CSS Anemia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Clinical Science Session



ANEMIA



Oleh : Salma Fairuz Fernando



1940312030



Yolanda Erdiansari



1940312037



Preseptor : dr. Drajad Priyono, Sp.PD-KGH, Sp.PD FINASIM



BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RSUP DR. M. DJAMIL PADANG 2021



KATA PENGANTAR



Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Clinical Science Session yang berjudul “Anemia” Referat ini merupakan salah satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Drajad Priyono, Sp.PD-KGH, FINASIM selaku preseptor yang telah memberikan masukan dalam pembuatan Clinical Science Session ini. Penulis mengucapkan terima kasih juga kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan Clinical Science Session ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik untuk menyempurnakan tulisan ini. Semoga Clinical Science Session ini dapat bermanfaat bagi kita semua.



Padang,



April 2021



Penulis



Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



2



DAFTAR ISI



Kata Pengantar



2



Daftar Isi



3



BAB 1 PENDAHULUAN



4



1.1 Latar Belakang



4



1.2 Batasan Masalah



5



1.3 Tujuan Penulisan



5



1.4 Metode Penulisan



5



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA



6



2.1 Definisi



6



2.2 Etiologi dan Klasifikasi Anemia



6



2.3 Epidemiologi



8



2.4 Patogenesis dan Patofisiologi



9



2.5 Manifestasi Klinis



12



2.6 Diagnosis



13



2.7 Tatalaksana



17



2.8 Prognosis



25



BAB 3 PENUTUP



26



Daftar Pustaka



27



Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



3



BAB 1 PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai diseluruh



dunia dan mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi serta kesehatan fisik. Anemia merupakan salah satu penyakit dengan penyebab multifaktorial, dapat dikarenakan reaksi patologis dan fisiologis yang bisa muncul sebagai konsekuensi dari penyakit lain atau sebagai faktor risiko terhadap penyakit lain.1 Anemia didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana jumlah sel darah merah atau hemoglobin (protein pengikat oksigen) berada dibawah nilai normal yang menyebabkan darah tidak dapat mengikat oksigen sebanyak yang diperlukan oleh tubuh. Hal ini menyebabkan gejala seperti kelelahan, lemah, pusing, dan sesak napas. Kadar hemoglobin optimal yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis bervariasi menurut usia, jenis kelamin, tempat tinggal, kebiasaan merokok dan status kehamilan.2 Anemia ringan hingga sedang mungkin tidak menimbulkan gejala objektif, namun dapat berlanjut ke keadaan anemia berat dengan gejala-gejala keletihan, takipnea, napas pendek saat beraktivitas, takikardia, dilatasi jantung, dan gagal jantung.3 Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena gangguan pembentukan eritrosit oleh sum-sum tulang, kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan) dan proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis).6 Penyebab paling umum dari anemia termasuk kekurangan nutrisi, terutama kekurangan zat besi, meskipun kekurangan folat, vitamin B12 dan A juga merupakan penyebab penting; hemoglobinopati; dan penyakit menular, seperti malaria, tuberkulosis, HIV dan infeksi parasit. Anemia adalah masalah kesehatan masyarakat global yang serius yang terutama menyerang anak-anak dan wanita hamil. WHO memperkirakan bahwa 42% anak di bawah usia 5 tahun dan 46% wanita hamil di seluruh dunia menderita anemia.2,4 Kelompok berisiko lainnya termasuk orang tua, karena prevalensi anemia di antara orang dewasa di atas 50 tahun meningkat dengan bertambahnya usia, meskipun datanya terbatas.5 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



4



Anemia dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada wanita dan anak-anak, hasil kelahiran yang buruk, penurunan produktivitas kerja pada orang dewasa, dan gangguan perkembangan kognitif dan perilaku pada anakanak.5 Oleh karena itu, memahami berbagai macam anemia dan etiologinya sangat penting untuk mengembangkan intervensi yang efektif dalam mengatasi penyebab anemia yang sesuai dan untuk mengendalikan kejadian anemia.



1.2



Batasan Masalah Clinical Science Session ini membahas tentang definisi, etiologi,



patogenesis, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis anemia.



1.3



Tujuan Penulisan Clinical Science Session ini bertujuan untuk mengetahui definisi, etiologi,



patogenesis, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis anemia.



1.4



Metode Penulisan Penulisan Clinical Science Session ini menggunakan tinjauan kepustakaan



yang merujuk kepada berbagai literatur.



Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



5



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA



2.1



Definisi Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa



eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah cukup ke jaringan perifer. Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar.6 Parameter yang paling umum menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Nilai normal hemoglobin sangat bervariasi tergantung umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Kriteria anemia menurut WHO :6



Tabel 2.1 Kriteria Anemia Menurut WHO



2.2



Kelompok



Kriteria Anemia (Hb)



Pria dewasa



< 13 g/dl



Wanita dewasa tidak hamil



< 12 g/dl



Wanita dewasa hamil



< 11 g/dl



Etiologi dan Klasifikasi Anemia Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena :6



-



Gangguan pembentukan eritrosit oleh sum-sum tulang



-



Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan)



-



Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis) Klasifikasi Anemia Menurut Etiopatogenesis :6 a.



Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sum-sum tulang



1.



Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit



-



Anemia defisiensi besi



-



Anemia defisiensi asam folat



-



Anemia defisiensi vitamin B12



Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



6



2.



Gangguan penggunaan (utilisasi) besi



-



Anemia akibat penyakit kronik



-



Anemia sideroblastik



3.



Kerusakan sum-sum tulang



-



Anemia aplastik



-



Anemia mieloplastik



-



Anemia pada keganasan hematologik



-



Anemia diseritropietik



-



Anemia pada sindrom mielodisplastik



-



Anemia akibat kekurangan hormon eritropoietin: anemia pada gagal ginjal kronik



b.



Anemia akibat perdarahan



1.



Anemia akibat perdarahan akut



2.



Anemia akibat perdarahan kronis



c.



Anemia hemolitik



1.



Anemia hemolitik intrakorpuskular



-



Gangguan membrane eritrosit (membranopati)



-



Gangguan enzim eritrosit (enzimopati), anemia akibat defisiensi G6PD



-



Gangguan haemoglobin (hemoglobinopati) - Thalassemia - Hemoglobinopati structural : HbS, HbE, dll



2.



Anemia hemolitik ekstrakorpuskular



-



Anemia hemolitik autoimun



-



Anemia hemolitik mikroangiopati



-



Lain-lain



d.



Anemia dengan penyebab yang tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks



Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi: I. Anemia hipokromik mikrositer a. Anemia defisiensi besi b. Anemia akibat penyakit kronik Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



7



c. Anemia sideroblastik d. Thalassemia major II. Anemia normokromik normositer a. Anemia aplasstik b. Anemia hemolitik didapat c. Anemia akibat perdarahan akut d. Anemia akibat gagal ginjal kronik e. Anemia pada sindrom mielodisplastik f. Anemia pada keganasan hematologik III. Anemia makrositer a. Bentuk megaloblastik -



Anemia defisiensi asam folat



-



Anemia defisiensi vitamin B12 termasuk anemia pernisiosa



b. Bentuk non megaloblastik



2.3



-



Anemia pada penyakit hati kronik



-



Anemia pada hipotiroidisme



-



Anemia pada sindrom mielodisplastik



Epidemiologi Anemia adalah penyakit yang sangat umum yang menyerang sepertiga



populasi global. Penduduk dunia yang mengalami anemia berjumlah sekitar 30% atau 2,20 miliar orang dengan sebagian besar diantaranya tinggal di daerah tropis. Prevalensi anemia secara global sekitar 51%.7 Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering ditemui, baik di klinik maupun di masyarakat, terutama pada kelompok berisiko seperti anak-anak, remaja wanita, wanita hamil. Insiden tahunan anemia defiensi besi di Italia, Belgia, Jerman dan Spanyol dilaporkan 7,2 – 13,96 per 1000 orang per tahun.8 Di negara-negara dengan sedikit mengonsumsi daging dalam makanan seperti di Amerika Utara dan Eropa, anemia defisiensi besi terjadi 6-8 kali lebih tinggi.9 Kemenkes RI menunjukkan angka prevalensi anemia secara nasional pada semua kelompok umur adalah 21,70%. Prevalensi anemia pada perempuan relatif lebih tinggi (23,90%) dibanding laki-laki (18,40%). Di wilayah geografis tertentu, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



8



parasit usus, terutama cacing tambang, memperburuk defisiensi zat besi karena kehilangan darah dari saluran pencernaan.10 Insidensi anemia aplastik didapat bervariasi di seluruh dunia. Kejadiannya cukup langka di Amerika dan Eropa berkisar 2-3 kasus per 1 juta penduduk. Insiden anemia aplastik relatif menigkat di Asia, di Korea didapatkan 5,6 kasus per 1 juta anak, di Bangkok dilaporkan 3,9 kasus per 1 juta, dan 5 kasus per 1 juta di Sabah Malaysia. Angka kejadian berdasarkan umur terjadi pada rentang umur 15-29 tahun dan beberapa kasus diatas 60 tahun di Negara Barat sedangkan di Asia terjadi rentang usia 15-24 tahun.11 Perjalanan penyakit pada pria ditemukan lebih berat dibandingkan pada perempuan. Perbedaan umur dan jenis kelamin mungkin disebabkan karena factor risiko pekerjaan, sedangkan perbedaan geografis mungkin pengaruh lingkungan.6 Anemia hemolitik mewakili sekitar 5% dari semua anemia. AIHA akut relatif jarang, dengan kejadian satu sampai tiga kasus per 100.000 penduduk per tahun. Anemia hemolitik tidak spesifik untuk ras apa pun. Namun, kelainan sickle cell anemia ditemukan terutama di Afrika, Afrika Amerika, beberapa orang Arab, dan Aborigin di India selatan. Kebanyakan kasus anemia hemolitik tidak spesifik jenis kelamin. Namun, AIHA sedikit lebih mungkin terjadi pada wanita dibandingkan pada pria. Defisiensi G6PD adalah gangguan resesif terkait-X. Oleh karena itu, pria biasanya terpengaruh, dan wanita adalah pembawa. Meskipun anemia hemolitik dapat terjadi pada segala usia, kelainan herediter biasanya terlihat pada awal kehidupan. AIHA lebih mungkin terjadi pada individu paruh baya dan lebih tua.12



2.4



Patogenesis dan Patofisiologi A.



Anemia Aplastik13



Anemia aplastik dapat terjadi akibat kegagalan hematopoietik (produksi sel darah) sehingga terjadi kosongnya sumsum tulang, hasil pencitraan menunjukkan bahwa sumsum tulang diganti oleh jaringan lemak yang merata. Pada anemia aplastik juga didapatkan bahwa sel-sel CD34+ juga hampir tidak ada yang berarti bahwa sel-sel induk pembentuk koloni eritroid, mieloid, dan megakariosit sangat kurang jumlahnya. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



9



Pada anemia aplastik didapat terdapat adanya limfosit yang bertanggung jawab atas destruksi kompartemen sel hematopoietik. Perubahan imunitas menyebabkan destruksi khususnya kematian sel CD34, dan aktivasi jalur intraseluler menyebabkan penghentian siklus sel. Sel-sel T dari pasien membunuh sel-sel asal hematopoietik. Sel-sel asal hematopoietik primitif yang selamat dari serangan autoimun setelah terapi imunosupresif memungkinkan pemulihan hematopoietik secara perlahan-lahan. B.



Anemia Defisiensi Besi6



Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi menurun, keadaan ini disebut iron depleted state (ditandai dengan penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, besi dalam sumsum tulang negatif) dan bila keadaan tersebut terus berlanjut maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali (sediaan besi untuk eritropoiesis berkurang) sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit yaitu mikrositik hipokrom namun anemia secara klinis belum terjadi, keadaan ini disebut iron deficient erythropoiesis. Pada fase tersebut kelainan pertama yang dijumpai adalah saturasi transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoiesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, sehingga disebut anemia defisiensi besi. C.



Anemia Megaloblastik14



Terjadinya anemia megaloblastik disebabkan karena terjadi penghambatan sintesis DNA dan atau RNA oleh vitamin B12 (sianokonalamin) dan atau asam folat. Defisiensi asam folat akan diikuti oleh terhambatnya sintesis basa nukleotida (khususnya timin), menyebabkan terhambatnya sintesis DNA. Kekurangan vitamin B12 saja dapat tidak menyebabkan sindrom makrositer bila kadar asam folat cukup. Asam folat juga diperlukan untuk biosintesis basa nukleotida purin dan pirimidin untuk digabungkan dalam DNA dan RNA. Vitamin B12 berfungsi sebagai koenzim dalam reaksi re-metilasi homosistein untuk membentuk metionin yang diperlukan untuk reaksi metilasi substrat termasuk DNA, RNA, fosfolipid dan protein. Hambatan pada proses metilasi tersebut akan menyebabkan ketidakstabilan kromosom sehingga mudah Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



10



terjadi mutasi, gangguan sintesis DNA (replikasi DNA) dan gangguan translasi (produksi asam amino dan protein). Selain hipovitaminosis anemia ini juga dapat disebabkan oleh obat-obat kemoterapi dan antimikroba. D.



Anemia pada Penyakit Kronik15



Hampir semua infeksi supuratif kronis seperti tuberkulosis, abses paru, endokarditis bakteri, osteomielitis, infeksi jamur kronis serta HIV berkaitan dengan anemia, untuk terjadinya anemia membutuhkan waktu 1-2 bulan setelah infeksi terjadi dan menetap. Akibat inflamasi dapat terjadi juga pada pasien dengan artritis reumatoid, kolitis ulseratif dan lainnya, serta penyakit lain seperti kanker, walaupun masih stadium dini dan asimtomatik. Diduga anemia yang terjadi merupakan bagian dari sindrom stres hematologik, di mana terjadi produksi sitokin yang berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi dan kanker. Sitokin tersebut dapat menyebabkan sekuestrasi makrofag sehingga mengikat lebih banyak zat besi, meningkatkan destruksi eritrosit di limpa, menekan produksi eritropoietin di ginjal, serta menyebabkan perangsangan yang inadekuat pada eritropoiesis di sumsum tulang. Pada keadaan lebih lanjut, malnutrisi dapat menyebabkan penurunan transformasi T4 menjadi T3 menyebabkan hipotiroid fungsional di mana terjadi penurunan kebutuhan Hb yang mengangkut O2 sehingga sintesis eritropoietin pun akhirnya berkurang, selain itu juga terjadi gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronis. E.



Anemia Hemolitik Imun16



Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui aktivasi sistem komplomen, aktivasi mekanisme hemolisis ekstravaskular, atau kombinasi keduanya. Secara keseluruhan aktivasi sistem komplomen akan menyebabkan hancurnya membran sel eritrosit dan terjadinya hemolisis intravaskular yang ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Jika sel darah disensitisasi dengan IgG yang tidak berkaitan dengan komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktivasi komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial melalui fagositosis. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



11



F.



Anemia Hemolitik Non Imun17



Hemolisis pada anemia hemolitik non imun terjadi tanpa keterlibatan imunoglobulin, tetapi karena faktor defek molekular, abnormalitas struktur membran, faktor lingkungan yang bukan autoantibodi seperti hipersplenisme, kerusakan mekanik eritrosit karena mikroangiopati atau infeksi yang mengakibatkan



kerusakan



eritrosit



tanpa



mengikutsertakan



mekanisme



imunologi seperti malaria, babesiosis, dan klostridium. Hemolisis yang terjadi dapat intravaskular, namun lebih sering terjadi di ekstravaskular oleh sistem retikuloendotelial karena di fagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.



2.5



Manifestasi Klinis18 Gejala umum anemia (sindrom anemia) adalah gejala yang timbul pada



setiap kasus anemia apapun penyebabnya, apabila kadar Hb di bawah nilai normal. Gejala umum anemia ini timbul karena 1) Anoksia organ, 2) Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen. Gejala umum anemia menjadi jelas apabila kadar hb 1gr/dl dalam seminggu, anemia hemolitik intravaskular juga cepat seperti salah transfusi, episode hemolisis pada anemia defisiensi G6PD, anemia akibat leukimia akut, krisis aplastik pada anemia hemolitik kronik. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



14



2.



Anemia yang timbul secara lambat Biasanya disebabkan oleh anemia defisiensi besi, defisiensi asam



folat, akibat penyakit kronis dan anemia hemolitik kronik yang bersifat kongenital -



Pendekatan Berdasarkan Beratnya Penyakit Anemia berat biasanya disebabkan oleh anemia defisiensi besi,



anemia aplastik, anemia pada leukimia akut, anemia hemolitik didapat ataukongenital seperti talasemia, anemia pasca perdarahan akut, dan anemia pada gagal ginjal kronik stadium terminal. Jenis anemia yang lebih bersifat ringan sampai sedang dan jarang berat adalah anemia akibat penyakit kronik, penyakit sistemik dan talasemia trait. Bila pada ketiga anemia tersebut dijumpai anemia berat maka harus pikirkan diagnosis lain atau penyebab lain yang memperberat anemia tersebut. - Pendekatan Berdasarkan Sifat Gejala Anemia Gejala anemia yang lebih menonjol dibandingkan penyakit dasar dijumpai pada anemia defisiensi besi, anemia aplastik, anemia hemolitik. Sedangkan pada anemia penyakit kronik dan anemia sekunder lainnya gejala-gejala penyakit dasar sering lebih menonjol. -



Pendekatan Diagnosis berdasarkan Tuntunan Hasil Laboratorium



Algoritma pendekatan diagnosis anemia berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium adalah sebagai berikut:



Gambar 2.1 Algoritme pendekatan diagnosis anemia



Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



15



Gambar 2.2 Algoritme pendekatan diagnosis pasien dengan anemia mikrositik hipokrom



Gambar 2.3 Algoritme pendekatan diagnosis pasien dengan anemia normositik normokrom Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



16



Gambar 2.4 Algoritme pendekatan diagnosis pasien dengan anemia makrositer



2.7



Tatalaksana A.



Anemia Defisiensi Besi



Terapi anemia defisiensi besi dibagi atas terapi kausal untuk mencegah kekambuhan anemia serta terapi untuk mengganti kekurangan besi melalui pemberian preparat besi. Beerikut tatalaksana yang dapat diberikan pada pasien dengan anemia defisiensi besi:6,19 - Terapi besi oral: ferrous sulphat 3 x 200 mg. - Terapi besi parenteral berupa iron dextran complex (50 mg besi/ml) sesuai indikasi, yakni sebagai berikut: a)



Intoleransi pemberian besi oral.



b) Kepatuhan obat yang rendah. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



17



c)



Gangguan pencernaan berupa kolitis ulseratif yang akan muncul jika diberikan preparat besi oral.



d) Penyerapan besi yang terganggu. e)



Kehilangan darah banyak yang tidak dapat ditolerir dengan pemberian besi oral.



f)



Kebutuhan besi yang besar (hamil trimester 3 atau sebelum operasi).



g) Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoietin pada anemia penyakit kronik. -



Konseling dan edukasi terkait perjalanan penyakit, tatalaksana, serta efek samping obat (mual, muntah, konstipasi, diare, serta BAB bewarna kehitaman).



-



Pasien dapat dirujuk apabila pasien memiliki kondisi sebagai berikut: a)



Anemia tanpa gejala dengan kadar Hb 9 g/dL).20



-



Splenektomi: Splenektomi tidak akan menjadi alternatif ketika tranfusi rutin dapat dilakukan sejak usia dini dan berlangsung secara adekuat. Tindakan spelenektomi dapat diindikasikan untuk keadaan seperti kebutuhan transfusi meningkat hingga lebih dari 200-250 mL PRC/kg/tahun atau 1,5 kali lipat dibanding kebutuhan biasanya, hipersplenisme, leukopenia dan trombositopenia.20



-



Vaksinasi: Vaksin Pneumokokus direkomendasikan sejak usia 2 bulan, dan diulang pada usia 24 bulan. Pemberian ulangan dapat diberikan setiap 5 hingga 10 tahun. Transfusi rutin dapat menyebabkan peningkatan risiko hepatitis B, sehingga vaksinasi hepatitis B perlu dilakukan. Selain itu juga dapat diberikan vaksin influenza setiap tahunnya.20



-



Psikososial: Lingkungan harus mendukung perkembangan emosional dan psikologis pasien thalasemia dengan berupaya menciptakan kondisi yang apa adanya, tidak ada bullying, keistimewaan ataupun restriksi.20



Terapi Definitif Thalasemia merupakan penyakit yang disebabkan oleh kelainan gen sehingga terapi definitif dari thalassemia adalah transplantasi sumsum tulang (Bone Marrow Transplantation / BMT) dan terapi gen (genetic therapy). Pada transplantasi sumsum tulang harus diperhatikan bebapa faktor risiko yang dapat mempengaruhi hasil terapi. Beberapa faktor yang mempengaruhi yakni usia (usia muda lebih baik), kecukupan kelasi besi, ada atau tidak adanya fibrosis hati, serta ada atau tidak adanya hepatomegali. Transplantasi sumsum tulang memungkinkan pasien tidak Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



20



memerlukan transfusi rutin.20 Terapi definitif kedua adalah terapi gen. Terapi gen dilakukan untuk mengubah susunan mutasi gen yang dikandung di dalam sel hematopoiesis. Pendekatan terapi gen pada Talasemia adalah dengan melakukan harvesting sumsum tulang dari pasien, kemudian sel-sel tersebut dilakukan kultur dan pemeliharaan. Tahap selanjutnya adalah dengan melakukan insersi gen yang normal ke kultur sel tersebut dengan menggunakan perantara virus (umumnya adalah lentivirus). Hasil insersi gen normal tersebut kemudian dilakukan transfusi kembali melalui jalur intra vena kepada pasien. Pada pasien sebelum dilakukan transfusi kembali dilakukan terapi untuk mengontrol efek immunologi yang dapat terjadi.20 D. Anemia Aplastik Terapi definitif anemia aplastik adalah dengan transplantasi sumsum tulang. Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok, faktor risiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi harus dipertimbangkan untuk



menentukan



apakah



pasien



paling



baik



mendapat



terapi



imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai Graft Versus Host Disease (GVHD). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif. Berikut dapat dilihat beberapa tatalaksana yang dapat diberikan kepada pasien anemia aplastik:13 1. Terapi Imunosupresif Terapi imunosupresif berupa antithymocyte globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). Berikut adalah indikasi dari ATG atau ALG:13 -



Anemia aplastik yang tidak termasuk kategori berat.



-



Pasien yang tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok.



-



Anemia aplastik berat yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat pengobatan tidak terdapat infeksi, pendarahan, atau dengan granulosit lebih dari 200/mm3.



Dalam pengobatan ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai berat Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



21



sehingga selalu diberikan bersamaan dengan kortikosteroid, yakni prednisone 1 mg/kgBB selama 2 minggu pertama. Siklosporin juga diberikan dan proses kerjanya dengan menghambat aktivasi dan proliferasi precursor limfosit sitotoksik. Dosis yang diberikan 3-10 mg/kgBB/hari per oral selama 4-6 bulan.13 2. Transplantasi Sumsum Tulang Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan tetapi, transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil pasien (hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum dipastikan, namun pasien yang berusia lebih dari 30-35 tahun lebih baik mendapatkan terapi imunosupresif.13 Respon terapi dari transplantasi sumsum tulang menurut European Bone Marrow Transplantation (EBMT) adalah sebagai berikut:13 -



Remisi komplit: bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm3, dan trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3.



-



Remisi sebagian: tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah 2000/mm3, dan trombosit dibawah 100.000/mm3.



-



Refrakter: tidak ada perbaikan.



3. Terapi Suportif Terapi suportif mencakup pencegahan dan penatalaksanaan infeksi, menjaga nilai hemoglobin, serta mengatasi perdarahan jika muncul. Pada pasien dengan keluhan dapat diberikan transfusi packed red cells (PRC) sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit kardiovaskular.13 Transfusi trombosit jika terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm3. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak, akan tetapi transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA- nya (orang tua atau saudara kandung).



Pemberian



transfusi



leukosit



Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



sebagai



profilaksis



masih 22



kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya.13 E. Anemia Hemolitik Non Imun Defiseinsi G6PD Manifestasi klinis muncul apabila pasien terpajan faktor pemicu seperti infeksi, zat oksidan, dan obat-obatan tertentu. Hindari faktor pemicu merupakan langkah pencegahan yang tepat. Selain itu, transfusi dapat diberikan pada kasus berat.17 Defek Jalur Embden Meyerhof Pada hemolisis berat dapat diberikan asam folat 1 mg/hari. Splenektomi dapat berguna pada kasus defisiensi piruvat kinase dan glukosa fosfat isomerase.17 Thrombotic Trombocytopenia Purpura (TTP) Penatalaksanaan pada TTP familial berupa pemberian fresh frozen plasma (FFP) yang mengandung sedikit trombosit atau cryosupernatant. Pada TTP idiopatik didapat diperlukan plasma exchange, yakni kombinasi plasmaferesis dengan infus FFP atau cryosupernatant. Transfusi trombosit tidak diperbolehkan kecuali ada ancaman perdarahan intrakranial.17 Sferositosis Herediter Tatalaksana yang dapat dilakukan berupa splenektomi pada pasien dengan anemia hemolitik sedang dan berat. Pada anemia hemolitik yang berat dapat diberikan asam folat 1 mg/hari sebagai tindakan pencegahan.17 Infeksi Mikroorganisme Anemia hemolitik dapat disebabkan oleh infeksi mikroorganisme baik secara langsung dengan menyerang eritrosit maupun secara tidak langsung dengan menggunakan toksin atau pembentukan autoantibodi terhadap eritrosit. Tatalaksananya adalah dengan mengeradikasi parasit atau mikroorganisme yang menyerang. Pada bartonellosis dapat diberikan penisilin, streptomisin, kloramfenikol, atau tetrasiklin. Pada babesiosis dapat diberikan klindamisin dan kuinin.17 F. Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat Pada tipe hangat, autoantibodi bereaksi optimal pada suhu 37 C. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



23



Pada anemia hemolitik autoimun tipe hangat dapat ditatalaksana dengan cara sebagai berikut:16 -



Kortikosteroid: 1-1,5 mg/kgBB/hari.



-



Splenektomi: jika dengan pemberian steroid tidak adekuat atau tidak dapat dilakukan penurunan dosis selama 3 bulan.



-



Rituximab dan alemtuzumab.



-



Imunosupresi: azathioprine 50-200 mg/hari, siklofosfamid 50-150 mg/hari.



-



Terapi lain: a) Danazol 600-800 mg/hari (bersama steroid). b) Siklofosfamid dosis tinggi 50 mg/kgBB/hari selama 4 hari. c) Imunoglobulin intravena 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari. d) Mycophenolate mofetil 500-1000 mg/hari.



-



Terapi transfusi: dapat diberikan pada kondisi mengancam jiwa (Hb ≤ 3 g/dl) seiring menunggu efek steroid dan imunoglobulin.



Tipe Dingin Hemolisis timbul akibat adanya antibodi dingin, yakni aglutinin dingin dan antibodi Donath-Landstainer dimana aglutinasi sering terjadi pada suhu dingin. Berikut beberapa tatalaksana yang dapat dilakukan:16 -



Hindari udara dingin



-



Chlorambucil 2-4 mg/hari



-



Plasmaferesis (sukar dilakukan)



-



Prednison dan splenektomi tidak banyak membantu.



G. Anemia Megaloblastik Anemia megaloblastik yang disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 atau asam folat dapat diberikan terapi pengganti berupa injeksi intra muskular vitamin B12 sebesar 100-1000 mcg/bulan dan asam folat sebesar 1 mg/hari jika defisiensi asam folat. Pada ibu hamil dapat diberikan terapi pencegahan dengan pemberian asam folat 0,4 mg/hari dan vitamin B12 50 mg/hari sejak awal kehamilan.14



Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



24



2.8



Prognosis Pada anemia defisiensi besi, prognosis baik jika anemianya hanya



disebabkan oleh kekurangan besi saja dan kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi.21 Prognosis pada anemia aplastik berhubungan dengan jumlah absolut neutrofil dan trombosit dimana jumlah absolut netrofil lebih bernilai prognostik. Jumlah netrofil kurang dari 0,5x109/liter dipertimbangkan sebagai anemia aplastik berat dan jumlah netrofil kurang dari 0,2x109/liter dikaitkan dengan respon buruk terhadap imunoterapi dan prognosis yang jelek bila transplantasi sumsum tulang allogenik tidak tersedia.22 Pada anemia hemolitik imun tipe hangat, hanya sebagian kecil pasien yang mengalami kesembuhan komplit dan selebihnya mengalami perjalanan penyakit kronik. Sedangkan pada tipe dingin, sering pada anak dan biasanya terjadi postinfectious dan bersifat self-resolving.16,23 Sedangkan pada anemia hemolitik non imun, prognosis tergantung penyakit yang mendasarinya. Secara umum, angka kematian pada anemia hemolitik tergolong rendah, akan tetapi angka ini akan meningkat terutama pada pasien lanjut usia yang disertai dengan gangguan kardiovaskular.24 Prognosis pada anemia megaloblastik adalah baik jika penyebabnya dapat diidentifikasi dan pengobatan yang tepat telah diberikan. Defisiensi asam folat selama kehamilan dapat menimbulkan spina bifida atau gangguan perkembangan janin lainnya sehingga diperlukan pencegahan dengan asam folat dan vitamin B12.14



Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



25



BAB 3 PENUTUP



Anemia merupakan suatu penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah cukup ke jaringan perifer. Parameter yang digunakan untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, hematokrit, dan hitung eritrosit. Anemia dapat terjadi akibat adanya gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang, kehilangan darah, serta akibat proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya atau dikenal dengan istilah hemolisis. Secara epidemiologi, penduduk dunia yang mengalami anemia berjumlah sekitar 30% atau 2,20 miliar orang dengan sebagian besar diantaranya tinggal di daerah tropis. Dalam mendiagnosis anemia berdasarkan manifestasi yang timbul, harus diperhatikan awitan penyakitnya, berat ringannya derajat anemia yang timbul, serta gejala lain yang timbul yang dapat berasal dari penyakit dasarnya. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis dan mencari kemungkinan etiolgi anemia yakni dapat dengan pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan hapusan darah tepi, indeks eritrosit, serta pemeriksaan laboratorium rutin. Pentalaksanaan serta prognosis anemia tergantung dari jenis dan etiologi anemianya. Tatalaksana hendaknya dilakukan berdasarkan diagnosis defenitif yang telah ditegakkan.



Fakultas Kedokteran Universitas Andalas



26



DAFTAR PUSTAKA



1. Hoftbrandt AV, Moss PAH, Pettit JE, editor. Essential Haematology. Sm ed. UK. Blackwell Publishing; 2006. Chapter 3, Hypochromic anaemia and iron overload; h. 28-43 2. Brady PG. Iron deficiency anemia: a call for. South. Med. J.2007. 100(10): 966-7. 2. World Health Organization. 2016. Global Health Observatory data repository:



prevalence



of



anaemia



in



women



http://apps.who.int/gho/data/ view.main.GSWCAH28REG. 3. Heeney M, Dover GJ. Sickle cell disease. In: Nathan DG, Orkin SH, Oski FA, Ginsburg D. Look AT. Fisher DE. Lux SE, eds. Nathan and Oski’s Hematology of infancy and childhood. 7th ed. Philadelphia: PA: Saunders Elsevier; 2009. Hal 949-1014. 4. World Health Organization. 2016. Global Health Observatory data repository:



anaemia



in



children