Contoh Tulisan 3 - Op Ed [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Kemakmuran Negeri versus Kehancuran Ekologi Mencari Keseimbangan dalam Pusaran Kontroversi Industri Kelapa Sawit



(Published on Qureta – 10th May 2017: http://www.qureta.com/post/kemakmurannegeri-versus-kehancuran-ekologi)



theirturn.net



“The picture is more complex; oil palm is neither one thing nor the other but both at the same time. It is no longer a question of halting the expansion of the oil palm, but of finding a smart way to manage it.” Ini adalah refleksi sehari-hari mengenai masalah lingkungan Indonesia yang menempatkan negeri tercinta Indonesia di antara pilihan yang dilematis: sebuah pertarungan antara pembangunan ekonomi berbasis ekstraksi sumber alam dan kekhawatiran manfaat keberlanjutan sumber alam tersebut. Dalam dekade ini, pergumulan panjang itu dipenuhi tarik-menarik dan ketegangan. Indonesia sendiri memiliki dua target utama untuk tahun 2020: Mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dengan melakukan konservasi terhadap hutan hujan tropis dan meningkatkan produksi kelapa



sawit hingga dua kali lipat. Sekilas, memang tampak tidak mungkin untuk mencapai kedua goals tersebut secara bersamaan, namun benarkah demikian? Peliknya Dilema Industri Sawit Indonesia Seperti yang kita ketahui, isu keberlanjutan menjadi telah menjadi tantangan terbesar yang dihadapi manusia dalam beberapa dekade terakhir. Diperkirakan bahwa pada 2050, populasi dunia akan bertambah menjadi 8.5 miliar orang, yang berimplikasi pada naiknya kebutuhan pangan – tak terkecuali minyak dan lemak nabati yang diprediksi akan bertumbuh sebesar 28%. Hal ini menempatkan sektor agrikultur dalam pengawasan yang ketat dari pemerintah, LSM, investor, dan konsumen dalam hal dampak lingkungan dari praktik bisnis mereka. Kelapa sawit, dalam hal ini, merupakan salah satu komoditas yang menjadi sorotan utama dunia. Indonesia memiliki tingkat deforestasi tertinggi di dunia: Perkebunan kelapa sawit saat ini mencakup sekitar 4,1 juta hektar lahan di Indonesia. Sejalan dengan ekspansi perkebunan sawit, Indonesia telah kehilangan lebih dari 6 juta hektar hutan pada periode 2000-2012 (WRI, 2014) dimana 56% ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia terjadi dengan mengorbankan hutan primer. Produsen menggunduli daerah hutan hujan tropis, kemudian menggunakan keuntungan dari penebangan hutan untuk menutupi biaya awal pendirian perkebunan kelapa sawit. Hilangnya hutan tropis Indonesia menimbulkan penyakit ganda bagi lingkungan. Pertama, hal ini berkontribusi terhadap perubahan iklim: pohon melepaskan karbon dioksida yang tersimpan saat mereka ditebang dan dibakar. Demikian pula, tanah gambut kaya karbon yang ditemukan di hutan tropis Indonesia juga melepaskan karbon dioksida saat dibakar atau dikeringkan. Emisi dari kebakaran hutan dan land-use change adalah sumber utama dari emisi gas rumah kaca di Indonesia, yang menempatkan Indonesia di dalam daftar World's Top 10 Global Emitters. Kedua, hilangnya hutan tropis di Indonesia menciptakan risiko yang sangat besar untuk keanekaragaman hayati. Hutan Indonesia adalah rumah bagi beberapa keanekaragaman hayati terkaya di dunia, menyediakan habitat bagi spesies unik dan hampir punah seperti orangutan, harimau, dan gajah.



Di sisi lain, sejak 1980-an produksi minyak sawit dunia terus meningkat lebih dari sepuluh kali lipat - minyak sawit telah menjadi minyak nabati yang paling banyak diproduksi dan diperdagangkan di dunia. Popularitas minyak sawit sebagian bergantung pada fleksibilitas penggunaannya - bukan hanya untuk minyak goreng dan biofuel, namun juga untuk pembuatan margarin, biskuit, berbagai macam makanan olahan, kosmetik, sabun, pelumas, lilin, farmasi, agrokimia, cat dan bahkan barang elektronik. Kelapa sawit merupakan "natural oil machine" yang sesungguhnya: produktivitas perkebunan minyak kelapa sawit per hektar melebihi produksi minyak nabati lainnya. Separuh kebutuhan minyak sawit dunia dipasok dari Indonesia. Pada tahun 2014, jumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia sendiri berjumlah 1.601 perusahaan yang tersebar



di 24 provinsi di seluruh Indonesia. Berdasarkan status pengusahaannya, produksi minyak sawit mayoritas dikuasai oleh swasta (56,25%), diikuti perkebunan rakyat (36,41%), dan perkebunan besar negara (7,34%). Dari segi ekonomi, kelapa sawit sendiri telah dinobatkan sebagai salah satu Top Exported Commodity Indonesia diluar minyak dan gas, dimana komoditas ini menghasilkan sekitar 12.4 miliar dolar Amerika foreign exchange dan setidaknya 1 miliar dolar Amerika export tax bagi Indonesia. Selain menyumbang pendapatan nasional, industri kelapa sawit juga mempekerjakan sekitar 2 juta tenaga kerja. Di negeri yang 30 juta penduduknya masih hidup dibawah garis kemiskinan ini, peran industri dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang sangat signifikan. Bank Dunia menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit telah menyediakan lapangan pekerjaan lebih banyak per hektarnya dibandingkan dengan perkebunan skala besar lainnya dan pekerjaan tersebut dapat dilakukan sepanjang tahun, bukan hanya sebatas pekerjaan musiman seperti yang biasa ditemui pada perkebunan komoditas lain. Sebuah studi oleh Sumatro dan Suryahadi (2004) menjelaskan bahwa pemerintah melihat rupiah yang diperoleh melalui ekspor kelapa sawit sebagai salah satu alat untuk meningkatkan standar hidup orang Indonesia secara keseluruhan. Banyak pihak menghadirkan korupsi pemerintah sebagai alasan utama penggundulan hutan untuk pembukaan lahan sawit baru berlanjut, menyalahkan Menteri Kehutanan dan Presiden Indonesia karena gagal menerapkan undang-undang mereka melawan penggundulan hutan. Tapi sayangnya jawabannya tidak sesederhana itu. Keinginan Indonesia untuk pembangunan ekonomi adalah alasan sebenarnya mengapa minyak sawit menjadi kasus menarik yang dipertentangkan dengan konservasi hutan.



Menemukan Win-Win Solution: Menyelaraskan Keberlanjutan dan Profit



Melihat kenyataan diatas, tanaman kelapa sawit tidak dapat dipandang semata-mata sebagai pendorong pembangunan seperti yang diklaim pengusaha sawit, atau sebagai pertanda meningkatnya angka kemiskinan, seperti yang didengungkan pihak lainnya. Pandangan yang berbeda ini akan tergantung pada stakeholder yang terlibat. Konversi hutan primer menjadi perkebunan kelapa sawit jelas merupakan bencana ekologis. Tetapi, sekali lagi perlu diingat: it’s not all about the oil palm itself, dan inilah saatnya untuk beralih dari posisi ekstrim: ketimbang mendemonisasi ataupun memuji sawit secara berlebihan, sebagai gantinya kita perlu bersinergi, mengidentifikasi cara untuk memastikan dan menjaga agar produksi komoditas berharga ini berlangsung secara berkelanjutan. Lalu, bagaimana negara harus mengelola industri ini secara tepat dan juga mengatasi tumpang tindihnya kepentingan terkait kelapa sawit? Jawabannya adalah Indonesia harus merangkul konsep ‘pembangunan hijau’ – pengelolaan sumber daya alam harus berorientasi kepada konservasi sumber daya alam (natural resource oriented) dan pemanfaatan secara berkelanjutan (sustainable use) untuk menjamin kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam, dengan menggunakan pendekatan yang bercorak komprehensif dan terpadu sehingga lingkungan juga bisa menjadi bagian penciptaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.



Tak lupa konsep sustainable development harus pula diperkaya dengan narasi lokal sebab masyarakat adat disekitar area perkebunan sawit pun merupakan bagian integral dari lingkungan itu sendiri. Studi terbaru yang dilakukan oleh Duke University dan World Resources Institute menemukan bahwa adalah mungkin bagi Indonesia untuk melindungi hutan secara penuh, mengurangi emisi karbon sebesar 35% dengan resiko mengurangi sedikit profit. Hal ini dapat dilakukan dengan cara: 



Memperkuat Regulasi Kelapa Sawit dan Pengawalan Sosial oleh Masyarakat Lokal



Peran pemerintah sangat sentral dalam memberikan arahan dalam pengembangan pembangunan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan di Indonesia. Komitmen dan konsistensi pemerintah akan tercermin dengan struktur dan kerangka kerja kebijakan (policy framework) yang merupakan penerjemahan praktis prinsip-prinsip tersebut. Saat ini, penetapan regulasi kelapa sawit masih cenderung lemah, bersifat sektoral dan kurang terkoordinasi yang sering kali disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan antara pihak-pihak terlibat di dalamnya. Selain itu, terdapat kelemahan-kelemahan dalam komunikasi antar pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Di beberapa daerah di Indonesia kelemahan-kelemahan itu telah menjadi ancaman serius terhadap kelestarian sumberdaya alam dan bahkan budaya setempat. Oleh karena itu, pemerintah perlu memperkuat dan memperjelas regulasi; mengusahakan konsistensi dan sinergi peraturan terkait perlindungan hutan dan industri kelapa sawit mulai dari pemerintah pusat sampai daerah. Pemerintah dan aparat penegak hukum juga diminta lebih tegas kepada perusahaan sawit yang melanggar hukum atau terlibat konflik dengan masyarakat. Dukungan untuk pengawasan sosial dan penegakan hukum perlu digalang dari seluruh masyarakat, media massa (koran, TV, radio), Ilmuwan, LSM, Praktisi dan Ahli Hukum, Aparat/Lembaga penegak hukum, lembaga-lembaga kemasyarakatan, dll. Semua dukungan harus berjalan searah dan saling mendukung (bersinergi). 



Menyelaraskan Standar Sertifikasi Keberlanjutan



Dua sertifikasi keberlanjutan kelapa sawit, Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO), memiliki jiwa yang sama dalam yaitu untuk mewujudkan pengelolaan kelapa sawit yang berkelanjutan dan lestari dengan menekan berkurangnya tutupan hutan, mengurangi emisi gas rumah kaca dari perubahan fungsi lahan serta kepatuhan terhadap persyaratan hukum.



Namun, dalam penerapannya terdapat perbedaan yang mendasar menyangkut kawasan lindung dan konsep Nilai Konservasi Tinggi, prosedur pemindahan hak lahan perkebunan sawit berdasarkan ketentuan perundangan di Indonesia dan pelaksanaan Free Prior Informed Consent (FPIC) dalam RSPO, serta prosedur untuk penanaman baru. ISPO pada dasarnya adalah political will dan legalitas, sementara RSPO lebih memberi penekanan terhadap aspek bisnis dan mata rantai pasokan (Supply Chain Management). Mengenai hal ini, berbagai pihak yang terlibat harus dapat memanfaatkan sebanyak mungkin persamaan dari kedua sistem sertifikasi sebagai dasar untuk melakukan joint audit sehingga sertifikasi ISPO dan RSPO dapat menjadi lebih efisien. Hasil studi menunjukkan bahwa ISPO dan RSPO dapat saling melengkapi dan dengan bersama dapat menawarkan solusi yang lebih besar untuk para pemangku kepentingan dari apa yang dapat dicapai oleh masing-masing. Penerapan prinsip berkelanjutan di seluruh rantai pasokan minyak sawit Indonesia membutuhkan kerjasama yang signifikan dan efektif antara seluruh pemangku kepentingan, terutama antara pemerintah dan pasar internasional. Sekretariat ISPO dan RSPO diharapkan terus menjalin komunikasi agar menghasilkan langkah nyata yang dapat meningkatkan daya saing dan berkelanjutan produk sawit Indonesia. Sepanjang tidak ada pertentangan prinsip, kedua otoritas dapat berupaya melakukan proses sertifikasi secara bersama-sama, demi menghemat waktu dan biaya perusahaan yang menjalani proses sertifikasi.







Pemberdayaan dan Sertifikasi Berkelanjutan bagi Petani Kecil



Potensi peningkatan hasil panen di lahan petani kecil, yang mencakup 44% lahan kelapa sawit di Indonesia, sangatlah tinggi. Namun, hasil petani kecil seringkali kurang dari setengah hasil panen produsen skala besar. Petani kecil biasanya bekerja di kelompok masyarakat dan oleh karena itu pada umumnya tidak memiliki akses terhadap keahlian, pengembangan kapasitas dan infrastruktur untuk praktik berkelanjutan. Oleh karena itu, perlu dilakukan peningkatan kesadaran, pelatihan dan pendidikan, dedikasi sukarela, penyediaan dana dan kewaspadaan sistemik (systemic vigilance) bagi petani rakyat. Pemerintah dan lembaga sertifikasi perlu mensertifikasi petani kecil sehingga mereka menghasilkan lebih banyak minyak sawit dengan menggunakan lebih sedikit lahan dan dapat



mengakses pasar yang lebih luas, modal, bahan tanam yang baik, dan praktik agronomi lainnya, demi meningkatkan pendapatan mereka dan mengurangi risiko konversi lahan yang mengancam hutan dan keanekaragaman hayati. 



Best Management Practices (BMP), Intensifikasi Penanaman Kelapa Sawit, dan Inovasi Penelitian



Produsen minyak sawit, pemerintah Indonesia, Lembaga Penelitian, dan LSM perlu bekerja sama untuk memastikan penerapan Best Management Practices (BMP), intensifikasi produksi kelapa sawit yang berkelanjutan (salah satunya dengan penanaman di lahan terdegradasi), dan inovasi penelitian mengenai teknik produksi kelapa sawit. BMP adalah suatu metoda dan teknik agronomis yang diterapkan dengan biaya efektif dan secara praktek ditujukan untuk memperkecil jarak antara perolehan Yield Aktual terhadap Yield Potensial perkebunan sawit serta mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan hidup dengan menggunakan input produksi dan sumber sumber produksi secara efisien. Keberhasilan BMP bergantung pada komitmen yang kuat dari manajemen perkebunan untuk memberikan arahan serta anggaran dan sumber daya yang memadai, dan untuk melaksanakan BMP secara ketat dan tepat waktu. Untuk perusahaan, program Corporate Social Responsability (CSR) juga sebaiknya diprioritaskan ke arah konsep menyalamat petak danum (ungkapan dari Bahasa Dayak untuk "Penyelamatan Lingkungan Tanah Air") dan pemberdayaan masyarakat lokal. Pemerintah Indonesia juga dapat bekerja sama dengan industri dan LSM untuk mempromosikan intensifikasi produksi di lahan-lahan terdegradasi. Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa pengembangan lahan terdegradasi di tanah mineral (mineral soils) memberikan tingkat pengembalian ekonomi yang sama atau bahkan lebih baik daripada pengembangan perkebunan kelapa sawit di lahan hutan tropis karena biaya investasi yang lebih rendah dan hasil panen yang tinggi. Di bawah BMP, analisis keuangan menunjukkan bahwa lahan yang 'terdegradasi' menawarkan tingkat pengembalian yang superior kepada petani kelapa sawit daripada hutan primer dan lahan gambut. Disamping itu, penanaman kelapa sawit di lahan terbuka atau lahan yang sudah terdegradasi dapat membuahkan net zero carbon footprint (karbon netral). Sebagai contoh, Brasil telah sukses dalam menerapkan model intensifikasi untuk mengurangi deforestasi di Hutan Amazon yang ditunjang dengan peningkatan akses terhadap kredit pedesaan terkait dengan kepatuhan terhadap peraturan lingkungan hidup. Konsep ini



telah terbukti menjadi model yang efektif untuk meningkatkan produktivitas pertanian di lahan pertanian yang ada dan mencegah pembukaan hutan untuk perluasan lahan pertanian. Balmford, dkk. (2005) menemukan bahwa kenaikan hasil (yield) perkebunan sama pentingnya dengan perluasan areal panen. Hal ini sekali lagi menyoroti pentingnya meningkatkan hasil panen sebagai upaya pencegahan deforestasi untuk ekspansi pertanian. Perkembangan di masa depan juga menjanjikan: penelitian tentang tanaman hasil rekayasa genetika dapat menciptakan pohon kelapa sawit yang lebih pendek dan dapat hidup lebih dari 25 tahun, yang akan mengurangi kebutuhan untuk pembuangan dan penanaman kembali pohon dan meningkatkan frekuensi panen. Dengan mengakui manfaat ekonomi minyak sawit ke Indonesia, kita dapat berfokus pada peningkatan hasil panen untuk menghasilkan lebih banyak tanpa mendorong perkebunan lebih dalam ke kawasan hutan. Masalahnya bukan terletak pada komoditas kelapa sawit itu sendiri, tetapi pada cara manusia memanfaatkannya secara cerdas. Industri kelapa sawit di Indonesia memang terlihat "jahat", tetapi dengan penilaian yang rasional tentang aspek-aspek penting industri sawit yang didukung dengan sinergi berbagai stakeholder yang terlibat, kita masih dapat menikmati keuntungan dari komoditas ini tanpa mengorbankan kelestarian alam bumi pertiwi.