Dzahir Dan Takwil [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Nurul
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH ILMU FIQIH



“DZAHIR DAN TAKWIL” Dosen Pengampu : Drs. H. Andi Achruh, M.Pd.I



Disusun Oleh : 1. Wilda



(20500118001)



2. Rosita



(20500118031)



Kelas / Semester : 1.2 / 2 ( Dua ) FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI 2019



KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT Tuhan Semesta Alam atas segala karunia nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya. Makalah yang berjudul “Dzahir dqan Takwil” ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Fiqih yang diamanahkan kepada kelompok kami. Makalah ini berisi tentang apa itu dzahir dan takwil. Dalam penyusunannya penulis melibatkan berbagai pihak, baik dari dalam kampus maupun luar kampus. Oleh karena, itu penulis mengucapkan banyak terima kasih atas segala dukungan yang diberikan untuk menyelesaikan makalah ini. Meski telah disusun secara maksimal oleh penulis, akan tetapi penulis sebagai manusia biasa sangat banyak kekurangannya dan masih jauh dari kata sempurna. Karenanya penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Besar harapan penulis makalah ini dapat menjadi inspirasi atau sarana pembantu untuk mengetahui apa itu dzahir dan takwil. Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga para pembaca dapat mengambil manfaat dan pelajaran dari makalah ini.



Samata, 8 April 2019



Penyusun



DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR…………….....................................................................i DAFTAR ISI………………………...................................................................ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang…………….....................................................................1 B. Rumusan Masalah……………................................................................2 C. Tujuan Penulisan…………......................................................................2 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian dzahir.....................................................................................3 B. Hukum dzahir..........................................................................................5 C. Pengertian takwil.....................................................................................6 D. Syarat-syarat takwil ................................................................................8 E. Ruang lingkup takwil…………………………………………………...9 F. Macam-macam takwil…………………………………………………10 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan…….....................................................................................11 DAFTAR PUSTAKA………….......................................................................12



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dari awal hingga akhir, Al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu ba'dha. Dari segi kejelasan, ada empat tingkat pengertian. Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup jelas bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat, hanya Allah yang mengetahui maksudnya. Dalam al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitab yang sudah mempunyai kekuatan hokum tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa harus menjadi landasan pengertian dan pedoman pengembangan berbagai



pengertian,



sejalan



dengan



sistematisasi



interpretasi dalam ilmu hukum -hubungan antara ketentuan undang-undang yang



hendak



ditafsirkan



dengan ketentuan-ketentuan lainnya dari



undang-undang tersebut maupun undang-undang lainnya yang sejenis, yang harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya. Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang mempunyai unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir memberi tempat yang



cukup



tinggi



terhadap pengertian



ayat al-Qur'an. Dalam konteks



sejarah yang menyangkut interpretasi itulah kita membicarakan masalah zahirtakwil.



B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian dzahir? 2. Bagaimana hukum dzahir? 3. Apa pengertian takwil? 4. Apa syarat-syarat takwil? 5. Apa saja ruang lingkup takwil? 6. Sebutkan macam-macam takwil! C. Tujuan 1. Untuk mengetahui pengertian dzahir 2. Untuk mengetahui hukum dzahir 3. Untuk mengetahui pengertian takwil 4. Untuk mengetahui syarat-syarat takwil 5. Untuk mengetahui ruang lingkup takwil 6. Untuk mengetahui macam-macam takwil



BAB II PEMBAHASAN A. Dzahir Dalam memberikan definisi terhadap lafadz dzahir terdapat rumusan yang berbeda di kalangan ulama ushul. 1. Dzahir artinya menurut bahasa adalah terang, jelas, nyata, dan lain-lain. 2. Menurut istilah ulama Ushul dzahir ialah nash yang dapat menunjukkan makna yang dimaksud dengan bentuk nash itu sendiri, tanpa memperhatikan pemahaman yang dimaksud daripadanya dari faktor luar atau bukan yang dimaksud menurut redaksi asal kata, dan yang mengandung takwil. Maka di ketika yang dimaksud itu bisa dipahami dari sebuah kalimat dengan tanpa memerlukan qorinah, dan bukan tujuan asal redaksi katanya, maka kalimat itu dianggap jelas maksudnya. 3. Menurut ulama ushul fiqh dari mazhab Hanafi mendefinisikan Zhahir sebagai: suatu lafal yang menunjukkan suatu makna yang jelas dan segera dapat ditangkap akal secara langsung melalui lafal itu sendiri, tanpa ketergantungan pada qarinah (sesuatu yang menunjukkan maksud kalimat) yang bersifat khariji (eksternal), perenungan, penalaran dan analisis, akan tetapi makna tersebut tidak menjadi



tujuan pokok dari susunan



kalimatnya. Di samping itu, lafal tersebut mengandung kemungkinan kalimatnya untuk ditakwilkan, di takhsishkan, atau di nasakhan. 4. Al-Sarkhisi secara sederhana memberi definisi: Dari apa-apa yang didengar meskipun tanpa pemahaman dapat diketahui apa sebenarnya yang dimaksud oleh pembicara dengan lafadz itu. 5. Al-‘amidi memberikan definisi: Lafadz dzahir adalah sesuatu yang menunjuk kepada makna yang dimaksud dengan berdasarkan apa yang digunakan oleh bahsa menurut asal dan kebiasaannya, serta ada kemungkinan



dipahami



kemungkinan yang lemah



dari



lafadz



itu



adanya



maksud



dengan



6. Qadhi Abi Ya’la merumuskan definisi: Lafadz yang mengandung dua kemungkinan makna, namun salah satu diantara keduanya lebih jelas. 7. Definisi yang tampaknya lebih sempurna dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf: Lafadz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan apa yang dimaksud tanpa tergantung pemahamannya kepada lafadz lain, tetapi bukan maksud itu yang dituju dalam ungkapan, serta ada kemungkinan untuk di ta’wilkan (dipahami dengan maksud lain). Misalnya, firman Allah (QS Al-Baqarah [2]: 275) : ‫وأحل هللا البيع وحرم الربوا‬ “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS Al-Baqarah [2]: 275) Makna yang zhahir dari ayat tersebut ialah: kehalalan jual beli dan keharaman riba, karena inilah yang segera tertangkap oleh akal; akan tetapi sebenarnya makna tersebut tidak menjadi maksud ayat itu. Maksud pokok yang sebenarnya adalah menolak pernyataan orang-orang yang mempersamakan antara jual beli dan riba sebagaimana terlihat pada kalimat sebelumnya: “Hal itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba…” Selanjutnya, masing-masing dari jual beli dan riba merupakan lafal yang umum yang masih mungkin untuk di takhsishkan dan boleh jadi di nashkan pada masa kerasulan Nabi Saw. Contohnya zhahir lainnya ialah firman Allah Swt: “Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka dengan luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. (Q.S Al-Maidah [5]:45).



Ayat tersebut dikemukakan dengan maksud mengancam kaum Yahudi yang meninggalkan hukum kitab Taurat tentang hukuman qishah. akan tetapi, zhahir ayat tersebut menjelaskan kewajiban menjalankan hukum qishah dalam Al-Quran. Sebab Al-Quran menegaskannya sebagai hukum Allah, yang jika dilanggar, maka pelanggarannya termasuk kategori orang yang zalim. Selanjutnya hukum qishash yang terdapat dalam ayat tersebut bersifat umum yang selanjutnya ditakhsishkan, misalnya, harus ada unsur kesenjangan dan kezaliman dalam tindak pidana itu. Contoh lain lagi, firman Allah (Q.S. Al-Hasyr [59]: 7). “….Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah…” Zhahir ayat tersebut menunjukkan kewajiban mentaati Rasul dalam segala hal yang diperintahkannya dan segala hal yang dilarangnya. Makna inilah yang segala hal yang diperintahkannya dan segala hal yang dilarangnya. Makna inilah yang segera tertangkap akal dari ayat itu, akan tetapi makna ini tidak menjadi tujuan utama dari susunan kalimatnya. Maksud pokok ayat itu adalah: harta rampasan yang diberikan oleh Rasul pada waktu pembagian supaya diterima, dan apa yang dilarangnya supaya ditinggalkan, ayat tersebut juga bersifat umum yang mempunyai kemungkinan batasan-batasan tertentu yang lebih rinci. Hukum zhahir: Hukum yang terdapat pada makna zhahir suatu nash, baik Al-Qur’ancmaupun hadis ialah; bahwa lafal itu wajib diamalkan sesuai dengan tuntunan makna yang terdapat di dalamnya sebgaimana adanya, sehingga ada dalil lain



yang



menjelaskannya,



mentakwilkannya,



mentasksishkannya,



atau



menasakhannya. Jika lafalnya bersifat umum, maka ia tetap berlaku umum sehingga ada dalil yang mentakhsishkannya. Misalnya, keumuman pembolehan jual beli yang telah di takhsishkan dengan larangan Rasulullah Saw., Terdapat jual beli yang mengandung unsur gharar (penipuan).



Jika lafalnya bersifat mutlak, maka ia tetap berlaku sesuai dengan kemutlakannya, sampai ada dalil yang membatasi kemutlakan itu, seperti pembatasan kemutlakan firman Allah Swt.: “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.: (Q.S An-Nisa [4]: 24). Ayat tersebut berkenaan dengan menikahi wanita yang tidak diharamkan dengan batas jumlah maksimal empat orang istri. Kemudian Hadis Nabi Saw. Melarang menyatukan sebagai istri antara seorang wanita dengan bibinya. Pendeknya, pada prinspinya lafal zhahir berlaku sebagimana adanya, kecuali apabila ada dalil yang memalingkannya dari pengertiannya kepada pengertian lain sebagaimana lafal khash yang hakiki memiliki kemungkinan untuk dikendaki makna majazinya. Akan tetapi, unutuk itu, diperlukan adanya dukungan dalil atau beberapa syarat yang terdapat dalam takwil. Demikian pula hukum yang terdapat pada lafal yang zhahir tetap berlaku sepanjang tidak adil yang menasakhkannya. Penasakhan ini hanya terjadi pada masa pembentukan hukum Islam, yaitu masa kerasulan. Kemudian sebagai gantinya disyariatkan hukum lainnya dengan berdasarkan nash Al-Qur’an atau Sunnah. Biasanya hal ini berkenan dengan hukum furu’iyyah (kasuistis) yang bersifat juz’iyyah yang dapat mengalami universal dan perubahan karena perubahan kemaslahatan dan dapat dinasakhkan, bukan hukum yang bersifat universal dan kuliyyah dan berlaku sepanjang zaman. B. Takwil 1. Pengertian Takwil Menurut bahasa, ta’wil berasal dari kata ‘ala yaulu, artinya kembali. “Takwil dalam bahasa Arab berarti: menafsirkan.” Sedangkan takwil menurut istilah ulama ushul fiqh, antara lain Imam Syaukani yang dikutip oleh Khairul Umam dan H.A. Achyar Aminuddin, 2001:21: “Takwil ialah memalingkan suatu kalimat dari makna zahirnya kepada arti yang lain yang lebih sesuai dengan lasan yang kuat, sehingga arti yang lain inilah yang dianggap lebih kuat.”



Takwil adlah yang sahih dan dapat diterima, dan ada pula yang batal dan ditolak. Takwil yang sahih ialah: memalingkan suatu lafal dari makna zahirnya kepada maknanya yang lain yang tidak zahir, namun masih yang batal merupakan takwil atau pemalingan suatu lafal dari maknanya yang zahir kepada makna yang tidak dimungkinkannya; atau masih dimungkinkannya, namun tidak didukung oleh dalil. Takwil yang zahih haruslah didukung dalil yang menghendaki pentakwilan lafal itu. Sebab pada dasarnya, tidak ada takwil, dan seseorang yang wajib mengamalkan makna zahirnya. Di antara contoh takwil adalah taqyid (membatasi) lafal yang mutlak, mentakhsishkan lafal yang umum dan memalingkan dari keumumannya, pengalihan dari makna hakiki suatu lafal kepada makna majazi (kaisan), karena ada dalil yang menghendakinya, atau ada qarinah yang dapat diterima, sebab masih dimungkinkannya atau dikandungnya. Seperti lafaz “yadun” dari firman Allah yang berbunyi : Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan (kami) dan sesungguhnya kami benar-benar kuasa (QS. Adz Dzaariyaat : 41) Lafaz “yadun” pada ayat tersebut, makna dzahir-nya adalah “tangan” sebagaimana keterangan diatas. Tetapi oleh para ulama, lafaz “yadun” atau “aidin” pada ayat tersebut diartikan “tangan” berarti mempersamakan Allah dengan makhluk, sedang Allah tidak menyerupai sesuatu pun sebagaimana difirmankan dalam Al-Quran yang berbunyi :



Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. (QS. as-Syura : 11) Oleh karena itu maka ditakwilkan arti “tangan” menjadi “kekuasaan”. Perubahan arti yang demikianlah yang dinamakan takwil.



2.



Syarat-syarat Takwil Takwil yang Sahih mempunyai beberapa syarat sebagai berikut: Pertama, lafalnya harus menerima untuk ditakwilkan, seperti lafal yang



zahir dan nash menurut Mazhab Hanafi, bukan mufassar dan bukan pula muhkam. Pemalingan lafal yang umum kepada sebagian satuan-satuannya yang didukung oleh dalil merupakan pentakwilan yang sahih. Sebab lafal yang umum mempunyai kemungkinan makna yang khusus. Pemalingan lafal yang mutlak dari kemutlakannya kepada makna yang terbatas dan disertai dalil adalah takwil yang sahih, sebab lafal yang mutlak mempunyai makna majazi berdasarkan suatu qarinah juga merupakan takwil yang sahih. Kedua, harus ada hal yang mendorong untuk melakukan takwil, misalnya: zahir suatu lafal bertentangan dengan kaidah dan prinsip umum yang diketahui berasal dari agama secara pasti, atau bertentangan dengan nash yang lebih kuat sanadnya, seperti hadis ahad bertentangan dengan nash Al-Qur’an, sementara hadis itu dapat menerima untuk ditakwilkan; atau suatu nash bertentangan dengan nash lain yang lebih kuat dalalahnya, seperti antara zahir dan nash, atau ntara nash dan mufassar. Dalam beberapa contoh tersebut, takwil harus dilakukan. Ketiga, harus ada dalil yang sahih yang menjadi dasar untuk melakukan takwil, yang diambil dari hal-hal yang mendorong untuk ditakwil. Dalil ini harus lebih kuat dari makna zahir suatu lafal, karena pada dasarnya tidak ada takwil dan harus mengamalkan makna yang zahir. Misalnya: lafal yang umum tidak boleh dibatasi untuk sebagian satuan-satuannya kecuali berdasarkan dalil. Lafal yang mutlak tidak boleh dipalingkan dari kemutlakannya kepada pembatasan tertentu kecuali didasarkan dalil. Zahir perintah adalah wajib dan tidak boleh dipalingkan dari kewajiban kecuali ada dalil yang menghendaki pemalingan kepada selain wajib. Keempat, lafal itu harus mengandung kemungkinan terhadap makna yang dirujuk dalam takwil, meskipun kemungkinan itu lemah (marjuh) atau jauh. Maka itu tidak boleh sepenuhnya asing bagi lafal yang ditakwilkan itu.



C. Ruang Lingkup Takwil Bidang yang menjadi garapan takwil ada dua kelompok, yaitu: Pertama, nash-nash baik Al-Qur’an dan Hadis yang mutayabih yang umumnya berkaitan dengan sifat-sifat Allah yang mengesankan keserupaan dengan makhluk-Nya, perbuatan-perbuatan Allah yang mengesankan tajsim (Allah berisim) dan mengambil ruang, dan potongan-potonganhuruf yang terdapat pada awal surat. Berkenaan dengan nash-nash semacam ini, ulama berbeda pendapat dan dapat dikelompokkan pada dua aliran, yaitu: Aliran Salaf dan Aliran Khalaf. Aliran Salaf menolak takwil terhadap nash-nash yang mutasyabih disertai iktikad terhadap kebenaran maksud ilahi dan Nabi menyerahkan kepada kehendak Allah, tanpa mencari lebih jauh maksudnya. Dasarnya ialah firman Allah Swt.: “Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu, di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah, dan orang-orang yang mendalam



ilmunya



berkata:



“Kami



beriman



kepada



ayat-ayat



yang



mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak daoat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Q.S Ali-Imran [3]:7). Dalam pandangan mazhab salaf ini, misalnya, Allah mempunyai wajah, tangan, dan mata sebagaimana banyak ditunjukkan oleh ayat-ayat Al-Qur’an da Hadis Nabi, akan tetapi kesemuanya itu tidak sama dengan yang dimiliki oleh makhluk ciptaan-Nya, Allah, misalnya, duduk di atas ‘arasy, naik dan turun dari langit, dan melakukan berbagai perbuatan lain yang harus dinyatakan dalam AlQur’an dan Hadis Nai, akan tetapi perbuatan tersebut tidak sama dengan perbuatan makhluk-Nya. Dalam hal ini, tidak diketahui bagaimana yang



sebenarnya, karena hanya Allah sendirilah yang mengetahuinya, dan manusia hanya mengimaninya. Kedua, takwil berkaitan dengan ayat-ayat dan hadis-hadis yang khusus berkaitan dengan hukum taklifi. Motif yang mendorong takwil ialah upaya menyelaraskan dan menyesuaikan hukum yang terdapat dalam ayat-ayat dan hadis-hadis yang secara lahiriah terkesan ada pertentangan. Dengan demikian, takwil merupakan upaya mengenalkan dua atau beberapa nash yang saling bertentangan itu. Dalam penafsiran nash terdapat ketentuan: I’mal al-lafz awla min ilhamih (mengamalkan suatu lafal lebih baik daripada menelantarkannya). Tuntunan dari kaidah tersebut, salah satu nash harus ditakwilkan agar semua atau dua nash dapat dipergunakan. D. Macam-macam Takwil Takwil ada dua macam, yaitu: Pertama, takwil yang jauh dari pemahaman, yaitu: takwil yang dalam penetapannya tidak cukup dengan dalil atau argument yang sederhana. Kedua, takwil yang cukup dekat dengan pemahaman, yaitu: takwil yang penetapannya cukup dengan dalil atau argument yang sederhana.



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dzahir ialah nash yang dapat menunjukkan makna yang dimaksud dengan bentuk nash itu sendiri, tanpa memperhatikan pemahaman yang dimaksud daripadanya dari faktor luar atau bukan yang dimaksud menurut redaksi asal kata, dan yang mengandung takwil. Sedangkan takwil ialah memalingkan suatu kalimat dari makna zahirnya kepada arti yang lain yang lebih sesuai dengan lasan yang kuat, sehingga arti yang lain inilah yang dianggap lebih kuat.



DAFTAR PUSTAKA Djalil Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana Khallaf Abdul Wahhab. 1998. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Purwokerto: Rajawali Pers. Misbahuddin. 2014. Ushul Fiqh. Makassar: Alauddin University Press Sanusi Ahmad, Sohari. 2015. Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada