Definisi Dan Sejarah Psikologi Forensik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1. Definisi dan Sejarah Psikologi Forensik Secara etimologis, forensik diambil dari kata forensic yang berarti forum (Huss, 2014). Forum yang dimaksud merupakan suatu budaya yang dikenal luas di kalangan masyarakat Romawi Kuno sebagai wadah untuk berkumpul dan memecahkan permasalahan yang timbul di tengah masyarakat. Seiring dengan berkembangnya zaman, forum tersebut diterjemahkan sebagai pengadilan Secara garis besar, psikologi forensik diartikan sebagai bentuk aplikasi psikologi dalam sistem hokum (Huss, 2014). Secara spesifik, Fulero dan Wrightsman (2009) mendefinisikan psikologi forensic sebagai aplikasi dari teori, metode, dan penelitian psikologi yang diterapkan ke dalam sistem legal. Kemudian Weiner dan Hess (2005) berpendapat bahwa psikologi forensik merupakan suatu layanan yang berlandaskan sistem hokum yang mengkaji fenomena hokum dalam konteks psikologi serta memberi kesempatan bagi psikolog untuk mengembangkan keilmuan psikologi dalam ranah hukum Psikologi forensik menekankan pada aktivitas asesmen dan intervensi klinis dalam konteks hokum, termasuk di dalamnya gangguangangguanklinis atau abnormal, asesmen risiko, cedera pribadi (bentuk cedera akibat kelalaian orang lain) dan civil commitment yaitu afirmasi untuk menginstitusikan orang-orang dengan gangguan mental atau adiksi narkotika kepada lembaga yang berwenang dalam menangani masalah ini. Psikologi



forensik



tidak



hanya



mengeksplorasi



masalah-masalah



psikologis bagi mereka yang berurusan dengan hokum, namun juga para polisi dan aparat penegak hokum lainnya yang didapati mengalami stress akibat rumitnya proses hokum yang dijalani. The committee on ethical Guidelines for forensic psychology (Putwain & Sammons, 2002) mendefinisikan psikologi forensik sebagai semua bentuk pelayanan dan kajian psikologi yang dilakukan di dalam dunia hukum. Bartol & Bartol (dalam Wrightsman, 2001) menyatakan psikologi Forensik dapat dibedakan menjadi: Kajian/ penelitian yang terkait dengan



aspek-aspek perilaku manusia dalam proses hukum (seperti pengambilan keputusan pelaku kejahatan, ingatan saksi, pengambilan keputusan juri/hakim, situasi psikologis saat sebuah kejadian berlangsung) Profesi psikologi yang memberikan bantuan/dampingan berkaitan dengan hukum. Secara garis besar, psikologi forensik mengacu pada penerapan metode penelitian dan teori psikologi pada suatu kasus yang ditangani hukum. Lebih spesifiknya, psikologi forensik berfokus pada penerapan psikologi klinis terhadap sistem hukum (Huss & Gonsalves, 2009). Praktek klinis ini umumnya berfokus pada penilaian dan pengobatan individu dalam konteks hukum; melingkupi konsep-konsep seperti psikopati, kegilaan, penilaian risiko, cedera, dan komitmen sipil (Huss & Gonsalves, 2009). 2. Sejarah Psikologi Forensik Dimulai dari upaya yang dilakukan oleh Bapak Psikologi awal Wilhem Wundt 1878 untuk membuat kajian ilmiah atas proses mental manusia, namun hal inilah yang mempengaruhi murid-muridnya untuk mengembangkan kajian memahami perilaku kriminal dalam rangka membantu proses hukum. Pada tahun 1892, Hugo Munsterberg yang telah pindah ke Harvard University, Amerika Serikat bekerja di bawah Wundt, melakukan eksperimen penting yang menunjukkan bahwa saksi dapat memberikan kesaksian yang tidak konsisten, bahkan bisa memberikan kesaksian palsu. Tahun 1908, Munsterberg mempublikasikan buku, yang menjadi titik awal buku acuan psikologi forensik dengan judul “On the stand”. Riset Munsterberg dilanjutkan oleh muridnya, Willian Marston pada tahun 1922 menemukan hubungan antara berbohong dan denyut jantung. Temuannya ini yang menjadi dasar pengembangan alat deteksi kebohongan atau polygraph. Dan pada tahun 1923, Marston bersaksi di pengadilan sebagai saksi ahli pertama di Amerika Serikat. Namun di Jerman, ahli psikologi yang maju pertama kali sebagai saksi ahli adalah Albert von SchrenckNotzing pada tahun 1896, dimana ia memberikan keterangan ahli untuk



menyampaikan



tentang



adanya



karakter



“mudah-dipengaruhi”



(suggestibility) pada saksi yang dapat merubah kesaksian seseorang di depan peradilan. Salah satu murid Wundt, James McKeen Cattell pada tahun 1895 yang melakukan eksperimen pertama psikologi forensik di Columbia University mengenai distorsi keterangan saksi di Amerika Serikat (Brown & Campbell, 2010). Juga turut dipengaruhi riset Cattell, William Stern di bawah supervise Ebbinghaus di Eropa, pada tahun 1901, melakukan eksperimen yang juga menunjukkan adanya ketidak-akuratan kesaksian karena emosi yang dialami saksi. Penelitian mereka ini adalah dasar perkembangan kajian mengenai memori dan kesaksian dalam proses peradilan. William Stern (1906) sjuga yang mengembangkan jurnal ilmiah mengenai penelitian psikologi kesaksian di Leipzig. Upaya psikologi dalam menjelaskan perilaku kriminal juga berkembang. Sigmund Freud menjelaskan bahwa perilaku kriminal disebabkan pikiran patologis. Bahkan, Goddard (1915) menyatakan bahwa kejahatan sangat terkait dengan kelemahan psikologis, seperti problem emosional dan intelektual (Brown & Campbell, 2010). Selain itu, berbagai upaya intervensi di konteks hukum dikembangkan sebagai kontribusi terapan psikologi; Grace Fernald bekerja dengan Willian Healy (1915) untuk memberikan diagnosa dan intervensi pada anak dengan persoalan kenakalan remaja. Tahun 1917, Lewis Terman menggunakan tes psikologi kepribadian untuk menseleksi polisi. Alfred Binet (1896) juga melakukan replikasi riset Cattell dan hal ini menjadi salah satu dasar perkembangan kajian atas kesaksian di Eropa; selanjutnya Binet mengembangkan alat tes psikologi, yang hingga saat ini masih banyak digunakan dalam terapan psikologi. Riset dan publikasi psikologi forensik juga mulai tercatat dengan artikel psikologi legal oleh Burtt pada tahun 1931, buku teks psikologi forensik pertama oleh Toch pada tahun 1961, serta Tapp melakukan kajian



literatur mengenai kontribusi psikologi forensik tahun 1976 di Jurnal Annual Review of Psychology. Monahan dan Loftus di tahun 1982 telah melakukan review dan mengajukan 3 domain kontribusi psikologi dalam hukum, yaitu: 1. Menguji



asumsi



yang



mendasari



proses-proses



hukum



(misalkan: kompetensi memberikan kesaksian), 2. klarifikasi karakteristik proses hukum (misalkan: peran hakim, pengacara; proses pembuktian dan pengambilan keputusan), 3. Memetakan sistem hukum informal yang berkaitan dengan proses



hukum



(misalkan:



sistem



rehabilitasi



mental



narapidana). Mereka menyimpulkan bahwa usaha kontribusi psikologi hingga saat itu, perlu diarahkan untuk menyelaraskan usaha menguji penerapan teori dan menghasilkan teori baru. Selain itu, mereka juga menyarankan agar ditingkatkannya penelitian psikologi forensik dalam hal validitas ekologis (menggunakan desain penelitian yang mampu memberikan simpulan sesuai dengan fenomena realita, mengurangi pendekatan penelitian di laboratorium eksperimen yang dianggap kurang bisa memberikan hasil yang sesuai kenyataan lapangan). Hal ini menjelaskan bahwa telah banyak penelitian psikologi forensik yang telah dilakukan. Tahun 1992, Kagehiro dan Laufer melakukan analisis isi atas berbagai penelitian yang terkait dengan topik psiko-legal, dan menemukan bahwa kira-kira sepertiga penelitian pada masa itu telah mengkaji topiktopik, seperti: keterangan ahli, pembuatan keputusan juri dan kesaksian saksi mata. Selanjutnya, mulai bermunculan berbagai buku teks, misalkan: Carson dan kolega (2007) menyusun buku teks Psikologi dalam konteks hukum; psikologi dan kepolisian (Ainsworth, 1995); pemrofilan pelaku kejahatan (Jackson & Bekerian, 1997); dan kesaksian anak (Flin, 1992). Bekerian dan Levey (2005) menuliskan buku yang menguraikan bahwa segala teori dan metode psikologi adalah relevan dalam usaha investigasi kejahatan serta asesmen dan intervensi pelaku kejahatan. Sebuah buku dari Harrower (1998) juga menjelaskan bahwa kejahatan bisa dijelaskan



dengan psikologi perkembangan, psikologi biologi, pengaruh sosial dan perkembangan intelektual manusia. Dalam organisasi, perkembangan psikologi forensik juga terjadi. Di Inggris, British Psychological Society (BPS) membuka Divisi Psikologi Kriminal dan Legal (Division of Criminological and Legal Psychology; DCLP) pada tahun 1976. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat dua jalur kajian, pada perilaku kriminal dan proses hukum. Namun pada tahun 1999, divisi ini berubah nama menjadi Division of Forensic Psychology (DFP), sebagai suatu payung atas berbagai kajian dalam psikologi forensik. Di Amerika Serikat, American Psychological Association (APA) baru mengakui Psikologi Forensik sebagai salah satu spesialisasi dalam psikologi pada tahun 2001. Dari berbagai literatur, penelitian dan perkembangan organisasi dalam sejarah perkembangan psikologi forensik di dunia, dapat dilihat bahwa penekanan pada kajian psikologi peradilan dan kriminal (pidana) sangat mendominasi, sangat sedikit kajian hukum non-pidana (Campbell & Brown, 2010). Hal ini menjelaskan mengapa arah perkembangan psikologi forensik hingga saat ini lebih ke arah kejahatan pidana.



Tabel 1. Definisi psikologi forensik Ahli



Definisi



Toch 1961



Ilmu yang mempelajari bagaimana tujuan, motif, pikiran, dan perasaan orang-orang yang terlibat dalam proses hukum.



Monahan dan Loftus 1982



Semua ilmu psikologi adalah dasar dari Hukum karena segala aspek perilaku manusia dapat menjadi subyek regulasi hukum.



Gudjonsson dan Haward 1998 Bartol dan Bartol 2008



Bidang psikologi terapan yang fokus pada pengumpulan, pemeriksaan dan penyajian bukti untuk proses peradilan. Psikologi Forensik adalah upaya penelitian yang memeriksa aspek perilaku manusia yang terkait dengan proses hukum dan peradilan (misal: memori dan kesaksian, pembuatan putusan hakim dan juri, perilaku krimimal), dan penerapan profesi psikologi dalam dan atau dengan kaitan dengan sistem hukum, yang mencakup sistem



hukum pidana dan perdata, serta interaksi antara keduanya. Penerapan teori metodologi riset dan praktek psikologi pada suatu tugas yang terkait/berhadapan dengan sistem hukum dan mencakup berbagai macam profesi psikolog, Adalah suatu profesi dan juga bidang kajian yang terlibat dalam sistem hukum, Wrightsman dan Fulero 2005



Memiliki sumber informasi yang kaya, banyak dan luas.



Howitt 2006



Psikologi forensik adalah penerapan psikologi pada peradilan.



Needs 2008



Forensik psikologi adalah aplikasi metode, teori, dan temuan empiris dari berbagai area ilmu psikologi pada konteks dan kebutuhan proses hukum pidana dan perdata.



3. Peran Psikologi Forensik pada Berbagai Bidang Sejatinya, psikologi forensik belum memiliki cakupan yang jelas jika menjadi sebuah bidang ilmu, lantaran posisinya masih diantara hukum dan psikologi. Secara umum, psikologi forensik memiliki peranan penting pada hukum kriminal (pidana) dan aspek sipil (perdata). Pada hukum kriminal lebih menekankan pada bagaimana tindakan yang bertentangan dan merugikan terhadap tatanan masyarakat, sehingga pemerintah memiliki hak dan bertindak dalam menegakkan regulasi tersebut. Semisal, seseorang melakukan pemerkosaan maka hal tersebut pun merugikan orang lain dan pemerintah berhak melakukan regulasi terhadap kasus tersebut. Pada konteks hukum kriminal, psikologi forensik lebih berperan pada kasus yang dapat dieksplorasi, salah satu yang memicu perdebatan adalah mens rea. Pada istilah hukum, mens rea diartikan sebagai niat jahat yang dikaitkan dengan motif seseorang dan kondisi kesehatan mental seseorang dalam melakukan kejahatan. Sebagai contoh pada kasus pemerkosaan, jika seseorang tersebut secara sengaja dan keputusan sepihak memperkosa maka hukumannya jauh lebih berat dibandingkan dengan keputusan atas dasar suka-sama-suka. Contoh kasus ini pun menjadi peranan



psikolog forensik lantaran mengukur dan memahami bagaimana motif pelaku dalam melakukan tindak kejahatan tersebut. Sedangkan pada hukum sipil yang lebih privat dan bersifat memulihkan. Jika dalam permasalahan ini tidak menemukan titik terang dan kesepakatan dalam memulihkan maka negosiasi dan mediasi perlu dilakukan oleh psikolog forensik. Suatu contoh, Satria tidak sengaja menjatuhkan helm temannya hingga kacanya retak, sehingga hal yang ditempuh adalah memulihkan dengan mengganti helm tersebut atau membenahinya. Namun, apabila Satria tidak ingin membenahinya makan hal tersebut dikatakan sebagai kasus yang tidak mendapatkan titik terang dan dapat dilimpahkan ke ranah pengadilan jika: (1) seseorang mempunyai kewajiban; (2) kewajiban tersebut dilanggar; (3) pelanggaran kewajiban tersebut membuat orang lain merasa dirugikan; dan (4) kerugian tersebut melanggan hak yang dirugikan secara hukum. Tabel 1.2 Contoh area psikolog forensik pada hukum kriminal dan sipil Hukum Kriminal Hukum Sipil Asesmen resiko pada saat penjatuhan Penentuan hak asuh anak hukuman Perbuatan kriminal dan gangguan Civil commitment kejiwaan Komptensi untuk diadili Intervensi bagi pelaku



Cedera pribadi kejahatan Kompensasi pekerja



seksual Pelimpahan kasus di usia remaja ke Kompensasi dalam keputusan medis pengadilan dewasa 4. Peran Psikolog Forensik Dalam mencapai tatanan sosial yang sesuai dengan ekspektasi sosial maka sistem hukum pun harus disesuaikan agar tidak timbulnya antiterapeutik. Dalam hal ini psikolog forensik pun memiliki peranan dalam beberapa hal sehingga proses hukum pula dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya. Menurut Solomon & Fulero (2009) bahwa dalam ranah legal psikolog forensik memiiki perana sebagai berikut:



a. Peneliti Sebagai peneliti, psikolog forensik memiliki peran dalam melakukan penelitian dan eksplorasi mendalam mengenai buktibukti suatu perkara dari segi psikologis. Suatu misal, seorang pelaku kejahatan melakukan pembunuhan dengan motif yang tidak jelas seperti mendapatkan bisikan dan petir yang memberikan perintah, maka disinilah peran psikolog forensik untuk melakukan penelitian. b. Konsultan bagi Proses Penegakkan Hukum Dalam pelaksanaan penegakan hukum atau proses pengadilan, kondisi psikologis seseorang sangat berpengaruh ketika proses tersebut dilaksanakan. Sebagai contoh, hakim dan adjudikator banyak yang mengalami stres kerja dan burn-out sehingga peran psikolog forensik adalah dengan melakukan asesmen dan intervensi pada pegawai hukum tersebut agar proses penegakan hukum dapat berjalan dengan baik. c. Konsultan dalam Pengadilan Psikolog forensik juga memiliki peranan penting dalam membantu pengacara untuk mempersiapkan dan menjalan proses persidangan. Selain itu, jaksa pula sering menunjuk psikolog forensik untuk menjelaskan duduk perkara di ranah psikologis. d. Evaluator Forensik dan Saksi Ahli Psikolgi forensik juga berperan sebagai analis dan evaluator proses perkara yang disidangkan. Selain itu, peranan yang diambil juga mencakup saksi ahli untuk memberikan keterangan mengenai analisis perkara yang terjadi di dalam perspektif psikologi. e. Memberi Pertimbangan Psikologis bagi Proses Banding dan Legislasi Proses banding dan legislasi bukan proses yang cukup mudah, lantaran peran psikolog forensik pun sudah disebut sebagai amicus curiae (sahabat pengadilan). Psikolog forensik akan memberikan pertimbangan yang nantinya akan berguna dalam penjatuhan hukuman yang akan dilakukan dan proses pembuktian suatu perkara.



5. Spesialisasi dalam Praktik Psikologi Forensik Bartol dan Bartol (2011) mengungkapkan adanya spesialisasi atau pembagian divisi dalam melakukan praktik sebagai seorang psikolog forensik diantaranya adalah sebagai berikut: a. Psikolog Forensik sebagai Klinisi Sebagai klinisi, psikolog forensi berperan dalam melakukan aktivitas asesmen dan intervensi psikologis pada setiap pihak yang bersinggungan dengan proses hukum. Isu tersebut mencakup beberapa hal, diantaranya adalah: 1) Mediasi kasus perceraian dan hak asuh anak. 2) Penentuan kesiapan mental seseorang yang akan menjalani proses persidangan. 3) Memberikan kesaksian sebagai saksi ahli mengenai kondisi psikologis pada pihak yang diperkarakan dalam persidangan. 4) Penyelesaian masalah personal pada aparat penegak hukum. 5) Memberikan kritik pada kepolisian terhadap perkara tertentu. 6) Mendesain dan melakukan intervensi bagi tahanan dan aparat. b. Psikolog Forensik sebagai Peneliti Sebagai peneliti, yang sering disebut sebagai psikolog forensik eksperimental, berperan dalam melakukan aktivitas penelitian mengenai perilaku manusia yang berkaitan dengan sistem hukum yang berlaku. Terdapat beberapa aktivitas yang biasa dilakukan oleh psikolog forensik pada spesialisasi ini, yaitu: 1) Menguji efektivitas suatu strategi asesmen resiko. 2) Menentukan faktor yang memberikan pengaruh pengambilan keputusan hakim. 3) Melakukan pengembangan instrumen atau psikometri yang membantu proses investigasi dalam persidangan. 4) Melakukan evaluasi intervensi yang diberikan pada pelaku maupun korban dalam suatu perkara.



5) Meneliti tentang cara bertanya saksi mata saat meberikan kesaksian di dalam persidangan. 6) Melakukan pengujian terhadap intervensi manajeme stres kepada polisi dan aparat penegak hukum lainnya. c. Psikolog Forensik sebagai Ahli Hukum Spesialisasi ini cukup jarang ditemui, namun dalam hal ini psikolog forensik bertugas dalam melakukan analisa suatu aturan yang berlaku hingga bertanggung jawab dalam melakukan penyusunan peraturan yang berkorelasi cukup erat dengan kondisi psikologi dan kesehatan mental. 6. Isu-isu Etis dalam Psikologi Forensik a. Perspektif Munsterberg dalam Psikologi Forensik Hugo Munsterberg, orang pertama yang menerapkan aktivitas psikologis pada aspek hukum, berpendapat dalam bukunya on the witness stand (1908) bahwa psikologi merupakan ilmu yang sangat diperlukan dalam konteks penegakan hukum dan sebuah penghinaan pula apabila psikologi sebagai perspektif sosial didiskreditkan sebagai ilmu penunjang saja (Solomon & Fulero, 2009). Oleh karena itu, psikologi forensik harus dilibatkan dalam proses legal di persidangan dengan pertimbangan tiga aktivitas krusial, yaitu: 1) Melakukan simulasi kesalahan dalam mengingat, perkiraan waktu yang berlebihan, kelalaian dalam memberikan informasi pernting dan bentuk-bentuk kesalahan yang mungkin terjadi dalam persidangan. 2) Menerbitkan buku On the Witness Stand (1908) yang mana merupakan suatu kompilasi artikel majalah yang sukses. Buku ini menggugah psikologi eksperimen dalam konteks hukum yang menarik untuk dibahas. 3) Menawarkan diri sebagai saksi ahli dalam persidangan yang dipublikasikan.



b. Konflik antara Psikologi dan Hukum Huss (2014) memandang bahwa psikologi memiliki banyak konflik di dalam proses penegakkan hukum. Seperti psikologi yang memandang fenomena dengan pendekatan empiris namun hukum cenderung memandang fenomena dengan pendekatan otoritatif. Suatu contoh, dalam pandangan stare decisis, putusan hakim memberikan keputusan yang sama pada kasus yang sama, hal ini pun bertolak belakang dengan psikologi yang sangat menekankan pada konteks hukum. Selain itu, pandangan hukum akan memenangkan kubu yang dominan dan lebih kuat dalam proses persidangan, namun psikologi menekankan pada penelitian yang lebih objektif. Perbedaan ini terus terjadi hingga saat ini, dimana psikologi bersifat probabilitistik dan nomotetik (menjelaskan bagaimana manusia berperilaku) dan hukum yang lebih definitif dan ideografik (bagaimana manusia harus berperilaku). Nagel dan Haney (dalam Solomon & Fulero, 2009) menyatakan konflik antara psikologi dan ilmu hukum antara lain: 1) Psikologi menekankan pada inovasi dan pemikiran yang berlawanan



dengan



intuisi



sedangkan



hukum



bersifat



konservatif dan menolak inovasi. 2) Psikologi menekankan pada pembuktian empirik, sedangkan hokum bersifat otoritatif berdasarkan hirarkis 3) Psikologi menekankan pada metode eksperimen dan hukum dengan proses pertentangan (perdebatan dua kubu) dalam menentukan suatu kebenaran 4) Psikologi



mendeskripsikan



suatu



perkara



dan



hukum



menentukan kaitan suatu perkara dengan aturan yang berlaku 5) Psikologi bersifat nomotetik dan hukum bersifat ideografik 6) Psikologi bersifat relatif (probabilistik) dalam memandang suatu perkara dan hukum menuntut kepastian (bersifat definitif) 7) Psikologi berorientasi pada ranah akademis dan bersifat abstrak sedangkan hukum cenderung pragmatis dan bersifat praktis



8) Psikologi cenderung proaktif sedangkan hukum berorientasi reaktif terhadap suatu masalah Daftar Pustaka Bartol, C. R,, & Bartol, A. M. (2011). Introduction to Forensic Psychology. USA: SAGE Pub. Fulero, S. M., & Wrightsman, L. S. (2009). Forensic Psychology 3rd edition. USA: Wadsworth. Huss, M. T. (2014). Forensic Psychology: Research, Clinical Practice, and Applications. USA: Wiley. Kaloeti, D. V. S., Indrawati, E. S., & Alfaruqy, M. Z. (2019). Psikologi Forensik. Yogyakarta : Psikosain. Weiner, I. B., & Hess, A. K. (2005). Handbook of Forensic Psychology. USA. Wiley.