingkat nyeri yang dirasakan oleh pasien, 1. Dapat mengindikasikan rasa sakit akut dan lokasi dan intensitas ( skala 1-10). ketidaknyamanan. 2. Kaji tanda-tanda vital, perhatikan tachikardi, hipertensi, dan peningkatan pernapasan.



2. Untuk memahami ketidaknyamanan.



3. Berikan informasi mengenai sifat ketidaknyamanan, sesuai kebutuhan.



3. Melepaskan tegangan emosional dan otot, tingkatkan perasaan control yang mungkin dapat meningkatkan kemampuan koping.



4. Dorong penggunaan tehnik relaksasi, misalnya latihan napas dalam, bimbingan imajinasi, visualisasi.



4. Respirasi mungkin menurun pada pemberian narkotik, dan mungkin menimbulkan efek sinergistik dengan zat-zat anastesi.



5. Kolaborasikan untuk pemberian obat analgesic yang sesuai.



5. Analgesik akan menimbulkan penghilangan nyeri yang lebih efektif.



Untuk mengetahui tingkat nyeri pasien sehingga dapat menentukan intervensi yang sesuai



2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan nyeri Tujuan : Pasien menunjukan pola napas yang efektif Kriteria hasil :



-



Pasien bebas dari tanda-tanda hipoksia Bunyi nafas tambahan tidak ada Pasien tidak menunjukan otot bantu pernafasan



INTERVENSI



RASIONAL



1. Observasi frekuensi dan kedalaman pernapasan, pemakaian otot bantu pernapasan, perluasan rongga dada, retraksi tau pernapasan cuping hidung, warna kulit dan aliran udara.



1. Dilakukan untuk memastikan efektivitas pernapasan sehingga upaya memperbaikinya dapat segera dilakukan.



2. Berikan tambahan oksigen sesuai kebutuhan 3. Berikan instruksi untuk latihan nafas dalam 4. Catat kemajuan yang ada pada klien tentang pernafasan



3.



2. Dilakukan untuk meningkatkan atau memaksimalkan pengambilan oksigen yang akan diikat oleh Hb. 3. Dengan latihan napas yang rutin, klien dapat terbiasa untuk napas dalam yang efektif. 4. Sebagai indikator efektif atau tidakkah intervensi yang dilakukan perawat pada klien.



Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan



nafsu makan menurun Tujuan : nutrisi pasien adekuat Criteria Hasil: Nafsu makan pasien meningkat BB stabil, meningkat mendekati 48 Kg Intervensi: Intervensi



Rasional



1. Kolaborasikan dengan ahli gizi untuk menberikan diet TKTP



1. Untuk menentukan pemberian nutrisis kepada pasien



2. Diskusikan dengan dokter tentang 2. Untuk meningkatkan nafsu makan kebutuhan stimulus nafsu makan, makanan pasien pelengkap, atau kemungkinan pemberia 3. Meningkatkan kesediaan pasien makanan melalui selang untuk makan 3. Dukung anggota keluarga untuk 4. Untuk mengevaluasi keefektifan membawa makanan kesukaan pasien intervensi yang telah diberikan dengan tetap memperhatikan status kesehatan pasien 5. Untuk mengetahui perkembangan 4. Berikan edukasi kepada pasie tentang nutrisi pasien pentingnya asupan nutrisi yang adekuat untuk membantu proses enyembuhan pasien



5. Lakukan pemeriksaan BB secara teratur Sebagai sumber energy pasien untuk mempercepat proses penyembuhan



4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka bekas operasi Tujuan : pasien menunjukan integritas kulit yang baik Criteria hasil: Terbebas dari adanya lesi jaringan Resolusi pada daerah ekstermitas baik intervensi : Intervensi



Rasional



1. Lakukan perawatan luka secara teratur



1. Mempercepat proses penyembuhan luka



2. Ajarkan perawatan luka insisi pembedahan, termasuk tanda dan gejala infeksi, cara untuk 2. Supaya keluarga atau pasien dapat mempertahankan luka insisi tetap kering dan melakukan perawatan luka secara mandiri mengrangi stress pada insisi 3. Menghindari adanya resiko infeksi 3. Buang debris dan bekas luka yang merekat 4. untuk memberikan asupan nutrisi yang 4. Konsultasikan pada ahli gizi tentang sesuai sehingga mempercepat proses makanan tinggi protein, mineral, kalori dan penyembuhan luka. vitamin 5. Menghindari ketegangan pada luka 5. Posisikan pasien untuk menghindari yang dapat memperburuk keadaan ketegangan pada luka, jika diperlukan 6. Mengetahui proses penyembuhan luka 6. Pantau secara teratur kondisi luka pasien pada pasien



5.



Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan dan



peningkatan terhadap pajanan. Tujuan: faktor resiko infeksi akan hilang Kriteria hasil: Pasien terbebas dari tanda dan gejala infeksi Pasien menunjukan higiene pribadi adekuat Melaporkan tanda dan gejala infeksi Intervensi



Rasional



1. Control infeksi, sterilisasi dan rosedur atau kebijakan aseptik.



1. Tetapkan mekanisme yang dirancang untuk mencegah infeksi.



2. Uji bahwa pembersihan kulit post operasi telah dilakukan.



2. Pembersihan akan mengurangi



3. Sediakan pembalut yang steril.



jumlah bakteri pada kulit.



4. Kolaborasikan untuk melakukan irigasi luka yang banyak, misalnya air, antibiotic atau analgesic.



3. Mencegah kontaminasi lingkungan pada luka baru



5. Kolaborasikan untuk pemberiakn antibiotik



4. Dapat digunakan pada intraoperasi untuk mengurangi jumlah bakteri pada lokasi luka debris 5. Dapat diberikan secara profiaksis bila dicurigai terjadi infeksi atau kontaminasi



Water Seal Drainase (WSD) 1.



Pengertian WSD Water Seal Drainage ( WSD ) merupakan suatu intervensi yang penting untuk memperbaiki pertukaran gas dan pernapasan pada periode pasca operatif yang dilakukan pada daerah thorax khususnya pada masalah paruparu. WSD adalah suatu tindakan invansif yang dilakukan dengan memasukan suatu kateter/ selang kedalam rongga pleura ,rongga thorax,mediastinum dengan maksud untuk mengeluarkan udara, cairan termasuk darah dan pus dari rongga tersebut agar mampu mengembang atau ekspansi secara normal. Bedanya tindakan WSD dengan tindakan punksi atau thorakosintesis adalah pemasangan kateter / selang pada WSD berlangsung lebih lama dan dihubungkan dengan suatu botol penampung.



2.



3.



4.



Tujuan Pemasangan a. Untuk mengeluarkan udara, cairan atau darah dari rongga pleura b. Untuk mengembalikan tekanan negative pada rongga pleura c. Untuk mengembangkan kembali paru yang kolap dan kolap d. Indikasi a. a. b. c. d. b. c. d. e. f. g. h.



sebagian Untuk mencegah reflux drainase kembali ke dalam rongga dada. Pneumothoraks : Spontan > 20% oleh karena rupture bleb Luka tusuk tembus Klem dada yang terlalu lama Kerusakan selang dada pada sistem drainase Hemothoraks : Robekan pleura Kelebihan antikoagulan Pasca bedah thoraks Hemopneumothorak Thorakotomy : Lobektomy Pneumoktomy Efusi pleura : Post operasi jantung Emfiema : Penyakit paru serius Kondisi indflamsi Profilaksis pada pasien trauma dada yang akan dirujuk Flail Chest yang membutuhkan pemasangan ventilator



Kontraindikasi Pemasangan WSD a. Infeksi pada tempat pemasangan b. Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol



5.



Macam-macam WSD a. WSD dengan sistem satu botol Sistem yang paling sederhana dan sering digunakan pada pasien simple pneumothoraks. Terdiri dari botol dengan penutup segel yang mempunyai 2 lubang selang yaitu 1 untuk ventilasi dan 1 lagi masuk ke dalam botol. Jenis ini mempunyai 2 fungsi, sebagai penampung dan botol penampung. Air steril dimasukan ke dalam botol sampai ujung selang terendam 2cm untuk mencegah



-



masuknya udara ke dalam tabung yang menyebabkan kolaps paru Note: Apabila < 2 cm H2O, berarti no water seal. Hal ini sangat berbahaya



-



karena menyebabkan paru kolaps. Apabila > 2 cm H2O, berarti memerlukan tekanan yang lebih tinggi dari paru untuk mengeluarkan cairan atau udara. Apabila tidak ada fluktuasi yang mengikuti



respirasi



apat



disebabkan karena adanya kinking, clotting atau perubahan posisi chest tube. Selang untuk ventilasi dalam botol dibiarkan terbuka untuk memfasilitasi udara dari rongga pleura keluar. Drainage tergantung dari mekanisme pernafasan dan gravitasi. Undulasi pada selang cairan mengikuti irama pernafasan : Inspirasi akan meningkat dan ekpirasi menurun. b. WSD dengan sistem 2 botol Digunakan 2 botol ; 1 botol mengumpulkan cairan drainage dan botol ke-2 botol water seal. Botol 1 dihubungkan dengan selang drainage yang awalnya kosong dan hampa udara, selang pendek pada botol 1 dihubungkan dengan selang di botol 2 yang berisi water seal. Dapat dihubungkan dengan suction control. Cairan drainase dari rongga pleura masuk ke botol 1 dan udara dari rongga pleura masuk ke water seal botol 2. Prinsip kerjasama dengan ystem 1 botol yaitu udara dan cairan mengalir dari rongga pleura ke botol WSD dan udara dipompakan keluar melalui selang masuk ke WSD.



Biasanya



digunakan



untuk



mengatasi



hemothoraks,



hemopneumothoraks, efusi peural. Keuntungannya adalah water seal tetap pada satu level. c. WSD dengan sistem 3 botol Sama dengan sistem 2 botol, ditambah 1 botol untuk mengontrol jumlah hisapan yang digunakan. Selain itu terpasang manometer untuk mengontrol tekanan. Paling aman untuk mengatur jumlah hisapan. Yang terpenting adalah kedalaman selang di bawah air



pada botol ke-3. Jumlah hisapan tergantung pada kedalaman ujung selang yang tertanam dalam air botol WSD. Drainage tergantung gravitasi dan jumlah hisapan yang ditambahkan. Botol ke-3 -



mempunyai 3 selang : Tube pendek diatas batas air dihubungkan dengan tube pada botol



-



ke dua Tube pendek lain dihubungkan dengan suction Tube di tengah yang panjang sampai di batas permukaan air dan terbuka ke atmosfer



2) Tempat pemasangan a. Apikal - Letak selang pada interkosta III mid klavikula - Dimasukkan secara antero lateral Fungsi untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura b. Basal - Letak selang pada interkostal V-VI atau interkostal VIII-IX mid aksiller Fungsi : untuk mengeluarkan cairan dari rongga pleura 6.



Cara Pemasangan Wsd a. Persiapan 1) Pengkajian



2) -



Memeriksa kembali instruksi dokter Mengecek inform consent Mengkaji status pasien; TTV, status pernafasan Persiapan pasien Siapkan pasien Memberi penjelasan kepada pasien mencakup : tujuan tindakan, posisi tubuh saat tindakan dan selama terpasang WSD. Posisi klien dapat duduk atau berbaring, upaya-upaya untuk mengurangi rangsangan nyeri seperti nafas dalam, distraksi, latihan rentang



3) -



sendi (ROM) pada sendi bahu sisi yang terkena Persiapan alat Sistem drainage tertutup Motor suction Slang penghubung steril Botol berwarna putih/bening dengan kapasitas 2 liter, gas, pisau jaringan/silet,



trokart,



cairan



antiseptic,



benang



catgut



dan



jarumnya, duk bolong, sarung tangan , spuit 10cc dan 50cc, kassa, NACl 0,9%, konektor, set balutan, obat anestesi (lidokain, xylokain), masker. b. Pelaksanaan Prosedur ini dilakukan oleh dokter. Perawat membantu agar prosedur dapat dilaksanakan dengan baik , dan perawat memberi dukungan moril pada pasien. 1. Tentukan tempat pemasangan, biasanya pada sela iga ke IV dan V, di linea aksilaris anterior dan media 2. Lakukan analgesia / anestesia pada tempat yang telah ditentukan 3. Buat insisi kulit dan sub kutis searah dengan pinggir iga, perdalam sampai muskulus interkostalis 4. Pada saat inspirasi: - Tekanan dalam paru-paru > kecil dibanding tekanan yang ada di -



dalam WSD Paru- paru mengembang Note: Apabila menggunakan WSD tipe satu botol, saat inspirasi cairan biasanya akan tertarik ke atas, namun tidak sampai masuk kembali ke rongga pleura karena adanya gaya gravitasi dan perbedaan sifat



cairan yang lebih berat daripada udara. 5. Pada saat ekspirasi: - Tekanan dalam paru- paru > besar dibanding tekanan yang ada di dalam WSD



-



Masukkan Kelly klem melalui pleura parietalis kemudian disebarkan. Masukkan jari melalui lubang tersebut. untuk memastikan sudah



-



sampai rongga pleura / menyentuh paru Masukkan selang (chest tube) melalui lubang yang telah dibuat



-



dengan menggunakan Kelly forceps Chest tube yang telah terpasang, difiksasi dengan jahitan di dinding



dada - Chest tube disambung ke WSD yang telah disiapkan 6. Foto X-ray dada untuk menilai posisi selang yang telah dimasukkan 7. Tindakan setelah prosedur Perhatikan undulasi pada selang WSD. Bila undulasi tidak ada, berbagai a. b. c. d.



kondisi dapat terjadi antara lain : Motor suction tidak berjalan Slang tersumbat dan terlipat Paru-paru telah mengembang Yakinkan apa yang menjadi penyebab, segera periksa kondisi system



drainage, amati tanda-tanda kesulitan bernafas e. Cek ruang control suction untuk mengetahui jumlah cairan yang keluar f. Cek batas cairan dari botol WSD, pertahankan dan tentukan batas yang g.



telah ditetapkan serta pastikan ujung pipa berada 2cm di bawah air Catat jumlah cairan yg keluar dari botol WSD tiap jam untuk



mengetahui jumlah cairan yg keluar h. Observasi pernafasan, nadi setiap 15 menit pada 1 jam pertama i. Perhatikan balutan pada insisi, apakah ada perdarahan j. Anjurkan pasien memilih posisi yg nyaman dengan memperhatikan jangan sampai slang terlipat k. Anjurkan pasien untuk memegang slang apabila akan merubah posisi l. Beri tanda pada batas cairan setiap hari, catat tanggal dan waktu m. Ganti botol WSD setiap 3 hari dan bila sudah penuh. Catat jumlah n. o.



cairan yang dibuang. Lakukan pemijatan pada slang untuk melancarkan aliran Observasi dengan ketat tanda-tanda kesulitan bernafas, sianosis,



p.



emphysema subkutan Anjurkan pasien untuk menarik nafas dalam dan ystem cara batuk



efektif q. Botol WSD harus selalu lebih rendah dari tubuh r. Yakinkan bahwa selang tidak kaku dan menggantung di atas WSD s. Latih dan anjurkan klien untuk secara rutin 2-3 kali sehari melakukan latihan gerak pada persendian bahu daerah pemas 8. Perawatan WSD a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang. Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien.



b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat akan diberi analgetik oleh dokter. c. Dalam perawatan yang harus diperhatikan : 1) Penetapan slang. Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan tidak terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang dapat dikurangi. 2) Pergantian posisi badan. Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada slang, melakukan pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil mengangkat badan, atau menaruh bantal di bawah lengan 3) -



atas yang cedera. Mendorong berkembangnya paru-paru. Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang. Latihan napas dalam. Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk waktu slang diklem. Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction. Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan



torakotomi.



Jika



banyaknya



hisapan



bertambah/berkurang, perhatikan juga secara bersamaan keadaan a.



pernapasan. Suction harus berjalan efektif : Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi



b.



dan setiap 1 - 2 jam selama 24 jam setelah operasi. Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien,



c.



warna muka, keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah. Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika suction kurang baik, coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2 terlentang atau 1/2 duduk ke posisi miring bagian operasi di bawah atau di cari penyababnya misal : slang tersumbat oleh gangguan darah, slang bengkok atau alat rusak, atau lubang



slang tertutup oleh karena perlekatanan di dinding paru-paru. d. Perawatan “slang” dan botol WSD/ Bullow drainage. - Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan -



yang keluar kalau ada dicatat. Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan



-



adanya gelembung udara yang keluar dari bullow drainage. Penggantian botol harus “tertutup” untuk mencegah udara masuk yaitu meng”klem” slang pada dua tempat dengan kocher.



-



Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol



-



dan slang harus tetap steril. Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja dirisendiri, dengan memakai sarung tangan. Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada, misal : slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll WSD (Water Seal Drainage).



9. Indikasi Pelepasan WSD a. Produksi cairan