Cerita Perjuangan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Cerita Soekarno Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika.. Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi IT. Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926. Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu. Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu. Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama. Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai “Pahlawan Proklamasi”.



Mengenang Masa Kecil, Masa Paling Menyenangkan Tanpa Beban Tanpa Pikiran Masa kecil adalah masa di mana dapat tertawa lepas. Menari-menari, merentangkan tangan, tertawa tanpa beban. Masa kecil? Bicara soal masa kecil kita pasti memiliki cerita sendirisendiri, tapi yang pasti masa kecil adalah masa di mana kita dapat bermain sesuka kita, tak memiliki beban berarti. Jikapun ada beban, itu hanya sesederhana tak mendapatkan mainan impian. Masa kecil adalah masa dimana aku, kamu, kita semua tak mengenal malu. Masa dimana kita menjadi makhluk mungil, polos yang tak banyak tahu. Kejujuran identik dengan anak-anak, dengan masa kecil. Karena memang begitulah anak-anak, begitulah anak kecil. Anak kecil makhluk polos yang berkata apa adanya. Ketika kecil hari-hari hanya di isi dengan: tidur, bangun tidur, sarapan, sekolah, pulang sekolah, main, mandi, lalu belajar saat malam. Yang ada dalam benak kala itu hanya belajar, dan bermain. Aih, betapa aku rindu masa itu. Tak lupa kala sore tiba adalah saat di mana pergi mengaji bersama teman-teman, saling samparmenyampar satu sama lainnya. Lalu pergi bersama menuju rumah sang guru ngaji. Sungguh, aku rindu. Rindu saat di mana aku dapat tertawa lepas, tanpa beban. Rindu saat di mana aku dapat dengan tenangnya menyantap makanan. Rindu saat di mana aku dapat bermain sepuas hati, tanpa terbebani deadline. Aku rindu. Rindu masa di mana tak kenal kata privasi. Rindu masa di mana tak kenal beban. Rindu masa di mana tak kenal gengsi. Rindu masa di mana bermain adalah rutinitas. Aku rindu. Rindu bermain boneka kertas dengan pensil warna sebagai kerangka rumah. Rindu bermain petak umpet dengan teman-teman. Rindu gelak tawa teman-teman saat bermain terabasan. Rindu bernyanyi ular naga panjang saat bermain ular naga. Rindu bermain rumahrumahan tanah, dengan lidi sebagai orang dipelataran depan rumah. Rindu menaiki pohon mangga, lalu becerita di atas ketinggian pohon mangga bersama teman-teman. Rindu bermain bola bekel, dengan kerang. Saat kecil aku tak kenal gadget, Android, atau apalah itu jenis telepon pintar lainnya. Aku tak kenal game online, aku tak kenal game dalam gadget. Tapi masa kecilku menyenangkan, tak ada hari yang diisi tanpa gelak tawa. Bahagia saat kecil itu sederhana. Yah, sederhana sangat sederhana. Sesederhana menikmati es lilin. Sesederhana bermain di pelataran rumah. Sesederhana menang dalam permainan. Sesederhana bermain sepeda keliling kampung bersama teman. Masa kecil? Masa di mana bermain adalah rutinitas. Masa di mana tiada hari tanpa tawa. Masa di mana tak ada yang namanya sedih berkepanjangan. Jika menangispun hanya sesaat, beberapa waktu setelahnya kembali riang.



CERITA BUNG HATTA



Salah satu proklamator kita, Bung Hatta, jika beliau masih hidup, tanggal 12 Agustus 2008 ini akan memasuki usia 106 tahun. Berprinsip Teguh Dua kali kejadian dimana terjadi pertentangan antara bung Hatta dan bung Karno yg ternyata memberi dampak sangat besar terhadap perjalanan bangsa ini, dimana dalam kedua hal tsb bung Hatta memilih utk mengalah. Saat mundurnya bung Hatta desember 1956 , karena tak setuju dengan cara bung Karno memimpin negara , serta perdebatan mereka sebelumnya saat Indonesia belum merdeka. Sebelumya dalam buku sejarah ada dinyatakan bahwa belia berdua pernah berbeda pendapat mengenai bagaimana bangsa ini hendak dibangun, bagaimana kemerdekaan hendak diraih, beberapa tahun sebelum indonesia merdeka. Bung Karno bilang kita perlu bangsa yang berani, revolusioner, penuh semangat utk meraih kemerdekaan, sedangkan bung Hatta berpendapat bahwa kita perlu mencerdaskan, memberi pencerahan pada bangsa Indonesia utk menyongsong kemerdekaan nya, intinya bung Hatta menyatakan pentingnya pendidikan. Namun saat itu, bung Karno tetap bersikukuh dengan pendapatnya, dan dengan gentleman nya , bung Hatta pun mengalah .... Bukti sejarah kemudian menyatakan , bahwa apa yg dinyatakan bung Hatta benar adanya , memang benar pada masa kemerdekaan th 45, bangsa yg bersemangat tinggi, revolusioner bisa meraih kemerdekaan, tapi untuk selanjutnya mereka melupakan pendidikan / pencerdasan. Dari sejarah kita belajar, ada 2 ide besar bung Hatta yg tak terwujud, karena ia mengalah pada bung Karno , dan sampai saat ini kemajuan bangsa ini masih terbelenggu karena 2 hal tsb (pendidikan yg kurang dan demokrasi yg kurang baik ) Berkarya Nyata Bung Hatta merupakan tokoh yang selalu berkarya nyata. Salah satu karya monumental beliau adalah bentuk koperasi. Pemikiran ini dituangkan pada pembentukkan koperasi pengusaha batik, yang akhirnya sukses sampai saat ini. Koperasi tersebut berhasil mendorong kemajuan bagi pengusaha batik dan memberi mereka kesempatan untuk memperluas usaha dengan ekspor. Karya-karya lainnya adalah berbentuk tulisan. Dalam pembuangan pun, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah (Digoel-Papua) dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti.



Cut Nyak Dhien (1850-1908)



Cut Nyak Dhien berasal dari keluarga bangsawan yang agamis di Aceh. Pada usianya yang ke12 tahun dia sudah menjalani bahtera rumah tangga bersama Teuku Ibrahim Lamnga. Kebenciannya pada pasukan kolonial Belanda mulai timbul semenjak Belanda menyerang Aceh untuk pertama kalinya pada 26 Maret 1873. Kemarahan Cut Nyak Dhien makin tersulut saat sang suami gugur di medan perang melawan Belanda. Dia pun bersumpah akan menikah dengan pria yang bersedia membantunya membalaskan kematian sang suami. Selama menjanda, Cut Nyak Dhien memimpin sendiri pasukannya. Hingga 2 tahun setelah kematian Teuku Ibrahim Lamnga, dia bertemu Teuku Umar yang juga merupakan pahlawan nasional. Keduanya pun menikah. Bersama Teuku Umar, Cut Nyak Dhien bergerilya melawan penjajahan Belanda. Hingga akhirnya Teuku Umar wafat, Cut Nyak Dhien yang harus menjanda 2 kali tetap berjuang. Menjelang akhir hidupnya, Cut Nyak Dhien dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. 6 November 1908 dia mengembuskan napas terakhirnya di kota itu. Atas perjuangannya, nama Cut Nyak Dhien disahkan sebagai pahlawan nasional lewat SK Nomor 106 Tahun 1964.



Cut Meutia (1870-1910)



Cut Meutia adalah sosok lain wanita pemberani yang dimiliki Aceh. Lahir di Perlak, Aceh, pada 1870. Dia tumbuh dalam suasana perang. Bersama suaminya, Teuku Cik Tunong, ia memimpin perang di daerah Pasai. Untuk menghadapi pasukan Belanda yang memiliki persenjataan lengkap, pasangan suami-istri itu menggunakan taktik gerilya. Perlawanan mereka pun menimbulkan kerugian yang tak sedikit di pihak Belanda. Namun nahas, Teuku Cik Tunong ditangkap pasukan Belanda dan dijatuhi hukuman tembak. Beberapa lama setelah kematian suaminya, Cut Meutia menikah lagi dengan Pang Nangru yang merupakan orang kepercayaan Teuku Cik Tunong. Keduanya lalu kembali melanjutkan perjuangan mereka. Namun semakin lama mereka makin terdesak. Hingga akhirnya Pang Nangru tewas di tangan pasukan Belanda. Namun Cut Meutia yang kembali kehilangan suami pantang mundur. Meskipun diminta untuk menyerahkan diri. Dia hidup berpindah-pindah dengan anaknya di belantara rimba. Suatu hari, persembunyiannya terungkap. Meski tersudut dia tak menyerah. Dengan sebilah rencong di tangan, 24 Oktober 1910, Cut Meutia mencoba melakukan perlawanan. Namun tak cukup untuk membendung lesatan peluru yang ditembakkan tentara Belanda. Dia pun gugur. Atas jasa-jasanya, pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional kepada Cut Meutia lewat SK Nomor 107 Tahun 1964.



Raden Dewi Sartika (1884-1947)



Raden Dewi Sartika membawa cahaya pendidikan bagi kaumnya. Hidupnya dihabiskan untuk mengabdikan diri dalam dunia pendidikan, teruma bagi perempuan. Lahir di Cicalengka, Jawa Barat, 4 Desember 1884. Bakat sebagai seorang pendidik muncul sejak dirinya masih belia. Bila ada waktu senggang, dia menyempatkan diri untuk mengajari baca-tulis anak-anak pembantu di lingkungan kepatihan. Sartikan ingin perempuan-perempuan pribumi mandiri dan terampil tanpa bergantung supaya bisa menjadi tiang keluarga yang kokoh. Dia lalu mendirikan sekolah khusus bagi kaum perempuan yang diberi nama Sekolah Istri pada 1904. Saat didirikan, sekolah itu baru berisi dua kelas dengan jumlah murid pertamanya sekitar 20 orang. Di sana para murid perempuan diajari baca-tulis, berhitung, menjahit, merenda, menyulam, dan pelajaran agama. Dia harus membanting tulang sendiri untuk menghidupi sekolahnya. Karena sang ayah, Raden Somanegara, dibuang ke Ternate setelah melawan Pemerintah Belanda. Namun dia tak patah arang. Dewi lalu menikah dengan Kanduruan Agah Suriawinata pada 1906. Suaminya adalah sosok yang memiliki visi-misi yang sama dalam memperjuangkan pendidikan. Pada 1910, nama Sekolah Istri berganti nama menjadi Sekolah Kautamaan Isteri. Seiring waktu, banyak yang mendirikan cabang sekolah itu. Atas jasa-jasanya, Dewi Sartika dinyatakan sebagai pahlawan nasional lewat SK Nomor 252 Tahun 1966.



Martha Christina Tiahahu (1800-1818)



Martha Christina Tiahahu bertempur melawan Belanda demi mempertahankan tanah Maluku yang kaya hasil bumi. Perempuan hebat ini lahir di Nusa Laut, Maluku, pada 4 Januari 1800.



Dia dibesarkan seorang diri oleh ayahnya, Kapitan Paulus Tiahahu, kawan baik dari Thomas Mattulessi atau Kapitan Pattimura.



Sejak kecil, Martha sering mengikuti ayahnya. Pada usia ke-17 tahun, dia ikut dalam pertempuran melawan Belanda di Desa Ouw, Ullath, Pulau Saparua, hanya dengan bekal bambu runcing dan ikat kepala.



Kehadirannya cukup membuat Belanda kerepotan. Namun karena kalah jumlah, pasukannya pun dipukul mundur Belanda. Ayahnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.



Namun Martha terus bergerilya hingga dia ditangkap bersama pejuang lain dan diasingkan ke Pulau Jawa. Meski sudah ditangkap, Martha terus berontak dengan melakukan aksi mogok makan. Dia pun jatuh sakit dalam perjalanan. Jasadnya lalu dimakamkan di Laut Banda. Martha Christina Tiahahu ditetapkan sebagai pahlawan nasional lewat SK Nomor 012/TK/1969.



HR Rasuna Said (1910-1965)



Tak cuma lewat pendidikan dan medan perang. Perjuangan juga bisa dilakukan lewat politik. Seperti yang dilakukan Hajjah Rangkayo Rasuna Said. Perempuan cerdas dan kritis ini memulai perjuangannya membela kaum perempuan dengan bergabung bersama Sarekat Rakyat sebagai sekretaris cabang. Dia lalu melanjutkan perjuangannya dengan menjadi anggota Persatuan Muslim Indonesia. HR Rasuna Said juga dikenal sebagai orator yang mengecam kekejaman Belanda. Pada 1932, dia pun ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah Belanda. Setelah proklamasi kemerdekaan, dia menjadi Dewan Perwakilan Sumatera mewakili Sumatera Barat. Dia juga terpilih sebagai anggota DPR Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada 1959 HR Rasuna Said kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Sebagai penghormatan, nama Hajjah Rangkayo Rasuna Said diabadikan menjadi nama jalan di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Dia juga diberikan gelar pahlawan nasional lewat SK Nomor 084/TK/1974.



Nyai Ahmad Dahlan (1872-1946)



Nyai Ahmad Dahlan dilahirkan dengan nama Siti Walidah. Dia berasal dari keluarga pemuka agama Islam dan penghulu resmi Keraton Yogyakarta, Kyai Haji Fadhil.



Karena harus tinggal di rumah, dia mendapatkan pendidikan agama dari ayahnya dan tak pernah mengenyam pendidikan umum. Hingga akhirnya Siti Walidah menikah dengan sepupunya, yang menjadi pendiri organisasi Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.



Keterlibatan Nyai Ahmad Dahlan dalam Muhammadiyah dimulai saat dirinya ikut merintis kelompok pengajian wanita Sopo Tresno (Siapa Cinta) pada 1914. Dalam pengajian itu, suamiistri tersebut ikut menyampaikan kajian-kajian agama secara bergantian.



Nyai Ahmad Dahlan lalu mengembangkan Sopo Tresno menjadi organisasi kewanitaan berbasis agama Islam, Aisyah. Namun setelah Aisyah mapan, sang Nyai memilih untuk membuka asrama dan sekolah putri. Dia juga mengadakan kursus agama Islam dan pemberantasan buta huruf bagi kaum perempuan. Atas jasanya terhadap agama Islam dan kaum perempuan, pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Nyai Ahmad Dahlan dengan SK Nomor 042/TK/1971. (Yus)



Pangeran Antasari Ahli Strategi Grilya



Pangeran Antasari dikenal sebagai pejuang kemerdekaan yang sangat gigih melawan penjajah Belanda, kata Bupati Batiola H Hasanuddin Murad. Selain itu, kata bupati pada peringatan ke 148 tahun wafatnya Pahlawan Nasional Antasari, dia juga dikenal pribadi yang besar dan seorang ahli strategi perang grilya yang mampu memimpin dan menggerakan para pengikutnya dalam mencapai tujuan bersama. Kunci keberhasilan perjuangan pada waktu itu tidak lain dari semangat heroisme dan patriotisme rela berkorban serta keikhlasan yang jauh dari pamrih yang dimiliki oleh para pejuang, tutur Hasanuddin Murad. Suatu semangat yang saat ini sedang mengalami erosi dan terdegradasi oleh pola kepentingan individual yang semakin menonjol. Tema yang ditetapkan pada peringatan wafatnya Pangeran Antasari tahun 2010 adalah “Melalui peringatan wafatnya Pangeran Antasari ke-148 tahun, tanamkan dan tumbuhkan semangat serta keikhlasan dalam meneruskan membangun Kalimantan Selatan.” Tema memiliki tiga kata kunci yang patut diperhatikan bersama yakni semangat dan keikhlasan serta meneruskan membangun Kalsel. Dengan mewarisi dan meneladani semangat dan keikhlasan Pangeran Antasari dalam memperjuangkan kemerdekaan akan menjadi motivasi dan inspirasi bagi semua sebagai generasi penerus dalam meneruskan dan membangun Kabupaten Batola sebagai bagian intergral dari Provinsi Kalsel dan bangsa Indonesia.Dengan motivisi dan inspirasi itulah seharusnya kita semua merasa terpanggil untuk mengaktualisasikan semangat dan nilai-nilai kejuangan yang pernah dikobarkan para pahlawan terutama dalam kaitan mewujudkan cita-cita kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegera, ajak bupati. Kewajiban untuk mengaktualisasikan semangat dan nilai-nilai kejuangan menjadi semakin penting, lanjut dia, di saat dihadapkan pada berabagai persoalan bangsa, dimana sebagai bagian integral dari NKRI persoalan bangsa juga berpengaruh terhadap kondisi politik, ekonomi, sosial, budaya, serta keamanan di daerah.



Dewi Sartika…Pahlawan Wanita Dari Tanah Sunda



Pada tanggal 19 Juli 2008 saya, permaisuri dan Firman mengunjungi rumah Dewi Sartika…Pahlawan Wanita Dari Tanah Sunda………… Rumah yang terletak di Jl.Dewi Sartika – Cicalengka – Kabupaten Bandung itu terlihat asri dan khas kediaman priyayi jaman dulu. Kami tidak bisa masuk memang…..Namun dari luar suasananya mencerminkan kearifan beliau itu masih ada……Sayang kami tidak bisa lama di sana….Maklum tempat tersebut belum dibuka untuk umum……. Berikut cuplikan sejarah beliau dari Wikipedia: Dewi Sartika (Bandung, 4 Desember 1884 – Tasikmalaya, 11 September 1947), tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966. Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda. Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar. Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan. Ketika sudah mulai remaja, Dewi Sartika kembali ke ibunya di Bandung. Jiwanya yang semakin dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, pamannya sendiri, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namu karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan. Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Muridmurid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung. Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909,



membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememnuhi syarat kelengkapan sekolah formal. Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.



Pangeran Diponegoro (1785-1855) Dilahirkan dari keluarga Kesultanan Yogyakarta, memiliki jiwa kepemimpinan dan kepahlawanan. Hatinya yang bersih dan sebagai seorang pangeran akhirnya menuntunnya menjadi seorang yang harus tampil di depan guna membela kehormatan keluarga, kerajaan, rakyat dan bangsanya dari penjajahan Belanda. Namun resiko dari kebersihan hatinya, ia ditangkap oleh Belanda dengan cara licik, rekayasa perundingan. Namun walaupun begitu, beliau tidak akan pernah menyesal karena beliau wafat dengan hati yang tenang, tidak berhutang pada bangsanya, rakyatnya, keluarganya, terutama pada dirinya sendiri. Kejujuran, kesederhanaan, kerendahan hati, kebersihan hati, kepemimpinan, kepahlawanan, itulah barangkali sedikit sifat yang tertangkap bila menelusuri perjalanan perjuangan Pahlawan kita yang lahir di Yogyakarta tanggal 11 November 1785, ini. Pangeran Diponegoro yang bernama asli Raden Mas Ontowiryo, ini menunjukkan kesederhanaan atau kerendahan hatinya itu ketika menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengku Buwono III untuk mengangkatnya menjadi raja. Beliau menolak mengingat bunda yang melahirkannya bukanlah permaisuri. Bagi orang-orang yang tamak akan kedudukan, penolakan itu pasti sangat disayangkan. Sebab bagi orang tamak, jangankan diberi, bila perlu merampas pun dilakukan. Melihat penolakan ini, sangat jelas sifat tamak tidak ada sedikitpun pada Pangeran ini. Yang ada hanyalah hati yang bersih. Beliau tidak mau menerima apa yang menurut beliau bukan haknya. Itulah sifat yang dipertunjukkannya dalam penolakan terhadap tawaran ayahnya tersebut. Namun sebaliknya, beliau juga akan memperjuangkan sampai mati apa yang menurut beliau menjadi haknya. Sifatnya ini jelas terlihat jika memperhatikan sikap beliau ketika melihat perlakuan Belanda di Yogyakarta sekitar tahun 1920. Hatinya semakin tidak bisa menerima ketika melihat campur tangan Belanda yang semakin besar dalam persoalan kerajaan Yogyakarta. Berbagai peraturan tata tertib yang dibuat oleh Pemerintah Belanda menurutnya sangat merendahkan martabat raja-raja Jawa. Sikap ini juga sangat jelas memperlihatkan sifat kepemimpinan dan kepahlawanan beliau. Sebagaimana diketahui bahwa Belanda pada setiap kesempatan selalu menggunakan politik ‘memecah-belah’-nya. Di Yogyakarta sendiri pun, Pangeran Diponegoro melihat, bahwa para bangsawan di sana sering di adu domba Belanda. Ketika kedua bangsawan yang diadu-domba saling mencurigai, tanah-tanah kerajaan pun semakin banyak diambil oleh Belanda untuk perkebunan pengusaha-pengusaha dari negeri kincir angin itu. Melihat keadaan demikian, Pangeran Diponegoro menunjukkan sikap tidak senang dan memutuskan meninggalkan keraton untuk seterusnya menetap di Tegalrejo. Melihat sikapnya yang demikian, Belanda malah menuduhnya menyiapkan pemberontakan. Sehingga pada tanggal 20 Juni 1825, Belanda melakukan penyerangan ke Tegalrejo. Dengan demikian Perang Diponegoro pun telah dimulai. Dalam perang di Tegalrejo ini, Pangeran dan pasukannya terpaksa mundur, dan selajutnya mulai membangun pertahanan baru di Selarong. Perang dilakukan secara bergerilya dimana pasukan sering berpindah-pindah untuk menjaga agar pasukannya sulit dihancurkan pihak Belanda. Taktik perang gerilya ini pada tahun-tahun pertama membuat pasukannya unggul dan banyak menyulitkan pihak Belanda.



Tuanku Imam Bonjol Tuanku Imam Bonjol (TIB) (1722-1864), yang diangkat sebagai pahlawan nasional berdasarkam SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, 6 November 1973, adalah pemimpin utama Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1837) yang gigih melawan Belanda. Selama 62 tahun Indonesia merdeka, nama Tuanku Imam Bonjol hadir di ruang publik bangsa: sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan di lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001. Namun, baru-baru ini muncul petisi, menggugat gelar kepahlawanannya. TIB dituduh melanggar HAM karena pasukan Paderi menginvasi Tanah Batak (1816-1833) yang menewaskan “jutaan” orang di daerah itu . Kekejaman Paderi disorot dengan diterbitkannya buku MO Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela Gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 18161833 (2006) (Edisi pertama terbit 1964, yang telah dikritisi Hamka, 1974), kemudian menyusul karya Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (2007). Kedua penulisnya, kebetulan dari Tanah Batak, menceritakan penderitaan nenek moyangnya dan orang Batak umumnya selama serangan tentara Paderi 1816-1833 di daerah Mandailing, Bakkara, dan sekitarnya (Tempo, Oktober 2007). Mitos kepahlawanan Ujung pena kaum akademis harus tajam, tetapi teks-teks hasil torehannya seyogianya tidak mengandung “hawa panas”. Itu sebabnya dalam tradisi akademis, kata-kata bernuansa subyektif dalam teks ilmiah harus disingkirkan si penulis. Setiap generasi berhak menafsirkan sejarah (bangsa)-nya sendiri. Namun, generasi baru bangsa ini—yang hidup dalam imaji globalisme—harus menyadari, negara-bangsa apa pun di dunia memerlukan mitos-mitos pengukuhan. Mitos pengukuhan itu tidak buruk. Ia adalah unsur penting yang di-ada-kan sebagai “perekat” bangsa. Sosok pahlawan nasional, seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Sisingamangaraja XII, juga TIB, dan lainnya adalah bagian dari mitos pengukuhan bangsa Indonesia. Jeffrey Hadler dalam “An History of Violence and Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and Uses of History” (akan terbit dalam Journal of Asian Studies, 2008) menunjukkan, kepahlawanan TIB telah dibentuk sejak awal kemerdekaan hingga zaman Orde Baru, setidaknya terkait tiga kepentingan. Pertama, menciptakan mitos tokoh hero yang gigih melawan Belanda sebagai bagian wacana historis pemersatu bangsa. Kedua, mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya menciptakan negara-bangsa yang toleran terhadap keragaman agama dan budaya. Ketiga, “merangkul” kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang telah mendapat stigma negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI. Kita tak yakin, sudah adakah biji zarah keindonesiaan di zaman perjuangan TIB dan tokoh lokal lain yang hidup sezaman dengannya, yang kini dikenal sebagai pahlawan nasional. Kita juga tahu pada zaman itu perbudakan adalah bagian sistem sosial dan beberapa kerajaan tradisional Nusantara melakukan ekspansi teritorial dengan menyerang beberapa kerajaan tetangga. Para pemimpin lokal berperang melawan Belanda karena didorong semangat kedaerahan, bahkan mungkin dilatarbelakangi keinginan untuk mempertahankan hegemoni sebagai penguasa yang mendapat saingan akibat kedatangan bangsa Barat. Namun, mereka akhirnya menjadi pahlawan nasional karena bangsa memerlukan mitos pemersatu.



Raden Ajeng Kartini (1879-1904) Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya. Buku itu menjadi pedorong semangat para wanita Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di atas kertas tapi dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di Jepara dan Rembang. Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya. Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu. Pada saat itu, Raden Ajeng Kartini yang lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879, ini sebenarnya sangat menginginkan bisa memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, namun sebagaimana kebiasaan saat itu dia pun tidak diizinkan oleh orang tuanya. Dia hanya sempat memperoleh pendidikan sampai E.L.S. (Europese Lagere School) atau tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun dipingit sebagaimana kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku di tempat kelahirannya dimana setelah seorang wanita menamatkan sekolah di tingkat sekolah dasar, gadis tersebut harus menjalani masa pingitan sampai tiba saatnya untuk menikah. Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan sekolah sampai tingkat sekolah dasar saja padahal dirinya adalah anak seorang Bupati. Hatinya merasa sedih melihat kaumnya dari anak keluarga biasa yang tidak pernah disekolahkan sama sekali. Sejak saat itu, dia pun berkeinginan dan bertekad untuk memajukan wanita bangsanya, Indonesia. Dan langkah untuk memajukan itu menurutnya bisa dicapai melalui pendidikan. Untuk merealisasikan cita-citanya itu, dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran alias cuma-cuma. Bahkan demi cita-cita mulianya itu, dia sendiri berencana mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik. Beasiswa dari Pemerintah Belanda pun telah berhasil diperolehnya, namun keinginan tersebut kembali tidak tercapai karena larangan orangtuanya. Guna mencegah kepergiannya tersebut, orangtuanya pun memaksanya menikah pada saat itu dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang.



AHMAD DAHLAN Sosok Ahmad Dahlan melekat erat dalam kisah perjalanan Indonesia. 'Sang Pencerah' yang berasal dari Kauman, Yogyakarta, ini merupakan pendiri Muhammadiyah, salah satu ormas terbesar di Indonesia yang banyak berperan di bidang sosial, pendidikan dan kesehatan. Ahmad Dahlan lahir dari Yogyakarta pada 1 Agustus tahun 1868. Dahlan muda, yang dikenal dengan nama Muhammad Darwis, pada umur 15 tahun berangkat menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan belajar agama. Lahir dari orang tua yang kental dengan ilmu keagamaan, Ahmad Dahlan mengikuti jejak ayahnya, K.H Abu Bakar, yang merupakan ulama masjid kesultanan Yogyakarta. Selama di Mekkah, Ahmad Dahlan belajar dari Syeh Ahmad Khatib dan ulama-ulama lainnya dan mempelajari pemikiran dari Muhammad Abduh, Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani,dan Rasyid Ridha. Setelah kembali ke tanah air, Ahmad Dahlan menikah dengan Siti Walidah yang kelak menjadi pahlawan nasional. Siti walidah merupakan pendiri dari gerakan perempuan Aisyiah. Ajaran yang dikembangkan Ahmad Dahlan adalah berfokus pada sunnah dan Alquran. Dakwah yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan tidaklah selalu mulus. Pertentangan dan penolakan hingga ancaman pembunuhan dialami Dahlan dalam mengembangkan Muhammadiyah. Ketika surat permohonan pembentukan badan hukum Muhammadiyah dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda, Ahmad Dahlan hanya dapat melakukan aktivitasnya di Yogyakarta. Tidak kehabisan akal, Ahmad Dahlan tetap melakukan dakwah di berbagai kota dan melakukan pendekatan lewat jaringan-jaringan dagangnya. Muncul ketakutan pemerintah Hinda Belanda saat itu terkait perkembangan Muhammadiyah. Lewat aktivitas dakwah dan jaringannya, berbagai macam dukungan datang dari luar Yogyakarta untuk Muhammadiyah. Pada suatu waktu, Muhammadiyah dianggap melakukan tafsir Alquran yang baru oleh organisasi Islam lainnya pada kongres Al-Islam di Cirebon. Mengenai kritikan itu, Ahmad Dahlan menjawab: "Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan terbekelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Qur'an dan Hadis. Umat Islam harus kembali kepada Qur'an dan Hadis. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir," kata Ahmad Dahlan saat itu. Ahmad Dahlan tercatat memimpin Muhammadiyah pada tahun 1912–1923. Salah satu strateginya dalam mengembangkan Muhammadiyah adalah mendidik pada pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan Kweekschool Jetis Yogyakarta, tempat dirinya juga bekerja sebagai seorang pengajar. Setelahnya, Dahlan juga mendirikan sekolah keguruan yang bernama Madrasah Mu'allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Putri Muhammadiyah). Atas dedikasinya, Ahmad Dahlan menerima gelar pahlawan nasional. Salah satu pertimbangan pemerintah adalah: 1. K.H. Ahmad Dahlan telah memelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat. 2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar iman dan Islam. 3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam. 4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.



Perjuangan Nabi Muhammad saw dan Para Sahabat di Madinah Sejak hijrah ke Madinah,Nabi Muhammad saw dan Para sahabat selalu berdakwah kepada penduduk. tanpa mengenal lelah dan putus asa. Mereka terus berusaha menyebarkan ajaran Islam kepada seluruh penduduk termasuk orang-orang Yahudi,Nasrani dan Kaum Pagan. Mayoritas penduduk Madinah , terutama suku Aus dan suku Khazraj , menyambut baik ajakan Nabi Muhammad saw, menyatakan kesetiannya kepada Nabi Muhammad saw dan bersedia membantu beliau menyebarkan ajaran Islam. Padahal sebelum menerima ajaran Islam,kedua suku ini selalu berperang. Hal ini menambah semangat Nabi Muhammad saw dalam berdakwah. Sementara , orang-orang Yahudi merasa tidak senang kepada Nabi Muhammad saw dan para sahabat mereka. Mereka merasa tersingkir sejak kehadiran suku Aus dan Khazraj untuk kembali ke Agama lama mereka. Bahkan mereka mulai menyusun kekuatan untuk melemahkan umat Islam. Dalam perjalanan dakwahnya , Nabi Muhammad saw banyak menemui rintangan. Rintangan itu muncul sebagai akibat adanya masyarakat Madinah yang tidak dapat menerima kepemimpinan Nabi Muhammad saw. Dibawah pimpinan Abdullah bin Ubay bin Salul, mereka menjalin hubungan rahasia dengan kaum kafir Qurasiy di Mekkah. Mereka selalu melaporkan perkembangan umat Islam di Madinah dengan Maksud menekankan kekuasaan Nabi Muhammad saw. Hal ini merupakan awal terjadinya peperangan dengan kaum kafir quraisy. Peperangan yang kemudian terjadi adalah Perang Badar, Perang Uhud, dan Perang Khandak. Terjadinya Perang Badar dipicu oleh rasa iri orang-orang kafir Quraisy terhadap keberhasilan Nabi Muhammad saw, menguasai dan mempersatukan masyarakat Madinah. Peperangan ini terjadi pada 17 Ramadhan tahun ke -2 H atau 8 Januari 623 M disalah satu sumber mata air yaitu Badar. Dalam Perang Badar kaum muslimin hanya berjumlah 313 orang yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad saw, sedangkan pasukan kafir Quraisy berjumlah 1.000 orang yang dipimpin oleh Abu Sufyan. Sebelum perang dimulai , terjadi perang tanding antara kedua belah pihak. Pihak umat Islam diwakili Ubaidah bin Harits,Hamzah bin Abdul Muttalib dan Ali bin Abi Thalib. Pasukan Quraisy diwakili Syaibah bin Rabi'ah dan Utbah bin Rabi'ah dan Walid bin Utbah. Dalam perang ini pasukan kaum muslimin mengalami kemenangan dengan gemilang. Abu Jahal terbunuh dan 14 muslimin gugur sebagai syahid. Setelah mengalami kekalahan dalam perang Badar , Abu Sufyan menyiapkan pasukan dengan persenjataan lengkap. Bahkan mengundang pasukan Badui untuk bergabung. Terbentuklah pasukan kafir Quraisy dengan rincian 3.000 pasukan tempur yang didalamnya terdapat 700 pasukan bertameng dan 200 pasukan berkuda. Pada tahun 3 H, dibawah komando Abu Sufyan,pasukan itu bergerak menuju Madinah. Pada hari Kamis 21 Maret 625 M,mereka berada dihilir Lembah Uhud. Pasukan Islam berjumlah 1.000 orang, akan tetapi ditengah perjalanan, 300 orang membelot dibawah pimpinan Abdullah bin Ubay bin Salul. Kedua pasukan bertemu di Bukit Uhud , pada awal peperangan, tentara muslim memperoleh kemenangan . Akan tetapi , ketika perang hampir selesai pasukan Pemanah umat islam meninggalkan posisinya untuk mengambil harta rampasan. Akibatnya pasukan Islam mendapat serangan dari pasukan kafir yang dipimpin oleh Khalid bin Walid dari belakang. Akhirnya , pasukan Islam tidak mampu bertahan dan mengundurkan diri dari medan perang. Akibat perang ini , 70 orang pasukan Islam gugur, sedangkan 23 pasukan kafir tewas. Seusai perang , Hindun istri Abu Sufyan mengoyak-koyak isi perut Hamzah , paman Nabi Muhammad saw, yang gugur dalam pertempuran itu. Ia melampiaskan dendam atas terbunuhnya ayahnya, Utbah bin rabi'ah, oleh Hamzah bin Abdul Muttalib dalam perang Badar. Perang yang terjadi berikutnya adalah Perang Khandak. Setelah mengalami kekalahan dalam perang Uhud , pasukan Islam sekarang lebih kuat . Pada tahun 327 M, orang-orang kafir Quraisy, Yahudi dan Suku Badui mampu membentuk pasukan yang berkekuatan 10.000 personil. Diantaranya 600 pasukan berkuda yang dipimpin Abu Sufyan. Untuk menghadapi musuh, Nabi Muhammad saw mengerahkan 3.000 pasukan tempur. Berdasarkan saran dari



Salman Al Farisi, kaum muslimin membuat sistim pertahanan berupa parit yang mengitari perbatasan Kota Madinah. Penggalian dilakukan oleh pasukan Islam sendiri . Abu Sofyan sebagai pemimpin pasukan Quraisy memutuskan mundur karena tidak sanggup lagi menghadapi perang. Peperangan dimenangkan oleh Kaum muslimin. Kemenangan ini membuat nama umat Islam dan Kota Madinah makin harum. Hali in menyebabkan para pembesar negara tetangga tertarik untuk bekerja sama dengan pemerintah Kota Madinah. Setelah 6 tahun menetap di Kota Madinah, timbul keinginan kaum Muhajirin untuk menunaikan ibadah haji sekaligus mengunjungi tanah kelahiran mereka. Nabi Muhammad saw mengunjungi Mekkah bersama para sahabat pada bulan Zulkaidah tahun ke-6 H atau 628 M untuk menunaikan ibadah haji. Para pemuka kafir quraisy berusha menghadang rombongan umat Islam ,ketika mengetahui keberangkatan tersebut.Dalam tradisi Arab, bulan Zulkaidah diharamkan untuk mengadakan peperangan,kebencian telah membuat mereka mengabaikan tradisi itu. Ketika rombongan umat Islam sampai di sebuah tempat bernama Hudaibiyah yang berjarak sekitar 6 mil dari kota Mekkah ,mereka berhenti . Nabi Muhammad saw mengutus Usman bin Affan untuk mengabarkan kepada kaum kafir Quraisy maksud dan tujuan mereka. Kaum kafir quraisy bersikeras tidak mengizinkan rombongan umat Islam memasuki Mekkah,Perundingan sangat alot . Walaupuun demikian ,mereka berhasil membuat kesepakatan yang dikenal dengan perjanjian Hudaibiyah . Diantaranya isinya sebagai berikut : 1. Kedua belah pihak mengadakan gencatan senjata selama 10 tahun. 2. Setiap orang diberi kebebasan untuk memilih menjadi pengikut Nabi Muhammad saw atau kaum kafir quraisy. 3. Kaum muslimin wajib mengembalikan orang Mekkah yang menjadi pengikut Nabi Muhammad saw. di Madinah tanpa alasan yang benar kepada walinya,sedangkan kaum kafir qurasiy tidak wajib mengembalikan orang Madinah yang menjadi pengikut mereka. 4. Kunjungan rombongan umat Islam untuk menunaikan ibadah haji ditangguhkan pada tahun berikutnya. Lama kunjungan paling lama adalah 3 hari dan tidak boleh membawa senjata. Setelah perjanjian Hudaibiyah situasi menjadi aman dan tidak ada peperangan. Pengikut Nabi Muhammad saw yang semula hanya berjumlah sekitar 1.400 orang bertambah menjadi hampir 10.000 orang. Hal ini disebabkan orang-orang Qurasisy banyak bersimpati terhadap Nabi Muhammad saw. Sebelumnya,para sahabat tidak menyetujui isi perjanjian Hudaibiyah. Mereka menganggap perjanjian itu hanya merugikan umat Islam. Akan tetapi , Nabi Muhammad saw, menyikapi Perjanjian Hudaibiyah secara arif . Nabi Muhammad saw memanfaatkan situasi aman dan damai setelah Perjanjian Hudaibiyah. Beliau mengirimkan duta-dutanya ke negara tetangga untuk mengajak mereka memeluk agama Islam. Ajakan itu diterima oleh beberapa penguasa negeri tetangga dan ditolak oleh beberapa negeri tetangga lainnya, Sebagian menolak ajaran itu adalah raja Persia. Penolakan itu menyebabkan munculnya permusuhan dan peperangan yang besar antar kedua belah pihak di kemudian hari.



Perjuangan Sunan Kalijaga Pada saat giat-giatnya para Walisongo berjuang menyiarkan agama Islam, maka Sunan Kalijaga yang termasuk di dalamnya tidak ketinggalan untuk bangkit memperjuangkan syiar dan tegaknya agama Islam, khususnya di tanah Jawa. Beliau termasuk kalangan mereka para Wali yang masih muda, tetapi mempunyai kemampuan yang luar biasa, baik kecerdasan dan ilmuilmu yang dimiliki, maupun kondisi umur dan tenaga yang masih muda bila dibanding-kan dengan yang lainnya. Ternyata Sunan Kalijaga di dalam gerak perjuangannya tidak lepas dari penugasan khusus dan bimbingan yang diberikan oleh para sesepuh Walisongo, misalnya bimbingan yang diberikan oleh Sunan Ampel dan Sunan Bonang di samping dari pihak Kesultanan Patah di Demak. Beliau mendapatkan tugas terutama untuk menggarap rakyat di daerah-daerah yang rawan tata kerama, rawan tata susila dan masih kuat dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan agama Hindu dan Budha serta masih melakukan kebiasaan-kebiasaan warisan nenek moyang mereka. Karena itu Sunan Kalijaga benar-benar membanting tulang tidak hanya melakukan dakwah di suatu daerah saja, melainkan hilir mudik, keluar masuk hutan dan pegunungan, siang malam terus melakukan tugasnya itu. Beliau terus keliling dari daerah satu ke daerah yang lainnya, sehingga terkenal sebagai "Muballigh Keliling". Selain itu Sunan Kalijaga telah mampu menciptakan cara-cara khusus di dalam menyampaikan ajaran agama isiam kepada rakyat, tidak sebagaimana yang ditempuh oleh yang lainnya. Beliau memberanikan diri bertabligh atau berdakwah dengan melalui pertunjukan kesenian berupa "Wayang" lengkap dengan gamelannya. Sedangkan cerita-cerita yang ada di dalam lakon pewayangannya itu diramu (dicampur halus) dengan butir-butir tuntunan agama Islam dan diselingi dengan syair-syair jawa yang mengandung ajaran agama Islam pula, sehingga rakyat yang menonton dan mendengarkan cerita wayang yang dipertunjukkan Sunan Kalijaga itu tidak merasakan bahwa dirinya sudah mulai kemasukan ajaran agama Islam. Cara-cara dakwah Sunan Kalijaga yang semacam ini diterapkan dalam perjuangannya itu lantaran adanya pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut : a. Bahwa rakyat dan penduduk tanah Jawa pada saat itu masih kuat dipengaruhi oleh kepercayaan agama Hindu dan Budha atau juga oleh kepercayaan warisan nenek moyang mereka dahulu, sehingga tidak mungkin begitu saja mudah untuk dialihkan kepercayaannya. Karena itu haijus pelan-pelan memasukkannya ajaran agama Islam, tidak bisa melalui kekerasan. b. Bahwa rakyat di tanah Jawa pada saat itu masih kuat di dalam memegang adat-istiadat dan budaya nenek moyangnya, baik yang bersumber dari ajaran agama Hindu dan Budha, maupun kepercayaan animisme yang mereka yakini salama itu, sehingga tidak mudah merubah begitu saja terhadap adat-istiadat dan budaya tersebut, tetapi Sunan Kalijaga justru membiarkan adat-istiadat dan budaya tersebut tetap berjalan di tengahtengah mereka, hanya saja sedikit demi sedikit adat-istiadat dan budaya itu dimasuki dengan ajaran agama Islam, baik yang menyangkut hakekat (tauhid) maupun syariah serta akhlaqul karimah. Dengan pertimbangan keadaan rakyat yang seperti itu maka Sunan Kalijaga harus berpikir untuk menemukan cara yang paling tepat. dalam perjuangan mengajak mereka memeluk agama Islam, maka ditemvkanlah jalan yaitu bertabligh dengan menyuguhkan "kesenian wayang" yang saat itu sedang digemari oleh masyarakat di tanah jawa ini. Tidak hanya cara itu saja yang ditempuh oleh Sunan Kalijaga, tetapi beliau bahkan sering bercampur-bawur dengan rakyat yang boleh dikatakan masih "abangan". Demikian menurut berita rakyat yang bisa diterima. Suatu saat beliau bercampur dengan orang-orang yang masih kotor pribadinya dari prilaku terpuji, misalnya orang-orang yang kesukaannya mengadu ayam, berjudi, meminum minuman keras juga terhadap orang yang pekerjaaannya mencuri dan lain sebagainya. Beliau bercampur dengan mereka itu sedikitpun tidak memperlihatkan "sikap



fanatik" terhadap mereka melainkan justru Sunan Kalijaga membina dan membimbing mereka secara pelan-pelan menuju jalan yang benar sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam. Akhirnya prilaku rakyat yang semacam itu dapat dirubah oleh Sunan Kalijaga dengan tatanan tuntunan ajaran agama Islam, meskipun harus memutar otak dan membanting tulang. Mereka menjadi sadar, bahwa apa yang diperbuat semuanya itu telah merugikan dirinya dan dapat berakibat fatal terhadap rakyat banyak. Sementara itu ada juga orang yang beranggapan, bahwa sikap dan prilaku Sunan Kalijaga yang sering terlihat "sok campur dengan orang-orang jelek, sok campur dengan orang-orang abangan" lalu memberikan penilaian dan bahkan memberikan sebutan sebagai "Wali Abangan". Berdasar cerita di atas tadi, maka sebutan dan anggapan tersebut adalah "tidak benar", karena apa yang diperbuat oleh Sunan Kalijaga seperti itu sesungguhnya merupakan sikap menjalankan perintah dari Walisongo bukan karena sikap laku dirinya lantaran kebodohannya. Hampir seluruh masa hidup Sunan Kalijaga benar-benar dipergunakan untuk berjuang demi syiarnya agama Islam, khususnya di tanah Jawa sebagaimana para Wali yang lainnya. Akhirnya beliau wafat, sayang sampai sekarang belum ada ahli sejarah satupun yang dapat menemukan tahun wafatnya. Bahkan juga tahun kelahiran beliau hanya ada berita-berita dari rakyat yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga wafat setelah berumur panjang sekali, se-hingga pada masa hidupnya dapat mengalami masa kekuasaan 3 (tiga) kerajaan, yaitu : 1. Pertama Masa kekuasaan kerajaan Majapahit. 2. Kedua Masa kekuasaan kerajaan Demak. 3. Ketiga Masa kekuasaan kerajaan Pajang. Sampai sekarang hanya bisa diketahui makamnya, yaitu di desa "Kadilangu" Kab. Demak, kurang lebih 2 (dua) km. dari Masjid Agung Demak.



PERJUANGAN SUNAN AMPEL Raden Rahmat atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Ampel, adalah terkenal sebagai salah seorang wali yang telah ikut pula menegakkan agama Islam, untuk memulai usahanya, maka Raden Rahmat membuka pondok pesantran di Ampeldenta di Surabaya. di tempat inilah hendak dididiknya para pemuda-pemuda islam sebagai kader yang terdidik, untuk kemudian disebarkan keberbagai tempat diseluruh pulai jawa. seperti kita ketahui Raden Paku yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Giri, Raden Patah yang kemudian menjadi Sultan pertama dari kerajaan Islam di Bintoro Demak, Raden Makdum Ibrahim (puteranya sendiri) yang belakangan dikenal dengan dengan sebutan Sunan Bonang, Syarifuddin (puteranya sendiri) yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Drajat, Maulana Ishak yang pernah diutus ke daerah Blambangan untuk meng-Islam-kan rakyat disana. Dan bukan menjadi rahasia lagi, bahwa Raden Rahmat atau Sunan Ampel yang menjadi perencana dari kerajaan islam pertama di jawa yang beribu kota di Bintoro Demak, dengan mengangkat Raden Patah sebagai Sultannya yang pertama.. Negara baru di Demak itu adalah hasil rencana dari Sunan Ampel. Inilah jasa beliau yang besar. Semasa hidupnya beliau ikut pula mendirikan Masjid Agung demak yang dibangun kira-kira pada tahun Saka 1401 atau kira-kira bertepatan dengan tahun Masehi 1479. Akan tetapi ada pula yang berpendapat bahwa berdirinya masjid Demak adalah berdasarkan candrasengkala yang berbunyi : “Kori Trus Gunaning Janmi” yang artinya adalah tahun Saka 1399 atau bertepatan dengan tahun 1477 M. Adapun berdirinya kerajaan Bintoro Demak bersengkala “Geni Mati Siniram Janmi”, yang artinya api mati disiram orang. Bagaimana pendapat sunan ampel terhadap berbagai masalah kepercayaan dan adat istiadat masyarakat kiranya dapatlah kita ketahui dari hasil pada pemusyawaratan para wali. Pada waktu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersesaji itu dimasuki rasa ke-Islam-an, maka sunan ampel pun bertanyalah : “Apakah tidak mengkhawatirkan dikemudian hari ? bahwa adat isitadat dan upacara-upacara lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran islam, sebab kalau demikian nanti apakah hal ini tidak akan menjadikan bid’ah?”. Pertanyaan sunan ampel ini kemudian dijawab oleh sunan Kudus sbb : “Saya setuju dengan pendapatnya Sunan Kalijaga, sebab menurut pelajaran agama Budha itu ada persamaannya dengan ajaran Islam, yaitu orang kaya harus menolong kepada fakir miskin. Adapun mengenai kekhawatiran tuan, saya mempunyai keyakinan bahwa dikemudian hari akan ada orang Islam yang akan menyempurnakannya”. Raden Rakhmat dilahirkan kira-kira dalam tahun 1401 M, di Champa, sebagai putera dari raja Champa. mengenai nama Champa ini berselisih para ahli sejarah. Kalau menurut Encyclopedia Van Nederlandesh Indie, Champa ini suatu negeri kecil yang terletak di Kamboja. akan tetapi Raffles, mengatakan bahwa champa itu bukan di kamboja, tetapi terletak di Aceh (Sumatera) yang sekarang bernama : Jeumpa. Hal ini besar kemungkinan, mengingat bahwa Aceh dalam sejarah terkenal sebagai daerah pertama di Indonesia yang memeluk agama Islam. menurut riwayat dikatakan, bahwa Sunan Ampel adalah putera dari Ibrahim Asmarakandi yang dikatakan berasal dari Champa dan menjadi raja di sana. kemudian wafat pada tahun 1425 M, serta dimakamkan di Tuban. Sunan Ampel kemudian kawin dengan putri Tuban bernama Nyai Ageng Manila, dari perkawinannya ini beliau memperoleh 4 orang putra: Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), Putri Istri Sunan Kalijaga. Pada waktu kerajaan Islam Demak berdiri, Sunan Ampel juga yang mengangkat serta menetapkan Raden Patah yang berkedudukan di desa Glagah Wangi yang kemudian bertukar nama menjadi Bintoro Demak, sebagai Sultan pertama dengan gelar: Sultan Alam Akbar Al Fatah. Adapun kota demak letaknya disebelah selatan kota Kudus, jarak 25 km jauhnya. Itulah sedikit mengenai diri dan perjuangan Sunan Ampel.



Sunan Kudus Sunan Kudus adalah salah satu penyebar agama Islam di Indonesia yang tergabung dalam walisongo, yang lahir pada 9 September 1400M/ 808 Hijriah. Nama lengkapnya adalah nama Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan. Ia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung. Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. Bapaknya yaitu Sunan Ngudung adalah putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha (Raja Pandita/Raden Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke Jawa dan sampailah di Kesultanan Islam Demak dan diangkat menjadi Panglima Perang. Babad Tanah Jawi (selanjutnya disebut BTJ) adalah terjemahan dari Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegiing Taoen 1647 yang disusun oleh W. L. Olthof di Leiden, Belanda, pada tahun 1941. Seperti pada pengertian babad pada umumnya, di sini terdapat cerita-cerita tentang pendirian sebuah negara (kerajaan) dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar kerajaan tersebut. “…Orang di tanah Jawa taat serta menganut agama Islam. Mereka bermusyawarah akan mendirikan masjid di Demak. Para wali saling berbagi tugas, semua sudah siap sedia. Hanya Sunan Kali Jaga yang masih ketinggalan, bagian garapannya belum berbentuk, sebab sedang tirakat di Pamantingan. Sekembalinya ke Demak, masjid sudah akan didirikan. Sunan Kali Jaga segera mengumpulkan sisa-sisa kayu bekas sudah menjadi tiang.Pagi harinya tanggal 1 bulan Dulkangidah masjid didirikan dengan sengkalan tahun 1428. Kiblat di masjid searah dengan ka’bah di Mekkah. Penghulunya Sunan Kudus. Setelah beberapa Jumat berdirinya masjid tadi, ketika para wali sedang berdzikir bersama di masjid itu, Sunan Kudus duduk khusuk bertafakur di bawah beduk, tiba-tiba ada bungkusan jatuh dari atas-buku kulit kambing, di dalamnya ada sajadah serta selendang Kanjeng Rasul.” “Pada waktu itu banyak orang Jawa yang belajar agama Islam, kedigdayaan, dan kekuatan badan. Ada dua orang guru yang terkenal, yaitu Sunan Kali Jaga dan Sunan Kudus. Sunan Kudus itu muridnya tiga orang, yaitu Arya Penansang di Jipang, Sunan Prawata, dan Sultan Pajang. Yang paling disayang adalah Arya Penansang. Waktu itu Sunan Kudus sedang duduk-duduk di rumahnya dengan Pangeran Arya Penansang, Sunan Kudus berkata kepada Arya Penansang, “Orang membunuh sesama guru itu, hukumnya apa?” Perlahan jawab Arya Penangsang, “Hukumnya harus dibunuh, tetapi saya belum tahu siapa yang berbuat demikian itu.” Sunan Kudus berkata,”Kakakmu di Prawata.” Arya Penansang setelah mendengar perintah Sunan Kudus, bersedia membunuh Sunan Prawata. Ia lalu mengutus abdi pengawalnya bernama Rangkud dan diperintah untuk membunuh Sunan Prawata. Rangkud lalu berangkat. Sesampai di Prawata ketemu dengan Sunan Prawata yang sedang sakit dan bersandar pada istrinya. Setelah melihat Rangkud Sunan Prawata bertanya, “Kamu itu orang siapa?” Rangkud menjawab, “Saya adalah utusan Arya Penansang, memerintahkan untuk membunuhmu.” Sunan Prawata berkata, “Ya, terserah, tetapi saya sendiri sajalah yang engkau bunuh, jangan mengikutkan orang lain.” Rangud lalu menusuk sekuatkuatnya. Dada Sunan Prawata tembus sampai ke punggungnya serta menembus dada istrinya. Sunan Prawata setelah melihat istrinya terluka, segera mencabut kerisnya yang bernama Kyai Betok, lalu dilemparkan ke Rangkud. Si Rangkud tergores oleh kembang kacang (hiasan pada pangkal keris), ia jatuh di tanah lalu tewas. Sunan Prawata dan isterinya juga meninggal dunia. Meninggalnya ber-sinengkalan tahun 1453. Arya Penangsang begitu tega membunuh Sunan Prawata sebab ayahnya juga dibunuh oleh Sunan Prawata, saat pulang dari sholat Jum'at. Ia dicegat di tengah jalan oleh utusan Sunan Prawata bernama Sura Yata. Ki Sura Yata tadi juga sudah dibunuh oleh teman ayahnya Arya Jipang. Sunan Prawata tadi mempunyai saudara perempuan namanya Ratu Kali Nyamat. Dia begitu tidak terima atas kematian saudara laki-lakinya itu. Lalu berangkat ke Kudus bersama suaminya berniat minta keadilan kepada Sunan Kudus. Lalu jawab Sunan Kudus, “Kakakmu itu sudah hutang pati pada Arya Penangsang. Sekarang tinggal membayar hutang itu saja.” Ratu Kali Nyamat mendengar jawaban Sunan Kudus itu sangat sakit hatinya. Lalu kembali pulang. Di tengah jalan dibegal utusannya Arya Penansang. Laki-lakinya dibunuh. Ratu Kali Nyamat sangat terpukul hatinya. Sebab baru saja kehilangan saudaranya, lalu kehilangan suaminya. Ia jadi sangat menderita. Lalu bertapa telanjang di Bukit Dana Raja. Sebagai ganti kain untuk menutup auratnya adalah rambutnya yang diurai. Ratu Kalinyamat berprasetia tidak mau



memakai kain selama hidup jika Arya Penansang belum meninggal. Ia bernadar barangsiapa dapat membunuh Arya Jipang, dia akan mengabdi kepadanya dan akan menyerahkan seluruh kekayaannya. Pada suatu ketika Sunan Kudus sedang berbincang-bincang dengan Arya Penangsang, Sunan Kudus berkata, “Kakakmu Sunan Prawata dan Kali Nyamat sekarang sudah mati, tetapi belum lega rasanya kalau belum menguasai tanah Jawa semua. Jika masih ada adikmu Sultan Pajang saya kira tidak mungkin bisa jadi raja, sebab dia adalah penghalang.” Arya Penansang berkata, “Jika diperkenankan atas izin Sunan Kudus, Pajang akan saya gempur dengan perang, adik saya di Pajang akan saya bunuh supaya tidak ada penghalang.” Sunan Kudus menjawab, “Maksudmu itu saya kurang setuju sebab akan merusak negara serta banyak korban. Adapun maksud saya, kakakmu di Pajang bisa mati, secara diam-diam saja, jangan diketahui banyak orang.” Arya Penangsang menjawab sangat setuju. Lalu mengutus abdi pengawal untuk menculik dan membunuh Sultan Pajang. Utusan segera berangkat. Datang di Pajang tengah malam, lalu masuk ke dalam istana. Sultan Pajang sedang tidur berselimut kain kampuh, jarik/kain sarung. Para istrinya tidur di bawah. Utusan menerjang dan menusuk dengan sekuat tenaga. Sultan Pajang tidak mempan (kebal), masih enak tidur saja. Kain yang digunakan untuk berselimut itu pun tidak tertembus. Para isrti terkejut, bangun, menangis, dan menjerit. Sultan Pajang terkejut juga dan bangun. Kain selimut terlempar menerpa para utusan itu, mereka terjatuh terkapar di tanah, tidak ada yang dapat pergi.



Kisah Bung Tomo, Pejuang Kemerdekaan yang Ditahan Orde Baru Soetomo atau Bung Tomo lahir di Surabaya pada tahun 1920. Namanya terkenal ketika terjadi pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Makamnya terletak di Tempat Permakaman Umum Ngagel, Surabaya. Makam Bung Tomo terletak di pinggir jalan sehingga mudah dijangkau. Suasana makam Bung Tomo siang itu cukup ramai. Beberapa orang duduk-duduk di depan makam. Sedang di dalam makam, beberapa perempuan tiduran di nisan dan lantai makam yang teduh. Ketika melihat ada yang datang, mereka buruburu bangun. Bung Tomo adalah seorang wartawan yang aktif menulis di beberapa surat kabar dan majalah, di antaranya: Harian Soeara Oemoem, Harian berbahasa Jawa Ekspres, Mingguan Pembela Rakyat, Majalah Poestaka Timoer, menjabat sebagai wakil pemimpin redaksi Kantor Berita pendudukan Jepang Domei, dan pemimpin redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya. Kepiawaiannya menulis sebagai wartawan, ia tunjukkan pula ketika menulis surat cinta pada calon istrinya. Kisah itu tertuang di buku "Bung Tomo, Suamiku" yang ditulis oleh istrinya Sulistina Soetomo. Diceritakan, Bung Tomo menemukan calon istrinya, Sulistina, Jeng Lies. Mereka sama-sama berjuang dan memulai kisah cintanya di medan pertempuran. Bung Tomo menuliskan di suratnya. "Kalau ada musuh yang siap menembak, dan yang akan ditembak masih pikir-pikir dulu, itu kelamaan. Aku dikenal sebagai seorang pemimpin yang baik dan aku adalah seorang pandu yang suci dalam perkataan dan perbuatan. Pasti aku tidak akan mengecewakanmu." Bung Tomo melanjutkan. "Seorang pejuang tidak akan mengingkari janjinya. Aku mencintaimu sepenuh hatiku, aku ingin menikahimu kalau Indonesia sudah merdeka. Aku akan membahagiakanmu dan tidak akan mengecewakanmu seumur hidupku." Saat itu, ia menjabat sebagai pucuk pimpinan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) yang akhirnya dilebur ke dalam Tentara Nasional Indonesia. BPRI bertugas mendidik, melatih, dan mengirimkan kesatuan-kesatuan bersenjata ke seluruh wilayah Tanah Air. Bung Tomo juga aktif berpidato yang disiarkan oleh Radio BPRI untuk mengobarkan semangat perjuangan yang selalu direlai oleh RRI di seluruh wilayah Indonesia. Ia pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, ia menjadi staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan eksporimpor Belanda. Ia juga pernah bekerja sebagai polisi di kota Praja dan pernah pula menjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke Surabaya dan menjadi distributor untuk perusahaan mesin jahit "Singer". Pada usia 12 tahun, Sutomo meninggalkan pendidikannya di MULO karena ia harus melakukan berbagai pekerjaan untuk mengatasi masalah ekonomi keluarga. Kemudian, ia menyelesaikan pendidikan HBS melalui korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus. Sutomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Pada usia 17 tahun, ia berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat "Pandu Garuda".



Bulan Oktober dan November 1945, ia membangkitkan semangat rakyat pada saat Surabaya diserang oleh tentara Sekutu yang dipimpin oleh Inggris, dikenal dengan pertempuran 10 November 1945 dan dikenang sebagai hari Pahlawan. Setelah kemerdekaan Indonesia, Sutomo pernah aktif dalam politik pada tahun 1950-an. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/ Veteran sekaligus Menteri Sosial ad interim pada tahun 1955-1956 di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Bung Tomo juga tercatat sebagai anggota DPR 1956-1959 yang mewakili Partai Rakyat Indonesia. Namun, pada awal tahun 1970-an, ia berbeda pendapat dengan rezim Orde Baru. Ia berbicara keras terhadap program-program Presiden Soeharto sehingga pada 11 April 1978 ia ditahan oleh penguasa selama setahun karena kritik-kritiknya yang keras. Akibat gesekan dengan penguasa Orde Baru, Bung Tomo terlambat mendapat gelar pahlawan. Atas desakan dari beberapa kalangan, akhirnya pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional kepada Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh, pada tanggal 2 November 2008 di Jakarta. Pada 7 Oktober 1981, ia meninggal dunia di Padang Arafah, ketika sedang menunaikan ibadah haji. Jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke Tanah Air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya.