Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman



Ramli SN Harahap



PENERBIT PT KANISIUS



Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman 10150003048 © 2015 - PT Kanisius PENERBIT PT KANISIUS (Anggota IKAPI) Jl. Cempaka 9, Deresan, Caturtunggal, Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281, INDONESIA Telepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349 E-mail : [email protected] Website : www.kanisiusmedia.com Cetakan ke- Tahun



3



17



2



16



1



15



Editor : FX. Setyawibawa Desain isi : Oktavianus Desain sampul : Joko S.



ISBN 978-979-21-4227-3



Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, tanpa izin tertulis dari Penerbit. Dicetak oleh PT Kanisius Yogyakarta



iii



PRAKATA Skisma Gereja pada abad ke15 telah menghasilkan masalah yang berkepanjangan di antara Gereja Katolik Roma (GKR) dengan kalangan Gereja Protestan. Kedua belah pihak saling mengutuk dan mengklaim diri masing-masing sebagai yang benar. Martin Luther sebagai salah satu tokoh reformasi dianggap sebagai penyesat oleh kalangan GKR. Perseteruan yang panjang ini berlangsung selama hampir lima abad. Pertikaian ini tidak hanya dirasakan di belahan benua Eropa, tetapi pertikaian ini merembes ke seluruh penjuru dunia. Kecederungan yang terjadi pada awal skisma besar itu adalah masing-masing pihak semakin sibuk dengan penggalian doktrindoktrinnya. Doktrin-doktrin tersebut semakin kuat memisahkan kedua belah pihak yang berseteru. Ternyata, dalam kurun waktu lebih kurang lima abad itu, kedua belah pihak merasa “bosan” dalam pertikaian tersebut. Akhirnya, kedua belah pihak memiliki kerinduan untuk menghentikan pertikaian dan kutukan di antara mereka. Buku ini dihadirkan sebagai upaya untuk memberikan penjelasan atas salah satu topik pertikaian panjang di antara kedua Gereja tersebut, yakni ajaran “Pembenaran oleh Iman”. Baik GKR maupun Lutheran sepakat merumuskan sebuah “Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran” di Augsburg pada 31 Oktober 1999 untuk menghentikan pertikaian dan kutukan di antara mereka. Buku ini merupakan sebuah karya yang saya pertahankan dalam menyelesaikan program Magister Teologi di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (STT Jakarta). Tentu keberhasilan buku ini terletak di tangan seorang pembimbing yang handal dan ahli di bidang Sejarah



iv  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Gereja, Pdt. Prof. Dr. Jan Sihar Aritonang, Ph.D. Beliaulah yang sabar membimbing penulis sejak awal studi hingga akhir. Tentunya, buku ini telah diberi masukan yang berharga dari para penguji tesis saya, yakni Dr. Yusak Soleiman, Rebecca Young, Ph.D, dan Dr. Samuel B. Hakh. Penulis mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang telah memberikan dukungan doa dan materiil. Terima kasih kepada Pucuk Pimpinan GKPA (2006-2011), Pdt. Abraham L. Hutasoit, M.A. (Ephorus) dan Pdt. Pinda H. Harahap, S.Th. (Sekjen). Terima kasih pula kepada Pucuk Pimpinan GKPA 2011-20016, Pdt. Adolv B. Marpaung, M.Min, M.Th. (Ephorus), dan Pdt. TS. Simatupang, M.Th. (Sekjen), dan seluruh rekan-rekan pendeta GKPA. Juga terima kasih kepada seluruh rekan sepelayanan di Jakarta pada saat studi, St. dr. Esanov Hasibuan, Sp.OG, St. Ny. Jenny Marpaung-Siregar, Ny. Martina LubisSiregar, Drs. S.R. Siregar, St. Indra Rambe, S.E., St. Sontang Siregar, S.E., Manahan Marpaung, Prof. Dr. dr. Parlin Siregar, Sp.KGH, St. Edwin Nainggolan, St. Indomora Harahap/Tuti Br. Siregar, St. Drs. Parsaulian Tambunan, M.Pd., Jeffry Ritonga, St. J. Sitorus/C. Br. Pangaribuan, P.B.H. Panggabean/St. Clara Br. Sitompul, Pdt. K. Simamora, S.Th. (+)/T. Br. Sitorus, dan Rosna Siregar, S.Th., M.Min., serta seluruh civitas akademika STT Jakarta, dan seluruh karyawan/ti perpustakaan STT Jakarta. Buku ini juga bisa terbit atas dukungan dari para lembaga bea siswa yang telah mendukung proses studi di STT Jakarta, Lutheran Church of Australia (LCA) di Australia, United Evangelism Mission (UEM) di Jerman, dan teristimewa Lutheran World Federation (LWF) di Geneva, khususnya buat Pdt. Dr. G.P. Harahap, M.S.T. (yang pada saat itu menjabat DMD Asia Secretary Area Desk), Abebe Yohannes Saketa (Secretary for Human Resources Development), dan Pauline Smith (Administrative Assistant). Buku ini tentunya hadir berkat dukungan keluarga saya yang terkasih, Ayahanda Huria Harahap (†) dan Ibunda Bataur Pakpahan (†) (Op.Maria), St. K.Silitonga (†)/Rosmawati Harahap (Op.Kesti), Toho L. Harahap/Susana Endang Supraptimi, St. Mannen K. Harahap/Domi Siregar, Torus Nainggolan/Tio L. Harahap, Order Ritonga/Tirasmita Harahap, Taman Zulkifly Harahap, S.E./Sylvia Silitonga,SH, Pdt.



PRAKATA —



v



Dr. GP. Harahap, MST, St. Halasan Harahap/Br. Siregar, Drs. Dahlan Harahap/M. Br. Simatupang, Martin Harahap, SE./T. Br. Simatupang, BA, keluarga mertua, Timbang Hutabarat (†) dan Mauli H.D. Sianipar (†), Supardi Hutabarat/Minar Panjaitan, Anggiat Simanjuntak (†)/ Sri Kartika Hutabarat, Karyadi/Nefrida Hutabarat, S.Pd., Baginda Tambunan/Devi Hutabarat. Buku ini berada di tangan kita atas dukungan yang paling terkasih dan tercinta isteri penulis, Pdt. Tuty Zastini Hutabarat, S.Th. dan anakanak: Fidei Felix Depensor Harahap dan Gladys Letitia Harahap, yang selalu memberi inspirasi dan dukungan yang mendalam bagi penulis. Harapan penulis, kiranya tesis ini berguna bagi per­kembangan gerakan ekumene di kalangan Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia, juga lembaga-lembaga pendidikan teologi di Indonesia menuju arah yang lebih baik. Akhirnya, segala puji syukur hanya bagi Bapa Surgawi atas rampungnya tugas mulia ini demi kejayaan Kerajaan Tuhan di dunia serta kemuliaan bagi Bapa Surgawi. Bagi Dialah kemuliaan kekal selama-lamanya. Amin!







Penulis



vii



Sambutan Sukacita Mengkaji ajaran Gereja, pun bila dibatasi pada dokumen tertentu, dalam hal ini Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran oleh Iman, apalagi kalau ajaran itu menyangkut Gereja-gereja yang sempat berseteru dalam kurun waktu yang panjang, bukanlah pekerjaan yang mudah dan menarik. Yang harus dikaji bukan hanya selukbeluk dan proses perumusan ajaran dan dokumen itu, melainkan juga berbagai peristiwa dan pemikiran yang menjadi latar belakang dan konteks ajaran dan dokumen itu, serta dampak ajaran dan dokumen itu bagi kehidupan Gereja dan masyarakat. Kajian dan penelusuran tidak cukup secara deskriptif dan analitis, melainkan juga interpretatif; penulis harus berani menafsirkan dokumen ajaran itu maupun dokumen-dokumen dan pemikiran-pemikiran yang melatarbelakanginya. Pdt. Ramli Selamat Natal M.Th. telah berupaya, dan menurut saya berhasil, melakukan semua itu, walaupun harus bekerja keras, terutama pada waktu melakukan penelitian dan menyusun tesis ketika menempuh program studi Magister Theologiae di STT Jakarta. Apresiasi dan penilaian secara akademis atas karya tulis ini cukup tinggi dan beliau lulus dengan yudisium sangat memuaskan. Tentu karya tulis itu dibuat bukan hanya untuk memenuhi persyaratan formal-akademik agar dapat meraih gelar tertentu. Sebuah karya karya tulis menjadi semakin bernilai bila memberi manfaat bagi kalangan yang lebih luas, terutama Gereja yang ikut menggumuli pokok itu. Itulah sebabnya karya Pdt. Ramli Harahap ini sekarang dipublikasikan agar dapat dibaca dan diperoleh manfaatnya oleh banyak orang. Melalui karya tulis ini banyak kalangan, termasuk



viii  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman lembaga Gereja, belajar tentang bagaimana suatu pokok ajaran digumuli sebelum dicanangkan, dan bagaimana dokumen yang memuat ajaran itu harus dipahami dan ditindak-lanjuti. Karena itu saya selaku pembimbing studi Pdt. Ramli Harahap menyambut penerbitan karya ini dengan sukacita, sambil berharap, kiranya karya ini mendorong banyak Gereja untuk lebih giat dan bersungguh-sungguh merumuskan dan menyampaikan ajarannya, tidak hanya untuk kalangan sendiri. Juga mendorong banyak pembelajar teologi untuk meneliti pemikiran, ajaran, dan dokumen dari masa lalu untuk dikembangkan ke masa depan. Semoga karya ini menjadi berkat besar bagi Gereja dan komunitas pembelajar teologi, khususnya Sejarah Kekristenan, bahkan juga bagi masyarakat dan umat manusia yang mengalami kemurahan Allah yang membenarkan orang yang beriman kepada-Nya.



9 Februari 2015 Pdt. Prof. Jan S. Aritonang, Ph.D.



ix



Daftar Isi PRAKATA ............................................................................................................................................... SAMBUTAN SUKACITA................................................................... Daftar Isi ...............................................................................................................................................



iii vii ix



Pendahuluan.......................................................................................................................................... 1. Latar Belakang dan Konteks Permasalahan....................... 2. Perumusan Masalah...................................................................................... 3. Pembatasan Masalah.................................................................................... Bab I Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman............................................. 1. Definisi Pembenaran..................................................................................... 2. Dasar Alkitabiah Ajaran Pembenaran oleh Iman......... 3. Pandangan Augustinus dan Thomas Aquinas tentang Ajaran Pembenaran oleh Iman................................... 4. Pandangan para Reformator tentang Ajaran Pembenaran oleh Iman.............................................................................. 5. Pandangan Katolik tentang Ajaran Pembenaran oleh Iman................................................................................................................... 6. Ajaran Pembenaran oleh Iman dalam Deklarasi Bersama........................................................................................... Bab II Sejarah Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman........................................................................................ 1. Cikal-bakal Lahirnya Deklarasi Bersama.............................. 2. Dialog-dialog ....................................................................................................... 3. Lahirnya Deklarasi Bersama (DB)................................................. 4. Reaksi Atas dan Penerimaan terhadap



1 1 2 4 7 7 9 15 19 29 34 37 38 40 44



x  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Deklarasi Bersama........................................................................................... 5. Alasan-alasan Lutheran dan Katolik Membuat Deklarasi Bersama........................................................................................... 6. Pandangan Umum terhadap Deklarasi Bersama......... Bab III Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman........................................... 1. Teks Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran 2. Analisa Atas Teks Deklarasi Bersama....................................... 3. Eksegese terhadap Deklarasi Bersama ................................... Bab IV Pengaruh Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman terhadap Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia........................................................ 1. Analisis dan Interpretasi Kuesioner............................................ 2. Pengaruh Deklarasi Bersama.............................................................. Bab V Refleksi Teologis........................................................................................................... 1. Pentingnya Membangun Kajian-kajian Teologis........... 2. Deklarasi Lanjutan.......................................................................................... 3. Menafsir Ulang Ajaran Pembenaran. ......................................... 4. Arah Baru.................................................................................................................. 5. Membangun Jiwa Protestanisme (Lutheranisme). ...... Bab VI Rangkuman dan Saran.......................................................................................... 1. Rangkuman-rangkuman ......................................................................... 2. Saran-saran.............................................................................................................. Kepustakaan........................................................................................................................................... A. Alkitab. ......................................................................................................................... B. Buku................................................................................................................................ C. Almanak, Kamus, dan Ensiklopedia ........................................ D. Jurnal, Makalah, Artikel, dan Website...................................... E. Wawancara............................................................................................................... Lampiran ............................................................................................................................................... Lampiran 1.......................................................................................................................... Lampiran 2..........................................................................................................................



49 53 55 59 59 77 89



125 127 141 181 182 185 189 191 197 203 203 214 217 217 217 222 223 226 229 231 246



1



Pendahuluan 1. Latar Belakang dan Konteks Permasalahan Sejak munculnya gerakan Reformasi pada 1500-an, khususnya Reformasi Martin Luther (1517), Gereja Katolik Roma menganggap Gereja Reformasi atau Protestan sebagai musuh, bahkan bidat. Kecaman demi kecaman disampaikan Gereja Katolik Roma kepada para Reformator seperti Martin Luther yang dianggap sebagai penyesat.1 Kutukan ini tidak hanya dikenakan kepada para Reformator itu saja, melainkan juga kepada para pengikut Reformator. Banyak hal yang diprotes oleh para Reformator terhadap Gereja Katolik Roma, baik dalam ajaran maupun dalam ritus-ritus keagamaan. Dengan adanya gerakan Reformasi ini maka kedua belah pihak, baik Gereja Katolik Roma maupun Lutheran (Protestan), se­ makin menggali dan mengembangkan doktrin-doktrinnya. Di satu sisi Gereja Katolik Roma membarui diri dari dalam dan melawan doktrin-doktrin Lutheran melalui Konsili-konsili, dan hasil Konsilikonsili ini mau melawan doktrin yang dikeluarkan oleh pihak Lutheran. Sementara itu, pihak Lutheran pun semakin gencar dengan sejumlah ajaran dan melawan praktik Gereja Katolik Roma yang dianggap tidak sesuai dengan iman Lutheran. Secara umum doktrin yang berseberangan di antara Gereja Katolik Roma dan Lutheran (Protestan) adalah Sakramen, Mariologi, pemahaman tentang Kitab Suci sebagai sumber kebenaran, penafsiran Kitab Suci, simbol-simbol atau ikon-ikon, devosi-devosi kepada orang kudus, dan doktrin yang 1



Lih. Kurt Aland, A History of Christianity, (Philadelphia: Fortress Press, Vol.II, 1986), hlm. 4375.



2  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman selalu diperdebatkan adalah doktrin tentang keselamatan (soteriologi) khususnya mengenai pembenaran oleh iman. Pertikaian doktrin antara Gereja Katolik Roma dan Protestan ini sudah berlangsung selama hampir lima abad sejak 1500-an hingga 1960-an. Jurang pemisah di antara Gereja Katolik Roma dan Protestan khususnya Lutheran sudah perlu diperbaiki kembali. Kerinduan untuk menjembatani pertemuan di antara Gereja Katolik Roma dan Lutheran ini pun dimulai dengan membahas salah satu di antara perbedaan itu, yakni doktrin pembenaran oleh iman. Tesis ini akan membahas dan menguraikan sejarah pertemuan Gereja Katolik Roma dan Lutheran dalam sebuah dokumen yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak pada 31 Oktober 1999 di Augsburg yakni ”Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran” (The Joint Declaration on the Doctrine of Justification). 2. Perumusan Masalah Setelah dokumen Deklarasi Bersama (DB) ini ditandatangani di Augsburg pada 31 Oktober 1999, banyak reaksi yang bermunculan dari berbagai Gereja, baik dari kalangan Katolik maupun Protestan yang menerima dan bahkan menolak DB ini. Dokumen ini menjadi bahan pembicaraan yang serius di kalangan Gereja Protestan dan Katolik. Ada yang mengatakan bahwa dokumen ini telah menyimpang dari ajaran Luther dan Reformator lainnya. Di Jerman, sekitar 243 akademisi dari teolog Protestan dari berbagai fakultas teologi Protestan mengkritik dokumen DB ini.2 Dari kalangan Katolik Jerman, reaksi kritikan hanya datang dari ”Vereinigung der Initiativkreise der katholischen Laien und Priester”. Penilaian lainnya diberikan oleh Lane3 yang mengatakan bahwa: pertama, teologi Gereja Katolik Roma secara signifikan bergerak semakin dekat kepada doktrin Protestan. Kedua, Gereja Katolik Roma pada level tertinggi telah membuat perubahan



2



3



Mattias Turk, ”Report on Reaction from Different Countries to the Signing of the Joint Declaration on the Doctrine of Justification on October 31, 1999, in Augsburg”, dalam Unity in Faith: The Joint Declaration on the Doctrine of Justification in a Wider Ecumenical Context, (Geneva: LWF Office for Ecumenical Affairs, 2002), hlm. 1. Anthony N.S.Lane, Justification by Faith in Catholic–Protestant Dialogue, An Evangelical Assesment, (London: T & T Clark, 2002), hlm. 228-231.



Pendahuluan —



3



yang signifikan dalam arahan ini, dalam DB, yang menyatakan bahwa doktrin Protestan bukan lagi untuk dikutuk. Dari reaksi yang terlihat tersebut berarti ada banyak permasalahan yang timbul akibat ditandatanganinya dokumen Deklarasi Bersama ini. Hal itulah yang membuat penulis tertarik melihat pengaruh dokumen Deklarasi Bersama ini bagi Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia. Memang harus diakui bahwa pengaruh dokumen ini di Indonesia sebenarnya belum begitu terasa. Hal ini disebabkan dokumen ini masih berumur hampir 10 tahun, dan bahkan dokumen ini belum banyak dikenal oleh orang Kristen di Indonesia, baik Protestan maupun Katolik. Dokumen DB ini belum cukup dikenal oleh kalangan warga jemaat bahkan pendeta dan pastor itu sendiri. DB ini belum betul-betul meresap di kalangan Gereja-gereja sehingga masih dianggap sebagai hal sampingan saja. Padahal DB ini adalah sebuah dokumen yang sangat berharga, sebab melalui dokumen DB ini pihak Protestan dan Katolik bisa menghasilkan pemahaman bersama tentang ajaran pembenaran oleh iman yang menjadi per­ debatan kedua belah pihak hampir lima abad. Dokumen DB ini juga belum dipakai oleh Gereja-gereja di Indonesia sebagai acuan pokok dalam membangun hubungan di antara Gereja Protestan dan Katolik di Indonesia. Permasalahan lain yang bisa dikemukakan, ajaran pembenaran oleh iman di dalam setiap dokumen Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia belum mencerminkan isi dari DB ini. Karena memang ajaran pembenaran oleh iman setiap Gereja sudah ditetapkan jauh sebelum DB ini ditandatangani. Jika dokumen DB sudah sah menjadi sebuah dokumen bersama antara Protestan dan Katolik di seluruh dunia, apakah ke depan Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia akan merumuskan ulang ajarannya tentang pembenaran oleh iman dengan mengacu pada DB ini? Inilah yang menjadi permasalahan yang harus dihadapi oleh Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia selanjutnya. Karena itulah penulis mencoba meneliti Gereja-gereja Protestan dan Katolik termasuk dokumen-dokumen ajaran Gerejagereja Protestan untuk melihat sejauh manakah pengaruh dokum DB ini bagi Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia. Di samping itu juga, sosialisasi dokumen ini kepada warga jemaat kedua belah pihak, baik Protestan dan Katolik, kurang begitu intens



4  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman dilakukan, sehingga di kalangan warga jemaat dokumen ini belum begitu dirasakan pengaruhnya. Dapat dikatakan bahwa pengenalan atas dokumen ini masih terbatas pada kalangan birokrat Gereja kedua belah pihak. Padahal dokumen ini adalah dokumen yang harus disosialisasikan hingga ke aras warga jemaat, karena isi dokumen ini sangat bermanfaat untuk semakin mempererat hubungan warga jemaat Gereja Protestan dan Katolik. Memang di beberapa perguruan teologi Gereja Protestan4 dan Katolik5 di Sumatera bagian Utara, dokumen ini telah pernah dise­ minar­kan. Namun seminar ini masih terbatas pada sosialisasi DB agar dikenal dan diketahui bersama oleh Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Sumatera bagian Utara. Seminar seperti ini hanya membuka wawasan baru tentang pemahaman pembenaran oleh iman yang sudah diterima dan diakui secara bersama antara Protestan dan Katolik. Hingga sekarang belum ada Gereja-gereja Protestan maupun Katolik yang berupaya untuk merumuskan ulang ajaran pembenaran oleh iman yang mengacu pada isi DB ini. Karena upaya merumuskan ulang ajaran sebuah Gereja bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Hal ini membutuhkan waktu, tenaga, pemikiran yang sangat serius dan matang. Melihat permasalahan yang ada di atas, maka penulis mencoba memaparkannya dalam buku ini serta memberikan saran-saran demi terciptanya keutuhan dan kerukunan umat percaya untuk saling menghormati dan menghargai. 3. Pembatasan Masalah Dari uraian di atas, terlihat bahwa pengajaran tentang keselamatan (soteriologi) khususnya pembenaran oleh iman, dipahami secara berbeda oleh kalangan Protestan dan Katolik. Karena keterbatasan penelitian dalam hal waktu, tenaga dan biaya, serta menjaga agar penelitian lebih terarah dan fokus, maka diperlukan pembatasan masalah. Penelitian ini akan difokuskan pada kajian historis. Kendati penelitian ini merupakan kajian historis, penelitian ini juga akan 4 5



Misalnya: Sekolah Tinggi Teologi (STT) HKBP Pematangsiantar. Misalnya: Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) St.Yohanes Sinaksak-Pematangsiantar.



Pendahuluan —



5



berkaitan dengan kajian dogmatis maupun pastoral sepanjang ber­ kaitan dengan kajian historis penelitian ini. Penelitian ini juga akan dibatasi kepada Gereja-gereja Protestan dan Katolik yang ada di Indonesia. Penelitian ini akan dilaksanakan kepada Gereja Protestan seperti: Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI), Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA), Gereja Kristen Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB), Gereja Kristen Jawa (GKJ), dan Gereja Betel Indonesia (GBI). Sementara dari Gereja Katolik diwakili Keuskupan Medan. Dengan pertimbangan tersebut, maka penelitian ini dibatasi pada dokumen ajaran pembenaran oleh iman di kalangan Protestan (khususnya Lutheran dan Calvinis) dan Katolik, sehingga judul buku ini menjadi: Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran oleh Iman.



7



Bab I Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman 1. Definisi Pembenaran Menurut KUBI, kata ”membenarkan” adalah membuat supaya benar; meluruskan; membetulkan, memperbaiki, mengatakan benar, menganggap benar. Pembenaran itu sendiri berarti proses, perbuatan, cara membenarkan.6 Menurut Kamus Teologi, justification adalah anugerah penyelamatan berupa pembenaran membuat manusia berkenan dan diterima oleh Allah. Pembenaran datang karena iman akan Yesus Kristus (Rm 1:17; 9: 30-31), bukan dari pekerjaan hukum (Rm 3:28; Gal 2:16).7 Sementara dalam Kamus Alkitab, kata kerja ‘membenarkan’ lebih berkenaan dengan pemulihan hubungan, daripada menjadikan, atau seolah-olah menjadikan sifat yang baru.8 Istilah ”pembenaran” dan kata kerja ”membenarkan” kalau di­ pakai dalam konteks teologi mempunyai arti ”masuk ke dalam suatu hubungan yang benar dengan Allah”, atau mungkin juga ”dijadikan benar di hadapan pandangan Allah”. Ajaran pembenaran berhubungan dengan pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang individu supaya diselamatkan. Pertanyaan ini di se­ panjang sejarah Gereja masih terus diperdebatkan, bahkan mengalami Team Penyusun Kamus, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, ed. ke-2, cet.4, 1995), hlm. 114. 7 Gerald O’Collins & Edward G.Farrugia, Kamus Teologi, (terj.) (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 237. 8 W.R.F.Browing, Kamus Alkitab, (terj.) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hlm. 315. 6



8  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman kekacauan. Mengapa? Menurut McGrath ada beberapa faktor yang menyebabkannya. Pertama, tidak adanya pengumuman resmi dari Gereja mengenai masalah ini selama lebih dari seribu tahun. Kedua, ajaran mengenai pembenaran tampaknya telah menjadi topik perdebatan yang disukai di antara teolog-teolog periode akhir Abad Pertengahan dengan hasil bahwa sejumlah pendapat yang tidak proporsional atas persoalan itu masuk ke dalam peredaran.9 Menurut Thiessen, dari pembawaannya, setiap orang bukan saja merupakan anak si jahat, tetapi juga seorang yang melakukan pelanggaran dan kejahatan (Rm 3:23; 5:6-10; Ef 2:1-3; Kol 1:21; Tit 3:3). Ketika dilahirkan kembali, maka seseorang menerima hidup dan perangai yang baru; ketika mengalami pembenaran, ia menerima kedudukan yang baru. Pembenaran dapat dijelaskan sebagai tin­ dakan Allah yang menyatakan sebagai benar orang yang percaya kepada Kristus.10 Menurut Ladd, ”Pokok gagasan pembenaran ialah penyataan Allah, hakim yang adil, bahwa orang yang percaya kepada Kristus, sekalipun penuh dengan dosa, dinyatakan benar – dipandang sebagai benar, karena di dalam Kristus orang tersebut telah memasuki suatu hubungan yang benar dengan Allah”.11 Pembenaran merupakan suatu tindakan deklaratif, bukanlah sesuatu yang dikerjakan di dalam manusia, tetapi sesuatu yang di­ nyatakan tentang manusia. Pembenaran tidak menjadikan seseorang benar, tetapi hanya menyatakan dia benar. Menurut Thiessen, ada beberapa hal yang tercakup dalam pembenaran:12 (1) pembenaran adalah penghapusan hukuman. Artinya, hukuman yang seyogianya dikenakan kepada manusia telah ditiadakan oleh dan di dalam kematian Kristus, yang menanggung hukuman dosa-dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib (Yes 53: 5-6; 1 Ptr 2: 24).13 (2) Pem­ benaran adalah pemulihan hubungan baik. Artinya orang yang telah dibenarkan kini menjadi sahabat Allah (2 Taw 20: 7; Yak 2: 23). (3) 9 10 11 12 13



Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, (terj.) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke 4, 2002), hlm.115-117. Henry C.Thiessen, Teologi Sistematika, (terj.) (Malang: Gandum Mas, 2008), hlm. 421. George Eldon Ladd, A Theology of the New Testament, (Grand Rapids: Wm.B. Eerdmans Publishing Co., 1974), hlm.437. Henry C. Thiessen, Op.Cit., hlm. 422-424. Bdk. pendapat Ladd, ”Doktrin pembenaran berarti bahwa sekarang ini Allah telah menyatakan pembebasan orang beriman dari penghukuman pada akhir zaman, bahkan sebelum penghukuman akhir itu terjadi.”(George Eldon Ladd, Op.Cit.,hlm.437).



Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman —



9



Pembenaran adalah penghitungan kebenaran. Dihitung artinya dianggap sebagai atau dimasukkan dalam bilangan.Yang dimasukkan bukanlah kebenaran sebagai sifat Allah, tetapi yang diperhitungkan ialah kebenaran yang disediakan Allah bagi mereka yang percaya kepada Kristus. Oleh karena itu, orang yang telah dibenarkan itu telah diampuni dosanya dan telah dihapus hukumannya; ia juga telah memperoleh kembali hubungan baik dengan Allah melalui penghitungan kebenaran Kristus. 2. Dasar Alkitabiah Ajaran Pembenaran oleh Iman Pembenaran bukan hanya merupakan salah satu manfaat yang besar dari kematian Kristus, tetapi juga merupakan ajaran yang pokok dalam kekristenan, karena hal itu membedakan kekristenan sebagai agama anugerah dan iman. Dan anugerah serta iman merupakan dasar dalam ajaran tentang pembenaran. Kata yang dipergunakan untuk ”membenarkan” di dalam Per­ janjian Lama (PL) adalah hitsdik (Ibrani), yang dalam sebagian besar pemakaiannya berarti ”secara yuridis mengumumkan bahwa keadaan seseorang selaras dengan tuntutan hukum” (Kel 23: 7; Ul 25: 1; Ams 17: 15; Yes 5: 23).14 Artinya, kata pembenaran itu lebih bersifat hukum. (tsadaq). Istilah ini lebih bersifat religius Kata kerja lainnya adalah daripada etis. Kata kerja ini artinya ”sesuai dengan tolok-ukur yang diberikan”; dalam bentuk hifil kata kerja ini artinya ”menyatakan sebagai benar atau membenarkan”.15 Kata yang digunakan dalam Perjanjian Baru (PB) lebih variatif seperti: (1) ‘dikaio-o’ yang berarti ”menyatakan bahwa seseorang benar” dan kadang-kadang juga dipakai untuk menunjuk suatu pernyataan pribadi sesuai menurut hukum (Mat 12: 37; Luk 7: 29; Rm 3: 4). (2) ‘Dikaios’. Kata ini dipakai dalam kaitan dengan manusia jika manusia dalam penilaian Tuhan mempunyai hubungan yang sesuai dengan 14 Louis Berkhof, Teologi Sistematika 4: Doktrin Keselamatan, (terj.) (Surabaya: Momentum, cet. Ke 6, 2006), hlm. 217. 15 Millard J.Erickson, Teologi Kristen, (terj.) (Malang: Gandum Mas, vol.3, 2004), hlm. 173. Millard mengutip pendapatnya ini dari Francis Brown, S.R.Driver, & Charles A.Briggs, Hebrew and English Lexicon of the Old Testament, (New York: Oxford University, 1955), hlm. 842-843; J.A. Ziesler, The Meaning of Righteousness in Paul, (Cambridge: Cambridge University, 1972), hlm. 18.



10  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman hukum. (3) ‘Dikaiosis’, pembenaran yang dijumpai di dua tempat, yaitu Roma 4: 25, 5: 18 yang menunjukkan tindakan Tuhan yang menyatakan bahwa manusia bebas dari kesalahan dan dapat diterima oleh-Nya.16Berdasarkan data tersebut, maka pembenaran dalam PB merupakan tindakan Allah yang bersifat hukum atau menyatakan kita benar seperti halnya keputusan hakim yang membebaskan seorang terdakwa.17 Membenarkan berarti menyatakan benar.Baik kata Ibrani (tsadaq) maupun kata Yunani (dikaio-o) berarti mengumumkan putus­an yang menyenangkan, menyatakan benar.Konsep ini tidak ber­arti menjadikan benar, tetapi menyatakan kebenaran.Hal itu merupakan konsep dalam persidangan, sehingga membenarkan ber­arti memberikan putusan benar. Perhatikan perbedaan antara membenarkan dan menyatakan salah dalam Ulangan 25:1; 1Raja-raja 8:32; dan Amsal 17:15. Sama halnya seperti menyatakan salah tidak membuat seseorang jahat, demikian pula menyatakan benar tidak menjadikan seseorang benar.Namun demikian, mempersalahkan atau membenarkan itu berarti mengumumkan keadaan yang benar dan sesungguhnya dari orang itu.Akan tetapi, orang yang jahat memang sudah jahat pada waktu putusan hukuman diumumkan.Demikian juga, orang yang benar memang sudah benar pada waktu putusan pembenaran diumumkan.18 Dalam Perjanjian Baru, pembenaran oleh iman ini kita temukan dalam perumpamaan Tuhan Yesus tentang orang Farisi dan pemungut cukai (Luk. 18:9-14). Orang Farisi dan pemungut cukai pergi ke Bait Allah untuk berdoa. Orang Farisi bangga dan sombong terhadap apa yang telah diperolehnya, mengucap syukur kepada Allah atas kekudusan dan moralitasnya yang baik. Hal yang kontras, pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah 16 Louis Berkhof, Op.Cit., hlm. 218-219. 17 Millard J.Erickson, Op.Cit., hlm. 176-177. 18 Bdk. R.Sudarmo, IkhtisarDogmatika, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke-14, 2006), hlm. 210212. Menurut Sudarmo, di dalam pembenaran kita dapat membedakan 3 unsur: (1) Allah Bapa yang membenarkan, yaitu: Ia yang menganggap hak Tuhan Yesus Kristus sebagai hak orang percaya. (2) Kristus yang membenarkan, artinya: Ia juga mencapai segala sesuatu hingga tidak dapat diberikan kepada manusia. (3) Roh Suci membenarkan, yaitu: Ia yang melanjutkan, mengenakan pembenaran kepada orang percaya, hingga orang yang dibenarkan merasakan kegirangan.



Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman —



11



aku orang berdosa ini. Yesus menyimpulkan bahwa tindakan pemungut cukai ini disebut sebagai dedikaiomenos (perfek pasif dari dikaio-o). Kata Yunani dedikaiomenos dalam Lukas 18: 14 diterjemahkan bervariasi: ”justified” (KJV/AV; RV; RSV), ”justified before God” (NIV), ”acquitted of sins” (NEB), ”at rights with God” (JB), ”in the right with God” (TEV) dan ”orang yang dibenarkan Allah” (LAI).19 Dalam Perjanjian Lama (PL), kata yang digunakan untuk me­ nerjemahan sdq (bahasa Ibrani) adalah kata Yunani dikaio-o. Para ahli menyetujui kata ini dikaitkan dengan keadilan di dalam perjanjian yang Allah buat dalam pemilihan umat Israel. Dikaio-o merujuk pada hukum tanah dan tradisi dalam penafsiran mereka. Dalam kenyataan, tidak ada kata di dalam PL Ibrani yang secara harfiah berarti ”sebuah pengadilan” (a court). Kata yang biasa digunakan adalah ”pintu kota” (the gate of the city). Kata Ibrani sdq berarti ”menjadi benar” atau ”menyatakan menjadi benar”.20 Dalam tulisan-tulisan Paulus, pembenaran oleh iman ditemukan dalam surat Galatia dan Roma, namun masih ditemukan juga dalam tulisan-tulisan lainnya seperti dalam Filipi 3: 9-11 dan Titus 3: 3-7. Ajaran pembenaran oleh iman bukanlah berita yang aktual yang harus dikhotbahkan kepada orang kafir oleh Paulus. Namun, pembenaran oleh iman ini merupakan penjelasan bagaimana Injil didasarkan pada tema-tema PL mengenai kebenaran Allah dan iman manusia. Ajaran pembenaran oleh iman ini ditujukan Paulus kepada orang kafir di Galatia.21 Menurut Paulus, pembenaran manusia di dalam Allah tidak tergantung pada banyaknya atau sedikitnya ia mematuhi hukum Taurat; manusia dibenarkan oleh anugerah sematamata. Manusia tidak dapat mengusahakan sendiri anugerah itu, tetapi harus menerimanya dari kasih Allah di dalam Yesus Kristus.22 Bagi Paulus, iman bukanlah suatu perbuatan, melainkan sebaliknya penerimaan anugerah Allah dalam Yesus Kristus (bdk. Rm. 1:6-7) dan dengan demikian justru iman itulah merupakan inti dan sumber dari kehidupan rohani, termasuk perbuatan-perbuatan (bdk. Rm 9: 31-10:



19 20 21 22



Peter Toon, Justification and Sanctification, (London: Marshall Morgan & Scott, 1983), hlm.13. Ibid., hlm. 14. Ibid., hlm.21. William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Galatia dan Efesus, (terj.) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 34.



12  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman 3).23 Maksud Allah membenarkan manusia oleh karena iman (Rm 3: 30; Gal 3: 8) adalah bahwa Ia menerima manusia, bukan karena manusia itu beriman (karena manusia itu benar), melainkan karena kebaikan-Nya sendiri. Kebenaran manusia bukanlah dasar bagi kebenaran Allah. Sebaliknya kebenaran Allah adalah kesempatan bagi manusia untuk menerima (= percaya kepada) kebenaran Allah itu. Dengan membenarkan manusia yang berdosa, Allah tidak berarti membenarkan dosa manusia itu sendiri. Kebenaran oleh iman bukanlah asuransi hidup kekal, melainkan kesempatan baru yang diberikan Allah kepada manusia yang dilumpuhkan dosa, untuk hidup sebagai anak-anak-Nya.24 Dalam surat Roma, secara ringkas dapat dikatakan, ajaran Paulus tentang pembenaran didasarkan pada kenyataan bahwa semua manusia telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah (Rm 3:23), entah dia adalah orang Yahudi atau bukan, dan oleh anugerah-Nya telah dibenarkan dengan cuma-cuma melalui penebusan dalam Yesus Kristus (Rm 3:24). Karena itulah dalam ayat 21 dikatakan bahwa tanpa hukum Taurat pembenaran Allah telah dinyatakan, seperti yang disaksikan dalam Kitab Taurat dan Kitab-kitab Para Nabi. Dasar untuk memperolehnya bukanlah perbuatan tetapi berdasarkan iman (Rm 3: 27), karena manusia dibenarkan karena iman, bukan karena melakukan hukum Taurat (Rm 3: 28). Mengenai iman, Paulus tidak memberikan rumusan pengertian yang eksplisit. Van den End25 mengatakan bahwa makna dari kata ”iman” dalam pengajaran Paulus ini baru dapat dilihat sepenuhnya jika dipertentangkan dengan ”perbuatan hukum Taurat”. Keselamatan melalui hukum Taurat akan berpasangan dengan sikap manusia yang berusaha memenuhi tuntutan Taurat itu. Sedangkan keselamatan tanpa hukum Taurat berpasangan dengan sikap yang sama sekali lain, yaitu sikap manusia yang mengharapkan keselamatan sepenuhnya dari rahmat Allah saja. Itulah iman. Mengenai perbuatan, Rasul Paulus sangat pesimis terhadap setiap upaya manusia untuk melakukan setiap tuntutan Hukum Taurat. Dalam ayat 20, dengan tegas Rasul Paulus 23 J.J. Gunning, Tafsiran Alkitab: Surat Galatia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hlm. 36. 24 Ibid., 38-39. 25 Th.van den End, Tafsiran Alkitab: Surat Roma, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 142148.



Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman —



13



menyatakan bahwa tidak seorang pun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah karena melakukan hukum Taurat. Justru oleh hukum Taurat orang mengenal dosa. Ajaran Rasul Paulus ini sebenarnya merupakan refleksi dari perjalanan kehidupannya, sekaligus menjadi keyakinannya. Bagaimanapun juga, dalam keadaan yang sangat jauh dari iman kepada Kristus bahkan menjadi penganiaya jemaat, dia diterima oleh Allah untuk perkerjaan Pemberitaan Injil. Perbuatanperbuatan yang dulu dianggapnya baik karena didasarkannya pada ketaatan kepada Taurat, justru menjadi suatu hal yang dianggapnya sebagai suatu hal yang tidak berguna.26 Manusia dibenarkan oleh iman, artinya kita boleh memiliki damai dengan Allah karena kita percaya dengan segenap hati, bahwa apa yang Yesus katakan kepada kita tentang Allah adalah benar.27 Roma 1: 16-17 berbunyi: ”Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya. Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis, orang benar akan hidup oleh iman”. Kebenaran Allah adalah tindakan Allah yang mendirikan dan memelihara hubungan yang ‘benar’ antara diri-Nya dengan manusia dan antara manusia dengan sesama. Maka, kalau manusia mau memiliki kebenaran, datangnya harus dari Allah.28 Di bagian lain, Yakobus memberikan kontribusi pengajaran teologis yang cukup kontroversial mengenai hubungan iman (faith), perbuatan-perbuatan baik (works), dan pembenaran (justification). Yakobus menekankan kepercayaan yang benar harus diikuti dengan perbuatan yang benar (Yak 2: 17, 20, 26). Dia mengkhawatirkan tentang orang-orang yang membatasi iman hanya dengan pengakuan verbal saja (Yak 2: 19) atau berpura-pura, tidak bersungguh-sungguh mengharapkan yang baik (Yak 2: 15-16). Iman seperti ini adalah iman yang mati (Yak 2: 17, 26) dan bebal (Yak 2: 20) serta tidak akan bermanfaat pada hari penghakiman (Yak 2:14). Iman seperti ini, diakui oleh banyak orang yang tidak sama dengan iman yang diajarkan oleh Yakobus. Yakobus melihat iman sebagai sebuah keyakinan, ketetapan



26 Christian Tanduk, ”Iman, Perbuatan dan Pembenaran”, dalam http: // forumteologi.com / blog / 2007/04/24/ iman-perbuatan-dan-pembenaran. 27 William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Rom, (terj.) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 92. 28 Th.van den End, Op.Cit., hlm. 151.



14  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman hati yang tidak terselubung bagi Allah dan Kristus (Yak 2: 1) yang diuji dan disaring dengan pencobaan-pencobaan (Yak 1: 2, 4) dan yang mengandung berkat Allah dalam doa (Yak 1: 5-8; 5: 14-18).29 Adalah salah jika menganggap konsep iman milik Yakobus sebagai bagian lain atau berbeda dengan ajaran Paulus atau Kristen. Sebaliknya, menurut penulis sendiri ajaran Paulus dan Yakobus saling melengkapi. Sebagaimana Paulus sendiri mengatakan di Galatia 5: 6, ”hanya iman yang bekerja oleh kasih” yang berkenan kepada Allah, dan Yakobus mencatat, ”iman tanpa perbuatan adalah mati”. Di sisi lain, Yakobus dan Paulus dianggap tidak sepakat: mengajarkan iman sebagai syarat pembenaran. Paulus menekankan bahwa iman saja cukup untuk membenarkan: ”karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat” (Rm 3: 28). Sedangkan, Yakobus mengklaim bahwa ”manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman” (Yak 2: 24). Beberapa orang telah melihat dua perspektif ini sebagai kontradiksi, dan menganggapnya sebagai dua reprensentasi permasalahan doktrin keselamatan dalam Gereja perdana. Padahal dalam pengertian yang sebenarnya tidaklah seradikal itu. Berdasarkan konteks masing-masing, dan dengan berhati-hati memperhatikan penggunaan istilah-istilah kunci yang mereka gunakan, kita dapat dengan mudah mengharmoniskan kedua pandangan ini.30 Pertama, Paulus dan Yakobus mengkombinasikan dua permasa­ lahan yang berbeda. Paulus mempertentangkan suatu kecenderungan orang Yahudi yang mengandalkan Hukum Taurat untuk keselamatan. Sedangkan Yakobus berjuang melawan sikap yang membelokkan doktrin ortodoks: oleh iman saja. Secara wajar, apa yang mereka katakan dalam kasus ini merupakan dua perspektif yang berbeda. Kedua, Paulus mengklaim bahwa seseorang tidak dapat dibenar­ kan atas dasar perbuatan hukum yang menyebutkan bahwa pekerjaan 29 Bdk. H.P. Hamann & W.J.Hassold, James-Jude: ChiRho Commentary Series, (Adelaide: Lutheran Pubishing House, 1986), hlm. 38-42. 30 Walter A. Elwell, EDBT: ”James” (G.R. Michigan: BakerBook, 1996), hlm. 386-387; bdk. J.J. Gunning, Tafsiran Alkitab: Surat Yakobus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hlm. 33. Paulus dan Yakobus setuju dalam hal berikut: perbuatan-perbuatan harus ada. Tetapi mereka berbeda dalam menghadapi ketidak-adaan perbuatan itu. Yakobus memberikan kesan bahwa kita harus menyempurnakan iman dengan perbuatan, barulah kita akan dibenarkan. Paulus akan tetap mempertahankan: bila perbuatan-perbuatan sudah mulai mempunyai peran dalam hal keselamatan, maka iman itu sendiri akan dirugikan.



Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman —



15



baik yang mendahului pertobatan. Sedangkan Yakobus berbicara tentang pekerjaan baik yang berasal dan dihasilkan oleh iman: pekerjaan baik didahului oleh pertobatan, yaitu pekerjaan baik yang dilakukan sebagai akibat dari iman di dalam Kristus. Ketiga, yang paling penting di sini adalah masalah pembenaran (justification). Dalam membicarakan pembenaran ini, Paulus dan Yakobus sedang berbicara tentang dua hal yang berbeda. Paulus menggunakan kata kerja bahasa Yunani, dikaio-o, justify, untuk meng­ gambarkan dinamika aktivitas rahmat Allah yang memberikan kepada orang berdosa sebuah status baru. Status baru bagi orang berdosa ini didasarkan pada kesatuan orang berdosa dengan Kristus melalui iman. Oleh sebab itu, menurut Paulus, dikaio-o adalah sebuah tema yang merujuk kepada pemindahan seseorang dari kuasa dosa dan kematian ke dalam kuasa kekudusan dan kehidupan. Sedangkan Yakobus menggunakan istilah dikaio-o dengan arti yang didukung dalam Perjanjian Lama, dalam sumber-sumber Yahudi, dan di dalam Injil Matius (misalnya di Mat 12: 37). Yakobus merujuk kepada sebuah keputusan yang didasarkan pada fakta-fakta dan kasuskasus aktual: Allah membenarkan seseorang berdasarkan perbuatan yang berdasarkan iman. Paulus melihat pada permulaan kehidupan Kristen. Sedangkan Yakobus melihat akhir kehidupan Kristen. Paulus menjelaskan bahwa oleh iman saja kita masuk ke dalam sebuah persekutuan dengan Allah. Sedangkan Yakobus mengajarkan bahwa persekutuan atau hubungan dengan Allah itu diteguhkan dan ditunjukkan dengan perbuatan yang keluar dari iman inilah yang akan digunakan oleh Allah pada saat penghakiman terakhir sebagai bukti dari kemurnian kesatuan kita dengan Kristus. 3. Pandangan Augustinus dan Thomas Aquinas tentang Ajaran Pembenaran oleh Iman Ajaran Protestan khususnya Martin Luther (1483 – 1546) tentang pembenaran oleh iman pada dasarnya tidak terlepas dari pengaruh ajaran Augustinus dari Hippo. Hal ini dibuktikan oleh G.S. Faber dalam karyanya The Primitive Doctrine of Justification (1837) yang mengklaim bahwa pengajaran Protestanisme memiliki substansi yang sama dengan pengajaran Yunani mula-mula dan Bapa-bapa Gereja



16  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Latin.31 Misalnya saja Augustinus mengerti bahwa kata ‘membenarkan’ (‘to justify’) berarti ‘memegang’ (‘to hold just’) atau ‘menghitung’ (‘to account just’).32 Dalam bukunya Confessiones, Augustinus membahas banyak hal tentang keterbatasan kebebasan manusia dan perlunya rahmat ilahi.33 Pandangan Augustinus tentang keselamatan (rahmat) hanya dapat dipahami kalau mengingat pandangannya mengenai dosa, yakni sebagai suatu kuasa yang mengurung, membelenggu, dan memperbudak manusia. Kuasa dosalah yang disebut ”dosa asal”. Karena dosa Adam, manusia sudah masuk ke dalam lingkaran setan yang mengurungnya. Artinya, apa saja yang secara konkret diperbuat oleh manusia, hanya mengukuhkan saja perbudakannya terhadap dosa, biarpun perbuatan konkret itu dilakukannya secara bebas dan atas tanggung jawab sendiri. Dari dirinya sendiri manusia tidak dapat keluar dari lingkaran ini. Secara harfiah manusia berada dalam kuasa setan. Yang dapat menyelamatkan manusia dari kuasa dosa itu hanyalah Allah. Dan Allah memang membebaskan manusia dari ”lingkaran setan” itu. Tindakan Allah itulah yang oleh Augustinus disebut ”rahmat”. Istilah rahmat dipakainya karena tindakan Allah itu bukan karena jasa atau hak manusia, melainkan semata-mata karena anugerah bebas dari Allah yang diberikan-Nya dengan cumacuma. Dari dalam kebebasan cinta kasih-Nya, Allah masuk ke dalam hati manusia dan mengubahnya secara radikal.34 Secara ringkas pengajaran Augustinus tentang pembenaran dapat diringkas sebagai berikut:35 (1) Kebenaran Allah di dalam pengajaran Paulus bukan sebuah atribut Allah, tetapi dengan demikian Allah membenarkan dan memberikan keselamatan pada orang berdosa. Augustinus menggunakan surat Roma sebagai dasar pembenarannya (Rm 1: 17; 3: 21). (2) Membenarkan artinya membuat benar.



31 Peter Toon, Op.Cit., hlm. 45. 32 Anthony N. S. Lane, Justification by Faith in Catholic–Protestant Dialogue, An Evangelical Assessment, (London: T & T Clark, 2002), hlm. 45. 33 Lih. Augustinus, Pengakuan-pengakuan, (terj.) (Jakarta & Yogyakarta: BPK Gunung Mulia & Kanisius, 1997), hlm. 243-244. 34 Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika: Ekonomi Keselamatan, (Yogyakarta: Kanisius, jilid 2, 2004), hlm. 155-156; bdk. L. Berkhof, The History of Christian Doctrines, (Grand Rapids Michigan: Wm.B. Eerdmans Publishing Company, 1953), hlm. 135. 35 Peter Toon, Op.Cit., hlm. 48-50. Uraian lebih dalam lih. John Burnaby, Augustine: Later Works, (Philadelphia: Westminster, vol. VIII, 1980).



Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman —



17



Augustinus memutuskan bahwa justificare berarti ”membuat benar”. Augustinus menyakini orang berdosa dijadikan benar di dalam pembenaran. (3) Pembenaran terlihat dalam keseluruhan hidup orang Kristen. Pembenaran terlihat melalui baptisan, di mana saat itu Allah mengampuni dosa. Sejak baptisan itu maka orang berdosa telah dibenarkan sepanjang perjalanan kehidupannya. (4) Pembenaran oleh iman dan kasih. Bagi Augustinus, untuk menerima Injil dan otoritas Gereja perlu iman, dan iman membutuhkan kasih. (5) Anugerah Allah mempersiapkan kehendak bebas manusia bagi pembenaran dan menguatkan kehendak bebas dalam pembenaran. Augustinus membuat pembedaan anugerah operatif dan anugerah kooperatif di dalam pembenaran orang percaya. Augustinus beranggapan setiap manusia memiliki kehendak bebas, tetapi kebebasan yang se­ pantasnya. Manusia berdosa membutuhkan bantuan anugerah ilahi di dalam hidupnya. Berbeda dengan Thomas Aquinas yang mengajarkan Allah sebagai ”ada yang tak terbatas” (ipsum esse subsistens). Allah adalah ”ada yang tertinggi”, yang mempunyai keadaan yang paling tinggi. Allah adalah penggerak yang tidak bergerak. Tampak sekali pengaruh filsafat Aristoteles dalam pandangannya. Dunia ini dan hidup manusia terbagi atas dua tingkat, yaitu tingkat adikodrati dan kodrati, tingkat atas dan bawah. Tingkat bawah (kodrati) hanya dapat dipahami dengan mempergunakan akal. Hidup kodrati ini kurang sempurna dan ia bisa menjadi sempurna kalau disempurnakan oleh hidup rahmat (adikodrati). ”Tabiat kodrati bukan ditiadakan, melainkan disempurnakan oleh rahmat”, demikian kata Thomas Aquinas.36 Mengenai manusia, Aquinas mengajarkan bahwa pada mulanya manusia mempunyai hidup kodrati yang sempurna dan diberi rahmat Allah. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, rahmat Allah (rahmat adikodrati) itu hilang dan tabiat kodrati manusia menjadi kurang sempurna. Manusia tidak dapat lagi memenuhi hukum kasih tanpa bantuan rahmat adikodrati. Rahmat adikodrati itu ditawarkan kepada manusia lewat Gereja. Dengan bantuan rahmat adikodrati



36 F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 19.



18  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman itu manusia dikuatkan untuk mengerjakan keselamatannya dan me­ mungkinkan manusia dimenangkan oleh Kristus. Mengenai pembenaran, Aquinas menguraikannya dalam tiga hal dalam tulisannya.37 Pertama, Aquinas mendiskusikannya dalam hubungannya dengan sakramen tobat dalam karyanya Commentary on the Sentences of Peter Lombard (1252 dan 1256). Permulaan pembenaran sebagai proses membuat benar dapat dilihat dalam baptisan. Restorasi pembenaran dilihat sebagai efek anugerah Allah melalui sakramen tobat. Kedua, dalam tulisannya Quaestiones Disputate de Veritate (1256-1259). Baptisan adalah sakramen yang melaluinya pembenaran dimulai, dengan sakramen tobat dan perjamuan kudus memberikan proses pembenaran. Dan ketiga, diskusi yang matang tentang topik ini diulasnya dalam Summa Theologiae (Blackfriars edition, vol. 30). Dalam buku ini, Aquinas secara ringkas menjelaskan: (1) anugerah diberikan kepada manusia dari luar manusia sebagai hasil pekerjaan Roh Kudus yang bekerja di dalam nama Yesus Kristus; (2) Anugerah dimasukkan ke dalam esensi jiwa dan tinggal di dalamnya; (3) Anugerah tidak perlu bagi manusia untuk memenuhi tujuannya di dalam kodratnya sebagai manusia, tetapi penting bagi manusia untuk memperoleh hidup yang kekal. Mengenai pembenaran, Aquinas berkeyakinan bahwa anugerah sekaligus membenarkan dan menguduskan orang berdosa. Pembenaran orang yang tidak benar adalah akibat operatif anugerah. Allah sendiri yang membuat proses pembenaran itu. Allah adalah Pemindah supernatural, dan orang yang tidak benar dipindahkan-Nya menjadi benar. Dikatakan pembenaran sebab pembenaran adalah proses orang berdosa menjadi memiliki kebenaran supernatural. Dengan memperhatikan pembenaran sebagai proses atau perpindahan, pembenaran boleh dikatakan memiliki empat unsur logika yang membedakan yakni: ”pembangkitan anugerah” (the infusion of grace), perpindahan pemilihan bebas langsung kepada Allah oleh iman, perpindahan pilihan bebas langsung kepada dosa, dan pengampunan dosa. Lebih dalam Aquinas beranggapan, di dalam proses pembenaran baptisan Kristen memperoleh keuntungan akibat operatif anugerah (gratia cooperans).



37 Peter Toon, Op.Cit., hlm. 50-54.



Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman —



19



4. Pandangan para Reformator tentang Ajaran Pembenaran oleh Iman Pandangan Protestan tentang pembenaran oleh iman ini lahir dari hasil pergumulan dari para reformator atas doktrin yang dipahami Gereja Katolik Roma (GKR) dan para Bapa-bapa Gereja. Tema besar pertama dari pemikiran Reformasi adalah ajaran tentang pembenaran oleh iman.38 Rumusan doktrin pembenaran ini banyak ditemukan dalam dokumen-dokumen Reformasi seperti dalam Buku Konkord, Luther’s Work, Rumus Konkord, Konfesi Augusburg, Institutio, Katekismus Dr.Martin Luther (kecil dan besar), Katekismus Heidelberg, Pengakuan Iman Reformasi (1561), dan lain sebagainya. Dokumen-dokumen tersebut membahas doktrin pembenaran oleh iman. Misalnya, dalam Konfesi Augsburg disebutkan, kita tidak dapat memperoleh pengampunan dosa dan kebenaran di hadapan Allah dengan kebaikan, perbuatan baik atau kekudusan kita, melainkan kita menerima pengampunan dosa dan menjadi benar di hadapan Allah hanya oleh anugerah, demi Kristus melalui iman, ketika kita percaya bahwa Kristus menderita bagi kita dan demi dosa kita agar kita memperoleh kehidupan yang kekal.39 Di kalangan kami juga diajarkan bahwa kita tidak dapat memperoleh pengampunan dosa dan kebenaran di hadapan Allah dengan jasa-jasa, perbuatan-perbuatan, atau dengan menebus dosa-dosa kita sendiri; sebaliknya kita menerima pengampunan dosa dan menjadi benar di hadapan Allah oleh anugerah, demi Kristus, melalui iman, apabila kita percaya bahwa Kristus menderita bagi kita dan demi Dia dosa kita diampuni dan kita diberi kebenaran serta hidup yang kekal. Sebab Allah akan memandang dan memperhitungkan iman ini sebagai kebenaran, seperti yang dikatakan Paulus dalam Roma 3: 21-26 dan 4: 5.40



Hal ini juga ditegaskan dalam Rumus Kesepakatan (Formula of Concord): manusia yang berdosa dibenarkan di hadapan Allah dan diselamatkan semata-mata hanya oleh iman dalam Yesus Kristus, maka Kristus sendiri adalah kebenaran kita. Dia sungguh-sungguh Allah dan manusia karena di dalam Dia hakikat ilahi dan manusia 38 Alister E.McGrath, Op.Cit., hlm. 111. 39 The Augsburg Confession, (Adelaide: Lutheran Publishing House, 1980), hlm. 11. 40 Buku Konkord: Konfesi Gereja Lutheran, (terj.) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 38-39.



20  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman dipersatukan satu dengan yang lain secara pribadi (Yer 23: 6; 1 Kor 1: 30; 2 Kor 5: 21).41 Lebih lanjut dikatakan, kebenaran manusia sematamata hanya oleh anugerah Allah, tanpa pekerjaan, jasa, atau kebajikan kita yang mendahuluinya sehingga kita diterima oleh Allah ke dalam anugerah-Nya dan kita dianggap benar. Iman adalah satu-satunya alat dan jalan untuk menerima Kristus dan di dalam Yesus Kristus kita mendapatkan ”kebenaran yang menolong di hadapan Allah” dan bahwa demi Yesus Kristus iman seperti itu diperhitungkan menjadi kebenaran (Rm 4: 5).42 Pada awal kehidupan Luther sebagai seorang biarawan, ia dikung­ kungi oleh perasaan bersalah yang muncul dari dirinya sendiri dan ketidakmampuannya untuk menemukan perdamaian dengan Allah. Selama periode kehidupannya ini, ia merasa sangat terganggu dengan persoalan tentang dirinya sendiri dan tentang arti dari kalimat dalam Surat Paulus, ”Orang benar akan hidup oleh iman” (Rm 1:17).43 Tidak mengherankan jika Luther menyimpulkan bagian surat yang di dalamnya ia mencatat pencerahannya yang luar biasa itu dengan ungkapan:44 Kalau kamu mempunyai iman yang benar bahwa Kristus adalah Juruselamatmu, maka saat itu juga kamu menggapai Allah yang rahmani karena iman menuntun kamu masuk dan membukakan hati dan kehendak Allah, sehingga kamu akan melihat anugerah yang murni dan kasih yang meluap. Hal ini adalah untuk melihat Allah dalam iman sehingga kamu akan memandang hati-Nya yang ramah, kebapaan, yang di dalamnya tidak ada kemurkaan maupun ketidakramahan. Ia yang melihat Allah sebagai yang murka tidak melihat Dia secara benar, tetapi melihat hanya melalui tirai, seolah-olah awan gelap telah turun melintasi wajah-Nya.



Pandangan Luther tentang pembenaran ini dimulai dalam kuliahkuliah yang disampaikannya kepada mahasiswanya. Pada mula­ 41 Ibid., hlm. 662. 42 Ibid., hlm. 663-664. 43 Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, (terj.), (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 155. Luther menulis kerisauannya sendiri sebagai berikut: Aku sangat rindu untuk memahami Surat Paulus kepada Jemaat di Roma dan tidak ada sesuatu pun yang menghalanginya kecuali pernyataan tersebut, ”kebenaran Allah”, karena aku mengambilnya dengan arti bahwa kebenaran di mana Allah itu benar dan bertindak adil dalam menghukum orang yang tidak benar. 44 Urban, Ringkas, hlm. 157 mengutip tulisan Roland Bainton, Here I Stand: A Life of Martin Luther, (New York: Abingdon Press, 1950), hlm. 66.



Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman —



21



nya Luther adalah seorang pengikut yang setia dari pandangan via moderna. Allah telah mendirikan suatu perjanjian (pactum) dengan manusia. Melalui perjanjian itu Allah wajib membenarkan siapa saja yang mencapai persyaratan minimum tertentu (quod in se est). Akibatnya, Luther mengajarkan bahwa Allah memberikan anugerahNya kepada orang yang rendah hati sehingga semua orang yang merendahkan hatinya di hadapan Allah dapat mengharapkan untuk dibenarkan seperti yang sudah selayaknya. Oleh karena orang-orang berdosa melihat kebutuhan mereka akan anugerah dan datang kepada Allah agar Ia mengaruniakannya, maka ini berarti menempatkan Allah di bawah kewajiban untuk melakukan hal itu, dengan demikian membenarkan orang berdosa. Dengan kata lain, orang-orang berdosa memegang inisiatif, dengan datang kepada Allah: orang berdosa dapat melakukan sesuatu yang memberikan keyakinan bahwa Allah menjawab dengan membenarkan dia.45 Menurut Luther, iman yang benar membenarkan kita tanpa hukum Taurat dan perbuatan baik melalui anugerah Allah yang nyata di dalam diri Yesus Kristus (LW25). Perbuatan baik sama seperti buah pohon. Buah pohon yang baik tidak membuat pohon yang baik, maka perbuatan baik tidak bisa membenarkan seseorang. Tetapi perbuatan baik datang dari orang yang telah dibenarkan oleh iman sama seperti buah pohon yang baik berasal dari pohon yang telah tumbuh dengan baik (LW 35-36).46 Luther mengajarkan bahwa perbuatan baik tidak berbagian dalam keselamatan. Perbuatan baik merupakan hasil atau buah dari keselamatan, tetapi tidak pernah bagian keselamatan.47 Bagi Luther, Hukum Taurat tidak dapat membebaskan kita dari dosa atau kebenaran kita, tetapi janji pengampunan dosa dan pembenaran telah diberikan oleh sebab Kristus. Dia telah diberikan kepada kita untuk mengadakan penebusan dosa dan telah dipilih sebagai perantara dan juru damai. Janji ini tidak bersyaratkan jasa kita, melainkan pengampunan dosa dan pembenaran diberikan dengan cuma-cuma. Seperti Paulus berkata, ”Tetapi jika hal itu terjadi karena kasih karunia,



45 Alister E.McGrath, Op.Cit., hlm. 117-119. 46 Luther’s Works, vol. 34, (ed. Lewis W. Spitz) (Philadelphia: Muhlenberg Press, 1960), hlm. 111. 47 Paul Enns, The Moody Handbook of Theology 2, (terj.) (Malang: Literatur SAAT, cet. ke-4, 2007), hlm.79.



22  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman maka bukan lagi karena perbuatan, sebab jika tidak demikian, maka kasih karunia itu bukan lagi kasih karunia” (Rm 11:6). Pendamaian tidak terletak pada jasa kita karena jika hal itu terletak pada jasa kita, maka hal itu menjadi tak berguna (Apol. IV. 40-42).48 Pembenaran itu bukan persetujuan terhadap satu lakon (perbuatan) yang tertentu melainkan terhadap pribadi itu keseluruhan… Kita dibenarkan bila kita berpegang kepada Kristus, Juru-damai, dan percaya bahwa demi Dia, Allah bermurah hati kepada kita. Jangan diharapkan pembenaran tanpa Kristus, Juru-damai itu (Apol. IV. 222).49 Lebih dalam Luther mengatakan bahwa dalam pembenaran, Allah adalah aktif, dan manusia adalah pasif. Ungkapan ”pembenaran oleh anugerah melalui iman” (sola fide) memberikan arti dari ajaran itu dengan lebih jelas; pembenaran orang berdosa didasarkan atas anugerah dan diterima melalui iman. Luther berkata, ”Anugerah Allahlah yang membenarkan kita demi Kristus hanya melalui iman, tanpa perbuatan-perbuatan baik, sedangkan iman dalam pada itu berlimpah dalam perbuatan-perbuatan baik”. Artinya ajaran tentang pembenaran hanya oleh iman merupakan suatu penegasan bahwa Allah melakukan segala sesuatu yang perlu untuk keselamatan. Bahkan iman itu sendiri adalah pemberian Allah, bukan perbuatan manusia.50 Keyakinan Luther bahwa keselamatan hanya diperoleh berdasar kasih karunia melalui iman (sola gratia dan sola fide), diungkapkan dengan jelas di dalam penafsiran dan pengandalan Gereja-gereja Lutheran atas Alkitab, dan dalam cara mereka merayakan perjamuan kudus. Di dalam pemberitaan Firman dan pelayanan perjamuan kudus selalu ditekankan pengakuan dosa dan pengampunan yang disediakan Allah lewat pengorbanan Kristus.51 Menurut Luther, hakikat pembenaran mengubah status sebelah luar dari orang berdosa dalam pandangan Allah (coram Deo), sedangkan kelahiran kembali mengubah sifat dasar bagian dalam dari orang berdosa itu.52 Bagi Luther, orang-orang berdosa mempunyai 48 G.D. Dahlenburg, Konfesi-konfesi Gereja Lutheran, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke 2, 2000), hlm. 38-39. 49 Ibid., 40. 50 Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran, hlm. 129. 51 Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hlm. 44. 52 Alister E. McGrath, Op.Cit., hlm. 147-148.



Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman —



23



kebenaran di dalam diri mereka sendiri. Mereka tidak mempunyai apa pun di dalam diri mereka yang dapat dianggap sebagai dasar bagi keputusan yang mahamurah dari Allah untuk membenarkan mereka. ”Kebenaran yang asing dari Kristus” (iustitia Christi aliena) membuat jelas bahwa kebenaran yang membenarkan orang-orang berdosa adalah di luar mereka.53 Bagi Luther, iman yang membenarkan tidak lain dari keyakinan akan kemurahan Allah yang mengampuni dosa demi Kristus. Konsili Trente54 sendiri sepenuhnya mengakui bahwa kehidupan Kristen dimulai melalui iman, jadi sebenarnya sangat dekat dengan pandangan Luther.55 Bagi Luther, seseorang dapat benar-benar yakin akan keselamatannya. Keselamatan didasarkan pada kesetiaan Allah pada janji-janji kemurahan-Nya.56 Menurut Ernst Ziegler, istilah ”pembenaran oleh iman” secara mencolok tidak terdapat di dalam tulisan-tulisan para reformator Swiss. Zwingli melihat Reformasi sebagai sesuatu yang mempengaruhi Gereja dan masyarakat yang bersifat moral dan spiritual. Tekanan pembenaran iman tidak ditemukan dalam ajaran Zwingli. Namun bagi Zwingli, pembenaran iman itu cenderung untuk memperlakukan Kristus sebagai suatu teladan moral yang dari luar daripada suatu kehadiran yang pribadi sifatnya di dalam diri orang percaya. Tidak benar mengatakan bahwa Zwingli mengajarkan pembenaran oleh perbuatan dalam periode awal dari pembaruannya. Ide-ide Zwingli mengenai pembenaran iman ini lebih dekat dengan Luther. Bagi Luther, Kitab Suci menyatakan janji-janji Allah, yang memulihkan kembali dan menghiburkan orang percaya. Bagi Zwingli, Kitab Suci menyatakan tuntutan-tuntutan moral yang dibuat Allah untuk orangorang percaya.57 Bagi Bucer,58 pembenaran itu ada dua tahap yang dikenal dengan ”pembenaran ganda”. Tahap pertama, ”pembenaran orang yang tidak beriman” (iustificatio impii) yang terdiri atas pengampunan yang penuh kemurahan dari Allah atas dosa manusia (bagi Protestan = 53 Ibid., hlm. 149-150. 54 Konsili Trente ini berlangsung di Italia dalam tiga sesi, yakni: 1545-1547, 1551-1552, dan 15621563. 55 Alister E. McGrath, Op.Cit., hlm. 150-151. 56 Ibid., hlm. 151-152. 57 Ibid., hlm. 142-144. 58 Bdk. J.L.Ch. Abineno, Bucer & Calvin, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke 1, 2006), hlm. 7172.



24  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman ”pembenaran”). Tahap kedua, ”pembenaran orang salah” (iustificatio pii) yang terdiri atas suatu tanggapan ketaatan manusia akan tuntutantuntutan moral dari Injil (bagi Protestan = kelahiran kembali). Dengan demikian, suatu hubungan kausal didirikan antara pembenaran dan kelahiran kembali. Orang berdosa tidak dapat disebut telah dibenarkan kecuali jika keduanya terjadi. Sedangkan menurut Calvin, iman mempersatukan orang percaya dengan Kristus di dalam suatu ”kesatuan mistis”. Persatuan dengan Kristus ini mempunyai dampak rangkap dua yang disebut sebagai anugerah ganda yakni: pertama, persatuan antara orang percaya dengan Kristus membawa secara langsung pada pembenaran dirinya. Melalui Kristus orang percaya di­nyatakan menjadi benar dalam pandangan Allah. Kedua, oleh karena persatuan orang percaya dengan Kristus, orang percaya itu mulai melakukan proses menjadi seperti Kristus melalui kelahiran kembali. Pada umumnya Calvin sepakat dengan Luther dalam hal pem­ benar­an oleh iman. Calvin juga menekankan pembenaran sebagai tindakan forensik (legal), di mana Allah mendeklarasikan orang berdosa yang percaya sebagai orang benar, suatu tindakan yang dimungkinkan berdasarkan anugerah Allah. Kontras dengan Luther, Calvin memulai doktrin keselamatan dengan pemilihan Allah atas orang berdosa. Calvin memahami pemilihan untuk keselamatan sebagai tanpa syarat, karena ”apabila pemilihan bergantung pada iman dan perbuatan baik manusia, maka anugerah itu tidak cumacuma, dan pada faktanya akan berhenti menjadi anugerah”.59 Menurut Calvin, manusia dikatakan dibenarkan di hadapan Allah, bila ia menurut penilaian Allah dianggap benar, dan karena kebenarannya itu berkenan pada Allah. Dan dibenarkanlah barangsiapa yang tidak dianggap sebagai orang yang berdosa, tetapi sebagai orang yang benar, dan karena itu dapat bertahan di hadapan peradilan Allah, tempat semua orang yang berdosa tersungkur. Jadi, barangsiapa dalam kehidupannya menunjukkan kemurnian dan kesucian yang begitu besar di hadapan Allah, dialah yang dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya.60 Bagi Calvin, hanya dengan perantaraaan 59 Paul Enns, The Moody Handbook, hlm. 80. 60 Yohanes Calvin, Institutio: Pengajaran Agama Kristen, (terj.) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke-6, 2008), hlm. 164.



Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman —



25



kebenaran Kristuslah kita dapat dibenarkan di hadirat Allah. Sama artinya bila dikatakan bahwa manusia tidak benar dalam dirinya sendiri, tetapi karena kebenaran Kristus diperhitungkan kepadanya sehingga ia mendapat bagian di dalamnya.61 Doktrin keselamatan Calvin menghasilkan tonggak peringatan, di mana ia menghubungkan pembenaran dengan pengudusan. Kristus tidak membenarkan seseorang yang Ia tidak juga kuduskan. Pembenaran, menurut Calvin, menjadi motivasi seseorang untuk pe­ ngu­dusan. Meskipun pembenaran cuma-cuma, pengudusan menjadi respons ucapan syukur dari orang percaya.62 Pembenaran dapat dijabarkan sebagai tindakan di mana orang berdosa yang tidak benar dibenarkan di hadapan Allah yang kudus dan adil. Kebutuhan utama dari orang yang tidak benar adalah kebenaran. Kebenaran yang tidak dimiliki inilah yang disediakan oleh Kristus kepada orang berdosa yang percaya. Pembenaran berdasarkan iman saja berarti pembenaran yang terjadi oleh karena usaha Kristus semata-mata, bukan karena kebaikan kita atau perbuatan-perbuatan baik kita. Fokus dari perihal pembenaran terletak pada pertanyaan usaha dan anugerah atau kasih karunia. Pembenaran berdasarkan iman berarti usaha yang kita lakukan tidak cukup baik untuk menghasilkan pembenaran. Paulus menyatakan sebagai berikut: ”Sebab tidak seorang pun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah oleh karena melakukan hukum Taurat, karena justru oleh hukum Taurat orang mengenal dosa” (Rm 3:20). Pembenaran adalah forensik, yaitu kita dinyatakan, diperhitungkan atau dianggap benar pada waktu Allah mengaruniakan kebenaran Kristus pada diri kita. Kondisi yang dibutuhkan untuk ini adalah iman. Teologi Protestan mengakui bahwa iman merupakan alat yang menyebabkan pembenaran, dengan demikian iman merupakan alat di mana karya Kristus teraplikasi di dalam diri kita. Teologi Katolik Roma mengajarkan bahwa baptisan merupakan penyebab utama untuk pembenaran dan bahwa sakramen pengakuan dosa merupakan penyebab kedua, dalam kaitan dengan pemulihan. (Teologi Katolik 61 Ibid., hlm.166-167. 62 Paul Enns, Op.Cit., hlm. 80.



26  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Roma melihat pengakuan dosa sebagai tingkat kedua dari pembenaran bagi mereka yang telah menghancurkan jiwa mereka, yaitu mereka yang telah kehilangan anugerah pembenaran karena melakukan dosa yang fatal, seperti membunuh). Sakramen pengakuan dosa menuntut usaha pemuasan di mana umat manusia mencapai usaha yang dibutuhkan untuk mendapatkan pembenaran. Pandangan Katolik Roma menerima bahwa pembenaran adalah berdasarkan iman, tetapi menyangkal bahwa pembenaran itu hanya berdasarkan iman. Dengan kata lain, perbuatan-perbuatan baik perlu ditambahkan untuk dapat dibenarkan. Gereja Katolik Roma dikepung oleh nominalisme, ide bahwa semua yang ada dalam tubuh Gereja Katolik Roma terjamin oleh jalan keselamatan yang diwakili oleh Gereja. Keselamatan hanya melalui sakramen.63 Iman yang membenarkan adalah iman yang hidup, bukan iman pengakuan yang kosong. Iman merupakan kepercayaan yang bersifat pribadi yang bergantung kepada Kristus saja untuk keselamatan. Iman yang menyelamatkan juga merupakan iman pertobatan yang menerima Kristus sebagai Juruselamat dari Tuhan. Alkitab mengatakan bahwa kaum Reformed tidak dibenarkan oleh karena perbuatan-perbuatan baik kita, tetapi dengan apa yang diberikan kepada kita berdasarkan iman, yaitu kebenaran Kristus. Sebagai sintesis, sesuatu yang baru ditambahkan pada sesuatu yang dasar. Pembenaran kita merupakan sintesis, oleh karena kita memiliki kebenaran Kristus yang ditambahkan kepada kita. Pembenaran kita adalah berdasarkan imputasi (pelimpahan), yang artinya Allah memindahkan kebenaran Kristus kepada kita berdasarkan iman. Ini bukan merupakan ”legal yang bersifat fiksi.” Allah telah melimpahkan kepada kita karya Kristus yang nyata, dan sekarang kita telah menerima karya-Nya. Ini merupakan pelimpahan yang nyata. Tidak seorang pun yang ”cukup baik” untuk memperoleh pem­ benaran di dalam pandangan Tuhan. Alkitab meneguhkan apa yang sudah diketahui oleh orang yang jujur: ”Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Tuhan” (Rm 3: 23). Karena kita sekalian berdosa, maka mustahil kita ”dibenarkan” di 63 Bdk. Reformation Today, ”Iman Yang Menyelamatkan”, Majalah Momentum No.13 – September 1991, yang diakses dari www.geocities.com/thisisreformed/artikel/iman.html.



Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman —



27



hadapan Tuhan berdasarkan perbuatan kita sendiri. Hidup kita berlimpah dengan dosa, kelemahan, dan kegagalan di mana Alkitab berkata: ”Demikianlah kita sekalian seperti seorang najis dan segala kesalehan kami seperti kain kotor” (Yes 64:6). Kita sangat sering berbuat dosa sehingga jauh dari keadaan dibenarkan di hadapan Tuhan melalui perbuatan kita sendiri, tetapi kita dapat dibenarkan di hadapan-Nya melalui iman kita dalam Yesus Kristus. Tuhan tahu bahwa tidak seorang pun sanggup memperoleh keadaan yang benar di hadapan-Nya, jadi kasih karunia-Nya dan kemurahan Tuhan memberikan pembenaran kepada kita sebagai suatu hadiah. Surat Roma mengatakan bahwa maut masuk melalui Adam, tetapi kita memiliki pemberian pembenaran Tuhan melalui Yesus Kristus. Tuhan tahu bahwa tidak seorang pun sanggup memperoleh keadaan yang benar di hadapan-Nya, jadi kasih karunia-Nya dan kemurahan Tuhan memberikan pembenaran kepada kita sebagai suatu hadiah. Kitab Roma mengatakan bahwa maut masuk melalui Adam, tetapi kita memiliki pemberian pembenaran Tuhan melalui Yesus Kristus.64 Bahkan dengan pertolongan anugerah Allah, tidak seorang pun yang dapat memenuhi seluruh tuntutan hukum Taurat untuk dapat dibenarkan. Itulah sebabnya Kitab Suci secara tegas mengontraskan kebenaran melalui hukum Taurat dan melalui Injil, dan menolak semua perbuatan baik, apa pun kondisi yang disyaratkan, sebagai jalan mendapatkan kebenaran. Bersama Paulus kita mengaku bahwa orang yang melakukan hukum Taurat akan dibenarkan di hadapan Allah; tetapi karena semua orang jauh dari memenuhi tuntutan hukum Allah, maka perbuatan Taurat yang mestinya memberikan kebenaran, ternyata tidak menolong kita karena kegagalan kita sendiri. Ketika kaum Skolastis memahami anugerah sebagai pertolongan Roh Kudus untuk mengejar kekudusan sebagai jasa untuk dibenarkan, mereka gagal untuk memahami anugerah Allah sebagai pemberian kebenaran secara cuma-cuma.65 Ketika Kitab Suci berbicara tentang kebenaran melalui iman, ia mengalihkan pandangan kita (Calvinis) dari perbuatan kita sendiri supaya kita bersandar semata-mata pada kemurahan Allah. Inilah 64 Bdk. ”The Fruit of the Spirit”, yang dikutip dari www.truthortradition.com./ modules.php. 65 John Calvin, Institutes of the Christian Religion, III, hlm.11, yang dikutip dari http://www. grii-andhika.org/ready_bread/main/102c. htm.



28  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman urutan pembenaran: Pertama, Allah merangkul orang berdosa dalam keadaannya yang menyedihkan; Kedua, kesadaran akan kebaikan Allah membuat hati orang berdosa tersentuh, dan menyadari kega­ galan perbuatan baiknya, ia berpaling kepada kemurahan Allah untuk mendapatkan keselamatannya. Urutan hal ini dapat berbeda, tetapi isinya tetap sama.66 Inilah hubungan iman dan Injil: Kita dikatakan dibenarkan oleh iman, karena melalui iman kita menerima kebenaran yang ditawarkan dalam Injil. Inilah perbedaan Taurat dan Injil: Sementara hukum Taurat mengaitkan kebenaran dengan perbuatan baik – yang sayangnya, tidak memuaskan (Rm 8:3); maka Injil mengaruniakan kebenaran secara cuma-cuma terlepas dari perbuatan hukum Taurat (Rm 10; Gal 3: 18). Abraham dikatakan tidak memiliki alasan untuk membanggakan dirinya, karena kebenarannya itu sesuatu yang di­ perhitungkan kepadanya, bukan upah perbuatan baiknya. Dan wa­lau­pun perbuatan sangat berharga, sehingga melaluinya kita diberikan pahala, namun nilainya tidak terdapat di dalam dirinya, tetapi dari perkenanan Allah, sehingga Kitab Suci menegaskan bahwa perbuatan kita tidak dapat membenarkan kita. Demikian juga, ketika dikatakan bahwa iman bekerja di dalam kasih, tidak berarti bahwa kita dibenarkan dari perbuatan kasih itu.67 Dosa dihapuskan hanya melalui kebenaran Kristus. Kebenaran melalui iman merupakan rekonsiliasi dengan Allah, yang terjadi karena adanya pengampunan dosa. Dosa menyebabkan manusia terpisah dari Allah, dan akan tetap menjadi musuh Allah sampai ia dipulihkan di dalam anugerah melalui kebenaran Kristus. Karena itu, orang yang Allah terima ke dalam persatuan dengan-Nya, dikatakan dibenarkan oleh-Nya, karena Dia tidak dapat menerima orang tersebut kecuali Dia terlebih mengubahnya dari seorang berdosa menjadi orang yang benar. Augustinus menyatakan, ”kebenaran orang-orang kudus di dunia ini lebih merupakan pengampunan dosa ketimbang kesempurnaan kebajikannya.” Demikian juga pendapat Bernard dari Clairvaux, ”Tidak berbuat dosa adalah kebenaran Allah; tetapi kebenaran manusia ialah anugerah pemberian Allah.” Dari dirinya 66 Ibid. 67 Ibid.



Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman —



29



sendiri, tidak seorang pun yang benar, tetapi kebenaran Kristus yang diperhitungkan kepadanya menjadikannya didapati memenuhi tuntutan penghakiman Allah yang adil.68 5. Pandangan Katolik tentang Ajaran Pembenaran oleh Iman Kontroversi doktrin pembenaran iman akhirnya benar-benar melahirkan pemisahan pendukung Konfesi Augsburg dari Gereja Katotik Roma. Gereja Katotik Roma sendiri yang akhirnya mengambil garis pemisah itu, dengan menempatkan pendukung Konfesi Augsburg sebagai ajaran sesat. Pada konsili Gereja Katotik Roma ke IX, yang berlangsung dalam kurun waktu 13 Desember 1545 sampai 4 Desember 1563, yang dikenal dengan Konsili Trente, ditetapkan bahwa ajaran pembenaran dan ajaran tentang sakramen menurut kaum reformasi atau protestan adalah ajaran sesat yang harus dikutuk. Konsili Trente itu sepertinya berusaha memobilisasi segala kekuatan Gereja Katotik Roma untuk menumpas gerakan reformasi melalui dokumen Tridentinum atau Tridentine Profession of Faith.69 Beberapa pasal dari Tridentium itu berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 : Apabila seseorang mengatakan bahwa orang berdosa dibenarkan oleh iman saja, terkutuklah dia. Pasal 11 : Apabila seseorang mengatakan bahwa seseorang dibe­ narkan hanya dengan pembenaran Yesus Kristus atau hanya dengan penghapusan dosa, maka terkutuklah dia. Pasal 24 : Apabila seseorang mengatakan bahwa pembenaran dapat diterima tanpa memelihara dan juga tanpa ber­ tumbuh dalam melakukan perbuatan baik di hadapan Allah, tetapi mengatakan perbuatan baik itu adalah hanya buah dan tanda bahwa seseorang telah menerima pembenaran dan bukan sebab pertumbuhannya, maka terkutuklah dia. 68 Ibid.; bdk. Ted M.Dorman, ”The Joint Declaration of the Doctrine of Justification: Retrospect and Prospects”, dalam Journal of the Evangelical Theological Society, Sept. 2001, yang diakses dari: http://findarticles.com/p/articles/mi_qa3817/is_200109/ai_n8997756/pg_11?tag=artBody;col1. 69 The Encyclopaedia of the LutheranChurch. vol.III, (Minneapolis: Augsburg Publishing House, 1965), hlm. 2413.



30  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Pasal 30 : Apabila seseorang mengatakan bahwa setelah menerima anugerah pembenaran, maka kesalahan seseorang telah dihapuskan; demikian juga penghakiman kekal kepada semua orang berdosa yang bertobat itu tidak ada lagi penghakiman di dunia ini maupun di purgatorium se­ belum pintu surga dibukakan kepadanya, maka ter­ kutuk­lah dia. Pasal 32 : Apabila seseorang mengatakan bahwa perbuatan baik hanya dapat dibenarkan sebagai pemberian Allah dan tidak diperhitungkan sebagai jasa baik. Atau, se­ seorang dibenarkan melalui perbuatan baik dengan memberlakukan anugerah Allah dan pahala dari Yesus Kristus, tetapi hal itu bukanlah jasa dari anugerah yang sebenarnya dan tidak berfaedah dalam memperoleh kehidupan yang kekal, maka terkutuklah dia. Konsili Trente merupakan tanggapan Gereja Katotik Roma ter­ hadap tantangan yang ditumbulkan Reformasi. Dari berbagai tan­ tangan, menurut Tanner, konsili Trente menghadapi dua dari ma­ salah yang paling menegangkan dalam perdebatan Reformasi: per­ tama, hubungan antara Kitab Suci dan Tradisi sebagai sumber ke­wibawaan dalam Gereja.70 Luther menekankan prinsip sola scriptura, bahwa hanya Alkitab sebagai satu-satunya peraturan dan norma yang kepadanya semua doktrin harus dinilai dan ditimbang. Alkitab tidak membutuhkan penerangan dan pelengkapan dari Gereja, Tradisi dan Paus, tapi sebaliknya, Gereja bukanlah Gereja jika Gereja tidak berlandaskan Alkitab. Alkitab tidak membutuhkan penafsiran dari luar Alkitab. Masalah kedua yang dihadapi konsili Trente adalah peran iman dan amal baik dalam pembenaran kita. Luther secara fundamental menekankan bahwa kita dibenarkan hanya oleh iman, bukan oleh pelaksanaan kesalehan atau hukum maupun jasa. Prinsip Reformasi dinamai dengan sola fide, hanya iman saja.



70 Norman P. Tanner, Konsili-konsili Gereja, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm.99.



Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman —



31



Lebih dalam Tanner menjelaskan pemahaman Gereja Katotik Roma tentang pembenaran yang tertuang dalam Konsili Trente tersebut sebagai berikut: Pembenaran dalam diri orang dewasa yang sebenarnya-benarnya berasal dari rahmat Allah yang memberikan kecenderungan melalui Yesus Kristus, yakni dari ajakan-Nya yang memanggil mereka tanpa jasa dari pihak mereka; dengan demikian mereka yang telah menjauh dari Allah karena dosa diberi kecenderungan oleh rahmat Allah yang melecut dan membantu dia untuk berpaling ke pembenaran diri mereka sendiri dengan memberikan persetujuan bebas pada rahmat itu dan bekerja sama dengan rahmat ini pula. Oleh karenanya, meski Allah menyentuh hati seseorang melalui cahaya Roh Kudus, orang itu bukannya sama sekali tidak melakukan apa-apa dalam menerima gerakan rahmat itu, karena ia juga dapat menolaknya; dan ia atas kehendak bebasnya sendiri menuju kebenaran dalam pandangan Allah ... Dengan demikian, orang yang telah dibenarkan dengan cara ini, ... diperbarui dari hari ke hari dengan mematikan sesuatu yang duniawi yang ada dalam diri mereka (Kol 3: 5) dan menyerahkan diri sebagai alat kebenaran untuk pengudusan (Rm 6: 13, 19) dengan menaati perintah-perintah Allah dan perintah-perintah Gereja.71



Dekrit Konsili Trente meneguhkan bahwa iman merupakan dasar dan akar pembenaran dalam arti bahwa rahmat pembenaran tidak dapat diperoleh lewat jasa manusia, dan bahwa pembenaran merupakan karya Allah dalam Kristus sejak awal karena manusia tanpa rahmat Allah tidak mampu membuat dirinya benar di hadapan Allah. Dekrit ini juga menekankan bahwa iman tidak dapat menyatukan orang secara sempurna pada Kristus tanpa harapan dan cinta kasih, karena iman tanpa perbuatan adalah mati. Perhatian utama dalam soal ini adalah melindungi peran aktif kebebasan manusia dalam proses pembenaran. Jadi manusia tidak hanya pasif, melainkan harus bekerja sama dengan rahmat Allah.72 Mengapa Katolik menaruh perhatian atas ajaran pembenaran ini? Menurut Schmidt,73 setidaknya ada tiga alasan yakni: pertama, pembenaran membutuhkan sebuah internalisasi kehidupan keagama­ 71 Ibid., hlm. 101. 72 Ibid., hlm. 133. 73 Alister E.McGrath, Iustitia Dei: A History of the Christian Doctrine of Justification From 1500 to the Present Day, (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), hlm.54.



32  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman an, yang secara tajam berbeda dari bentuk eksistensi orang Kristen. Kedua, pembenaran memperbaiki aturan ilahi di dalam pembenaran, melawan kecenderungan pemusatan pada aturan manusia. Dan ketiga, pembenaran diperhitungkan sebagai sebuah deklarasi yang tersembunyi atas perang kepausan Roma. Sangat sedikit dokumen yang dipublikasikan Katolik yang membicarakan ajaran ini periode 1520-1545, misalnya karya Tommaso de Vio Cajetan, De fide et operibus (1532). Menurut pemahaman Gereja Katotik Roma, rahmat Roh Kudus mempunyai kekuatan untuk membenarkan manusia, artinya Roh Kudus membersihkan dan memberikan kepada manusia ”kebenaran Allah karena iman dalam Yesus Kristus” (Rm 3: 22) melalui Pem­ baptisan.74 Karya pertama rahmat Roh Kudus adalah pertobatan yang menghasilkan pembenaran. Manusia digerakkan oleh rahmat supaya mengarahkan diri kepada Allah dan menjauhkan diri dari dosa. Dengan demikian manusia menerima pengampunan dan pembenaran dari atas. Inilah unsur-unsur dari ”pembenaran itu sendiri, yang bukan hanya pengampunan dosa, melainkan juga pengudusan dan pembaruan manusia batin” (Konsili Trente: DS 1528). Pembenaran melepaskan manusia dari dosa, yang berlawanan dengan kasih kepada Allah dan memurnikan hatinya. Pembenaran terjadi karena prakarsa-prakarsa kerahiman Allah yang menawarkan pengampunan. Pembenaran mendamaikan manusia dengan Allah, membebaskannya dari kuasa dosa dan menyembuhkannya.75 Pembenaran serentak berarti bahwa orang menerima kebenaran Allah melalui iman akan Yesus Kristus. ”Kebenaran” menyatakan keluhuran kasih ilahi. Pembenaran diperoleh bagi kita melalui sengsara Kristus, yang menyerahkan Diri di salib sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah dan yang darah-Nya telah menjadi alat pemulih bagi dosa semua manusia. Pembenaran itu diberikan kepada manusia melalui Pembaptisan dan Sakramen iman. Tujuan pembenaran itu sendiri adalah untuk kemuliaan Allah dan Kristus demikian juga kehidupan abadi (Konsili Trente: DS 1529).76



74 Lih. Katekismus Gereja Katolik, (Ende: Percetakan Arnoldus Ende, 1998), hlm. 486. 75 Ibid. 76 Ibid., hlm.487.



Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman —



33



Lebih jauh menurut pemahaman Katolik, pembenaran mendasari satu kerja sama antara rahmat Allah dan kebebasan manusia. Ia terungkap dalam kenyataan bahwa manusia dengan percaya menerima Sabda Allah, yang mengajaknya untuk bertobat dan bahwa ia bekerja sama dalam kasih dengan dorongan Roh Kudus, yang mendahului persetujuan kita dan menopangnya.77 Katolik mengakui, pembenaran adalah karya kasih Allah yang paling agung. Ia diwahyukan dalam Yesus Kristus dan diberikan oleh Roh Kudus. Santo Augustinus beranggapan bahwa ”pembenaran seorang yang hidup tanpa Allah adalah karya yang jauh lebih besar daripada penciptaan langit dan bumi”, karena ”langit dan bumi akan lenyap, sementara keselamatan dan pembenaran orang terpilih akan tetap tinggal”. Malahan Augustinus berpendapat, pembenaran orang berdosa melampaui pen­ ciptaan para malaikat dalam kebenaran, karena ia memberi kesaksian mengenai kerahiman yang lebih besar lagi.78 Bagi Katolik, pembenaran ”bukanlah hanya suatu pengampunan dosa tetapi juga penyucian dan pembaruan kembali dari batin seseorang melalui penerimaan yang sukarela dari anugerah dan pemberian yang menyebabkan seseorang yang tidak benar menjadi seorang yang benar”. Pembenaran sangat erat dihubungkan dengan sakramen baptisan dan penebusan dosa. Orang berdosa mula-mula dibenarkan melalui baptisan: namun, oleh karena dosa, pembenaran itu dapat hilang. Walaupun demikian, pembenaran itu dapat dibarui kembali dengan sakramen penebusan dosa.79 Beratus tahun lamanya keputusan konsili Trente ini menjadi sikap akhir Gereja Katotik Roma terhadap Gereja Lutheran. Namun beberapa dekade sebelum penandatanganan Deklarasi Bersama, banyak usaha pendekatan yang dilakukan untuk menemukan pemahaman bersama tentang doktrin pembenaran itu. Hal itu dilakukan baik oleh pihak Gereja Katotik Roma maupun Gereja Reformasi Lutheran; baik melalui diskusi dan konsultasi resmi maupun informal. Semua pendekatan, dialog, dan konsultasi teologis yang membahas 77 Ibid. Kalau Allah menjamah hati manusia melalui terang Roh Kudus, maka manusia di satu pihak bukan tidak aktif sama sekali, karena ia menerima ilham yang dapat ia tolak juga, di lain pihak ia tidak dapat mengangkat diri dengan kehendak bebasnya tanpa rahmat Allah ke dalam keadilan di hadapan Allah (Konsili Trente: DS 1525). 78 Ibid., hlm. 488. 79 Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran, hlm.149.



34  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman pembenaran itu akhirnya bermuara kepada peristiwa penting dalam sejarah hubungan Gereja Katotik Roma dan Lutheran, yaitu dengan ditandatanganinya Deklarasi Bersama tentang Pembenaran 31 Oktober 1999 di Augsburg, di tempat di mana dahulu Konfesi Augsburg dan Konfutasi Roma terhadap Konfesi Augsburg dibacakan. Dokumen DB ini masih hangat dibicarakan oleh para teolog yang dikaitkan dengan hubungan Lutheran dan Katolik. Karena akhir-akhir ini hubungan Lutheran dan Katolik khususnya para tokoh-tokoh Gerejanya terlihat semakin menjalin hubungan yang baik. Kedekatan tokoh-tokoh non-Katolik dengan Gereja Katotik Roma lebih diperkuat dengan menjamurnya proyek bersama atau proyek ekumenis antara Gereja non-Katolik dengan Gereja Katotik Roma. Salah satu contoh yang paling populer sekarang ini adalah tercapainya penandatanganan The Joint Declaration on the Doctrine of Justification antara LWF dan Gereja Katotik Roma tersebut. Deklarasi ini berisi beberapa ketetapan yang dianggap sebagai ”jalan tengah” antara konsep pembenaran iman Gereja Lutheran dan konsep yang sama yang dipegang oleh Gereja Katotik Roma.80 Proyek-proyek ekumenis lainnya, antara lain adalah: Evangelical and Catholic Together (dimulai 1992), The Ekklesia Project (sebuah proyek ”friendship” yang melibatkan berbagai denominasi), Reformed Catholicism (konferensi pertama dilaksanakan Februari 2008), dan dialog yang terus-menerus berlangsung antara denominasi Baptis dan Katolik.81 6. Ajaran Pembenaran oleh Iman dalam Deklarasi Bersama Dalam dokumen DB ini ditemukan definisi pembenaran. Definisi pembenaran itu sebagai berikut: Pembenaran adalah pengampunan dosa (bdk. Rm 3: 23-25; Kis 13: 39; Luk 18:14), pembebasan dari kungkungan kuasa dosa dan kematian (Rm 5: 12-21) dan dari kutukan karena Taurat (Gal 3: 10-14). Pembenaran adalah penerimaan masuk pada persekutuan dengan Allah yang sudah berlaku kini, namun akan disempurnakan dalam Kerajaan Allah yang akan datang (Rm 5: 1-2). Pembenaran menyatukan kita dengan Kristus 80 Kalvin S. Budiman, ”Bersikap Katolik Tanpa Menjadi Katolik”, yang diakses dari http:// groups.yahoo.com/group/METAMORPHE/message/7087. 81 Ibid.



Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman —



35



dan dengan kematian serta kebangkitan-Nya (Rm 6: 5). Penyatuan ini terjadi di saat seseorang menerima Roh Kudus pada waktu baptisan dan yang memungkinkan masuk ke dalam satu Tubuh (Rm 8: 1-2, 9-11; 1 Kor 12: 12-13). Semuanya ini berasal hanya dari Allah, demi Kristus, oleh anugerah melalui iman dalam ”Injil tentang Anak Allah ” (Rm 1: 1-3)”82



Lebih dalam dokumen tersebut menyatakan bahwa hidup yang dibenarkan oleh iman datang dari firman Kristus (Rm 10:17), menjadi nyata dalam kasih (Gal 5: 6) dan dalam buah Roh (Gal 5: 22). Namun karena orang-orang yang dibenarkan digoda dari dalam dan dari luar oleh berbagai kuasa dan keinginan-keinginan (Rm 8: 35-39); Gal 5: 16-21) sehingga jatuh dalam dosa (1Yoh 1: 8, 10), mereka harus senantiasa mendengar janji-janji Allah secara baru, mengakui dosadosa mereka (1Yoh 1: 9), mengambil bagian dalam darah dan tubuh Kristus, dan dianjurkan untuk hidup dengan benar berpadanan dengan kehendak Allah. Itulah sebabnya Rasul menganjurkan pada orang yang dibenarkan: ”karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya” (Flp 2: 12-13). Namun demikian berita sukacita ini tetap berlaku: ”sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus” (Rm 8: 1), dan bahwa Kristus hidup di dalam mereka (Gal. 2:20); dan bahwa Kristus adalah ”kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup” (Rm. 5:18).83



82 Joint Declaration, hlm. 13-14. 83 Ibid., hlm.14.



37



Bab II Sejarah Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Pertikaian doktrin (ajaran) di antara Protestan84 dan Gereja Katolik Roma ini tidak perlu lagi diperpanjang. Perubahan dunia yang semakin cepat menuntut manusia mencari titik-titik temu yang bisa mempersatukan perbedaan yang ada, baik di dalam sesama agama maupun – jika memungkinkan – di antara berbagai agama. Misalnya saja, salah satu usaha untuk mempertemukan Protestan dan Gereja Katolik Roma yang ‘bertikai’ selama ± 450 tahun ialah dengan dibukanya pintu dialog Lutheran-Katolik dalam bidang doktrin ”pembenaran oleh iman”. Salah satu hasil gerakan ekumenis yang paling menonjol adalah adanya konsensus yang dicapai atas masalah-masalah yang telah memisahkan Gereja-gereja sejak abad ke-16, yaitu ajaran mengenai pembenaran. Mungkin saja akan menyusul konsensus-konsensus lain­nya seperti: pemahaman mengenai hakikat ekaristi, teologi dan struktur pelayan tertahbis, pelaksanaan kewenangan pejabat Gereja, soal uskup, dan bahkan masalah kedudukan Paus sebagai pe­mimpin umat Kristiani universal. Sejumlah besar kemajuan telah 84 Bdk. Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran, hlm. 5. Istilah Protestan di sini maksudnya lebih mengacu pada Gereja Lutheran dan Calvinis. Walaupun istilah ini sebenarnya tidak lazim digunakan oleh Gereja-gereja produk Reformasi. Gereja atau jemaat-jemaat Lutheran misalnya, menyebut diri Evangelisch (Injili); jemaat-jemaat Calvinis menyebut diri Reformed; Gereformeerd, Reformiert dan sejenisnya; sementara yang di Inggris menyebut diri Anglikan. Istilah ini muncul sebagai ejekan dari pihak Gereja Katolik Roma terhadap para pengikut Luther yang mengajukan protes di hadapan sidang Gereja Katolik Roma seluruh Jerman Raya pada 1529.



38  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman dicapai selama bertahun-tahun dalam kesepakatan-kesepakaan yang dikerjakan antara para wakil dan teolog Gereja, tetapi ada juga yang belum bisa diterima resmi oleh Gereja-gereja yang mensponsori dialog. 1. Cikal-bakal Lahirnya Deklarasi Bersama Seperti yang disebutkan dalam pendahuluan di atas, bahwa sebelum Deklarasi ini tercapai, kedua belah pihak – Protestan dan Katolik – telah memulai pembicaraan tentang Deklarasi Bersama ini. Di satu sisi, sejumlah teolog Gereja Katolik Roma telah berusaha mem­ bahas topik pembenaran ini sejak tahun 1960-an yang dipublikasikan melalui disertasi. Misalnya disertasi Otto H. Pesch, yang membahas ‘memperbaiki perbedaan’ di antara Luther dan Thomas Aquinas tentang dokrin pembenaran. Dalam karyanya ini, Pesch membicarakan sejumlah unsur doktrin pembenaran yang tersembunyi dalam Deklarasi Bersama, misalnya: hukum Taurat dan Injil / hukum Taurat dan anugerah; kuasa dosa; Propter Christum / Kristus sebagai penebus; pembenaran oleh iman / pembenaran oleh anugerah; pribadi yang berubah / pribadi yang dioperasikan anugerah. Demikian juga disertasi Prof. Joseph Ratzinger (Paus Benedictus XVI) tahun 1960-an di Bonn yang menginvestigasi Konfesi Augsburg (25 Juni 1530) dan respons apologetik Katolik terhadap Konfesi Augsburg tersebut. Di sisi lain, teolog Lutheran juga melakukan pembahasan atas Deklarasi Bersama sejak tahun 1960-an, misalnya studi atas pemikiran Thomas Aquinas oleh Hans Vorster dan Ulrich Kuhn. Usaha dialog Protestan-Katolik ini besar kaitannya dengan ulasan Hans Küng dalam disertasi doktoralnya yang berjudul Justification: The Doctrine of Karl Barth and a Catholic Reflection (”Pembenaran Doktrin Karl Barth dan sebuah refleksi Katolik”).85 Dalam disertasinya ini, Küng mencoba membuka peluang dialog antara Protestan-Katolik mengenai doktrin pembenaran oleh iman itu. Küng memaparkan hal-hal yang bisa membuka peluang untuk dialog itu dengan mengatakan bahwa apa yang diputuskan di dalam Konsili Trente 85 Disertasinya ini telah diterbitkan dengan oleh Hans Küng dengan judul Justification  : The Doctrine of Karl Barth and a Catholic Reflection, (Philadelphia: The Westminster Press, 1981).



Sejarah Deklarasi Bersama —



39



tentang ajaran pembenaran iman Reformasi merupakan keputusan yang salah, karena keputusan itu didasarkan atas kesalahpahaman dan kekurang-mengertian tentang ajaran pembenaran iman itu sendiri. Padahal, di dalam deklarasi Lutheran – Gereja Katolik Malta Report disebutkan: ”Lutheran dan Gereja Katolik Roma setuju bahwa Injil adalah dasar atas kebebasan Kristen. Kebebasan ini digambarkan di dalam Perjanjian Baru (PB) seperti bebas dari dosa, bebas dari kuasa Hukum Taurat, bebas dari kematian, dan kebebasan melayani Allah dan sesama manusia….”86 Harus diakui, pemrakarsa dialog Lutheran-Katolik ini adalah dari kalangan Lutheran itu sendiri. Pada 1972 sebuah pernyataan di­ publikasikan oleh Komite Studi Bersama yang diundang oleh Federasi Gereja-gereja Lutheran Se-Dunia (The Lutheran World Federation [LWF]) dan Sekretariat Promosi Kesatuan Gereja Kristen (The Secretariate for Promoting Christian Unity [SPCU]). Inilah yang dikenal dengan Laporan Malta (Malta Report), yang draft akhir dokumen ini selesai dikerjakan di San Anton, Malta, 1971 dan dipublikasikan atas nama ‘The Gospel and the Church’. Ulasan tentang pembenaran sangat singkat sekali, dan mengatakan, ”today … a far-reaching consensus is developing in the interpretation of justification”.87 Setelah Laporan Malta 1971, dialog internasional Lutheran Katolik mulai produktif dilakukan dalam fase kedua. Peringatan 450 tahun Konfesi Augsburg 1980 di bawah tema ‘Seluruhnya di bawah Satu Kristus’ menghasilkan sebuah deklarasi:88 A broad consensus emerges in the doctrine of justification, which was decisively important for Reformation (CA IV): it is solely by grace and by faith in Christ’s saving work and not because of any merit in us… Together we testify that the salvation accomplished by Christ in his death and resurrection is bestowed on and effectively appropriated by humanity in the proclaim of the gospel in the holy sacrament through the Holy Spirit.



86 Ibid., hlm. xviii. 87 Klaas Runia, ”Justification and Roman Catholicism”, dalam D.A.Carson (ed.), Right With God: Justification in the Bible and the World, (London: The Paternoster Press & Baker Book House, 1992), hlm. 202. 88 Jared Wicks, ”Joint Declaration on the Doctrine of Justification: The Remote and Immediate Background”, diacu dalam Milan Opocensky & Paraic Reamonn (ed.), Justification and Sanctification: In the Traditions of the Reformation, (Geneva: World Alliance of Reformed Churches, 1999), hlm. 133.



40  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman 2. Dialog-dialog Peranan dialog-dialog untuk mencapai sebuah deklarasi sangatlah penting. Karena melalui dialog-dialog yang dibangun itulah terjadi kesepahaman di antara Protestan dan Katolik. Paralel dengan dialog Lutheran - Katolik di atas, di Amerika sejak 1978 telah dilaksanakan dialog bilateral antara Lutheran dan Katolik yang membahas pem­ benaran dan hasil dialog ini dipublikasikan pada Tahun Luther (Luther Year) 1983 dengan sebuah dokumen konsensus Pembenaran oleh Iman (Justification by Faith), yang menjadi dasar penting bagi perumusan Deklarasi Bersama.89 Dokumen ini berisikan: (1) Pemahaman pembenaran, (2) Orang berdosa dibenarkan, (3) Kebutuhan iman, (4) Jasa baik, (5) Kepuasan batin, dan (6) Pembenaran oleh iman sebagai Kriteria Otentisitas orang Kristen. Sejak Konsili Vatikan II, iklim dialog pun mulai berubah. Salah satu dialog yang terbaik terjadi di Amerika antara Gereja Katolik Roma dan Lutheran World Ministries, cabang Lutheran World Federation. Seri ketujuh pertemuan ini disempurnakan 1983 yang diberi judul Pembenaran oleh Iman (Justification by Faith). Pernyataan umum pertemuan ini diterbitkan pada tahun itu dan dua tahun berikutnya dalam sebuah himpunan dokumen. Evangelical Lutheran Church of America (ELCA) sangat merespons dialog ini dengan positif. Menurut mereka, Injil seharusnya berfungsi sebagai kritik norma bagi seluruh orang percaya Kristen dan mempraktikkannya. Setahun berikutnya, respons lainnya bermunculan seperti dari Komisi Teologi dan Hubungan Gereja dari Gereja Lutheran Sinode Missouri (LCMS). Menurut mereka, Katolik dan Lutheran semakin dekat hubungannya sejak perjanjian Regensburg.90 Dalam dialog ini tercapailah sebuah Pernyataan Resmi (Common Statement) yang terdiri dari tiga bab yakni: bab pertama membahas ”Sejarah Perdebatan dari Augustinus hingga kini”. Bab kedua, membahas enam isu kunci: (1) Kesalahan atau kebenaran hukum; (2) orang berdosa yang dibenarkan; (3) Iman sendiri; (4) Perbuatan baik; (5) Kepuasan; (6) 89 Ibid., 134. Deklarasi ini ditemukan dalam, H.G. Anderson, dkk, Justification by Faith: Lutherans and Catholics in Dialog, vol. 7, (Minneapolis, 1985), hlm. 13-74. Peserta dialog ini diundang oleh Gereja Katolik Amerika Komisi Bidang Ekumenis dan Dewan Nasional LWF Amerika. 90 Anthony N.S.Lane, Justification, hlm. 96.



Sejarah Deklarasi Bersama —



41



Pembenaran sebagai kriteria Injil yang otentik. Bab kedua berisikan gambaran pemikiran dan perhatian Katolik dan Lutheran dengan berbagai perbedaan penekanan di antara mereka. Bab kedua ini ditutup dengan kesimpulan: Lutheran dan Katolik dapat berbagi di dalam setiap perhatian masing-masing pada pembenaran dan dapat saling mengakui legitimasi perbedaan perspektif teologi dan struktur pemikiran masing-masing. Bab ketiga membahas ”Perspektif bagi Rekonstruksi”.91 Perkembangan selanjutnya, pada awal tahun 1980-an, ketika dis­ kusi Protestan–Katolik berlangsung di Amerika, di Jerman telah diada­ kan sebuah pertemuan Komisi Ekumenis Gabungan (Joint Ecumenical Commission) pada 1986 yang membahas pengujian atas pengutukanpengutukan pada abad ke-16.92 Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari kunjungan Paus ke Jerman 1980. Tugas kelompok ini adalah melihat secara khusus isu pengutukan pada abad ke-16 oleh kedua belah pihak, baik dari Katolik maupun Protestan. Konsili Trente misalnya, mengutuk setiap pernyataan orang Protestan. Apakah seluruh pengutukan itu masih berlaku hingga sekarang? Kelompok ini meneliti pengutukan ini dari tiga subjek yakni: pembenaran, sakramen dan pelayanan. Tahun 1985, Komisi ini menghasilkan Laporan Singkat Akhir yang diterbitkan di Jerman 1986 yang terdiri dari lima belas esei tentang pembenaran. Laporan akhir dari komisi ini melahirkan kontroversi, khususnya di kalangan Protestan Jerman. Respons terhadap laporan ini datang dari Sinode Am Persekutuan Gereja Evangelikal Lutheran di Jerman 1994. Mereka (Sinode Am) mengidentifikasikan empat perbedaan di antara Protestan (Lutheran dan Reformed) dan Katolik tentang anugerah dan iman yaitu:93 1. Pengertian anugerah sebagai pemberian Allah kepada manusia (extra nos), atau sebagai ‘realitas di dalam jiwa manusia’ (qualitas in nobis). 2. Pengertian iman sebagai percaya pada firman Allah yang dijanjikan dalam Injil, atau ‘menyetujui pengertian peng­



91 Ibid., hlm. 98 92 Ibid., hlm. 99-100. 93 Ibid., hlm. 102.



42  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman ungkapan firman Allah’ yang ditemukan di dalam pengharap­ an dan kasih. 3. Pengertian tentang hubungan manusia pada Allah. 4. Pengertian tentang hubungan dan perbedaan hukum dan Injil. Dua tahun kemudian, Konferensi Bishop Katolik Jerman mem­ bicarakan respons positif tentang masalah ini dengan berdialog. Paus mendorong dialog tentang topik pembenaran ini dengan pihak Protestan Jerman 1996. Akhirnya, respons Katolik terhadap dialog inilah yang melahirkan Deklarasi Bersama (Joint Declaration) itu. Selain itu, pada 1986 Anglican - Roman Catholic International Commission (ARCIC II) kedua menghasilkan sebuah Pernyataan Persetujuan yang berjudul Keselamatan dan Gereja yang diterbitkan pada 1987.94 Gereja dan keselamatan menelusuri aturan Gereja dalam keselamatan. Kesimpulannya adalah visi Gereja sebagai sakramen keselamatan dan khususnya dimensi sakramen pembenaran manusia dan pengudusan adalah samar-samar dan lemah untuk mengizinkan kita untuk menegaskan bahwa ARCIC-II telah tiba pada persetujuan substansial. Proses lahirnya Deklarasi Bersama ini juga erat kaitannya dengan dialog Komite Gereja Katolik Roma Inggris dengan Methodis (1988/1992) yang mendiskusikan tema pembenaran pada sejumlah pertemuan mereka dari musim gugur 1983.95 Diskusi tentang topik ini sangat sulit dan pada tahun 1988 mereka menghasilkan ‘pernyataan se­mentara’ tentang pembenaran ini. Empat tahun kemudian, Komite ini menyetujui revisi dan perkembangan pernyataan ini dan mempublikasikan ulang dalam bentuk yang baru. Dokumen ini mencatat bahwa pembenaran adalah kategori yang penting bagi Pro­testan, tetapi tidak pernah menjadi sebuah kategori kunci bagi Katolik. John Wesley pada awalnya menyetujui pemikiran Luther, namun kemudian dia mengkritik Luther dan mengembangkan sebuah doktrin yang baru, yaitu pengudusan yang sangat berkaitan dengan ajaran Katolik.



94 Ibid., hlm. 107. 95 Ibid., hlm. 111.



Sejarah Deklarasi Bersama —



43



Dari 1986 hingga 1993, Komisi Bersama Lutheran - Katolik Roma telah bertemu membahas hubungan di antara pembenaran dan eklesiologi yang menghasilkan laporan yang sangat panjang yang dipublikasikan di Jerman tahun 1994 dan di dalam bahasa Inggris pada tahun yang sama. Sebuah konsensus dalam doktrin pembenaran harus membuktikan dirinya sendiri secara eklesiologis. Doktrin Gereja dan pembenaran harus dimengerti dalam terang keduanya. Dalam dokumen ini ada dua pertanyaan dari kedua belah pihak: Katolik bertanya apakah pemahaman Lutheran tentang pembenaran tidak mengurangi realitas Gereja; Lutheran bertanya apakah pengertian Katolik tentang Gereja tidak mengaburkan Injil sebagai doktrin pembenaran menjelaskan Gereja.96 Sementara dialog Lutheran – Katolik berlangsung, Gereja Evangelikal dan Katolik Roma di Amerika juga melakukan diskusi informal. Orang-orang yang terlibat di dalamnya merupakan yang sangat berpengaruh seperti J.J. Packer dan Avery Dulles, tetapi diskusi mereka ini masih bersifat pribadi, bukan bersifat lembaga. Pernyataan pertama adalah Katolik dan Evangelikal Bersama (Evangelicals and Catholics Together [ECT]), yang dibuat / dirumuskan pada 29 Maret 1994. Pernyataan ini diproklamirkan delapan pemimpin Gereja Evangelikal dan tujuh pemimpin Gereja Katolik Roma yang dipimpin oleh Charles Colson dan Richard John Neuhaus. Dokumen ini berisi ringkasan pernyataan tentang pembenaran: ”Kami menyatakan bersama bahwa kami dibenarkan oleh anugerah melalui iman sebab Kristus. Iman yang hidup adalah aktif di dalam kasih ...” Namun dokumen ini dikritik oleh beberapa pemimpin Gereja Evangelikal dengan membuat tujuh pernyataan Resolusi atas Dialog Katolik Roma dan Evangelikal yang ditandatangani tahun 1994 oleh 33 pemimpin Gereja Evangelikal.97 Dialog Gereja Lutheran - Katolik Roma di Amerika Serikat 1978 tentang pembenaran dan pada Tahun Luther 1983, telah menerbitkan pernyataan-pernyataan yang disetujui mengenai pokok-pokok iman, Ekaristi sebagai kurban, pelayanan tahbisan, pelayanan oleh Paus, ajaran ketidak-sesatan (infallibility) Paus, pembenaran, maupun mengenai Maria dan para santo. Dialog 96 Ibid., hlm. 112-113. 97 Ibid., hlm. 113-119.



44  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Lutheran - Katolik Roma di Amerika Serikat telah mengungkap minat akan kepemimpinan paus yang diperbarui dalam terang Injil bagi Gereja masa depan. Pernyataan Amerika ini dimulai dengan sejarah permasalahan pada abad keduapuluh, yang menempatkan para Reformator dan Trente dalam konteks perkembangan yang luas. Hal-hal yang dibahas dalam pernyataan ini adalah:98 (1) Forensik Pembenaran, (2) pembenaran orang berdosa, (3) kecukupan iman, (4) jasa baik, (5) kepuasan, dan (6) pembenaran oleh iman sebagai kriteria otentisitas orang Kristen. 3. Lahirnya Deklarasi Bersama (DB) Setelah Konsili Vatikan II, didirikanlah sebuah Sekretariat bagi Kesatuan di Roma. LWF memulai kegiatan kesatuan ini melalui dialog-dialog internasional. Pertemuan pertama dilaksanakan pada 1967 yang membahas tema Injil dan Gereja (The Gospel and the Church) yang laporan akhirnya dipublikasikan 1972.99 Dialog ini berlanjut hingga 1994 dengan membahas dialog eklesiologi tentang ”Perjamuan Kudus” dan hasil dialog ini dilaporkan dalam Church and Justification.100 Lahirnya Deklarasi Bersama ini sangat dipengaruhi oleh kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Jerman pada 17 November 1980 dengan mengadakan pertemuan dengan Gereja Lutheran dan Reformed (Calvinis) di Mainz. Pada saat itu, Landesbischof Eduard Lohse – Ketua Dewan Gereja Evangelis Jerman [The Council of the Evangelical Church in Germany (EKD)] – menyampaikan kebutuhan kerja sama yang lebih baik dengan Gereja Katolik Roma pada Ibadah Minggu, Perjamuan Kudus, dan perkawinan campur. Maka dibentuklah sebuah Komisi Ekumenis Bersama (A Joint Ecumenical Commission). Komisi ini mengadakan pertemuan pertama pada 6-7 Mei 1981. Ketua pertemuan ini adalah Bishop Lohse dari Hannover dan bishop Gereja Katolik Roma Munich, Cardinal Joseph 98 Jared Wicks, Op.Cit., hlm. 134; bdk. Martien E.Brinkman, Justification in Ecumenical DialogCentral Aspects of Christian Soteriology in Debate, (Utrecht: Interuniversitaire Institute for Missiology and Ecumenical Research, 1996), hlm. 135-139. 99 Ibid., hlm. 137. Seluruh teks dialog ini dipublikasikan dalam Growth in Agreement, (Geneva/ New York, 1984) dan Church and Justification, (Geneva, 1994). 100 Ibid., hlm. 138.



Sejarah Deklarasi Bersama —



45



Ratzinger. Pada pertemuan ini dirasakan sangat perlu membahas penghapusan pengutukan-pengutukan mengenai doktrin, dan halhal praktis dalam pengakuan Lutheran abad keenambelas dan Gereja Katolik Roma. Sejak 1990-an telah dimulai gerakan dialog tentang Deklarasi Bersama, yang dibangun dalam dokumen-dokumen sebelumnya, khu­ susnya laporan Pembenaran Iman Amerika dan laporan pengutukanpengutukan Jerman. Tahun 1993 Lutheran - Katolik membentuk Komite Koordinasi Bersama (Joint Coordinating Committee). Komite Nasional Amerika mengirim surat segera setelah Sekjen LWF meminta penasihat LWF atas proposal ekumenikal ELCA (Evangelical Lutheran Church of Amerika) mengenai kemungkinan deklarasi ketidaklayakan pengutukan Lutheran pada Gereja Katolik Roma saat ini. Tahun 1995 sebuah draft telah dibagikan pada Gereja-gereja untuk dibahas dan dikomentari. Dan pada 1997 Deklarasi Bersama ini dipublikasikan yang diikuti dengan berbagai diskusi. LWF telah meminta anggota-anggota Gereja LWF untuk memberi masukan dan jawaban Mei 1998 apakah anggota-anggota Gereja LWF menerima kesimpulan Deklarasi Bersama tersebut. Atas dasar masukan-masukan dari anggota-anggota Gereja LWF tersebut, maka LWF mengelaborasi dokumen di Wǜrzburg (FRG) Juni 1996. Kemudian dikirimkan ke Gereja-gereja untuk lebih dipertajam dan dikoreksi untuk lebih matang. Januari 1997, draft akhir telah dikirimkan ke Gereja-gereja dengan harapan agar draft akhir ini dibahas dalam setiap sinode Gereja masing-masing dan hasil akhir dari Gereja-gereja akan dikirimkan kembali ke LWF pada akhir Pebruari 1997.101 Musim panas 1997, diskusi teologis tentang isi dokumen deklarasi dimulai di Jerman. Banyak teolog meminta Gereja-gereja agar tidak menerima dan menyetujui Deklarasi Bersama. Diskusi ini menjadi permasalahan di seluruh Gereja Lutheran se-dunia. Juni 1998, LWF menetapkan dokumen Deklarasi Bersama atas dasar suara terbanyak 101 Ibid., hlm. 139. Di LWF, langkah-langkah yang dilakukan untuk menghasilkan rumusanrumusan Deklarasi Bersama ini adalah: pertama, draft versi pertama deklarasi yang telah disepakati oleh panitia khusus dikirimkan ke Gereja-gereja untuk konfirmasi dan dibahas oleh para teolog masing-masing Gereja pada musim semi 1995. Sebagian besar anggota LWF menerima isi draft dokumen ini, hanya Gereja Lutheran Perancis yang mengusulkan beberapa perubahan. Gereja Lutheran Jerman dan Finisia (Finlandia) membuat draft bandingan yang berisikan bantahan-bantahan atas beberapa isi dokumen.



46  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman dari sinode-sinode Gereja yang menyetujui dokumen Deklarasi Bersama ini. LWF menggarisbawahi bahwa masih banyak pergumulan teologis yang membutuhkan penjelasan yang lebih mendalam; walaupun dokumen ini telah diterima dan disepakati.102 Deklarasi Bersama ini adalah hasil dialog-dialog resmi yang dilakukan secara bersama sebelum 1999. Kedua belah pihak terutama memperhatikan hasil-hasil dialog mereka, seperti percakapan tentang ”Injil dan Gereja” (1972), Pembenaran oleh iman” (1983), ”Gereja dan Pembenaran” (1994)”, dan tentang ”Penghukuman atas dasar ajaran pada reformasi – masihkah menimbulkan perpisahan?” (1986). Hasil dialog-dialog tersebut disambut baik oleh kedua belah pihak, sehingga secara bersama telah merumuskan ”Deklarasi Bersama” tersebut mengenai pembenaran ”kita” (kedua belah pihak Lutheran dan Katolik) oleh anugerah Allah melalui iman akan Kristus. Namun Deklarasi Bersama ini tidak bermaksud untuk memuat semua ajaran Gereja tentang pembenaran, tetapi apa yang dimuat dalam Deklarasi Bersama ini hanyalah ”suatu persetujuan akan kebenaran dasar dari ajaran Gereja tentang pembenaran dan menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan lainnya dalam hal penerapannya, tidak lagi menjadi alasan untuk kutukan-kutukan dogmatis”. Artinya, bahwa Deklarasi Bersama ini menunjukkan dengan jelas, kutukankutukan historis tentang ajaran pembenaran yang dilakukan kedua belah pihak pada abad ke-16 itu (dari pihak Lutheran dalam Konfesi Augsburg dan tulisan-tulisan lainnya dalam buku Konkord, sedang dari pihak Katolik adalah hasil keputusan konsili Trente) tidak digunakan dalam persetujuan ini (bdk. butir 18 Deklarasi Bersama). Naskah asli Deklarasi Bersama ini ditulis dalam versi bahasa Jerman dan telah diterbitkan oleh William B. Eerdmans Publisching Company Grand Rapids, Michigan / Cambridge, U.K. 2000. Naskah asli yang ditandatangani adalah dalam bahasa Jerman ”Gemeinsame Erklaerung zur Rechstfertigungslehre”, diterbitkan oleh Verlag Otto Lambeck 1999. Dengan proses dialog-dialog yang cukup panjang mulai 1995 hingga 1997, maka Gereja Lutheran dan Katolik mulai mencapai kata sepakat. Draft deklarasi mulai disosialisasikan sejak 1997 hingga 102 Ibid., hlm. 139-140.



Sejarah Deklarasi Bersama —



47



1998. Dari hasil pemantauan Sekjen LWF atas respons Gereja-gereja Lutheran atas draft yang dikirimkan kepada setiap Gereja maka ada 89 Gereja dari 122 ditambah 2 Gereja anggota / calon anggota LWF dan yang mengirimkan jawaban kepada LWF hinggga 12 Juni 1998.103 Respons ini diterima dari seluruh Gereja anggota LWF yang tersebar di Afrika (19 Gereja), Asia (23 Gereja), Eropa (33 Gereja), Amerika Latin (11 Gereja), dan Amerika Utara (3 Gereja). Dari 89 respons yang masuk tersebut, LWF membuat analisa atas jawaban Gereja-gereja anggota LWF. Dari hasil analisa mereka tampak bahwa respons itu bervariasi, misalnya: 80 Gereja menjawab ”ya” (89.9%), 5 Gereja menjawab ”tidak” (5.6%), satu Gereja menjawab dengan dengan penafsiran yang sulit dimengerti namun tampaknya menjawab ”ya”, dan 3 Gereja yang juga sulit untuk ditafsirkan jawabannya namun kelihatan mereka ”tidak” setuju sama sekali.104



Dari kiri: Bishop Dr. Christian Krause dan Edward Idris Cardinal Cassidy menandatangani Deklarasi Bersama [The Joint Declaration on the Doctrine of Justification (JDDJ)]



Dengan melihat respons yang diterima LWF tersebut, maka LWF dan Gereja Katolik Roma akhirnya menandatangani Deklarasi Bersama ini. Pada 31 Oktober 1999 Federasi Gereja-gereja Lutheran Se103 Lih. ”DOCUMENTATION: Action taken by the LWF Council on the recommendation of the Standing Committee for Ecumenical Affairs”, dalam www.lutheranworld.org/../Beschle.pdf. 104 Ibid.



48  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Dunia (Lutheran World Federation – LWF) dan Gereja Katolik Roma menandatangani ”Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran DBAP” (The Joint Declaration on the Doctrine of Justification – JDDJ) di kota Augsburg, Jerman. Kardinal Edward Idris Cassidy, pemimpin Badan Kepausan untuk Usaha Penyatuan Kekristenan (Pontifical Council for Promoting Christian Unity – PCPCU) dan Bishop Kasper sekretaris PCPCU bertindak mewakili Gereja Katolik Roma dalam penandatanganan itu, dan Presiden LWF Bishop Dr. Christian Krause dan sekretaris jenderal LWF Dr. Ishmael Noko mewakili Gerejagereja Lutheran. Wakil-wakil dari Gereja Katolik dan Lutheran hadir juga pada saat itu. Deklarasi Bersama ini ditandatangani pada Minggu Reformasi, 31 Oktober 1999, bertempat di Sankt Anna Kirche, Augsburg, tempat di mana dahulu dibacakan naskah Konfesi Augsburg dan naskah Konfutasi Roma.



Dari kiri: Pdt. Dr. Ishmael Noko dan Bishop Dr. Walter Kasper menandatangani Deklarasi Bersama



Beberapa minggu kemudian, Paus Johanes Paulus II mengatakan kepada Presiden LWF bahwa dokumen ini tanpa diragukan lagi menjadi dasar yang kokoh dalam langkah dialog ekumenis selanjutnya. Setelah ditandatanganinya dokumen Deklarasi Bersama ini, kedua belah pihak sangat berperan aktif untuk mensosialisasikan dokumen ini di dalam berbagai kegiatan, seperti konsultasi di Columbus, Ohio, USA, pada 27-30 November 2001 dan juga perayaan 5 tahun dokumen Deklarasi Bersama di STFT St.Yohanes Pematangsiantar



Sejarah Deklarasi Bersama —



49



pada 30 Oktober 2004, serta Seminar Sehari Gereja-gereja Lutheran di Jakarta pada 31 Oktober 2008 yang membahas dokumen Deklarasi Bersama ini. Dokumen Deklarasi Bersama bukanlah sesuatu yang baru yang terpisah dari dokumen-dokumen ajaran pembenaran yang sudah dibahas oleh Gereja Lutheran dan Katolik selama ini. Namun semua ajaran pembenaran di dalam kedua belah pihak diformulasikan dalam Deklarasi Bersama ini menjadi sebuah ”konsensus” dan ”pernyataan bersama” tentang ajaran pembenaran. Sehingga dokumen Deklarasi Bersama ini merupakan sebuah dasar konsensus akan ajaran pembe­ naran yang dapat diterima oleh kedua belah pihak walaupun di da­ lamnya masih tampak perbedaan-perbedaan tradisi masing-masing. Melalui dokumen Deklarasi Bersama ini diharapkan Gereja Lutheran dan Katolik saling mendorong dan memahami perbedaan ajaran yang ada tanpa melihat perbedaan itu sebagai sebuah perpecahan, namun melihat perbedaan itu sebagai keberagaman dalam beriman. 4. Reaksi Atas dan Penerimaan terhadap Deklarasi Bersama Pertikaian antara Gereja Katolik Roma dan pengikut Luther akhir­ nya melahirkan sejumlah pernyataan yang saling mengutuk ajaranajaran pihak lawan. Di pihak Lutheran, fenomena ini, misalnya, terlihat jelas dari Rumusan Kesepakatan (Formula of Concord) yang disusun setelah wafatnya Luther (1546). Dalam dokumen ini, ajaran Lutheran yang ”murni” ditegaskan kembali, sementara ajaran-ajaran yang dinilai bertentangan dengan itu ditolak dan dikutuk. Sebagai reaksi balik terhadap gerakan reformasi, Gereja Katolik Roma meng­ gelar konsili di Trente. Konsili ini menghasilkan sejumlah kanon yang mengutuk ajaran-ajaran para reformator. Hampir semua aspek ajaran reformasi dikutuk, termasuk ajaran-ajaran yang dirangkum dalam asas-asas yang bersifat eksklusif ”hanya oleh Kitab Suci” (sola scriptura), ”hanya oleh anugerah” (sola gratia), dan ”hanya oleh iman” (sola fide). Hingga kini kutukan timbal-balik itu belum pernah ditarik, seperti yang disadari dalam Deklarasi Bersama. Namun dalam dialog-dialog ekumenis antara kedua belah pihak akhirnya dihasilkan keterbukaan untuk mencapai pemahaman bersama mengenai salah satu ajaran



50  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman terpenting yang dipertikaikan (DB 5). Deklarasi Bersama sendiri bukanlah dokumen yang mengikat pihak-pihak yang menandatanganinya, namun menyediakan bahan dasar untuk mengambil keputusankeputusan oleh Gereja-gereja yang bersangkutan (DB 4).105 Sekalipun dinyatakan bahwa telah tercapai konsensus dalam ”kebenaran-kebenaran azasi” (basic truth), Deklarasi Bersama tidak berpretensi mengabaikan begitu saja perbedaan-perbedaan yang masih ada dari segi bahasa, penjelasan teologis maupun penekanan mengenai ajaran pembenaran (DB 13, 40). Tetapi, perbedaan-per­ bedaan demikian diharapkan tidak menghancurkan konsensus yang telah dicapai. Salah satu implikasi yang kelihatan anakronistis dari dokumen ini adalah bahwa ajaran-ajaran Lutheran dan Katolik yang diketengahkan dalam Deklarasi Bersama tidak berada di bawah kecaman atau kutukan, baik dari Konsili Trente maupun dari konfesikonfesi Lutheran (DB 13, 40).106 Bagi Bishop Paul-Werner Scheele, 31 Oktober 1999 adalah kairos (waktu) bukan hanya bagi orang-orang Katolik dan Lutheran saja melainkan juga bagi seluruh orang Kristen di seluruh dunia ini. Kendati Deklarasi Bersama ini merupakan hasil kesepakatan di antara dua tradisi Lutheran dan Katolik saja, tetapi kebenaran yang dikumandangkan Deklarasi Bersama ini sangat mempengaruhi orang percaya di dunia ini.107 Pendapat lain disampaikan oleh Anna Case-Winters108, seorang teolog Reformed di Sekolah Tinggi Teologi McCormick. Baginya ada beberapa catatan tentang penerimaannya terhadap dokumen Deklarasi Bersama ini. Pertama, 31 Oktober 1999 sungguh sebuah tanda langkah yang diambil dalam rangka mempersatukan Gereja. Gereja Katolik Roma dan Lutheran menandatangani Deklarasi Bersama



105 Anwar Tjen, ”Pemahaman Bersama Ajaran Pembenaran: Beberapa Catatan dari sudut pandangan Lutheran”, Makalah Seminar Sehari Lutheran - Katolik dalam rangka Lustrum Lima Tahun The Joint Declaration on the Doctrine of Justification, STFT St. Thomas, 30 Oktober 2004, hlm. 1. 106 Ibid. 107 Paul-Werner Scheele, ”Consultation ‘Unity in Faith’ in Colombus”, Ohio, USA, Kata pengantar pada Konsultasi The Joint Declaration on the Doctrine of Justification, Ohio: Colombus, 26 November - 1 Desember 2001, hlm. 1. 108 Anna Case-Winters, ”The Joint Declaration on Justification: A Reformed Commentary Colloquium on Justification, Makalah pada Konsultasi The Joint Declaration on the Doctrine of Justification, Ohio: Colombus, 26 November - 1 Desember 2001, hlm. 1.



Sejarah Deklarasi Bersama —



51



tentang Pembenaran.109 Kedua, pendekatan dokumen dibangun atas pengenalan pernyataan dan perbedaan di antara kedua belah pihak. Artinya, kedua belah pihak mampu ”sepakat di atas perbedaan”. Kesimpulan pembenaran adalah ada pemahaman dasar tentang pembenaran walaupun masih ada pemahaman yang berbeda di kedua belah pihak.110 Ketiga, dokumen ini memberikan sebuah peluang (opportunity). Dokumen Deklarasi Bersama ini merupakan dokumen yang terbuka bagi setiap orang untuk terlibat di dalamnya.111 Darlis J. Swan112 mengungkapkan lebih dalam lagi komentar atas reaksi dan sikap penerimaan Gereja-gereja atas dokumen Deklarasi Bersama ini. Pertama, dokumen Deklarasi Bersama memberikan bim­ bingan studi mengenai keselamatan sebagaimana dituangkan dalam Deklarasi Bersama dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam bimbingan katekisasi sidi dan program pendidikan bagi orang dewasa. Dokumen ini juga telah dipublikasikan ke umum baik melalui website maupun dengan menerjemahkannya ke dalam bahasa-bahasa daerah agar mudah dimengerti dan dipahami isinya. Di negara-negara Amerika Utara, misalnya dokumen ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis dan Inggris oleh Gereja Lutheran dan Gereja Katolik di Kanada, dan juga hal yang sama telah dilaksanakan di Amerika Serikat.113 Beberapa jemaat Gereja Evangelis Lutheran Amerika (Evangelical Lutheran Church of America [ELCA]) telah menjadikan Deklarasi Bersama ini sebagai bagian dari iman dan kehidupan mereka. Bahkan ELCA membuat satu minggu khusus dalam setahun yang memperingati Deklarasi Bersama, yakni pada setiap minggu pertama Oktober.114 Gereja lain yang menyambut baik Deklarasi Bersama ini adalah Sinode Upper Susquehanna di Pennsylvania. Mereka menyepakati memperingati Deklarasi Bersama sebagai ”Lutherans and Roman Catholics: Called to Unity” (Lutheran 109 Ibid. 110 Ibid . 111 Ibid., hlm. 2. 112 Darlis J.Swan, ”The Reception of the Joint Declaration on the Doctrine of Justification: A Report from the Lutheran World Federation”, Makalah pada Konsultasi The Joint Declaration on the Doctrine of Justification, Ohio: Colombus, 26 November - 1 Desember 2001, hlm. 3. 113 Lebih dalam dapat dilihat dalam Justification by Faith Through Grace: Joint Declaration on the Doctrine of Justification, yang diterbitkan oleh Konferensi Uskup Katolik Kanada dan Gereja Evangelis Lutheran di Kanada sebagai bahan pelajaran bagi jemaat dan pendeta-pendeta jemaat. 114 Darlis J. Swan, Op.Cit., hlm. 4



52  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman dan Gereja Katolik Roma: Dipanggil Menyatu) dalam empat minggu setiap Oktober dan pada minggu terakhir diperingati dalam ibadah bersama Lutheran dan Katolik. Kedua kelompok saling belajar tematema Deklarasi Bersama dan menyimpulkan bersama-sama hal-hal yang bisa dikerjakan secara bersama-sama dalam rangka mendukung persekutuan dan persaudaraan.115 Kedua, Deklarasi Bersama ini menciptakan pedoman dan sumbersumber ibadah dihubungkan dengan Deklarasi Bersama yang di­ adaptasikan pada Gereja lokal. Contoh dari ibadah ini terlihat pada saat ibadah penandatanganan Deklarasi Bersama ini. Sebab ibadah bersama memberikan bukti yang nyata atas penerimaan dokumen Deklarasi Bersama ini.116 Ketiga, Deklarasi Bersama ini mendesain pengertian yang mencer­ minkan sikap Gereja-gereja anggota menunjukkan bagaimana pene­ rimaan mereka atas dokumen Deklarasi Bersama ini dan selanjutnya diteruskan ke pusat informasi LWF. Misalnya saja, di Amerika Utara dilaksanakan dua kali konferensi yang disponsori oleh North American Academy of Ecumenists dalam 2000 dan 2001 yang membahas implikasi dokumen Deklarasi Bersama ini. Hasil dari konferensi ini telah dipublikasikan dalam Journal of Ecumenical Studies, 2001. LWF juga mensponsori sebuah konsultasi di Amerika Utara tahun 2002 yang membahas tentang pembenaran dan sosialisasi dokumen Deklarasi Bersama.117 Geoffrey Wainwright118, seorang teolog Methodist, sangat me­ nyam­but baik dokumen Deklarasi Bersama yang ditandatangani Lutheran - Katolik ini. Menurutnya, dokumen Deklarasi Bersama ini tidak begitu jauh berbeda dari hasil dialog yang telah dilaksanakan oleh Lutheran - Methodist dan Methodist - Katolik. Namun harus kita akui, di samping reaksi dan sambutan positif di atas pasti ada juga reaksi dan penerimaan yang negatif atas dokumen ini. Misalnya saja, sebuah diskusi yang hangat terjadi di Jerman, 115 Ibid. 116 Ibid. 117 Ibid., hlm. 5. 118 Geoffrey Wainwright, ”The Luhteran-Roman Catholic Agreement on Justification: Its Ecumenical Significance and Scope from a Methodist Point of View”, Makalah pada Konsultasi The Joint Declaration on the Doctrine of Justification, Ohio: Colombus, 26 November - 1 Desember 2001, hlm. 1.



Sejarah Deklarasi Bersama —



53



seperti pertemuan yang diprakarsai Frankfurter Algemeine Zeitung. Pada bulan Januari 1998 sebuah kelompok lebih dari 150 teolog yang dipimpin Gerhard Ebeling dan Eberhard Jungel, menandatangani pernyataan oposisi pada Deklarasi Bersama ini. Tetapi akhirnya, pada saat sinode Gereja-gereja Lutheran Jerman ternyata akhirnya mereka menerima Deklarasi Bersama ini melalui pemungutan suara. Para teolog tidak merasa puas, sehingga tahun 1999 lebih dari 250 teolog menandatangani sebuah dokumen memprotes dan melawan Deklarasi Bersama itu. Dari seluruh respons yang diterima LWF dari seluruh anggota-anggota LWF, maka pada bulan Juni 1998, LWF mengeluarkan respons resmi dari LWF terhadap deklarasi ini. Sementara di pihak Katolik, penerimaan deklarasi ini tidak sedramatik pihak Lutheran. Gereja Katolik juga mengeluarkan sikap resmi mereka terhadap deklarasi ini pada bulan Juni 1998. Tetapi respons Katolik ini tidak sepositif respons dari Gereja Lutheran,119 walaupun ada juga reaksi negatif dari kalangan Katolik terhadap dokumen Deklarasi Bersama ini, antara lain yang mengatakan bahwa dokumen Deklarasi Bersama ini sangat prematur dan mengandung penolakan terhadap Injil.120 5. Alasan-alasan Lutheran dan Katolik Membuat Deklarasi Bersama Ajaran Lutheran dan Gereja Katolik Roma sama-sama mengguna­ kan istilah ”pembenaran”, tetapi memberinya makna yang berbeda. Kita berhadapan dengan masalah semantik-eksegetis dalam hal ini. Ajaran Gereja Katolik Roma, seperti diformulasikan oleh dekrit Trente (ps. 4 dan 7) dan masih dipegang dalam Katekismus Gereja Katolik Roma, yaitu yang mengartikan pembenaran sebagai perubahan sta­tus dari orang berdosa menjadi anak Allah, yang meliputi juga trans­formasi hidup batin oleh Roh Kudus. Ajaran ini berakar pada pandangan Augustinus yang mengartikan ”pembenaran” se­bagai



119 Lih. Pernyataan resmi Katolik ini dalam Origins 28 (16 Juli 1998), hlm. 130-132; dalam http:// www.ewtn.com/library/CURIA/PCPULUTH.HTM; dan www.pcj.edu/journal, bdk. Anthony N.S.Lane, Op.Cit., hlm. 119-122; bdk. Jared Wicks, Op.Cit., hlm. 139-140. 120 Lih. ”Liberal Lutherans and Roman Catholics Agree to Deny the Gospel”, dalam www. wayoflife.org.



54  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman peristiwa ”dinyatakan benar” dan proses ”dibuat benar”.121 Pan­ dang­an Luther sendiri pada awalnya mencerminkan pandangan Augustinus ini, misalnya dalam kuliahnya mengenai surat Roma (1515-1516). Luther cenderung memahami pembenaran sebagai suatu proses ”menjadi”, yang berarti bahwa orang berdosa secara ber­­ angsur disesuaikan dengan keserupaan dengan Yesus Kristus me­ lalui proses pembaruan internal.122 Baru kemudian, agaknya di ba­ wah pengaruh Melanchthon, Luther memperlihatkan pemahaman foren­sik mengenai ajaran pembenaran, yakni bahwa orang berdosa divonis benar oleh Allah. Rumusan Deklarasi, misalnya mengartikan ”di­benar­kan” dalam arti ”dinyatakan benar dan bebas dari dosa ... ber­dasarkan kebenaran Kristus yang diperhitungkan Allah” (DB III: 17) Di sisi lain, Lutheran dan Katolik berkeyakinan yang sama bahwa pembenaran diberikan langsung kepada kita melalui cara khusus di dalam hati berdasarkan kesaksian Perjanjian Baru di mana Allah bertindak menyelamatkan manusia di dalam Kristus (DB III:17) Artinya, ajaran pembenaran bukanlah hanya merupakan kekhususan Lutheran atau Katolik, melainkan sangat relevan bagi semua orang Kristen dan Gereja Kristen. Hal inilah yang menjadi alasan pertama mengapa Gereja Lutheran dan Katolik membuat Deklarasi Bersama ini.123 Alasan kedua, karena ajaran pembenaran ini merupakan hal yang sangat penting bagi kesaksian orang Kristen dan pelayanannya di dunia ini. Melalui ajaran ini, kita dimampukan mengidentifikasikan apakah sebuah kesaksian atau praktik kehidupan kita itu merupakan kesaksian dan praktik hidup yang benar-benar Kristiani. Artinya, kesaksian orang Kristen itu tidak boleh kontra-produktif dengan kehidupan nyata. Oleh karena itulah Gereja Lutheran dan Katolik menandatangani Deklarasi Bersama ini.124



121 Bdk. Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, (terj.) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke 4, 2002), hlm. 141. 122 Ibid., hlm. 147. 123 Theodor Dieter, ”Joining in the Agreements Reached in the Joint Declaration on the Doctrine of Justification Procedural Aspects”, Makalah pada Konsultasi The Joint Declaration on the Doctrine of Justification, Ohio: Colombus, 26 November - 1 Desember 2001, hlm. 1. 124 Ibid., hlm. 1-2.



Sejarah Deklarasi Bersama —



55



Alasan ketiga, karena Gereja-gereja belum memiliki tolok ukur atau batu penguji bagi iman Kristen, sehingga Gereja-gereja sangat membutuhkan tolok ukur atau batu penguji iman tersebut. Dengan adanya tolok ukur ini maka Gereja-gereja akan bisa saling memahami satu dengan yang lainnya sebagai satu Tubuh di dalam Kristus. Artinya, dengan adanya Deklarasi Bersama ini, Gereja-gereja menjadi saling menghargai satu dengan yang lain. Gereja Lutheran memahami pemahaman iman Katolik, demikian juga Katolik dapat memahami iman Lutheran, sehingga kedua belah pihak sama-sama mengerti dan memahami ajaran yang diimani masing-masing pihak tanpa ada yang saling menuding dan menjelek-jelekkan.125 Dengan kata lain Deklarasi Bersama ini mampu menjelaskan pembenaran di dalam cara yang berbeda, tetapi saling mengisi dalam dasar pemahaman bersama.126 6. Pandangan Umum terhadap Deklarasi Bersama Berhubung oleh karena pertikaian antara Gereja Katolik Roma dan Lutheran berakar pada pemahaman ajaran pembenaran, maka yang sangat pokok dipertanyakan setelah penandatanganan Deklarasi Bersama ini adalah: Apakah Gereja Katolik Roma telah mengubah ajarannya tentang pembenaran sebagaimana dirumuskan pada konsili Trente? Apakah Gereja Reformasi Lutheran telah mengubah sikap teologisnya, di mana para reformator Lutheran selalu menekankan bahwa doktrin pembenaran oleh iman adalah dasar berdiri atau jatuhnya Gereja? (confussio articulus stantis et cadentis ecclesiae). Apakah kutukan-kutukan yang dikeluarkan masing-masing pihak, dan yang ditujukan kepada lawan bertikai, masih relevan dan masih berlaku? Jawabannya dapat ditemukan dalam Deklarasi Bersama ini. Dalam butir 7 Deklarasi Bersama dikatakan, Deklarasi Bersama ini di­ dasarkan pada keyakinan bahwa dalam mengatasi pertikaian dan doktrin pengutukan masa lalu, Gereja-gereja tidak dengan mudah menerapkan pengutukan itu, sekalipun tidak dapat memungkiri masa lalunya. Sebaliknya, deklarasi ini diupayakan dengan dasar pemahaman bahwa masing-masing pihak telah memasuki pandangan 125 Ibid., hlm. 2. 126 John Bookser Feister, ”Faith and Works: Catholics and Lutherans Find Agreement”, dalam www.americancatholic.org.



56  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman yang baru. Perkembangan itulah yang mengisyaratkan Gereja-gereja untuk menguji segala rumusan dan hukuman yang memecah Gereja dan melihatnya di dalam suatu terang yang baru.127 Dengan demikian, kedua belah pihak – Lutheran dan Gereja Katolik Roma – bergerak menuju perubahan dan berada pada posisi paradigma baru dalam memahami doktrin pembenaran itu. Adanya paradigma baru terhadap doktrin pembenaran itu juga dirumuskan dalam butir 13 Deklarasi Bersama. Dikatakan, penafsiran dan penerapan pesan alkitabiah tentang pembenaran adalah penyebab utama terjadinya perpecahan Gereja Barat pada abad ke 16, yang pada gilirannya mendorong Gereja mengeluarkan ajaran pengutukan. Oleh karena itu pemahaman bersama tentang pembenaran itu adalah sangat mendasar dan sangat dibutuhkan untuk mengatasi perpecahan tersebut. Melalui kajian yang tepat berdasarkan studi alkitabiah terakhir, sebagaimana digambarkan dalam penelitian sejarah teologi dan dogma modern, maka diadakanlah dialog ekumenis pasca-Vatikan II untuk mempertemukan para tokoh Gereja yang menaruh minat tentang doktrin pembenaran. Hasilnya adalah ditandatanganinya Deklarasi Bersama. Berdasarkan Deklarasi Bersama ini, maka pengutukan yang di­ lakukan Gereja pada abad ke-16, sepanjang berhubungan dengan doktrin pembenaran, dipahami secara baru: Doktrin Lutheran se­ bagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Bersama ini tidak berada di bawah pengutukan konsili Trente. Sebaliknya, pengutukan yang dijatuhkan Lutheran juga tidak dikenakan kepada ajaran Gereja Katolik Roma yang dimuat dalam Deklarasi Bersama ini.128 Secara jujur, Gereja Katolik Roma dan Lutheran mengakui bahwa mereka telah memperhatikan kembali kabar baik yang diberitakan Alkitab. Berdasarkan pemahaman Alkitab itu dan diskusi teologi akhir-akhir ini, mereka dapat sharing pemahaman tentang pembenaran, mencakup konsensus, perbedaan penjelasan-penjelasan, dan pernyataan khusus dari masing-masing pihak.129 Oleh karena itulah dalam Annex to the Official Common Statement (AOCS) LWF dan Gereja Katolik Roma kembali menekankan bahwa 127 Joint Declaration, hlm. 11. 128 Ibid., hlm. 14-15. 129 Ibid., hlm. 15.



Sejarah Deklarasi Bersama —



57



melalui Deklarasi Bersama itu telah dicapai suatu konsensus pe­ mahaman tentang doktrin pembenaran. Berdasarkan konsensus itulah ditemukan pemahaman bersama dan kemudian menjadi Deklarasi Bersama. Dengan demikian, yang menjadi pokok dari Deklarasi Bersama ini adalah adanya pemahaman bersama tentang doktrin pembenaran, sesuai dengan pesan dan kesaksian Alkitab. Di samping itu, ada yang berupa konsensus, yaitu hal-hal yang perlu dijelaskan secara khusus, baik oleh pihak Gereja Katolik Roma maupun oleh Gereja Lutheran, yaitu menyangkut tafsiran, penjelasan dan respons terhadap kesaksian Alkitab tentang pembenaran tersebut. Oleh karena itu dalam memahami Deklarasi Bersama ini harus diperhatikan pokokpokok yang disepakati bersama dan penjelasan masing-masing pihak tentang pokok-pokok yang disepakati tersebut.



59



Bab III Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Setelah memahami sejarah lahirnya dokumen Deklarasi Bersama ten­tang Ajaran Pembenaran di atas, pada bab ini kita akan menganalisa dan mengeksegese dokumen Deklarasi Bersama tersebut, agar kita dapat memahami dan mengerti lebih dalam isi dokumen itu dan apa makna dokumen Deklarasi Bersama dalam perjalanan sejarah doktrin Gereja-gereja Lutheran dan Katolik. 1. Teks Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran Untuk dapat menganalisa dokumen Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran oleh Iman ini, di bawah ini disajikan dokumen tersebut dalam terjemahan bahasa Indonesia. Namun tidak semua isi dokumen tersebut dituangkan dalam terjemahan. Yang diterjemahkan dalam bagian ini hanya isi dokumen Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran tanpa menerjemahkan Sumber-sumber untuk Deklarasi Bersama tentang ajaran pembenaran. Sedangkan dua dokumen lainnya tidak diterjemahkan, yaitu: Pernyataan Resmi Bersama dan Tambahan pada Pernyataan Resmi Bersama.



60  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman DEKLARASI BERSAMA TENTANG AJARAN PEMBENARAN130 Pembukaan 1) Ajaran tentang pembenaran adalah bagian terpenting bagi Reformasi Lutheran pada abad ke-16. Ajaran ini dipertahankan sebagai ”pasal yang pertama dan terutama”131 dan serentak dengan itu sebagai ”pengemudi serta hakim terhadap seluruh ajaran Kristen lainnya”.132 Secara khusus, ajaran tentang pem­benaran menurut rumusan para reformator dinyatakan dan dipertahankan dalam rangka menilai Gereja Katolik Roma dan teologi pada zaman itu; pada saat yang sama Gereja Katolik Roma juga mempertegas dan mempertahankan suatu ajaran tentang pembenaran dengan ciri yang berbeda. Dari sudut pandang reformasi, pembenaran merupakan inti dari seluruh perdebatan-perdebatan lainnya. Di dalam Pengakuan-pengakuan Lutheran133 dan oleh putusan Konsili Trente yang diadakan Gereja Katolik Roma, dirumuskanlah kutukan-kutukan. Kutukan itu masih berlaku hingga hari ini dan berpengaruh pada terpisahnya kedua Gereja tersebut. 2) Ajaran tentang pembenaran mempunyai tempat sangat khusus dalam tradisi Lutheran. Itulah sebabnya ajaran ini sejak semula menjadi bagian terpenting dalam dialog-dialog resmi antara Gereja Lutheran dan Katolik. 3) Sebagian dari laporan dialog-dialog tersebut perlu diper­ hatikan secara khusus seperti: percakapan tentang ”Injil dan Gereja” (1972)134 dan ”Gereja dan Pembenaran” (1994)135 yang dilaku­ 130 Naskah dalam bahasa Indonesia ini diambil dari terjemahan sementara dari pihak Lutheran untuk disetujui bersama oleh Keuskupan Agung Medan dan Komite Nasional (KN) – Lutheran World Federation (LWF) Indonesia dalam Seminar Sehari Lutheran – Katolik dalam rangka perayaan 5 tahun Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran antara LWF dan Gereja Katolik Roma, 30 Oktober 2004 di STFT St. Yohanes, Sinaksak Pematangsiantar, yang kemudian disunting oleh penulis untuk kepentingan penulisan tesis ini. 131 Pasal-pasal Smalkalden, II,1; Buku Konkord: Konfesi Gereja Lutheran, hlm. 371. 132 ”Rector et judex super omnia genera doctrinarum” Edisi Weimar untuk Karya Luther (WA), 39, I, 205. 133 Perlu dicatat bahwa beberapa Gereja-gereja Lutheran hanya memasukkan Konfessi Augsburg dan Katekhismus Kecil dari Martin Luther di antara konfesi-konfesi mereka. Naskah-naskah tersebut tidak memuat kutukan-kutukan pada Gereja Katolik Roma. 134 Laporan dari The Joint Lutheran-Roman Catholic Study Commision, terbitan Growth in Agreement, (New York: Geneva 1984), hlm. 168-189. 135 Diterbitkan oleh The Lutheran World Federation (Geneva, 1994).



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



61



kan oleh Komisi Bersama Lutheran - Katolik Roma; dialog tentang ”Pembenaran oleh Iman” (1983)136 yang diadakan di Amerika Serikat dan tentang ”Kutukan atas dasar ajaran pada masa reformasi – masihkah menimbulkan perpisahan?” (1986)137 yang dilaksanakan oleh Kelompok Kerja ekumenis teolog Lutheran dan Katolik di Jerman. Beberapa laporan dialog-dialog tersebut telah disambut secara resmi oleh Gereja. Salah satu contoh penting darinya adalah pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Persekutuan Gerejagereja di Jerman pada 1994. Pernyataan itu berisi pengakuan gerejawi pada tingkat tertinggi terhadap Pengkajian atas Kutukankutukan.138 4) Seluruh laporan dialog tersebut dan juga pernyataan-per­ nyataan yang muncul sebagai tanggapan padanya menunjukkan bahwa cara pembahasan dan kesimpulan-kesimpulan yang dibuat tentang ajaran tentang pembenaran itu, semuanya sangat sesuai. Oleh karena itu sudah saatnyalah kini mengambil kesimpulan dan meringkaskan hasil dialog-dialog tentang pembenaran itu, sehingga Gereja-gereja kita dapat memperoleh informasi tentang hasil-hasil menyeluruh dengan tepat dan bijaksana, sehingga Gereja selanjutnya dimampukan untuk mengutarakan pendapatnya. 5) Hal itulah yang dimaksud Deklarasi Bersama ini, yaitu untuk menunjukkan bahwa atas dasar dialog-dialog yang telah mereka adakan tersebut, dapatlah Gereja-gereja Lutheran yang turut menandatanginya dengan Gereja Katolik Roma139 mengemukakan pemahaman bersama tentang pembenaran kita oleh anugerah Allah melalui iman akan Kristus. Pemahaman bersama itu tentunya tidak akan memuat semua ajaran Gereja 136 Lutheran and Catholic in Dialog, VII (Minneapolis, 1985). 137 Minneapolis, 1990. 138 ”Gemeinsame Stellungnahme der Arnoldshainer Konferenz, der Vereinigten Kirche und des Deutschen Nationalkomitees des Lutherischen Weltbundes zum Dokument ‘Lehrverurteilungen – kirchentrennend?’” Őkumenische Rundschau 44 (1995): hlm. 99-102. Lihat juga ceramah pendahuluan yang mendasari resolusi ini, bdk. Lehrverurteilungen im Gesprāch, Die ersten offiziellen Stellungnahmen aus den evangelischen Kirchen in Deutschland (Göttingen: Vandenhoeck & Ruprecht, 1993). 139 Kata ”gereja” digunakan dalam deklarasi ini untuk mencerminkan pemahaman pribadi Gereja-gereja yang terlibat di sini, tanpa bermaksud memecah masalah-masalah eklesiologis yang berkaitan dengan terminologi ini.



62  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman tentang pembenaran; tetapi mencakup suatu persetujuan akan kebenaran dasar dari ajaran pembenaran dan menununjukkan bahwa perbedaan-perbedaan lainnya dalam hal penerapannya, tidak lagi menjadi alasan untuk kutukan-kutukan dogmatis. 6) Deklarasi kita ini bukanlah suatu penguraian yang baru dan berdiri sendiri lepas dari laporan dan dokumen-dokumen dari dialog yang lalu dan bukan juga merupakan penggantinya, tetapi sebagaimana dinyatakan oleh sumber-sumber terlampir, Deklarasi ini selalu menunjuk pada laporan-laporan dan dokumendokumen itu dan menggunakan argumentasi-argumentasinya. 7) Sama seperti dialog-dialog tersebut, Deklarasi Bersama ini juga yakin bahwa untuk mengatasi masalah-masalah yang menjadi perdebatan dan kutukan-kutukan pada masa lalu, Gereja tentunya tidak menganggap remeh kutukan-kutukan itu dan juga tidak memungkiri masa lalunya. Sebaliknya, Deklarasi Bersama ini dibentuk oleh keyakinan, bahwa Gereja kita meng­ alami perkembangan pandangan dalam perjalanan sejarah. Perkembangan yang terjadi tidak hanya memberi kemungkinan, tetapi juga menantang Gereja-gereja untuk mengkaji kutukankutukan serta masalah-masalah yang selama ini membawa pe­ misahan, dan melihatnya dari sudut pandang yang baru. Pasal 1. Pemberitaan Alkitabiah tentang Pembenaran 8) Cara kami yang sama dalam mendengar firman Allah da­ lam Alkitab telah membimbing kami pada sudut pandang yang baru itu. Kita bersama-sama mendengar kabar sukacita, ”Ka­ rena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3: 16). Berita sukacita ini disampaikan lagi dengan berbagai cara di dalam Kitab Suci. Dalam Perjanjian Lama (PL) kita mendengar firman Allah tentang keberdosaan ma­ nusia (Mzm 51: 1-5; Dan 9: 5 dab, Pkh 8: 9 dab; Ezr 9: 6 dab) dan ke­tidaktaatan manusia (Kej 3: 1-19; Neh 9: 16 dab, 26) dan juga tentang ”kebenaran” Allah (Yes 46: 13; 51: 5-8; 56: 1 [bdk. 53: 11];



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



63



Yer 9: 24) dan ”penghakiman” (Pkh 12: 14; Mzm 9: 5 dab; 76: 7-9). 9) Dalam Perjanjian Baru (PB) terdapat tema yang berbeda tentang ”kebenaran” dan ”pembenaran”, seperti dalam Injil Matius (5: 10; 6: 33; 21: 32), Yohanes (16: 8-11), surat Ibrani (5: 1-3; 10: 37-38), dan Yakobus (2: 14-26).140 Di dalam surat-surat Paulus juga anugerah karena keselamatan diuraikan dengan berbagai cara, antara lain: ”Kristus telah membenarkan kita” (Gal 5: 1-13; bdk. Rm 6: 7), ”diperdamaikan dengan Allah” (2 Kor 5: 18-21; bdk. Rm 5: 11), ”berdamai dengan Allah” (Rm 5: 1), ”ciptaan baru” (2 Kor 5: 17), ”Hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus” (Rm 6: 11, 23) atau ”dikuduskan dalam Kristus Yesus” (lih. 1 Kor 1: 2; 1: 31; 2 Kor 1: 1). Tema paling menentukan dalam hal ini adalah ”pembenaran” manusia berdosa oleh anugerah Allah melalui iman (Rm 3: 23-25), yang merupakan tema penting dalam zaman Reformasi. 10) Paulus menguraikan Injil sebagai kekuatan Allah untuk keselamatan bagi orang yang jatuh di bawah kuasa dosa, sebagai pemberitaan yang menyampaikan bahwa ”kebenaran Allah yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman” (Rm 1: 16-17) dan yang menganugerahkan ”pembenaran” (Rm 3: 2131). Dia memberitakan Kristus sebagai ”kebenaran kita” (1 Kor 1: 30); melalui pemberitaan ini Paulus mengenakan pemberitaan Yeremia tentang Allah sendiri (Yer 23: 6) pada Yesus yang bangkit. Seluruh segi-segi karya keselamatan-Nya berakar dalam kematian dan kebangkitan Kristus, sebab Dialah ”Tuhan kita, yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan karena pembenaran kita” (Rm 4:25). Seluruh manusia membutuhkan kebenaran Allah, ”Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rm 3: 23; bdk. Rm 1: 18 3: 22; 11: 32; Gal 3: 22). Dalam surat kepada jemaat Galatia (3: 26) dan kepada jemaat Roma (4: 3-9), Paulus memahami iman 140 Bdk. Laporan Malta, alinea 26-30; Justification by Faith, alinea 122-147. Atas permintaan dialog di Amerika Serikat tentang Pembenaran, ayat-ayat PB di luar surat-surat Paulus disampaikan dalam ”Righteousness in the New Testament, oleh John Reumann, dengan tanggapan dari Joseph A.Fitzmyer dan Jerome D.Quinn (Philadelphia dan New York: 1982), hlm. 124-180. Hasil studi ini diringkaskan dalam laporan ”Justification by Faith” dalam alinea 139-142.



64  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Abraham (Kej 15: 6) sebagai iman pada Allah yang membenarkan orang berdosa dan dia menunjuk pada kesaksian PL untuk menggarisbawahi kabar baik yang Paulus sampaikan, bahwa kebenaran ini akan diperhitungkan bagi semua orang yang seperti Abraham percaya janji Allah karena ”orang benar itu akan hidup oleh percayanya” (Hab 2: 4; bdk. Gal 3: 11; Rm 1: 17). Dalam suratnya, Paulus memberitakan bahwa kebenaran Allah adalah juga kekuatan bagi mereka yang beriman (Rm 1: 17; 2 Kor 5: 21). Di dalam Kristuslah kebenaran mereka (2 Kor 5: 21). Pembenaran menjadi bagian kita melalui Kristus Yesus yang ”telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya” (Rm 3: 25; lih. 3: 21-28). ”Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri” (Ef 2: 8-9). 11) Pembenaran adalah pengampunan dosa (bdk. Rm 3: 2325; Kis. 13: 39; Luk 18: 14), pembebasan dari kungkungan kuasa dosa dan kematian (Rm 5: 12-21) dan dari kutukan karena Taurat (Gal 3: 10-14). Pembenaran adalah penerimaan masuk pada persekutuan dengan Allah yang sudah berlaku kini, namun akan disempurnakan dalam Kerajaan Allah yang akan datang (Rm 5: 1-2). Pembenaran menyatukan kita dengan Kristus dan dengan kematian serta kebangkitan-Nya (Rm 6: 5). Penyatuan ini terjadi di saat seseorang menerima Roh Kudus pada waktu baptisan dan yang memungkinkan masuk ke dalam satu Tubuh (Rm 8: 1-2, 9-11; 1 Kor 12: 12-13). Semuanya ini berasal hanya dari Allah, demi Kristus, oleh anugerah melalui iman dalam ”Injil tentang Anak Allah” (Rm 1: 1-3). 12) Hidup yang dibenarkan oleh iman datang dari firman Allah (Rm 10: 17), menjadi nyata dalam kasih (Gal 5: 6) dan dalam buah Roh (Gal 5: 22). Namun karena orang-orang yang dibenarkan digoda dari dalam dan dari luar oleh berbagai kuasa dan keinginan-keinginan (Rm 8: 35-39; Gal 5: 16-21) sehingga jatuh dalam dosa (1 Yoh 1: 8, 10), mereka harus senantiasa mendengar janji-janji Allah secara baru, mengakui dosa-dosa mereka (1 Yoh 1: 9), mengambil bagian dalam darah dan tubuh Kristus,



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



65



dan dianjurkan untuk hidup dengan benar berpadanan dengan kehendak Allah. Itulah sebabnya rasul menganjurkan pada orang yang dibenarkan: ”karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu, baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya” (Flp. 2: 12-13). Namun demikian berita sukacita ini tetap berlaku: ”sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus” (Rm 8: 1), dan bahwa Kristus hidup di dalam mereka (Gal 2: 20); dan bahwa Kristus adalah ”kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup” (Rm 5: 18). Pasal 2. Ajaran Pembenaran sebagai Masalah Ekumenis 13) Penyebab utama perpecahan dalam Gereja Barat pada abad keenambelas adalah tafsiran dan penerapan yang berbeda terhadap pemberitaan alkitabiah tentang pembenaran. Itu jugalah yang mengakibatkan munculnya kutukan-kutukan. Oleh karena itu, suatu pemahaman akan pembenaran sangatlah mendasar dan tidak dapat ditawar-tawar untuk mengatasi perpecahan ini. Melalui penggunaan pandangan-pandangan yang dihasilkan oleh penelitian alkitabiah masa kini dan juga penelitian modern tentang sejarah teologi dan dogma, terciptalah pendekatan yang sangat penting tentang ajaran pembenaran dalam dialog ekumenis sesudah Vatikan II. Buahnya terlihat dalam keberhasilan Deklarasi Bersama untuk merumuskan suatu kesepakatan akan kebenarankebenaran dasariah tentang ajaran pembenaran. Dari sudut pandang kesepakatan ini, kutukan-kutukan yang digunakan pada abad keenambelas, kini tidak lagi digunakan pada kedua belah pihak. Pasal 3. Pemahaman Bersama atas Pembenaran 14) Gereja-gereja Lutheran dan Gereja Katolik Roma senan­ tiasa dengar-dengaran pada kabar gembira yang diberitakan dalam Kitab Suci. Kesediaan mendengar seperti itu, bersama dengan percakapan teologis pada tahun-tahun belakangan ini,



66  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman memungkinkan adanya pemahaman bersama akan ajaran pem­ benaran. Pemahaman ini mencakup kesepakatan dalam kebenar­ an-kebenaran dasariah; kalaupun ada penguraian lanjutan yang berbeda dalam pernyataan-pernyataan yang lebih terperinci, semuanya itu dapat dipersatukan dengan kebenaran dasariah ini. 15) Kami bersama-sama mengakui bahwa pembenaran adalah karya Allah Tritunggal. Allah Bapa mengutus anak-Nya ke dunia ini untuk menyelamatkan orang berdosa. Dasar dan syarat pembenaran adalah inkarnasi, kematian, dan kebangkitan Kristus. Oleh karena itu, pembenaran berarti bahwa Kristus sendiri adalah kebenaran kita; dan kita mengambil bagian dengan kebenaran ini melalui Roh Kudus sesuai dengan kehendak Bapa. Kami bersama-sama mengakui: hanya oleh anugerah, dalam iman akan karya penyelamatan Kristus dan bukan karena perbuatan kita, kita diterima oleh Allah dan diterima oleh Roh Kudus, yang memperbarui hati kita serta memampukan dan memanggil kita untuk perbuatan-perbuatan baik.141 16.) Seluruh manusia dipanggil oleh Allah untuk keselamatan di dalam Kristus. Melalui Kristus sendirilah kita dibenarkan, pada saat kita menerima keselamatan ini dalam iman. Iman itu sendiri pun adalah anugerah Allah melalui Roh Kudus yang bekerja melalui firman dan sakramen di dalam persekutuan orang percaya, melalui Roh Kudus yang pada saat yang sama memimpin orang-orang percaya ke dalam pembaruan hidup itu yang Allah akan pimpin pada kepenuhannya di dalam kehidupan yang kekal. 17) Kami juga bersama-sama mengakui bahwa pemberitaan ajaran pembenaran mengarahkan kita pada jalan khusus menuju pusat kesaksian Perjanjian Baru, yaitu karya keselamatan Allah dalam Kristus: ini menjelaskan pada kita bahwa sebagai orang berdosa, hidup kita yang baru itu hanyalah karena pengampunan dan anugerah yang memberi pembaruan, yang Allah berikan bagi kita sebagai anugerah dan kita menerimanya dalam iman, tetapi 141 ”All Under One Christ”, alinea 14, dan dalam Growth in Agreement, hlm. 241-247.



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



67



kita tidak pernah memperoleh hidup seperti itu dengan cara apa pun. 18) Oleh karena itu ajaran pembenaran, yang mengemban dan memperkembang berita tersebut, lebih dari hanya suatu ajaran Kristen saja. Dia secara nyata mempunyai hubungan dengan seluruh kebenaran-kebenaran iman, yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dalam dirinya sendiri. Dia adalah suatu ukuran yang secara terus-menerus mengarahkan keseluruhan ajaran dan karya Gereja pada Kristus. Jika kaum Lutheran menekankan makna khusus dari ukuran ini, mereka tidak menolak keterkaitan dan makna dari seluruh kebenaran-kebenaran iman. Bila kaum Katolik melihat dirinya sendiri tunduk dari beberapa kriteria, mereka tidak menolak kegunaan yang khusus dari pesan pembenaran. Kaum Lutheran dan Katolik mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengaku Kristus, yang melampaui segalanya dipercaya sebagai satu-satunya Perantara (1 Tim 2: 5-6) yang melaluinya Allah dalam Roh Kudus memberikan diri-Nya sendiri dan mencurahkan anugerah-Nya yang memberi pembaruan. Pasal 4. Pengembangan Pemahaman Bersama tentang Pembenaran 4.1 Ketidakberdayaan Manusia dan Dosa dalam Kaitan dengan Pembenaran 19) Kami bersama-sama mengakui bahwa setiap orang, dalam rangka keselamatannya, tergantung sepenuhnya pada anugerah penyelamatan Allah. Kebebasan yang dia miliki dalam kaitan dengan manusia dan segala apa yang ada di dunia ini, bukanlah kebebasan yang berkaitan dengan keselamatan, sebab sebagai orang berdosa mereka berada di bawah penghakiman Allah dan dari dirinya sendiri tidak mampu untuk berbalik pada Allah untuk memperoleh kelepasannya, untuk memperoleh pembenaran mereka di hadapan Allah, atau mengusahakan keselamatan melalui kemampuan sendiri. Pembenaran terjadi hanya karena anugerah. Karena Katolik dan Lutheran mengaku hal ini secara bersama, maka patutlah dikatakan:



68  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman 20) Ketika Katolik mengatakan bahwa manusia ”turut bekerja sama” dalam mempersiapkan dan menerima pembenaran me­ lalui persetujuannya akan karya Allah yang membenarkan, mereka melihat persetujuan pribadi seperti itu sebagai akibat dari anugerah, bukan sebagai tindakan yang muncul dari kemampuan batin manusiawi. 21) Menurut ajaran Lutheran, manusia tidak mampu untuk turut mengusahakan keselamatannya, sebab sebagai orang ber­ dosa, mereka dari dirinya sendiri melawan Allah dan tindakan keselamatan-Nya. Kalau mereka menekankan bahwa manusia hanya dapat menerima (secara pasif) pembenaran, melaluinya mereka mau menyatakan bahwa tidak ada kemungkinan manusia untuk turut serta membantu usaha pembenarannya, namun tidak menolak bahwa orang-orang percaya sepenuhnya terlibat secara pribadi dalam iman mereka, yang muncul karena Firman Allah. 4.2 Pembenaran sebagai Pengampunan Dosa dan Membuat Jadi Benar 22) Kami bersama-sama mengaku bahwa Allah mengampuni dosa melalui anugerah dan pada saat yang sama membebaskan manusia dari kuasa dosa yang selama ini memperbudak manusia dan memberikan anugerah hidup baru dalam Kristus. Bila manusia dalam iman mengambil bagian dalam Kristus, Allah tidak memperhitungkan dosa-dosanya dan melalui Roh Kudus Allah menumbuhkan dalam diri mereka karya kasih. Kedua segi dari anugerah Allah ini tidaklah dilihat terpisah, sebab seseorang melalui iman dipersatukan dalam Kristus, yang pada Diri-Nya sendiri adalah pembenaran kita (1 Kor 1: 30): baik pengampunan dosa maupun kehadiran Allah yang menyelamatkan. Karena Gereja Katolik dan Lutheran mengakui hal ini bersama-sama, maka dapatlah dikatakan hal berikut ini: 23) Jika Gereja Lutheran menekankan bahwa kebenaran Kristus adalah kebenaran kita, mereka ingin secara khusus menekankan, bahwa orang berdosa dianugerahi kebenaran di hadapan Allah di dalam Kristus melalui pernyataan pengampunan dosa, dan bahwa hanya di dalam kesatuan dengan Kristuslah hidup ma­ nusia diperbarui. Kalau mereka menekankan bahwa anugerah



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



69



Allah adalah kasih yang mengampuni (”kemurahan Allah”),142 melaluinya mereka tidak menolak pembaruan hidup orang Kristen. Malah mereka ingin menyatakan bahwa pembenaran tetap lepas dari usaha manusia dan tidak tergantung pada buahbuah pembaruan hidup baru yang ada dalam diri manusia, yang berasal dari anugerah itu. 24) Jika Gereja Katolik Roma menekankan pembaruan ma­ nusia ke dalam dirinya melalui penerimaan akan rahmat yang diberikan padanya sebagai anugerah bagi orang percaya,143 me­ reka ingin menekankan bahwa anugerah pengampunan Allah selalu membawa anugerah hidup baru, yang di dalam Roh Kudus menjadi nyata dalam karya kasih. Melaluinya mereka tidak menolak bahwa pemberian Allah akan rahmat dalam pembenaran tetap lepas dari karya manusia. 4.3 Pembenaran oleh Iman dan melalui Anugerah 25) Kami bersama-sama mengaku, bahwa orang-orang berdosa dibenarkan oleh iman dalam karya penyelamatan Allah di dalam Kristus. Melalui karya Roh Kudus dalam baptisan, mereka dilimpahi dengan anugerah keselamatan; itulah yang menjadi dasar bagi keseluruhan hidup kristiani. Mereka menaruh kepercayaan mereka pada janji anugerah Allah dalam pembenaran iman, yang di dalamnya termasuk harapan akan Allah dan kasih pada-Nya. Iman yang demikian berkarya dalam kasih, sehingga orang Kristen tidak dapat dan juga seharusnya tidak tinggal diam tanpa perbuatan. Tetapi segala sesuatu yang bagi orang yang dibenarkan merupakan persyaratan ataupun buah dari anugerah iman, tidak akan pernah menjadi dasar pembenaran dan tidak pernah dapat diusahakan. 26) Menurut pemahaman Gereja Lutheran, Allah membenarkan orang berdosa karena iman semata (sola fide). Di dalam iman mereka menaruh percaya sepenuhnya akan Pencipta dan Pene­ bus mereka dan dengan demikian hidup dalam persekutuan dengan-Nya. Allah sendirilah yang menyebabkan munculnya 142 Bdk. WA 8:106; Edisi Amerika 32:227. 143 Bdk. Denzinger-Schönmetzer, Enchiridion symbolorum … 1528.



70  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman iman, pada saat Dia menimbulkan kepercayaan yang demikian melalui firman-Nya yang penuh daya cipta. Karena karya Allah adalah ciptaan baru, maka seluruh segi-segi dalam diri manusia dipengaruhi dan dipimpin menuju suatu hidup yang penuh pengharapan dan kasih. Dalam ajaran tentang ”dibenarkan oleh iman semata”, dibuatlah pembedaan, namun bukan pemisahan, antara pembenaran itu sendiri dengan pembaruan jalan hidup seseorang yang diakibatkan oleh pembenaran itu dan yang tanpa itu iman tidak ada. Dengan demikian dasar itu ditunjukkan, yang darinya hidup yang diperbarui muncul; dasar itu keluar dari kasih Allah yang dianugerahkan pada orang yang dibenarkan. Pembenaran dan pembaruan dipersatukan di dalam Kristus, yang hadir dalam iman. 27) Pemahaman Gereja Katolik Roma juga melihat iman sebagai suatu yang mendasar dalam pembenaran. Sebab tanpa iman tidak akan terdapat pembenaran. Seseorang dibenarkan melalui baptisan sebagai pendengar firman dan yang percaya akan firman itu. Pembenaran orang berdosa adalah pengampun­ an dosa dan dijadikan benar oleh rahmat yang membenar­kan, yang membuat kita menjadi anak-anak Allah. Dalam pem­ benaran, orang yang dibenarkan itu menerima dari Kristus iman, pengharapan, dan kasih dan dengan demikian dipersatukan dengan-Nya.144 Hubungan pribadi dengan Allah ini didasarkan sepenuhnya pada kemahamurahan Allah tetap tergantung pada karya keselamatan yang penuh daya cipta yang berasal dari rahmat Allah yang tetap setia, sehingga seseorang dapat menyandarkan diri pada-Nya. Oleh karena itu, anugerah yang membenarkan itu tidak pernah menjadi milik manusia untuk digunakan membela dirinya di hadapan Allah. Bila Gereja Katolik Roma menekankan pembaruan hidup melalui rahmat yang membenarkan, pembaruan dalam iman, harap, dan kasih ini selalu tergantung para rahmat Allah yang tanpa alasan itu, dan pembaruan hidup ini tidak mengakibatkan pembenaran dan inilah yang disyukuri orang di hadapan Allah (Rm 3:27).



144 Bdk. DS 1530.



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —







71



4.4 Orang Berdosa yang Dibenarkan 28) Kami bersama-sama mengakui bahwa dalam baptisan Roh Kudus mempersatukan manusia dengan Kristus, membenarkan dan memperbarui orang itu sepenuhnya. Tetapi orang yang dibe­ narkan harus dalam keseluruhan hidupnya senantiasa bergantung pada rahmat Allah yang membenarkan dan tanpa syarat itu. Rahmat ini tanpa henti-hentinya mendapat perlawanan dari kuasa dosa yang masih melancarkan serangannya (bdk. Rm 6:12-14) dan tidak dibebaskan dari pergumulan sepanjang hayat melawan pertentangan pada Allah dalam keinginan dari Adam yang lama (bdk. Gal 5:16; Rm 7:7-10). Orang yang dibenarkan harus memohon setiap hari pada Allah pengampunan dosa dalam Doa Bapa Kami (Mat 6: 12; 1 Yoh 1: 9), dan selalu dipanggil untuk pengakuan dan penyesalan dan selalu dianugerahi pengampunan dosa. 29) Gereja Lutheran memahami keberadaan orang Kristen sebagai orang yang ”serentak benar dan berdosa”. Orang-orang percaya sepenuhnya benar, karena Allah mengampuni dosa-dosa mereka melalui firman dan sakramen dan menganugerahkan kebenaran Kristus yang mereka miliki dalam iman. Di dalam Kristus mereka dinyatakan benar di hadapan Allah. Bila mereka melihat diri mereka melalui Taurat, mereka juga menyadari bahwa mereka tetap sebagai orang yang berdosa sepenuhnya. Dosa masih tinggal di dalam diri mereka (1 Yoh 1: 8; Rm 7: 17, 20), sebab mereka berulang-ulang berbalik pada ilah-ilah palsu dan tidak mengasihi Allah dengan kasih yang tak terbagi yang Allah sebagai Pencipta tuntut dari mereka (Ul 6: 5; Mat 22: 36-40). Pertentangan dengan Allah ini adalah benar-benar dosa. Namun demikian, kuasa dosa yang memperbudak ini dihancurkan atas dasar pemilikan orang percaya akan Kristus. Dosa tidak lagi ”memerintah” orang Kristen, sebab mereka sendiri ”dikuasai” oleh Kristus, dan orang yang dibenarkan terikat pada Kristus di dalam iman. Kemudian dalam hidup seperti ini orang Kristen dipimpin pada hidup yang benar. Meskipun berdosa, orang Kristen tidak lagi terpisah dari Allah, sebab setiap hari mereka kembali pada baptisan, karena orang yang sudah dilahirkan kembali oleh baptisan dengan Roh Kudus telah diampuni dari



72  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman dosa-dosa ini. Oleh karena itu, dosa ini tidak lagi membawa kutuk dan kematian yang kekal.145 Oleh karena itu, bila Gereja Lutheran mengatakan bahwa orang yang dibenarkan adalah juga orang yang berdosa dan bahwa perlawanan mereka pada Allah adalah memang benar-benar dosa, mereka tidak menolak bahwa, meskipun karena adanya dosa ini, mereka tidak terpisah dari Allah dan dosa ini adalah dosa yang sudah ”dikuasai”. Dalam pernyataan seperti ini, mereka setuju dengan Gereja Katolik Roma, meskipun terdapat perbedaan dalam pemahaman akan dosa dan pembenaran. 30. Gereja Katolik Roma meyakini bahwa anugerah Yesus Kristus yang diberikan dalam baptisan melenyapkan apa yang benar-benar dosa ”dalam pengertian sebenarnya” dan ”layak menerima penghukuman” (Rm 8:1).146 Namun dalam diri manusia itu tetap tinggal kecenderungan yang datang dari dosa dan selalu ditundukkan pada dosa. Karena, sesuai dengan keyakinan Gereja Katolik Roma, dosa manusia selalu melibatkan unsur pribadi dan karena unsur ini selalu memunculkan kecenderungan tersebut, Gereja Katolik Roma tidak melihat kecenderungan ini sebagai dosa dalam arti yang asli. Melaluinya mereka tidak menolak bahwa kecenderungan ini tidak berhubungan dengan rencana Allah yang semula tentang kemanusiaan ini, dan bahwa kecenderungan itu pada dasarnya bertentangan dengan Allah dan tetap musuh seseorang dan orang itu akan terus bergumul dengannya sepanjang hidupnya. Bersyukur atas pelepasan oleh Kristus, mereka ingin menekankan bahwa kecenderungan yang selalu bertentangan dengan Allah tersebut tidak membawa penghakiman dan kematian kekal147 dan tidak memisahkan orang yang dibenarkan dari Allah. Tetapi bila seseorang secara sengaja memisahkan diri dari Allah, tidaklah cukup dengan hanya melakukan Taurat, sebab mereka harus menerima peng­ ampunan dan dialami dalam sakramen pendamaian melalui



145 Bdk. Apologi II: 38-45; Buku Konkord, hlm.99-100. 146 Bdk. DS 1515. 147 Bdk. DS 1515.



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



73



firman pengampunan dosa yang dianugerahkan bagi mereka berdasarkan karya pendamaian Allah di dalam Kristus.



4.5 Taurat dan Injil 31) Kami bersama-sama mengakui bahwa orang dibenarkan oleh iman dalam Injil ”Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat” (Rm 3:28). Kristus telah memenuhi Taurat, dan melalui kematian dan kebangkitan-Nya Dia telah menyelesaikannya sebagai suatu jalan menuju keselamatan. Kami juga mengakui bahwa perintah-perintah Allah tetap berlaku bagi orang-orang yang dibenarkan, dan bahwa Kristus telah menyatakan kehendak Allah melalui ajaran dan teladan yang Kristus berikan. Perintah Allah ini jadinya menjadi ukuran bagi kehidupan orang percaya juga. 32) Gereja-gereja Lutheran menyatakan bahwa pembedaan dan urutan yang benar dari Taurat dan Injil sangatlah penting dalam pemahaman akan pembenaran. Makna teologis Taurat adalah tuntutan dan dakwaan. Di sepanjang hidup mereka, seluruh manusia termasuk orang Kristen, karena mereka semua adalah orang berdosa, berada di bawah dakwaan ini dan dosa mereka menjadi nyata; dengan demikian di dalam iman akan Injil itu mereka tanpa ragu-ragu berbalik pada pengasihan Allah di dalam Kristus, yang merupakan satu-satunya pembenaran mereka. 33) Karena Taurat sebagai jalan menuju keselamatan telah dipenuhi dan diatasi melalui Injil, umat Katolik dapat mengatakan bahwa Kristus bukanlah pemberi Taurat seperti halnya Musa. Jika Gereja Katolik Roma menekankan bahwa orang benar terikat untuk melaksanakan perintah Allah, tidaklah dimaksudkan bahwa dengan mengatakan itu mereka menolak bahwa melalui Yesus Kristuslah Allah menjanjikan pada anak-anak-Nya anugerah hidup yang kekal.148



148 Bdk. DS 1545.



74  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman



4.6 Kepastian Keselamatan 34) Kami bersama-sama mengakui bahwa orang beriman dapat mengandalkan anugerah dan janji-janji Allah. Di dalam kelemahan dan ancaman yang berat bagi iman mereka, atas dasar kuasa kematian dan kebangkitan Kristus mereka dapat bergantung pada janji Allah yang berdaya guna dalam firman dan sakramen; dengan demikianlah mereka menjadi pasti akan anugerah ini. 35) Hal ini ditekankan oleh para reformator dengan cara yang khusus: di tengah pencobaan, orang percaya kiranya jangan melihat diri mereka sendiri tetapi melihat Yesus saja, dan hanya percaya pada-Nya. Dalam percaya akan janji Allah keselamatan mereka terjamin, tetapi tidak pernah terjamin karena melihat diri sendiri. 36) Penekanan para reformator tersebut dapat dibagi-bagi­ kan oleh umat Katolik pada beberapa hal, yaitu: membangun iman atas kenyataan objektif dari janji Kristus, mengalihkan pandangan dari pengalaman sendiri dan percaya hanya pada firman pengampunan Kristus (bdk. Mat 16: 19; 18: 18). Melalui Konsili Vatikan ke II, umat Katolik menyatakan: memiliki iman berarti mempercayakan diri sendiri sepenuhnya pada Allah149 yang membebaskan kita dari kegelapan dosa dan kematian, dan membangkitkan kita pada hidup yang kekal.150 Dalam pengertian demikian, seseorang tidak dapat percaya pada Alllah serentak dengan anggapan bahwa janji Ilahi tidak dapat dipercaya. Tidak seorang pun yang meragukan kemurahan Allah dan anugerah Kristus. Namun setiap orang dapat juga memelihara keselamatannya di saat dia melihat kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangannya. Dengan mengakui kelemahannya sendiri, orang percaya tetap dapat merasa pasti bahwa Allah menginginkan keselamatannya.



149 Bdk. Dei Verbum (Vatikan II) 5. 150 Bdk. Ibid.



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



75



4.7 Perbuatan Baik dari Orang yang Dibenarkan 37) Kami bersama-sama mengakui bahwa perbuatan baik – yaitu kehidupan kristiani di dalam iman, pengharapan dan kasih – muncul dari pembenaran dan merupakan buahnya. Jika orang yang dibenarkan hidup dalam Kristus dan bertindak dalam anugerah yang dia terima, mereka akan menghasilkan buah dalam pengertian alkitabiah. Karena orang-orang Kristen bergumul melawan dosa dalam seluruh hidupnya, buah dari pembenaran ini juga menjadi suatu kewajiban bagi mereka yang harus mereka penuhi. Itulah sebabnya Yesus dan surat-surat para rasul menasihatkan orang-orang Kristen untuk menghasilkan karya kasih. 38) Menurut pemahaman umat Katolik, perbuatan baik, yang dimungkinkan oleh rahmat dan karya Roh Kudus, mempengaruhi pertumbuhan dalam rahmat, sehingga kebenaran yang datang dari Allah dipelihara dan persekutuan dengan Kristus diperdalam. Jika umat Katolik menyatakan ciri ”jasa” dari perbuatan baik, mereka ingin mengatakan bahwa, menurut kesaksian Alkitab, upah di surga dijanjikan atas perbuatan baik ini. Maksud mereka adalah untuk menekankan tanggung jawab seseorang untuk perbuatan mereka, bukan mempertunjukkan ciri perbuatan itu sebagai hadiah, dan juga tidak dimaksudkan untuk menolak bahwa pembenaran adalah anugerah dari rahmat yang bukan karena jasa baik. 39) Pengertian tentang pemeliharaan anugerah dan pertum­ buhan dalam anugerah dan iman dikenal oleh Lutheran. Mereka mau menekankan bahwa kebenaran sebagai penerimaan melalui Allah dan ambil bagian dalam kebenaran Kristus sudahlah sempurna. Pada saat yang sama, mereka menyatakan bahwa terdapat juga pertumbuhan atas pengaruh kebenaran itu dalam hidup orang Kristen. Jika mereka melihat perbuatan baik orang Kristen sebagai ”buah” dan ”tanda” pembenara dan bukan sebagai ”jasa”, mereka juga memahami hidup yang kekal menurut Perjanjian Baru sebagai ”hadiah” yang tidak atas dasar jasa dalam arti pemenuhan janji Allah pada orang percaya.



76  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Pasal 5. Makna dan Cakupan dari Kesepakatan yang Telah Dicapai 40) Pemahaman akan ajaran tentang pembenaran yang dijelaskan dalam Deklarasi ini menunjukkan bahwa di antara Lutheran dan umat Katolik terdapat suatu persesuaian akan kebenaran dasar ajaran pembenaran. Perbedaan lainnya dari segi bahasa dan penguraian teologis dan penekanan akan pemahaman pembenaran seperti yang terdapat dalam alinea 18 hingga 39, dapat diterima dilihat dari sudut pandang persesuaian ini. Oleh karena itu, dilihat dari sudut persesuaian ini, penguraian lanjutan dari Lutheran dan umat Katolik tentang ajaran pembenaran terbuka satu sama lain di dalam perbedaannya dan tidak akan menghancurkan persesuaian tentang kebenaran-kebenaran dasariah. 41) Dengan demikian, kutukan-kutukan dari abad keenam­ belas, sejauh itu berkaitan dengan ajaran tentang pembenaran, muncul dalam terang yang baru: ajaran Gereja-gereja Lutheran yang dihadirkan dalam pernyataan ini tidak berada di bawah kutukan-kutukan dari Konsili Trente; kutukan-kutukan dalam Konfesi-konfesi Lutheran tidak dikenakan pada ajaran Gereja Katolik Roma yang terdapat dalam Deklarasi ini. 42) Melalui itu, tidak ada yang disingkirkan dari kesungguh­ an kutukan-kutukan itu bila dihubungkan dengan ajaran pem­ benar­an. Beberapa darinya bukanlah tanpa alasan. Semuanya itu bukannya tidak berlaku lagi, tetapi tetaplah merupakan ”peringatan tentang keselamatan” yang sebaiknya kita perhatikan dalam ajaran dan perilaku kita.151 43) Kesepakatan kami dalam kebenaran dasariah akan ajaran pembenaran seharusnya mempengaruhi hidup dan ajaran Gereja-gereja kami dan juga tetap dipelihara. Dalam kaitan dengan itu, memang masih terdapat perbedaan penekanan yang membutuhkan penjelasan. Selain dari pokok-pokok yang lain, termasuklah di dalamnya hubungan antara Firman Allah



151 ”Condemnations of the Reformation Era”, hlm. 27.



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



77



dan ajaran Gereja, demikian juga ajaran Gereja tentang susunan pemerintahan Gereja, jabatan dan sakramen, dan hubungan antara pembenaran dan etika sosial. Kami yakin bahwa kesepakatan yang telah kami capai menyuguhkan dasar yang teguh untuk penjelasan ini. Gereja-gereja Lutheran dan Gereja Katolik Roma akan terus mengusahakan pendalaman pemahaman bersama tentang pembenaran ini dan membuatnya berbuah dalam hidup dan ajaran Gereja. 44) Kami mengucapkan syukur pada Tuhan atas langkah maju menuju usaha mengatasi keterpisahan Gereja. Kami memohon Roh Kudus membimbing kami selanjutnya ke arah keesaan yang terlihat, sesuai dengan kehendak Kristus. 2. Analisa Atas Teks Deklarasi Bersama 2.1 Struktur Teks Teks asli dokumen Deklarasi Bersama ini ditulis dalam bahasa Jerman yang berjudul Gemeinsame Erklärung zur Rechtfertigungslehre. Dokumen ini dicetak oleh Verlag Otto Lembeck, Frankfurt am Main 1999. Dokumen ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh The Lutheran World Federation (LWF) dan The Pontificial Council for Promoting Christian Unity 2000 yang dicetak oleh Wm. B. Eerdmans Publishing Co., Grand Rapids, Michigan. Secara keseluruhan dokumen Deklarasi Bersama berisikan 4 bagian, yaitu: a. Kata pengantar (Preface), b. Deklarasi Bersama tentang ajaran pembenaran (Joint Declaration on the Doctrine of Justification), dan Sumber-sumber untuk Deklarasi Bersama tentang ajaran pembenaran (Sources for the Joint Declaration of Justification), c. Pernyataan Resmi Bersama (Official Common Statement), dan d. Tambahan pada Pernyataan Resmi Bersama (Annex to the Official Common Statement). Khusus untuk bagian kedua, yakni Deklarasi Bersama tentang ajaran pembenaran, terdiri dari: a. Pembukaan (Preamble) butir 1-7,



78  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman b. Lima pasal konsensus, yaitu: Pasal 1. Pemberitaan alkitabiah tentang pembenaran (butir l812); Pasal 2. Ajaran pembenaran sebagai masalah ekumenis (butir 13); Pasal 3. Pemahaman bersama atas pembenaran (butir 14-18); Pasal 4. Pengembangan pemahaman bersama tentang pem­ benaran [terdiri dari tujuh pokok penjelasan] (butir 19-39); dan Pasal 5. Makna dan cakupan dari kesepakatan yang telah dicapai (butir 40-44). c. Sumber-sumber untuk Deklarasi Bersama tentang ajaran pembenaran (Sources for the Joint Declaration of Justification) Dari struktur teks di atas dapat terlihat bahwa ada tiga ruang khusus untuk pemahaman tentang ajaran pembenaran, yakni: satu untuk pemberitaan alkitabiah, satu untuk pemahaman bersama tentang pembenaran, dan satu untuk pengembangan pemahaman bersama tentang pembenaran. Pasal 1 butir 8 - 12 menyajikan ”pemberitaan alkitabiah tentang pembenaran”. Kedua pihak memahami bahwa perumusan ajaran pembenaran harus berlandaskan Alkitab, dan rumusan pemahaman bersama itu harus merupakan pesan-pesan Alkitab. Dengan demikian, pasal 1 ini diterima sebagai pemahaman bersama. Kemudian pada pasal 2 dijelaskan bahwa ajaran pembenaran itu merupakan permasalahan ekumenis. Selanjutnya bertolak dari pasal 1, kedua pihak merumuskan pemahaman bersama tentang pembenaran pada pasal 3 butir 14 - 18. Pasal 3 ini disepakati sebagai konsensus, karena rumusan itu oleh kedua pihak masih mengandung perbedaan pemahaman dan penafsiran. Maka untuk itu dalam pasal 4 masingmasing pihak diberi ruang untuk menjelaskan pemahaman bersama pada pasal 3 menurut penafsiran dan pemahaman masing-masing. Untuk pokok-pokok penjelasan pada pasal 4, pihak Lutheran maupun Katolik mencoba dalam paradigma baru melihat dan menafsirkan ulang tradisi ajaran masing-masing. Dengan demikian dari ketiga ruang khusus ini, pasal 1 diakui sebagai pemahaman bersama; pasal 3 sebagai konsensus bersama dan pasal 4 sebagai pokok-pokok



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



79



penjelasan terhadap pasal 3. Pasal 3 sebagai konsensus dapat diartikan sebagai hasil kompromi atau joint, bisa diterima atau tidak. Dengan demikian pasal 3 belum merupakan hasil pemahaman bersama, tetapi merupakan kesepakatan bersama tentang arah ke mana pemahaman yang sempurna harus dicari. Dengan demikian, dapat disimpulkan pasal 3 dan 4 disebut sebagai konvergensi. Artinya, kesepakatan yang menyatakan bahwa kedua pihak sedang berjalan menuju kepada pemahaman bersama.152 Akhirnya, pasal 5 membicarakan makna dan cukupan dari kesepakatan yang telah dicapai itu bagi Gereja Protestan dan Katolik. 2.2 Analisa Teks Analisa teks ini tidak akan menganalisa dokumen Deklarasi Bersama secara keseluruhan. Namun analisa ini akan difokuskan pada bagian kedua dokumen ini yakni Deklarasi Bersama tentang ajaran pembenaran, khususnya bagian pembukaan dan lima pasal konsensus, karena dalam bagian inilah isi konsensus-konsensus Gereja Lutheran dan Gereja Katolik Roma dituangkan. a. Pembukaan (Preamble) butir 1-7 Teks-teks dalam pembukaan ini memberikan gambaran sejarah doktrin ajaran pembenaran itu dari zaman reformasi hingga di­ tandatanganinya dokumen Deklarasi Bersama. Ada beberapa hal yang menjadi penekanan dalam pembukaan ini. Pertama, teks dalam pembukaan ini membentangkan sejarah ajaran pembenaran dari zaman Reformasi Martin Luther yang mempertahankan ajaran pembenaran sebagai ”pasal yang pertama dan terutama” dan sebagai ”pengemudi serta hakim terhadap seluruh ajaran Kristen lainnya”. Ajaran pembenaran dinyatakan dan dipertahankan dalam rangka menilai Gereja Katolik Roma dan teologi pada zaman itu; dan pada saat yang sama Gereja Katolik Roma juga mempertegas dan mempertahankan suatu ajaran tentang pembenaran dengan ciri yang berbeda (DB 1-2). Kedua, teks pembukaan ini menyebutkan adanya dokumendokumen ajaran kedua belah pihak seperti Pengakuan-pengakuan 152 Christiaan de Jonge, Menuju Keesaan Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 110.



80  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Lutheran dan oleh putusan Konsili Trente yang diadakan Gereja Katolik Roma yang merumuskan kutukan-kutukan. Isi dokumendokumen kedua belah pihak tersebut masih berlaku hingga hari ini dan berpengaruh pada terpisahnya kedua Gereja tersebut (DB 1-2). Ketiga, teks ini membentangkan proses dialog-dialog yang di­ bangun oleh Lutheran dan Gereja Katolik Roma dalam rangka mencapai sebuah pemahaman bersama tentang ajaran pembenaran itu. Dialog-dialog itu dimulai 1972 hingga 1994. Artinya, untuk me­ lahirkan sebuah pemahaman bersama tentang ajaran pembenaran oleh iman dibutuhkan waktu lebih kurang 22 tahun. Perdebatan teologis selama 22 tahun ini akhirnya memampukan Gereja untuk meringkaskan hasil-hasil dialog tentang ajaran pembenaran itu, sehingga Gereja-gereja Lutheran dan Gereja Katolik Roma dapat memperoleh informasi tentang hasil-hasil menyeluruh dengan tepat dan bijaksana, sehingga Gereja selanjutnya dimampukan untuk mengutarakan pendapatnya tentang ajaran pembenaran itu (DB 3-4). Perdebatan teologis ini sebenarnya bermula dari kebutuhan bersama, artinya baik warga jemaat di arah bawah bukan hanya di Gereja-gereja Barat tapi juga bagi seluruh umat Kristen di dunia ini, menginginkan adanya suatu pemahaman-pemahaman yang dasariah tentang ajaran pembenaran itu. Untuk mewujudnyatakan itu, maka para teolog di kedua belah pihak melakukan serangkaian diskusi yang diwakili oleh komisi dialog LWF dan Vatikan. Keempat, teks ini menjelaskan kedua belah pihak bahwa: (a) pe­ nandatanganan dokumen ini atas dasar dialog-dialog Gereja Lutheran dan Gereja Katolik Roma tentang pembenaran bersama oleh anugerah Allah melalui iman akan Kristus; (b) dokumen ini tidak akan memuat semua ajaran Gereja tentang pembenaran; tetapi mencakup suatu persetujuan akan kebenaran dasar dari ajaran pembenaran dan menununjukkan bahwa perbedaan-perbedaan lainnya dalam hal penerapannya, tidak lagi menjadi alasan untuk kutukan-kutukan dogmatis; (c) dokumen ini bukanlah suatu penguraian yang baru dan berdiri sendiri lepas dari laporan dan dokumen-dokumen dari dialog yang lalu dan bukan juga merupakan penggantinya; (d) dokumen ini tidak menganggap remeh kutukan-kutukan dan juga tidak me­ mungkiri masa lalunya. Sebaliknya, Deklarasi Bersama ini dibentuk oleh keyakinan, bahwa Gereja kita mengalami perkembangan pandangan



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



81



dalam perjalanan sejarah. Perkembangan yang terjadi tidak hanya memberi kemungkinan, tetapi juga menantang Gereja-gereja untuk mengkaji kutukan-kutukan serta masalah-masalah yang selama ini membawa pemisahan, dan melihatnya dari sudut pandang yang baru (DB 5-7). Secara keseluruhan teks dalam butir 1 - 7 ini banyak dikutip dan diambil dari naskah-naskah pihak Lutheran.153 Sementara naskahnaskah Gereja Katolik Roma tidak banyak dikutip dalam ketujuh butir ini. b. Lima Pasal Konsensus Dokumen ini berisikan lima pasal konsensus yang disepakati oleh kedua belah pihak. Teks-teks yang diuraikan dalam lima pasal konsensus ini adalah teks-teks yang disepakati bersama walaupun di dalamnya terdapat teks-teks yang menunjukkan perbedaan pemahaman di antara kedua belah pihak. Artinya lima pasal teks konsensus ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Pasal 1. Pemberitaan Alkitabiah tentang Pembenaran (butir l812) Pasal satu ini terdiri dari lima butir teks yang menguraikan ajaran pembenaran dari sudut pandang alkitabiah. Dalam kelima butir teks ini dijelaskan pengertian ajaran pembenaran dari sudut Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan uraian-uraian Paulus tentang pembenaran dalam surat-suratnya. Harus diakui bahwa setiap Gereja memiliki cara pandang yang berbeda tentang sebuah ajaran yang tertulis dalam Alkitab. Pandangan Luther tentang pembenaran berdasarkan Alkitab sangat berbeda de­ngan pandangan Gereja Katolik Roma tentang pembenaran itu sendiri. Perbedaan pandangan inilah yang membuat kedua belah pihak berseteru selama kurang lebih lima abad. Namun yang menarik dalam teks ini adalah kedua belah pihak telah memiliki cara pandang yang sama dalam mendengar firman Allah dalam Alkitab dan telah



153 Seperti naskah Pasal-pasal Smalkalden, II,1; ”Rector et judex super omnia genera doctrinarum” Edisi Weimar untuk Karya Luther (WA), 39, I ,205; Konfessi Augsburg dan Katekhismus Kecil Martin Luther.



82  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman membimbing kedua belah pihak pada sudut pandang yang baru (DB 8). Teks ini memberikan pemahaman tentang ajaran pembenaran dari sudut pandang alkitabiah. Pembenaran adalah pengampunan dosa, pembebasan dari kungkungan kuasa dosa dan kematian dan dari kutukan karena Taurat. Pembenaran adalah penerimaan masuk pada persekutuan dengan Allah yang sudah berlaku kini, namun akan disempurnakan dalam Kerajaan Allah yang akan datang. Pembenaran menyatukan kita dengan Kristus dan dengan kematian serta kebangkitan-Nya (DB 11). Seorang teolog Gereja Katolik Roma, Donald J. Sanborn154 mem­ berikan analisanya atas teks ini. Menurutnya, rahasia Kitab Suci adalah milik Gereja Katolik Roma, yang dirahasiakan Allah pada siapa pun. Hanya Gereja Katolik Roma-lah yang benar untuk menafsirkan dan mengajarkan arti yang direncanakan Allah pada penulis Kitab Suci itu. Kecenderungan analisa Sanborn ini terlampau mengutamakan dan menekankan hasil-hasil Konsili Trente yang mengutuk seluruh ajaran reformator. Sanborn menyimpulkan bahwa Deklarasi Bersama merupakan sebuah keputusan yang sesat yang tidak sesuai dengan ajaran Konsili Trente. Menurut penulis, analisa Sanborn ini sangat dipengaruhi oleh isi dokumen Trente.155 Padahal dalam dokumen Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi (Dei Verbum) Konsili Vatikan II Bab Enam pasal 23 menyebutkan bahwa para ahli Kitab Suci Katolik dan ahli teologi lainnya dalam kerja sama yang erat harus berusaha supaya mereka di bawah pengawasan Wewenang Mengajar yang suci dan dengan upaya-upaya yang tepat menyelidiki dan menguraikan Kitab Suci sedemikian rupa sehingga sebanyak mungkin pelayan sabda Ilahi dengan hasil yang baik dapat menyajikan santapan 154 Donald J. Sanborn, ”Critical Analysis of the Joint Declaration on the Doctrine of Justification”, yang diakses dari internet: http://www.traditionalmass.org/articles/article. php?id=31&catname=15. 155 Keputusan Konsili Trente khususnya sesi keempat pada tanggal 8 April 1546 menyimpulkan dan menetapkan keberatan-kebaratan terhadap posisi Protestan tentang Kitab Suci sebagai berikut: (1) Kitab Suci tidak dapat dilihat sebagai satu-satunya sumber pernyataan, tradisi merupakan suatu pelengkap yang vital. (2) Daftar kitab kanonis Protestan tidak mencukupi dan menerbitkan satu daftar lengkap dari karya-karya yang diterima sebagai berwibawa. (3) Edisi Vulgata dari Kitab Suci ditegaskan dapat diandalkan dan berwibawa. (4) Kewenangan Gereja untuk menafsirkan Kitab Suci dipertahankan. (5) Tidak ada orang Katolik Roma yang diizinkan untuk menerbitkan karya tulis apa pun yang berkenaan dengan penafsiran Kitab Suci.



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



83



Kitab Suci kepada Umat Allah, untuk menerangi budi, meneguhkan kehendak, dan mengobarkan hati sesama untuk mengasihi Allah.156 Analisa Sanborn ini tidak mencerminkan isi Konsili Vatikan II yang telah membuka pintu bagi pemahaman bersama tentang Kitab Suci. Para teolog Katolik dan Lutheran telah bisa sama-sama memahami Alkitab dari sudut pandang yang baru. Pasal 2. Ajaran Pembenaran sebagai Masalah Ekumenis (butir 13) Pasal dua adalah pasal terpendek dalam dokumen ini yang hanya terdiri dari satu butir saja. Teks ini menjelaskan bahwa penyebab utama perpecahan dalam Gereja Barat pada abad keenambelas adalah tafsiran dan penerapan yang berbeda terhadap pemberitaan alkitabiah tentang pembenaran yang mengakibatkan munculnya kutukankutukan. Oleh karena itu, suatu pemahaman akan pembenaran sangatlah mendasar dan tidak dapat ditawar-tawar untuk mengatasi perpecahan ini. Ajaran pembenaran bukan lagi hanya persoalan ajaran salah satu Gereja, melainkan sudah menjadi sebuah masalah ekumenis, maka salah satu untuk mengatasi perbedaan ajaran ini adalah melalui pendekatan dialog ekumenis. Pendekatan dialog ini dikembangkan setelah Konsili Vatikan II. Buahnya terlihat dalam keberhasilan Deklarasi Bersama ini untuk merumuskan suatu kesepakatan akan kebenaran-kebenaran dasariah tentang ajaran pembenaran. Dari sudut pandang kesepakatan ini, kutukan-kutukan yang digunakan pada abad keenambelas, kini tidak lagi digunakan pada kedua belah pihak (DB 13). Pasal 3. Pemahaman Bersama atas Pembenaran (butir 14-18) Pasal tiga terdiri dari lima butir konsensus. Kelima teks butir konsensus ini banyak digali dari sumber ”All under One Christ”, pernyataan atas Konfesi Augsburg oleh Komisi Bersama Gereja Katolik Roma dan Lutheran, ”Growth in Agreement”, yang diedit oleh Harding Meyer dan Lukas Vischer, ”The Condemnations of the Reformation Era: Do They Still Divide?” (1990) selanjutnya dinamakan dengan dokumen LV: E, ”Lutherans and Catholics in Dialogue”, VII 156 Dokumentasi dan Penerangan KWI, Dokumen Konsili Vatikan II, (Jakarta: Obor, 2004), hlm. 344.



84  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman (1985) selanjutnya dinamakan dengan dokumen USA, ”Position Paper of the Joint Committee of the United Evangelical Lutheran Church of Germany and the LWF German National Committee regarding the document ’The Condemnation of the Reformation Era: Do They Still Divide? dalam Lehrverurteilungen im Gespräch, Göttingen (1993) selanjutnya dinamakan dengan dokumen VELKD, dan dokumen ”Evaluation of the Pontifical Council for Promoting Christian Unity of the Study ’Lehrverurteilungen – kirchentrennend?’”, (1992) selanjutnya dinamakan dengan dokumen PCPCU.157 Teks butir 14 digali dari dokumen LV:E 69 yang memuat butirbutir kesepakatan antara Gereja Katolik Roma dan Lutheran tentang ”dasar-dasar alkitabiah tentang pembenaran”. Teks butir 15 digali dari dokumen USA nomor 160 yang memuat banyak butir-butir kesepakatan antara Gereja Katolik Roma dan Lutheran tentang ”pembenaran hanya oleh iman”. Teks-teks dalam butir 17 dan 18 merupakan pengembangan teks dialog tentang ”Pembenaran oleh Iman” yang tertuang dalam dokumen USA nomor 146, 153. Juga teks ini digali dari dokumen LV:E 69 dan PCPCU 96. Pasal 4. Pengembangan Pemahaman Bersama tentang Pembenar­ an [terdiri dari tujuh pokok penjelasan] (butir 19-39) Pasal empat ini merupakan pengembangan teks pasal tiga khusus­ nya pengembangan dari pendirian masing-masing pihak tentang ajaran pembenaran itu. Teks-teks dikembangkan dan dijelaskan lagi oleh kedua belah pihak dengan pemahaman-pemahaman masingmasing. Pada teks ini kita akan menjumpai rumusan-rumusan kata-kata seperti: ”Kami bersama-sama mengakui...” (We confess together…); ”Menurut pandangan Katolik ….” (Catholics say…); ”Menurut pandangan Lutheran …” (Lutherans say...). Kata-kata ini mau menunjukkan bahwa di dalam pengembangan teks pemahaman bersama itu dijumpai dua pemahaman yang berbeda yang mau dipahami secara bersama-sama. Hal-hal yang dikembangkan kedua belah pihak dalam pasal ini terdiri dari tujuh pengembangan dan penjelasan seperti: (1) 157 Joint Declaration, hlm. 27-30.



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



85



ketidakberdayaan manusia dan dosa dalam kaitan dengan pem­ benaran [butir 19-21]; (2) pembenaran sebagai pengampunan dosa dan membuat jadi benar [butir 22-24]; (3) pembenaran oleh iman dan melalui anugerah [butir 25-27]; (4) orang berdosa yang dibenarkan [butir 28-30]; (5) Taurat dan Injil [butir 31-33]; (6) kepastian keselamatan [butir 34-36]; (7) perbuatan baik dari orang yang dibenarkan [butir 37-39]. Teks-teks ketujuh butir pengembangan dan penjelasan ini digali dari dokumen-dokumen sebagai berikut: (1) Teks ketidakberdayaan manusia dan dosa dalam kaitan dengan pembenaran [butir 19-21] dikembangkan dari dokumen LVE: 42dyb, 46; VELKD 77-81, 83dyb. (2) Teks pembenaran sebagai pengampunan dosa dan membuat jadi benar [butir 22-24] dikembangkan dari dokumen USA nomor 98-101; LVE: 47dyb; VELKD 84dyb. (3) Teks pembenaran oleh iman dan melalui anugerah [butir 2527] dikembangkan dari dokumen USA nomor 105dyb, LVE: 49-53; VELKD 87-90. (4) Teks orang berdosa yang dibenarkan [butir 28-30] dikembang­ kan dari dokumen USA nomor 102dyb, LVE: 44dyb; VELKD 81dyb. (5) Teks Taurat dan Injil [butir 31-33] dikembangkan dari dokumen VELKD 89, 28-36. (6) Teks kepastian keselamatan [butir 34-36] dikembangkan dari dokumen LVE: 53-56; VELKD 90dyb. (7) Teks perbuatan baik dari orang yang dibenarkan [butir 37-39] dikembangkan dari dokumen LVE: 66dyb; VELKD 90dyb Ketujuh butir pengembangan dan penjelasan kedua belah pihak ini selalu berisi tiga butir, yakni satu butir berisikan pengembangan pemahaman bersama dan dua butir pengembangan dan penjelasan kedua belah pihak Lutheran dan Gereja Katolik Roma. Pasal empat ini merupakan pasal yang sangat penting, sebab di dalam pasal ini pihak Lutheran dan Gereja Katolik Roma sama-sama membentangkan pemahamannya tentang ajaran pembenaran itu dari sudut pandang masing-masing tanpa menyalahkan dan menghukum ajaran kedua belah pihak yang saling berseberangan.



86  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Jika diamati teks-teks yang dimuat dalam pasal ini, maka akan kita akan melihat bahwa kedua belah pihak benar-benar menggali dan mendasarkan pengembangan dan penjelasan teks itu dari doku­ men-dokumen ajaran masing-masing.158 Artinya, dokumen-dokumen ajaran ini digali dari ajaran atau teologi formal dengan memperhatikan teologi-teologi lainnya yang hidup dalam Gereja-gereja Lutheran. Pasal 5. Makna dan Cakupan dari Kesepakatan yang Telah Dicapai (butir 40-44) Pasal lima ini menguraikan makna dan cakupan dari kesepakatan yang telah dicapai. Kesepakatan yang telah dicapai itu adalah: pertama, bahwa di antara Lutheran dan umat Katolik terdapat suatu persesuaian akan kebenaran dasar ajaran pembenaran. Walaupun perbedaan lainnya dari segi bahasa dan penguraian teologis dan penekanan akan pemahaman pembenaran seperti yang terdapat dalam alinea 18 hingga 39, dapat diterima dilihat dari sudut pandang persesuaian ini dan tidak akan menghancurkan persesuaian tentang kebenaran-kebenaran dasariah (DB 40). Kedua, ajaran Gereja- Gereja Lutheran yang dihadirkan dalam pernyataan ini tidak berada di bawah kutukan-kutukan dari Konsili Trente; kutukan-kutukan dalam Konfesi-konfesi Lutheran tidak dikenakan pada ajaran Gereja Katolik Roma yang terdapat dalam Deklarasi ini (DB 41). Ketiga, kutukan-kutukan yang termaktub dalam ajaran kedua belah pihak tidak dihapuskan, melainkan tetaplah merupakan ”peringatan tentang keselamatan” yang sebaiknya diperhatikan dalam ajaran dan perilaku sehari-hari (DB 42). Keempat, kesepakatan akan ajaran pembenaran harus mempengaruhi hidup dan ajaran Gereja-gereja kedua belah pihak dan juga tetap dipelihara. Gereja-gereja Lutheran dan Gereja Katolik Roma akan terus mengusahakan pendalaman pemahaman bersama tentang pembenaran ini dan membuatnya berbuah dalam hidup dan ajaran Gereja (DB 43). Kelima, kedua belah pihak mengucapkan syukur pada Tuhan atas langkah maju menuju usaha mengatasi keterpisahan Gereja dan memohon Roh Kudus



158 Lutheran menggali dan mengembangkan ajarannya dari sumber WA 8:106; Edisi Amerika 32: 227; Denzinger-Schönmetzer, Enchiridion symbolorum; Apologi II. Katolik menggali dan mengembangkan ajarannya dari sumber Dei Verbum (Vatikan II) 5.



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



87



membimbing kedua belah pihak ke arah keesaan yang terlihat, sesuai dengan kehendak Kristus (DB 44). Teks Deklarasi Bersama bukanlah hadir begitu saja, melainkan merupakan hasil diskusi, konsultasi dan dialog teologi yang berke­ sinambungan di antara Gereja- Gereja Lutheran dan Gereja Katolik Roma. Teks-teks yang dimuat dalam dokumen Deklarasi ini merupakan teks-teks pilihan yang mencoba memadukan dua pemahaman iman yang berbeda agar bisa dipahami secara bersama. 2.3 Kesimpulan Analisa Teks Deklarasi Bersama Dengan membaca teks dokumen Deklarasi Bersama dapat diambil kesimpulan bahwa ditemukan adanya konsensus yang fundamental yang berisikan perbedaan-perbedaan di bidang bahasa, elaborasi teo­ logi, dan penekanan-penekanan yang dapat memuaskan. Pengajaran Lutheran yang dikemukakan di dalam dokumen ini tidak berada di bawah penghukuman konsili Trente; dan pengajaran Katolik yang dikemukakan di dalam dokumen ini juga tidak berada di dalam penghukuman Luther (DB 40-41). Jika memang teks dokumen ini tidak mengindikasikan lagi adanya penghukuman, sekarang bagaimanakah sebenarnya penghukuman itu dipandang dalam dokumen ini? Dalam dokumen ini, penghukuman itu dipandang berguna bagi kita sebagai ”peringatan tentang kese­ lamatan” (‘salutary warnings’) yang sebaiknya diperhatikan dalam ajaran dan pelaksanaannya (DB 42). Teks-teks dalam dokumen Bersama ini masih menyisakan banyak pertanyaan yang membutuhkan klarifikasi seperti: hubungan di antara Firman Allah dan ajaran Gereja; eklesiologi / otoritas / pelayanan; sakramen-sakramen; hubungan di antara pembenaran dan etika-etika sosial (DB 43). Pertanyaan-pertanyaan klarifikasi ini timbul dari kedua belah pihak. Misalnya teks-teks yang masih perlu diklarifikasi adalah pada pragraf 4.4 tentang ”orang berdosa yang dibenarkan”. Dari sudut pandang Katolik judul ini menyebabkan sebuah kebingungan. Karena orang benar dan orang berdosa seperti yang dijelaskan pada permulaan butir 29 tidak dapat diterima pada saat yang sama. Pernyataan ini bukanlah realis, tampaknya dicocokkan dengan pembaruan hidup dan pengudusan dari manusia sebagaimana yang telah dibicarakan



88  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman pada Konsili Trente. Artinya, kita dapat mengatakan bahwa ajaran ini tidak menyentuh kutukan Trente.159 Kesulitan yang lain terlihat dalam butir 18 tentang ”pembenaran sebagai kriteria” (justification as a criterion). Bagi Katolik, hal ini secara organis diintegrasikan ke dalam kriteria yang mendasar dari regula fidei, yakni pengakuan satu Allah di dalam tiga pribadi, yang berpusat pada Kristologi dan berakar di dalam Gereja yang hidup dan kehidupan sakramen itu sendiri. Di samping pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya klarifikasi dari dokumen ini, masih ada lagi pertanyaan yang bersifat pembahasan yang lebih dalam lagi dari teks-teks dokumen ini. Misalnya, apakah esensi alami dari pembenaran itu? (Lih. Rm 3: 19-28; 4: 4-8, 25; 5: 6-19; 8: 33; Bil 25: 1; 1 Raj 8: 32; Mzm 143: 2; Ams 17: 15; Yes 5: 23). Lihat juga Za 3: 1-5, yang tidak menggunakan kata ”membenarkan” (”justify”) namun menggunakan ungkapan ”menjauhkan kesalahan”. Pembenaran, yang dimaksudkan Allah, bukan berarti menghitung dosa seseorang, melainkan secara esensial sama dengan pengampunan dosa (Mzm 32: 1-2; Rm 4: 1-13) dan rekonsiliasi (2 Kor 5: 14-21). Bagaimana mungkin hal ini dapat membantu kita memahami pembenaran lebih baik?160 Pertanyaan lain adalah: apakah anugerah keselamatan itu? (Lih. Rm 3: 24; 4: 4; 11: 6; 2 Kor 8: 9; 2 Tim 1: 9; Ibr 2: 9; Tit 2:1 1; bdk. dengan Yoh 3: 16). Apakah aturan pembenaran iman itu? (Lih. Kej 15: 6; Hab 2: 4; Yun 1: 12; Rm 3: 28; 4: 16; Gal 2: 16; Flp 3: 8-10). Apakah kata Alkitab mengenai dosa yang tinggal bagi orang Kristen? (Lih. Rm 7: 14-25; Gal 5: 16-21; Kol. 3: 5-11). Bagaimanakah seseorang yakin akan keselamatannya? (Lih. 2 Kor 1:19–20; 1 Ptr. 1:3-5, 23; 1 Yoh 5:413; Rm 8:28-39).161



159 William J. Cork, ”Joint Declaration on the Doctrine of Justification”, sebuah bahan ceramah yang diakses dari www.wquercus.com/faith/JDDJ.ppt pada Kamis, 16 Oktober 2008 pukul 23.50. 160 The Lutheran Church Missouri Synod, The Joint Declaration on the Doctrine of Justification in Confessional Lutheran Perspective: An Evaluation of the Lutheran-Roman Catholic ”Joint Declaration on the Doctrine of Justification”, (St. Louis: The Lutheran Church Missouri Synod, 1999), hlm. 11. 161 Ibid., hlm. 11-12.



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



89



3. Eksegese terhadap Deklarasi Bersama Dalam bagian ini kita akan mengeksegese teks dokumen Deklarasi Bersama. Eksegese ini akan mencoba melihat apa makna dokumen Deklarasi Bersama dalam perjalanan sejarah doktrin Gereja. Dokumen Deklarasi Bersama ini tergolong sangat muda karena masih berumur sepuluh tahun.162 Karena dokumen Deklarasi Bersama ini masih muda, tentunya makna dari dokumen ini lebih menonjolkan masa sebelum deklarasi ini ditandatangani. Artinya eksegese ini akan membahas apa-apa yang terjadi di lingkungan Gereja Katolik Roma dan Lutheran menyangkut pokok ajaran pembenaran oleh iman ini. Apakah ajaran pembenaran ini diabaikan, diakui, dibelakangkan atau diajarkan oleh Gereja Katolik Roma dan Lutheran dalam kehidupan bergereja? Bahkan secara sederhana, apakah dampak dokumen ini bagi Gerejagereja Lutheran dan Katolik?163 3.1 Eksegese atas Pembukaan Pembukaan dokumen Deklarasi Bersama menjelaskan bahwa ajaran pembenaran dalam Gereja Lutheran adalah ajaran yang sangat penting dan harus dipertahankan dalam rangka menilai Gereja Katolik Roma dan teologi pada zaman itu. Itulah sebabnya ajaran ini sejak semula menjadi bagian terpenting dalam dialog-dialog resmi antara Gereja Lutheran dan Katolik. Persoalan yang menonjol kemudian pada diskusi teologi antara Gereja Katolik Roma dan Lutheran adalah mengenai sikap pasif atau kooperatif manusia dalam keselamatannya. Martin Luther menga­ 162 LWF sedang mempersiapkan perayaan 10 tahun penandatanganan Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran antara LWF dan Gereja Katolik Roma dengan tema ”Happiness”, artinya kita akan merayakannya dalam semangat sukacita dalam menyambut berita akan pembenaran hanya oleh iman itu. Dan dalam semangat ”happiness” itulah LWF menghimbau agar setiap Gereja anggota melakukan perayaan 10 tahun penandatanganan deklarasi tersebut di tempat masing-masing dengan Gereja Katolik Roma. Kegiatan ini melanjutkan perayaan 5 tahun penandatanganan itu di Pematangsiantar melalui kerja sama antara STT - HKBP dengan STFT Sinaksak di komplek STFT St. Yohanes Pematangsiantar, pada 30 Oktober 2004 yang lalu. 163 Memang sudah ada beberapa karya tulis yang memberikan analisa terhadap dokumen DB ini, antara lain: tulisan Donald J. Sanborn, ”Critical Analysis of the Joint Declaration on the Doctrine of Justification.” Tetapi tulisan ini tidak digunakan pada sub bab 3.3 ini, karena hanya menyatakan bahwa DB itu sesat, keliru, dan lain sebagainya, sehingga tidak menolong dalam memahami dokumen DB. (Lih. Donald J. Sanborn, ”Critical Analysis of the Joint Declaration on the Doctrine of Justification” yang diakses dari internet: http://www.traditionalmass.org/ articles/article.php?id=31&catname=15).



90  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman takan keselamatan diperoleh dengan sola fide, sedangkan Gereja Katolik Roma menegaskan bahwa keselamatan itu terjadi dengan fides, spes et charitas – iman, pengharapan, dan perbuatan baik. Luther menekankan bahwa manusia tidak dapat berbuat baik untuk keselamatannya, selain membiarkan anugerah Allah dianugerahkan kepadanya secara penuh. Hal itu bukan berarti manusia tidak dapat merespons perbuatan Allah sebagaimana dipahami Gereja Katolik Roma. Akan tetapi menurut ajaran Gereja Katolik Roma justru respons manusia secara pribadi itulah yang menunjukkan adanya sikap kooperatif manusia dalam memperoleh keselamatannya. Pembukaan Deklarasi Bersama ini secara jelas memaparkan apa yang terjadi di antara kedua belah pihak. Apakah yang mau disuarakan pembukaan dokumen Deklarasi Bersama ini? Pertama, kedua belah pihak sama-sama menyadari bahwa mereka memiliki pemahaman yang berbeda tentang ajaran pembenaran oleh iman yang menyebabkan kedua belah pihak saling mengutuk. Ajaran saling mengutuk bukanlah ajaran yang dikehendaki oleh Yesus Kristus. Yesus sendiri berkata, ”Kasihilah sesamamu ma­nusia seperti dirimu sendiri” (Mat 22:39; bdk. 5: 44; Luk 6: 27, 35). Bahkan Paulus juga mengajak setiap orang yang percaya agar mengasihi musuh dan berdoa bagi mereka yang menganiaya kita, juga memberkati orang yang menganiaya kita, serta jangan mengutuk! (bdk. Rm 12: 14). Gereja Katolik Roma dan Lutheran bukan berarti menganggap remeh kutukan-kutukan itu dan juga tidak memungkiri masa lalunya, tetapi kedua belah pihak terus-menerus akan mengkaji kutukan-kutukan serta masalah-masalah yang selama ini membawa pemisahan, dan melihatnya dari sudut pandang yang baru. Kedua, Gereja Katolik Roma dan Lutheran sama-sama menyadari bahwa perseteruan itu harus segera diakhiri dengan langkah-langkah dialog-dialog ekumenis menuju pemahaman yang sama-sama di­ terima kedua belah pihak. Gereja Katolik Roma dan Lutheran sama-sama sangat menyadari perlunya dialog ekumenis dalam rangka membangun saling pengertian tentang pemahaman ajaran yang berbeda dengan umat Kristen lainnya. Hal ini tertuang dalam dokumen Dekrit Konsili Vatikan II tentang Ekumenisme Bab Dua pasal 11:



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



91



Dalam dialog ekumenis, para teolog Katolik harus setia sepenuhnya terhadap ajaran Gereja, dan dalam usaha mereka bersama dengan saudara-saudari yang terpisah untuk semakin menyelami misterimisteri Ilahi, harus melangkah maju dengan cinta akan kebenaran, kasih sayang, dan kerendahan hati … Dengan demikian, akan terbukalah jalan yang mendorong semua mitra dialog untuk berlomba-lomba secara persaudaraan menuju pengertian yang semakin mendalam tentang kekayaan Kristus yang tidak terduga dalamnya (Ef 3:8), serta penampilannya yang makin gemilang.164



Ketiga, kedua belah pihak menyadari bahwa sudah sangat diper­ lukan sebuah pernyataan bersama untuk mengatasi masalah-masalah yang menjadi perdebatan dan kutukan-kutukan pada masa lalu. Pernyataan bersama adalah wujud yang nyata dari dialog-dialog ekumenis yang dibangun di antara kedua belah pihak. Pernyataan ber­sama tentang ajaran pembenaran oleh iman ini bukanlah yang pertama dan terakhir dalam dialog-dialog ekumenis, namun per­ nyataan bersama tentang ajaran pembenaran ini merupakan langkah awal untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan lainnya yang akan tetap terus dikerjakan kedua belah pihak. Hal ini tertuang dalam isi butir 7, yang mengatakan bahwa Gereja mengalami perkembangan pandangan dalam perjalanan sejarah. Perkembangan yang terjadi ... juga menantang Gereja-gereja untuk mengkaji kutukan-kutukan serta masalah-masalah yang selama ini membawa pemisahan, dan melihatnya dari sudut pandang yang baru. Kata ’menantang’ berarti Gereja Katolik Roma dan Lutheran tidak berhenti pada dialog-dialog tentang ajaran pembenaran oleh iman ini saja, tetapi Gereja Katolik Roma dan Lutheran akan terus mengkaji ajaran-ajaran lainnya yang membuat kedua belah pihak saling mengutuk, misalnya ajaran tentang sakramen-sakramen, jabatan gerejawi, liturgi dan lain sebagainya. Gerakan pembaruan Gereja ini merupakan salah satu semboyan Reformasi: ecclesia reformata sed semper reformanda (Gereja yang dibarui harus terus-menerus dibarui). Hal senada tetuang dalam dokumen Dekrit Konsili Vatikan II tentang Ekumenisme Bab Dua pasal yang mengatakan bahwa Gereja dipanggil Kristus untuk terus-menerus merombak dirinya … Maka, pembaruan itu mendapat 164 Dokumentasi dan Penerangan KWI, Op.Cit., hlm. 200.



92  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman makna ekumenis yang istimewa. Aneka bentuk kehidupan Gereja, yang sudah mengalami pembaruan – misalnya, gerakan Kitab Suci dan Liturgi, pewartaan sabda Allah dan katekese, kerasulan awam, bentuk-bentuk baru hidup religius, spiritualitas perkawinan, ajaran serta kegiatan Gereja di bidang sosial, – dapat dipandang sebagai jaminan dan pertanda, bahwa di masa mendatang ekumenisme akan berkembang dengan baik.165 3.2 Eksegese Pasal 1 mengenai Pemberitaan Alkitabiah tentang Pembenaran Setiap Gereja pasti mengakui dan meyakini bahwa seluruh ajaranajarannya bersumber dari Alkitab. Lantas timbul pertanyaan, jika Gereja-gereja mengklaim ajarannya berdasar atas Alkitab, mengapa banyak timbul berbagai aliran di dalam dan sekitar Gereja? Jawaban sederhana adalah akibat pemahaman dan penafsiran yang berbedabeda setiap Gereja atas isi Alkitab itu sendiri. Sepanjang perjalanan sejarah Gereja terbentang dengan jelas bahwa sejak masa Gereja mulamula orang-orang percaya (baca: Kristen) sudah memiliki pemahaman yang beraneka ragam tentang berbagai ajaran, seperti baptisan, perjamuan kudus, pertobatan, keselamatan, zaman akhir, dan lain sebagainya. Perbedaan pemahaman inilah yang akhirnya melahirkan sekte dan denominasi di kalangan orang Kristen.166 Harus disadari bahwa ajaran Gereja bisa jatuh pada ajaran yang menyimpang dari apa yang tertulis di dalam Alkitab. Bahkan bisa juga ajaran Gereja yang kebablasan. Artinya memakai isi Alkitab untuk meraup keuntungan tertentu baik bagi Gereja, kelompok, maupun pribadi-pribadi. Karena ajaran yang kebablasan itu, maka Martin Luther mengajarkan, Gereja dan hidup kekristenan harus diperbarui dan dikembalikan pada dasarnya Alkitab. Dasar ajaran pembenaran setiap Gereja selalu diambil dari Alkitab. Namun setiap Gereja akan memiliki penjelasan, tafsiran, dan kajian yang berbeda-beda terhadap ajaran pembenaran secara alkitabiah.



165 Ibid., hlm. 197. 166 Bdk. Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran, hlm. 1. Pada Buku Data Statistik Keagamaan Kristen Protestan 1992, yang diterbitkan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat [Kristen] Protestan – Departemen Agama RI pada 1993, kita menemukan 275 organisasi Gereja Kristen Protestan. Di samping itu ada 400-an yayasan Kristen Protestan atau yang bersifat gerejawi.



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



93



Bahkan penyebab mendasar dari timbulnya Reformasi adalah perbedaan antara ajaran atau teologi dan praktik Gereja Katolik Roma dengan ajaran Alkitab.167 Gereja Katolik Roma mempraktikkan ajaran yang sangat menyimpang, misalnya tentang penghapusan dosa, perolehan keselamatan, kekuasaan paus, otoritas Alkitab, dan lainlain. Reformasi Martin Luther meluruskan atau menjaga kemurnian ajaran Kristen sesuai dengan Alkitab. Luther melihat bahwa Gereja Katolik Roma telah menyelewengkan atau paling tidak mengabaikan pokok-pokok tertentu dari ajaran Alkitab. Itulah sebabnya reformasi teologi Luther merupakan upaya back to the Bible, kembali ke ajaran Alkitab.168 Dengan melihat praktik-praktik Gereja yang puncaknya pada penjualan surat penghapusan dosa (aflat), Martin Luther menyusun 95 Dalil teologis dan menempelkannya di pintu Gereja Wittenberg pada 31 Oktober 1517. Isi pokoknya meluruskan arti pertobatan yang terus-menerus sepanjang kehidupan. Berdasarkan pertobatan itulah Luther sekaligus menentang propaganda Tetzel tentang pembelian surat aflat dan ajaran indulgensia.169 Ajaran pembenaran oleh iman merupakan ajaran Alkitab yang sangat mendasar. Hanya dengan ’pembenaran oleh iman’ manusia berdosa dapat diselamatkan (Rm 1: 17). Sebenarnya pernyataan Luther ini bukanlah hal baru, karena sebelumnya ajaran ini sudah diajarkan oleh Thomas Aquinas. Hanya, pernyataan ini tidak pernah lagi diperdengarkan. Luther hanya menemukan kembali suara alkitabiah ini melalui pergumulan pribadinya tentang keselamatan. Pernyataan ’pembenaran oleh iman’ ditentang oleh para ’pejabat Gereja’ yang pada waktu itu sedang giat-giatnya menjual surat aflat170 (Latin, afflatoris: penghangusan; afflatus: tiupan; penguapan) untuk memperoleh indulgensia, penghapusan dosa agar selamat 167 Ibid., hlm. 29. 168 Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, (Pematangsiantar: L-SAPA STT HKBP, 2007), hlm. 186. 169 Timothy F. Full, Martin Luther’s Basic Theological Writings, (Minneapolis: Fortress Press, 1989), hlm. 21-29. 170 Ibid. Tujuan sebenarnya dari penjualan surat aflat itu adalah mengumpulkan dana bagi pembangunan gedung gereja raksasa (basilika) Santo Petrus di Roma, tetapi tujuan itu dibungkus dengan ‘bahasa rohani’ yang berisi janji palsu sekaligus ancaman, seakan-akan dengan membeli surat itu manusia akan lebih terjamin selamat. ”Pada saat uang gemerincing di dalam peti, seketika itu juga jiwamu melompat dari api penyucian”, demikian bunyi salah satu propaganda Tetzel dan kawan-kawan.



94  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman pada purgatory – api penyiksaan. Indulgensia itu diperoleh melalui pembelian surat aflat yang penyerahannya diberikan dengan memb­aca tulisan yang ada di dalamnya: ego absolvo te, artinya: ’aku mengampuni engkau’. Luther bermaksud agar penjualan surat aflat itu segera dihentikan. Penempelan 95 Dalil pada 31 Oktober 1517 tidak lepas dari tujuan itu.171 Di dalam dalil-dalilnya itu Luther menentang perkataan Tetzel, bahwa surat-surat yang ditawarkannya itu menghapuskan dosa dan memperdamaikan manusia dengan Allah, yang menimbulkan kesan seakan-akan pengampunan dosa dan pendamaian dapat dibeli dengan uang, tanpa penyesalan dan pertobatan, bahkan tanpa sakramen. Sekaligus dengan itu Luther menegaskan bahwa penyesalan yang sejati bukanlah perkara yang dapat seseorang bereskan dengan memenuhi syarat yang ditentukan oleh imam setelah pengakuan dosa. Bagi Luther penyesalan dan pertobatan itu berlangsung di sepanjang hidup. Itulah makna dalilnya yang pertama yang berbunyi: Apabila Tuhan dan Guru kita Yesus Kristus berkata: ”Bertobatlah ...”, maka yang dimaksudkan-Nya ialah bahwa seluruh kehidupan orang-orang percaya haruslah merupakan pertobatan.172 Teologi ’pembenaran oleh iman’ turut mengubah total kehidupan ekonomi dan status sosial para imam. Bahkan secara psikologis, ajaran itu telah menghancurkan ’ketakutan’ rakyat yang diciptakan Gereja. Pembenaran oleh iman dan hanya oleh iman, sola fide, diperoleh bukan melalui usaha manusia atau melalui pembelian surat afflat, melainkan hanya melali anugerah Allah, sola gratia. Sola fide dan sola gratia telah membebaskan jiwa-jiwa yang selama ini terbelenggu oleh harga secarik kertas, dan oleh bayang-bayang api yang bernyalanyala, ciptaan pejabat-pejabat Gereja semata-mata.



171 1 November 1517 adalah hari ulang tahun gereja Wittenberg. Raja Friedrich yang berkuasa di Wittenberg berkeinginan untuk memperkenalkan kekayaan dan relikwi, benda-benda suci yang dimilikinya yang disimpan dalam gereja Wittenberg. Untuk itu dia mengundang para bangsawan, teolog, dan mahasiswa dari kerajaan lain untuk datang ke pesta ulang tahun gereja itu, dan mereka diharapkan sudah hadir pada 31 Oktober 1517. Johann Tetzel, ketua satgas penjualan surat aflat di Jerman juga hadir dan membuka depot surat aflat di kompleks gereja. Pada saat itulah Luther menempelkan 95 Dalilnya di depan pintu gereja Wittenberg. Luther meyakini hari itu adalah hari yang diberikan Tuhan baginya untuk bersaksi dan mereformasi Gereja. 172 Jan S.Aritonang, Op.Cit., hlm. 29.



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



95



Cara pandang memahami Alkitab dari sudut pandang masingmasing ini berlangsung hampir lima abad lamanya. Gereja Katolik Roma sangat kuat memegang pemahaman yang terkandung dalam surat Paulus: ”Kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar (Flp 2: 12). Sedangkan ajaran Lutheran (Protesan) selalu menekankan: ”Orang benar akan hidup oleh iman” (Rm 1: 17), ”manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat” (Rm 3: 28). Artinya, keselamatan bukanlah sebuah usaha (perbuatan baik) manusia, melainkan hanya anugerah semata dari Allah. Bagi Luther, perbuatan baik sama seperti buah pohon. Buah pohon yang baik tidak membuat pohon yang baik, maka perbuatan baik tidak bisa membenarkan seseorang. Tetapi perbuatan baik datang dari orang yang telah dibenarkan oleh iman, sama seperti buah pohon yang baik berasal dari pohon yang telah tumbuh dengan baik (LW 3536).173 Luther mengajarkan bahwa perbuatan baik tidak berbagian dalam keselamatan. Perbuatan baik merupakan hasil atau buah dari keselamatan, tetapi tidak pernah bagian keselamatan.174 Dokumen Deklarasi Bersama memberikan sebuah pemahaman bersama di antara Gereja Katolik Roma dan Lutheran. Gereja Katolik Roma dan Lutheran tidak saling mempertahankan cara pandang masing-masing lagi akan ajaran pembenaran ini dari sudut pandang alkitabiah. Cara pandang yang berbeda antara Lutheran dan Gereja Katolik Roma tentang ajaran pembenaran berdasarkan Alkitab akhirnya disadari oleh kedua belah pihak telah membawa pemisahan (schisma) bagi Gereja. Sehingga melalui dialog-dialog dan konsultasikonsultasi yang panjang, akhirnya kedua belah pihak sepakat memiliki cara yang sama dalam mendengar firman Allah dalam Alkitab dari sudut pandang yang baru. Pasal satu mengenai Pemberitaan Alkitabiah tentang Pembenaran telah menyatukan kedua belah pihak untuk melihat ajaran pem­ benaran itu dari sudut alkitabiahnya. Kedua belah pihak samasama memahami bahwa hidup yang dibenarkan oleh iman datang dari firman Allah (Rm 10: 17), menjadi nyata dalam kasih (Gal 5: 6) dan dalam buah Roh (Gal 5: 22). Namun karena orang-orang yang 173 Luther’s Works, hlm.111. 174 Paul Enns, The Moody Handbook, hlm. 79.



96  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman dibenarkan digoda dari dalam dan dari luar oleh berbagai kuasa dan keinginan-keinginan (Rm 8: 35-39; Gal 5: 16-21) sehingga jatuh dalam dosa (1 Yoh 1: 8, 10), mereka harus senantiasa mendengar janji-janji Allah secara baru, mengakui dosa-dosa mereka (1 Yoh 1: 9), mengambil bagian dalam darah dan tubuh Kristus, dan dianjurkan untuk hidup dengan benar berpadanan dengan kehendak Allah. Itulah sebabnya rasul menganjurkan pada orang yang dibenarkan: ”karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu, baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya” (Flp 2: 12-13). Namun demikian berita sukacita ini tetap berlaku: ”sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus” (Rm 8: 1), dan bahwa Kristus hidup di dalam mereka (Gal 2: 20); dan bahwa Kristus adalah ”kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup” (Rm 5: 18) (DB 12). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pasal satu memberikan pemahaman bahwa pihak Lutheran dan Gereja Katolik Roma telah memiliki cara pandang yang sama tentang ajaran pembenaran secara alkitabiahnya. Hal ini akan berkembang juga untuk melihat ajaran lainnya dari cara pandang yang sama secara alkitabiah. 3.3 Eksegese Pasal 2 mengenai Ajaran Pembenaran sebagai Masalah Ekumenis Pasal dua dokumen Deklarasi Bersama ini menjelaskan posisi ajar­an pembenaran dalam Gereja Lutheran dan Gereja Katolik Roma. Penyebab utama perpecahan dalam Gereja Barat pada abad keenam­­belas adalah tafsiran dan penerapan yang berbeda terhadap pemberitaan alkitabiah tentang pembenaran. Itu jugalah yang meng­ akibatkan munculnya kutukan-kutukan. Namun konflik dan perseteruan akibat ajaran pembenaran itu harus diselesaikan dan diharapkan agar tidak berkelanjutan lagi. Karena itu, kedua belah pihak membuka sebuah peluang untuk sebuah konsensus. Ajaran pembenaran oleh iman ini menjadi jembatan penyatuan antara Lutheran dan Gereja Katolik Roma yang selama ini berseteru. Kedua belah pihak sama-sama menyadari bahwa ajaran pembenaran oleh iman perlu dibahas secara komprehensif agar



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



97



mencapai sebuah pemahan bersama. Pertikaian di antara Lutheran dan Gereja Katolik Roma tentang ajaran pembenaran ini menjadi sebuah peluang untuk sebuah konsensus di antara kedua kubu yang saling mengutuk ini. Kontroversi doktrin pembenaran antara dekrit konsili Trente dengan Formula Konkord telah memposisikan kedua pihak Gereja sebagai dua kelompok yang bertikai. Berdasarkan penjelasan pihak Gereja Katolik Roma, paling tidak, Gereja Katolik Roma sepanjang masih berada dalam pengaruh kuat konsili Trente hingga 1950an, memandang Gereja Reformasi sebagai heretical and schismatic, orang yang sesat atau bidat yang telah dikutuk. Sebaliknya, Gereja Reformasi, bahkan sejak protes Luther terhadap indulgensia 1517, juga berdasarkan bunyi konfesi dalam Rumus Konkord tentang wibawa Kitab Suci, tetap memandang Gereja Katolik Roma sebagai Gereja yang telah menyimpang dari Alkitab. Secara mengejutkan, Paus Yohanes XXIII pada 25 Januari 1959, tiga bulan setelah ia terpilih menjadi sri paus, mengumumkan akan memanggil konsili ekumenis baru.175 Ini benar-benar mengejutkan karena konsili Vatikan I (1869-1870) telah memposisikan keputusan paus sebagai tertinggi dalam mengajarkan iman dan akhlak; dan bahkan menurut hukum Gereja tiada naik banding dan tidak perlu memberi pertanggungjawaban kepada siapa pun di dunia ini. Artinya, dari segi kekuasaannya, paus tidak memerlukan konsili-konsili untuk mendukung maupun mengabsahkan pemberlakuan keputusannya menyangkut iman dan moral. Tanner menyebutkan bahwa ada ba­ nyak perdebatan di antara para ahli menyangkut rencana sri paus itu. Paus berbicara di tengah-tengah suasana demikian, bahwa ia ingin membuka jendela Gereja untuk memasukkan udara segar; ia juga mengatakan bahwa ada tiga tujuan utamanya dari konsili itu, yakni menata urusan dalam Gereja secara lebih baik, memupuk persatuan di antara orang kristiani, dan memajukan perdamaian di seluruh dunia.176 Secara spektakuler babak baru pembaruan Gereja Katolik Roma telah dimulai. Melalui Konsili Vatikan II (1962-1965), Gereja Katolik 175 Norman P. Tanner, Konsili-konsili Gereja, hlm. 119. 176 Ibid.



98  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Roma telah tiba pada suatu semangat pembaruan Gereja. Menurut Jacobs,177 tujuan pastoral konsili Vatikan II adalah pembaruan Gereja, pewartaan Injil di seluruh dunia, dan dialog dengan dunia modern. Dalam Dekrit konsili Vatikan II tentang ekumenisme (Unitatis Redintegratio) Bab I pasal 3 mengenai ”hubungan antara saudarasaudari yang terpisah dari Gereja Katolik Roma”, Gereja Refomasi benar-benar diterima dengan status yang sama sekali baru, bukan saja disebut secara tepat menyandang nama Kristen, bahkan diakui selaku saudara-saudari di dalam Tuhan. Untuk lebih jelas, baiklah dikutip bagian-bagian terpenting dari dekrit tersebut. Dalam satu dan satu-satunya Gereja Allah itu sejak awal mula telah timbul berbagai perpecahan … Dalam abad-abad sesudahnya timbullah pertentangan-pertentangan yang lebih luas lingkupnya, dan jemaatjemaat yang cukup besar terpisahkan dari persekutuan sepenuhnya dengan Gereja Katolik, kadang-kadang bukannya tanpa kesalahan kedua pihak. Tetapi mereka, yang sekarang lahir dan diperbesarkan dalam iman akan Kristus di jemaat-jemaat itu, tidak dapat dipersalahkan dan dianggap berdosa karena memisahkan diri. Gereja Katolik merangkul mereka dengan sikap bersaudara penuh hormat dan cinta kasih. Sebab mereka itu, yang beriman akan Kristus dan dibaptis dengan sah, berada dalam suatu persekutuan dengan Gereja Katolik, sungguhpun tidak secara sempurna … Ada banyak hambatan yang menghalangi persekutuan gerejawi antara Gereja Katolik dengan mereka, baik perihal ajaran dan ada kalanya juga dalam tata tertib, maupun mengenai tata susunan Gereja. Gerakan ekumenis bertujuan mengatasi hambatan-hambatan itu. Sungguhpun begitu, karena mereka dalam baptis dibenarkan berdasarkan iman, mereka disaturagakan dalam Kristus. Oleh karena itu mereka memang dengan tepat menyandang nama Kristen, dan tepat pula … diakui selaku saudara-saudari dalam nama Tuhan… Akan tetapi saudara-saudari yang tercerai dari kita, baik secara perorangan maupun sebagai Jemaat dan Gereja, tidak menikmati kesatuan, yang oleh Yesus Kristus hendak dikaruniakan kepada mereka semua, yang dilahirkanNya kembali dan dihidupkan-Nya untuk menjadi satu Tubuh, bagi kehidupan yang serba baru, menurut kesaksian Kitab Suci dan Tradisi Gereja yang terhormat.178



Dekrit konsili Vatikan II ini secara konkret memacu Gereja Katolik Roma untuk mempertemukan Gereja-gereja Kristen ke dalam 177 Tom Jacobs, Gereja Menurut Vatikan II, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 11-12. 178 Dokumentasi dan Penerangan KWI, Op.Cit., hlm. 191-192.



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



99



persekutuan gerejawi. Diakui adanya hambatan-hambatan untuk mewujudkan persekutuan itu. Khusus untuk persekutuan dengan Gereja Reformasi misalnya, terutama hambatannya adalah masalah yang memisahkan Gereja Katolik Roma dengan Gereja Reformasi pada abad keenambelas yang lalu, seperti Kitab Suci dan tradisi Gereja, rahmat dan pembenaran, Gereja dan Sakramen, dan lain-lain. Doktrin Vatikan II secara terbuka melihat hambatan-hambatan itu, lalu menyatakan bahwa umat Katolik harus mengadakan gerakan ekumenis yang bertujuan untuk mengatasi hambatan-hambatan itu. Bagaimana mengatasi hambatan-hambatan itu? Dalam Dekrit Vatikan II bab I pasal 4 mengenai ”Ekumenisme” disebutkan: Segenap umat Katolik diundang agar secara aktif berperanserta dalam kegiatan ekumenis, yaitu segala kegiatan atau usaha-usaha yang diadakan dan ditujukan untuk mendukung kesatuan umat Kristen. Kegiatan-kegiatan dimaksud antara lain: (1) menghindarkan segala kata-kata dan penilaian-penilaian serta tindakan-tindakan yang dapat mempersukar hubungan dengan saudara-sudari yang terpisah; (2) menyelenggarakan pertemuan-pertemuan dengan umat Kristen dari berbagai Gereja dan jemaat, dialog antara pakar yang kaya informasi, yang memberi ruang kepada masing-masing peserta untuk secara lebih mendalam menguraikan ajaran persekutuannya, dan dengan jelas menyajikan corak cirinya; (3) menggalang kerja sama dengan persekutuan-persekutuan itu dalam aneka usaha demi kesejahteraan umum menurut tuntutan suara hati kristiani.179



Khusus butir (2), selanjutnya dijelaskan dalam dekrit Vatikan II tentang ekumenisme Bab II pasal 9 mengenai ”Saling mengenal sebagai saudara” sebagai berikut: Sebagai saudara, maka umat Katolik dan suadara-saudari yang terpisah harus saling mengenal dan saling mengerti akan posisi Gereja masing-masing. Untuk mencapai itu, pertemuan-pertemuan akan banyak membantu kedua pihak, terutama untuk membahas soal-soal teologis. Dalam dialog masing-masing sebagai peserta yang sederajat.180



179 Ibid., hlm. 193. M. Purwatma, Gereja Katolik Indonesia Memandang ke Depan, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 7-8, mengistilahkan ketiga jenis dialog itu sebagai ”dialog kehidupan”, ”dialog iman”, dan ”dialog karya”. 180 Ibid., hlm. 199-200.



100  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Sekarang sudah jelas bahwa sejak 1960-an, Gereja Katolik Roma telah membuka peluang ”dialog”, baik ‘dialog kehidupan’, ‘dialog iman’, dan ‘dialog karya’, dengan Gereja Protestan. Bahkan Konsili Vatikan II secara jelas mengindikasikan peluang itu sebagai reaksi positif dari Gereja Katolik Roma untuk merangkul saudara-saudari yang terpisah dengan penuh rasa hormat dan kasih ke dalam persekutuan gerejawi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pasal dua Deklarasi Bersama ini membuka sebuah peluang untuk dialog-dialog ekumenis untuk mengatasi segala permasalahan yang terjadi di antara Gereja Katolik Roma dan Lutheran untuk mencapai pemahaman bersama yang membawa kedamaian di antara kedua belah pihak. Apa yang mau disampaikan pasal dua ini bagi kita? Yang mau disampaikan pasal ini adalah hentikan segala jenis kutukankutukan. Kutukan akan semakin menjauhkan hubungan dengan sesama manusia. Namun persaudaraan yang rukun akan membawa keindahan dan kesukaan sebab sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila kita diam bersama dengan rukun! (Mzm 133: 1-3). 3.4 Eksegese Pasal 3 mengenai Pemahaman Bersama atas Pembenaran Pasal tiga ini terdiri dari lima butir konsensus. Kelima butir konsensus inilah yang menjadi batang tubuh dari dokumen Deklarasi Bersama. Sebab dalam pasal inilah kedua belah pihak menuliskan kesepakatan bersama atas dasar dengar-dengaran pada kabar gembira yang diberitakan dalam Kitab Suci dan dengan percakapan teologis yang memungkinkan adanya pemahaman bersama akan ajaran pembenaran (DB 14). Mengapa pasal tiga ini disebut sebagai batang tubuh dokumen ini? Pertama, dalam pasal ini dimuat pernyataan bersama kedua belah pihak. Dalam teks ini kita temukan tiga kali kalimat ”Kami bersamasama mengakui”.181 Apa yang diakui secara bersama-sama? Yang diakui secara bersama-sama adalah: (a) kedua belah pihak secara bersamasama mengakui bahwa pembenaran adalah karya Allah Tritunggal; 181 Dalam bahasa Inggris teks ini dituliskan dalam tiga kalimat yang berbeda. Kalimat pertama menyebutkan, ”In faith we together hold the conviction”; kalimat kedua menyebutkan, ”Together we confess”; dan kalimat ketiga menyebutkan, ”We also share the conviction”.



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



101



(b) kedua belah pihak secara bersama-sama mengakui hanya oleh anugerah, dalam iman akan karya penyelamatan Kristus dan bukan karena perbuatan kita, kita diterima oleh Allah dan diterima oleh Roh Kudus, yang memperbarui hati kita serta memampukan dan memanggil kita untuk perbuatan-perbuatan baik; (c) kedua belah pihak secara bersama-sama mengakui bahwa pemberitaan ajaran pembenaran mengarahkan kita pada jalan khusus menuju pusat kesaksian Perjanjian Baru, yaitu karya keselamatan Allah dalam Kristus (DB 15, 17). Kedua, dalam pasal ini dimuat pendirian kedua belah pihak tentang ajaran pembenaran itu yang kemudian dikembangkan pada pasal keempat. Lutheran menekankan makna khusus dari ukuran pembenaran, mereka tidak menolak keterkaitan dan makna dari seluruh kebenaran-kebenaran iman. Kaum Katolik melihat dirinya sendiri tunduk dari beberapa kriteria, mereka tidak menolak kegu­ naan yang khusus dari pesan pembenaran. Kaum Lutheran dan Katolik mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengaku Kristus, yang melampaui segalanya dipercaya sebagai satu-satunya Perantara (1 Tim 2: 5-6) yang melaluinya Allah dalam Roh Kudus memberikan diri-Nya sendiri dan mencurahkan anugerah-Nya yang memberi pembaruan (DB 18). Artinya, teks ini menjelaskan bahwa kedua belah pihak tetap memiliki pemahaman yang berbeda tentang ajaran pembenaran itu, tetapi kedua belah pihak bisa menerima perbedaan pemahaman itu tanpa harus menyalahkan ajaran yang satu dengan ajaran yang lainnya. Dengan kata lain teks ini mau menerangkan bahwa kedua belah pihak sepakat untuk tidak sepakat. Akan tetapi patut digarisbawahi dalam pasal ini bahwa metodologi yang ditempuh tidak menyembunyikan begitu saja perbedaanperbedaan doktrinal yang ada. Diawali dengan suatu rumusan kon­ sensus, posisi Lutheran maupun Gereja Katolik Roma lalu diberi penjelasan yang mencoba menafsirkan ulang tradisi masing-masing. Hal ini terlihat dalam konsensus ajaran pembenaran pada butir 15, yang dirumuskan sebagai berikut: Kami bersama-sama mengakui bahwa pembenaran adalah karya Allah Tritunggal. Allah Bapa mengutus anak-Nya ke dunia ini untuk menyelamatkan orang berdosa. Dasar dan syarat pembenaran adalah inkarnasi, kematian, dan kebangkitan Kristus. Oleh karena itu



102  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman pembenaran berarti bahwa Kristus sendiri adalah kebenaran kita; dan kita mengambil bagian dengan kebenaran ini melalui Roh Kudus sesuai dengan kehendak Bapa. Kami bersama-sama mengakui: hanya oleh anugerah, dalam iman akan karya penyelamatan Kristus dan bukan karena perbuatan kita, kita diterima oleh Allah dan diterima oleh Roh Kudus, yang memperbarui hati kita dan memampukan dan memanggil kita untuk perbuatan-perbuatan baik.182



Rumusan yang jelas disusun dengan hati-hati ini menggemakan nada khas Lutheran tentang ajaran pembenaran (”hanya oleh anugerah”, ”dalam iman akan karya akan penyelamatan Kristus”, ”bukan karena perbuatan baik”). Namun, nada dasar ini dilengkapi pula dengan nada-nada lain yang meskipun terkait erat, tidak dilihat secara ketat sebagai bagian ajaran pembenaran versi Lutheran (”menerima Roh Kudus”, ”memperbarui hati”, ”memanggil kita untuk perbuatan-perbuatan baik”). Dalam bagian pengembangan dan penjelasan (misalnya DB 22-24), perbedaan sudut pandang antara Gereja Katolik Roma dan Lutheran diberi tempatnya masing-masing tanpa menolak begitu saja posisi yang berbeda itu. Kelihatannya rumusan ini sangat kompromistis. Rumusan diawali dengan pernyataan khas alkitabiah, lalu disusul dengan kalimat khas Lutheran (huruf tebal) dan selanjutnya ditutup dengan kalimat khas Gereja Katolik Roma (huruf miring). Rumusan ini memuat ungkapan yang sangat akrab di telinga Gereja Lutheran: ’hanya oleh anugerah Allah’ (by grace alone, sola gratia), tetapi pasangan yang khas untuk kata itu: ”hanya oleh iman” (by faith alone, sola fide) tidak ditemukan di dalamnya dan kalimatnya disambung dengan kata ”dalam iman”.183 Justru yang kelihatan dalam rumusan ini adalah bahwa kalimat khas Lutheran: ”hanya oleh anugerah Allah” diikuti secara ketat oleh kalimat khas Gereja Katolik Roma: ”yang memperbarui hati kita dan memampukan dan memanggil kita untuk perbuatan-perbuatan baik”. Dapat dipahami bahwa Gereja Katolik Roma menerima hal pembenaran hanya berdasarkan anugerah Allah, tetapi tidak menerima jika pembenaran hanya oleh iman. Ini ternyata dirujuk dari dekrit Vatikan II tentang Gereja bab V pasal 40: ”Sebab kepada semua diutus-Nya 182 Joint Declaration, hlm. 15, (huruf tebal dan miring merupakan tambahan). 183 Kata sola fide hanya ditemukan sekali, yakni dalam butir 26 atau pada butir 3 dalam pokokpokok penjelasan dari pihak Lutheran.



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



103



Roh Kudus, untuk menggerakkan mereka dari dalam, supaya mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi dan dengan segenap tenaga mereka (Mrk 12:30) ... Para pengikut Kristus dipanggil oleh Allah bukan berdasarkan perbuatan mereka, melainkan berdasarkan rencana dan rahmat-Nya. Mereka dibenarkan dalam Tuhan Yesus, dan dalam ’pembaptisan iman’ mereka sungguhsungguh dijadikan anak-anak Allah dan ikut serta dalam kodrat ilahi, maka sungguh menjadi suci. Maka dengan bantuan rahmat Allah mereka wajib mempertahankan dan menyempurnakan kesucian yang telah mereka terima itu di dalam hidupnya”.184 Bertolak dari dekrit Vatikan II ini, tampak jelas perbedaan pe­ mahaman antara kedua pihak soal ”anugerah” dan ”iman”. Anugerah Luther tidak pernah mengartikan anugerah sebagai sesuatu yang dicurahkan (gratia infusa) ke dalam jiwa oleh Roh Kudus untuk menyembuhkannya dari dosa dan menguduskannya, pun tidak pernah memahaminya sebagai suatu substansi adikodrati yang dicurahkan oleh Roh Kudus ke dalam jiwa manusia supaya memu­ dahkan pendamaian.185 Tetapi Luther mengartikannya sebagai ”status dinyatakan benar” oleh Allah, dan anugerah yang demikian mutlak sebagai pemberian Allah secara cuma-cuma, artinya tidak ada andil manusia dalam pembenaran dirinya. Anugerah yang demikian diterima tanpa jasa apa pun dari manusia berdosa. Luther memahami pembenaran itu sebagai status yang datang dari luar dirinya; sebaliknya Gereja Katolik Roma memahami pembenaran itu sebagai sesuatu yang diproses di dalam dirinya. Baik Luther maupun Gereja Katolik memahami pembenaran hanya berdasarkan anugerah Allah. Gereja Katolik memahami anugerah itu sebagai inisiatif perdana dari Allah agar manusia dapat menjalani proses menjadi benar, tetapi dalam menjalani proses menjadi benar, manusia sendiri mengusahakannya dengan bantuan anugerah Allah. Jadi yang tidak diperoleh melalui perbuatan atau jasa manusia adalah anugerah perdana atau panggilan menjadi anak-anak Allah; sedangkan keselamatan merupakan hasil 184 Dokumentasi dan Penerangan KWI, Op.Cit., hlm. 128. Lih. Juga Adolf Heuken, Katekismus Konsili Vatikan II, (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1996), hlm. 86-87. 185 Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, hlm. 113.



104  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman yang diperoleh dari kerja sama anugerah dengan kemampuan manusia. Dengan demikian pembenaran dalam Gereja Katolik Roma adalah hal menjadi. Luther juga memahami anugerah sebagai inisiatif Allah, tetapi bukan sekadar panggilan yang melayakkan manusia memasuki proses menjadi benar, melainkan mengubah status manusia dari orang ber­dosa menjadi orang yang dibenarkan. Dengan demikian Luther cenderung memahami pembenaran sebagai perkara dinyatakan benar oleh anugerah Allah daripada suatu proses menjadi benar.186 Luther menekankan pembenaran secara forensik atau berdasarkan hak juridis Allah sendiri. Maksudnya, Allah menyatakan manusia benar dengan menghubungkan kebenaran Kristus atas manusia. Ada dua pengertian benar. Pertama, benar dalam arti dinyatakan tidak bersalah. Kedua, benar dalam arti telah menjalani atau menebus hukuman. Dalam pengertian kedua ini, segala hukuman telah dipenuhi di dalam Yesus Kristus. Pembenaran manusia telah berlangsung dalam pengertian yang kedua ini, bahwa kebenaran Kristus-lah yang diperhitungkan pada orang percaya oleh iman, sebagai dasar pembenaran.187 Dengan kata lain, kebenaran yang menjadi dasar orang berdosa dibenarkan adalah kebenaran yang diberikan kepadanya oleh Allah, bukan kebenaran dari orang itu sendiri, maupun oleh usahanya sendiri. Jadi pembenaran bukan berasal dari diri manusia, melainkan dari Allah. Pembenaran adalah milik Kristus, dan akan dimiliki orang-orang yang ada di dalam Kristus.188 Iman Penggalan kalimat kedua dari ajaran Vatikan II berbunyi: ”... dalam ’pembaptisan iman’ mereka sungguh-sungguh dijadikan anakanak Allah dan ikut serta dalam kodrati ilahi, maka sungguh menjadi suci. Maka dengan bantuan rahmat Allah mereka wajib mempertahankan dan menyempurnakan kesucian yang telah mereka terima itu di dalam hidupnya.” Di sini iman dipahami sebagai sesuatu yang



186 Ibid., hlm. 147. 187 Millard J. Erickson, Christian Theology, (Grand Rapids-Michigan: Baker Book House, 1991), hlm. 958. 188 Bdk. Gordon J. Spykman, Reformation Theology: A New Paradigm for doing Dogmatics, (Grand Rapids-Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1992), hlm. 490, 494.



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



105



bersumber dari pencurahan anugerah Allah, karena itu dipakai istilah ’pembaptisan iman’. Baptisan harus selalu dipahami sebagai sarana dan waktu di mana Allah mencurahkan substansi adikodratiNya ke dalam jiwa manusia. Dalam hubungannya dengan iman, dengan dicurahkan-Nya substansi adikodrati ke dalam jiwa manusia, maka jiwa manusia dijadikan / menjadi bebas untuk menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah. Dan dalam keadaan penyerahan diri secara total, manusia senantiasa dibantu oleh rahmat Allah untuk menyempurnakan kesucian hidupnya, sehingga pada gilirannya ia dinyatakan benar. Untuk lebih menjelaskan lagi, dalam dekrit Vatikan II tentang Wahyu Ilahi bab I pasal 5 disebutkan: ”Kepada Allah, yang menyampaikan wahyu, manusia wajib menyatakan ’ketaatan iman’. Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan ’kepatuhan akal budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah’. Supaya orang dapat beriman seperti itu, diperlukan rahmat Allah yang mendahului serta menolong, pun juga bantuan batin Roh Kudus, dan menimbulkan pada semua orang rasa manis dalam menyetujui dan mempercayai kebenaran.”189 Hal mendasar yang harus dipahami mengapa orang dapat beriman kepada Allah adalah bahwa iman itu diadakan di dalam manusia berdasarkan rahmat Allah. Oleh rahmat Allah, Roh Kudus dicurahkan ke dalam manusia, dan Roh Kudus itu sendiri bekerja menggerakkan hati dan akal budi manusia untuk mempercayai Allah dan menyerahkan dirinya secara penuh kepada ketaatan melakukan hukum-hukum Allah. Secara sederhana dapat diartikan: bukan dengan iman kita menerima anugerah, tetapi anugerah menghasilkan iman; bukan dengan iman kita menerima Roh Kudus, tetapi Roh Kudus yang menghasilkan iman, atau iman adalah bagian dari buah Roh, sebagaimana dikatakan dalam dekrit Vatikan II bahwa buah Roh adalah iman, harapan, dan cinta kasih190; dan pada gilirannya bukan oleh iman kita dibenarkan, tetapi dengan iman kita, kita menjalani proses menjadi benar, dan pembenaran itu tetap sebagai hasil kerja sama antara anugerah Allah dengan ketaatan manusia. Dalam pengertian ini, Gereja Katolik juga memahami iman 189 Dokumentasi dan Penerangan KWI, Op.Cit., hlm. 330. 190 Lih. Indeks Analitis Konsili Vatikan II tentang karunia-karunia Rohani dalam Ibid., hlm. 670.



106  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman sebagai dasar untuk pembenaran, tetapi pembenaran bukan ”hanya oleh iman”. Boleh dipahami bahwa iman adalah pengantar (=dasar) untuk mengejar keselamatan melalui amalan-amalan. Anugerah membebaskan manusia dari dosa asalinya dan menempatkannya ke dalam suatu proses untuk mengupayakan keselamatannya, dan untuk meyakinkan seseorang bahwa ia ada di dalam proses itu, pun untuk meyakinkan seseorang bahwa di dalam ”proses menjadi” itu ia dibantu oleh anugerah Allah, itulah yang dimaksud Gereja Katolik Roma dengan iman. Lantas bagaimana pemahaman Lutheran soal iman sehingga begitu kuat menekankan prinsip sola fide? Menurut Luther,191 ada tiga pokok penting tentang iman yaitu: pertama, iman mempunyai rujukan yang lebih pribadi / personal ketimbang yang murni historis. Artinya iman bukanlah semata-mata pengetahuan historis. Luther berpendapat bahwa iman yang puas dengan percaya pada keandalan historis dari Injil bukanlah iman yang membenarkan. Iman yang menyelamatkan menyangkut kepercayaan dan keyakinan yang sungguh bahwa Kristus telah dilahirkan pro nobis, dilahirkan untuk kita secara pribadi, dan telah menggenapi untuk kita pekerjaan keselamatan itu. Kedua, iman menyangkut kepercayaan pada janjijanji Allah. Artinya iman ini dengan memakai analogi kelautan adalah iman ”kepasrahan” (fiducia). Maksudnya, iman bukanlah sematamata percaya bahwa ada sebuah kapal; iman berarti naik dan masuk ke dalam kapal dan memasrahkan diri kepada kapal tersebut. Bagi Luther, iman bukanlah sekedar hanya percaya bahwa sesuatu adalah benar; iman berarti siap untuk bertindak atas dasar kepercayaan dan menyandarkan diri padanya. Ketiga, iman mempersatukan orang percaya dengan Kristus. Bagi Luther, iman bukanlah suatu jawaban ”ya” terhadap seperangkat ajaran yang abstrak. Iman adalah suatu ”cincin perkawinan” yang menunjuk pada komitmen bersama dan kesatuan antara Kristus di dalam diri orang percaya. Lebih dalam Luther berkata: Aku telah sering berbicara tentang dua macam iman. Yang pertama berbunyi seperti ini: engkau percaya bahwa Kristus adalah benar tokoh yang dijelaskan dan diproklamasikan di dalam Injil, tetapi engkau tidak 191 Diacu dalam Alister E. McGrath, Op.Cit., hlm.125-130.



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



107



percaya bahwa Ia adalah sungguh-sungguh seorang yang diperuntukkan bagimu ... Ini adalah iman yang berhubungan dengan Kristus, tetapi bukan iman di dalam Kristus... Satu-satunya iman yang layak disebut Kristen adalah: engkau percaya tanpa syarat bahwa bukan hanya untuk Petrus dan orang-orang suci Kristus memberikan diri-Nya, tetapi juga untuk engkau, engkau sendiri.192



Definisi iman dalam Apologi Konfesi Augsburg 1531 pasal IV.48 adalah bahwa iman merupakan penerimaan yang bulat akan pemberian janji Allah tentang pengampunan dosa dan pembenaran. Jadi iman bukan pengetahuan bahwa oleh anugerah Allah manusia dilayakkan untuk mengupayakan keselamatannya, tetapi memiliki iman berarti mengingini dan menerima pemberian janji tentang pengampunan dosa dan pembenaran.193 Untuk lebih jelasnya, pasal IV. 49 menggolongkan pemahaman iman Gereja Katolik Roma sebagai ibadah hukum; sedangkan pemahaman iman Lutheran sebagai ibadah Injili. Apa perbedaan kedua jenis ibadah itu? Adalah gampang menentukan perbedaan antara pembenaran oleh iman dengan kebenaran oleh hukum Taurat. Iman adalah ibadah yang menerima berkat yang diberikan Allah, yaitu Injil; tetapi hukum Taurat adalah ibadah yang menawarkan jasa-jasa kita sendiri kepada Allah.194 Luther dengan menggunakan analogi kelautan menggambarkan keselamatan itu sama seperti menyeberangi lautan. Iman bukanlah sekedar percaya bahwa sesuatu adalah benar; iman berarti siap untuk bertindak atas dasar kepercayaan itu dan menyandarkan diri padanya. Iman adalah kepasrahan meletakkan kepercayaan kita ke dalam janji-janji Allah, dan percaya sepenuhnya bahwa dalam integritas dan kesetiaan Allah akan janji-janji-Nya, maka Allah menyatakan janji-janji-Nya kepada kita.195 Dari penjelasan di atas posisi pemahaman kedua belah pihak menjadi jelas. Gereja Katolik Roma memahami anugerah itu datang dari Allah kepada manusia, sebaliknya iman dipahami datang dari pihak manusia kepada Allah, sehingga iman selalu dipahami tidak berdiri sendiri, tetapi selalu harus dinyatakan dalam perbuatan 192 Ibid., hlm.126. 193 Apologi Konfesi Augburg IV.48, Buku Konkord, hlm. 113. 194 Ibid. 195 Alister E. McGrath, Op.Cit., hlm.126-127.



108  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman dan upaya dari orang beriman itu. Selain itu, iman, perbuatan baik, dan pembaruan hidup senantiasa dibutuhkan untuk dapat menerima anugerah Allah, supaya dengan anugerah itu ia ditolong menjalani proses menjadi benar di hadapan Allah. Sebab pembenaran merupakan perubahan status dari orang berdosa menjadi anak Allah yang meliputi juga transformasi hidup batin oleh Roh Kudus. Sebaliknya, Luther memahami keselamatan hanya oleh anugerah Allah dan hanya oleh iman, manusia pasif dan tidak mempunyai andil apa-apa, kecuali hanya oleh pengasihan Allah semata. Oleh karena itu sekalipun keadaan manusia masih berada dalam status berdosa, ia dapat menerima anugerah Allah tersebut. Itulah makna perkataan yang diungkapkan Luther: simul iustus et peccator. Lutheran dan Gereja Katolik Roma sama-sama memahami bahwa pembenaran diterima hanya dengan anugerah Allah saja, perbedaannya adalah cara menyikapi pemberian Allah itu. Lutheran memahami bahwa berkenaan dengan pembenaran manusia, maka manusia tidak punya andil apa-apa (pembenaran pasif) kecuali hanya oleh anugerah Allah saja. Tampak bahwa soteriologi Luther bersifat antropo-teologi yang pesimis. Sebaliknya, soteriologi Gereja Katolik Roma bersifat antropo-teologi yang optimis, memandang bahwa dengan bantuan anugerah Allah, kondisi dan kemampuan manusia dapat beker jasama dengan anugerah Allah untuk keselamatan manusia itu. Dalam kerja sama itu manusia sebagai orang percaya harus tanggap atau responsif terhadap anugerah Allah. Respons dan tanggapan itu bukanlah suatu karya keselamatan dari pihak manusia, melainkan sebagai sikap kooperatif dari tindakan penyelamatan yang diperbuat Allah atas dirinya. 3.5 Eksegese Pasal 4 mengenai Pengembangan Pemahaman Bersama tentang Pembenaran Bagian ini akan mengeksegese tujuh pokok pengembangan pemahaman bersama tentang pembenaran. 1) Ketidakberdayaan manusia dan dosa dalam kaitan dengan Pembenaran Setiap orang, dalam rangka keselamatannya, tergantung sepenuh­ nya pada anugerah penyelamatan Allah. Sebagai orang berdosa,



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



109



kita tidak dapat dan tidak mampu untuk berbalik pada Allah untuk memperoleh kelepasannya. Menurut Katolik, seseorang ”turut bekerja sama” (cooperating) dalam mempersiapkan dan menerima pembenaran melalui per­ setujuannya akan karya Allah yang membenarkan, sebagai akibat dari anugerah, bukan sebagai tindakan yang muncul dari kemampuan batin manusiawi (DB 20). Artinya, pembenaran itu merupakan tindakan yang bersumber dari Allah dan manusia. Pembenaran mendasar suatu kerja sama antara rahmat Allah dan kebebasan manusia. Pembenaran terungkap dalam kenyataan bahwa manusia dengan percaya menerima Sabda Allah, yang mengajaknya untuk bertobat dan bahwa ia bekerja sama dalam kasih dengan dorongan Roh Kudus, yang mendahului persetujuan kita dan menopangnya.196 Kalau Allah menjamah hati manusia melalui terang Roh Kudus, maka manusia di satu pihak bukan tidak aktif sama sekali, karena ia menerima ilham yang dapat ia tolak juga; di lain pihak ia tidak dapat mengangkat diri dengan kehendak bebasnya tanpa rahmat Allah ke dalam keadilan di hadapan Allah” (Konsili Trente: DS 1525).197



Menurut Lutheran, manusia tidak mampu untuk turut meng­ usahakan keselamatannya, dan setiap orang percaya sepenuhnya terlibat secara pribadi dan tidak dapat menolak pekerjaan anugerah (DB 21). Artinya, manusia hanya dapat menerima (secara pasif) pembenaran, dan tidak ada kemungkinan manusia untuk turut serta membantu usaha pembenarannya. Pembenaran itu seutuhnya berasal dari luar manusia itu sendiri. Barth melihat pembenaran manusia sebagai sebuah sejarah yang secara esensinya terjadi oleh karena orang asing – di dalam Yesus Kristus.198 Pembenaran manusia adalah penghakiman Allah. Keadilan Allah datang dari keadilan Allah yang disempurnakan dalam kematian Kristus di kayu salib dan di dalam kebangkitanNya. Manusia memiliki dual orientation. Manusia diproses dari ketidakadilan dan kematiannya menuju keadilan dan hidup. Manusia memiliki pembebasan ilahi, bahwa manusia dapat diproses dari sana 196 Katekismus Gereja Katolik, hlm. 487. 197 Jaroslav Pelikan & Valerie Hotchkiss (eds.), Creeds and Confessions of Faith in the Christian Tradition, vol. II (London: Yale University Press, 2003), hlm. 828. 198 Hans Kűng, Justification, hlm. 61.



110  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman ke sini: ”Dia menjadi manusia yang dalam setiap saat memiliki dua kehidupan yakni masa lalu dan masa depan; salah satunya adalah masa lalu, dan yang satu lagi masa depan; di satu sisi berada di dalam dirinya, di sisi lain sebagai janji di hadapannya …”199 Bagi Luther, orang-orang berdosa mempunyai kebenaran di dalam diri mereka sendiri. Mereka tidak mempunyai apa pun di dalam diri mereka yang dapat dianggap sebagai dasar bagi keputusan yang mahamurah dari Allah untuk membenarkan mereka. ”Kebenaran yang asing dari Kristus” (iustitia Christi aliena) membuat jelas bahwa kebenaran yang membenarkan orang-orang berdosa adalah di luar mereka. Hal itu dinyatakan, tidak ditanamkan; eksternal, bukan internal. Trente dengan kuat mempertahankan ide Augustinus tentang pembenaran atas dasar suatu kebenaran internal. Trente menyatakan bahwa alasan yang langsung dari pembenaran adalah kebenaran yang oleh Allah dengan kemurahan-Nya ditanamkan ke dalam kita.200 Dalam ajaran Lutheran, manusia, dengan perbuatan sebaik apa pun, tidak dapat berkenan kepada Allah, karena secara total (totus homo) telah rusak oleh dosa asali, ”semua manusia penuh nafsu dan kecenderungan yang jahat sejak dalam kandungan ibunya dan pada hakikatnya tidak mampu memiliki rasa takut dan iman sejati kepada Allah” (Konf. Augsburg, II.1). Dalam pengakuan yang sama juga ditegaskan, nafsu (concupiscentia) akibat dosa bawaan itu benarbenar dimengerti sebagai dosa (II.2). Manusia yang telah dibenarkan pun masih harus berhadapan dengan keadaan dirinya yang berdosa sepanjang hidupnya. Dalam kaitan ini, kita mengingat kembali ucapan Luther yang terkenal: simul iustus et peccator. Dalam pandangannya sendiri dan dalam kenyataannya, orang yang dibenarkan sadar akan dosa-dosanya, tetapi oleh iman akan kebenaran Kristus, di hadapan Allah mereka dilihat sebagai orang benar.201 Di sini juga kedudukan hukum Taurat menjadi jelas kaintannya dalam pembenaran diri manusia, yakni mendakwa manusia sebagai orang berdosa, sehingga 199 Ibid., hlm. 63. 200 Alister E. McGrath, Op.Cit, hlm.149. 201 Ibid., hlm. 138-139. Luther menafsirkan Roma 4: 7 sebagai dasar pembenaran. Luther berkata, ”Orang-orang suci adalah tetap orang-orang berdosa dalam pandangan mereka sendiri dan karena itu selalu dibenarkan dari luar. Tetapi orang-orang munafik selalu benar di dalam pemandangan mereka sendiri dan dengan demikian tetap menjadi orang berdosa dari luar.”



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



111



ia harus berpaling pada rahmat Allah (DB 32). Kita dapat melihat betapa soteriologi Lutheran sangat dipengaruhi antropo-teologis yang pesimis tersebut. Berbeda dengan ajaran Lutheran, ajaran Gereja Katolik Roma lebih optimistis tentang kondisi dan kemampuan manusia yang oleh bantuan anugerah Allah dapat bekerja sama untuk keselamatannya. Yang tidak dapat diperoleh sebagai jasa, menurut Gereja Katolik Roma, adalah anugerah perdana berupa pengampunan dosa. Lagilagi kontras dengan ajaran Lutheran, ajaran Gereja Katolik Roma me­ ne­gaskan hilangnya dosa asali melalui baptisan, sementara concupi­ scentia tidak dilihat sebagai dosa dalam arti sesungguhnya. (DB 30). 2) Pembenaran sebagai Pengampunan Dosa dan Membuat Jadi Benar Allah mengampuni dosa melalui anugerah dan pada saat yang sama membebaskan manusia dari kuasa dosa yang selama ini memperbudak manusia dan memberikan anugerah hidup baru dalam Kristus. Secara sederhana teks ini dipahami Gereja Lutheran, hanya di dalam kesatuan dengan Kristuslah hidup manusia diperbarui (DB 23). Gereja Katolik Roma menekankan bahwa anugerah pengampunan Allah selalu membawa anugerah hidup baru, yang di dalam Roh Kudus menjadi nyata dalam karya kasih (DB 24). Teks Deklarasi Bersama ini tidak bisa bersih dari perdebatan di antara dokumen Augsburg dan Konsili Trente. Bagi Lutheran, pembenaran adalah hal yang forensik secara mendasar, yakni Allah menyatakan orang berdosa dibenarkan di dalam Kristus Yesus. Sedangkan Gereja Katolik Roma mendefinisikan pembenaran sebagai transformasi internal dari orang percaya, sebuah ”proses” menjadi benar. Gereja Katolik Roma mengerti bahwa anugerah adalah sebuah substansi gratia infusa, yang dicurahkan ke dalam jiwa melalui baptisan. Lutheran dan Paulus melihat anugerah pembenaran sebagai favor Dei, anugerah Allah yang menerima orang berdosa. Judul butir ”Pembenaran sebagai Pengampunan Dosa dan Membuat Jadi Benar” harus dimengerti dari sudut pandang Lutheran. Butir 72 dari Apologi IV sangat jelas menyebutkan: ”’Dibenarkan’ berarti membuat orang yang tidak benar menjadi benar atau melahirkan



112  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman mereka kembali, sekaligus dinyatakan atau dianggap benar”.202 Bahkan Formula Konkord secara jelas menolak pandangan bahwa kebenaran oleh iman di hadapan Allah terdiri dari dua bahagian, yakni pengampunan dosa dan, sebagai unsur yang kedua, pembaruan atau pengudusan.203 Dalam Katekismus Gereja Katolik: ”Pembenaran termasuk pengampunan dosa, pengudusan, dan pembaruan hidup orang berdosa”.204 Ajaran Lutheran dan Gereja Katolik Roma sama-sama menggunakan istilah ”pembenaran” tetapi memberinya makna yang berbeda. Kita berhadapan dengan masalah semantis-eksegetis dalam hal ini. Ajaran Gereja Katolik, seperti yang diformulasikan oleh dekrit Trente (pasal 4 dan 7) dan masih dipegang dalam Katekismus Gereja Katolik, mengartikan pembenaran sebagai perubahan status dari orang berdosa menjadi anak Allah yang meliputi juga transformasi hidup batin oleh Roh Kudus. Ajaran ini berakar pada pandangan Augustinus yang mengartikan ”pembenaran” sebagai peristiwa ”dinyatakan benar” dan proses ”dibuat benar”.205 Pandangan Luther sendiri pada awalnya mencerminkan pandangan Augustinus ini, misalnya dalam kuliahnya mengenai surat Roma (1515-1516).206 Baru kemudian, Luther memperlihatkan pemahaman forensik mengenai ajaran pembenaran, yakni bahwa orang berdosa divonis benar oleh Allah. Rumusan kesepakatan, misalnya mengartikan ”dibenarkan” dalam arti ”dinyatakan benar dan bebas dari dosa ... berdasarkan kebenaran Kristus yang diperhitungkan Allah”. Ajaran Gereja Katolik lebih mencerminkan pemahaman nuansa kausatif dari kata Latin iustificare, ”membuat benar” (iustum facere). Dalam pandangan Lutheran, seperti yang terlihat dari acuan Roma 3: 21-28; 4: 5, istilah Yunani dikaioun diartikan ”memperhitungkan” (imputare). Tampaknya, tekanan Luther mengenai pembenaran melulu sebagai status yang dianugerahkan hendak menggarisbawahi bahwa tidak ada andil manusia dalam pembenaran dirinya. Status yang diterima benar-benar adalah iustitia Christi, ”status benarnya 202 Apologi IV, 72, dalam Buku Konkord, hlm. 116. 203 Formula Konkord, dalam Ibid., hlm. 770. 204 Katekismus Gereja Katolik, hlm. 486-487. 205 Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, hlm. 141. 206 Ibid., hlm. 147.



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



113



Kristus” dan, karena itu, tetap merupakan status benar yang asing (DB 23-24). 3) Pembenaran oleh Iman dan melalui Anugerah Kami percaya pada janji anugerah Allah oleh iman, yang bekerja melalui pengharapan dan kasih. Tetapi perbuatan baik tidak akan pernah menjadi dasar pembenaran dan tidak pernah dapat diusahakan. Secara sederhana teks ini dipahami Gereja Lutheran, Allah sendirilah yang menyebabkan munculnya iman. ”Hanya oleh iman” membuat pembedaan tetapi bukan pemisahan di antara pembenaran dan pembaruan hidup baru. Karena pembaruan dipersatukan di dalam Kristus, yang hadir dalam iman (DB 26). Bagi Gereja Katolik, iman, pengharapan, dan kasih bersatu dan merupakan pemberian. Anugerah yang membenarkan itu tidak pernah menjadi milik manusia untuk digunakan membela dirinya di hadapan Allah. Pembenaran adalah pengampunan dan dibuat menjadi benar (DB 27). Setelah melalui diskusi yang intens, utusan LWF Jerman mengusulkan bahwa butir pembenaran disebut ”sebagai ukuran” (kriterion) yang secara terus-menerus melayani seluruh orientasi pengajaran dan praktiknya di Gereja Kristus.207 Perubahan ini telah diterima secara resmi pada versi Juni 1996 Deklarasi Bersama, tetapi kemudian diveto oleh Roman Sacred Congregation for Doctrine of the Faith. Sebagaimana masukan Jüngel, Kardinal Ratzinger membenarkan Kardinal Cassidy untuk mempengaruhi bahwa Pontifical Council for Promoting Christian Unity hanya boleh mengakui bahwa ”… ajaran pembenaran adalah sebuah ukuran yang sangat dibutuhkan” (an indispensable criterion). Penambahan kata ”sebuah” pada pem­ benaran, mengakibatkan penurunan maksud dari posisinya yang unik, yang mengatasi ukuran di antara yang lainnya. Gereja Katolik Roma menambahkan bahwa mereka ”melihat dirinya sendiri sebagai pengikat banyak ukuran”. Intervensi Jemaat Suci Roma 207 Lih. The Lutheran Church—Missouri Synod, The Joint Declaration on the Doctrine of Justification in Confessional Lutheran Perspective: An Evaluation of the Lutheran-Roman Catholic ”Joint Declaration on the Doctrine of Justification”, (Missouri: The Lutheran Church—Missouri Synod, 1999), hlm. 16 yang mengutip pendapat Eberhard Jüngel, ”Um Gottes willen—Klarheit! Kritische Bemerkungen zur Verharmlosung der kriteriologischen Funktion des Rechtfertigungsartikels-aus Anlass einer—ökumenischen ‘Gemein­samen Erklarung zur Rechtfertigungslehre,’” Zeitschrift für Theologie und Kirche 94 (1997): 394– 406.



114  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman bagi Ajaran Iman memberi isyarat bahwa Vatikan merencanakan jaminan penundaan untuk teks akhir. Namun isyarat ini akhirnya termentahkan karena pihak Gereja Katolik tetap memberikan teks akhir untuk disetujui dan ditandatanganni bersama. Pihak Gereja Katolik memahami bahwa iman sebagai suatu yang mendasar dalam pembenaran. Sebab tanpa iman tidak akan terdapat pembenaran. Pembenaran serentak berarti bahwa orang menerima kebenaran Allah melalui iman akan Yesus Kristus.208 Pernyataan Katolik dalam butir 27 mau menjelaskan ajaran tra­disional Katolik, yaitu bahwa iman, pengharapan, dan kasih dimasukkan ke dalam pribadi seseorang pada saat pembenaran, tetapi butir 27 bukan menyatakan bahwa masuknya iman, pengharapan, dan kasih dapat digambarkan dengan perkataan ”hanya iman”. Pernyataan Lutheran pada butir 26 yang mengatakan ”hanya iman” tidak pernah dihubungkan dengan ajaran Katolik tentang iman, pengharapan, dan kasih yang dimasukkan kepada seseorang pada saat pembenaran. Ajaran Lutheran dan Katolik menjadi sangat dekat di dalam pernyataan, ”Dengan demikian dasar ditunjukkan, yang darinya hidup yang diperbarui muncul; dasar itu keluar dari kasih Allah yang dianugerahkan pada orang yang dibenarkan.” Berkaitan dengan anugerah, kembali kita menghadapi persoalan semantik. Ajaran Lutheran dan Gereja Katolik mengartikannya dengan muatan masing-masing. Di satu sisi, pandangan Lutheran mengartikan gratia sebagai favor Dei yang diterima tanpa jasa apa pun dari manusia berdosa. Inilah posisi yang dipertahankan Augustinus dalam menghadapi ajaran Pelagius.209 Anugerah tidak per­nah dimengerti sebagai sesuatu yang dicurahkan (gratia infusa) ke dalam jiwa oleh Roh Kudus untuk menyembuhkannya dari dosa dan menguduskannya. Posisi Lutheran mengenai ”iman” dengan kualifikasi yang tegas ”hanya oleh iman” (sola fide) dengan jelas telah diperlunak dalam Deklarasi Bersama ini. Posisi yang sangat khas ini bahkan mendorong Luther menambahkan kata ”allein” (bukan) pada terjemahan PBnya, misalnya dalam Roma 3: 28, kata yang masih dipertahankan 208 Katekismus Gereja Katolik, hlm. 487. 209 Alister E. McGrath, Op.Cit., hlm. 92-93, 113.



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



115



dalam edisi revisi yang terakhir (1984): Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan210 karena ia melakukan hukum Taurat. Posisi ini kembali berkaitan dengan keyakinan bahwa berkenaan dengan pembenaran dirinya, manusia tidak punya andil apa-apa (pembenaran pasif - DB 21). Dapat dimengerti jika kecenderungan saling menyalahkan ajaran lawan dalam polemik pada masa reformasi mengakibatkan munculnya kanon 9 dari konsili Trente yang memberi anathema, kutukan terhadap pandangan ini. Namun, seperti yang juga diluruskan dalam Deklarasi Bersama, ajaran Lutheran sebenarnya tidak mengabaikan perbuatan baik yang merupakan buah iman (Lih. Konfesi Augsburg pasal VI). 4) Orang Berdosa yang Dibenarkan Di dalam baptisan kita menyatu dengan Kristus, dan dibarui melalui Roh Kudus; tetapi kita harus selalu berjuang dan memohon pada Allah setiap hari pengampunan dosa kita. Teks ini dipahami Gereja Lutheran sebagai orang yang ”serentak benar dan berdosa” (simul iustus et peccator). Dosa masih tinggal dalam baptisan sebagai sebuah perlawanan kepada Allah. Pertentangan dengan Allah ini adalah benar-benar dosa. Namun demikian, dosa tidak lagi ”memerintah” orang Kristen, sebab mereka sendiri ”dikuasai” oleh Kristus (DB 29). Gereja Katolik Roma - dosa masih tinggal dalam baptisan (bukan dosa dalam pengertian dosa asali, tetapi dosa keinginan); ketika manusia berdosa, manusia harus Rekonsiliasi melalui firman dan pengampunan (DB 30). Mengenai simul iustus et peccator, menurut Barth, pembenaran Allah diartikan dalam tiga hal: pengampunan dosa; jaminan anakanak Allah dan jaminan mewarisi hidup yang kekal.211 Dalam Konsili Trente, pengertian simul iustus et peccator terlihat dalam dua dokumen. Dokumen pertama menyebutkan bahwa dalam pembenaran, ma­ nusia dilahirkan kembali bukan untuk memuliakan tetapi untuk mengharapkan kemuliaan. Dokumen kedua menyatakan bahwa seluruh manusia yang memiliki keadilan diberikan kepadanya oleh anugerah. Dengan demikian, pengajaran Trente tentang simul iustus 210 Kata yang miring adalah kata tambahan Martin Luther. 211 Hans Kung, Justification, hlm. 236.



116  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman et peccator didasarkan pada  : (1) pembenaran manusia adalah dapat menghapuskan dosa sebelumnya; (2) ciri keadilan dari pembenaran manusia adalah hal asing yang diberikan kepadanya.212 Menurut Luther, simul iustus et peccator adalah manusia yang dibenarkan bebas dari dosa dan pada saat bersamaan bisa saja jatuh ke dalam dosa.213 Pembenaran orang berdosa adalah pekerjaan Allah, tetapi disem­ purnakan di dalam manusia. Menurut Barth, untuk menyempurnakan pembenaran ini sikap manusia harus menerima dengan iman. Manusia harus merespons tindakan pembenaran Allah itu dengan iman dan lebih dalam dengan iman saja.214 Pendapat Luther ini mendapat respons dari teolog Katolik seperti: Bellarmine yang mengatakan bahwa terjemahan itu adalah milik tradisi Katolik. Küng mencoba mengaitkan pemikiran Barth dengan Luther. Mereka berdua pada dasarnya ajarannya sama dengan ajaran Katolik. Tidak ada usaha manusia, baik perbuatan sebaik apa pun tak dapat memperoleh pembenaran itu. Manusia dibenarkan Allah atas dasar iman semata. Di dalam iman, orang berdosa memasukkan dirinya sendiri pada pembenaran ilahi yang diperoleh dari kematian dan kebangkitan Kristus. Pembenaran itu dicirikan dengan tindakan subjektif.215 Bagi Lutheran pembenaran orang berdosa itu adalah sama sebagaimana pembenaran menurut Mazmur 32: 1, ”Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi!” Manusia memperoleh pengampunan dosa hanya oleh iman pada Kristus bukan melalui atau oleh sebab kasih atau usaha, walau kasih mengikuti iman. Oleh sebab itu, manusia dibenarkan hanya oleh iman, pembenaran dipahami sebagai membuat orang yang tak benar menjadi benar atau menjadikannya lahir kembali.216 Perhatian utama Luther pada rahmat berpusat pada keberadaan dosa manusia. Dalam kuliahnya tentang surat Paulus kepada jemaat di Roma (1515-1516) Luther mengidentikkan dosa dengan konkupisensi. Dia menulis, ”Maka dari itu dosa aktual sebenarnya merupakan 212 Ibid., hlm. 241. 213 Ibid., hlm. 240. 214 Perdebatan ini dimulai sejak tahun 1521 ketika Luther menerjemahkan Roma 3: 28, ”Manusia dibenarkan … hanya melalui iman”. Dalam tafsirannya, Luther sebenarnya masih menerima perbuatan baik, setelah pembenaran, asalkan perbuatan baik itu bukan untuk memperoleh pembenaran itu (pro quaerenda iustificatione). 215 Hans Kung, Op.Cit., hlm. 259. 216 Buku Konkord, hlm. 117.



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



117



pekerjaan dan buah dosa. Dan dosa itu sendiri adalah nafsu dan konkupisensi, atau kecenderungan kepada yang jahat dan penolakan terhadap yang baik…” Karena konkupisensi tetap ada setelah iman dan pembenaran, seseorang tetap tinggal seorang berdosa bahkan sesudah menerima maaf dan pengampunan Allah.217 Membandingkan Luther dengan Augustinus yang berpengaruh kepadanya, kesamaannya ialah titik tolak ajaran keselamatan, yakni kedosaan manusia dan kerahiman Allah. Perbedaannya menyangkut jawaban atas masalah kedosaan. Luther berbicara tentang simul iustus et peccator (serentak orang benar dan pendosa), sedangkan menurut Augustinus manusia sungguh benar sesudah pembenarannya oleh Allah, bahkan terjadi reparatio naturae (pembetulan kodrat), yang berarti bahwa Augustinus meletakkan rahmat dalam manusia (teologi bersifat antropologi). Luther tidak menghendaki antropologi, tetapi teologi radikal: rahmat diletakkannya seluruhnya dalam Allah.218 5) Taurat dan Injil Pembenaran adalah ”bagian dari perbuatan baik dari hukum Taurat”. Hukum Taurat bukan sebuah jalan keselamatan, melainkan berfungsi mengingatkan sebuah bimbingan standar bagi pembenaran. Hukum Taurat menjadi ukuran bagi kehidupan orang percaya juga. Teks ini dipahami Lutheran bahwa dialektika hukum Taurat / Injil dipakai untuk berkhotbah. Hukum Taurat adalah tuntutan dan dakwaan; Injil sendiri menyediakan pembenaran (DB 32). Bagi Gereja Katolik, Kristus bukanlah pemberi Taurat seperti halnya Musa; hukum Taurat bukanlah sebuah jalan keselamatan. Orang benar harus terikat untuk melaksanakan perintah Allah, tetapi kehidupan yang kekal bersumber dalam janji anugerah Allah (DB 33). Bagi Luther, mengkhotbahkan hukum Taurat semata tanpa Kritus akan menghasilkan manusia pongah, yang percaya bahwa mereka dapat memenuhi hukum Taurat dengan perbuatan-perbuatan lahiriah, atau menghalau orang ke dalam keputusasaan yang luar biasa.219 Pemberitaan hukum Taurat tidak cukup untuk pertobatan 217 Roger Haight, Teologi Rahmat dari Masa ke Masa, (terj.) (Flores: Nusa Indah, 1999), hlm. 96 218 Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 180. 219 Rumus Konkord V, 10, dalam Buku Konkord, hlm. 788.



118  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman yang murni dan bermanfaat; Injil harus ditambahkan kepadanya. Jadi ajaran yang dua ini selalu berdampingan, dan keduanya harus dipergunakan bersama-sama, namun dalam urutan yang pantas dan perbedaan yang tepat.220 Menurut Luther, Firman Allah dinyatakan kepada manusia dalam dua bentuk yaitu: Taurat dan Injil, dan Taurat itu sendiri dalam dua bentuk atau ‘penggunaan’. Firman adalah satu sebagaimana Allah adalah satu, artinya ada kesatuan ilahi antara Taurat dan Injil. Hanya satu Taurat yang efektif di dalam semua zaman dan dikenal seluruh manusia, sebab taurat itu ditulis di dalam setiap hati orang. Ketika Luther menggunakan pertama taurat itu di dalam ‘masyarakat’ atau di dalam ‘politik’, maka harus dibedakan identifikasinya dengan ‘Hukum Alam’ skolastik sebagai kategori metafisika. Pembedaan Luther di antara ketaatan ‘moral’ dan ‘spiritual’ pada Taurat menjadi tajam dan relevan di dalam – in loco justificationis – ketika keselamatan kita dipancangkan. Luther menggunakan ayat dari Yesaya 28: 21, ”Sebab TUHAN akan bangkit seperti di gunung Perasim, Ia akan mengamuk seperti di lembah dekat Gibeon, untuk melakukan perbuatan-Nya -- ganjil perbuatan-Nya itu; dan untuk mengerjakan pekerjaan-Nya -- ajaib pekerjaan-Nya itu!”. Menurut Luther, Taurat itu digunakan dalam dua bagian yaitu: jika digunakan dalam kedagingan, maka ia di bawah Taurat, tetapi jika digunakan sebagai roh, maka ia di bawah Injil. Taurat dan Injil bukan untuk dua kelas manusia, melainkan bagi seluruh orang Kristen di sepanjang masa.221 Lebih dalam Luther mengatakan bahwa di dalam dunia kita memerlukan hukum Taurat untuk menjamin keteraturan dan Injil sebagai alat untuk mengatur kerohanian. Taurat mempunyai dua peran. Peran pertama, peran dan pemahaman ‘sipil’, yakni untuk menghindari kedurhakaan yang luar biasa dan kejahatan-kejahatan di dalam dosa yang dikontrol oleh Iblis. Peran kedua, peran dan pemahaman ‘teologis’, yakni yang memiliki suatu taraf yang lebih



220 Ibid., hlm. 789; bdk. Apologi IV, 257. 221 Benjamin Drewery, ”Martin Luther” dalam Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian Doctrine, (Edinburgh: T & T Clark, 1997), hlm. 311-350.



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



119



tinggi, sebab menunjuk pada Injil dan dipenuhi hanya melalui berita pembenaran oleh iman dalam Kritus.222 6) Kepastian Keselamatan Orang beriman dapat mengandalkan anugerah dan janji-janji Allah. Kita dapat bertumbuh di dalam janji anugerah Allah dan yakin di dalamnya. Teks ini dipahami Lutheran sebagai berikut: untuk menghadapi pencobaan, jangan hadapi dengan dirimu sendiri, tetapi semata-mata dengan Kristus dan percaya pada-Nya (DB 35). Sementara Gereja Katolik memahami teks ini dengan membangun iman atas kenyataan objektif dari janji Kristus. Iman berarti mempercayakan diri sendiri sepenuhnya pada Allah. Dengan mengakui kelemahannya sendiri, orang percaya tetap dapat merasa pasti bahwa Allah menginginkan keselamatannya (DB 36). Pembenaran itu diartikan Luther begitu rupa sehingga manusia ”dinyatakan benar” oleh Tuhan dan diterima oleh-Nya berkat ke­ benaran Kristus. Akan tetapi, dalam dirinya sendiri manusia belum benar selama masih di dunia ini, dan oleh karena itu ia tetap harus disebut juga ”pendosa”. Sesudah pembaptisan, tetap ada dosa. Rahmat berarti penerimaan orang berdosa oleh Allah karena Kristus, dan bukan pengangkatan manusia kepada hidup adikodrati. Kebenaran yang diperoleh manusia datangnya dari luar (extra nos), sebab titik tolak proses pembenaran terletak ”di luar” kita, yakni sematamata dalam kebaikan Tuhan, dan juga bersifat ”forensis” (urusan pengadilan) sebab berdasarkan suatu pernyataan dari Allah sebagai Hakim.223 Manusia menerima pembenaran ini dengan iman, yaitu penyerahan total manusia, penuh kepercayaan, kepada kerahiman Allah (fides fiducialis; [charitate], artinya iman [intelektual belaka] yang belum dibentuk oleh kasih di satu pihak, dan iman eksistensial yang bekerja dalam cinta kasih di lain pihak).224 Semboyan sola fide teologi Reformasi diterima secara penuh oleh Gereja Katolik kalau yang dimaksudkan adalah bahwa hanya karena imanlah manusia 222 Paul Althaus, The Theology of Martin Luther, (trans.) (Philadelphia: Fortress Press, 1966), hlm. 253; bdk. Bengt Haegglund, History of Theology, (Saint Lois: CHP, 19680), hlm. 222. 223 Nico Syukur Dister, Teologi, hlm. 178. 224 Ibid., hlm.179.



120  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman diselamatkan, bukan oleh tindakan manusia sendiri terlepas dari rahmat Allah. Akan tetapi, perbedaan pandangan timbul bila ”iman” sebagai proses penerimaan pembenaran itu dilukiskan lebih lanjut. Jika pandangan Gereja Katolik lebih optimis dalam antropo-teo­ logisnya, justru pandangan Lutheran jauh lebih optimis menyangkut keyakinan akan keselamatan orang percaya. Keyakinan ini tidak bergantung pada kadar iman manusia, tetapi pada janji-janji Allah yang sepenuhnya dapat dipercaya seperti yang dinyatakan dalam Kitab Suci (DB 35-36). Menurut Luther, kemujaraban iman tidaklah terletak pada kehebatan ajaran yang melaluinya kita percaya, tetapi dalam keandalan dari Dia yang pada-Nya kita percaya. Yang diperhitungkan bukanlah kehebatan iman kita, tetapi keagungan Allah.225 Dalam soal keyakinan ini, tampaknya pandangan Gereja Katolik lebih reserved, namun seperti disebutkan dalam Deklarasi Bersama, sejak Konsili Vatikan II, ”percaya” rupanya diartikan sebagai ”mempercayakan diri secara total” kepada Allah yang membebaskan dari kegelapan dosa dan maut (DB 36). 7) Perbuatan Baik dari Orang yang Dibenarkan Perbuatan baik muncul dari pembenaran dan merupakan buahnya. Teks ini dipahami Lutheran bahwa pembenaran sebagai pemberian Allah dan yang diberikan dalam kebenaran Kristus sudah sempurna. Pertumbuhan itu atas pengaruh kebenaran Kristus dalam hidup orang Kristen (DB 39). Bagi Gereja Katolik Roma, perbuatan baik mempengaruhi pertumbuhan dalam rahmat; sehingga kebenaran yang datang dari Allah dipelihara dan persekutuan dengan Kristus diperdalam (DB 38). Lebih dalam Luther mengatakan bahwa dalam pembenaran, Allah adalah aktif, dan manusia adalah pasif. Ungkapan ”pembenaran oleh anugerah melalui iman” memberikan arti dari ajaran itu dengan lebih jelas; pembenaran orang berdosa didasarkan atas anugerah 225 Alister E. McGrath, Op.Cit., hlm. 127. Lebih dalam Luther berkata, ”Meskipun imanku lemah, aku tetap mempunyai kekayaan yang tepat sama dan Kristus yang persis sama pula seperti yang dimiliki oleh orang-orang lain. Di sini tidak ada perbedaan … Seperti dua orang masing-masing mempunyai seratus gulden. Yang seorang membawanya ke mana-mana di dalam kantong kertas, yang lainnya di dalam sebuah peti besi. Tetapi tanpa menghiraukan perbedaan ini, mereka berdua mempunyai kekayaan yang sama. Jadi, Kristus yang dimiliki olehmu dan olehku adalah satu dan sama, terlepas dari kekuatan atau kelemahan imanmu atau imanku.



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



121



dan diterima melalui iman. Luther berkata, ”Anugerah Allah yang membenarkan kita demi Kristus hanya melalui iman, tanpa perbuatanperbuatan baik, sedangkan iman dalam pada itu berlimpah dalam perbuatan-perbuatan baik”. Artinya ajaran tentang pembenaran hanya oleh iman merupakan suatu penegasan bahwa Allah melakukan segala sesuatu yang perlu untuk keselamatan. Bahkan iman itu sendiri adalah pemberian Allah, bukan perbuatan manusia. Menurut Luther, perbuatan baik bukanlah dasar dari pembenaran iman, melainkan sebagai suatu tindakan pengucapan syukur kepada Allah karena telah mengampuninya. Artinya perbuatan baik bukan usaha untuk mencapai Allah supaya mengampuni orang berdosa.226 Pada tahun 1520, Luther telah mempublikasikan tiga ringkasan pemikirannya yang disebut dengan ‘manifesto Reformasi Jerman’. Ringkasan ketiganya tersebut dinamakan Mengenai Kebebasan Kristen. Dalam tulisan ini, Luther menyanjung kebebasan (batin) manusia, yang dibenarkan oleh karena iman dan kesatuan dengan Kristus. Baginya perbuatan-perbuatan yang baik tidak bermanfaat samasekali untuk pembenaran. Manusia tentu saja tetap wajib melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik; akan tetapi hal itu tidak lebih daripada konsekuensi logis dari pembenaran. Dengan kata lain, justru karena manusia dibenarkan karena imannya, maka ia wajib melakukan pekerjaan-pekerjaan atau perbuatan-perbuatan baik. Menurut Luther, kebebasan sejati kebebasan manusia sebelum kejatuhan dalam dosa, keinginan manusia hanya untuk menaati Allah secara voluntary dan spontaneous.227 Bagi Gereja Katolik Roma, kebebasan adalah kemampuan yang berakar dalam akal budi dan kehendak, untuk bertindak atau tidak bertindak, untuk melakukan ini atau itu, supaya dari dirinya sendiri melakukan perbuatan dengan sadar. Dengan kehendak bebas, tiap orang dapat menentukan diri sendiri. Dengan kebebasannya, manusia 226 Bdk. Hans-Peter Grosshans, Tokoh Pemikir Kristen Luther, (terj.) (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 44, yang mengatakan bahwa ajaran Luther mengenai pembenaran iman tidak berarti bahwa orang dapat mencapai keselamatan tanpa usaha apa pun. Pendekatannya penuh dengan dinamika pengalaman akan rahmat Allah. Allah melakukan segalanya bagi umatNya yang terkasih. Dengan pengalaman iman, seseorang ingin berusaha menuju hidup baru. Pengalaman itu menciptakan kehendak untuk membawa hidup seseorang ke dalam kesesuaian dengan kehendak Allah. 227 Uraian lebih jelas dikemukakan dalam buku Jan S. Aritonang, Berbagai, hlm. 31; Alister E.McGrath, Sejarah, hlm.128.



122  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman harus tumbuh dan menjadi matang dalam kebenaran dan kebaikan. Kebebasan itu baru mencapai kesempurnaannya apabila diarahkan kepada Allah, kebahagiaan kita.228 Kebebasan menjadikan manusia subyek kesusilaan. Kalau ia bertindak dengan sadar, manusia boleh dikatakan bapa dari perbuatannya. Perbuatan yang sungguh ma­ nusiawi, artinya yang dipilih atas dasar keputusan hati nurani, dapat dinilai secara susila. Perbuatan macam itu bersifat atau baik atau jahat.229 Satu perbuatan baik dari segi moral mengandaikan bahwa baik obyek maupun maksud dan faktor-faktor situasional itu baik. Maksud buruk membuat suatu perbuatan menjadi buruk, juga apabila obyeknya sendiri adalah baik (seperti berdoa atau berpuasa ”supaya dapat dilihat oleh orang lain”). Obyek yang dipilih dengan sendirinya dapat membuat suatu perbuatan menjadi buruk secara menyeluruh. Ada tingkah laku konkret seperti umpamanya percabulan itu tidak pemah boleh dipilih, karena di dalam memilihnya terdapat satu tindakan kehendak yang salah, artinya sesuatu yang buruk ditinjau dari segi moral.230 3.6 Eksegese Pasal 5 mengenai Makna dan Cakupan dari Kesepakatan yang Telah Dicapai Atas dasar dialog yang dibangun Lutheran dan Gereja Katolik Roma, dari 1993 -1997 dihasilkan dua kesimpulan yang sangat ber­ arti dan jiwa serta substansinya berkaitan dengan pernyataan yang lain dalam dokumen ini. Hal ini dituangkan dalam butir 40-41. ”Pemahaman akan ajaran tentang pembenaran yang dijelaskan dalam Deklarasi ini menunjukkan bahwa di antara Lutheran dan umat Katolik terdapat suatu persesuaian akan kebenaran dasar ajaran pembenaran. Perbedaan lainnya dari segi bahasa dan penguraian teologis dan penekanan akan pemahaman pembenaran ... dapat diterima. Dengan demikian, kutukan-kutukan dari abad keenambelas, sejauh itu berkaitan dengan ajaran tentang pembenaran, muncul dalam terang yang baru: ajaran Gereja-gereja Lutheran yang dihadirkan dalam pernyataan ini tidak berada di bawah kutukan-kutukan dari Konsili Trente; kutukan-kutukan dalam Konfesi-konfesi Lutheran tidak 228 Katekismus Gereja Katolik, hlm. 435. 229 Ibid., hlm. 438. 230 Ibid., hlm. 440.



Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama —



123



dikenakan pada ajaran Gereja Katolik yang terdapat dalam Deklarasi ini (DB 40 - 41). Maka apa yang mau dilihat dari dua butir ini? Yang mau disampaikan butir 40 - 41 ini adalah terjadinya pemaknaan ulang sejarah Gereja yang luar biasa. Artinya, pemahaman tentang dok­ trin pembenaran yang dijelaskan kedua belah pihak merupakan persetujuan dasar antara Lutheran dan Gereja Katolik Roma. Sifatnya masih terbuka untuk didiskusikan, diperluas, dan diperdalam. Karena itu, Lutheran dan Gereja Katolik sepakat untuk meneruskan diskusi tentang ajaran pembenaran ini guna memperdalam pemahaman alkitabiah dan untuk menyatukan pandangan terhadap hal-hal yang masih berbeda. Hal itu dapat juga dilakukan secara ekumenis, baik bersama-sama atau masing-masing pihak, Lutheran dan Gereja Katolik. Lutheran dan Gereja Katolik sepakat akan berusaha memberitakan, menyaksikan, menemukan, dan menerapkan makna pembenaran itu ke berbagai bidang kehidupan dalam konteks kehidupan masyarakat masa kini. Kedua belah pihak mengharapkan agar Deklarasi Bersama ini dapat mempengaruhi kehidupan Gereja melalui pengajarannya, yang kemudian diwujudkan di dalam kehidupan bersekutu, bersaksi, dan melayani. Deklarasi Bersama ini hanya menyangkut ajaran pembenaran. Masih banyak topik pengajaran lain yang berdasarkan firman Tuhan sebagai ajaran Gereja, seperti eklesiologi, Mariologi, Angelologi, otoritas Gereja, kesatuan Gereja, pelayanan, sakramen dan hubungan pembenaran etika sosial, yang semuanya itu perlu didiskusikan untuk menemukan dasar pemahaman bersama. Lutheran dan Gereja Katolik sepakat akan melanjutkan kerja sama untuk memperdalam pemahaman bersama terhadap berbagai ajaran Gereja tersebut. Artinya, peluang masih terbuka bagi Lutheran dan Gereja Katolik untuk duduk bersama membahas topik-topik yang disebutkan di atas.



125



Bab IV Pengaruh Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman terhadap Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia Kata ”pengaruh” yang dimaksud di sini mengacu pada pengertian ”influence” dan ”impact”. Kata ”Influence” berarti pengaruh, seseorang atau sesuatu yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Dengan pengertian ini, Deklarasi Bersama memiliki kemampuan untuk mempengaruhi Gereja-gereja, dan orang-orang Kristen baik Protestan dan Katolik untuk saling menghormati dan menghargai. Dan kata ”impact” berarti dampak yang kuat dan menimbulkan perubahan. Artinya, dengan lahirnya dokumen Deklarasi Bersama diharapkan berdampak kuat dan mampu memberikan perubahan atas pemahaman keberimanan di antara kedua belah pihak. Dengan dokumen ini, baik Protestan dan Katolik mampu merubah cara pandang mereka atas ajaran pembenaran yang ada di antara kedua belah pihak. Pengaruh dokumen Deklarasi Bersama terhadap Gereja-gereja Protestan dan Gereja Katolik di Indonesia memang sangat sulit untuk diukur. Alat ukur yang pasti dan pas belum terlihat nyata, karena dokumen ini sendiri masih muda, yakni baru sepuluh tahun pada 31 Oktober 2009. Namun pengaruh dokumen ini pasti ada dan dirasakan dalam kehidupan Gereja Protestan dan Gereja Katolik di Indonesia.



126  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Tolok ukur yang bisa dipakai untuk melihat pengaruh dari dokumen Deklarasi Bersama terhadap Gereja-gereja Protestan dan Gereja Katolik di Indonesia adalah: pertama, melalui wawancara kepada pihak-pihak yang berkompeten dalam hal ini, misalnya: para pendeta, pastor, lembaga-lembaga akademis, dan warga jemaat. Kedua, melalui kuesioner yang dibagikan kepada pelayan Gereja (pendeta, sintua) warga jemaat dan mahasiswa/i teologi. Ketiga, melalui studi pustaka yang berhubungan dengan dokumen Deklarasi Bersama, yakni dokumen ajaran Gereja-gereja yang ada di Indonesia. Ketiga metode inilah yang penulis pakai untuk melihat pengaruh dari dokumen tersebut terhadap Gereja-gereja Protestan dan Gereja Katolik di Indonesia. Setelah menyajikan analisa dan eksegese atas dokumen Deklarasi Bersama pada bab III, dalam bab ini akan dipaparkan pengaruh dokumen Deklarasi Bersama terhadap Gereja-gereja Protestan dan Gereja Katolik di Indonesia, melalui hasil penelitian lapangan tentang pengaruh dokumen Deklarasi Bersama di tengah-tengah kehidupan Gereja-gereja Protestan dan Gereja Katolik di Indonesia. Karena keterbatasan waktu dan tenaga, maka ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada Gereja-gereja Protestan dan Gereja Katolik yang ada di Sumatera Utara. Pembahasan dalam bab ini merupakan analisa dan interpretasi data yang diperoleh melalui kuesioner yang diedarkan kepada para pendeta, pastor, akademisi (dosen teologi), baik di lembaga pendidikan teologi Protestan maupun Katolik, mahasiswa/i teologi di daerah Pematangsiantar dan Medan, juga kepada majelis jemaat dan anggota jemaat GKPA Pangkalan Berandan Resort Pangkalan Berandan Sumatera Utara, serta wawancara kepada Pimpinan Gerejagereja Lutheran di Sumatera Utara, Ketua Komite Nasional (KN) LWF, Ketua STT HKBP Pematangsiantar, Ketua STT Abdi Sabda Medan, Ketua STFT St. Yohanes Sinaksak Pematangsiantar dan para pendeta / pastor, untuk mempertegas kebenaran pengisian angket tersebut. Hal-hal yang diteliti secara khusus dalam kuesioner adalah sebagai berikut: a. Pemahaman umum tentang doktrin Gereja b. Sejarah doktrin Gereja



Pengaruh Deklarasi Bersama —



127



c. Sejarah doktrin pembenaran oleh iman dalam Gereja d. Sejarah Deklarasi Bersama tentang doktrin pembenaran oleh iman. Seperti yang telah dinyatakan di atas, untuk memperoleh data yang diperlukan, penulis membagikan kuesioner kepada Pendeta, Sintua (Penatua), mahasiswa/i teologi dan anggota jemaat sejumlah 40 eksemplar dan semua kuesioner tersebut kembali 100%. Selain itu penulis juga mendapatkan data melalui wawancara yang dilakukan kepada para pendeta dan pastor, yakni : Pdt. Dr. Jontor Situmorang (Ketua STT Abdi Sabda Medan), Pdt. Dr. Darwin Lumbantobing (Ketua STT HKBP Pematangsiantar), Pastor Dr. Hieronimus Simorangkir (Ketua STFT St. Yohanes Sinaksak Pematangsiantar), Pdt. Dr. M.S.E. Simorangkir (Bishop GKPI / Ketua KN-LWF Indonesia), Pdt.Dr. J.R.Hutauruk (Ephorus Emeritus HKBP/Anggota Council LWF), Pdt. Bonar Lumbantobing, M.Th (Dosen PL STT HKBP), Pdt. Pardomuan Munthe, M.Th (Dosen Dogmatika STT Abdi Sabda Medan), Pastor Dr. Richard Sinaga (Dosen Dogmatika STFT St. Yohanes Pematangsiantar), dan Pastor Dr. J. Kosmas Tumanggor (Pastor Jemaat / Dosen STFT St. Yohanes). Dari hasil yang diperoleh telah ditabulasikan, sehingga menda­ patkan hasil penelitian yang jelas. Untuk persentase dari tiap-tiap tabel, penulis menggunakan rumus sebagai berikut : Persentase (P) = Jawaban responden (N) × 100% Angket yang kembali (V) Ada beberapa pokok bahasan dalam bab ini yang akan dibahas oleh penulis, yaitu sebagai berikut : 1. Analisis dan Interpretasi Kuesioner Dalam bagian ini penulis akan memberikan analisis dan inter­ pretasi dari hasil kuesioner yang diedarkan kepada para pendeta / sintua, mahasiwa/i teologi, dan warga jemaat. Dengan analisa dan penafsiran hasil ini akan terlihat bagaimanakah pengaruh dokumen Deklarasi Bersama terhadap Gereja-gereja Protestan dan Gereja Katolik di Indonesia. Penulis menyadari bahwa hasil kuesioner ini tidak



128  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman seutuhnya menjadi representasi dari Gereja-gereja Protestan dan Gereja Katolik di Indonesia, namun hasil kuesioner ini hanya menjadi kerangka acuan bagi penulis untuk melihat bagaimanakah pengaruh dokumen Deklarasi Bersama terhadap Gereja-gereja Protestan dan Gereja Katolik di Indonesia. 1.1 Pemahaman Umum tentang Doktrin Gereja Penelitian ini mau melihat secara umum pemahaman para pelayan Gereja dan warga jemaat akan ajaran atau dogma yang diajarkan di tengah-tengah Gereja. Apakah ajaran Gereja itu merupakan alat yang membedakan Gerejanya dari Gereja lain, atau bagaimanakah peran doktrin dan ibadah Gereja dalam membangun persekutuan, kesaksian, dan pelayanan warga jemaat, atau apakah warga jemaat merasakan bahwa doktrin dan ibadah mereka menjadi dasar yang membangun rasa persekutuan, kesaksian, dan pelayanan mereka, dan juga apakah doktrin dan ibadah Gereja itu mampu untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang ada di tengah kehidupan berjemaat, dan terakhir apakah sumbangan doktrin dan ibadah dalam membangun persekutuan, kesaksian, dan pelayanan di tengah-tengah warga jemaat. Dari hasil kuesioner yang diterima terlihat bahwa secara umum responden mengerti benar bahwa yang membedakan Protestan dengan Katolik adalah doktrin / ajaran Gereja (92,5%), bukan ritusritus ibadah / liturginya (7,5%), atau alasan lainnya (Lih. Tabel 1). TABEL 1 Menurut Anda, hal-hal apa sajakah yang membedakan Protestan dan Gereja Katolik Roma? JAWABAN RESPONDEN



N



%



a. Doktrin / ajaran.



37



92,5



b. Ritus-ritus ibadah / liturgi.



3



7,5



c. Lain-lainnya.



0



0



Jumlah



40



100



Pengaruh Deklarasi Bersama —



129



Hal ini juga diungkapkan oleh Hieronimus Simorangkir231 yang mengatakan bahwa perbedaan mendasar antara Protestan dan Katolik terlihat pada dogma atau ajaran Gerejanya. Ajaran Gereja Katolik memiliki banyak perbedaan dengan ajaran para reformator. Dan ajaran itulah dulu yang akhirnya memisahkan gerakan Protestan dari Gereja Katolik Roma. Simorangkir mengakui bahwa hingga sekarang perbedaan itu masih tetap ada, namun bedanya ialah sekarang, Protestan dan Gereja Katolik sudah saling menerima perbedaan yang ada itu sebagai kekayaan keberimanan di dalam tubuh Kritus. Artinya, perbedaan itu tidak dipandang lagi menjadi sebuah pemisah di antara Protestan dan Gereja Katolik. Protestan dan Gereja Katolik sudah bisa saling memahami dan menerima perbedaan yang ada di antara kedua belah pihak. Dari hasil kuesioner juga terlihat bahwa responden mengakui peran doktrin dan ibadah Gereja sangat kuat dalam membangun persekutuan, kesaksian, dan pelayanan warga jemaat bagi sesama jemaat maupun di luar jemaat (Lih.Tabel 2). TABEL 2 Bagaimana peran doktrin / ajaran dan ibadah / liturgi Protestan dan Katolik dalam membangun persekutuan, kesaksian, dan pelayanan warga jemaat bagi sesama jemaat maupun di luar jemaat? JAWABAN RESPONDEN



N



%



a. Sangat baik



8



20



b. Baik



28



70



c. Kurang baik



2



5



d. Lainnya.



2



5



Jumlah



40



100



70% responden menyetujui bahwa ajaran dan ritus Gereja mampu membangun persekutuan, kesaksian, dan pelayanan dengan baik di 231 Hieronimus Simorangkir adalah seorang pastor Katolik yang mengajar sebagai dosen di STFT St. Yohanes Sinaksak, Pematangsiantar, mengampu mata kuliah Filsafat Klasik. Saat ini Pastor Dr. Hieronimus Simorangkir menjabat sebagai Ketua STFT St. Yohanes Pematangsiantar.



130  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman tengah kehidupan berjemaat. Hal ini terlihat juga dari ungkapan para warga jemaat dan sintua (penatua) di GKPA Pangkalan Berandan Resort Pangkalan Berandan.232 Dari data yang dikumpulkan, 77,5% menyatakan setuju bahwa doktrin dan ibadah Gereja juga merupakan dasar dalam membangun persekutuan, kesaksian, dan pelayanan warga jemaat bagi sesama jemaat maupun di luar jemaat (Lih. Tabel 3), dan 67,5% responden berpendapat bahwa doktrin dan ibadah Gereja mampu menyelesaikan permasalahan di antara warga jemaat bagi sesama jemaat maupun di luar jemaat (Lih. Tabel 4). Bahkan 87,5% responden mengakui bahwa banyak sumbangan dari doktrin dan ibadah Gereja dalam rangka membangun kesatuan orang Kristen dalam gerakan ekumenis (Lih. Tabel 5). Hal inilah yang juga diulas oleh Rasid Rachman dalam bukunya, Hari Raya Liturgi. Rachman memiliki seberkas idealisme yakni tersusunnya suatu tata perayaan liturgi yang ekumenis, yang dapat diterima oleh semua denominasi Gereja, baik Protestan maupun Katolik, baik evangelikal maupun ekumenikal.233 TABEL 3 Apakah doktrin / ajaran dan ibadah / liturgi Protestan dan Katolik yang menjadi dasar membangun persekutuan, kesaksian, dan pelayanan warga jemaat bagi sesama jemaat maupun di luar jemaat? JAWABAN RESPONDEN



N



%



a. Ya.



31



77,5



b. Tidak.



5



12,5



c. Lainnya.



4



10



Jumlah



40



100



232 Wawancara dan diskusi pada sintua dan warga jemaat GKPA Pangkalan Berandan seusai ibadah kebaktian keluarga sektor IV pada 29 Oktober 2008. Kebaktian keluarga ini diikuti 25 orang. 233 Rasid Rachman, Hari Raya Liturgi, hlm. 3.



Pengaruh Deklarasi Bersama —



131



TABEL 4 Apakah doktrin / ajaran dan ibadah / liturgi Protestan dan Katolik bisa menyelesaikan permasalahan di antara warga jemaat bagi sesama jemaat maupun di luar jemaat JAWABAN RESPONDEN



N



%



a. Ya.



27



67,5



b. Tidak.



8



20



c. Lainnya.



5



12,5



Jumlah



40



100



TABEL 5 Adakah sumbangan doktrin / ajaran dan ibadah / liturgi Protestan dan Katolik dalam rangka membangun kesatuan orang Kristen dalam gerakan ekumenis? JAWABAN RESPONDEN



N



%



a. Ya.



35



87,5



b. Tidak.



5



12,5



c. Lainnya.



0



0



Jumlah



40



100



Hal ini mengindikasikan bahwa warga jemaat sangat kuat meme­ gang ajaran dan ibadah Gereja dalam rangka membangun hubungan yang baik di antara sesama umat Kristen. Dengan pemahaman seperti ini maka akan mudahlah dipahami dokumen Deklarasi Bersama seba­ gai salah satu sarana pemersatu umat Protestan dan Katolik yang selama ini berseteru. Jika masing-masing pihak bisa menerima dan memahami isi dan makna dari dokumen Deklarasi Bersama, maka hubungan di antara kedua belah pihak akan dipastikan semakin membaik dan harmonis. Artinya, jika doktrin dan ibadah merupakan dasar yang sangat kuat dalam mempengaruhi warga jemaat, dengan munculnya dokumen bersama ini dan disosialisasikan dengan baik kepada warga jemaat, maka kesatuan jemaat akan semakin mudah dicapai.



132  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman 1.2 Sejarah Doktrin Gereja Setiap Gereja pasti memiliki dokumen ajaran atau dogma yang digali dan dirumuskan sesuai dengan firman Tuhan dalam Alkitab. Ajaran inilah yang menjadi dasar setiap Gereja menjalankan tugas pelayanannya bagi seluruh warga jemaat yang digembalakannya. Dokumen ajaran itu misalnya: Konfesi Augsburg, Konfesi HKBP, Konfesi GKPA, Pokok-pokok Pemahaman Iman GKPI, dan lain sebagainya. Tentunya ajaran atau dogma Gereja tidak muncul begitu saja di tengahtengah Gereja. Ajaran atau dogma merupakan hasil pergumulan panjang dari setiap Gereja untuk membahasakan firman Tuhan yang tertulis dalam Alkitab ke dalam budaya dan kehidupan Gereja. Inilah yang diteliti dalam bagian ini. Sejauh manakah para pelayan dan warga jemaat memahami dan mengerti ajaran atau dogma Gerejanya dalam kehidupan sehari-hari. TABEL 6 Apakah ada dokumen doktrin / ajaran iman / konfesi di dalam Gereja Anda? JAWABAN RESPONDEN



N



%



a. Ya.



39



97,5



b. Tidak ada.



0



0



c. Tidak tahu sama sekali.



1



2,5



Jumlah



40



100



Hasil angket menunjukkan bahwa 39 orang (97,5%) responden mengetahui bahwa Gereja memiliki dokumen doktrin Gereja, dan 1 orang (2,5%) tidak mengetahui sama sekali dokumen doktrin Gerejanya (Lih. Tabel 6). Namun dari 40 orang responden, hanya 17 orang (42,5%) responden yang mengetahui sejarah doktrin Gerejanya dengan baik, 18 orang (45%) responden hanya mengetahui sedikit saja, dan 5 orang (12,5%) tidak tahu sama sekali dengan alasan Gereja jarang mensosialisasikan ajaran Gereja tersebut kepada warga jemaat (Lih. Tabel 7).



Pengaruh Deklarasi Bersama —



133



TABEL 7 Apakah Anda mengetahui sejarah doktrin / ajaran dalam Gereja Anda? JAWABAN RESPONDEN



N



%



a. Ya.



17



42,5



b. Mengetahui sedikit saja.



18



45



c. Tidak tahu sama sekali.



5



12,5



Jumlah



40



100



Yang menarik perhatian penulis adalah jawaban responden atas pertanyaan: ajaran manakah yang diminatinya dalam isi dokumen ajaran Gereja, sangat bervariasi. Ada yang tertarik pada ajaran: pembenaran, Yesus, Alkitab, sakramen, Trinitas, Gereja, Pertobatan, dan Ibadah. Namun ajaran pembenaran lebih banyak disebutkan sebagai ajaran yang diminati oleh 38 responden (Lih.Tabel 8). TABEL 8 Menurut Anda dalam dokumen doktrin / ajaran Gereja Anda, Doktrin / ajaran manakah yang sangat menarik perhatian Anda? JAWABAN RESPONDEN



N



%



a. Sebutkan isinya!



38



95



b. Tidak ada.



2



5



c. Lainnya.



0



0



Jumlah



40



100



Dari hasil penelitian di atas terlihat bahwa warga jemaat hanya mengetahui bahwa Gerejanya memiliki dokumen ajaran atau dogma Gereja, namun sebagian dari mereka tidak memahami dengan baik dan benar apa yang menjadi isi dari dokumen itu. Karena itu patut dipertanyakan, sejauh manakah Gereja-gereja Lutheran yang ada di Indonesia mensosialisasikan ajaran Gerejanya kepada warga jemaat. Jika pensosialisasian ajaran Gereja tidak baik, maka akan banyak warga jemaat yang mudah diombang-ambingkan oleh pengajaranpengajaran baru yang didengar dan diterimanya dari Gereja-gereja lain ketika mereka bersekutu dengan warga jemaat Gereja lain itu.



134  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Hasil kuesioner juga menunjukkan bahwa ajaran pembenaran oleh iman sangat diminati oleh responden dengan alasan bahwa hal keselamatan merupakan sesuatu yang sangat menentukan dalam perjalanan iman mereka. Dari hasil ini terlihat bahwa responden akan mudah mengalami pengaruh akan isi dokumen Deklarasi Bersama, jika dokumen ini dibaca oleh responden. Artinya, jika warga jemaat membaca isi dokumen ini, maka dengan mudah mereka akan semakin memahami lebih dalam maksud dan tujuan dokumen Deklarasi Bersama, yakni untuk semakin mempererat hubungan di antara Gereja Protestan dan Gereja Katolik mengenai ajaran pembenaran. Karena sejak Konsili Vatikan II 1962, hubungan Protestan dan Katolik sebenarnya sudah mulai mengalami perubahan dan kedua belah pihak sudah membangun hubungan yang saling menghargai dan menerima. Hubungan ini mulai terasa sejak 1970-an dengan dimulainya membahas isu-isu teologi yang kontroversial di antara kedua belah pihak. 1.3 Sejarah Doktrin Pembenaran oleh Iman Pertanyaan dalam bagian ini lebih mengarah pada pertanyaan mengenai ajaran pembenaran iman di dalam dokumen ajaran Gereja responden dan bagaimana pengaruh ajaran pembenaran itu bagi dirinya sendiri dan bagi jemaat. Di bawah ini mari kita lihat hasil kuesioner tersebut. TABEL 9 Menurut Anda adakah doktrin / ajaran keselamatan khususnya pembenaran oleh iman dalam Konfesi / Pokok-pokok iman Gereja Anda? JAWABAN RESPONDEN



N



%



a. Ya.



38



95



b. Tidak ada.



0



0



c. Lainnya.



2



5



Jumlah



40



100



Dari hasil kuesioner terlihat bahwa responden mengetahui bahwa di dalam dokumen ajaran Gereja mereka ada tertuang ajaran pembenaran oleh iman. Walaupun menurut responden ajaran itu



Pengaruh Deklarasi Bersama —



135



tidak persis sama dengan rumusan ajaran Luther, tetapi muatan ajaran pembenaran Luther tersebut telah termaktub dalam dokumen ajaran pembenaran Gereja responden. Hal ini terlihat bahwa ada 38 orang (95%) responden bisa menuliskan isi ajaran pembenaran itu berdasarkan konfesi Gereja responden (Lih. Tabel 9). TABEL 10 Menurut Anda, apakah doktrin / ajaran keselamatan khususnya pembenaran oleh iman dalam Konfesi / Pokok-pokok iman Gereja Anda sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan Anda? JAWABAN RESPONDEN



N



%



a. Ya.



34



85



b. Berpengaruh sedikit saja.



3



7,5



c. Tidak berpengaruh sama sekali.



1



2,5



d. Lainnya.



2



5



Jumlah



40



100



Mengenai pengaruh ajaran pembenaran dalam kehidupan seharihari, jawaban responden bervariasi. Ada yang menganggap ajaran pembenaran itu sangat kuat mempengaruhi hidupnya (85%), ada yang menyebutkan bahwa pengaruh ajaran pembenaran ini hanya sedikit saja (7,5%), dan ada juga yang tidak merasakan ada pengaruh ajaran pembenaran ini dalam kehidupannya sehari-hari (2,5%) dan bahkan ada 5% responden yang merasa acuh-tak acuh dengan ajaran pembenaran ini (Lih. Tabel 10). TABEL 11 Menurut Anda, apakah doktrin / ajaran keselamatan khususnya pembenaran oleh iman dalam Konfesi / Pokok-pokok iman Gereja Anda sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan jemaat Anda? JAWABAN RESPONDEN



N



%



a. Ya.



24



60



b. Berpengaruh sedikit saja.



10



25



c. Tidak berpengaruh sama sekali.



4



10



d. Lainnya.



2



5



Jumlah



40



100



136  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Demikian juga dengan pengaruh ajaran pembenaran ini dalam kehidupan berjemaat. Berdasarkan hasil kuesioner, ajaran pembenaran sangat kuat mempengaruhi kehidupan berjemaat (60%). Karena menurut mereka, hanya orang yang merasa berdosalah membutuhkan pembenaran dari Allah. Karena warga jemaat merasa sama-sama orang berdosa yang dibenarkan, maka mereka harus menunjukkan rasa persaudaraan di tengah-tengah kehidupan berjemaat.234 Namun di sisi lain, ada responden mengatakan bahwa ajaran ini hanya berpengaruh sedikit saja (25%) dan bahkan tidak berpengaruh sama sekali (10%), dan 5% lainnya merasa acuh-tak acuh dengan ajaran ini (Lih. Tabel 11). Memang bagi orang yang merasa tidak berdosa ajaran pembenaran pasti tidak perlu bagi mereka, sebab mereka telah ‘merasa’ benar. Padahal orang yang ‘merasa’ benar belum tentu benar. Tetapi orang yang merasa berdosa dan mengaku dosanya, dialah yang akan mendapat pembenaran itu. Dari hasil penelitian di atas dapat dikatakan bahwa ajaran pem­ benaran sangat dibutuhkan oleh setiap orang, baik secara pri­badi maupun dalam kehidupan berjemaat. Ajaran pembenaran meru­­ pa­kan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh setiap orang yang berdosa. Karena hanya orang yang merasa berdosalah membutuhkan pembenaran setiap saat. Setiap saat kita mudah tergoda melakukan dosa, tetapi ketika kita sadar telah berdosa dan kita mengaku dosa kita maka Dia akan membenarkan kita (bdk. 1 Yoh 1: 9). 1.4 Sejarah Deklarasi Bersama tentang Doktrin Pembenaran oleh Iman Pada bagian ini pertanyaan yang disampaikan kepada responden adalah berkenaan dengan dokumen Deklarasi Bersama yang ditanda­ tangani oleh Lutheran dan Gereja Katolik Roma 31 Oktober 1999 yang lalu, dan bagaimanakah sikap mereka terhadap dokumen ini serta berpengaruhkah dokumen ini bagi Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia.



234 Wawancara dengan warga jemaat GKPA Pangkalan Berandan pada 29 Oktober 2008.



137



Pengaruh Deklarasi Bersama —



TABEL 12 Apakah Anda pernah mendengar tentang dokumen ” Deklarasi Bersama tentang Doktrin / ajaran Pembenaran oleh Iman” yang ditandatangani oleh Protestan dan Katolik di Augsburg pada 31 Oktober 1999 yang lalu? JAWABAN RESPONDEN



N



%



a. Ya, dan mempelajarinya dengan serius.



0



0



b. Pernah tetapi tidak memberi perhatian yang serius.



29



72,5



c. Tidak pernah sama sekali.



11



27,5



Jumlah



40



100



Dari hasil kuesioner terlihat bahwa tak seorang pun yang mengenal dan mempelajari dokumen Deklarasi Bersama dengan serius, namun 29 orang (72,5%) responden telah mengenal dokumen ini tetapi tidak memberi perhatian yang serius akan isi dan maksud dari dokumen tersebut, dan ada 11 orang (27,5%) responden yang tidak pernah sama sekali mendengar tentang dokumen ini. Hal ini diakibatkan kurangnya sosialisasi dari kedua belah pihak Gereja (Lih. Tabel 12). Menurut pengakuan responden, dokumen ini dikenal mereka saat sosialisasi pertama yang dilakukan oleh Gereja Protestan dan Katolik pada seminar sehari dalam rangka perayaan ke-5 penandatanganan Deklarasi Bersama ini 30 Oktober 2004 di STFT St. Yohanes Pematangsiantar. Dan hasil-hasil pertemuan ini diteruskan kepada warga jemaat kedua belah pihak. Karena kegiatan sosialisasi dokumen ini tidak terus-menerus dilaksanakan, maka warga jemaat tidak memberikan perhatian yang serius akan isi dokumen ini.



138  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman TABEL 13 Bagaimanakah pendapat Anda tentang dokumen ” Deklarasi Bersama tentang Doktrin / ajaran Pembenaran oleh Iman” yang ditandatangani oleh Protestan dan Katolik di Augsburg pada 31 Oktober 1999 yang lalu? JAWABAN RESPONDEN



N



%



a. Setuju sekali.



36



90



b. Kurang setuju.



0



0



c. Tidak setuju sama sekali.



0



0



d. Lainnya.



4



10



Jumlah



40



100



Walaupun responden tidak serius memperhatikan isi dan maksud dokumen Deklarasi Bersama ini, tetapi 36 orang (90%) responden sangat setuju atas penandatanganan Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran antara Lutheran dan Gereja Katolik (Lih. Tabel 13). Bahkan 30 orang (75%) responden merasakan bahwa dokumen itu bisa mempengaruhi pribadi dan kehidupan ber-Gereja, khususnya dalam hubungan ekumenisme di antara Lutheran dan Gereja Katolik di Indonesia. Memang ada sebagian responden mengatakan bah­wa dokumen ini kurang berpengaruh bagi kehidupan Gereja (7,5%) dengan alasan karena dokumen ini kurang disosialisasikan secara baik kepada warga jemaat kedua belah pihak. Ada juga responden yang berpendapat lain, bahwa dokumen ini sama sekali tidak mempengaruhi kehidupan ber-Gereja (5%) dan 12,5% lainya menganggap dokumen ini diacuhkan dalam kehidupan ber-Gereja (Lih. Tabel 14).



Pengaruh Deklarasi Bersama —



139



TABEL 14 Menurut pendapat Anda, adakah pengaruh dokumen ” Deklarasi Bersama tentang Doktrin / ajaran Pembenaran oleh Iman” yang ditandatangani oleh Protestan dan Katolik di Augsburg pada 31 Oktober 1999 yang lalu bagi diri dan Gereja Anda? JAWABAN RESPONDEN



N



%



a. Ya.



30



75



b. Kurang berpengaruh.



3



7,5



c. Tidak berpengaruh sama sekali.



2



5



d. Lainnya.



5



12,5



Jumlah



40



100



Menurut Bonar Lumban Tobing,235 setelah diadakan sosialisasi dokumen Deklarasi Bersama di STT HKBP Pematangsiantar kepada para pendeta, sintua, dan warga jemaat Oktober 2004, maka dokumen ini mempengaruhi pelayanan beberapa pendeta HKBP yang berasal dari Samosir, seperti: Pdt. Sunggul Sirait, S.Th. (Pdt. HKBP Resort Ambarita), Pdt. Psalmen Manalu, S.Th. (Pdt. HKBP Resort Tomok), Pdt. Pangondian Gultom, S.Th. (Pdt. HKBP Resort Pangururan), Pdt. Jordan Pakpahan, S.Th. (Pdt. HKBP Resort Parsaoran Nauli). Atas dasar itu mereka mempunyai kebijakan yang baru terhadap pernikahan Protestan dan Katolik. TABEL 15 Menurut pendapat Anda, adakah pengaruh dokumen ” Deklarasi Bersama tentang Doktrin / ajaran Pembenaran oleh Iman” terhadap Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia? JAWABAN RESPONDEN



N



%



a. Ya.



34



85



b. Kurang berpengaruh.



3



7,5



c. Tidak berpengaruh sama sekali.



0



0



d. Lainnya.



3



7,5



Jumlah



40



100



235 Wawancara dengan Pdt.Bonar Lumbantobing pada 29 Oktober 2008 di STT HKBP.



140  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Pada akhir kuesioner ini para responden memberikan jawaban mereka atas pengaruh dokumen Deklarasi Bersama terhadap Gerejagereja Protestan dan Katolik di Indonesia. Jawaban responden ini sangat bervariasi. Dari 40 orang responden, 34 orang (85%) responden setuju bahwa dokumen Deklarasi Bersama sangat kuat mempengaruhi hubungan ekumenis di antara Gereja Protestan dan Katolik di Indonesia. Hanya 7,5% responden mengatakan bahwa dokumen Deklarasi Bersama tidak berpengaruh sama sekali bagi hubungan ekumenis di antara Protestan dan Katolik di Indonesia, dan sekitar 7,5% lainnya acuh-tak acuh atas dokumen ini. Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa warga jemaat memahami ajaran Gereja masing-masing dan perkembangan ajaran yang terjadi di dalam Gereja sepanjang perjalanan sejarah Gereja. Warga jemaat menaruh harapan yang besar akan isi dan maksud penandatanganan dokumen Deklarasi Bersama bagi hubungan ekumenis di antara Gereja Protestan dan Katolik di Indonesia. Hal ini terlihat dari jawaban pada tabel 13, 14, dan 15. Namun dalam pelaksanaannya, jemaat menyadari pentingnya sosialisasi dokumen ini bagi warga jemaat agar warga jemaat semakin mengerti akan maksud dari dokumen ini bagi warga jemaat. Karena itu masih dibutuhkan upaya-upaya sosialisasi isi dokumen Deklarasi Bersama bagi seluruh warga jemaat kedua belah pihak, baik melalui lembaga Gereja maupun lembaga pendidikan teologi. Hal ini jugalah yang mendorong Persekutuan Gereja-gereja Lutheran Jakarta (PGLJ) melaksanakan sosialisasi dokumen Deklarasi Bersama ini pada 31 Oktober 2008 di Aula Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Indonesia kepada seluruh para pendeta, sintua, dan warga jemaat Gereja-gereja Lutheran yang ada di Jakarta. Kegiatan ini juga akan berlanjut dengan melaksanakan Paskah Gereja-gereja Lutheran Jakarta 2009 yang diisi dengan Seminar Sehari dengan tema: ”Menggali akar ajaran Protestantisme dalam Gereja-gereja Lutheran yang dihubungkan dengan isi dokumen Deklarasi Bersama” oleh Pdt. Bonar Lumbantobing, M.Th. (doses STT HKBP Pematangsiantar) bagi seluruh warga jemaat Gereja-gereja Lutheran yang ada di Jakarta sekitarnya. Kegiatan ini direncanakan dilaksanakan pada 27April 2009 di HKBP Mampang Prapatan Jakarta.



Pengaruh Deklarasi Bersama —



141



2. Pengaruh Deklarasi Bersama Di Indonesia, pengaruh dokumen Deklarasi Bersama ini banyak diper­bincangkan oleh umat Lutheran dan Gereja Katolik yang ada di daerah Sumatera Utara. Dengan dokumen ini kedua belah pihak telah melaksanakan beberapa kali pertemuan yang membahas makna dan maksud dokumen terhadap Gereja dan masyarakat yang ada di Sumatera Utara. Dalam usia kelima tahun dokumen Deklarasi Bersama, pihak Gereja Katolik yang diwakili Keuskupan Agung Medan dengan pihak Lutheran yang diwakili Komite Nasional Lutheran World Federation (KN-LWF) Indonesia telah mengadakan Seminar Sehari Lutheran – Katolik untukmerayakan 5 tahun Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran antara LWF dan GKR, pada 30 Oktober 2004 di STFT St. Yohanes, Sinaksak Pematangsiantar. Dalam pertemuan ini kedua belah pihak sepakat untuk menerima isi dokumen dan mensosialisasikannya baik di dalam kehidupan berjemaat dan juga di lembaga-lembaga pendidikan teologi masing-masing. Pertemuan inilah yang menjadi pengaruh yang nyata terlihat di Indonesia setelah ditandatanganinya dokumen Deklarasi Bersama tersebut. Sebelum pelaksanaan perayaan 5 tahun Deklarasi Bersama ten­ tang Ajaran Pembenaran di STFT St. Yohanes, kedua belah pihak lebih dahulu melaksanakan pembahasan dokumen ini dari sudut pandang masing-masing. Pihak Gereja-gereja Lutheran mengadakan pertemuannya di STT HKBP Pematangsiantar pada 10-15 Oktober 2004 dan pihak Gereja Katolik melaksanakan pertemuannya di STFT St. Yohanes pada saat yang bersamaan. Kemudian pembahasan masingmasing atas dokumen Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran ini digabungkan dalam seminar Sehari di STFT St. Yohanes Sinaksak Pematangsiantar. Seperti yang disebutkan di atas, salah satu cara untuk melihat pengaruh dokumen Deklarasi Bersama bagi Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia adalah melalui kajian pustaka. Dalam bagian ini, kita akan melihat kajian pustaka. Kajian pustaka ini akan mencoba menganalisa bagaimanakah ajaran pembenaran dalam dokumendokumen ajaran / konfesi Gereja-gereja di Indonesia.



142  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman 2.1 Posisi Ajaran Pembenaran di dalam Dokumen Ajaran Gerejagereja di Indonesia Pengaruh Deklarasi Bersama bagi ajaran pembenaran terhadap Gereja-gereja di Indonesia akan terlihat jelas dalam dokumen ajar­ an Gereja-gereja itu sendiri. Apakah ajaran pembenaran yang disampaikan di Gereja-gereja Lutheran dan Katolik di Indonesia telah memperhatikan ajaran pembenaran seperti yang termaktub dalam dokumen Deklarasi Bersama? Atau sebaliknya, ajaran pembenaran dalam dokumen-dokumen Gereja-gereja di Indonesia masih me­ rupakan warisan-warisan ajaran pembenaran dari para misionaris yang masuk ke Indonesia? Di bawah ini akan disajikan kutipan-kutipan ajaran pembenaran dari beberapa dokumen-dokumen Gereja Protestan di Indonesia, baik dari aliran yang Lutheran, dan non-Lutheran, seperti Calvinis, dan Pentakostal. 2.1.1 Konfesi HKBP (KH) 1951/1996 Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)236 merupakan Gereja yang beraliran Lutheran dan telah menetapkan konfesinya tahun 1951. Konfesi ini disusun untuk memenuhi persyaratan masuk menjadi salah satu anggota Federasi Gereja-gereja Lutheran se-Dunia (LWF).237 Salah satu persyaratan untuk diterima menjadi anggota LWF adalah harus mengakui Konfesi Augsburg. Karena Konfesi Augsburg memiliki latar belakang dan konteks yang berbeda dengan HKBP, maka HKBP membuat konfesinya yang mengadopsi Konfesi Augsburg dan dikontekstualkan dengan budaya dan tradisi HKBP. Konfesi HKBP 1951 terdiri dari 18 pasal. Dan ajaran pembenaran oleh iman termaktub dalam Pasal 7 tentang ”Kelepasan dari dosa”



236 HKBP berdiri pada 7 Oktober 1861 dan menjadi anggota PGI pada 25 Mei 1950. HKBP berkantor Pusat di Pearaja – Tarutung, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Berdasarkan Data Almanak HKBP 2009, statistik HKBP adalah: Resort 602, Persiapan Resort 4, Jemaat 3.220 dengan 3.750.600 jiwa (Almanak HKBP 2009, hlm. 458). Sampai April 2003, HKBP memunyai 1.115 Pendeta, 250 Calon Pendeta, 550 Guru Jemaat, 28 Calon Guru Jemaat, 309 Bibelvrouw, 49 Calon Bibelvrouw, 193 Diakones, 38 Calon Diakones, dan 5 Evangelis. Keseluruhan pelayan dan calon pelayan berjumlah 2.537 orang (diakses darihttp://www.sabdaspace.org/ Gereja_top_ten_hkbp_peringkat_2_bagian_2_ending). 237 Lih. ”Protestant Christian Batak Church (Huria Kristen Batak Protestan), Confession of Faith, 1951” dalam Jaroslav Pelikan & Valerie Hotchkiss (eds.), Creeds and Confessions of Faith in the Christian Tradition, (London: Yale University Press, vol.III, 2003), hlm. 543-555.



Pengaruh Deklarasi Bersama —



143



(Haluaon sian dosa). Artinya, dalam dokumen ini tidak tertuang pasal khusus yang membahas ”Ajaran Pembenaran oleh Iman”. Ajaran pembenaran itu sendiri hanya merupakan bagian yang tak ter­ pisahkan dari ajaran keselamatan itu sendiri. Untuk lebih jelasnya mari kita lihat kutipan ajaran tersebut di bawah ini Tahaporseai jala tahatindanghon do :  ”Na so dapot haluaon sian dosa marhitehite ulaon na denggan, manang marhite sian gogo sandiri. Holan sian asi ni roha ni Debata do marhitehite panobusion ni Jesus Kristus. Ia dalan manjalo i, i ma marhite sian haporseaon na niula ni Tondi Parbadia, asa diauhon hasesaan ni dosa na pinarade ni Jesus Kristus marhite hamamateNa i. Haporseaon sisongon on do dirajumi Debata na gabe hapintoran di joloNa” (Joh 3: 16; II Kor 8: 9;Ul Ap.4: 12). KH 7238 Kita percaya dan menyaksikan: Tidak dapat diperoleh kelepasan dari dosa dengan jalan pekerjaan baik, atau dengan tenaga sendiri, hanyalah karena kemurahan Allah di dalam penebusan Yesus Kristus. Jalan menerimanya ialah kepercayaan (iman) yang dikerjakan oleh Rohu’lkudus; hanya dengan iman kita menerima keampunan dosa, yang disediakan Yesus Kristus dengan kematian-Nya. Iman yang sedemikianlah yang dipandang Allah menjadi kebenaran di hadapan-Nya (Yoh 3: 16; 2 Kor 8: 9; Kis 4: 12).



Konfesi HKBP ini telah diperbarui dan disahkan pada Sinode Godang HKBP 17-22 November 1996 di Seminarium Sipoholon. Konfesi HKBP 1996 ini memiliki pasal yang lebih pendek dari Konfesi 1951, yakni hanya 17 pasal saja. Pasal yang menyebutkan tentang pembenaran tidak dituangkan dalam satu pasal tersendiri. Bahkan Konfesi 1996 telah menghilangkan pasal ”Kelepasan dari dosa” (1951) dan menggantikannya dengan pasal baru, yakni pasal 6 tentang ”Keselamatan” (Haluaon); dan menambah satu pasal, yakni pasal 12 tentang ”Perbuatan dan Iman” (Ulaon dohot Haporseaon). Konfesi HKBP 1996 menuliskan: Kita mempercayai dan menyaksikan: Keselamatan adalah karya Allah, yaitu kelepasan dari dosa, dari kuasa iblis dan maut, dan dari aneka ragam kuasa yang bertentangan dengan Firman Allah ... Jalan untuk menerima keselamatan itu adalah 238 Panindangion Haporseaon (Pengakuan Iman) HKBP 1951 & 1996, (Pearaja-Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2006), hlm. 20, 39.



144  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman melalui iman yang dilahirkan oleh Roh Kudus dan iman itulah yang diperhitungkan Allah sebagai kebenaran manusia. Keselamatan itu adalah kemuliaan Allah dan kebahagiaan manusia. Orang percaya telah dibebaskan, walaupun dia masih mengalami pergumulan di dunia ini. Karunia Allah senantiasa melepaskan orang percaya dari aneka ragam bahaya dalam kehidupan sehari-hari, secara jasmani maupun rohani, baik perorangan maupun kelompok. Penampakan dari keselamatan itu dalam kehidupan orang percaya di dunia ini ialah kehidupan yang kudus, yang menghasilkan buah-buah Roh ( yoh 3: 16; 2 Kor 8: 9; Kis 4: 12; Gal 5: 22) ... Kita juga menolak ajaran yang mengatakan bahwa usaha manusialah yang menentukan keselamatannya. KH 6239 Kita mempercayai dan menyaksikan: Pada mulanya, sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, Allah mengangkat manusia itu menjadi pengolah dan pemelihara dunia ini. Pekerjaan manusia berdasar pada kepercayaan bahwa Allah terusmenerus bekerja ( yoh 5: 17) ... Kepercayaan kepada Yesus Kristus harus menghasilkan pekerjaan baik. Seseorang adalah sesat kalau mengharapkan memperoleh kebenaran, kehidupan, ketenangan dan berkat karena melakukan pekerjaan baik (Ef 2: 8; Rm 5: 1). KH 12240



Dari kedua dokumen konfesi HKBP di atas, penulis melihat bahwa ulasan tentang ajaran pembenaran dalam Konfesi HKBP 1951 jauh lebih Lutheran dibandingkan Konfesi HKBP 1996. Mengapa? Karena dalam dokumen Konfesi HKBP 1951 masih ditemukan kalimat Luther tentang pembenaran oleh iman, yakni ”hanya dengan iman kita menerima keampunan dosa”. Dalam dokumen Konfesi HKBP 1996, ajaran tentang pembenaran oleh iman sama sekali tidak ditemukan lagi. Dokumen ini telah membahas ajaran pembenaran itu dalam kerangka yang lebih luas, yakni tentang keselamatan (soteriologi). Memang masih ada indikasi ajaran Luther yang diserap sebagian dalam dokumen Konfesi HKBP 1996, misalnya: ”Orang percaya telah dibebaskan, walaupun dia masih mengalami pergumulan di dunia ini.” Kalimat ini hampir mirip dengan perkataan Luther tentang simul iustus et peccator – manusia dibenarkan walaupun masih tetap melakukan dosa. Dalam konfesi ini disebutkan bahwa orang percaya



239 Ibid., hlm. 89. 240 Ibid., hlm. 96.



Pengaruh Deklarasi Bersama —



145



telah dibebaskan (dibenarkan), walaupun dia masih mengalami per­ gumulan di dunia ini (masih tetap jatuh ke dalam dosa). Konfesi ini jelas belum dipengaruhi dokumen Deklarasi Bersama, karena dokumen Deklarasi Bersama sendiri baru ditandatangani 1999, walaupun pembahasannya sudah berlangsung selama 30 tahun sebelumnya. Apakah HKBP akan merevisi Konfesi HKBP lagi setelah ditandatanganinya dokumen Deklarasi Bersama ini? Menurut Bonar Lumbantobing, HKBP tidak akan mengubah Konfesinya lagi, yang mungkin dilakukan HKBP adalah mengeluarkan Pernyataan Iman (Statement of Faith). Karena menurutnya, konfesi itu tidak boleh diubah, namun kepada konfesi itu bisa ditambahkan ’pernyataan iman’ untuk menjawab perkembangan zaman. Artinya, konfesi yang lama tidak dibatalkan dan tetap dipertahankan, namun untuk menjawab perkembangan zaman, ke dalam konfesi itu perlu ditambahkan ’pernyataan iman’. Namun jika kita cermati perubahan isi Konfesi HKBP 1951 ke Konfesi 1996 akan terlihat sebuah perubahan besar tentang sikap HKBP melihat Gereja Katolik. Isi Konfesi HKBP 1996 banyak sama dengan isi Konfesi Augsburg (KA) 1530, tetapi tidak memasukkan lagi isi KA yang tidak relevan dengan masa penulisan konfesi tersebut. Ada beberapa catatan dibuat yang menegaskan perbedaan ajaran HKBP dengan Gereja Katolik. Misalnya dalam hal: 1) Pemahaman mengenai Bunda Maria (KH 1951 ps. 3). Konfesi HKBP menyebutkan, ”Dengan ajaran ini kita menolak dan melawan ajaran dari Gereja Katolik Roma yang mengatakan: 1) Bahwa Maria, Ibu dari Tuhan Yesus, yang disebut Kudus, membela kita kepada Allah. 2) Para pastor berkuasa lagi mengorbankan daging Kristus di dalam manusia. 3) Paus di Roma-lah wakil Kristus di dunia.” 2) Pemahaman mengenai sakramen (KH 1951 ps. 10). Dalam Konfesi HKBP disebutkan: ”Dengan ajaran ini kita menolak dan melawan ajaran Gereja Katolik Roma yang mengatakan bahwa ada tujuh sakramen.” 3) Praktik melaksanakan perjamuan kudus / misa / ekaristi (KH 1951 ps. 10. bagian B).



146  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman 4) Pemahaman tentang peringatan orang meninggal (KH 1951 ps.16). Konfesi HKBP dengan tegas mengatakan, ”Juga kita tolak ajaran dari Gereja Katolik Roma yang mengajarkan tentang api ujian (vagevuur) yang harus dialami seberapa lama untuk membersihkan roh orang mati, sebelum tiba kepada hidup yang kekal dan orang dapat melakukan misa untuk orang mati dan mendoakan orang mati itu supaya lebih cepat terlepas dari api itu.” Tetapi sewaktu Konfesi HKBP diperbarui pada 1996, di dalam pendahuluan atau alasan pembaruan Pengakuan itu maupun dalam rumusan-rumusan isi konfesi tersebut tidak disebutkan lagi nama ‘Roma Katolik’ dan mana ajaran Katolik Roma yang ditolak atau tidak disetujui. Dan sejak Konfesi HKBP 1996 ini, sikap HKBP terhadap Gereja Katolik sudah berubah. Jika ada warga jemaat yang menikah dengan warga jemaat Gereja Katolik, HKBP tidak mengeluarkannya lagi dari warga jemaat HKBP. Sikap HKBP ini makin terlihat dari visi dan misinya, ”HKBP yang inklusif dan dialogis”. Artinya, HKBP bukan lagi sebuah Gereja yang eksklusif dan tertutup, tetapi HKBP menjadi sebuah Gereja yang inklusif dan terbuka bagi semua orang. Dengan demikian hubungan HKBP dengan Gereja Katolik sudah semakin membaik, apalagi ditambah dengan dokumen Deklarasi Bersama akan semakin mempererat hubungan di antara kedua belah pihak. 2.1.2 Konfesi GKPA(KG) 1977 Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA)241 berdiri pada 26 Oktober 1975 dan sepenuhnya mandiri dari HKBP. Pokok-pokok pengajaran GKPA tertuang dalam sebuah dokumen yakni Konfesi GKPA.242 Konfesi GKPA lahir dari kerinduan GKPA untuk memiliki pengajaran yang murni dalam menghadapi berbagai pengajaran yang 241 GKPA masuk anggota PGI pada 19 Mei 1977. GKPA adalah Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA) yang berkantor pusat di Jl. Teuku Umar No. 102 Padangsidimpuan Sumatera Utara. Saat ini jumlah warga jemaat GKPA adalah 28.989 jiwa yang digembalakan 52 orang pendeta (Almanak GKPA 2009, hlm. 235). 242 Konfesi GKPA ini pada awalnya ditetapkan pada Rapat Majelis Pusat GKPA (dahulu: HKBPAngkola) di Medan, 15-16 April 1977 dan disahkan pada Synode Ama GKPA IV, 29 Oktober 1980 di Padangsidimpuan. Konfesi GKPA ini kemudian direvisi pada Synode Am GKPA XIV 2003.



Pengaruh Deklarasi Bersama —



147



datang dari luar GKPA. Konfesi GKPA ini terdiri dari XX pasal. Dalam konfesi ini tidak tertuang pengajaran pembenaran oleh iman dalam sebuah pasal khusus. Namun ajaran pembenaran ini termaktub dalam pasal IX tentang ”Kelepasan dari Dosa” (Haluaan sian Dosa ).Artinya, pengajaran tentang pembenaran oleh iman masih bagian yang tak terpisahkan dari pengajaran kelepasan dari dosa. Untuk lebih jelasnya marilah kita lihat kutipan konfesi tersebut di bawah ini: Taoku jana tahaporseai do :   ”Na so dapot haluaan sian dosa anggo marhitehite sianpambaenan na denggan, sanga marhitehite sian gogo sandiri. Hum marhitehite sian asi ni roha ni Debata do di bagasan panobusion ni Jesus Kristus. Ia dalan manjagit i, i ma marhitehite sian haporsayaan na dipatupa ni Tondi Parbadia, anso diauhon hasesaan ni dosa i, na diparade ni Jesus Kristus marhitehitesian hamateanNa i. Haporsayaan sisongon on do dirajumi Debata na gabe hatigoran di hita jolma” (Joh.3:16; Rm 6:23; 1 Kor 15:22; 2 Kor 5:21; 2 Kor 8:9; B.Ras.4:12). KG IX.243 Kita mengaku dan percaya: Kelepasan dari dosa tidak dapat diperoleh melalui pekerjaan yang baik, atau melalui usahanya sendiri. Kelepasan dari dosa didapat hanya melalui kasih karunia Allah di dalam penebusan Yesus Kristus. Cara untuk menerima kelepasan itu ialah iman yang dikerjakan oleh Roh Kudus; hanya dengan iman kita menerima keampunan dosa, yang disediakan Yesus Kristus dengan kematian-Nya. Iman yang sedemikianlah yang dipandang Allah menjadi kebenaran di hadapanNya (Yoh 3: 16; Rm 6: 23; 1 Kor 15: 22; 2 Kor 5: 21; 2 Kor 8: 9; Kis 4: 12).



Konfesi GKPA ini hampir sama dengan Konfesi HKBP 1951. Konfesi GKPA ini mencantumkan ajaran pembenaran iman dalam kaitannya dengan ajaran ”kelepasan dari dosa”. Artinya, dokumen ini juga tidak membuat satu topik khusus tentang ajaran pembenaran itu sendiri. Walaupun isinya masih memiliki kesamaan dengan ajaran Luther tentang sola fide, namun dokumen ini juga tidak secara murni mengadopsi ajaran pembenaran Luther. Berbeda dengan Konfesi HKBP, dalam Konfesi GKPA tidak terdapat kata-kata ”Kami menolak dan melawan ajaran Gereja Katolik 243 Pangokuon Haporsayaan (Konfesi) GKPA, (Padangsidimpuan: Kantor Pusat GKPA, 1996), hlm. 6.



148  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Roma”, tetapi isi Konfesi GKPA ini tetap menyatakan penolakan beberapa ajaran Gereja Katolik. Artinya, secara tertulis GKPA seolaholah tidak melawan Gereja Katolik, tetapi substansi konfesi itu tetap tidak menerima beberapa ajaran Gereja Katolik. Konfesi GKPA ini juga belum mencerminkan isi Deklarasi Bersama, karena dokumen ini ditetapkan sebelum penandatanganan Deklarasi Bersama. Menghadapi kemajuan zaman dan perkembangan pengajaran iman Kristen saat ini, Rapat Pendeta GKPA 23-26 Oktober 2008 di Wisma Bumi Asih Pekan Baru telah menyepakati agar Konfesi GKPA ini dirumuskan ulang dengan memperhatikan isi dokumen Deklarasi Bersama, khususnya mengenai ajaran tentang pembenaran. Artinya dalam rumusan ulang Konfesi GKPA akan ditambahkan satu pasal tersendiri tentang ajaran pembenaran oleh iman yang mengacu pada hasil keputusan Deklarasi Bersama 1999. Dalam dokumen lain, misalnya Buku Panduan Katekisasi Sidi GKPA244tidak ada dituangkan ajaran pembenaran oleh iman. 2.1.3



Pokok-pokok Pemahaman Iman GKPI (PG) 1991



Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) berdiri 30 Agustus 1964245. GKPI tidak menuangkan ajarannya dalam sebuah konfesi, karena Konfesi GKPI sudah tertuang dalam Tata Gereja GKPI Pasal II ayat 1 yang bunyinya, ”Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) mengakui Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat Kepala Gereja sesuai dengan Firman Allah dalam Alkitab yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Pengakuan ini menggerakkan dan menerangi seluruh gerak-hidup Warga Jemaat di GKPI.”246 GKPI menuangkan seluruh ajaran Gerejanya dalam sebuah dokumen Pokok-pokok Pemahaman Iman GKPI.247 Pokok-pokok iman GKPI berisi XX pasal. Pasal tentang ajaran pembenaran dituangkan dalam pasal V tentang ”Pembenaran manusia berdosa”. Pasal ini lebih menunjukkan ciri Lutheran tentang ajaran pembenaran. Lebih jelasnya marilah kita melihat kutipan 244 Buku Panduan Katekisasi Sidi GKPA, (Padangsidimpuan: Kantor Pusat GKPA, 2004). 245 GKPI masuk anggota PGI pada 10 Juli 1976. GKPI berkantor Pusat di Jl.Kapt. MH.Sitorus No.13/25 Pematangsiantar, Sumatera Utara. Berdasarkan Almanak GKPI 2009 jumlah warga jemaat GKPI sebanyak 359.438 jiwa yang digembalakan 212 pendeta (Almanak GKPI 2009, hlm. 378). 246 Kumpulan Peraturan GKPI, (Pematangsiantar: Kolportase Pusat GKPI, 2008), hlm. 2. 247 Pokok-pokok Pemahaman Iman GKPI disahkan pada Synode Am Kerja GKPI 1993.



Pengaruh Deklarasi Bersama —



149



ajaran pembenaran dalam pasal V tentang ”Pembenaran Manusia Berdosa”.248 1) Manusia berdosa dibenarkan hanya oleh anugerah Allah, dalam karya penyelamatan Yesus Kristus... 2) Pembenaran manusia berdosa diberikan Allah secara cumacuma kepada kita manusia. Karena manusia telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah dan manusia tidak dapat mengembalikan dirinya kepada Allah ... Dengan demikian itu, manusia bisa dibenarkan dari dosa, bila manusia menerima pembenaran Allah dalam Yesus Kristus ... 3) Pembenaran yang diberikan oleh Allah diterima oleh manusia dengan iman, yang menggerakkan hati dan hidup kita untuk percaya dan memandang kepada oknum Kristus yang telah mengadakan pendamaian itu. 4) Pembenaran bukanlah perbuatan manusia atau amal atau melakukan segala sesuatu yang baik menurut manusia (Rm 11: 6). Pembenaran terjadi di luar dari perbuatan kita. 5) Perbuatan orang percaya bukan sebagai jalan kelepasan dari dosa, tetapi sebagai ucapan syukur kepada Allah yang telah memberikan perdamaian dan pembenaran itu. Kita berbuat baik bukan supaya kita dibenarkan, kita berbuat baik karena kita sudah dibenarkan. Perbuatan baik adalah buah iman, buah pekerjaan Roh Kudus dalam hati / hidup kita (bdk. Gal 5: 22-23). Dokumen Pokok-pokok Pemahaman Iman GKPI ini memasukkan ajaran Luther sola gratia dalam pembenaran manusia, namun ajaran sola fide tidak terlihat jelas dalam dokumen ini. Dokumen ini menyebutkan, ”Pembenaran yang diberikan oleh Allah diterima oleh manusia dengan iman”. Artinya, pembenaran itu diterima manusia tidak ”hanya melalui iman” (solafide). Pengajaran ini dikembangkan lagi dalam dokumen Buku Katekisasi GKPI249 yang menyebutkan bahwa keselamatan itu bukanlah usaha manusia sendiri. Manusia tidak mampu mengusahakan keselamatan, tetapi keselamatan 248 Pokok-pokok Pemahaman Iman GKPI, (Pematangsiantar: Kantor Pusat GKPI, 1991), hlm. 15-17. 249 Jan S. Aritonang, Buku Katekisasi di Gereja Kristen Protestang Indonesia, (Pematangsiantar: Kolportase Pusat GKPI, cet. ke 3, 2001), hlm. 99-100.



150  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman itu merupakan anugerah dari Tuhan. Yang dituntut dari manusia hanyalah iman (kepercayaan) bahwa Dia telah mengorbankan diriNya untuk menyelamatkan manusia. Tetapi iman itu juga harus dibuktikan melalui perbuatan baik, sebagai pernyataan terima kasih atas keselamatan yang dianugerahkan Tuhan ( Yoh 15: 16, Gal 5: 2223, 1 Yoh 2: 14-26). Melihat dari isinya, dokumen Pokok-pokok Pemahaman Iman GKPI tentang ajaran pembenaran lebih mendekati isi dokumen Deklarasi Bersama. Dalam dokumen Pokok-pokok Iman GKPI dan Deklarasi Bersama terdapat kesamaan tentang pembenaran, misalnya: pertama, ”Pembenaran terjadi hanya karena anugerah” (DB 19, 25-26; bdk. PG V:1). Kedua, ”Kami bersama-sama mengaku, bahwa orangorang berdosa dibenarkan oleh iman dalam karya penyelamatan Allah di dalam Kristus” (DB 25; bdk. PG V: 3). Ketiga, ”Kami bersamasama mengakui, bahwa perbuatan baik – yaitu kehidupan kristiani di dalam iman, pengharapan, dan kasih – muncul dari pembenaran dan merupakan buahnya” (DB 37; bdk. PG V: 5). Timbul pertanyaan, apakah kedua dokumen Pokok-pokok Pe­ mahaman Iman GKPI dan dokumen Deklarasi Bersama ini saling mempengaruhi? Dokumen Pokok-pokok Pemahaman Iman GKPI ditetapkan tahun 1991, dan dokumen Deklarasi Bersama ditandatangani 1999. Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa dokumen Pokokpokok Pemahaman Iman GKPI tidak mungkin dipengaruhi oleh dokumen Deklarasi Bersama. Walaupun dokumen Pokok-pokok Pemahaman Iman GKPI ditetapkan 1991, dokumen ini juga tidak mempengaruhi dokumen Deklarasi Bersama. Hal ini terbukti dari sumber-sumber yang dipakai dalam membahas dan merumuskan dokumen Deklarasi Bersama yang tidak mencantumkan dokumen Pokok-pokok Pemahaman Iman GKPI ini. 2.1.4 Pokok-pokok Ajaran Gereja Non-Lutheran Lebih dalam ajaran pembenaran oleh iman ini dapat kita lihat dalam dokumen-dokumen Gereja-gereja non-Lutheran yang ada di Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk melihat perbadingan ajaran pembenaran di kalangan Lutheran dengan Gereja non-Lutheran yang ada di Indonesia. Dokumen-dokumen ini memang tidak dipengaruhi oleh dokumen Deklarasi Bersama, namun perlu rasanya melihat



Pengaruh Deklarasi Bersama —



151



ajaran pembenaran itu dalam dokumen-dokumen Gereja-gereja nonLutheran sebagai bahan perbandingan. Di bawah ini akan kita lihat beberapa dari dokumen Gereja-gereja non-Lutheran yang menguraikan ajaran pembenaran itu sendiri. Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa 2005



Pemahaman Iman GPIB 2006



Pengajaran Dasar GBI 2004



Penyelamatan Allah pada dasarnya berisi: 1). Keyakinan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi serta manusia dalam keadaan yang baik. 2). Keyakinan bahwa oleh karena dosa manusia berada di dalam kondisi tidak selamat. 3). Keyakinan bahwa dengan kekuatan dan usahanya sendiri manusia tidak dapat selamat. 4). Keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya yang berkuasa dan berkenan menyelamatkan manusia dari kondisi tidak selamat. (Kej 1: 31; Rm 3: 21-26; 5: 1221; bdk. Mzm 51: 7).



Keselamatan adalah mahakarya TUHAN yang dianugerahkan kepada manusia dan alam semesta. Dia telah, sedang dan akan terus menerus mengadakannya sampai akhir zaman. Titik sejarah terpenting dari rentetan pekerjaanNya tampak pada kehadiran Yesus Kristus. Di dalam dan melalui pekerjaan-Nya TUHAN Allah menganugerahkan Keselamatan ke atas ke-hidupan seluruh makhluk ciptaan-Nya. Itulah pemahaman dan pengakuan iman Gereja sepanjang sejarah dunia dan di mana pun Gereja diutus.2



Jikalau kita menganggap bahwa Allah menerima kita karena perbuatanperbuatan baik kita maka sesungguhnya kita telah menaruh pembenaran berdasarkan diri kita sendiri ... Jika Allah membenarkan orang berdosa berdasarkan perbuatan kita, maka itu artinya Allah menyangkali kenyataan hukum dan keadilan ... Tidak ada yang dibanggakan manusia dalam proses penyelamatan Allah, semuanya itu hanya kemurahan dan pekerjaan Allah. Bahkan iman itu sendiri adalah anugerah / pemberian Allah yang memungkinkan kita mempercayai dan menerima apa yang telah Kristus kerjakan bagi kita orang berdosa. Sekali lagi, dasar dari pembenaran itu adalah kematian Kristus, dan sarana yang olehnya pembenaran itu menjadi efektif bagi setiap orang adalah iman, yang merupakan lawan perbuatan baik (Rm 3: 28) ... Seseorang yang telah sungguhsungguh dibenarkan akan memanifestasikan fakta ini dalam perbuatanperbuatan kebajikan.3



Penyelamatan Allah yang adalah anugerah itu dapat dinalar sebagai berikut: 1). Allah menyelamatkan manusia karena Ia mengasihi manusia. 2). Allah mengasihi manusia karena bagi-Nya manusia berharga untuk dikasihi. 3). Bagi Allah manusia berharga untuk dikasihi karena manusia mempunyai martabat di atas semua makhluk yang lain. 4). Martabat manusia itu adalah bahwa manusia merupakan satu-satunya makhluk yang diciptakan segambar dengan Allah. (Kej.1: 26,27; Yoh 3: 16; 1 Yoh 4: 9, 10; bdk. Ef 4: 24; Kol.3: 10).1



152  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Gereja Kristen Jawa (GKJ) berdiri 17 Pebruari 1931250. Dokumen pengajaran iman GKJ disebut dengan ’Pokok-pokok Ajaran GKJ’(PPA GKJ)251. Pokok-pokok ajaran GKJ ini terdiri dari enam bab. Pengajaran tentang ajaran pembenaran dalam PPA GKJ ini tertuang dalam bab Tiga tentang ”Penyelamatan Allah”. Dalam dokumen ini ajaran pembenaran tidak tertuang secara khusus dalam satu bab atau pasal, namun ajaran ini termaktub dalam ajaran ”Penyelamatan Allah”. Dokumen Pokok-pokok Ajaran GKJ ini menunjukkan bahwa penyelamatan itu merupakan anugerah Allah, dan manusia tidak dapat menyelamatkan dirinya dengan usahanya sendiri. Kalimat ini merupakan kalimat khas dari Luther walaupun rumusannya tidak sama dengan rumusan kalimat pembenaran Luther. Dari rumusan pengajaran GKJ di atas, terlihat bahwa dokumen ini tidak dipengaruhi oleh dokumen Deklarasi Bersama. Mengapa? Menurut penulis karena GKJ bukanlah anggota LWF. GKJ adalah Gereja yang beraliran Calvinis yang tergabung dalam WARC sehingga dokumen Deklarasi Bersama ini tidak mereka kenal walaupun dokumen pengajaran GKJ ini disahkan pada 2005. Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) berdiri 31 Oktober 1948252. Dokumen pengajaran iman GPIB disebut dengan ’Pemahaman Iman GPIB’253. Pemahaman Iman GPIB ini terdiri dari tujuh bab. Pengajaran tentang ajaran pembenaran dalam Pemahaman Iman GPIB ini tertuang dalam bab satu tentang ”Keselamatan”. Dalam dokumen ini ajaran pembenaran tidak tertuang secara khusus dalam satu bab atau pasal, namun ajaran ini termaktub dalam ajaran ”Keselamatan”. Dokumen Pemahaman Iman GPIB ini menempatkan ajaran ke­ selamatan sebagai pengajaran yang pertama. Jika keselamatan itu 250 GKJ masuk anggota PGI pada 25 Mei 1950. GKJ berkantor Pusat di Salatiga – Jawa Tengah. Berdasarkan BAKI 2009 jumlah warga jemaat GKJ sebanyak 222.984 jiwa yang digembalakan 280 pendeta. 251 Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa (selanjutnya disingkat: PPA GKJ) disahkan dalam Sidang Sinode Terbatas tahun 1996. Dengan demikian dokumen ini memperoleh status resmi gerejawi, yang memuat isi kepercayaan Gereja dan pedoman hidup bagi warga Gereja. Dokumen ini dinyatakan berlaku sejak disahkan dan baru akan berubah status apabila dikehendaki oleh Gereja-gereja, melalui suatu keputusan Sidang Sinode GKJ di waktu yang akan datang. PPA GKJ yang digunakan dalam tesis ini adalah revisi PPA GKJ 2005. 252 GPIB masuk anggota PGI pada 25 Mei 1950. GPIB berkantor Pusat di Jakarta. Berdasarkan BAKI 2009 jumlah warga jemaat GKJ sebanyak 259.964 jiwa yang digembalakan 260 pendeta. 253 Pemahaman Iman GPIB disahkan di Salatiga pada 17 – 19 Agustus 2006.



Pengaruh Deklarasi Bersama —



153



diletakkan pada Pokok Pertama dalam pemahaman iman, maka Gereja bermaksud dan bertujuan, agar keselamatan menjadi ”jembatan” dan ”landasan” dialog dengan manusia dan institusi sosial-keagamaan, agar bersama-sama membangun dunia sesuai dengan kehendak TUHAN. Dengan demikian, keselamatan bukan hanya menjadi landasan hubungan dialogis antarumat manusia. Tetapi keselamatan juga menjadi koridor yang mengarahkan harapan manusia memasuki masa depan baru menyongsong kedatangan Yesus Raja. Dari dokumen pengajaran GPIB di atas terlihat bahwa pengajaran pembenaran itu hanya termaktub dalam ajaran keselamatan itu, sehingga tidak terlihat secara langsung pengajaran pembenaran oleh iman. Pengajaran pembenaran itu bersifat implisit dalam dokumen. Sama seperti GKJ di atas, dokumen pemahaman iman GPIB ini tidak dipengaruhi oleh dokumen Deklarasi Bersama, karena Gereja GPIB ini juga merupakan Gereja aliran Calvinis sehingga dokumen Deklarasi Bersama tidak dikenal oleh GPIB. Gereja Bethel Indonesia (GBI) berdiri 6 Oktober 1970254. Dokumen pengajaran iman GBI disebut dengan ’Pengajaran Dasar GBI’255. Pemahaman Iman GBI ini terdiri dari tiga belas pasal. Pengajaran tentang ajaran pembenaran dalam Pengajaran Dasar GBI ini tertuang dalam pasal lima tentang ”Pembenaran dan Kelahiran Baru”. Isi dokumen ini lebih mendekati rumusan Luther. Sub Judul Pembenaran dan Kelahiran Baru ini adalah ”Pembenaran karena iman” (bdk. Luther: Pembenaran oleh iman). Pengajaran Dasar GBI ini dari judulnya menunjukkan ajaran Lutheran, namun dalam penjelasan tentang pembenaran itu sendiri tidak jelas dan bahkan kabur. Dalam rumusan pengajaran dasar ini tidak tertuang rumusan Luther seutuhnya. GBI mengakui bahwa pembenaran itu merupakan anugerah Allah dan hanya bisa diperoleh karena iman. Bila kita periksa literatur yang disebut pada kepustakaan dari Pengajaran Dasar GBI itu, terlihat kumpulan dari buku-buku



254 GBI masuk anggota PGI pada 30 Oktober 1989. GBI berkantor Pusat di Jakarta. Berdasarkan BAKI 2009 jumlah warga jemaat GKJ sebanyak 2.162.145 jiwa yang digembalakan 12.721 pendeta. 255 Pengajaran Dasar GBI diterbitkan Departemen Theologia Badan Pekerja Harian Gereja Bethel Indonesia Jakarta pada Agustus 2004.



154  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman dogma[tik] berbagai aliran. Dalam hal ajaran, GBI sejak disahkannya buku itu tidak murni bercorak Pentakostal. Tetapi menurut Pdt. Junifrius Gultom, M.Th,256 buku ini belum banyak dipakai di lingkungan GBI. Melihat rumusan ini dapat disimpulkan bahwa dokumen ini tidak dipengaruhi oleh dokumen Deklarasi Bersama, karena rumusan Deklarasi Bersama tidak seutuhnya terlihat dalam rumusan pengajaran dasar GBI ini. Mengapa? Karena GBI adalah Gereja yang beraliran Pentakostal sehingga mereka tidak mengetahui adanya dokumen Deklarasi Bersama 1999. 2.2 Pengaruh Deklarasi Bersama terhadap Gereja Katolik di Indonesia Gereja Katolik di Indonesia adalah bagian dari Gereja Katolik Roma. Gereja Katolik Roma atau Gereja Katolik257adalah Gereja Kristen dalam persekutuan penuh dengan Uskup Roma. Gereja Katolik menurut asal-usulnya dari komunitas Kristiani perdana yang



256 Pdt. Junifrius Gultom, M.Th. adalah pendeta GBI yang menjadi narasumber di mata kuliah Aliran-aliran Gereja pada 25 Februari 2009 di STT Jakarta. 257 ”Gereja Katolik Roma”, dalam http://id.itpedia.sfilar.com/it/Gereja_Katolik_Roma. Nama ”Gereja Katolik” digunakan untuk membedakannya dengan Gereja-gereja lain yang tidak berada dalam persekutuan penuh (komuni penuh) dengan Uskup Roma, yakni Ortodoks Timur, Ortodoks Oriental, Anglikan, dan berbagai denominasi Protestan. Nama ”Gereja Katolik Roma” pertama kali digunakan oleh kaum Protestan untuk menyebut seluruh Gereja yang setia kepada Uskup Roma. Namun nama ini juga digunakan oleh umat Katolik sendiri sejak abad ke-17, baik dalam bahasa Inggris, bahasa Perancis, maupun bahasa Latin, untuk memperkenalkan iman mereka terutama dalam hal persekutuan mereka dengan tahta keuskupan Roma. Di kawasan Timur Tengah, sebutan Gereja Katolik Roma dapat pula berarti Gereja Melkit, atau Gereja Katolik yang menggunakan Ritus Latin, atau bahkan bisa berarti Gereja Katolik di kota Roma, Italia. Dalam hubungannya dengan Gereja-gereja lain, nama ”Gereja Katolik” yang dipergunakan, dan untuk urusan internal digunakan istilah ”Gereja”. Sebagai contoh, dalam Katekismus Gereja Katolik, istilah ”Gereja” digunakan ratusan kali, sedangkan nama ”Gereja Katolik” hanya digunakan24 kali, bahkan nama ”Gereja Katolik Roma” sama sekali tidak digunakan. Penggunaan nama ”Gereja Katolik” secara resmi diterima oleh beberapa Gereja Kristen lainnya, namun kebanyakan dari mereka menggunakan istilah ”Gereja Katolik Roma” untuk menyebut Gereja ini. Meskipun demikian, dalam penggunaan secara informal, bahkan oleh anggota-anggota Gereja lainnya istilah ”Gereja Katolik” dipahami sebagai nama dari Gereja ini. Pada tahun 397 Masehi, Santo Augustinus menjelaskan bahwa nama tersebut bahkan dipahami oleh mereka yang digolongkannya sebagai kaum bidaah: ”… Nama itu, yakni Katolik, yang bukannya tanpa alasan, dengan dikelilingi begitu banyak bidaah, telah digunakan oleh Gereja; dengan demikian, meskipun semua kaum bidaah ingin disebut Katolik, namun jika ada orang asing bertanya di manakah jemaat Katolik berkumpul, maka tak satu pun kaum bidaah yang berani menunjuk kapel atau rumahnya sendiri.” Singkatnya, baik nama ”Gereja Katolik”, maupun ”Gereja Katolik Roma” digunakan sebagai sebutan alternatif bagi seluruh Gereja ”yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan oleh para uskup yang berada dalam satu komuni bersamanya.”



Pengaruh Deklarasi Bersama —



155



didirikan oleh Yesus Kristus dan dipimpin oleh Keduabelas Rasul, khususnya Santo Petrus. Gereja Katolik merupakan sebuah organisasi sedunia yang terdiri atas satu Gereja Partikular Ritus Latin dan 22 Gereja Partikular Ritus Timur, semuanya mengakui Tahta Suci di Roma sebagai otoritas tertingginya di muka bumi. Gereja Katolik terbagi-bagi dalam wilayahwilayah yurisdiksi, biasanya atas dasar teritorial. Satu unit teritorial standar disebut diosis (di Indonesia disebut keuskupan) dalam ritus Latin atau eparki dalam ritus-ritus Timur, masing-masing dikepalai seorang uskup. Pada akhir tahun 2005, jumlah total seluruh wilayah yurisdiksi tersebut adalah 2.770. Gereja Katolik merupakan Gereja Kristen terbesar dan organisasi keagamaan terbesar di dunia. Menurut Buku Tahunan Statistik Gereja Katolik, keanggotaannya di seluruh dunia pada akhir tahun 2005 berjumlah 1,13 miliar meliputi sekitar 60% dari seluruh penganut Kristen atau kira-kira satu dari enam orang di dunia beragama Katolik. Data statistik pada 2005, menunjukkan bahwa sekitar 7.380.203 (3,05%) dari 241.973.879 penduduk Indonesia, beragama Katolik.258 Pengaruh dokumen Deklarasi Bersama terhadap Gereja Katolik di Indonesia tidak akan dilacak pada keseluruhan umat Katolik di Indonesia, namun akan difokuskan kepada Gereja Katolik yang ber­ ada di Keuskupan Agung Medan. Pengaruh dokumen Deklarasi Bersama terhadap Gereja Katolik di wilayah Keuskupan Agung Medan sangat terasa. Hal ini terlihat dari respons Uskup Agung Medan, Uskup Alfred Gonti Pius Datubara, O.F.M. Cap dan Anicetus Bongsu Antonius Sinaga, O.F.M. Cap yang memberikan perhatian khusus dalam mensukseskan sosialisasi dokumen Deklarasi Bersama bagi umat Katolik di wilayah keuskupan Agung Medan. Keuskupan Agung Medan memulai usaha sosialisasi ini serempak di dalam kehidupan berjemaat maupun di dalam pembinaan para calon pastor di lembaga-lembaga teologi. 258 Ibid. Di Indonesia, orang pertama yang menjadi Katolik adalah orang Maluku, Kolano (kepala kampung) Mamuya (sekarang di Maluku Utara) yang dibaptis bersama seluruh warga kampungnya pada tahun 1534 setelah menerima pemberitaan Injil dari Gonzalo Veloso, seorang saudagar Portugis. Ketika itu para pelaut Portugis baru saja menemukan kepulauan rempah-rempah itu dan bersamaan dengan para pedagang dan serdadu-serdadu, para imam Katolik juga datang untuk menyebarkan Injil. Salah satu pendatang di Indonesia itu adalah Santo Fransiskus Xaverius, yang pada tahun 1546 sampai 1547 datang mengunjungi pulau Ambon, Saparua, dan Ternate. Ia juga membaptis beberapa ribu penduduk setempat.



156  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Dalam bagian ini akan dilihat pengaruh dokumen Deklarasi Ber­ sama tersebut di dalam kehidupan berjemaat dan kehidupan lembaga pendidikan teologi Katolik. 2.2.1 Jemaat Katolik Pastor J. Kosmas Tumanggor259 mengatakan bahwa pengaruh dokumen Deklarasi Bersama bagi jemaat Katolik adalah hubungan antara jemaat Katolik dan Protestan semakin akrab, sebab perke­ la­hian masa dulu sudah menjadi bahan tertawaan pada masa kini, walaupun pergumulan masa lalu tidak bisa kita buang begitu saja. Pergumulan kita saat ini sudah berbeda dengan pergumulan masa lampau. Pergumulan masa kini adalah masalah ekonomi, politik, kemis­kinan, dan global warming. Lebih dalam Tumanggor me­ nga­takan, ”Mengapa kita tidak bersatu di dalam pengakuan iman itu: ’Aku percaya kepada Allah Bapa..., aku percaya kepada Yesus Kristus..., aku percaya kepada Roh Kudus...’ Karena di sana tidak ada dikata­kan: Aku percaya kepada ’sakramen’”. Artinya, menurutnya kita repot dengan ranting dan daunnya, sementara kita mengabaikan pokoknya. Secara praktis pengaruh Deklarasi Bersama di tengah-tengah jemaat secara langsung dikaitkan dengan kehidupan berekumene. Hubungan Katolik dan Protestan semakin membaik tanpa mempersoalkan ajar­ an yang berbeda, namun mencari ajaran yang saling kita terima. Sebenarnya masih banyak yang harus digali bersama antara Gereja Katolik dan Protestan tentang hal-hal yang bisa membuat gerakan kesatuan Gereja semakin terasa. Pastor Tumanggor mengambil contoh mengenai rumusan Doa Bapa Kami yang mestinya bisa dirumus­kan secara bersama oleh kedua belah pihak. Gereja Katolik masih ber­­ta­ han dengan rumusannya sendiri, demikian juga Protestan tetap mem­ pertahankan ajarannya sendiri. Sikap seperti ini sudah harus diting­ galkan dalam rangka mencapai kesatuan Gereja ke masa depan. Pengaruh lain yang disampaikan Tumanggor adalah sekurangkurangnya umat Katolik dan Protestan tidak berkelahi lagi karena ajaran yang berbeda. Hal itu sudah merupakan pengaruh yang cukup 259 Pastor J. Kosmas Tumanggor adalah pastor jemaat di Gereja Katolik Jl. Sibolga No.1 Pematangsiantar dan dosen STFT St. Yohanes Sinaksak Pematangsiantar. Wawancara pada 28 Oktober 2008 di ruang Pastoran Gereja Katolik itu.



Pengaruh Deklarasi Bersama —



157



besar bagi hubungan Katolik dan Protestan di Indonesia. Dokumen bersama ini akan memampukan setiap umat untuk mewujudkan kebersamaan dalam tindakan bersama yakni bagaimana Tuhan membenarkan kita. Bagaimana pembenaran itu dipahami bersama di dalam kehidupan berjemaat? Bagi Katolik, pembenaran itu bersifat internal, sementara bagi Lutheran pembenaran itu bersifat forensik (di luar) manusia. Bagaimana kedua hal ini disatukan? Menurut Tumanggor, ”Kita jangan terlalu menonjolkan kesatuan ajarannya saja, karena itu akan sulit mempertemukannya. Rahmat pembenaran itu harus diwujudkan dalam tindakan bersama dalam kehidupan sehari-hari. Kita sama-sama menerima pembenaran itu, walaupun cara yang berbeda.” Dan harus disadari bahwa ajaran pembenaran itu selalu berkaitan dengan konteksnya. Konteks ajaran pembenaran pada abad keenambelas jelas berbeda dengan ajaran pembenaran yang kita hadapi saat ini. Karena perbedaan konteks itu, maka akan memumungkinkan umat Katolik dan Protestan untuk bisa memahami ajaran pembenaran itu dalam suasana yang lebih baik tanpa didorong rasa permusuhan. Apa yang disampaikan Tumanggor juga dialami oleh umat Katolik di Amerika seperti yang diutarakan pada bab II. Menurut laporan Jeffrey Gros260, dokumen Deklarasi Bersama ini sangat di­ sambut baik oleh negara-negara yang ada di Amerika. Hal ini terlihat dari usaha seorang Lutheran Brazil, Walter Altmann yang mencoba mensosialisasikan dokumen ini di Amerika Latin pada konteks globalisasi dan kebebasan. Dokumen ini juga sangat diminati oleh umat Protestan dan Gereja Katolik di Amerika Latin. Mengapa? Karena di Brazil diperkirakan satu dari tiga penduduk digilas hidup kemiskinan, tidak hidup dalam kesejahteraan, bahkan mereka hidup dalam ketidakadilan yang luar biasa. Lebih dalam Gros mengatakan bahwa Gereja Lutheran dan Gereja Katolik secara bersama-sama menghadapi situasi dan permasalahan yang mereka hadapi, yakni melawan ajaran-ajaran Reformasi radikal yang berkaitan dengan ajaran anugerah, kemasyarakatan, perbuatan baik, dan keselamatan sosial.261 Dokumen Deklarasi Bersama ini menjadi dasar bagi Gereja 260 Jeffrey Gros, ”The Reception in the US Catholic Context”, dalam Karen L. Bloomquist dan Wolfgang Grieve (eds.), LWF Studies No.02/2003, (Switzerland: LWF, 2003), hlm. 25-31. 261 Ibid., hlm. 26.



158  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Lutheran dan Gereja Katolik untuk memperjuangkan hidup para penduduk melarat yang diperkirakan sekitar 40 juta. Mereka hidup dalam situasi permasalahan hidup ”harta yang melarat”.262 Sehingga ajaran pembenaran oleh iman sangat mempengaruhi kehidupan pribadi maupun spiritualitas masyarakat Brazil.263 Orang-orang Protestan Brazil melihat tindakan pembenaran Allah sebagai sesuatu yang sangat intim dan pribadi, sebagai proses ”spiritual” yang tidak bertentangan dengan permasalah politik, ekonomi, dan sosial. Ajaran pembenaran telah menjadi sebuah ajaran yang membebaskan di dalam masyarakat Brazil. Bahkan dokumen Deklarasi Bersama ini semakin memperkuat Teologi Pembebasan yang diprakarsai Gereja Katolik untuk membebaskan umat yang tertindas di Amerika Latin. Dengan adanya dokumen Deklarasi Bersama ini, hubungan Gereja Lutheran dan Gereja Katolik di Amerika Latin semakin kokoh. Gereja Lutheran dan Gereja Katolik telah duduk bersama untuk membahas firman Tuhan dan juga sama-sama berjuang menghadapi segala bentukbentuk penderitaan yang menimpa kehidupan masyarakat.264 Pengaruh yang paling menonjol dari dokumen ini bagi umat Gereja Katolik di Amerika adalah dalam hal perubahan dokumen Katekisasi Gereja Katolik. Umat Gereja Katolik di Amerika telah memiliki buku Katekisasi terbitan 1992, namun buku ini mengalami perubahan pada 2002. Dalam dokumen Katekisasi Gereja Katolik 2002 beberapa isi dokumen Deklarasi Bersama telah dimasukkan dalam buku Katekisasi Gereja Katolik 2002. Hal ini terlihat dari: (a) Teks Pembinaan Ekumenis (Ecumenical Formation) telah ditambahkan dalam daftar dasar-dasar dokumen dan catatan kaki di berbagai tempat; (b) Kalimat Dominus Iesus telah digantikan oleh banyak teks irenik yang memiliki otoritas di dalam magisterium Katolik; (c) Dokumen Deklarasi Bersama telah ditambahkan dalam catatan kaki dalam Katekismus yang membahas tentang anugerah; dan (d) Ekumenisme telah dimasukkan dalam daftar implikasi pastoral.265



262 Fernando Bortolleto Filho, ”Justification as Shalom for the People of God”, dalam Ibid., hlm. 72-73. 263 Diacu dalam laporan Walter Altman, Lutero e Libertaçäo, (Säo Paulo/Säo Leopoldo: Ătica/ Sinodal, 1994), hlm. 87. 264 Fernando Bortolleto Filho, Op.Cit., hlm.76. 265 Jeffrey Gros, Op.Cit., hlm. 29-30.



Pengaruh Deklarasi Bersama —



159



Pengaruh dokumen Deklarasi Bersama harus terus digaungkan dalam kehidupan berjemaat agar jemaat semakin memahami dengan benar isi dan makna dari dokumen ini. Berkaitan dengan deklarasi berikutnya, Tumanggor mengatakan, ”Harus ada keberanian untuk mencari apa yang pokok. Berani meninggalkan sebagian dari hal-hal yang menghalangi kita memikirkan hal-hal yang inti dari prioritas kebenaran dari kedua belah pihak.” Umat Katolik dan Protestan harus berani duduk bersama untuk mencari hal-hal yang bisa kita terima dan akui secara bersama demi keutuhan dan kesatuan umat Kristen di dunia ini. Keberanian dalam berpikir maju dalam melihat Gereja Katolik Roma bukan sebagai musuh melainkan sebagai saudara seiman bagi kalangan Protestan harus dikembangkan. Bahkan sebuah majalah me­ nyebutkan bahwa beberapa tokoh Protestan Injili bisa saja berpindah ke dalam Gereja Katolik. Majalah Christian Century, edisi 22 Agustus 2006 membahas tak kurang dari enam tokoh penting dari kalangan Protestan yang hijrah ke Gereja Katolik; tokoh-tokoh tersebut adalah: Reinhard Hütter, Bruce Marshall, Mickey Mattox (ketiganya adalah Lutheran), Rusty Reno, Douglas Farrow (keduanya Anglican) dan Gerald Schlabach (Mennonite). Sekitar awal Mei 2007 baru-baru ini kalangan Injili kembali dikejutkan dengan peristiwa yang sama, yaitu bergabungnya president Evangelical Theological Society, Francis Beckwith, ke dalam denominasi Katolik. Atau lebih tepatnya, menurut kata-kata Beckwith sendiri, ia ”kembali” ke denominasi asalnya. Trend semacam ini sudah berlangsung beberapa tahun sebelumnya, ketika misalnya tokoh seperti Richard John Neuhaus (Lutheran) memutuskan untuk bergabung dengan Gereja Katolik dalam masa puncak karirnya dan sekarang menjadi pemimpin salah satu majalah utama Gereja Katolik, First Thing. Mungkin penting juga untuk menyimak buku ka­rangan Joseph Pearce, Literary Converts, yang memaparkan secara rinci pengaruh doktrin Katolik dalam mempertobatkan tokoh-tokoh sastra Inggris dan Amerika di akhir abad ke-19 dan awal abad ke20.266



266 Kalvin S. Budiman, ”Bersikap ‘katolik’ tanpa Menjadi ‘Katolik’”, dalam http://groups.yahoo. com/group/METAMORPHE/message/7087.



160  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Dari fakta di atas terlihat bahwa ada kecenderungan hubungan Protestan dan Katolik akan semakin merasa dekat. Artinya, bisa saja tokoh Protestan berpindah ke Katolik ataupun sebaliknya tokoh Katolik berpindah ke Protestan. Mengapa hal ini terjadi? Apa yang mendasari fenomena ini mulai berkembang di kalangan Protestan dan Katolik? Menurut Budiman, sudah tentu alasan hijrah masing-masing tokoh di atas berbeda-beda. Namun demikian, menurut pengamatan Budiman secara pribadi, ada beberapa alasan yang secara garis besar dapat menjelaskan mengapa tokoh-tokoh Protestan memutuskan untuk bergabung dengan Gereja Katolik:267 1) Kita perlu menyimak kembali peristiwa Reformasi di abad ke16. Akhir-akhir ini tokoh-tokoh penting dalam studi sejarah Reformasi menunjukkan bahwa tali ikatan antara GKRA bad Pertengahan dengan denominasi Protestan yang lahir sesudah era Reformasi ternyata tidak sepenuhnya pupus, seperti anggapan atau harapan kebanyakan jemaat Protestan pada umumnya. Pemahaman umum bahwa Gereja telah mengalami kelahiran baru di era Reformasi dan terpisah secara total dari Gereja Katolik ternyata terbukti tidak sepenuhnya benar. Memang tidak salah bila dikatakan bahwa para tokoh Reformasi telah memisahkan diri secara tajam dari Gereja Katolik dalam aspek-aspek doktrinal seperti sakramen, doktrin keselamatan, dan doktrin Gereja. Tetapi tak kurang dari guru besar studi Reformasi seperti David Steinmetz (Duke University) dan Richard Muller (Calvin Seminary) meyakini bahwa dalam isu-isu teologis lainnya, moral dan etika, pastoral, dan metode berteologi, masih ada banyak talitali pengikat yang menyatukan Gereja Katolik dengan Gerejagereja yang lahir sesudah Reformasi. Diterjemahkannya dan dipublikasikannya dokumen-dokumen asli tulisan para tokoh Reformasi yang hidup sezaman atau sesudah Luther dan Calvin menyingkapkan bukti hitam di atas putih bahwa ada begitu banyak warisan GKRA bad Pertengahan yang tetap dipertahankan, entah secara sadar atau tidak, oleh tokoh-



267 Ibid.



Pengaruh Deklarasi Bersama —



161



tokoh Reformasi — tentunya dengan beberapa modifikasi dan penafsiran dari sudut pandang yang baru; seperti misalnya konsep hukum kodrati, metafisika, doktrin pemeliharaan Allah, metode skolastik dalam berteologi, serta beberapa ajaran penting Thomas Aquinas. 2) Di abad ke-20 dan abad kita sekarang ini, kita menjumpai adanya kecenderungan di antara para teolog non-Katolik dan Katolik untuk kembali ke tradisi Gereja mula-mula yang selama ini senantiasa merupakan tekanan penting dalam teologi Gereja Katolik Roma (dan juga Orthodox), tetapi kurang ditekankan dalam denominasi-denominasi di luar Gereja Katolik. Lihat misalnya buku Katolikisme (Catholicism), yang merupakan salah satu tulisan monumental tokoh utama Gereja Katolik, Henri de Lubac. Tulisan ini menggarisbawahi peran penting Gereja mula-mula dalam mendefinisikan hakikat Gereja yang ”universal” (catholicum). Di kalangan non-Katolik, muncul pendekatan serupa lewat, misalnya, gerakan paleo-orthodoxy yang dimulai oleh Thomas Oden (Drew University), yang adalah seorang Methodist. Gerakan ini menekankan metode berteologi dengan memanfaatkan sumber-sumber dari patristik atau bapak-bapak Gereja mula-mula. Oden juga menjadi kepala editor proyek Ancient Christian Commentary, sebuah seri eksegese Alkitab dari zaman Gereja mula-mula. Proyek ini melibatkan bukan hanya teolog dan ahli Alkitab dari kalangan Protestan, tetapi juga dari kalangan Katolik. Salah satu contoh lagi adalah proyek Evangelical Resourcement yang sedang digarap oleh Daniel H. Williams (Baylor University), yang adalah seorang Baptist. Proyek ini bertujuan untuk memakai sumber-sumber dalam tradisi Gereja mula-mula dalam konteks masa sekarang. Gagasan-gagasan semacam ini juga dipopulerkan oleh sebuah gerakan yang sekarang ini dikenal dengan sebutan Radical Orthodoxy. Sebuah gerakan yang dimulai di Inggris dengan tokoh utamanya John Milbank (Anglican) dengan tujuan menyingkapkan kembali pentingnya warisan patristik, Abad Pertengahan dan Renaissance, dalam berteologi di era postmodern. Isi dari gerakan-gerakan semacam ini sudah



162  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman tentu berbeda satu dengan lainnya, namun satu kemiripan dari gerakan-gerakan tersebut adalah ”persinggungannya” dengan sumber-sumber teologi dalam tradisi Gereja Katolik. 3) Kedekatan tokoh-tokoh non-Katolik dengan Gereja Katolik lebih diperkuat lagi dengan menjamurnya proyek bersama atau proyek ekumenis antara Gereja non-Katolik dengan Gereja Katolik. Barangkali salah satu contoh yang paling populer sekarang ini adalah tercapainya Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran (The Joint Declaration on the Doctrine of Justification) antara LWF dengan Gereja Katolik pada 31 Oktober 1999. Deklarasi ini berisi beberapa ketetapan yang dianggap sebagai ”jalan tengah” antara konsep pembenaran iman Gereja Lutheran dan konsep yang sama yang dipegang oleh Gereja Katolik. Proyek-proyek ekumenis lainnya, antara lain, adalah: Evangelical and Catholic Together (dimulai pada 1992), the Ekklesia Project (sebuah proyek ”friendship” yang melibatkan berbagai denominasi), Reformed Catholicism (konferensi pertama akan diadakan February 2008), dan dialog yang terus-menerus berlangsung antara denominasi Baptis dan Katolik — dua denominasi dengan jumlah anggota terbesar di Amerika Serikat (dialog ini sendiri belakangan ini ditentang dengan keras oleh sejumlah anggota Gereja Baptis). Gerakan-gerakan ekumenis semacam ini melibatkan tokohtokoh utama dari kalangan Protestan dan Katolik, seperti Charles Colson, J. I. Packer, Avery Dulles, dan Richard John Neuhaus. 4) Kebangunan yang terjadi di dalam Gereja Katolik sendiri. Kebangunan di sini bukan dalam arti kebangunan rohani seperti yang umumnya dimengerti di kalangan Gereja Pro­ testan, tetapi kebangunan melalui gerakan ‘injili’ model Katolik, sosial dan seni. Abad ke-20, khususnya, menyaksikan munculnya kelompok ‘injili’ dalam Katolik yang bukan muncul dari bergabungnya kelompok ”Injili” ke dalam Gereja Katolik, tetapi gerakan ”injili” yang muncul dari dalam Gereja Katolik sendiri; yaitu munculnya generasi muda yang ingin mempertahankan secara seimbang kehidupan rohani yang berapi-api, keterlibatan secara aktif dalam kegiatan



Pengaruh Deklarasi Bersama —



163



sosial, serta kesetiaan pada tradisi ajaran Gereja Katolik.268 Di samping itu, abad ke-20 juga menyaksikan munculnya dari kalangan Gereja Katolik sejumlah tokoh yang memberikan pengaruh tidak sedikit dalam bidang sosial dan seni; tokohtokoh mulai dari G. K. Chesterton, Dorothy Day, Thomas Merton, Graham Greene, Flannery O’Conor, Czelaw Milosz, dan Walker Percy. Masing-masing berangkat dari kerangka berpikir teologi Katolik dan melahirkan karya tulis yang men­ dalam tetapi aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tidak memberikan teori yang muluk, tetapi menolong pembaca untuk berteori dan memahami kehidupan dengan kreatif. Sulit untuk dipungkiri bahwa kebangunan dalam Gereja Katolik semacam ini telah memberikan daya pikat tersendiri bagi para pemimpin non-Katolik. 5) Memang di abad ini kita juga menyaksikan kebangkrutan moral yang tidak kecil yang terjadi dalam Gereja Katolik. Terbongkarnya skandal phaedophilia di kalangan pastor Gereja Katolik adalah aib yang sangat memalukan. Namun demikian, di tengah maraknya isu-isu moral di masyarakat, yang memecah belah berbagai kalangan Kristen, seperti per­ nikahan homoseksual, aborsi, perang, polusi lingkungan dan sebagainya, Gereja-gereja non-Katolik tetap harus mem­ perhitungkan pendapat dari Gereja Katolik. Mengapa? Sulit dipungkiri bahwa dibandingkan denominasi-denominasi lain­ nya, salah satu kekhususan Gereja Katolik adalah merumus­ kan prinsip-prinsip etika hampir di semua isu yang ada di masyarakat. Mereka memiliki rumusan dan panduan yang jelas dan rinci dalam masalah-masalah etika yang pelik. Dan sejauh ini, banyak prinsip yang Gereja Katolik pegang belum tergoyahkan oleh pergeseran-pergeseran di dunia etika modern; banyak di antaranya adalah prinsip-prinsip yang oleh denominasi non-Katolik dipandang sejalan dengan Alkitab. Pendapat Budiman ini menunjukkan bahwa dokumen Deklarasi Bersama (poin 3 di atas) mampu mendekatkan hubungan antara 268 Lih. tulisan William L. Portier, ”Here Come the Evangelical Catholics,” dalam Communio 31 (Spring, 2004), hlm. 35-65.



164  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman tokoh-tokoh Protestan dan Katolik dengan pembahasan-pembahasan teologi secara bersama-sama. Menurut penulis hal ini benar, sebab semakin banyak pokok-pokok teologi dibahas dan didiskusikan oleh teolog-teolog Protestan dan Katolik maka akan terbukalah lebar jalan penyatuan pemahaman bersama akan ajaran-ajaran lainnya. 2.2.2 Lembaga Pendidikan Teologi Katolik Salah satu lembaga teologinya adalah Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) St. Thomas Sinaksak, Pematangsiantar. Di lembaga teologi ini, dokumen Deklarasi Bersama menjadi salah satu pokok pelajaran penting bagi mata kuliah dogmatika. Hal ini diungkapkan oleh Pastor Richard Sinaga269 dalam sebuah wawancara. Menurut Sinaga, sebagai dosen dogmatika di STFT St. Yohanes SinaksakPematangsiantar, beliau setiap tahun mengajarkan dokumen Deklarasi Bersama kepada setiap mahasiswanya. Dalam kuliahnya, Sinaga mengajarkan bahwa ajaran pembenaran merupakan sumber per­ kelahian di antara Gereja Katolik dan Lutheran, namun dengan ajaran pembenaran itu juga Lutheran dan Gereja Katolik bersatu dalam hal saling menerima dan menghargai ajaran kedua belah pihak. Karena dokumen ini sangat penting bagi perkembangan ke­satuan Gereja ke masa depan, maka Sinaga menganjurkan agar dokumen Deklarasi Bersama wajib dibaca oleh setiap calon-calon imam di Gereja Katolik. Lebih dalam Sinaga berkata, ”Saya tidak hanya mengajarkan secara teoritis saja tentang dokumen ini, tetapi apa implikasi dokumen ini bagi kehidupan bergereja dan bermasyarakat” Menurutnya, implikasi yang sangat sederhana dari dokumen ini adalah ”sepakat untuk tidak sepakat”. Artinya, jika dulu perbedaan ajaran Lutheran dan Gereja Katolik membuat kita saling memusuhi dan mengutuki, tetapi sekarang perbedaan ajaran Gereja Katolik dan Lutheran tentang pembenaran membuat kita saling menerima perbedaan yang ada. Perbedaan ajaran di antara Lutheran dan Gereja Katolik tetap masih ada hingga sekarang. Namun perbedaan ajaran itu tidak lagi membuat Lutheran dan Gereja Katolik bermusuhan, tetapi semakin



269 Pastor Richard Sinaga, dosen STFT St. Yohanes Sinaksak-Pematangsiantar yang mengampu mata kuliah Dogmatika. Hasil wawancara pada 28 Oktober 2008 di STFT St. Yohanes Sinaksak.



Pengaruh Deklarasi Bersama —



165



menuju saling pengertian yang lebih baik. Itulah yang dimaksud dengan ”sepakat untuk tidak sepakat”. Implikasi lain yang dilihat Sinaga dari dokumen ini adalah jangan cepat curiga tetapi menghargai yang lain. Artinya, jika pihak Lutheran mengajarkan pembenaran maka Gereja Katolik jangan cepat mencurigainya seperti pada masa-masa lalu dengan menghasilkan Konsili Trente melawan ajaran pembenaran Luther tersebut. Tetapi Gereja Katolik harus mendengar lebih dalam dulu ajaran tersebut, karena bisa saja ada yang baik yang mau disampaikan ajaran tersebut. Dengan demikian kita bisa menghargai ajaran yang lain dan terbuka atas apa yang diajarkan oleh orang lain tersebut tanpa menaruh curiga pada mereka. Lebih lanjut, Sinaga menjelaskan pengaruh Deklarasi Bersama dalam Gereja Katolik. Dalam program Urbaniana (Universitas Kepausan)270 setiap calon imam yang mau mengikuti ujian Bacheloriat harus menjawab 33 tesis. Salah satu di antara ke-33 tesis itu membahas ajaran pembenaran. Ajaran pembenaran itu sendiri selalu mengacu pada dokumen Deklarasi Bersama yang telah disepakati bersama. Bahkan dalam buku pedoman untuk pendidikan calon imam Gereja Katolik, Ratio Fundamentalis telah memasukkan dokumen Deklarasi Bersama sebagai salah satu ajaran yang harus diajarkan bagi para calon imam-imam di Gereja Katolik. Pengalaman Sinaga sebagai pengajar dogmatika di STFT St. Yohanes Sinaksak Pematangsiantar adalah, dengan ditandatanganinya dokumen Deklarasi Bersama ini, maka dia merasa sangat enak dan senang mengajarkan ajaran pembenaran itu kepada mahasiswanya. Dalam pengajaran pembenaran ini, Sinaga menjelaskan ajaran pem­benaran itu dari sudut pandang Lutheran dan Katolik dan menjelaskan lebih lanjut bahwa perbedaan pemahaman pembenaran itu memperkaya pemahaman bersama dengan tujuan untuk semakin mempererat hubungan di antara Protestan dan Katolik. Selama ini, menurut Sinaga, perbedaan pemahaman ini menjadikan perseteruan di antara Protestan dan Katolik, namun sekarang perbedaan itu



270 Program Urbaniana ini adalah program bersama dari Vatikan dan lembaga pendidikan teologi untuk mendidik para calon imam di Gereja Katolik.



166  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman menjadi sesuatu yang memperkaya pemahaman keberimanan di antara Protestan dan Katolik. Mahasiswa STFT St. Yohanes juga merasa senang dengan lahirnya dokumen Deklarasi Bersama ini. Hal ini terlihat dari entusiasme para mahasiswa dalam mengikuti pelajaran pembenaran di perkuliahan. Mereka menyadari bahwa perbedaan adalah hal yang biasa terjadi karena cara pandang kita yang berbeda-beda. Tetapi cara pandang yang berbeda itu akhirnya dimengerti bersama-sama dalam sebuah dokumen Deklarasi Bersama. Tentang pengaruh dokumen Deklarasi Bersama bagi jemaat, menurut Pastor Sinaga, disadari bahwa dokumen ini masih relatif muda, maka gaungnya secara langsung kepada warga jemaat Katolik tidak begitu kuat terasa, walaupun perasaan permusuhan itu secara umum sudah mulai terkikis. Bahkan menurutnya, banyak warga jemaat Katolik yang memiliki kerinduan suatu saat GKR dan Protestan bisa bersatu dalam sebuah gerakan ekumenis. Dari paparan di atas terlihat bahwa dokumen Deklarasi Bersama di kalangan lembaga teologi Katolik bukan lagi sebuah dokumen baru yang belum dikenal, tetapi dokumen Deklarasi Bersama sudah familiar di kalangan dosen dan juga para mahasiswa STFT St. Yohanes Pematangasiantar. Bahkan dokumen ini sudah menjadi mata kuliah wajib bagi setiap bagi mahasiswa dan calon-calon imam Katolik. Menurut penulis, perkembangan yang terlihat di atas selain dipengaruhi oleh dokumen Deklarasi Bersama, juga oleh Konsili Vatikan II sangat kuat mempengaruhi lembaga-lembaga teologi Katolik dalam hal membangun jiwa dan semangat ekumenisme di dalam pengajarannya. Meskipun mengaku sebagai Gereja yang didirikan oleh Yesus, Gereja Katolik mengakui bahwa banyak unsurunsur keselamatan dalam Injil terdapat pula di dalam Gereja-gereja dan komunitas-komunitas Gerejawi lainnya. Pada dokumen Konsili Vatikan II, bagian Indeks Analitis Bab VII tentang Ekumenisme, disebutkan bahwa umat Katolik makin intensif melibatkan diri. Konsili mengundang Umat Katolik untuk ikut serta dalam usahausaha aktual: doa, kata-kata, dan kegiatan.271



271 Dokumentasi dan Penerangan KWI, Op.Cit., hlm. 688.



Pengaruh Deklarasi Bersama —



167



Sejak Konsili Vatikan II, Gereja Katolik telah menjangkau badanbadan Kristiani, mengusahakan rekonsiliasi yang semaksimal mungkin. Kesepakatan-kesepakatan penting telah dicapai mengenai Pembaptisan, Pelayanan, dan Ekaristi bersama para teolog Anglikan. Dengan badanbadan Lutheran telah dicapai kesepakatan serupa mengenai teologi pembenaran (justifikasi). Dokumen-dokumen penting ini telah makin mempererat ikatan persaudaraan dengan komunitas-komunitas Gerejawi tersebut. Meskipun demikian, perkembangan-perkembangan terbaru, semisal penahbisan wanita dan penerimaan terhadap pasangan homoseksual, menghadirkan hambatan-hambatan baru bagi rekonsiliasi dengan Gereja Lutheran, Gereja-gereja Reformasi, dan khususnya Gereja Anglikan.272 2.3 Pengaruh Deklarasi Bersama terhadap Gereja Protestan di Indonesia Yang dimaksud dengan Gereja ”Protestan” bukanlah mengacu pada pemahaman Gereja Protestan peninggalan Hindia-Belanda (De Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie).273Karena Gereja Protestan warisan Hindia-Belanda ini hanya sebagian dari Gereja Protestan yang ada di Indonesia. Sebutan Protestan di Indonesia pada umumnya adalah para denominasi Gereja yang memandang diri mereka me­ warisi tradisi reformasi Gereja yang terjadi abad ke-16 di Eropa, 272 ”Gereja Katolik Roma”, dalam http://id.itpedia.sfilar.com/it/Gereja_Katolik_Roma. 273 ”Gereja Protestan di Indonesia”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Protestan_di_ Indonesia. De Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie disingkat Indische Kerk adalah Gereja Protestan di Indonesia yang cikal-bakalnya lahir di Ambon, Maluku pada tahun 1605. Sebenarnya penggunaan nama De Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie ini mulai dikenal sejak 1835-an/1840-an. Pada 1619 kantor pusatnya dipindahkan ke Batavia seturut dengan berpindahnya kedudukan Gubernur Jenderal ke Batavia. Gereja Protestan ini mewarisi jemaat-jemaat yang ditinggalkan oleh misi Portugis dan di kemudian hari karena berdasarkan Undang-undang Dasar 1848 dari Parlemen Belanda. Haluan baru itu dinyatakan oleh Menteri Jajahan dan Sidang Parlemen Belanda pada 1854: Pemerintah sama sekali tidak berkeinginan untuk berkuasa atas Gereja Hervormd atau Gereja lain di mana pun yang terdapat di Hindia Belanda. Sejak itu, baik pihak pemerintah di Nederland maupun di Indonesia berulang kali mencoba untuk memberikan kemandirian lebih besar kepada Gereja Protestan (Lih. uraian lebih lanjut dalam G.P.H. Locher, Tata Gereja: Gereja Protestan di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hlm.50-72; Jan S. Aritonang, Op.Cit., hlm. 12-14. Wilayahnya meliputi beberapa daerah antara lain: Maluku, Minahasa, Kepulauan Sunda Kecil. Berhubung wilayah pelayanan De Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie itu begitu luas dan di beberapa daerah pelayanan mulai timbul persoalan, maka pada pertemuan para pendeta tahun 1927 dihasilkan sikap bahwa keesaan Gereja tetap dipertahankan, tetapi wilayah-wilayah yang memiliki kekhususan diberi kemandirian yang lebih besar untuk mengatur pelayanannya sendiri. Maka pada Rapat Besar tahun 1933, jemaat-jemaat di Minahasa, Maluku, dan Timor diberikan keleluasan untuk menjadi Gereja mandiri dalam persekutuan De Protestantsche Kerk in Nederlandsch–Indie.



168  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman yakni reformasi yang dipelopori oleh Martin Luther (di Jerman) dan Johannes Calvin (di Swiss). Sedangkan denominasi - Gereja yang lain (seperti Anglikan, Methodist, Presbiterian, Pantekosta, Baptis, Mennonit, Mormon) kurang merasa sreg menyebut dirinya Protestan. Mereka lebih senang menggunakan sebutan ‘Kristen’.274 Pada 2005, sekitar 14.276.459 (5,9%) dari 241.973.879 penduduk Indonesia, beragama Protestan. Karena pengaruh para misionaris dari Belanda, kebanyakan Gereja Protestan di Indonesia sangat diwarnai oleh ajaran Calvin, dan sebagian lagi mempunyai corak Lutheran.275 Pengaruh dokumen Deklarasi Bersama terhadap Gereja-gereja Protestan di Indonesia akan difokuskan kepada Gereja-gereja yang ada di wilayah Sumatera Utara dan di Jakarta. Pengaruh terhadap Gereja-gereja Protestan ini akan diuraikan di bawah ini. 2.3.1 Jemaat-jemaat Protestan Pengaruh dokumen Deklarasi Bersama bagi Gereja-gereja Protestan di Indonesia secara nyata lebih banyak digumuli di Gereja-gereja Lutheran yang ada di Sumatera Utara. Di kalangan Gereja-gereja Lutheran276 Sumatera Utara pengaruh dokumen ini sudah mulai digaungkan melalui khotbah, seminar, dan pembinaan-pembinaan. Pengaruh yang signifikan di jemaat Protestan sebenarnya sama dengan apa yang dialami oleh umat Katolik di Indonesia, yakni pengaruhnya masih bersifat pribadi dan belum menjemaat. Tetapi harus diakui bahwa pengaruh dokumen ini tetap terasa di antara jemaat Protestan dengan semakin membaiknya hubungan antara Katolik dan Protestan. Mengapa disebut semakin membaik? Karena pada dekade 1970-an masih terasa hubungan yang saling menghukum 274 Demi mengakomodasi pemahaman diri kelompok ini (Anglikan, Methodist, Presbyterian, Pentakosta, Pantekosta, Baptis, Mennonit, Mormon), Ditjen Bimas Kristen Protestan di DEPAG RI, mengubah namanya menjadi Ditjen Bimas Kristen. Tanpa sebutan Protestan lagi. Di antara denominasi Gereja protestan, ada denominasi yang pakai sebutan ‘protestan’ dalam namanya dan ada yang tidak menggunakannya. Di antara denominasi protestan itu kita kenal: Yang Lutheran: HKBP, GKPA, GKPI, GKPS, GKPM, HKI, BNKP, ONKP, AMIN, GKLI, GPKB, GKPPD, GMB, GPP; sedangkan yang Calvinis: GBKP, GPIB, GKI, GKI-SU, GKJ, GKJW, GMIT, GPM, GT, GTM, GMIM, GMIBM, GPID, GKLB, GKP, GKPB, GKS, GMIST, GKST, GKSS, GEPSULTRA, GMIH, GKE dan GKI-PAPUA. Pandangan Protestan yang akan disampaikan dalam tesis ini adalah pandangan denominasi Gereja Lutheran, karena penulis berlatarbelakang Gereja yang Lutheran. 275 ”Protestan”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Protestan. 276 Gereja-geraja Lutheran di Sumatera Utara di antaranya: HKBP, GKPI, GKPS, GKPA, HKI, GPKB, BNKP, ONKP, AMIN dan GKPPD.



Pengaruh Deklarasi Bersama —



169



di antara umat Katolik dan Protestan. Jika ada warga Protestan yang pindah ke Gereja Katolik, maka pihak Gereja Protestan mengeluarkan yang bersangkutan dari Gereja Protestan dan bahkan dianggap telah mati dengan membunyikan lonceng gereja. Demikian sebaliknya, Gereja Katolik akan mengeluarkan warga jemaatnya yang telah berpindah dari Katolik ke Gereja Protestan. Namun lambat laun pertikaian ini pun semakin dirasakan tidak perlu terus dipertahankan. Maka perubahan demi perubahan mulai terasa di kalangan Protestan dan Katolik. Hal ini terlihat dari sikap Gereja Protestan dan Katolik yang tidak saling menghakimi dan menghukum lagi. Perubahan ini memang bukan pengaruh langsung dari dokumen Deklarasi Bersama, karena perubahan ini sudah mulai terasa sejak 1980-an, padahal dokumen Deklarasi Bersama baru ditandatangani pada 1999. Walaupun dokumen Deklarasi Bersama baru ditandatangai 1999, namun perubahan yang terjadi 1980-an adalah akibat diskusi yang dilakukan secara terus-menerus oleh Protestan dan Katolik tentang ajaran pembenaran sejak 1980-an yang diterangi oleh hasil Konsili Vatikan II. Menurut Pdt. Dr. J.R. Hutauruk, pengaruh dokumen Deklarasi Bersama sebenarnya sudah mulai terasa sejak 1980-an, walaupun pada waktu itu dokumen Deklarasi Bersama ini belum ditandatangani, tetapi lahirnya dokumen Deklarasi Bersama ini merupakan rangkaian panjang dari dialog-dialog dan diskusi-diskusi teologi di antara para teolog Protestan dan Katolik sejak 1980-an. Artinya, dokumen Deklarasi Bersama secara resmi ditandatangani pada 1999, namun pengaruhnya sudah dimulai sejak 1980-an.277 Lebih lanjut Hutauruk mengatakan, proses sosialisasi dokumen Deklarasi Bersama di HKBP sudah mulai dilaksanakan sejak ditandatanganinya dokumen ini di Augsburg 31 Oktober 1999 yang lalu. Sosialisasi dokumen ini dilaksanakan baik di kalangan HKBP sendiri maupun menjaring hubungan kerj asama dengan Keuskupan Agung Medan.278 277 Wawancara pada 27 Oktober 2008 di kediaman Pdt. Dr. JR. Hutauruk di Komplek Perumahan Pemda II Tanjung Sari Medan. Pdt. Dr. JR. Hutauruk adalah Ephorus HKBP periode 19982004, baru sesudah itu beliau emeritus. Dan saat ini salah seorang anggota Council LWF dan aktif mengajar Pascasarjana STT HKBP, STT Abdi Sabda Medan dan STT GMI Bandar Baru Medan. 278 Lih. JR. Hutauruk, ”Memaknai Gerakan Reformasi Martin Luther Dulu, Kini, dan Mendatang dikaitkan dengan Pernyataan Bersama tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman”, bahan



170  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Hutauruk menjelaskan bahwa Deklarasi Bersama masih menyisakan tugas dan tanggung jawab bersama, yaitu supaya kesepakatan bersama tentang ajaran pembenaran benar-benar mempengaruhi hidup dan ajaran-ajaran Gereja kedua belah pihak (kaum Lutheran dan kaum Katolik). Rumusan-rumusan naskah itu sendiri masih menyisakan tugas untuk memberikan penjelasan-penjelasan yang lebih otentik, khususnya tentang peebedaan-perbedaan yang ditampilkan masingmasing pihak. Ada lagi pokok-pokok ajaran yang masih belum disinggung dalam Deklarasi Bersama, antara lain: hubungan antara Firman Allah dan ajaran Gereja, ajaran tentang susunan pemerintahan Gereja, jabatan dan sakramen, dan hubungan antara pembenaran dan etika sosial. Itulah yang dituangkan dalam butir 43: ”Kami yakin bahwa kesepakatan yang telah kami capai menyuguhkan dasar yang teguh untuk penjelasan ini. Gereja-gereja Lutheran dan Gereja Katolik akan terus mengusahakan secara bersama pendalaman pemahaman bersama tentang pembenaran ini dan membuatnya berbuah dalam hidup dan ajaran Gereja.” (DB 43)279 Memang harus diakui bahwa persoalan ortodoksi (ajaran yang benar) ini tidak begitu dipahami oleh orang Kristen di aras warga jemaat. Sebab di aras warga jemaat yang mereka pahami adalah ortopraksis (tindakan yang benar – yang mengacu pada firman Tuhan). Kedua sisi ini saling berkaitan. Ortodoksi sangat diperlukan agar ajaran Gereja semakin murni, namun dalam kehidupan sehari-hari ortodoksi tidak begitu ditekankan, karena yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari adalah ortopraksis. Sebagai penutup Deklarasi Bersama ini ialah butir 44, yaitu sebuah pengucapan syukur pada Tuhan ”akan langkah maju menuju usaha mengatasi ‘keterpisahan Gereja’. Kami memohon Roh Kudus membimbing kami selanjutnya ke arah keesaan yang terlihat, sesuai dengan kehendak Kristus.” (DB 44)280 Paparan Hutauruk ini diperdalam lagi oleh Pdt. Dr. Anwar Tjen281. Tjen mengatakan bahwa tidak disangkal, penandatanganan Deklarasi ceramah dalam Seminar Peringatan 491 tahun Reformasi Dr. Martin Luther di Aula FE Universitas Kristen Indonesia Jakarta pada 31 Oktober 2008, hlm. 14. 279 Ibid., hlm. 16-17. 280 Ibid., hlm. 17. 281 Anwar Tjen, ”Memaknai Gerakan Reformasi, termasuk kaitannya dengan Pemahaman Bersama Ajaran Pembenaran oleh Iman: Menarik pelajaran dari warisan sejarah dan teologi”, bandingan bahan ceramah dalam Seminar Peringatan 491 tahun Reformasi Dr. Martin Luther di Aula FE Universitas Kristen Indonesia Jakarta pada 31 Oktober 2008, hlm. 5.



Pengaruh Deklarasi Bersama —



171



Bersama merupakan peristiwa historis. Secara simbolis, peristiwa itu menandai keterbukaan untuk meninjau dan memahami kembali warisan kontroversi teologis beserta anathema yang melekat padanya sejak masa reformasi. Dialog untuk saling memahami ternyata sangat penting untuk menyadari betapa banyak persamaan yang dimiliki dan bagaimana perbedaan masing-masing harus dihargai. Tjen melanjutkan pemaparannya bahwa kesepakatan dalam ranah doktrinal, apakah itu berwujud Deklarasi Bersama atau Lima Dokumen Keesaan, tidak banyak artinya tanpa dibarengi kebersamaan dalam persekutuan, kesaksian, dan pelayanan melampaui batas-batas konfesional.282 Menurut Bishop GKPI, Pdt. Dr. M.S.E. Simorangkir283, pengaruh dokumen Deklarasi Bersama ini sangat bergaung bagi kaum intelektual umat Protestan dan Katolik. Secara praktis menurut Simorangkir, dalam rangka mensosialisasikan dokumen ini para pendeta harus menyampaikannya kepada warga jemaat melalui khotbah-khotbah dan pembinaan-pembinaan. Dan bahkan Gereja-gereja harus bisa merumuskan ulang ajaran-ajarannya, agar doktrin ajaran pembenaran ini diformulasi ulang sesuai dengan isi dokumen Deklarasi Bersama. Simorangkir menjelaskan lebih dalam bahwa agar pengaruh dokumen Deklarasi Bersama terasa dalam kehidupan berjemaat, sudah saatnya Gereja-gereja di Sumatera Utara untuk melaksanakan seminar-se­ minar tentang dokumen Deklarasi Bersama bagi para pelayanan Gereja hingga kepada warga jemaat. Bahkan Gereja-gereja juga harus memikirkan ulang pengajarannya dengan mempertimbangkan doku­ men Deklarasi Bersama dalam dokumen-dokumen Gerejanya, seperti: Konfesi / Pengakuan iman, katekisasi sidi, dan lain-lain. Hal senada juga disampaikan oleh Pdt. R. Simanjuntak, B.D.,284 yaitu bahwa dokumen Deklarasi Bersama pengaruhnya masih bersifat pribadi di tengah-tengah kehidupan berjemaat. Dokumen ini masih harus terus disosialisasikan dalam rangka membangun hubungan yang lebih baik dengan Gereja Katolik dan Gereja lainnya. Misalnya 282 Ibid. 283 Pdt. Dr. M.S.E. Simorangkir adalah bishop GKPI dan ketua KN-LWF Indonesia. Wawancara pada 28 Oktober 2008 di Kantor Pusat GKPI Jl. Kapten MH. Sitorus No.13 Pematangsiantar. 284 Pdt. R. Simanjuntak, BD adalah seorang pendeta HKI dan saat ini menjabat sebagai Sekjen HKI tinggal di Pematangsiantar. Wawancara pada 28 Oktober 2008 di Kantor Pusat HKI Jalan Melanthon Siregar No.111 Pematansiantar.



172  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman dengan pertemuan dan sosialisasi yang dilakukan KN LWF dan Keuskupan Agung Medan pada 30 Oktober 2004 yang lalu, maka rasa persaudaraan di antara umat Protestan dan Katolik semakin membaik. Warga jemaat tidak lagi merasakan permusuhan di antara umat Katolik dan Protestan, bahkan warga jemaat pun sudah merasa semakin menyatu dalam berbagai kegiatan yang dilaksanakan di tengah-tengah kehidupan masyarakat, seperti: mengikuti acara per­ nikahan di Gereja Protestan dan Katolik, pesta-pesta dan perayaanperayaan Gerejawi, misalnya: perayaan Natal bersama dan perayaan Paskah bersama. Pengaruh lain yang dilihat oleh Pdt. Dr. Langsung Sitorus adalah bahwa semua Gereja reformasi di Sumatera Utara tidak ada yang menyangkal keabsahan baptisan yang dilakukan oleh Gereja Katolik. Tetapi Gereja yang melakukan pembaptisan ulang, seperti Gereja Kemah Injili Indonesia (GKII), menyangkal keabsahan baptisan (terutama baptisan anak dan baptisan percik) yang dilakukan oleh Gereja reformasi dan Gereja Katolik.285 Dulu Gereja reformasi masih menganggap kurang lengkap pendidikan konfirmasi yang diperoleh seorang pemuda Kristen da­ lam pelajaran konfirmasi yang diterimanya semasa dia masih Katolik. Sehingga apabila seorang pemuda / pemudi hendak menikah kepada pemudi atau pemuda di Gereja reformasi, pekerja Gereja di Gereja reformasi masih meminta agar Katolik itu belajar sidi lagi dan disidikan dalam acara kebaktian Minggu. Sikap seperti itu masih berlaku hingga 2000. Tetapi berkat pergaulan umat kedua Gereja tersebut (Protestan dan Katolik) dan berkat kesadaran bahwa mutu pelajaran konfirmasi dengan mutu pelajaran sidi sudah disadari sebagai tidak terlalu berbeda, kecuali dalam hal ajaran yang memang berbeda, maka Gereja-gereja reformasi sudah meninggalkan sikapnya, yang menuntut agar anak Katolik yang hendak nikah di Gereja reformasi harus disidikan terlebih dahulu.286 285 Langsung Sitorus, ”Pandangan Protestan tentang Gereja Katolik dan Relevansinya dalam Kerja sama Okumene”, dalam www.binawargahki.com. 286 Ibid. Dulu keluarga yang menyetujui anaknya nikah di Katolik bersama anak yang nikah di Katolik diekskomunikasi atau sedikitnya dibuat menjadi anggota yang harus belajar ulang. Sekarang ini sikap dan pandangan sedemikian tidak dijalankan lagi.Yang Katolik dan yang Protestan sudah dapat sama-sama bersukacita menghantar putra/putri mereka menerima pemberkatan nikah di hadapan altar Tuhan di Katolik maupun di Gereja Protestan, dan bersukacita bersama memestakan atau rnengadatkannya.Bahkan perkembangan selanjutnya,



Pengaruh Deklarasi Bersama —



173



Sitorus lebih dalam mengatakan, sudah kenyataan bahwa umat Kristen yang Protestan dan yang Katolik berbaur di tengah masyarakat, terutama dalam Punguan Marga dan Perkumpulan Serikat Tolong Menolong. Dua organisasi kemasyarakatan ini memiliki keberagaman iman anggotanya termasuk di dalamnya umat Protestan dan Katolik. Dalam kegiatan-kegiatannya kedua organisasi kemasyarakatan ter­ sebut mengadakan kebaktian-kebaktian rutin sedikitnya sekali sebulan. Mereka dapat memuji Tuhan bersama, bersukacita bersama, tanpa terusik dengan kekatolikan dan keprotestanan. Kumpulankumpulan ini sangat lebih ekumenis dibandingkan dengan Gereja Protestan dan Katolik dalam pergaulan antar-gerejawinya. Mungkin­ kah Gereja Protestan dan Gereja Katolik secara bersama-sama mengejar ketertinggalan mereka dibanding masyarakat yang sudah lebih indah pergaulannya?287 Pengalaman seperti di atas telah penulis rasakan selama melayani sebagai pendeta resort di GKPA Resort Pangkalan Berandan selama 5 tahun. Penulis merasakan hubungan yang erat di antara umat Katolik dan Protestan dalam hal pergaulan sehari-hari, baik dalam kegiatan ibadah (Partangiangan) Marga, dan Kampung (Parsahutaon), maupun ketika menghadapi masa-masa duka dan suka. Tidak ada rasanya perbedaan antara Katolik dan Protestan dalam pergaulan di tengahtengah masyarakat. Pengaruh dokumen ini bagi GKPA terlihat dari entusiasme GKPA dalam merespons draf dokumen Deklarasi Bersama pada Juni 1998. GKPA mengirimkan respons atas dokumen ini ke LWF tanpa masukan, artinya setuju dengan isi draf yang dikirimkan oleh LWF.288 GKPA juga mengirimkan para pendeta, sintua, dan jemaat dalam pertemuan yang dilaksanakan di STT HKBP Pematangsiantar sudah pernah dilaksanakan pemberkatan pernikahan yang dilayani bersama oleh pendeta dan pastor.Tetapi pada saat pemberkatan pernikahan, salah satu dari antara pendeta atau pastor yang menyampaikan berkat pernikahannya.Tetapi memang seperti dicatat, bahwa pendeta Gereja Protestan dan pastor Katolik di beberapa daerah belum bisa bersama-sama memberikan pemberkatan nikah untuk sepasang calon suami isteri di Gereja Protestan. Mungkin GKR sudah lebih maju dalam mengijinkan pastor dan pendeta Gereja Protestan bersama-sama memberkati pernikahan putra/putri di depan altar Katolik. 287 Ibid. 288 Lih. ”DOCUMENTATION, Action taken by the LWF Council on the recommendation of the Standing Committee for Ecumenical Affairs” dalam www.lutheranworld.org/../Beschle.pdf. Yang mengirimkan respons tanpa masukan dari Gereja-Gereja Lutheran di Indonesia adalah: GKPA, HKBP, dan GKPS.



174  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman dan STFT St. Yohanes Pematangsiantar dalam rangka sosialisasi isi dokumen Deklarasi Bersama ini. Hal yang sangat membanggakan adalah bahwa salah satu keputusan Rapat Majelis Pendeta GKPA pada 23-26 Oktober 2008 di Wisma Bumi Asih, Pekan Baru menyebutkan bahwa GKPA akan merumuskan ulang dokumen Konfesi GKPA mengenai ajaran pembenaran yang mengacu pada dokumen Deklarasi Bersama LWF dan Gereja Katolik ini. GKPA sebagai Gereja yang mengaku sebagai Gereja yang beraliran Lutheran ternyata dalam konfesinya tidak memuat ajaran Luther tentang pembenaran secara utuh. Para pendeta GKPA menyadari bahwa dokumen Deklarasi Bersama ini merupakan ajaran yang sangat penting dalam Gereja. Dengan adanya dokumen Deklarasi Bersama ini, maka Rapat Majelis Pendeta GKPA sepakat akan merumuskan ulang Konfesi GKPA agar dapat memasukkan ajaran pembenaran yang tertuang dalam dokumen Deklarasi Bersama. Rumusan ulang Konfesi dimaksud harus mengacu juga pada kontekstualisasi berteologi di Indonesia. Dokumen Deklarasi Bersama juga makin berpengaruh bagi warga jemaat Lutheran di Jakarta. Hal ini terlihat dalam salah satu kegiatan yang dilaksanakan Persekutuan Gereja-gereja Lutheran Jakarta (PGLJ)289 yaitu ”Peringatan 491 tahun Reformasi Dr. Martin Luther”. Dalam kegiatan ini dilaksanakan ”Seminar” yang membahas tema ”Memaknai gerakan reformasi Dr. Martin Luther dulu, kini, dan yang akan datang dikaitkan dengan Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman”. Menurut Pdt. Marihot Siahaan, S.Th.,290 bagi jemaat-jemaat lokal, dokumen Deklarasi Bersama ini sangat diminati karena dalam dokumen ini warga jemaat menemukan pemahaman yang benarbenar baru tentang ajaran pembenaran. Dokumen Deklarasi Bersama membantu jemaat-jemaat untuk merelevankan pembenaran dan men­dorong umat untuk terlibat dalam dialog di antara Gereja-gereja Protestan dan Gereja Katolik. Jemaat-jemaat yang merindukan kerja



289 PGLJ adalah sebuah lembaga yang mempersatukan umat Lutheran Jakarta. PGLJ ini dideklarasikan pada 20 April 2008 di GKPA Penjernihan Jakarta oleh seluruh pimpinan Gereja-gereja Lutheran yang ada di Jakarta seperti: HKBP, GKPI, GKPS, GKPA, HKI, GBKP, BNKP, ONKP, AMIN dan GKPPD. 290 Pdt. Marihot Siahaan, S.Th. adalah pendeta GPKB Tanjung Priuk. Wawancara pada 31 Oktober 2008 di Aula FE UKI Jakarta.



Pengaruh Deklarasi Bersama —



175



sama ekumenis merasakan penandatanganan ini sebagai langkah yang menguntungkan. Pengaruh lain disampaikan Pdt. Mangara Sinamo, S.Th.291 bahwa dengan adanya dokumen Deklarasi Bersama maka pelayanannya se­ bagai pendeta di tengah-tengah persekutuan dengan Gereja Katolik terasa makin membaik. Memang dokumen Deklarasi Bersama bukan dokumen yang pertama yang mempererat hubungan Protestan dan Katolik. Hubungan Protestan dan Katolik ini sebenarnya sudah dimulai terasa sejak 1970-an pasca Konsili Vatikan II. Namun se­ telah ditandatanganinya dokumen Deklarasi Bersama, warga jemaat Protestan dan Katolik semakin merasakan eratnya persekutuan mereka di tengah-tengah masyarakat di Jakarta ini. Pengaruh dokumen ini juga terlihat di belahan Asia lainnya seperti Korea. Sekretaris Jenderal Dewan Nasional Gereja-gereja di Korea, Pdt. Kwon Oh-sung292 ingin lebih memperkuat kerja sama ekumene mereka dengan Gereja Katolik. Dan Gereja Katolik Korea setuju bahwa sekarang inilah saatnya untuk bergerak ”melampaui dialog persahabatan menuju dialog yang berorientasi pada doktrin.”293  Kwon Oh-sung mengatakan kepada UCA News5 Desember 2006 bahwa kerja sama lintas Gereja, khususnya dengan Gereja Katolik, dan reformasi internal merupakan prioritas utamanya. Pastor Peter Pai Young-ho294 berbicara dengan UCA News pada 5 Desember 2006 dan mengucapkan selamat kepada Pdt. Kwon atas terpilihnya dia menjadi sekretaris jenderal dewan Protestan. ”Kita harus maju me­ lampaui dialog persahabatan menuju dialog yang berorientasi pada doktrin,” sesuai dengan isi dokumen Deklarasi Bersama tentang Doktrin Pembenaran, katanya. Karena Deklarasi yang telah ditandangani Gereja Lutheran dan Gereja Katolik 31 Oktober 1999 itu berhasil menjembatani ketidaksepakatan yang memisahkan Gereja Katolik dan Gereja-gereja Protestan sejak abad ke-16. Deklarasi itu menyatakan 291 Pdt. Mangara Sinamo, S.Th. adalah seorang pendeta GKPPD Resort Jakarta tinggal di Jakarta. Wawancara pada 31 Oktober 2008 di Aula FE UKI Jakarta. 292 Pdt. Kwon Oh-sung adalah Pemimpin Gereja Presbyterian yang terpilih sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Nasional Gereja-gereja di Korea (NCCK, National Council of Churches in Korea)pada 20 November 2006 untuk masa bakti empat tahun (2006-2010). 293 ”Korea – Dialog Ekumene, Prioritas Pemimpin baru Dewan Gereja-gereja Protestan”, dalam http://www.mirifica.net/artDetail.php?aid=3607. 294 Ibid. Pastor Peter Pai Young-ho adalah Sekretaris Jenderal CBCK (Catholic Bishops’ Conference of Korea - Konferensi Wali Gereja Korea).



176  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman bahwa keselamatan manusia itu hanya mungkin karena rahmat Allah (God’s grace), sementara rahmat Allah menuntut manusia untuk melakukan perbuatan baik. 2.3.2 Lembaga Pendidikan Teologi Protestan Lembaga pendidikan teologi Protestan di Sumatera Utara tentu­ nya ada banyak, namun dalam hal ini penulis hanya melihat dua lembaga pendidikan teologi yang menjadi lembaga pendidikan teologi Protestan yang sangat dikenal lembaga-lembaga Gereja-gereja Lutheran di Sumatera Utara. Kedua lembaga teologi dimaksud adalah Sekolah Tinggi Teologi (STT) HKBP Pematangsiantar dan Sekolah Tinggi Teologi (STT) Abdi Sabda Medan. Pengaruh dokumen Deklarasi Bersama pada lembaga pendidikan teologi Protestan lebih terlihat gaungnya, karena di lembaga pen­ didikan ini dokumen ini sudah diajarkan dan diseminarkan pada kuliah-kuliah dogmatika. Bahkan dokumen ini juga sudah banyak diulas dan digali oleh beberapa dosen teologi. Misalnya Darwin Lumbantobing295 mengulas dokumen ini dalam sebuah tulisan yang berjudul, ”Memperkenalkan: Joint Declaration on the Doctrine of Justification” dan Pardomuan Munthe296 yang mengulas dokumen ini dengan judul, ”Joint Declaration on the Doctrine of Justification (JDDJ): Menuju Pemahaman Bersama Doktrin Pembenaran (Gebrakan Baru GKR dan LWF Memotivasi Gerakan Ekumenis)”. Lebih dalam pengaruh dokumen Deklarasi Bersama pada lembaga pendidikan teologi adalah bahwa dokumen ini telah diajarkan kepada para mahasiswa. Memang Darwin Lumbantobing297 mengakui di aras jemaat dokumen ini masih perlu disosialisasikan dengan baik. Karena banyak warga jemaat dan bahkan pendeta menganggap bahwa dengan adanya dokumen ini seolah-olah ajaran Katolik dan Protestan sudah menyatu. Padahal, dokumen Deklarasi Bersama ini bukanlah 295 Darwin Lumbantobing adalah seorang pendeta HKBP dan sekarang menjadi Ketua STT HKBP Pematangsiantar sekaligus mengampu mata kuliah Dogmatika. Tulisannya dimuat dalam Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, (Pematangsiantar: L-SAPA STT HKBP, 2007), hlm. 237-253. 296 Pardomuan Munthe adalah seorang pendeta GKPI dan sekarang mengajar di STT Abdi Sabda Medan mengampu mata kuliah Dogmatika. Tulisannya dalam Jurnal Teologi TABERNAKEL STT Abdi Sabda Medan Edisi XIX Januari-Juni 2008, (Medan: STT Abdi Sabda Medan, 2008), hlm. 54-84. 297 Wawancara pada 28 Oktober 2008 di rumah kediaman ketua STT HKBP Pematangsiantar.



Pengaruh Deklarasi Bersama —



177



mau menyatakan bahwa ajaran pembenaran Katolik dan Protestan bersatu, melainkan tetap ajarannya dipahami berbeda walaupun perbedaan itu bukan lagi dipandang sebagai pemisah di antara kedua belah pihak. Sebaliknya, perbedaan di antara Katolik dan Protestan harus dipandang sebagai kekayaan yang bisa mempersatukan kedua belah pihak. Menurut Lumbantobing, pengaruh dokumen ini, pertama, lebih banyak berpengaruh kepada para pendeta dan teolog-teolog baik yang melayani di tengah jemaat maupun di lembaga-lembaga pen­ didikan teologi. Kedua, dokumen ini menjadi pintu membuka diskusi-diskusi lain, misalnya: sakramen, liturgi, eklesiologi, dan lain sebagainya. Dokumen ini akan menjadi langkah awal untuk memasuki langkah-langkah selanjutnya dalam rangka menerima dan memahami ajaran-ajaran Katolik dan Protestan secara bersama demi tercapainya pemahaman bersama. Lumbantobing lebih lanjut mengatakan bahwa bagi STT HKBP Pematangsiantar dokumen Deklarasi Bersama sudah merupakan dokumen yang cukup dikenal di kalangan dosen dan juga para mahasiswa/i STT HKBP, karena STT HKBP sudah beberapa kali menjadi tempat mendiskusikan dokumen ini oleh kalangan pendeta, sintua, dan warga jemaat Gereja-gereja Lutheran yang ada di Sumatera Utara. Selain itu juga, dokumen ini sudah menjadi bahan pengajaran dogmatika bagi mahasiswa/i STT HKBP, dan dokumen ini pun sudah diseminarkan di tengah-tengah perkuliahan mahasiswa. Artinya, dengan pengenalan yang begitu dalam di kalangan mahasiswa/i STT HKBP, maka diharapkan akan membawa pengaruh dalam tugas pelayanan mereka kelak setelah menamatkan studi teologinya di STT HKBP. Pendapat yang sama disampaikan oleh Pdt. Dr. Jontor Situmorang,298yaitu bahwa pengaruh dokumen Deklarasi Bersama di lembaga pendidikan teologi masih bersifat ulasan teologis. Yang bisa dikerjakan ke depan adalah memperbaiki silabus pengajaran dog­ matika di STT agar memasukkan dokumen Deklarasi Bersama menjadi salah satu pelajaran bagi setiap mahasiswa/i teologi. Karena dari pendidikan teologi inilah para calon pelayan Gereja akan membawa 298 Wawancara pada 27 Oktober 2008 di STT Abdi Sabda Medan.



178  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman pengajaran itu kepada persekutuan jemaat di mana mereka nanti melayani Tuhan. Hal ini ditegaskan kembali Pdt. Pardomuan Munthe, M.Th.,299yaitu bahwa dokumen Deklarasi Bersama sudah merupakan bahan pengajaran dogmatika di lembaga STT Abdi Sabda Medan. Menurutnya, de­ ngan proses pembelajaran di kampus tentang dokumen Deklarasi Bersama, pengaruh dokumen ini bagi para mahasiswa/i STT Abdi Sabda Medan akan terlihat kemudian di tengah pelayanannya di jemaat yang dilayaninya. Artinya, lembaga teologi bertugas untuk mengajarkan hasil yang disepakati dalam dokumen Deklarasi Bersama agar mampu dipahami para teolog dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata di tengah Gerejanya masing-masing. Di lembaga pendidikan teologi lain dokumen ini juga telah dibahas dan diseminarkan. Menurut laporan Pilgrim W.K.LO.300, dokumen Deklarasi Bersama diperbincangkan di dalam diskusi teologi di Sekolah Tinggi Teologi Lutheran dan di dalam Gereja Lutheran Evangelis Hong Kong. Dokumen Deklarasi Bersama juga sudah pernah dibahas dalam sebuah konferensi ”Rekonsiliasi melalui Pembenaran” (Reconciliation through Justification) pada September 1998 oleh Pusat Studi Kristen bidang Agama dan Kebudayaan Cina (Christian Study Center on Chinese Religion and Culture). Di Jerman, kehadiran dokumen Deklarasi Bersama membuat lembaga pendidikan teologi semakin tertantang untuk membahas permasalahan konsekuensi dogmatis yang diakibatkan oleh dokumen Deklarasi Bersama. Sebagian masih ingin melanjutkan perbedaan di antara Lutheran dan Gereja Katolik. Sementara yang lain menerima dokumen ini sebagai buah dari pekerjaan gerakan ekumene. Beberapa maha guru teologi mengatakan bahwa perbedaan di antara Lutheran dan Gereja Katolik janganlah melulu dilihat dari sudut indikasi refleksi dogmatis. Tetapi harus dikembangkan lagi pada pembahasan permasalahan hermeneutika dan eklesiologi.301



299 Wawancara pada 27 Oktober 2008 di kampus STT Abdi Sabda Medan. 300 Pilgrim W.K.LO, ”The Reception in the Chinese Context of Hong Kong”, dalam Karen L. Bloomquist dan Wolfgang Grieve (eds.), Op.Cit., hlm. 35-38. 301 Christina Kayles, ”Reception in the German Context”, dalam Karen L. Bloomquist dan Wolfgang Grieve (eds.), Ibid., hlm. 19-23.



Pengaruh Deklarasi Bersama —



179



Dari paparan di atas terlihat bahwa pengaruh dokumen Deklarasi Bersama nyata dalam lingkungan Gereja dan lembaga pendidikan teologi di Indonesia. Dokumen Deklarasi Bersama merupakan proyek gerakan ekumenisme yang memiliki pengaruh terhadap perkem­ bangan Gereja-gereja di Indonesia umumnya, dan terhadap Gerejagereja Protestan dan Katolik khususnya. Terlihat pula perkembangan yang sungguh luar biasa di antara Gereja-gereja Protestan dan Katolik. Dulu, sejak zaman reformasi hubungan Gereja-gereja Protestan dan Katolik begitu mencekam dan menakutkan, karena kedua belah pihak saling mengutuk dan menghukum. Perbedaan dijadikan sarana pemisah bagi kedua belah pihak. Namun sekarang terjadi gerakan keesaan Gereja menuju saling menerima dan menghargai. Terjadi pemahaman bersama atas perbedaan yang ada, sehingga kedua belah pihak sadar akan per­ bedaan yang ada dan saling menerima dan mengakui perbedaan itu. Bedanya, dulu perbedaan menjadi pemisah, namun sekarang perbedaan justru menjadi alat pemersatu. Lahirnya dokumen Deklarasi Bersama menjadi pemersatu di antara Gereja-gereja Protestan dan Katolik. Kesatuan yang dimaksud adalah kedua belah pihak bisa saling memahami dan saling mengerti perbedaan ajaran di antara Protestan dan Gereja Katolik tanpa saling mengutuk lagi. Hubungan Gereja-gereja Protestan dan Katolik semakin menunjukkan rasa persaudaraan yang rukun. Jika hidup kita rukun, maka berkat Tuhan akan mengalir selama-lamanya (bdk. Mzm. 133).



181



Bab V Refleksi Teologis Setelah kita membahas dokumen Deklarasi Bersama ini secara me­ nyeluruh, mulai dari pembahasan etimologi pembenaran, sejarah lahirnya dokumen Deklarasi Bersama, analisa dan eksegese atas doku­ men Deklarasi Bersama, dan pengaruh dokumen Deklarasi Bersama terhadap Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia, maka dalam bab ini penulis akan menyampaikan refleksi teologis atas dokumen Deklarasi Bersama. Refleksi ini akan mencoba melihat pentingnya membangun kajian-kajian teologis di kalangan Protestan dan Katolik masa kini dalam rangka membangun sikap saling menghargai dan saling menghormati di tengah-tengah pemahaman-pemahaman iman yang berbeda-beda, demi tercapainya kerukunan umat yang percaya kepada Yesus Kristus. Dokumen Deklarasi Bersama merupakan sebuah langkah lanjutan bagi gerakan keesaan Gereja Kristen di dunia ini. Gerakan keesaan itu adalah sebuah proses menuju sebuah tujuan. Artinya, gerakan keesaan itu bukan lebih menekankan sebuah tujuan dengan mengesampingkan proses perjalanan keesaan itu sendiri. Dengan deklarasi ini, maka diharapkan akan muncul lagi dokumendokumen keesaan lainnya di antara Katolik dan Protestan seturut dengan berjalannya waktu.



182  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman 1. Pentingnya Membangun Kajian-kajian Teologis Mengapa kajian-kajian teologis harus dibangun? Karena dengan melalui kajian-kajian teologis di antara Lutheran dan Gereja Katolik, perbedaan ajaran-ajaran yang ada di kedua belah pihak bisa dipahami secara bersama dan menghasilkan sebuah Deklarasi Bersama. Tanpa kajian-kajian teologis mustahil akan terjadi sebuah deklarasi di antara kedua belah pihak. Kajian-kajian teologis bisa mempertemukan pemahaman-pemahaman yang berbeda. Kajian-kajian teologis akan melahirkan cara pandang yang baru akan satu tema dan topik yang selama ini dipandang berbeda. Dengan kajian-kajian teologis inilah kita melahirkan dokumen-dokumen keesaan lainnya yang sangat kita butuhkan bersama. Mengapa kita masih membutuhkan dokumen-dokumen keesaan lainnya di antara Protestan dan Katolik? Sebab masih banyak per­ masalahan teologis yang terlihat di antara kedua Gereja ini yang berpotensi untuk memisahkan kedua belah pihak. Misalnya saja, sering kali umat bertanya, apakah semua agama sama saja? Apakah saudara saya yang beragama lain dapat selamat atau masuk surga? Gereja Katolik sampai Konsili Vatikan II berpandangan bahwa di luar Gereja Katolik tidak ada keselamatan. Dengan pandangan itu, semua orang Kristen Protestan adalah anggota Gereja yang sesat, dan orang beragama lain dianggap kafir (infidels). Pembaruan pandangan ini berpuncak pada Konsili Vatikan II dengan dokumen-dokumen baru dan gerakan yang terlaksana melalui gerakan ekumenis dan dengan dialog antaragama. Hal lain yang menjadi perdebatan antara lain adalah mengenai sakramen, Mariologi, eklesiologi, liturgi dan tata ibadah. Tugas ini telah menanti di depan mata kedua belah pihak sebagaimana tertuang dalam isi dokumen Deklarasi Bersama butir 43, ”Dalam kait­an dengan itu, memang masih terdapat perbedaan penekanan yang membutuhkan penjelasan. Selain dari pokok-pokok yang lain, termasuklah di dalamnya hubungan antara Firman Allah dan ajaran Gereja, demikian juga ajaran Gereja tentang susunan pemerintahan Gereja, jabatan dan sakramen, dan hubungan antara pembenaran dan etika sosial.” (DB 43)



Refleksi Teologis —



183



Dalam butir 43 ini disebutkan bahwa tugas Lutheran dan Gereja Katolik belum selesai. Kedua belah pihak harus terus mengusahakan pembahasan-pembahasan melalui diskusi, seminar, dan dialog agar tercapai kesepakatan tentang Firman Allah dan ajaran Gereja, ajaran Gereja tentang susunan pemerintahan Gereja, jabatan dan sakramen dan hubungan antara pembenaran dan etika sosial. Artinya, dalam butir 43 ini setidaknya ada 4 pokok iman yang harus diselesaikan bersama yakni: (1) Firman Allah dan ajaran Gereja, (2) ajaran Gereja tentang susunan pemerintahan Gereja, (3) jabatan dan sakramen, dan (4) hubungan antara pembenaran dan etika sosial. Memang harus diakui bahwa untuk menghasilkan sebuah deklarasi membutuhkan waktu yang cukup panjang. Kita bisa bayangkan, untuk menghasilkan dokumen Deklarasi Bersama dibutuhkan waktu kurang lebih 30 tahun lamanya, yakni sejak tahun 1970-an hingga tahun 1999. Secara ilmu matematika, dengan melihat contoh ini maka Lutheran dan Gereja Katolik masih membutuhkan waktu 120 tahun lagi untuk bisa menyelesaikan keempat pokok iman di atas. Namun tidak sesederhanan itu untuk menyelesaikan semua perbedaan yang ada itu. Yang penting dibangun adalah adanya proses menuju saling menerima dan menghargai di antara kedua belah pihak. Proses ini tidak bisa ditentukan sampai kapan, namun yang pasti proses itulah yang menjadi jawabannya. Mengapa butuh waktu yang lama untuk menyelesaikan satu pokok ajaran iman? Karena pertikaian antara Lutheran dan Gereja Katolik sudah berabad-abad lamanya. Pertikaian Gereja Katolik dan Luther dimulai pada 31 Oktober 1517 ketika Martin Luther memakukan 95 dalilnya pada pintu gereja di Wittenberg. Unsur utama dalam tindakan Luther ini adalah protes pada ajaran pembenaran, yakni bagaimana Allah memberikan keselamatan pada kita. Sejak saat itu perseteruan Gereja Katolik dengan Luther telah berkobar. Hujatan demi hujatan, hukuman demi hukuman dilontarkan Gereja Katolik kepada Luther. Demikian juga Luther melancarkan serangan-serangan ajarannya kepada pihak Gereja Katolik. Luther mengeluarkan sebuah Konfesi Augsburg di kota Augsburg yang memuat pokok-pokok ajaran pembaruannya. Pihak Gereja Katolik juga mengeluarkan bulla kepada Luther jika Luther tidak mau bertobat di hadapan paus. Tetapi semangat reformasi dalam jiwa Luther tidak pernah surut. Bahkan



184  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Luther masih menuliskan Apologi Konfesi Augsburg. Perdebatan ini menghabiskan waktu 482 tahun lamanya, yakni sejak 31 Oktober 1517 hingga pada 31 Oktober 1999. Penyelesaian ini belum tuntas sebab masih satu deklarasi yang bisa dicapai. Apa yang mau kita renungkan dari peristiwa ini? Pertama, per­ tikaian iman tidak mudah diselesaikan dan butuh waktu yang cukup lama untuk memulihkannya. Bisa saja bagi Luther dulu, masalah ini tidak pernah dibayangkannya akan berbuntut panjang dan penyelesaiannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Sebab Luther sendiri tidak pernah berkeinginan untuk keluar dari Gereja Katolik. Ternyata bagi pengikut Luther kemudian, pertikaian ajaran ini semakin memanas dan akhirnya masing-masing saling mengeluarkan anathema atau kutukan antara Lutheran dan Gereja Katolik. Pertanyaannya sekarang adalah, mengapa terjadi pertikaian iman di kalangan Gereja? Pertikaian iman di tengah-tengah Gereja terjadi akibat dari upaya-upaya Gereja membarui dirinya baik dalam hal ajaran dan dalam pelayanan kepada umat. Hal inilah yang menjadi prinsip pembaruan Luther. Prinsip Ecclesia semper reformanda (Gereja selalu harus memperbarui diri) tidak boleh tidak harus terus dilakukan dalam kehidupan bergereja. Pembaruan itu meliputi doktrin dan struktur Gereja.302 Jika tidak, maka Gereja akan kehilangan arah dan digilas oleh zaman. Atau bahkan yang lebih radikal terjadi di tengah Gereja itu, yakni warga jemaat meninggalkan Gereja dan mencari Gereja yang mampu menampung pembaruan imannya. Karena itu Gereja harus mampu merevitalisasi diri dalam segala lini pelayanan dan ajarannya. Kedua, pentingnya mengenang sejarah. Penetapan waktu dan tempat penandatanganan dokumen Deklarasi Bersama bukanlah se­ buah kebetulan saja. Tetapi karena di dalam waktu dan tempat yang ditetapkan itu tersirat makna sejarah yang mendalam bagi kedua belah pihak Lutheran dan Gereja Katolik. Tanggal 31 Okotober 1517 adalah peristiwa ketika Luther menempelkan 95 Dalil pembaruannya 302 Bdk. Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 93-114. Kristiyanto melihat bahwa sebenarnya, Gereja Kristus tetap terbuka pada pembaruan, sehingga sejarah mencatat pembaruan-pembaruan yang telah terjadi dalam lintasan sejarahnya. Akan tetapi segera menjadi jelas, bahwasanya tidak ada pembaruan, tanpa sebab-sebab yang mendahului.



Refleksi Teologis —



185



di gereja Wittenberg. Hari itu ditetapkan kemudian sebagai hari Reformasi bagi seluruh Gereja-gereja warisan Reformasi. Hari itu menjadi tonggak pemisahan dan perseteruan Gereja Katolik dan Luther dimulai. Demikian juga dengan 31 Oktober 1999. Hari itu ditandatangani sebuah dokumen Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran antara Lutheran dan Gereja Katolik. Hari itu secara sah pertikaian ajaran pembenaran di antara Gereja Katolik dan Lutheran resmi diakhiri. Hari itu kedua belah pihak sama-sama sepakat me­ nerima keberadaan ajaran pembenaran dari sudut pandang masingmasing tanpa rasa curiga dan memusuhi. Hari itu kedua belah pihak menyetujui satu dokumen Deklarasi Bersama (bdk. dengan 95 Dalil Luther yang hanya merupakan dokumen satu pihak saja) yang menjadi jembatan persahabatan di antara kedua belah pihak. Kota Augsburg juga adalah kota bersejarah. Di kota inilah pada 25 Juni 1530 ditandatangani oleh tujuh orang Pangeran Konfesi Augsburg dan diserahkan kepada Kaisar Karel V303 oleh sejumlah Pangeran dan Majelis Kota. Dulu di kota ini yang menandatangani konfesi hanya pihak Lutheran untuk melawan pihak Gereja Katolik, namun pada 31 Oktober 1999 kota Augsburg menjadi saksi hidup atas penandatanganan sebuah Deklarasi Bersama. Kota ini kembali menjadi tempat penandatanganan dokumen Gereja yang bukan hanya dimiliki oleh Gereja Lutheran tetapi juga merupakan dokumen milik Gereja Katolik. Dokumen yang ditandatangani ini bukan lagi menyudutkan Gereja tertentu, tetapi merupakan dokumen yang me­ muat penerimaan akan keberadaan Gereja lain. Dokumen ini menjadi dokumen kebersamaan yang memiliki nilai-nilai pemersatu yang luar biasa. 2. Deklarasi Lanjutan Baru satu dokumen Deklarasi Bersama saja yang dimiliki Gereja Katolik dan Protestan telah membawa pengaruh yang berarti bagi hubungan Gereja Katolik dan Protestan, apalagi jika dihasilkan 303 Lih. W.J. Kooiman, Martin Luther, hlm. 68, 77, 97. Raja Karel V adalah raja Spanyol yang terpilih menjadi kaisar menggantikan Kaisar Maximilian yang meninggal pada Januari 1519. Sidang pemilihan kaisar dilaksanakan di Augsburg, kota yang di dalam sejarah reformasi mempunyai peranan yang amat penting.



186  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman dokumen-dokumen keesaan lainnya yang akan membuat penyatuan umat percaya itu semakin nyata. Bagaimanakah caranya agar dokumen-dokumen keesaan lain bisa dicapai? Sama seperti proses lahirnya dokumen Deklarasi Bersama, metode pendekatan diskusi, seminar-seminar, dan dialog-dialog di antara Gereja Katolik dan Protestan adalah langkah yang ampuh untuk menghasilkan deklarasi-deklarasi di antara Gereja Katolik dan Protestan. Memang sudah ada banyak deklarasi yang dihasilkan antara Gereja Katolik dan Protestan namun sifatnya masih nasional bukan internasional. Misalnya, Gereja Katolik dan Gereja Lutheran Evangelis di Amerika sudah banyak menghasilkan deklarasi seperti: ekaristi sebagai kurban, pelayanan tertahbis, pelayanan oleh Paus, ajaran infallibilitas Paus, pembenaran, maupun mengenai Maria dan para santo. Dialog Lutheran - Gereja Katolik Roma di Amerika Serikat telah mengungkap minat akan kepemimpinan paus yang diperbarui dalam terang Injil bagi Gereja masa depan.304 Namun deklarasi ini masih bersifat nasional, belum bersifat universal dan diakui secara bersama oleh pihak Lutheran dan Gereja Katolik. Namun kesepakatan ini bisa dijadikan sebagai bahan untuk dikembangkan lebih lanjut dalam diskusi-diskusi internasional agar bisa menghasilkan deklarasi lanjutan. Sebenarnya jika dikaji lebih dalam, masih banyak lagi yang harus disepakati di tengah-tengah kehidupan bergereja. Di antara masalahmasalah ini adalah masalah-masalah etis dan tempat perempuan dalam gereja. Ada perbedaan besar menyangkut masalah-masalah se­perti perceraian dan perkawinan kembali, aborsi, KB, seks di luar nikah, hubungan homoseksual, teknologi reproduksi, sterilisasi. Ketika penulis mengikuti mata kuliah ”Berbagai Aliran” yang diampu oleh Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, penulis merasa bahwa di kalangan aliran-aliran Protestan sendiri begitu banyak perbedaan ajaran yang mendasar yang bisa berpotensi untuk membawa pemisahan di antara aliran-aliran Protestan itu sendiri. Penulis merenung apakah Gereja aliran-aliran Protestan ini suatu saat bisa menghasilkan sebuah ” Deklarasi Bersama” tentang berbagai ajaran yang dipermasalahkan 304 Thomas P. Rausch, ”Gerak Gereja dalam Pluralitas Iman”, diakses dari http://www. santamaria.or.id/gerak_gereja_dalam_pluralitas_iman.



Refleksi Teologis —



187



di antara denominasi Protestan? Mungkinkah terjadi sebuah sinode bersama di antara Gereja-gereja mazhab Protestan di Indonesia untuk membicarakan permasalahan teologis yang selalu meruncing di tengah-tengah warga jemaat? Mungkinkah ajaran-ajaran dalam tubuh Gereja-gereja warisan Reformasi di Indonesia bersatu minimal dalam hal ajaran? Jika sebuah deklarasi membutuhkan pemikiran yang matang dan pembahasan yang panjang, maka hal-hal yang bisa dikerjakan adalah melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat mempererat hubungan di antara kedua belah pihak. Melalui kegiatan kebersamaan ini tentu­ nya diharapkan sesuatu deklarasi akan muncul. Kegiatan-kegiatan bersama di antara Gereja Lutheran dan Katolik adalah: pertama, perayaan 2000 tahun Rasul Paulus: 29 Juni 2008 28 Juni 2009. Dengan kegiatan bersama ini diharapkan akan tercipta sebuah proses keesaan lanjutan lainnya. LWF menyambut baik prakarsa Paus Benedictus XVI supaya memperingati secara bersama kelahiran Rasul Paulus 2000 tahun lampau pada tanggal 29 Juni 2008. Hal senada juga disampaikan Ishmae1 Noko, Sekretaris Jenderal LWF dalam suratnya pada awal Juni 2008 menghimbau seluruh Gereja untuk merayakan Tahun Rasul Paulus 28 Juni 2008 – 29 Juni 2009. Itu berarti selama 1 (satu) tahun seluruh Gereja melaksanakan kegiatan tahun Rasul Paulus. Demikianlah tahun tersebut kita mulai sebagai tahun perayaan atas iman, kesaksian melalui surat-suratnya sampai dengan kematiannya.305



305 M. Simamora, ”Perayaan Tahun Rasul Paulus (28 Juni 2008 – 28 Juni 2009)”, dalam www. gkpi.org; bdk. ”The Year of Saint Paul The Church Today Requires ‘Total Dedication to Christ’”, dalam Adoremus Bulletine, Vol.XIV, No.4, Juni 2008, yang diakses dari www. adoremus.org/ 0608YearofStPaul.html. Tahun Santo Paulus ditetapkan mulai dari 28 Juni 2008 sampai dengan 29 Juni 2009 oleh Paus Benediktus XVI pada 28 Juni 2007 di dekat makam Santo Paulus yang terdapat di Basilika Santo Paulus di luar tembok. Perayaan itu diadakan dalam rangka memperingati kelahiran Santo Paulus 2000 tahun yang lalu. Pada penetapan Tahun Santo Paulus itu Paus Benediktus XVI mengatakan, ”Saudari-saudara, sebagaimana pada Gereja Perdana, sekarang ini juga Kristus membutuhkan rasul-rasul yang siap sedia mengorbankan dirinya. Tuhan membutuhkan saksi-saksi iman dan martir-martir seperti santo Paulus. Paulus, yang semula penganiaya orang-orang Kristiani, ketika jatuh di tanah, terpesona oleh cahaya ilahi pada jalan menuju Damsyik, tidak ragu-ragu mengubah arah menuju Yang Tersalib, dan mengikuti-Nya tanpa berpikir panjang. Ia hidup dan bekerja untuk Kristus, ia menderita dan mati untuk Kristus. Betapa tepatnya ia menjadi teladan iman zaman sekarang! Dan karena alasan inilah saya menetapkan secara resmi bahwa kita akan mempersembahan Tahun Yubileum khusus kepada Rasul Paulus dari 28 Juni 2008 sampai 29 Juni 2009, pada kesempatan peringatan dua millenium kelahirannya, yang diperkirakan oleh para ahli terjadi antara tahun 7 – 10 Masehi”.



188  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Kedua, Perayaan 500 Tahun Reformasi Martin Luther 2017. Gerejagereja Evangelis dan Lutheran bersama Gereja Katolik Roma dan juga pemerintah Jerman berencana untuk merayakan secara umum (nasional) usia 500 tahun reformasi yang dicetuskan oleh Martin Luther. Upaya ini disambut oleh rapat Dewan (council) LWF. Refor­ masi ditandai oleh dua kekuatan yang muncul yang saling berebut kekuasaan publik, yaitu Gereja reformasi bersama raja-raja negeri setempat di satu pihak dan Gereja Katolik Roma (corpus christianum) bersama raja-raja negeri yang pro Paus dan Kaisar. Dan karenanya telah mengakibatkan pecahnya perang di mana-mana untuk mem­ perebutkan benua Eropa yang bakal ”mayoritas Protestan” dan ”mayoritas Katolik Roma”. Kalau di sana ada perebutan kuasa antara raja-raja negeri dan kaisar bersama paus, maka perlu kita cermati konteks dan situasi Gereja-gereja Lutheran di Indonesia: kekuatankekuatan apakah yang sejak dulu hingga sekarang mendominasi sistem kepemimpinan Gereja kita yang khususnya berlatarbelakang budaya dan suku Batak yang plural itu. Kita tidak mengenal kaisar dan raja-raja senegeri yang punya batas kerajaan dan kuasa tertentu, tetapi sistem marga dan desa. Dalam sejarah perjalanan kekristenan di tanah Batak yang hampir 150 tahun (1861 - 2011)306 perlu kita punya kajian yang menyeluruh akan kekuatan-kekuatan yang menyemangati dan merusak kesatuan Gereja-gereja Lutheran di Indonesia. Di samping itu juga Gereja-gereja Lutheran harus terus menerus menggali lebih dalam rumusan-rumusan teologi yang bisa membuka peluang deklarasi dengan pihak Gereja Katolik nantinya. Misalnya, LWF dalam Sidang Raya Stuttgart 2010 akan membahas Konfesi Nicea sebagai bahan studi LWF melalui Departemen Studi Teologi (DTS). Salah satu konfesi Gereja abad-abad pertama yang masih hidup dalam Gereja-gereja sedunia ialah konfesi Nicea (325M), yang muncul pasa zaman imperium Romawi. Pembahasan ini kegunaannya untuk meredefinisi konfesi Nicea sebagai konfesi lama, melihat secara kritis keterkaitan konfesi itu dengan kepentingan imperium Romawi.307 306 Ini hanya menyangkut HKBP dan ”anak-anak”-nya. 307 Memang dalam kehidupan bergereja konfesi Nicea 325 ini jarang dipergunakan. Yang sering dipergunakan adalah Konfesi Nicea-Konstantinopel 381. Namun LWF memilih teks Nicea 325 menjadi bahan Sidang Raya Stuttgart 2010 dengan alasan bahwa konfesi Nicea 325 ini merupakan konfesi yang memiliki hubungan yang erat dengan kepentingan imperium Romawi saat itu. Dengan menggali akar permasalahan ini dimungkinkan hubungan GKR



Refleksi Teologis —



189



Mungkin kita juga kini sebagai dunia global hidup dalam sebuah imperium baru. Maka studi itu harus kontekstual: mengumpulkan umat manusia dan bersatu dengan masa lalunya umat manusia itu. Tetapi yang utama ialah bahwa kita harus menyaksikan iman kita pada masa kini. Dalam hal ini diasumsikan bahwa akan tampak nanti pengakuan bahwa tanpa Roh Kudus maka sebuah kebaktian tidak bakal sempurna. Konfesi Nicea mengedepankan kesatuan Gereja. Hal-hal lain yang akan menjadi topik pembahasan DTS LWF adalah dalam mencari apakah LWF mempunyai suatu eklesiologi yang khusus Lutheran. Bagaimana kita menghadapi pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan penyembahan ”arwah nenek moyang”?, berkat material (material blessing) dari kharismatik, dan lain-lain? 3. Menafsir Ulang Ajaran Pembenaran Bagaimanakah kita memahami pengertian pembenaran saat ini? Untuk menjawab pertanyaan ini harus terlebih dahulu memahami dengan baik Injil. Bagaimanakah Injil itu di dalam hidup dan kehidupan kita sehari-hari? Sehingga kita bisa memahami pembenaran itu di dalam Gereja sebagai sebuah persekutuan yang lebih luas. Pertanyaan kita sekarang adalah apakah relevansi konsensus yang dicapai dalam dokumen Deklarasi Bersama? Kami bersama-sama mengakui: hanya oleh anugerah, dalam iman akan karya penyelamatan Kristus dan bukan karena perbuatan kita, kita diterima oleh Allah dan diterima oleh Roh Kudus, yang memperbarui hati kita serta memampukan dan memanggil kita untuk perbuatanperbuatan baik. (DB 15)



Konsensus ini mengekspresikan makna dari pembenaran. Namun yang menjadi pertanyaan kita adalah mengapa dan bagaimana pesan ini kita maknai dan pahami saat ini? Bagaimanakah caranya agar kon­sensus ini dikomunikasikan dengan cara yang menyenangkan dan bermakna? Inti dari konsensus ini adalah ”kita diterima oleh Allah”. Kon­ sensus ini harus bisa mempengaruhi seluruh kehidupan bergereja dan Lutheran akan menemui pencerahan yang baru menuju kesatu gereja. Untuk melihat teks-teks konfesi ini lih. Jaroslav Pelikan & Valerie Hotchkiss (eds.), Creeds and Confessions of Faith in the Christian Tradition, (London: Yale University Press, vol.I, 2003), hlm. 155-163.



190  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman dan orang percaya. Ajaran pembenaran itu membutuhkan penafsiran ulang di dalam berbagai cara untuk menjawab tantangan kita saat ini dengan slogan, ”kita diterima oleh Allah”. Dokumen Deklarasi Bersama merupakan langkah yang signifikan menuju metode penafsiran hermeneutis di dalam diskusi ekumenis. Dokumen ini berisikan inti ajaran yang kedua belah pihak Lutheran dan Gereja Katolik setuju, dan kemudian menggambarkan tradisi masing-masing di dalam menafsirkan ajaran pembenaran itu. Perbedaan di dalam teologi, bahasa, dan tekanan pada kata-kata dalam kalimat (aksen) dimengerti sebagai pelengkap dan bukan sebagai pemisahan satu dengan yang lainnya. Mengapa dokumen Deklarasi Bersama ini sangat penting? Pertama, seluruh pernyataan di dalam Deklarasi Bersama ini telah diformulasikan pada situasi saat ini dan pada dunia saat ini. Setiap formulasi teologi dibentuk di dalam konteks sosial, budaya, dan bahasa saat ini. Kedua, ketika pernyataan ini dibaca dan ditafsirkan di dalam konteks yang baru, atau ketika pernyataan ini diterjemahkan ke dalam bahasa yang baru, konteks yang baru itu akan dibentuk dengan sebuah pengertian yang baru dan bahkan di dalam cara yang tidak terduga-duga. Tugas hermeneutika memerlukan pengembangan pemahaman dimensi yang baru, dan pada saat yang sama menguji apakah Deklarasi Bersama mempengaruhi penafsiran atas ajaran pembenaran, atau apakah Deklarasi Bersama mengubah prinsip ajaran pembenaran itu. Hal ini diuji dari dasar alkitabiah tentang ajaran pembenaran dan juga sejarah ajaran pembenaran di dalam tradisi-tradisi Gereja masing-masing. Bagaimanakah dokumen Deklarasi Bersama kita pahami sekarang? Menurut Kayales308, ada tiga hal yang harus kita pahami. Pertama, dokumen Deklarasi Bersama tidak cukup hanya dijelaskan dengan kata-kata yang manis dan indah kepada warga jemaat, orang percaya dan katekumen, tentang apakah arti pembenaran. Namun di dalam pelatihan para pendeta, penatua dan pelayan Gereja, kita harus mengajarkan dan menekankan bagaimana hubungan pekerjaan dan pelayanan kita secara spiritual saling berhubungan dengan apa yang telah kita pahami tentang ilmu-ilmu teologi. Artinya, di dalam 308 Christina Kayales, ”Reception”, hlm. 22.



Refleksi Teologis —



191



menjalankan tugas pelayanan di dalam Gereja, harus kita sadari bahwa kita berada di dalam sebuah Gereja yang memberi kebebasan dan pengalaman hidup yang telah dibenarkan. Kedua, dokumen Deklarasi Bersama menjadi sebuah tanda ke­ berhasilan dalam gerakan ekumenis. Hal ini sangat diperlukan dalam rangka mengatasi perasaan yang mendominasi di dalam gerakan ekumenis, dan memampukan kita menemukan cara untuk bekerja sama dengan Gereja-gereja lain dengan semakin baik. Ketiga, metode apakah yang akan menjadi bagian dari gerakan ekumene kita? Apakah masih mungkin metode ”konsensus per­ bedaan” diaplikasikan dalam menghadapi permasalah teologi? 4. Arah Baru Melihat keadaan Gereja-gereja sejak zaman reformasi hingga kini, maka sudah saatnya kita berpikir ke arah baru. Arah lama yang menonjolkan fanatisme dan kebenaran diri sendiri harus ditinggalkan. Sebab hal ini akan menimbulkan perpecahan di dalam Tubuh Kristus. Arah baru yang dimaksud adalah Gereja-gereja di seluruh dunia mencari sebuah langkah menuju penyatuan Tubuh Kristus.309 Arah baru itu bisa dilakukan dengan gerakan menuju sebuah konvergensi (penyatuan). Artinya, Gereja Protestan semakin mencari akar-akar pengajarannya menuju Gereja Katolik, dan sebaliknya Gereja Katolik semakin memperbarui dirinya menuju gerakan Protestantisme. Jika kita melihat perkembangan Gereja-gereja saat ini, sebenarnya sudah banyak gerakan konvergensi terjadi di tengah-tengah Gereja. Gerakan-gerakan itu dapat kita lihat di bawah ini: 4.1 Liturgi / Tata Ibadah Gerakan konvergensi bisa dimulai dari liturgi dan tata ibadah Gereja Katolik dan Protestan, karena pada umumnya liturgi kedua 309 Lih. Tata Ibadah Hari Doa Sedunia 2009, yang dipersiapkan oleh wanita-wanita Kristen dan Katolik di Papua New Guinea dengan tema ”Dalam Kristus banyak anggota tetapi satu Tubuh (Rm 12: 3-21)”. Wanita-wanita dari Dewan Gereja di Papua New Guinea (Papua New Guinea Council of Churches) yang terdiri dari: Gereja Katolik, Lutheran, Presbyterian, Bala Keselamatan, dan Gereja Baptis, bisa bersatu dalam sebuah ibadah. Kegiatan ini juga dirayakan di Indonesia, namun belum menunjukkan kesatuan seperti di Papua New Guinea ini.



192  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman belah pihak memiliki banyak persamaan. Persamaan itu misalnya: pertama, dasar dari liturgi Gereja-gereja Prostestan tidak terlepas dari dasar liturgi Katolik yang bercirikan anamnesis (mengenang). Tetapi liturgi Protestan juga memahami bahwa liturgi itu juga memiliki dimensi mimesis (meniru) akan peristiwa Kristus. Ibadah bukan ke­ wajiban atau hukum, tetapi perayaan peringatan karya Allah melalui peristiwa Kristus. Anamnesis dan mimesis memungkinkan terjadinya perjumpaan umat, Gereja, dan Allah dalam satu perayaan liturgi. Tanda-tanda perjumpaan tersebut adalah dialog anabatis (dari umat kepada Allah) dan katabatis (dari Allah kepada umat).310 Kedua, sama-sama bercirikan simbolis. Simbol berfungsi memper­ temukan masa lalu dengan masa kini. Perayaan liturgi berada pada wilayah simbol, di mana aras objektif dilengkapi dan diperkaya oleh aras subjektif. Oleh karena itu, memperhatikan simbol merupakan proporsi liturgi. Tanpa simbol, liturgi menjadi kosong, sebab liturgi adalah simbol.311 Liturgi menyimbolkan hadirnya umat di dalam peristiwa Kristus. Kebaktian hari Minggu menyimbolkan hadirnya kita sendiri dalam kebangkitan Kristus. Simbol adalah jembatan; menjembatani masa lalu dengan masa kini; demikian pula liturgi yang mengantar Gereja masa kini kepada peristiwa Kristus ribuan tahun lalu. Ketiga, Protestan dan Gereja Katolik Gereja Katolik masih me­ melihara ibadah harian. Ibadah harian di Gereja-gereja Reformasi, terutama Lutheran, tetap dipraktikkan. Martin Luther (1483-1546) dalam buku liturgi Deutsche Messe (1526) menetapkan dua kali doa sehari. Ibadah pagi (matutinum) dengan pembacaan PL, menyanyikan hymne Jerman dan hymne Latin. Ibadah senja (vesperas) dengan pembacaan PB dan menyanyikan Magnificant.312



310 Rasid Rahman, ”Liturgi di Zaman Modern”, dalam http://rasidrachman-liturgika.blogspot. com yang diakses pada hari Selasa, 9 September 2008. 311 Ibid. Simbol dalam perayaan liturgi dapat berupa antara lain: 1. Benda, misal: roti dan anggur mengingatkan kita pada tubuh dan darah Kristus yang diserahkan, Alkitab menyimbolkan firman. 2. Tanah atau tempat, misal: tanah suci dalam rangka tapak tilas peristiwa 2000 tahun lalu; makam martir atau santo. 3. Gerakan, misal: prosesi sebagai simbol perarakan umat Israel menuju negeri perjanjian, perziarahan Gereja. 4. Tindakan atau sikap, misal: membaca Alkitab dalam rangka menghadirkan kembali peristiwa tersebut, menyanyikan nyanyian jemaat, sikap berdoa. 5. Waktu, misal: hari Minggu, Paskah fajar, Natal malam. 6. Kata-kata, termasuk syair nyanyian. 312 Rasid Rachman, Hari Raya Liturgi, hlm. 39-42.



Refleksi Teologis —



193



Keempat, sama-sama merayakan ibadah mingguan, seperti hari Minggu. Sejak Maret 321, Kaisar Konstantinus Agung (± 274-337) menetapkannya menjadi hari libur resmi terutama bagi pegawai pemerintah.313 Sejak awal, Gereja melayankan ibadah mingguan pada hari pertama (Ibrani: ehad, Arab: Ahad) setelah satu pekan, yakni hari kebangkitan Tuhan Yesus, oleh sebab itu disebut hari Tuhan (Why 1: 10).314 Para Bapa Gereja menetapkan ibadah hari Minggu untuk mengenangkan peristiwa kebangkitan Tuhan. Oleh sebab itu, ibadah hari Minggu dirayakan oleh beberapa Gereja dengan Perjamuan Kudus karena mengingat kebangkitan Tuhan (1 Kor 11: 17-34). Adanya kebaktian minggu lebih dipahami sebagai penetapan Gereja, bukan oleh Alkitab atau Tuhan. Jika dipahami secara sederhana, maka penetapan Gereja tersebut merupakan cara menggantikan Sabat orang Yahudi dengan Minggu kebangkitan Yesus.315 Gereja Katolik dan Gereja-gereja Protestan (Lutheran dan Calvinis) sama-sama meyakini bahwa kebaktian Minggu adalah pengganti Taurat Yahudi terhadap ketergantungan pada hari tertentu.316 Kelima, sama-sama merayakan ibadah tahunan. Dua jenis pe­ rayaan ibadah tahunan Gereja, yaitu: temporale dan sanctorale atau martyrologia. Temporale adalah perayaan yang berporos pada kisah Kristus. Sedangkan sanctorale adalah peringatan para kudus atau martir.317 Tetapi perayaan sanctorale ini tidak dilaksanakan di dalam Protestan. Keenam, sama-sama memakai leksionari. Leksionari (lectionary, lectionarium) adalah daftar pembacaan Alkitab telah lazim digunakan dalam ibadah Yahudi di sinagoge. Yang dibacakan atau didaraskan 313 Ibid., hlm. 44-45. Perlu dicatat bahwa Reformator tidak setuju Minggu sebagai hari libur dalam arti hari berhenti bekerja sama sekali. Hari Minggu adalah hari Tuhan, bukan hari libur legalistis. 314 Ibid., hlm. 45. Beberapa bahasa di dunia tetap menyebut hari pertama sebagai hari Tuhan. Bahasa Indonesia : hari Minggu, berasal dari Portugis : Dominggo, atau Latin : dies Dominica atau Dominicum, sejajar dengan Italia  : Dominica, dan Perancis  : Dimanche, artinya hari Tuhan. 315 Ibid., hlm. 135. Alasan tersebut sering kali merujuk pada para Bapa Gereja dan naskah gereja yang menuliskan hal tersebut, anatara lain: Thomas Aquino (”bukan oleh hukum Taurat, melainkan institusi Gereja”), Konsili Trente (”Gereja mempermaklumkan bahwa perayaan Gereja diubah dari Sabat ke Minggu”), Luther (Minggu merupakan ketetapan, bukan otoritas Gereja), dan Calvin (”hari itu kita terima sebagai suatu cara yang perlu untuk menjaga ketertiban di dalam Gereja. Orang-orang Kristen pertama tidak mengganti hari Sabat dengan hari yang kita sebut hari Tuhan”). 316 Ibid., hlm. 136. 317 Ibid., hlm. 47-48.



194  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman pertama adalah Taurat sebagai bacaan termulia, lalu Mazmurmazmur, dan satu atau beberapa Kitab Para Nabi. Gereja mengadopsi dan mengadaptasi leksionari ini dengan pembacaan pertama dari PL (tidak hanya Taurat), dan pembacaan kedua, dari surat-surat Rasuli atau Kisah Para Rasul. Pada abad ke-5, Gereja Konstantinopel mulai mengurangi jumlah pembacaan dari tiga menjadi dua, dengan tidak membacakan PL. Lambat-laun, sejak abad ke-6 Gereja Katolik mengikuti cara ini. Sejak Konsili Vatikan II (1962-1965), Gereja Katolik menyadari perlunya dilakukan sebuah revisi besar-besaran terhadap leksionari hingga munculnya Ordo Lectionum Missae (OLM) pada tanggal 25 Mei 1969. Penggunaannya hanya untuk lingkungan Gereja Katolik. Kemudian Gereja-gereja Barat (tanpa Katolik) membentuk komisi revisi full-timers dan ekumenis menyusun daftar bacaan Alkitab. Hasil revisi ini disebut The Lectionary, kemudian digunakan sebagai acuan daftar pembacaan Alkitab oleh Gereja-gereja Anglikan, Lutheran, dan Presbiterian. Hasil yang lebih nyata, dengan terbitnya Common Lectionary (CL) pada tahun 1982. CL digunakan oleh banyak denominasi sebagai acuan buku daftar pembacaan dengan penyesuaian menurut konteks dan sejarah denominasi yang bersangkutan. Misalnya: Gereja Katolik dengan OLM, Lutheran dengan Lutheran Book of Worship.318 Pada tahun 1992, CL direvisi dengan Revised Common Lectionary (RCL) yang digunakan sebagai daftar pembacaan Alkitab terbaru oleh Gereja-gereja Protestan. Dengan terbitnya RCL, maka kalender liturgi Gereja Protestan pun menerima hari-hari raya yang sebelumnya lebih dikenal sebagai ”milik” Gereja Katolik. Harihari raya tersebut, semisal: Yesus diberi Nama (1 Januari), Epifania (6 Januari), Rabu Abu, Pekan Suci, dan sebagainya. Melihat pemaparan di atas, maka sudah saatnya dipikirkan ber­ sama agar tersusunnya suatu tata perayaan liturgi yang ekumenis, yang dapat diterima oleh semua denominasi Gereja, baik Gereja Katolik maupun Protestan, baik evangelikal maupun ecumenikal. Bukan­kah di dalam beberapa bidang kehidupan bergereja abad ini, jalan ekumenis mulai tampak sedikit demi sedikit? Alangkah lebih



318 Ibid., hlm. 173-174. Juga Anglikan dengan Book of Common Prayer, Presbiterian dengan Worshipbook. Bahkan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) masih memakai CL sebagai dasar penyusunan Buku Almanak Kristen Indonesia (BAKI) setiap tahunnya.



Refleksi Teologis —



195



baiknya apabila jalan itu diterangi pula dengan pemahaman tentang tata perayaan liturgi ekumenis.319 Peribadahan Gereja Katolik Roma yang sering kali disiarkan oleh media elektronik telah ditonton oleh banyak orang, termasuk umat Protestan. Keanggunan, keagungan, dan keindahan liturgi Katolik menimbulkan kesan kagum bagi beberapa kalangan Protestan. Setelah menyadari akar historis antara Gereja Reformasi dan Gereja Katolik Roma dalam tradisi liturgi Barat, tidaklah terlalu sulit memasukkan unsur-unsur liturgi Katolik ke dalam liturgi Protestan. Beberapa wujud penyesuaian liturgi Gereja-gereja Reformasi di Indonesia karena pengaruh liturgi Gereja Katolik Roma, antara lain: penggunaan stola sejak beberapa dekade terakhir320, peng­ gunaan leksionari321, tata gerak dan tata tutur liturgis (gestur) yang menunjukkan kekhidmatan dan keagungan, dan lambat laun mulai terlihat pengaturan pada penataan tahun liturgi yang semakin baik, adalah sebagian contoh dampak tersebut. Hal membersamakan perayaan liturgi antara Gereja Katolik dan Protestan tidak perlu menjadi kekuatiran akan hilangnya kekatolikan atau keprotestanan Gereja. Sejalan dengan semangat Gerakan Liturgis dan Gerakan Ekumenis dewasa ini, masing-masing denominasi besar sedang saling mendekatkan diri. Sejak tahun 1940-an, ibadah Gereja Katolik mulai dibarui dan terlihat mendekati pola ibadah Protestan. Setelah Konsili Vatikan II dan sebelum tahun 1970-an, giliran ibadah Protestan yang justru dibarui untuk mendekati ibadah GKR.322 Hal ini terlihat dalam gambar di bawah ini (Gbr.1).



319 Ibid., hlm. 3. 320 Misalnya para pendeta dan pelayan di GKI, GPIB, HKI telah memakai stola dalam setiap ibadah minggu. 321 Misalnya GKI, GPIB, HKBP, GKPI, GKPA, dll telah menggunakan leksionari dengan berbagai penyesuaian di dalamnya. 322 Rasid Rachman, Op.Cit., hlm.174-175; bdk. James F. White, Protestant Worship, hlm. 33-35.



196  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Gambar 1



Ibadah Protestan Ibadah Gereja Katolik



1940



1970



Sebelumnya, antara tahun 1520 dan 1570, telah terjadi divergensi (divergence) antara Protestan dan Gereja Katolik, namun kini sudah mulai konvergensi (convergence), kecuali pembacaan kitab Deutro­ kanonika yang justru tetap merupakan perbedaan praktis antara Protestan dan Gereja Katolik. Gambar 2



Ibadah Protestan Ibadah sebelum Abad Pertengahan Ibadah Gereja Katolik 1520 1570 4.2 Pengakuan Iman Bersama Pengakuan Iman yang diakui secara bersama-sama sudah se­ harusnya bisa digagas oleh Gereja-gereja demi kesatuan Tubuh Kristus di dunia. Gerakan seperti ini sudah dilaksanakan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Kanada (United Church of Canada), yaitu Gereja Lutheran, Methodist, dan Persbyterian. Persekutuan Gereja-gereja di Kanada mencoba merumuskan sebuah pengakuan iman bersama dengan tema ”Kita tidak sendirian” (We are not alone). Pengakuan iman ini mulai dikembangkan sejak 1940 dan mendapat rumusan akhir 1997.323



323 Andar Ismail, Selamat Bergereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 112.



Refleksi Teologis —



197



Menurut Ismail, yang mencolok dari pengakuan iman ini adalah sifatnya yang inklusif atau merangkul. Subjeknya bukan kata ganti orang pertama tunggal melainkan jamak, yaitu kami. Langsung pengakuan ini dimulai dengan pernyataan, ”Kita tidak sendirian”. Gereja tidak hidup sendirian, tetapi bersama dengan ciptaan Allah yang lain di dunia, yaitu lingkungan hidup, hewan dan orangorang.324 Pengakuan percaya memang tidak sepatutnya memisahkan kita dari pihak-pihak di luar kepercayaan kita. Agama ada bukan untuk memisahkan manusia dalam kotak-kotak, melainkan justru untuk mempersatukan kita dengan orang-orang lain. Dilihat dari sudut pandang yang luas, pengakuan Gereja di Kanada ini mengajak kita beriman secara inklusif. Dalam penjelasannya, United Church of Canada menulis: Rarely, if ever, do we use doctrinal standards to exclude anyone from the circle of belonging ... Rather we lift up Jesus Christ and His way, saying to all who seeks God’s grace and service, ’Come and see’.325 Hampir tidak pernah kami memakai patokan ajaran untuk menyisihkan siapa pun dari lingkaran kebersamaan. Sebaliknya kami mengedepankan Yesus Kristus dan jalan-Nya, sambil berkata kepada tiap orang yang memerlukan anugerah dan pelayanan Allah,’Mari, datang dan lihatlah’.



Melihat dua contoh di atas, penulis berkesimpulan bahwa sudah saatnya arah baru gerakan ekumene kita mengarah kepada penyatuanpenyatuan. Hal inilah juga yang terungkap dari beberapa kalangan pastor dan pendeta ketika penulis melakukan wawancara kepada mereka. Pastor dan pendeta memiliki kerinduan suatu saat akan tercipta suasana yang lebih baik yang mengarah kepada penyatuan Gereja-gereja di dunia ini. 5. Membangun Jiwa Protestanisme (Lutheranisme) Dokumen Deklarasi Bersama akan memacu kaum Protestan untuk lebih mengenal jati dirinya sebagai Protestan. Protestan khususnya Lutheran, lebih menekankan sola fide, sola gratia dan sola scriptura dalam 324 Ibid., hlm. 113. Isi lengkap pengakuan iman ini lihat dalam lampiran. 325 Ibid., hlm. 115.



198  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman kehidupan bergerejanya. Sementara kalangan Katolik menekankan iman dan perbuatan sekaligus, sebab iman tanpa perbuatan adalah tidak berguna alias kosong atau hampa. Dalam dokumen Deklarasi Bersama butir 15 disebutkan bahwa, ”Kami bersama-sama mengakui: hanya oleh anugerah, dalam iman akan karya penyelamatan Kristus dan bukan karena perbuatan kita, kita diterima oleh Allah dan diterima oleh Roh Kudus, yang memperbarui hati kita serta memampukan dan memanggil kita untuk perbuatan-perbuatan baik.” Artinya dalam dokumen ini ter­­ tuang ajaran bahwa kita sama-sama memahami bahwa kita dise­ lamatkan oleh anugerah dalam iman akan karya penyelamatan Kristus, yang memperbarui kita serta memampukan kita untuk perbuatan-perbuatan baik. Dengan demikian harus dipahami bahwa keselamatan yang dimiliki oleh orang Protestan haruslah ditunjukkan dalam perbuatan-perbuatan baiknya. Sebagai mahasiswa teologi selama lima tahun di sekolah teologi Protestan, saya dulu sudah mengetahui hal ini walaupun memang tidak mendalam sekali, tetapi sebagai mahasiswa teologi waktu itu saya merasa nyaman saja menjadi seorang Protestan di mana keselamatan saya semata-mata adalah atas rahmat dan pemberian gratis dari Tuhan. Ada rasa aman sebab tidak harus melakukan ”investasi dan akumulasi” perbuatan baik untuk keselamatan saya. Martin Luther sendiri memang tidak lalu mengatakan bahwa kaum Protestan boleh berbuat sesuka hati saja sebab keselamatan murni merupakan rahmat Tuhan. Luther sendiri menekankan bahwa justru kaum Protestan harus berbuat baik dalam arti yang sepenuhpenuhnya sebagai bentuk respons dan tanggung jawab iman terhadap keselamatan yang diberikan oleh Tuhan. Apa artinya menjadi seorang Protestan? Saya menyebut diri saya sebagai seorang Lutheran. Walaupun, ada pertanyaan besar: apa artinya menjadi seorang Lutheran? Apa artinya menjadi seorang Protestan? Betapa jauh jarak antara tahun di mana Luther hidup dan abad di mana kita hidup sekarang ini; antara abad ke-16 dan ke-21. Jika kita memperhatikan tipe kepribadian Luther yang humoris tetapi juga bisa sangat terus terang tanpa tedeng aling-aling: Luther adalah seorang yang sangat piawai dalam memperjuangkan apa yang diyakininya benar. Ia seorang yang pernah belajar hukum sebelum



Refleksi Teologis —



199



masuk biara. Ia penulis berbakat yang sangat produktif. Sementara kebanyakan para pendeta Protestan zaman sekarang? Hanya belajar teologi dan itu pun kebanyakan teologi zaman dulu yang dibawa para misionaris zaman kolonialis yang melihat bangsa jajahan sebagai kaum inferior dan penyembah berhala karena itu harus diselamatkan dengan cara mengkristenkan. Aneh tapi nyata, sebab justru Gereja-gereja yang seharusnya hidup dalam spirit pembaruan (Protestan) malah menjadi cenderung mandeg, kaku, dan dogmatis. Memang perlu penelitian dan kajian yang lebih lanjut dan detil berkaitan dengan bagaimana kaum Protestan menjiwai dan menghidupi keprotestanannya. Dugaan saya, mayoritas warga Protestan yang beraliran Lutheran (Gereja-gereja Batak di Sumut) sebenarnya tidak tahu siapa itu Martin Luther, apalagi sepak terjangnya. Paling yang mereka ingat Katekismus Dr. Martin Luther ketika belajar katekisasi untuk persiapan naik sidi. Kita mengenal pohon lewat buahnya. Kalau pohon ibarat iman, maka buah pohon adalah ibarat perbuatan. Yesus bahkan pernah mengutuk sebuah pohon ara yang tidak berbuah hingga layu seketika. Tidak berbuah, tidak berfungsi sebagai pohon ara secara lengkap. Pada zaman itu belum terjadi pemanasan global. Kalau sekarang walaupun tidak berbuah, paling tidak daunnya bisa berfungsi untuk menyerap karbon dioksida. Kalau Protestan itu kita ibaratkan sebuah pohon, apakah ia pohon yang berbuah? Kalau ya, apakah buahnya lezat? Kalau kita ibaratkan benih, maka benih yang tumbuh di mana? Di pinggir jalankah? Di tanah berbatu-batukah? Di tengah semak durikah? Di tanah gembur yang baikkah? Di mana posisi kaum Protestan zaman ini? Apakah kita bukan merupakan benih yang: jatuh di pinggir jalan yang ketika burung datang, benih itu dimakannya sampai habis; jatuh di atas tanah berbatu-batu yang tidak banyak tanahnya, memang benih ini tumbuh tapi segera layu ketika matahari bersinar terik sebab akarnya tidak dalam; jatuh dan tumbuh di tengah semak duri yang lalu menghimpit benih yang tumbuh itu sampai mati. Kalau bukan benih yang tumbuh di pinggir jalan, tanah berbatubatu atau semak duri, lalu, apakah kita bisa mengatakan bahwa kita ini benih yang tumbuh di tanah yang baik dan gembur? Apakah



200  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman kehadiran kaum Protestan ke gereja setiap hari minggu dan ke berbagai perayaan-perayaan gerejawi serta masih berdirinya gedunggedung gereja di seantero negeri terlebih lagi di Sumatera Utara sebagai salah satu kantong Kekristenan di Indonesia dan bukti bahwa benih jatuh di tanah yang baik lalu berbuah? Tanah yang baik tidak muncul begitu saja. Ada penggarap yang menggemburkan dan merawat sehingga kondisinya baik dan benih yang tumbuh di dalamnya menghasilkan panen yang berlipat ganda. Sama halnya dengan Gereja. Ia layak kita sebut Gereja kalau ia bertumbuh di tanah yang baik; kalau ia berfungsi memperbarui dan mengubah hidup manusia menjadi baik. Gereja-gereja Protestan di Indonesia khususnya Gereja-gereja Protestan di Sumatera Utara menurut saya terlalu menekankan peran pendeta di hampir semua lini, mulai dari menjadi pendeta resort, praeses di distrik, hingga pimpinan pusat, termasuk yang menjadi penanggung jawab di berbagai sektor-sektor pelayanan diakonianya. Sayang sekali, Gereja-gereja Protestan justru menjadi lebih hierarkis dibanding dengan Katolik. Para pastor Katolik berbagi tugas sesuai dengan ciri khas ordo-ordo yang ada pada mereka. Kaum Yesuit misalnya tidak mengurusi jemaat tapi berfokus pada bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan. Jadi lumrah sekali jika seorang pastor yang sudah belajar teologi dan filsafat juga seorang ahli matematika atau fisika. Kenaifan kalangan Protestan menyerap sola fide, sola gratia dan sola scriptura telah memperlemah dirinya, sebab para pendeta dan pekerja di dalam Gereja-gereja Protestan hanya terutama ahli dalam bidang teologi. Padahal, kehidupan manusia di zaman ini semakin kompleks. Modal teologi, apalagi dari Abad Pertengahan itu, tidak mungkin cukup untuk zaman ini! Ini salah satu sebab mengapa Gereja-gereja Protestan dalam pengamatan saya menjadi mirip dengan benih yang jatuh di jalan atau tanah berbatu-batu atau bahkan di semak duri. Kalau zaman ini kita ibaratkan dengan lahan di mana benih jatuh dan tumbuh, maka mestinya kita paham betul bagaimana mengolah lahan ini. Seorang petani yang benar-benar petani sudah pasti menanam benih yang ada padanya di lahan yang sudah



Refleksi Teologis —



201



dipersiapkannya dengan baik dan proses persiapan lahan menjadi gembur bisa merupakan pekerjaan yang paling sulit. Akan jauh lebih bagus kalau para pendeta Protestan, terutama lapisan generasi mudanya, kita persiapkan untuk melek tidak hanya dalam bidang teologi tapi juga dalam bidang seluruh ilmu pengetahuan yang ada. Hanya ini jaminan bahwa Gereja bisa berfungsi maksimal di zaman ini dan di zaman yang akan datang. Kita kadang terjebak pada teologi lama, yang sebenarnya lahir dalam konteksnya sendiri. Kita hidup di konteks yang berbeda, di zaman ini kita harus bertanggung jawab dengan cara menjadi Kristen di zaman ini, bukan di zaman lalu. Menurut saya, adalah tanggung jawab moral sekaligus iman kita sebagai orang Kristen untuk memperlengkapi diri kita secara teratur dan sistematis dengan ilmu pengetahuan (tidak hanya teologi). Memang benar bahwa warga jemaat kita mempunyai profesi yang beraneka ragam, tetapi, seperti yang sudah saya jelaskan kondisi seperti yang kita jalani selama ini masih jauh dari ideal. Kita memerlukan orang-orang yang kuat dalam bidang teologi sekaligus non-teologi.



203



Bab VI Rangkuman dan Saran Dalam bab ini akan ditarik kesimpulan dari seluruh uraian tentang ”Pengaruh Deklarasi Bersama tentang Pembenaran oleh Iman terhadap umat Protestan dan Katolik di Indonesia” baik terhadap lembaga Gereja maupun terhadap orang Kristen itu sendiri. 1. Rangkuman-rangkuman 1.1 Pembenaran merupakan suatu tindakan deklaratif, bukanlah se­ suatu yang dikerjakan di dalam manusia, tetapi sesuatu yang di­nyatakan tentang manusia. Pembenaran tidak menjadikan seseorang benar, tetapi hanya menyatakan dia benar. Menurut Thiessen, ada beberapa hal yang tercakup dalam pembenaran: (1) pembenaran adalah penghapusan hukuman. Artinya, hukuman yang seyogianya dikenakan kepada manusia telah ditiadakan oleh dan di dalam kematian Kristus, yang menanggung hukuman dosa-dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib (Yes 53: 5-6; 1 Ptr 2: 24). (2) Pembenaran adalah pemulihan hubungan baik. Artinya orang yang telah dibenarkan kini menjadi sahabat Allah (2 Taw 20: 7; Yak 2: 23). (3) Pembenaran adalah penghitungan kebenaran. Dihitung artinya dianggap sebagai atau dimasukkan dalam bilangan. Yang dimasukkan bukanlah kebenaran sebagai sifat Allah, tetapi yang diperhitungkan ialah kebenaran yang disediakan Allah bagi mereka yang percaya kepada Kristus. Oleh karena itu, orang yang telah dibenarkan itu telah diampuni



204  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman dosanya dan telah dihapus hukumannya; ia juga telah memperoleh kembali hubungan baik dengan Allah melalui penghitungan kebenaran Kristus. 1.2 Dalam bukunya Confessiones, Augustinus membahas banyak hal tentang keterbatasan kebebasan manusia dan perlunya rahmat ilahi. Pandangan Augustinus tentang keselamatan (rahmat) hanya dapat dipahami kalau mengingat pandangannya mengenai dosa, yakni sebagai suatu kuasa yang mengurung, membelenggu, dan memperbudak manusia. Kuasa dosalah yang disebut ”dosa asal”. Karena dosa Adam, manusia sudah masuk ke dalam lingkaran setan yang mengurungnya. Artinya, apa saja yang secara konkret diperbuat oleh manusia, hanya mengukuhkan saja perbudakannya terhadap dosa, biarpun perbuatan konkret itu dilakukannya secara bebas dan atas tanggung jawab sendiri. Dari dirinya sendiri manusia tidak dapat keluar dari lingkaran ini. Secara harfiah manusia berada dalam kuasa setan. Yang dapat menyelamatkan manusia dari kuasa dosa itu hanyalah Allah. Dan Allah memang membebaskan manusia dari ”lingkaran setan” itu. Tindakan Allah itulah yang oleh Augustinus disebut ”rahmat”. Istilah rahmat dipakainya karena tindakan Allah itu bukan karena jasa atau hak manusia, melainkan semata-mata karena anugerah bebas dari Allah yang diberikan-Nya dengan cuma-cuma. Dari dalam kebebasan cinta kasih-Nya, Allah masuk ke dalam hati manusia dan mengubahnya secara radikal. Secara ringkas pengajaran Augustinus tentang pembenaran dapat diringkas sebagai berikut: (1) Kebenaran Allah di dalam pengajaran Paulus bukan sebuah atribut Allah, tetapi dengan demikian Allah membenarkan dan memberikan keselamatan pada orang berdosa. Augustinus menggunakan surat Roma sebagai dasar pembenarannya (Rm 1: 17; 3: 21). (2) Membenarkan artinya membuat benar. Augustinus memutuskan bahwa justificare berarti ”membuat benar”. Augustinus menyakini orang berdosa dijadikan benar di dalam pembenaran. (3) Pembenaran terlihat dalam keseluruhan hidup orang Kristen. Pembenaran terlihat melalui baptisan, di mana saat itu Allah mengampuni dosa.



Rangkuman dan Saran —



205



Sejak baptisan itu, orang berdosa telah dibenarkan sepanjang perjalanan kehidupannya. (4) Pembenaran oleh iman dan kasih. Bagi Augustinus, untuk menerima Injil dan otoritas Gereja perlu iman, dan iman membutuhkan kasih. (5) Anugerah Allah mempersiapkan kehendak bebas manusia bagi pembenaran dan menguatkan kehendak bebas dalam pembenaran. Augustinus membuat pembedaan anugerah operatif dan anugerah kooperatif di dalam pembenaran orang percaya. Augustinus beranggapan setiap manusia memiliki kehendak bebas, tetapi kebebasan yang sepantasnya. Manusia berdosa membutuhkan bantuan anugerah ilahi di dalam hidupnya. 1.3 Berbeda dengan Thomas Aquinas. Aquinas mengajarkan Allah sebagai ”ada yang tak terbatas” (ipsum esse subsistens). Allah adalah ”ada yang tertinggi”, yang mempunyai keadaan yang paling tinggi. Allah adalah penggerak yang tidak bergerak. Tampak sekali pengaruh filsafat Aristoteles dalam pandangannya. Dunia ini dan hidup manusia terbagi atas dua tingkat, yaitu tingkat adikodrati dan kodrati, tingkat atas dan bawah. Tingkat bawah (kodrati) hanya dapat dipahami dengan mempergunakan akal. Hidup kodrati ini kurang sempurna dan ia bisa menjadi sempurna kalau disempurnakan oleh hidup rahmat (adikodrati). ”Tabiat kodrati bukan ditiadakan, melainkan disempurnakan oleh rahmat”, demikian kata Thomas Aquinas. 1.4 Pandangan Luther tentang pembenaran ini dimulai dalam kuliah-kuliah yang disampaikannya kepada mahasiswanya. Pada mulanya Luther adalah seorang pengikut yang setia dari pandangan via moderna. Allah telah mendirikan suatu perjanjian (pactum) dengan manusia. Melalui perjanjian itu Allah wajib membenarkan siapa saja yang mencapai persyaratan minimum tertentu (quod in se est). Akibatnya, Luther mengajarkan bahwa Allah memberikan anugerah-Nya kepada orang yang rendah hati sehingga semua orang yang merendahkan hatinya di hadapan Allah dapat mengharapkan untuk dibenarkan seperti yang sudah selayaknya. Oleh karena orang-orang berdosa melihat kebutuhan mereka akan anugerah dan datang kepada Allah agar Ia mengaruniakannya, maka ini berarti menempatkan Allah di



206  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman bawah kewajiban untuk melakukan hal itu, dengan demikian membenarkan orang berdosa. Dengan kata lain, orang-orang berdosa memegang inisiatif, dengan datang kepada Allah: orang berdosa dapat melakukan sesuatu yang memberikan keyakinan bahwa Allah menjawab dengan membenarkan dia. 1.5 Menurut Luther, iman yang benar membenarkan kita tanpa hukum Taurat dan perbuatan baik melalui anugerah Allah yang nyata di dalam diri Yesus Kristus. Perbuatan baik sama seperti buah pohon. Buah pohon yang baik tidak membuat pohon yang baik, maka perbuatan baik tidak bisa membenarkan seseorang. Tetapi perbuatan baik datang dari orang yang telah dibenarkan oleh iman, sama seperti buah pohon yang baik berasal dari pohon yang telah tumbuh dengan baik. Luther mengajarkan bahwa perbuatan baik tidak mendapat bagian dalam keselamatan. Perbuatan baik merupakan hasil atau buah dari keselamatan, tetapi tidak pernah bagian keselamatan. Bagi Luther, Hukum Taurat tidak dapat membebaskan kita dari dosa atau kebenaran kita, tetapi janji pengampunan dosa dan pembenaran telah diberikan oleh sebab Kristus. Dia telah diberikan kepada kita untuk mengadakan penebusan dosa dunia ini dan telah dipilih sebagai perantara dan juru damai. Janji ini tidak bersyaratkan jasa kita, melainkan pengampunan dosa dan pembenaran diberikan dengan cuma-cuma. Seperti Paulus berkata, ”Tetapi jika hal itu terjadi karena kasih karunia, maka bukan lagi karena perbuatan, sebab jika tidak demikian, maka kasih karunia itu bukan lagi kasih karunia” (Rm 11: 6). Pendamaian tidak terletak pada jasa kita karena jika hal itu terletak pada jasa kita, maka hal itu menjadi tak berguna. Pembenaran itu bukan persetujuan terhadap satu lakon (perbuatan) yang tertentu, melainkan terhadap pribadi itu keseluruhan. Kita dibenarkan bila kita berpegang kepada Kristus, Juru damai, dan percaya bahwa demi Dia, Allah bermurah hati kepada kita. Jangan diharapkan pembenaran tanpa Kristus, Juru damai itu. 1.6 Menurut pemahaman Gereja Katolik, rahmat Roh Kudus mem­ punyai kekuatan untuk membenarkan manusia, artinya Roh Kudus membersihkan dan memberikan kepada manusia ”kebe­



Rangkuman dan Saran —



207



naran Allah karena iman dalam Yesus Kristus” (Rm 3: 22) melalui Baptisan. Karya pertama rahmat Roh Kudus adalah pertobatan yang menghasilkan pembenaran. Manusia digerakkan oleh rahmat supaya mengarahkan diri kepada Allah dan menjauhkan diri dari dosa. Dengan demikian manusia menerima pengampunan dan pembenaran dari atas. Inilah unsur-unsur dari ”pembenaran itu sendiri, yang bukan hanya pengampunan dosa, melainkan juga pengudusan dan pembaruan manusia batin”. Pembenaran melepaskan manusia dari dosa, yang berlawanan dengan kasih kepada Allah dan memurnikan hatinya. Pembenaran terjadi karena prakarsa-prakarsa kerahiman Allah yang menawarkan pengampunan. Pembenaran mendamaikan manusia dengan Allah, membebaskannya dari kuasa dosa dan menyembuhkannya. 1.7 Bagi Katolik, pembenaran ”bukanlah hanya suatu pengampunan dosa, tetapi juga penyucian dan pembaruan kembali dari batin seseorang melalui penerimaan yang sukarela dari anugerah dan pemberian yang menyebabkan seseorang yang tidak benar menjadi seorang yang benar”. Pembenaran sangat erat dihu­ bungkan dengan sakramen baptisan dan pengampunan dosa. Orang berdosa mula-mula dibenarkan melalui baptisan: namun, oleh karena dosa, pembenaran itu dapat hilang. Walaupun demi­ kian, pembenaran itu dapat dibarui kembali dengan sakramen pengampunn dosa. 1.8 Dokumen Deklarasi Bersama menyatakan bahwa hidup yang dibenarkan oleh iman datang dari firman Kristus (Rm 10: 17), menjadi nyata dalam kasih (Gal 5: 6) dan dalam buah Roh (Gal 5: 22). Namun karena orang-orang yang dibenarkan digoda dari dalam dan dari luar oleh berbagai kuasa dan keinginan-keinginan (Rm 8: 35-39); Gal 5: 16-21) sehingga jatuh dalam dosa (1 Yoh 1: 8,10), mereka harus senantiasa mendengar janji-janji Allah secara baru, mengakui dosa-dosa mereka (1 Yoh 1: 9), mengambil bagian dalam darah dan tubuh Kristus, dan dianjurkan untuk hidup dengan benar berpadanan dengan kehendak Allah. Itulah sebabnya Rasul menganjurkan pada orang yang dibenarkan: ”karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih



208  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya” (Flp 2: 12-13). Namun demikian berita sukacita ini tetap berlaku: ”sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus” (Rm 8: 1), dan bahwa Kristus hidup di dalam mereka (Gal 2: 20); dan bahwa Kristus adalah ”kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup” (Rm 5: 18). 1.9 Deklarasi Bersama ini adalah hasil dialog-dialog resmi yang dilakukan secara bersama sebelum 1999. Kedua belah pihak terutama memperhatikan hasil-hasil dialog mereka, seperti percakapan tentang ”Injil dan Gereja” (1972), Pembenaran oleh iman” (1983), ”Gereja dan Pembenaran” (1994)”, dan tentang ”Peng­hukuman atas dasar ajaran pada reformasi – masihkah menimbulkan perpisahan?” (1986). Hasil dialog-dialog tersebut disambut baik oleh kedua belah pihak, sehingga secara bersama telah merumuskan ”Deklarasi Bersama” tersebut mengenai pem­ benaran ”kita” (kedua belah pihak) oleh anugerah Allah melalui iman akan Kristus. Deklarasi Bersama itu tidak bermaksud untuk memuat semua ajaran Gereja tentang pembenaran, tetapi apa yang dimuat dalam Deklarasi Bersama hanyalah ”suatu persetujuan akan kebenaran dasar dari ajaran Gereja tentang pembenaran dan menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan lainnya dalam hal penerapannya, tidak lagi menjadi alasan untuk kutukankutukan dogmatis” (it does encompass a consensus on basic truth of the doctrine of justification and shows that the remaining differences in its explication are no longer the occasion for doctrinal condemnations), demikian dalam Pasal ”Pembukaan” (Preamble) butir 5. Artinya, Deklarasi Bersama ini menunjukkan dengan jelas kutukan-kutukan historis tentang ajaran pembenaran yang dilakukan kedua belah pihak pada abad ke-16 itu (dari pihak Lutheran dalam Konfesi Augsburg dan tulisan-tulisan lainnya dalam buku Konkord, sedang dari pihak Katolik adalah hasil keputusan konsili Trente) tidak digunakan dalam persetujuan ini. 1.10 Secara ringkas isi DB ini adalah sebagai berikut: Pasal 1 butir 8-12 menyajikan ”pemberitaan alkitabiah tentang pembenaran”.



Rangkuman dan Saran —



209



Kedua pihak memahami bahwa perumusan ajaran pembenaran harus berlandaskan Alkitab, dan rumusan pemahaman ber­ sama itu harus merupakan pesan-pesan Alkitab. Dengan demi­kian pasal 1 ini diterima sebagai pemahaman bersama. Kemudian pada pasal 2 dijelaskan bahwa ajaran pembenaran itu merupakan permasalahan ekumenis. Selanjutnya bertolak dari pasal 1, kedua pihak merumuskan pemahaman bersama tentang pembenaran pada pasal 3 butir 14-18. Pasal 3 ini disepakati sebagai konsensus, karena rumusan itu oleh kedua pihak masih mengandung perbedaan pemahaman dan penafsiran. Maka untuk itu dalam pasal 4 masing-masing pihak diberi ruang untuk menjelaskan pemahaman bersama pada pasal 3 menurut penafsiran dan pemahamannya masing-masing. Untuk pokokpokok penjelasan pada pasal 4, pihak Lutheran maupun Katolik mencoba dalam paradigma baru melihat dan menafsirkan ulang tradisi ajaran masing-masing. Dengan demikian dari ketiga ruang khusus ini, pasal 1 diakui sebagai pemahaman bersama; pasal 3 sebagai konsensus bersama dan pasal 4 sebagai pokokpokok penjelasan terhadap pasal 3. Pasal 3 sebagai konsensus dapat diartikan sebagai hasil kompromi atau joint, bisa diterima atau tidak. Dengan demikian pasal 3 belum merupakan hasil pemahaman bersama, tetapi merupakan kesepakatan bersama tentang arah ke mana pemahaman yang sempurna harus dicari. Dengan demikian dapat disimpulkan pasal 3 dan 4 disebut sebagai konvergensi. Artinya, kesepakatan yang menyatakan bahwa kedua pihak sedang berjalan menuju kepada pemahaman bersama. Akhirnya, pasal 5 membicarakan makna dan cukupan dari kesepakatan yang telah dicapai itu bagi Gereja Protestan dan Katolik. 1.11 Dengan membaca teks dokumen Deklarasi Bersama ini dapat diambil kesimpulan bahwa ditemukan adanya konsensus yang fundamental yang berisikan perbedaan-perbedaan di bidang bahasa, elaborasi teologi, dan penekanan-penekanan yang dapat memuaskan. Pengajaran Lutheran yang dikemukakan di dalam dokumen ini tidak berada di bawah penghukuman konsili Trente;



210  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman dan pengajaran Katolik yang dikemukakan di dalam dokumen ini juga tidak berada di dalam penghukuman Luther. 1.12 Jika memang teks dokumen ini tidak mengindikasikan adanya lagi penghukuman, sekarang bagaimanakah sebenarnya penghu­ kuman itu dipandang dalam dokumen ini? Dalam dokumen ini, penghukuman itu dipandang berguna bagi kita sebagai ”peringatan tentang keselamatan” (‘salutary warnings’) yang se­ baiknya diperhatikan dalam ajaran dan pelaksanaannya. 1.13 Dasar ajaran pembenaran setiap Gereja selalu diambil dari Alkitab. Namun setiap Gereja akan memiliki penjelasan, tafsiran, dan kajian yang berbeda-beda terhadap ajaran pembenaran secara alkitabiah. Bahkan penyebab mendasar dari timbulnya Reformasi adalah perbedaan antara ajaran atau teologi dan praktik Gereja Katolik dengan ajaran Alkitab. Gereja Katolik mempraktikkan ajaran yang sangat menyimpang, misalnya tentang penghapusan dosa, perolehan keselamatan, kekuasaan paus, otoritas Alkitab dan lain-lain. Reformasi Martin Luther meluruskan atau menjaga kemurnian ajaran Kristen sesuai dengan Alkitab. Luther melihat bahwa Gereja Katolik telah menyelewengkan atau paling tidak mengabaikan pokok-pokok tertentu dari ajaran Alkitab. Itulah sebabnya reformasi teologi Luther merupakan upaya back to the Bible, kembali ke ajaran Alkitab. Untuk mempertemukan dua paham yang berbeda inilah dibutuhkan sebuah dokumen Deklarasi Bersama. Melalui dokumen ini kedua belah pihak samasama menyadari dan sama-sama memahami perbedaan yang ada sebagai kekayaan dalam keberimanan. Perbedaan yang ada itu tetap dipertahankan menjadi dokumen iman pada masa lampau, namun dibarui dan dipahami secara baru pada situasi dan kondisi zaman sekarang. Dokumen Deklarasi Bersama ini sebagai langkah lanjutan untuk saling menerima dan menghargai ajaran di antara Gereja Protestan dan Katolik ke masa depan. Diharapkan melalui dokumen ini akan membawa pengaruh yang berarti bagi perkembangan dan pertumbuhan Gereja-gereja Protestan dan Katolik di seluruh dunia umumnya dan di Indonesia khususnya.



Rangkuman dan Saran —



211



1.14 Pengaruh dokumen Deklarasi Bersama terhadap Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia memang sangat sulit untuk diukur. Karena alat ukur yang pasti dan pas belum terlihat nyata, karena dokumen ini sendiri masih muda yakni hampir sepuluh tahun pada 31 Oktober 2009 ini. Namun pengaruh dokumen ini pasti ada dan dirasakan dalam kehidupan Gereja Protestan dan Katolik di Indonesia. 1.15 Tolok ukur yang bisa dipakai untuk melihat pengaruh dari dokumen Deklarasi Bersama terhadap Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia adalah: pertama, melalui wawancara kepada pihak-pihak yang berkompeten dalam hal ini, misalnya: para pendeta, pastor, lembaga-lembaga akademis, dan warga jemaat. Kedua, melalui kuesioner yang dibagikan kepada pelayan Gereja (pendeta, sintua) warga jemaat dan mahasiswa/i teologi. Ketiga, melalui studi pustaka yang berhubungan dengan dokumen Deklarasi Bersama yakni dokumen ajaran Gereja-gereja yang ada di Indonesia ini. Ketiga metode inilah yang penulis pakai untuk melihat pengaruh dokumen tersebut terhadap Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia. 1.16 Berdasarkan hasil penelitian, penulis berkesimpulan atas jawab­ an yang diberikan oleh para responden, bahwa sebagian warga jemaat memahami ajaran Gereja masing-masing dan per­ kembangan ajaran yang terjadi di dalam Gereja. Dan ada juga warga jemaat yang menaruh harapan besar akan isi dan maksud penandatanganan dokumen Deklarasi Bersama bagi hubungan ekumenis di antara Gereja Protestan dan Katolik di Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya, jemaat menyadari pentingnya pensosialisasian dokumen ini bagi warga jemaat agar warga jemaat semakin mengerti akan maksud dari dokumen bagi warga jemaat. 1.17 Pengaruh dokumen Deklarasi Bersama di Indonesia dilihat dari pengertian ”influence” dan ”impact”. Pengaruh dalam arti ”influence” berarti Deklarasi Bersama memiliki kemampuan untuk mempengaruhi Gereja-gereja, dan orang-orang Kristen baik Protestan dan Katolik untuk saling menghormati dan menghargai. Dan pengaruh dalam arti ”impact” berarti dokumen Deklarasi



212  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Bersama diharapkan berdampak kuat dan mampu memberikan perubahan atas pemahaman keberimanan di antara kedua belah pihak. Dengan dokumen ini, baik Protestan dan Gereja Katolik mampu mengubah cara pandang mereka atas ajaran pembenaran yang ada di antara kedua belah pihak. 1.18 Di Indonesia, pengaruh dokumen Deklarasi Bersama banyak diperbincangkan oleh umat Gereja Katolik dan Lutheran yang ada di daerah Sumatera Utara. Dengan dokumen ini, kedua belah pihak telah melaksanakan beberapa kali pertemuan yang membahas makna dan maksud dokumen ini terhadap gereja dan masyarakat yang ada di Sumatera Utara. Dalam usia kelima tahun dokumen Deklarasi Bersama, pihak Gereja Katolik yang diwakili Keuskupan Agung Medan dengan pihak Lutheran yang diwakili Komite Nasional Lutheran World Federation (KN-LWF) Indonesia mengadakan Seminar Sehari Lutheran – Katolik untuk merayakan 5 tahun Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran antara LWF dan Gereja Katolik, pada 30 Oktober 2004 di STFT St. Yohanes, Sinaksak Pematangsiantar. Dalam pertemuan ini kedua belah pihak sepakat untuk menerima isi dokumen dan mensosialisasikannya baik di dalam kehidupan berjemaat dan juga di lembaga-lembaga pendidikan teologi masing-masing. Per­temuan ini menjadi pengaruh yang nyata terlihat di Indonesia setelah ditandatanganinya dokumen Deklarasi Bersama tersebut. 1.19 Pengaruh dokumen Deklarasi Bersama terhadap Gereja Katolik di wilayah Keuskupan Agung Medan sangat terasa. Hal ini terlihat dari respons Uskup Agung Medan, Uskup Alfred Gonti Pius Datubara, O.F.M. Cap dan Anicetus Bongsu Antonius Sinaga, O.F.M. Cap yang memberikan perhatian khusus dalam mensukseskan sosialisasi dokumen Deklarasi Bersama bagi umat Katolik di wilayah keuskupan Agung Medan. Keuskupan Agung Medan memulai usaha sosialisasi ini serempak di dalam kehidupan berjemaat maupun di dalam pembinaan para calon pastor di lembaga-lembaga pendidikan teologi. 1.20 Pengaruh dokumen Deklarasi Bersama bagi Gereja-gereja Protestan di Indonesia secara nyata lebih banyak digumuli di Gereja-gereja Lutheran yang ada di Sumatera Utara. Di kalangan Gereja-



Rangkuman dan Saran —



213



gereja Lutheran Sumatera Utara pengaruh dokumen ini sudah mulai digaungkan melalui khotbah, seminar, dan pembinaanpembinaan. Dengan dokumen ini hubungan di antara jemaatjemaat Protestan dengan Katolik semakin membaik. 1.21 Pemahaman tentang ajaran pembenaran yang dijelaskan pihak Lutheran dan Gereja Katolik merupakan persetujuan dasar antara Lutheran dan Gereja Katolik. Sifatnya masih terbuka untuk didiskusikan, diperluas, dan diperdalam. Oleh karena itu, Lutheran dan Gereja Katolik sepakat untuk meneruskan diskusi tentang ajaran pembenaran ini guna memperdalam pemahaman alkitabiah dan untuk menyatukan pandangan terhadap hal-hal yang masih berbeda. Hal itu dapat dilakukan secara ekumenis, baik bersama-sama atau masing-masing pihak Lutheran dan Gereja Katolik. 1.22 Lutheran dan Gereja Katolik sepakat akan berusaha memberitakan, menyaksikan, menemukan, dan menerapkan makna pembenaran itu ke dalam berbagai bidang kehidupan dalam konteks kehidupan masyarakat masa kini. Kedua belah pihak mengharapkan agar Deklarasi Bersama dapat mempengaruhi kehidupan Gereja melalui pengajarannya yang kemudian diwujudkan di dalam kehidupan bersekutu, bersaksi, dan melayani. 1.23 Setelah mendalami dan menekuni isi dan makna dokumen Deklarasi Bersama serta pengaruhnya bagi Gereja-gereja Katolik dan Protestan di Indonesia, maka penulis dapat menarik ke­ simpulan akhir bahwa: – Dokumen Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran oleh Iman ini berhasil mendamaikan perseteruan antara Protestan dan Katolik mengenai ajaran pembenaran. – Dokumen Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran oleh Iman ini membuat hubungan Protestan dan Katolik menjadi lebih baik. – Dokumen Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran oleh Iman ini menjadi masukan yang berharga bagi Protestan dan Katolik dalam merumuskan ulang ajarannya.



214  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman 2. Saran-saran Dengan melihat kesimpulan di atas, maka penulis memberikan beberapa saran kepada Gereja-gereja Katolik dan Protestan di Indo­ nesia juga kepada lembaga-lembaga pendidikan teologi Katolik dan Protestan di Indonesia. 2.1 Bagi Gereja-gereja Protestan dan Katolik 1) Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia perlu berke­ sinambungan mengupayakan sosialisasi dokumen Deklarasi Bersama di segala lini pelayanan agar semakin dihayati oleh setiap warga jemaat di dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat. 2) Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia perlu meru­ mus­kan ulang konfesi Gerejanya tentang ajaran pembenaran dengan mengacu pada dokumen Deklarasi Bersama. 3) Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia perlu se­ makin mengembangkan hubungan ekumenis yang didasari atas dokumen Deklarasi Bersama ini. 4) Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia perlu terus menggumuli diskusi-diskusi ajaran-ajaran lainnya yang mampu mempererat hubungan di antara kedua belah pihak. 5) Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia hendaknya terus berupaya mencari peluang deklarasi-deklarasi lainnya yang membangun dan mempersatukan kedua belah pihak. 6) Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia ditantang untuk menafsirkan ulang dokumen Deklarasi Bersama ke dalam konteks dan budaya masing-masing. 7) Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia perlu ber­ sama-sama melihat arah baru hubungan ekumenis di antara kedua belah pihak dengan melihat gerakan penyatuan Gereja di dalam berbagai ajaran-ajaran yang selama ini menjadi perseteruan di kedua belah pihak. 8) Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia perlu men­ sosialisasikan ajaran-ajaran Gerejanya kepada warga jemaat­ nya. Jika ajaran Gereja disosialisasikan dengan baik kepada warga jemaat, maka warga jemaat akan memiliki dasar yang



Rangkuman dan Saran —



215



kuat untuk menghadapi ajaran-ajaran yang datang dari luar Gerejanya. Karena itu sejarah dan doktrin Gereja harus terusmenerus disosialisasikan kepada seluruh warga jemaat agar warga jemaat memiliki pemahaman yang benar akan ajaran Gerejanya untuk menghadapi ajaran-ajaran lain yang semakin menjamur saat ini. Sosialisasi ini bisa dioptimalkan melalui pembelajaran kepada para pelayan gerejawi, pelajar katekisasi sidi, dan bimbingan pra-nikah di dalam Gereja. 9) Secara praktis, dalam rangka mensosialisasikan dokumen Deklarasi Bersama ini para pendeta / pastor perlu menyampai­ kannya kepada warga jemaat melalui khotbah-khotbah dan pembinaan-pembinaan, seminar-seminar tentang dokumen Deklarasi Bersama bagi para pelayanan Gereja hingga kepada warga jemaat. 10) Secara khusus bagi GKPA, perlu merevisi Konfesi GKPA dan Buku Panduan pengajaran katekisasi sidi dengan memasukkan sebuah pengajaran tentang ajaran pembenaran yang mengacu pada isi dokumen Deklarasi Bersama. 2.2 Bagi Lembaga-lembaga Pendidikan Teologi Katolik dan Protestan 1) Lembaga-lembaga pendidikan teologi Katolik dan Protestan di Indonesia perlu memberi ruang untuk membahas isi dokumen Deklarasi Bersama di dalam mata kuliah Sejarah Gereja dan Dogmatika. 2) Lembaga-lembaga pendidikan teologi Katolik dan Protestan di Indonesia perlu memasukkan dokumen Deklarasi Bersama ke dalam sylabus mata kuliah Sejarah Gereja dan Dogmatika agar dokumen ini semakin mempengaruhi kehidupan para teolog kedua belah pihak menuju gerakan kesatuan Tubuh Kristus. 3) Lembaga-lembaga pendidikan teologi Katolik dan Protestan di Indonesia perlu terus menggali dan mendalami dokumen Deklarasi Bersama untuk semakin dikembangkan dari sudut pandang teologi demi tercapainya pemahaman yang men­ dalam akan makna Deklarasi Bersama ini.



216  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman 4) Lembaga-lembaga pendidikan teologi Katolik dan Protestan di Indonesia perlu terus berperan aktif mensosialisasikan dokumen ini kepada para mahasiswa/i teologi. 5) Lembaga-lembaga pendidikan teologi Katolik dan Protestan di Indonesia perlu melaksanakan ’program silang’ di antara mahasiswa/i teologi kedua belah pihak untuk melihat secara langsung kehidupan pendidikan teologi masing-masing. 6) Lembaga pendidikan teologi bertugas untuk mengajarkan hasil yang disepakati dalam dokumen Deklarasi Bresama agar mampu dipahami para teolog dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata di tengah gerejanya masing-masing. Tetapi harus dikembangkan lagi pada pembahasan permasalahan hermeneutika dan eklesiologi.



217



Kepustakaan A. Alkitab Alkitab dengan Kidung Jemaat. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2006. Bibel – Jamita na Denggan (Na Marhata Batak Angkola-Mandailing). Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1991. B. Buku Abineno, J.L.Ch., Johanes Calvin: Pembangunan Jemaat, Tata Gereja dan Jabatan Gerejawi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992. _____________ Bucer & Calvin. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006. Althaus, Paul, The Theology of Martin Luther. (trans.) Philadelphia: Fortress Press, 1966. Anderson, H.G. et al., Justification by Faith: Lutherans and Catholics in Dialog. vol. 7, Minneapolis, 1985. Augustinus, Pengakuan-pengakuan. (terj.) Jakarta & Yogyakarta: BPK Gunung Mulia & Kanisius, 1997. The Augsburg Confession. Adelaide: Lutheran Publishing House, 1980. Aland, Kurt, A History of Christianity. Philadelphia: Fortress Press, vol. II, 1986. Altman, Walter, Lutero e Libertaçäo. Säo Paulo/Säo Leopoldo: Ătica/ Sinodal, 1994.



218  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Aritonang, Jan S., Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995. ______________ Buku Katekisasi di Gereja Kristen Protestan Indonesia. Pematangsiantar: Kolportase Pusat GKPI, 2001. Bainton, Roland, Here I Stand: A Life of Martin Luther. New York: Abingdon Press, 1950. Barclay, William, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Galatia dan Efesus. (terj.) Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996. ______________ Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Roma. (terj.) Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996. Berkhof, Louis, The History of Christian Doctrines. Grand Rapids, Michigan: Wm.B. Eerdmans Publishing Company, 1953. _____________ Teologi Sistematika 4: Doktrin Keselamatan. (terj.) Surabaya: Momentum, 2006. Brinkman, Martien E., Justification in Ecumenical Dialog - Central Aspects of Christian Soteriology in Debate. Utrecht: Interuniversitaire Institute for Missiology and Ecumenical Research, 1996. Buku Konkord: Konfesi Gereja Lutheran. (terj.) Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004. Buku Panduan Katekisasi Sidi GKPA. Padangsidimpuan: Kantor Pusat GKPA, 2004. Burnaby, John, Augustine: Later Works. (Philadelphia: Westminster, vol. VIII, 1980. Calvin, Yohanes, Institutio: Pengajaran Agama Kristen. (terj.) Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke-6, 2008. Carson, D.A. (ed.)., Right With God: Justification in the Bible and the World. London: The Paternoster Press & Baker Book House, 1992. Cunliffe-Jones, Hubert, A History of Christian Doctrine. Edinburgh: T & T Clark, 1997. Dahlenburg, G.D., Konfesi-konfesi Gereja Lutheran. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000. Departemen Theologia GBI, Pengajaran Dasar GBI. Jakarta: BPH GBI, 2004.



Kepustakaan —



219



Dister, Nico Syukur, Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan. Yogyakarta: Kanisius, 2004. Dokumentasi dan Penerangan KWI, Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Obor, 2004. End, Th.van den, Tafsiran Alkitab: Surat Roma. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997. Enns, Paul, The Moody Handbook of Theology 2. (terj.) Malang: Literatur SAAT, cet. ke-4, 2007. Erickson, Millard J., Teologi Kristen. (terj.) Malang: Gandum Mas, vol. 3, 2004. _________________ Christian Theology. Grand Rapids-Michigan: Baker Book House, 1991. Full, Timothy F., Martin Luther’s Basic Theological Writings. Minneapolis: Fortress Press, 1989. Grosshans, Hans-Peter, Tokoh Pemikir Kristen Luther. (terj.) Yogyakarta: Kanisius, 2005. Gunning, J.J. Tafsiran Alkitab: Surat Galatia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994. __________ Tafsiran Alkitab: Surat Yakobus. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994. Haegglund, Bengt, History of Theology. Saint Lois: CHP, 19680. Haight, Roger, Teologi Rahmat dari Masa ke Masa. (terj.) Flores: Nusa Indah, 1999. Hamann, H.P. & Hassold, W.J., James-Jude: ChiRho Commentary Series, Adelaide: Lutheran Pubishing House, 1986. Heuken, Adolf, Katekismus Konsili Vatikan II. Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1996. Ismail, Andar, Selamat Bergereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009. Jacobs, Tom, Gereja Menurut Vatikan II. Yogyakarta: Kanisius, 2004. Joint Declaration on the Doctrine of Justification: The Lutheran World Federation and The Roman Catholic Church. Grand Rapids, Michigan / Cambridge: William B. Eerdmans Publishing Company, 2000.



220  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Katekismus Gereja Katolik. Ende: Percetakan Arnoldus Ende, 1998. Kristiyanto, Eddy, Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius, 2004. Kumpulan Peraturan GKPI. Pematangsiantar: Kolportase Pusat GKPI, 2008. Kǜng, Hans, Justification  : The Doctrine of Karl Barth and a Catholic Reflection. Philadelphia: The Westminster Press, 1981. Ladd, George Eldon, A Theology of the New Testament. Grand Rapids: Wm.B. Eerdmans Publishing Co., 1974. Lane, Anthony N.S., Justification by Faith in Catholic–Protestant Dialogue, An Evangelical Assessment. London: T & T Clark, 2002. Locher, G.P.H., Tata Gereja: Gereja Protestan di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995. Lumbantobing, Darwin, Teologi di Pasar Bebas. Pematangsiantar: L-SAPA STT HKBP, 2007. The Lutheran Church Missouri Synod, The Joint Declaration on the Doctrine of Justification in Confessional Lutheran Perspective: An Evaluation of the Lutheran-Roman Catholic ”Joint Declaration on the Doctrine of Justification”. St. Louis: The Lutheran Church Missouri Synod, 1999. Luther’s Works. vol. 34 (ed. Lewis W.Spitz) Philadelphia: Muhlenberg Press, 1960. McGrath, Alister E., Iustitia Dei: A History of the Christian Doctrine of Justification from 1500 to the Present Day. Cambridge: Cambridge University Press, 1994. ________________ Iustitia Dei: A History of the Christian Doctrine of Justification. Cambridge: Cambridge University Press, ed. ke 3, 2005. ________________ Sejarah Pemikiran Reformasi (terj.). Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke 4, 2002. Opocensky, Milan & Reamonn, Paraic (ed.), Justification and Sanctification: In the Traditions of the Reformation. Geneva: World Alliance of Reformed Churches, 1999.



Kepustakaan —



221



Pangokuon Haporsayaan (Konfesi) GKPA. Padangsidimpuan: Kantor Pusat GKPA, 1996. Panindangion Haporseaon (Pengakuan Iman) HKBP 1951 & 1996. PearajaTarutung: Kantor Pusat HKBP, 2006. Pelikan, Jaroslav & Hotchkiss, Valerie (eds.), Creeds and Confessions of Faith in the Christian Tradition, vol. I. London: Yale University Press, 2003. _________________ Creeds and Confessions of Faith in the Christian Tradition. vol. II. London: Yale University Press, 2003. _________________ Creeds and Confessions of Faith in the Christian Tradition. vol. III. London: Yale University Press, 2003. Pemahaman Iman GPIB. Jakarta: Kantor Pusat GPIB, 2005. Pokok-pokok Ajaran GKJ. Salatiga: Kantor Pusat GKJ, 2005. Pokok-pokok Pemahaman Iman GKPI. Pematangsiantar: Kantor Pusat GKPI, 1993. Purwatma, M., Gereja Katolik Indonesia Memandang ke Depan. Yogyakarta: Kanisius, 2003. Rachman, Rasid, Hari Raya Liturgi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke 5, 2005. Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. Sudarmo, R., Ikhtisar Dogmatika. Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke14, 2006. Spykman, Gordon J., Reformation Theology: A New Paradigm for Doing Dogmatics. Grand Rapids-Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1992. Thiessen, Henry C., Teologi Sistematika. (terj.) Malang: Gandum Mas, 2008. Toon, Peter, Justification and Sanctification. London: Marshall Morgan & Scott, 1983. Unity in Faith: The Joint Declaration on the Doctrine of Justification in a Wider Ecumenical Context. Geneva: LWF Office for Ecumenical Affairs, 2002.



222  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Urban, Linwood, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen. (terj.) Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003. Wellem, F.D., Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993. White, James F., Protestant Worship : Tradition in Transision. Louisville, Kentucky: Westminster / John Knox Press, 1989. ____________ Pengantar Ibadah Kristen. (terj.) Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005. Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian: Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Jakarta: Yayasan Kelopak, 2005. Ziesler, J.A., The Meaning of Righteousness in Paul. Cambridge: Cambridge University, 1972. C. Almanak, Kamus, dan Ensiklopedia Almanak GKPA 2009. Almanak GKPI 2009. Almanak HKBP 2009. Browing, W.R.F., Kamus Alkitab. (terj.) Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007. Brown, Francis; Driver, S.R. & Briggs, Charles A., Hebrew and English Lexicon of the Old Testament. New York: Oxford University, 1955. Buku Almanak Kristen Indonesia (BAKI). Jakarta: PGI, 2009. EDBT (Evangelical Dictionary of Biblical Theology). Grand Rapids Michigan: Baker Book, 1996. O’Collins, Gerald & Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (terj.). Yogyakarta: Kanisius, 2006. The Encyclopaedia of the Lutheran Church. vol. III. Minneapolis: Augsburg Publishing House, 1965. Team Penyusun Kamus, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, ed. ke-2, cet.4, 1995.



Kepustakaan —



223



D. Jurnal, Makalah, Artikel, dan Website Bloomquist, Karen L. dan Grieve, Wolfgang. (ed.), LWF Studies No.02/2003. Switzerland: LWF, 2003. Budiman, Kalvin S., ”Bersikap ‘katolik’ tanpa Menjadi ‘Katolik’”, dalam http://groups.yahoo.com/group/METAMORPHE/ message/7087. Calvin, John, Institutes of the Christian Religion, III, dalam http://www. grii- ndhika.org/ready_bread/main/102c.htm Case-Winters, Anna, ”The Joint Declaration on Justification: A Reformed Commentary Colloquium on Justification”. Makalah pada Konsultasi The Joint Declaration on the Doctrine of Justification, Ohio: Colombus, 26 November - 1 Desember 2001. Cork, William J., ”Joint Declaration on the Doctrine of Justification”, sebuah bahan ceramah yang diakses dari www.wquercus. com/faith/JDDJ.ppt. Dieter, Theodor, ”Joining in the Agreements Reached in the Joint Declaration on the Doctrine of Justification Procedural Aspects”, Makalah pada Konsultasi The Joint Declaration on the Doctrine of Justification, Ohio: Colombus, 26 November 1 Desember 2001. ”DOCUMENTATION: Action taken by the LWF Council on the recommendation of the Standing Committee for Ecumenical Affairs”, dalam www. lutheranworld.org /../Beschle.pdf. Dorman, Ted M., ”The Joint Declaration of the Doctrine of Justification: Retrospect and Prospects” dalam Journal of the Evangelical Theological Society, Sept. 2001,dari http://findarticles.com/p/articles/ mi_qa3817/is_200109/ai_n8997756/pg_11?tag=artBody;col1. Feister, John Bookser, ”Faith and Works: Catholics and Lutherans Find Agreement”, dalam www.americancatholic.org. ”Gereja Katolik Roma”, dalam http:// id. itpedia. sfilar. com /it/ Gereja_ Katolik_Roma. ”Gereja Protestan di Indonesia”, dalam http: // id. wikipedia.org / wiki / Gereja_Protestan_di_Indonesia.



224  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Hutauruk, J.R.,”Memaknai Gerakan Reformasi Martin Luther Dulu, Kini dan Mendatang Dikaitkan dengan Pernyataan Bersama tentang Ajaran Pembenaran oleh Iman”. Bahan ceramah Seminar Peringatan 491 tahun Reformasi Dr. Martin Luther di Aula FE Universitas Kristen Indonesia Jakarta pada 31 Oktober 2008. Jurnal Teologi TABERNAKEL STT Abdi Sabda Medan Edisi XIX Januari Juni 2008. Medan: STT Abdi Sabda Medan, 2008. ”Korea – Dialog Ekumene, Prioritas Pemimpin baru Dewan Gerejagereja Protestan”, dalam http://www.mirifica.net/ artDetail. php?aid=3607. ”Liberal Lutherans and Roman Catholics Agree to Deny the Gospel”, dalam www.wayoflife.org. Origins 28. (16 Juli 1998), dalam http:// www.ewtn.com /library/ CURIA/ PCPULUTH.HTM; dan www.pcj.edu/journal. Portier, William L. ”Here Come the Evangelical Catholics”, dalam Communio 31. Spring, 2004. ”Protestan”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Protestan. Rahman, Rasid, ”Liturgi di Zaman Modern”. dalam http://rasidrachmanliturgika.blogspot.com. Reformation Today, ”Iman Yang Menyelamatkan”, dalam Majalah Momentum No.13 – September 1991, dari www.geocities.com/ thisisreformed/artikel/iman.html. ”Gereja Katolik Roma”. dalam http:// id.itpedia.sfilar.com /it/ Gereja_ Katolik_Roma. Rausch, Thomas P., ”Gerak Gereja dalam Pluralitas Iman” dalam http://www.santamaria.or.id/gerak_gereja_dalam_pluralitas_iman. Sanborn, Donald J., Critical Analysis of the Joint Declaration on the Doctrine of Justification”, dalam http:// www.traditionalmass. org/articles/article.php?id=31&catname=15. Scheele, Paul-Werner, ”Consultation ‘Unity in Faith’ in Colombus”, Ohio, USA, Kata pengantar pada Konsultasi The Joint Declaration on the Doctrine of Justification, Ohio: Colombus, 26 November - 1 Desember 2001.



Kepustakaan —



225



Simamora, M., ”Perayaan Tahun Rasul Paulus (28 Juni 2008 – 28 Juni 2009)”, dalam www.gkpi.org. Sitorus, Langsung, ”Pandangan Protestan tentang Gereja Katolik dan Relevansinya dalam Kerjasama oikumene”, dalam www. binawargahki.com. Swan, Darlis J., ”The Reception of the Joint Declaration on the Doctrine of Justification: A Report from the Lutheran World Federation”, Makalah pada Konsultasi The Joint Declaration on the Doctrine of Justification, Ohio: Colombus, 26 November - 1 Desember 2001. ”The Fruit of the Spirit”, dalam www.truthortradition.com./modules. php. Tanduk, Christian, ”Iman, Perbuatan dan Pembenaran”. dalam http:// www.forumteologi.com/blog/2007/04/24/iman-perbuatan-danpembenaran. Tata Ibadah Hari Doa Sedunia 2009. Tjen, Anwar, ”Pemahaman Bersama Ajaran Pembenaran: Beberapa Catatan dari sudut pandangan Lutheran”, Makalah Seminar Sehari Lutheran-Katolik dalam rangka Lustrum Lima Tahun The Joint Declaration on the Doctrine of Justification, STFT St. Thomas, 30 Oktober 2004. ___________ ”Memaknai Gerakan Reformasi, Termasuk Kaitannya dengan Pemahaman Bersama Ajaran Pembenaran oleh Iman: Menarik pelajaran dari warisan sejarah dan teologi”. Bahan ceramah dalam Seminar Peringatan 491 tahun Reformasi Dr. Martin Luther di Aula FE Universitas Kristen Indonesia Jakarta pada 31 Oktober 2008. Wainwright, Geoffrey, ”The Lutheran-Roman Catholic Agreement on Justification: Its Ecumenical Significance and Scope from a Methodist Point of View”, Makalah pada Konsultasi The Joint Declaration on the Doctrine of Justification. Ohio: Colombus, 26 November - 1 Desember 2001. ”The Year of Saint Paul The Church Today Requires ‘Total Dedication to Christ’”, dalam Adoremus Bulletine. Vol.XIV, No.4, Juni 2008, dari www. adoremus.org/ 0608YearofStPaul.html.



226  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman E. Wawancara Hutauruk, J.R.: Ephorus Emeritus HKBP periode 2000-2004, dan saat ini menjadi anggota Kaunsil LWF dan aktif mengajar Pasca­sarjana STT Abdi Sabda Medan dan STT GMI Bandar Baru Medan. Wawancara pada 27 Oktober 2008 di Komplek Perumahan Pemda II Tanjung Sari Medan. Lumbantobing, Bonar: Pendeta HKBP yang ditugaskan sebagai dosen di STT HKBP Pematangsiantar mengampu mata kuliah Per­janjian Lama. Wawancara pada 29 Oktober 2008 di STT HKBP. Lumbantobing, Darwin: Pendeta HKBP dan sekarang menjadi Ketua STT HKBP Pematangsiantar sekaligus mengampu mata kuliah Dogmatika. Wawancara pada 28 Oktober 2008 di STT HKBP. Munthe, Pardomuan: Pendeta GKPI dan sekarang mengajar di STT Abdi Sabda Medan mengampu mata kuliah Dogmatika. Wawancara pada 27 Oktober 2008 di STT Abdi Sabda Medan. Siahaan, Marihot: Pendeta GPKB Tanjung Priuk. Wawancara pada 31 Oktober 2008 di Aula FE UKI Jakarta. Simanjuntak, R.: Pendeta HKI dan saat ini menjabat sebagai Sekjen HKI tinggal di Pematangsiantar. Wawancara pada 28 Oktober 2008 di Kantor Pusat HKI Jalan Melanthon Siregar No.111 Pematansiantar. Simorangkir, Hieronimus: Pastor Katolik yang mengajar sebagai dosen di STFT St. Yohanes Sinaksak, Pematangsiantar yang meng­ampu mata kuliah Filsafat Klasik. Saat ini Pastor Dr.Hieronimus Simorangkir menjabat sebagai Ketua STFT St. Yohanes Pematangsiantar. Wawancara pada 28 Oktober 2008 di STFT St. Yohanes Pematangsiantar. Simorangkir, M.S.E.: Bishop GKPI dan ketua KN-LWF Indonesia. Wawancara pada 28 Oktober 2008 di Kantor Pusat GKPI JL. Kapten MH.Sitorus No.13 Pematangsiantar. Sinaga, Richard: Dosen STFT St. Yohanes Sinaksak-Pematangsiantar yang mengampu mata kuliah Dogmatika. Wawancara pada 28 Oktober 2008 di STFT St. Yohanes Sinaksak.



Kepustakaan —



227



Sinamo, Mangara: Pendeta GKPPD Resort Jakarta tinggal di Jakarta. Wawancara pada 31 Oktober 2008 di Aula FE UKI Jakarta. Sintua dan warga jemaat GKPA Pangkalan Berandan. Wawancara pada 29 Oktober 2008 di kebaktian keluarga sektor IV. Kebaktian keluarga ini diikuti 25 orang. Situmorang, Jontor: Pendeta GKPS yang saat ini Ketua STT Abdi Sabda Medan. Wawancara pada 27 Oktober 2008 di kampus STT Abdi Sabda Medan. Tumanggor, J. Kosmas: Pastor di Gereja Katolik Jl. Sibolga No.1 Pematangsiantar. Wawancara pada 28 Oktober 2008 di ruang Pastoran Gereja Katolik Jl. Sibolga No.1 Pematangsiantar.



La m pira n



Lampiran —



231



Lampiran 1



JOINT DECLARATION ON THE DOCTRINE OF JUSTIFICATION The Lutheran World Federation and The Roman Catholic Church 31 Oktober 1999



Preamble 1. The doctrine of justification was of central importance for the Lutheran Reformation of the sixteenth century. It was held to be the ”first and chief article”(1) and at the same time the ”ruler and judge over all other Christian doctrines.”(2) The doctrine of justification was particularly asserted and defended in its Reformation shape and special valuation over against the Roman Catholic Church and theology of that time, which in turn asserted and defended a doctrine of justification of a different character. From the Reformation perspective, justification was the crux of all the disputes. Doctrinal condemnations were put forward both in the Lutheran Confessions(3) and by the Roman Catholic Church’s Council of Trent. These condemnations are still valid today and thus have a church-dividing effect. 2. For the Lutheran tradition, the doctrine of justification has retained its special status. Consequently it has also from the beginning occupied an important place in the official Lutheran-Roman Catholic dialogue. 3. Special attention should be drawn to the following reports: ”The Gospel and the Church” (1972)(4) and ”Church and Justification” (1994) (5) by the Lutheran-Roman Catholic Joint Commission, ”Justification



232  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman by Faith” (1983)(6) of the Lutheran-Roman Catholic dialogue in the USA, and The Condemnations of the Reformation Era-Do They Still Divide? (1986)(7) by the Ecumenical Working Group of Protestant and Catholic theologians in Germany. Some of these dialogue reports have been officially received by the churches. An important example of such reception is the binding response of the United Evangelical-Lutheran Church of Germany to the Condemnations study, made in 1994 at the highest possible level of ecclesiastical recognition together with the other churches of the Evangelical Church in Germany.(8) 4. In their discussion of the doctrine of justification, all the dialogue reports as well as the responses show a high degree of agreement in their approaches and conclusions. The time has therefore come to take stock and to summarize the results of the dialogues on justification so that our churches may be informed about the overall results of this dialogue with the necessary accuracy and brevity, and thereby be enabled to make binding decisions. 5. The present Joint Declaration has this intention: namely, to show that on the basis of their dialogue the subscribing Lutheran churches and the Roman Catholic Church(9) are now able to articulate a common understanding of our justification by God’s grace through faith in Christ. It does not cover all that either church teaches about justification; it does encompass a consensus on basic truths of the doctrine of justification and shows that the remaining differences in its explication are no longer the occasion for doctrinal condemnations. 6. Our Declaration is not a new, independent presentation alongside the dialogue reports and documents to date, let alone a replacement of them. Rather, as the appendix of sources shows, it makes repeated reference to them and their arguments. 7. Like the dialogues themselves, this Joint Declaration rests on the conviction that in overcoming the earlier controversial questions and doctrinal condemnations, the churches neither take the condemnations lightly nor do they disavow their own past. On the contrary, this Declaration is shaped by the conviction that in their respective histories our churches have come to new insights. Developments



Lampiran —



233



have taken place which not only make possible, but also require the churches to examine the divisive questions and condemnations and see them in a new light. 1. Biblical Message of Justification 8. Our common way of listening to the Word of God in Scripture has led to such new insights. Together we hear the Gospel that ”God so loved the world that he gave his only Son, so that everyone who believes in him may not perish but may have eternal life” (John 3:16). This good news is set forth in Holy Scripture in various ways. In the Old Testament we listen to God’s Word about human sinfulness (Psalm 51:1-5; Daniel 9:5f.; Ecclesiastes/Qoheleth 8:9f.; Ezra 9:6f.) and human disobedience (Genesis 3:1-19; Nehemiah 9:16f., 26) as well as of God’s ”righteousness” (Isaiah 46:13; 51:5-8; 56:1 [cf. 53:11]; Jeremiah 9:24) and ”judgment” (Ecclesiastes/Qoheleth 12:14; Psalm 9:5f.; 76:7-9). 9. In the New Testament diverse treatments of ”righteousness” and ”justification” are found in the writings of Matthew (5:10; 6:33; 21:32), John (16:8-11), Hebrews (5:1-3; 10:37-38), and James (2:14-26). (10) In Paul’s letters also, the gift of salvation is described in various ways, among others: ”for freedom Christ has set us free” (Galatians 5:1-13; cf. Romans 6:7), ”reconciled to God” (2 Corinthians 5:18-21; cf. Romans 5:11), ”peace with God” (Romans 5:1), ”new creation” (2 Corinthians 5:17), ”alive to God in Christ Jesus” (Romans 6:11, 23), or ”sanctified in Christ Jesus” (cf. 1 Corinthians 1:2; 1:31; 2 Corinthians 1:1). Chief among these is the ”justification” of sinful human beings by God’s grace through faith (Romans 3:23-25), which came into particular prominence in the Reformation period. 10. Paul sets forth the Gospel as the power of God for salvation of the person who has fallen under the power of sin, as the message that proclaims that ”the righteousness of God is revealed through faith for faith” (Romans 1:16-17) and that grants ”justification” (Romans 3:21-31). He proclaims Christ as ”our righteousness” (1 Corinthians 1:30), applying to the risen Lord what Jeremiah proclaimed about God himself (23:6). In Christ’s death and resurrection all dimensions



234  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman of his saving work have their roots for he is ”our Lord, who was put to death for our trespasses and raised for our justification” (Romans 4:25). All human beings are in need of God’s righteousness, ”since all have sinned and fall short of the glory of God” (Romans 2:23; cf. Romans 1:18-3:22; 11:32; Galatians 3:22). In Galatians (3:6) and Romans (4:3-9), Paul understands Abraham’s faith (Genesis 15:6) as faith in the God who justifies the sinner and calls upon the testimony of the Old Testament to undergird his gospel that this righteousness will be reckoned to all who, like Abraham, trust in God’s promise. ”For the righteous will live by faith (Habakkuk 2:4; cf. Galatians 3:11; Romans 1:17). In Paul’s letters, God’s righteousness is also power for those who have faith (Romans 1:17; 2 Corinthians 5:21). In Christ he makes it their righteousness (2 Corinthians 5:21). Justification becomes ours through Christ Jesus ”whom God put forward as a sacrifice of atonement by his blood, effective through faith” (Romans 3:25; see 3:21-28). ”For by grace you have been saved through faith, and this is not your own doing; it is the gift of God--not the result of works” (Ephesians 2:8-9). 11. Justification is the forgiveness of sins (cf. Romans 3:23-25; Acts 13:39; Luke 18:14), liberation from the dominating power of sin and death (Romans 5:12-21) and from the curse of the law (Galatians 3:1014). It is acceptance into communion with God: already now, but then fully in God’s coming kingdom (Romans 5:1-2). It unites with Christ and with his death and resurrection (Romans 6:5). It occurs in the reception of the Holy Spirit in Baptism and incorporation into the one body (Romans 8:1-2, 9-11; 1 Corinthians 12:12-13). All this is from God alone, for Christ’s sake, by grace, through faith in ”the Gospel of God’s Son” (Romans 1:1-3). 12. The justified live by faith that comes from the Word of Christ (Romans 10:17) and is active through love (Galatians 5:6), the fruit of the Spirit (Galatians 5:22). But since the justified are assailed from within and without by powers and desires (Romans 8:35-39; Galatians 5:16-21) and fall into sin (1 John 1:8, 10), they must constantly hear God’s promises anew, confess their sins (1 John 1:9), participate in Christ’s body and blood, and be exhorted to live righteously in accord



Lampiran —



235



with the will of God. That is why the Apostle says to the justified: ”Work out your own salvation with fear and trembling; for it is God who is at work in you, enabling you both to will and to work for his good pleasure” (Philippians 2:12-13). But the good news remains: ”there is now no condemnation for those who are in Christ Jesus” (Romans 8:1), and in whom Christ lives (Galatians 2:20). Christ’s ”act of righteousness leads to justification and life for all” (Romans 5:18). 2. The Doctrine of Justification as Ecumenical Problem 13. Opposing interpretations and applications of the biblical message of justification were in the sixteenth century a principal cause of the division of the Western church and led as well to doctrinal condemnations. A common understanding of justification is therefore fundamental and indispensable to overcoming that division. By appropriating insights of recent biblical studies and drawing on modern investigations of the history of theology and dogma, the post-Vatican II ecumenical dialogue has led to a notable convergence concerning justification, with the result that this Joint Declaration is able to formulate a consensus on basic truths concerning the doctrine of justification. In light of this consensus, the corresponding doctrinal condemnations of the sixteenth century do not apply to today’s partner. 3. The Common Understanding of Justification 14. The Lutheran churches and the Roman Catholic Church have together listened to the good news proclaimed in Holy Scripture. This common listening, together with the theological conversations of recent years, has led to a shared understanding of justification. This encompasses a consensus in the basic truths; the differing explications in particular statements are compatible with it. 15. In faith we together hold the conviction that justification is the work of the triune God. The Father sent his Son into the world to save sinners. The foundation and presupposition of justification is the incarnation, death, and resurrection of Christ. Justification thus means that Christ himself is our righteousness, in which we share through the Holy Spirit in accord with the will of the Father. Together



236  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman we confess: By grace alone, in faith in Christ’s saving work and not because of any merit on our part, we are accepted by God and receive the Holy Spirit, who renews our hearts while equipping and calling us to good works.(11) 16. All people are called by God to salvation in Christ. Through Christ alone are we justified, when we receive this salvation in faith. Faith is itself God’s gift through the Holy Spirit who works through Word and Sacrament in the community of believers and who, at the same time, leads believers into that renewal of life which God will bring to completion in eternal life. 17. We also share the conviction that the message of justification directs us in a special way towards the heart of the New Testament witness to God’s saving action in Christ: it tells us that as sinners our new life is solely due to the forgiving and renewing mercy that God imparts as a gift and we receive in faith, and never can merit in any way. 18. Therefore the doctrine of justification, which takes up this message and explicates it, is more than just one part of Christian doctrine. It stands in an essential relation to all truths of faith, which are to be seen as internally related to each other. It is an indispensable criterion, which constantly serves to orient all the teaching and practice of our churches to Christ. When Lutherans emphasize the unique significance of this criterion, they do not deny the interrelation and significance of all truths of faith. When Catholics see themselves as bound by several criteria, they do not deny the special function of the message of justification. Lutherans and Catholics share the goal of confessing Christ, who is to be trusted above all things as the one Mediator (1 Timothy 2:5-6) through whom God in the Holy Spirit gives himself and pours out his renewing gifts [cf. Sources, section 3].



Lampiran —



237



4. Explicating the Common Understanding of Justification 4.1 Human Powerlessness and Sin in Relation to Justification 19. We confess together that all persons depend completely on the saving grace of God for their salvation. The freedom they possess in relation to persons and the things of this world is no freedom in relation to salvation, for as sinners they stand under God’s judgment and are incapable of turning by themselves to God to seek deliverance, of meriting their justification before God, or of attaining salvation by their own abilities. Justification takes place solely by God’s grace. Because Catholics and Lutherans confess this together, it is true to say: 20. When Catholics say that persons ”cooperate” in preparing for and accepting justification by consenting to God’s justifying action, they see such personal consent as itself an effect of grace, not as an action arising from innate human abilities. 21. According to Lutheran teaching, human beings are incapable of cooperating in their salvation, because as sinners they actively oppose God and his saving action. Lutherans do not deny that a person can reject the working of grace. When they emphasize that a person can only receive (mere passive) justification, they mean thereby to exclude any possibility of contributing to one’s own justification, but do not deny that believers are fully involved personally in their faith, which is effected by God’s Word. 4.2 Justification as Forgiveness of Sins and Making Righteous 22. We confess together that God forgives sin by grace and at the same time frees human beings from sin’s enslaving power and imparts the gift of new life in Christ. When persons come by faith to share in Christ, God no longer imputes to them their sin and through the Holy Spirit effects in them an active love. These two aspects of God’s gracious action are not to be separated, for persons are by faith united with Christ, who in his person is our righteousness (1 Corinthians 1:30): both the forgiveness of sin and the saving presence



238  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman of God himself. Because Catholics and Lutherans confess this together, it is true to say that: 23. When Lutherans emphasize that the righteousness of Christ is our righteousness, their intention is above all to insist that the sinner is granted righteousness before God in Christ through the declaration of forgiveness and that only in union with Christ is one’s life renewed. When they stress that God’s grace is forgiving love (”the favor of God”(12)), they do not thereby deny the renewal of the Christian’s life. They intend rather to express that justification remains free from human cooperation and is not dependent on the life-renewing effects of grace in human beings. 24. When Catholics emphasize the renewal of the interior person through the reception of grace imparted as a gift to the believer,(13) they wish to insist that God’s forgiving grace always brings with it a gift of new life, which in the Holy Spirit becomes effective in active love. They do not thereby deny that God’s gift of grace in justification remains independent of human cooperation [cf. Sources, section 4.2]. 4.3 Justification by Faith and through Grace 25. We confess together that sinners are justified by faith in the saving action of God in Christ. By the action of the Holy Spirit in Baptism, they are granted the gift of salvation, which lays the basis for the whole Christian life. They place their trust in God’s gracious promise by justifying faith, which includes hope in God and love for him. Such a faith is active in love and thus the Christian cannot and should not remain without works. But whatever in the justified precedes or follows the free gift of faith is neither the basis of justification nor merits it. 26. According to Lutheran understanding, God justifies sinners in faith alone (sola fide). In faith they place their trust wholly in their Creator and Redeemer and thus live in communion with him. God himself effects faith as he brings forth such trust by his creative Word. Because God’s act is a new creation, it affects all dimensions of the person and leads to a life in hope and love. In the doctrine of ”justification by faith alone,” a distinction but not a separation is



Lampiran —



239



made between justification itself and the renewal of one’s way of life that necessarily follows from justification and without which faith does not exist. Thereby the basis is indicated from which the renewal of life proceeds, for it comes forth from the love of God imparted to the person in justification. Justification and renewal are joined in Christ, who is present in faith. 27. The Catholic understanding also sees faith as fundamental in justification. For without faith, no justification can take place. Persons are justified through Baptism as hearers of the Word and believers in it. The justification of sinners is forgiveness of sins and being made righteous by justifying grace, which makes us children of God. In justification the righteous receive from Christ faith, hope, and love and are thereby taken into communion with him.(14) This new personal relation to God is grounded totally on God’s graciousness and remains constantly dependent on the salvific and creative working of this gracious God, who remains true to himself, so that one can rely upon him. Thus justifying grace never becomes a human possession to which one could appeal over against God. While Catholic teaching emphasizes the renewal of life by justifying grace, this renewal in faith, hope, and love is always dependent on God’s unfathomable grace and contributes nothing to justification about which one could boast before God (Romans 3:27). [See Sources, section 4.3.] 4.4 The Justified as Sinner 28. We confess together that in Baptism the Holy Spirit unites one with Christ, justifies, and truly renews the person. But the justified must all through life constantly look to God’s unconditional justifying grace. They also are continuously exposed to the power of sin still pressing its attacks (cf. Romans 6:12-14) and are not exempt from a lifelong struggle against the contradiction to God within the selfish desires of the old Adam (cf. Galatians 5:16; Romans 7:7-10). The justified also must ask God daily for forgiveness as in the Lord’s Prayer (Matthew 6:12; 1 John 1:9), are ever again called to conversion and penance, and are ever again granted forgiveness.



240  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman 29. Lutherans understand this condition of the Christian as a being ”at the same time righteous and sinner.” Believers are totally righteous, in that God forgives their sins through Word and Sacrament and grants the righteousness of Christ which they appropriate in faith. In Christ, they are made just before God. Looking at themselves through the law, however, they recognize that they remain also totally sinners. Sin still lives in them (1 John 1:8; Romans 7:17, 20), for they repeatedly turn to false gods and do not love God with that undivided love which God requires as their Creator (Deuteronomy 6:5; Matthew 22:36-40 pr.). This contradiction to God is as such truly sin. Nevertheless, the enslaving power of sin is broken on the basis of the merit of Christ. It no longer is a sin that ”rules” the Christian for it is itself ”ruled” by Christ with whom the justified are bound in faith. In this life, then, Christians can in part lead a just life. Despite sin, the Christian is no longer separated from God, because in the daily return to Baptism, the person who has been born anew by Baptism and the Holy Spirit has this sin forgiven. Thus this sin no longer brings damnation and eternal death.(15) Thus, when Lutherans say that justified persons are also sinners and that their opposition to God is truly sin, they do not deny that, despite this sin, they are not separated from God and that this sin is a ”ruled” sin. In these affirmations, they are in agreement with Roman Catholics, despite the difference in understanding sin in the justified. 30. Catholics hold that the grace of Jesus Christ imparted in Baptism takes away all that is sin ”in the proper sense” and that is ”worthy of damnation” (Romans 8:1).(16) There does, however, remain in the person an inclination (concupiscence) which comes from sin and presses toward sin. Since, according to Catholic conviction, human sin always involves a personal element and since this element is lacking in this inclination, Catholics do not see this inclination as sin in an authentic sense. They do not thereby deny that this inclination does not correspond to God’s original design for humanity and that it is objectively in contradiction to God and remains one’s enemy in lifelong struggle. Grateful for deliverance by Christ, they underscore that this



Lampiran —



241



inclination in contradiction to God does not merit the punishment of eternal death(17) and does not separate the justified person from God. But when individuals voluntarily separate themselves from God, it is not enough to return to observing the commandments, for they must receive pardon and peace in the Sacrament of Reconciliation through the word of forgiveness imparted to them in virtue of God’s reconciling work in Christ. [See Sources, section 4.4.] 4.5 Law and Gospel 31. We confess together that persons are justified by faith in the Gospel ”apart from works prescribed by the Law” (Romans 3:28). Christ has fulfilled the Law and by his death and resurrection has overcome it as a way to salvation. We also confess that God’s commandments retain their validity for the justified and that Christ has by his teaching and example expressed God’s will which is a standard for the conduct of the justified also. 32. Lutherans state that the distinction and right ordering of Law and Gospel is essential for the understanding of justification. In its theological use, the Law is demand and accusation. Throughout their lives, all persons, Christians also, in that they are sinners, stand under this accusation, which uncovers their sin so that, in faith in the Gospel, they will turn unreservedly to the mercy of God in Christ, which alone justifies them. 33. Because the Law as a way to salvation has been fulfilled and overcome through the Gospel, Catholics can say that Christ is not a lawgiver in the manner of Moses. When Catholics emphasize that the righteous are bound to observe God’s commandments, they do not thereby deny that through Jesus Christ God has mercifully promised to his children the grace of eternal life.(18) [See Sources, section 4.5.] 4.6 Assurance of Salvation 34. We confess together that the faithful can rely on the mercy and promises of God. In spite of their own weakness and the manifold threats to their faith, on the strength of Christ’s death and resurrection



242  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman they can build on the effective promise of God’s grace in Word and Sacrament and so be sure of this grace. 35. This was emphasized in a particular way by the Reformers: in the midst of temptation, believers should not look to themselves but look solely to Christ and trust only him. In trust in God’s promise they are assured of their salvation, but are never secure looking at themselves. 36. Catholics can share the concern of the Reformers to ground faith in the objective reality of Christ’s promise, to look away from one’s own experience, and to trust in Christ’s forgiving Word alone (cf. Matthew 16:19; 18:18). With the Second Vatican Council, Catholics state: to have faith is to entrust oneself totally to God,(19) who liberates us from the darkness of sin and death and awakens us to eternal life.(20) In this sense, one cannot believe in God and at the same time consider the divine promise untrustworthy. No one may doubt God’s mercy and Christ’s merit. Every person, however, may be concerned about his salvation when he looks upon his own weaknesses and shortcomings. Recognizing his own failures, however, the believer may yet be certain that God intends his salvation. [See Sources, section 4.6.] 4.7 The Good Works of the Justified 37. We confess together that good works--a Christian life lived in faith, hope, and love--follow justification and are its fruits. When the justified live in Christ and act in the grace they receive, they bring forth, in biblical terms, good fruit. Since Christians struggle against sin their entire lives, this consequence of justification is also for them an obligation they must fulfill. Thus both Jesus and the apostolic Scriptures admonish Christians to bring forth the works of love. 38. According to Catholic understanding, good works, made possible by grace and the working of the Holy Spirit, contribute to growth in grace, so that the righteousness that comes from God is preserved and communion with Christ is deepened. When Catholics affirm the ”meritorious” character of good works, they wish to say that, according to the biblical witness, a reward in heaven is promised



Lampiran —



243



to these works. Their intention is to emphasize the responsibility of persons for their actions, not to contest the character of those works as gifts, or far less to deny that justification always remains the unmerited gift of grace. 39. The concept of a preservation of grace and a growth in grace and faith is also held by Lutherans. They do emphasize that righteousness as acceptance by God and sharing in the righteousness of Christ is always complete. At the same time, they state that there can be growth in its effects in Christian living. When they view the good works of Christians as the fruits and signs of justification and not as one’s own ”merits,” they nevertheless also understand eternal life in accord with the New Testament as unmerited ”reward” in the sense of the fulfillment of God’s promise to the believer. [See Sources, section 4.7.] 5. The Significance and Scope of the Consensus Reached 40. The understanding of the doctrine of justification set forth in this Declaration shows that a consensus in basic truths of the doctrine of justification exists between Lutherans and Catholics. In light of this consensus the remaining differences of language, theological elaboration, and emphasis in the understanding of justification described in paragraphs 18 to 39 are acceptable. Therefore the Lutheran and the Catholic explications of justification are in their difference open to one another and do not destroy the consensus regarding basic truths. 41. Thus the doctrinal condemnations of the 16th century, in so far as they relate to the doctrine of justification, appear in a new light: The teaching of the Lutheran churches presented in this Declaration does not fall under the condemnations from the Council of Trent. The condemnations in the Lutheran Confessions do not apply to the teaching of the Roman Catholic Church presented in this Declaration. 42. Nothing is thereby taken away from the seriousness of the condemnations related to the doctrine of justification. Some were not



244  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman simply pointless. They remain for us ”salutary warnings” to which we must attend in our teaching and practice.(21) 43. Our consensus in basic truths of the doctrine of justification must come to influence the life and teachings of our churches. Here it must prove itself. In this respect, there are still questions of varying importance which need further clarification. These include, among other topics, the relationship between the Word of God and church doctrine, as well as ecclesiology, authority in the church, ministry, the sacraments, and the relation between justification and social ethics. We are convinced that the consensus we have reached offers a solid basis for this clarification. The Lutheran churches and the Roman Catholic Church will continue to strive together to deepen this common understanding of justification and to make it bear fruit in the life and teaching of the churches. 44. We give thanks to the Lord for this decisive step forward on the way to overcoming the division of the church. We ask the Holy Spirit to lead us further toward that visible unity which is Christ’s will. Endnotes: 1. The Smalcald Articles, II,1; Book of Concord, 292. 2. ”Rector et judex super omnia genera doctrinarum,” Weimar Edition of Luther’s Works (WA), 39, I, 205. 3. It should be noted that some Lutheran churches include only the Augsburg Confession and Luther’s Small Catechism among their binding confessions. These texts contain no condemnations about justification in relation to the Roman Catholic Church. 4. Report of the Joint Lutheran-Roman Catholic Study Commission, published in Growth in Agreement (New York: Geneva, 1984), pages 168-189. 5. Published by the Lutheran World Federation (Geneva, 1994). 6. Lutherans and Catholics in Dialogue VII (Minneapolis, 1985). 7. Minneapolis, 1990. 8. ”Gemeinsame Stellungnahme der Arnoldshainer Konferenz, der Vereinigten Kirche und des Deutschen Nationalkomitees des Lutherischen Weltbundes zum Dokument ‘Lehrverurteilungen-- kirchentrennend?’,” Okumenische Rundschau 44 (1995): 99-102; including the position papers which underlie this resolution, cf. Lehrverurteilungen im Gesprach, Die ersten offiziellen Stellungnahmen aus den evangelischen Kirchen in Deutschland (Gottingen: Vandenhoeck & Ruprecht, 1993). 9. The word, „church,” is used in this Declaration to reflect the self-understandings of the participating churches, without intending to resolve all the ecclesiological issues related to this term. 10. Cf. „Malta Report,” paragraphs 26-30; „Justification by Faith,” paragraphs 122-147. At the request of the U.S. dialogue on justification, the non-Pauline New Testament texts were addressed in Righteousness in the New Testament, by John Reumann, with responses by Joseph A. Fitzmyer and Jerome D. Quinn (Philadelphia; New York: 1982), pages 124-180. The results



Lampiran —



245



of this study were summarized in the dialogue report ”Justification by Faith” in paragraphs 139-143. 11. ”All Under One Christ,” paragraph 14, in Growth in Agreement, pages 241-247. 12. Cf. Luther’s Works, American Edition 32:227; Weimar Edition 8:106. 13. Cf. Denzinger-Schönmetzer, Enchiridion Symbolorum 1528. 14. Cf. Denzinger-Schönmetzer, Enchiridion Symbolorum 1530. 15. Cf. Apology II:38-45; Book of Concord, 105f. 16. Cf. Denzinger-Schönmetzer, Enchiridion Symbolorum 1515. 17. Cf. Denzinger-Schönmetzer, Enchiridion Symbolorum 1515. 18. Cf. Denzinger-Schönmetzer, Enchiridion Symbolorum 1545. 19. Cf. Dei Verbum 5. 20. Cf. Dei Verbum 4. 21. Condemnations of the Reformation Era, 27.



246  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman Lampiran 2 PENGAKUAN IMAN UNITED CHURCH OF CANADA We are not alone, we live in God’s world We believe in God: who has created and is creating, who has come in Jesus, the Word made flesh, to reconcile and make new, who works in us and others by the Spirit. We trust in God. We are called to the Church: to celeberate God’s presence, to love and serve others, to seek justice and resist evil, to proclaim Jesus, crucified and risen, our judge and our hope. In life, in death, in life beyond death, God is with us. We are not alone. Thanks be to God. Amen. Kita tidak sendirian, kita hidup di dunia ciptaan Allah. Kita percaya kepada Allah: yang telah menciptakan dan sedang menciptakan, yang telah datang di dalam diri Yesus,



Lampiran —



247



Sabda yang menjadi daging, Untuk mendamaikan dan memperbarui, yang bekerja dalam diri kita dan orang lain, melalui Roh. Kita mempercayakan diri kepada Allah. Kita dipanggil berhimpun menjadi Gereja: untuk merayakan kehadiran Allah, untuk mengasihi dan melayani orang lain, untuk mengusahakan keadilan dan melawan kejahatan, untuk memberitakan Yesus, yang disalib dan dibangkitkan, hakim kita dan pengharapan kita. Dalam hidup, dalam kematian, dalam hidup sesudah kematian, Allah beserta kita. Kita tidak sendirian. Syukur kepada Allah. Amin.



249



CURRICULUM VITAE RAMLI SN HARAHAP adalah pendeta Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA). Menyelesaikan studi Sarjana Teologi (S1) di Sekolah Tinggi Teologi HKBP (STT HKBP) Pematangsiantar 1997, dan melanjutkan studi pascasarjana Magister Teologi (S2) di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta 2009. Saat ini sedang menjalani program Doktoral Teologi (S3) di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta. Lahir di desa kecil Parurean, 25 Desesember 1972, dan telah menikah dengan Pdt.Tuty Zastini Hutabarat,S.Th. Dikaruniai Tuhan dua orang anak, Fidei Felix Depensor Harahap (kls 8 SMP N 4 Yogyakarta) dan Gladys Letitia Harahap (kls 3 SD Joannes Bosco Yogyakarta). Penulis pada majalah GKPA Sioban Barita, juga penulis pada Renungan Harian Shalom HKBP Kernolong Jakarta. Menjadi editor untuk beberapa buku, Bunga Rampai: Perempuan GKPA (2010), Bunga Rampai: Seratus Lima Puluh Tahun Kekristenan di Luat Angkola (2011). Menulis artikel dalam buku, 500 Years of Reformation: Contibutions for the Reformation of the (Asian) Churches Today (2014), Merajut Kerukunan Menuai Kedamaian (2014). Mengikuti beberapa pelatihan, seperti: Public Relations Workshop In GKJWBalewiyata, Malang pada AgustusSeptember 1999, Training For Mission In Asia In Chennai, India pada Nopember-Desember 2001, UEM Asia Workshop On Mission diSTTHKBP P.Siantar pada April 2004. Dan menjadi utusan pemuda GKPA untuk mengikuti Youth Assembly di Windhoek, Namibia 2000.