Ebp KMB k.6 Perbaikan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TREND DAN ISU, EVIDANCE BASED PRACTICE PADA SISTEM ENDOKRIN, IMUNOLOGI, PENCERNAAN, DAN PERKEMIHAN



MATA KULIAH : KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH



DISUSUN OLEH: KELOMPOK 6 ALYSKA FADHILATUL RIDHA, NIM : 142012002 DESKI YULIA, NIM : 142012016



PROGRAM SARJANA KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH TANJUNGPINANG 2021



KATA PENGANTAR Assalamualaikum wr.wb Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan banyak nikmatnya kepada penulis sehingga atas berkat dan rahmat serta karuniaNyalah penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Trend Dan Isu, Evidance Based Practice Pada Sistem Endokrin, Imunologi, Pencernaan, Dan Perkemihan” ini sesuai dengan waktu yang penulis rencanakan. Terima kasih penulis sampaikan juga kepada dosen pengajar Keperawatan Medikal bedah yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk mengerjakan tugas ini, sehingga penulis menjadi lebih mengerti dan memahami, tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada seluruh pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam upaya penyelesaian makalah ini baik mendukung secara moril maupun materil. Ibarat pepatah “Tak Ada Gading Yang Tak Retak”, maka begitu pulalah dengan halnya makalah ini, walaupun penulis telah berusaha semaksimal mungkin, akan tetapi penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kesalahan, kekurangan dan kehilapan dalam penulisan makalah ini. Untuk itu, saran dan kritik tetap penulis harapkan demi perbaikan makalah ini ke depan. Akhir kata penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima Kasih. Wasalamualaikum wr.wb Tanjungpinang, 22 Juni 2021



Penulis



DAFTAR ISI



Contents KATA PENGANTAR......................................................................................................2 DAFTAR ISI....................................................................................................................3 BAB I................................................................................................................................4 PENDAHULUAN.............................................................................................................4 1.1



Latar Belakang.................................................................................................4



1.2



Rumusan Masalah............................................................................................6



1.3



Tujuan Penulisan..............................................................................................6



BAB II...............................................................................................................................7 PEMBAHASAN...............................................................................................................7 2.1. Trend dan Isu........................................................................................................7 2.1.1. System Endokrin............................................................................................9 2.1.2. System Imunologi.........................................................................................14 2.1.3. System Pencernaan.......................................................................................20 2.1.4



System Perkemihan................................................................................25



2.2. Evidance Based Practice.....................................................................................30 2.2.1. System Endokrin..........................................................................................31 2.2.2. System Pencernaan.......................................................................................35 2.2.3.



System Perkemihan................................................................................36



BAB III...........................................................................................................................38 PENUTUP.......................................................................................................................38 3.1.



Kesimpulan.....................................................................................................38



3.2.



Saran...............................................................................................................38



DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................39



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah evidence dimulai pada tahun 1970 ketika Archie Cochrane menegaskan perlunya mengevaluasi pelayanan kesehatan berdasarkan buktibukti ilmiah (scientific evidence). Sejak itu berbagai istilah digunakan terkait dengan evidence base, diantaranya evidence base medicine (EBM), evidence base nursing (EBN), dan evidence base practice (EBP). Evidence Based Practice (EBP) merupakan upaya untuk mengambil keputusan klinis berdasarkan sumber yang paling relevan dan valid. Oleh karena itu EBP merupakan jalan untuk mentransformasikan hasil penelitian ke dalam praktek sehingga perawat dapat meningkatkan “quality of care” terhadap pasien. Selain itu implementasi EBP juga akan menurunkan biaya perawatan yang memberi dampak positif tidak hanya bagi pasien, perawat, tapi juga bagi institusi pelayanan kesehatan. Sayangnya penggunaan bukti-bukti riset sebagai dasar dalam pengambilan keputusan klinis seperti seorang bayi yang masih berada dalam tahap pertumbuhan. Evidence-Based Practice (EBP), merupakan pendekatan yang dapat digunakan dalam praktik perawatan kesehatan, yang berdasarkan evidence atau fakta. Selama ini, khususnya dalam keperawatan, seringkali ditemui praktik-praktik atau intervensi yang berdasarkan “biasanya juga begitu”. Sebagai contoh, penerapan kompres dingin dan alkohol bath masih sering digunakan tidak hanya oleh masyarakat awam tetapi juga oleh petugas kesehatan, dengan asumsi dapat menurunkan suhu tubuh lebih cepat, sedangkan penelitian terbaru mengungkapkan bahwa penggunaan kompres hangat dan teknik tepid sponge meningkatkan efektifitas penggunaan kompres dalam menurunkan suhu tubuh. Merubah sikap adalah sesuatu yang sangat sulit, bahkan mungkin hal yang sia-sia. Orang tidak akan bisa merubah adat orang lain, kecuali orangorang di dalamnya yang merubah diri mereka sendiri. Tetapi meningkatkan kesadaran, dan masalah kesehatan di masyarakat, akan meningkatkan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan. Tentu pelayanan yang



paling efektif & efisien menjadi tuntutan sekaligus tantangan besar yang harus di cari problem solving-nya. Penggunaan evidence base dalam praktek akan menjadi dasar scientific dalam pengambilan keputusan klinis sehingga intervensi yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan. Sayangnya pendekatan evidence base di Indonesia belum berkembang termasuk penggunaan hasil riset ke dalam praktek. Tidak dapat dipungkiri bahwa riset di Indonesia hanya untuk kebutuhan penyelesaian studi sehingga hanya menjadi tumpukan kertas semata. Trend adalah sesuatu yang sedang di bicarakan oleh banyak orang saat ini dan kejadiannya berdasarkan fakta.Setelah tahun 2000, dunia khususnya bangsa Indonesia memasuki era globalisasi, pada tahun 2003 era dimulainya pasar bebas ASEAN dimana banyak tenaga professional keluar dan masuk ke dalam negeri. Pada masa itu mulai terjadi suatu masa transisi/pergeseran pola kehidupan masyarakat dimana pola kehidupan masyarakat tradisional berubah menjadi masyarakat yang maju. Keadaan itu menyebabkan berbagai macam dampak pada aspek kehidupan masyarakat khususnya aspek kesehatan baik yang berupa masalah urbanisaasi, pencemaran, kecelakaan, disamping meningkatnya angka kejadian penyakit klasik yang berhubungan dengan infeksi, kurang gizi, dan kurangnya pemukiman sehat bagi penduduk. Pergeseran pola nilai dalam keluarga dan umur harapan hidup yang meningkat juga menimbulkan masalah kesehatan yang berkaitan dengan kelompok lanjut usia serta penyakit degeneratif. Pada masyarakat yang menuju ke arah moderen, terjadi peningkatan kesempatan untuk meningkatkan pendidikan yang lebih tinggi, peningkatan pendapatan dan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hukum dan menjadikan masyarakat lebih kritis. Kondisi itu berpengaruh kepada pelayanan kesehatan dimana masyarakat yang kritis menghendaki pelayanan yang bermutu dan diberikan oleh tenaga yang profesional. Keadaan ini memberikan implikasi bahwa tenaga kesehatan khususnya keperawatan dapat memenuhi standart global internasional dalam memberikan pelayanan kesehatan/keperawatan, memiliki kemampuan professional, kemampuan



intelektual dan teknik serta peka terhadap aspek social budaya, memiliki wawasan yang luas dan menguasi perkembangan Iptek. 1.2 Rumusan Masalah  Rumusan masalah dalam makalah ini adalah untuk mengetahui Trend Dan Isu, Evidance Based Practice Pada Sistem Endokrin, Imunologi, Pencernaan, Dan Perkemihan. 1.3 Tujuan Penulisan Tujuan makalah ini adalah untuk mendapatkan gambaran bagaimana Trend Dan Isu, Evidance Based Practice Pada Sistem Endokrin, Imunologi, Pencernaan, Dan Perkemihan



BAB II PEMBAHASAN 2.1. Trend dan Isu A. Trend Trend adalah sesuatu yang sedang di bicarakan oleh banyak orang saat ini dan kejadiannya berdasarkan fakta. Pada masyarakat yang menuju ke arah moderen, terjadi peningkatan kesempatan untuk meningkatkan pendidikan yang lebih tinggi, peningkatan pendapatan dan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hukum dan menjadikan masyarakat lebih kritis. Kondisi itu berpengaruh kepada pelayanan kesehatan dimana masyarakat yang kritis menghendaki pelayanan yang bermutu dan diberikan oleh tenaga yang profesional. Keadaan ini memberikan implikasi bahwa tenaga kesehatan khususnya keperawatan dapat memenuhi standart global internasional dalam



memberikan



pelayanan



kesehatan/keperawatan,



memiliki



kemampuan professional, kemampuan intelektual dan teknik serta peka terhadap aspek social budaya, memiliki wawasan yang luas dan menguasi perkembangan Iptek. Namun demikian upaya untuk mewujudkan perawat yang professional di Indonesia masih belum menggembirakan, banyak factor yang dapat menyebabkan masih rendahnya peran perawat professional, diantaranya : 1. Keterlambatan pengakuan body of knowledge profesi keperawatan. Tahun 1985 pendidikan S1 keperawatan pertama kali dibuka di UI, sedangkan di negara barat pada tahun 1869. 2. Keterlambatan pengembangan pendidikan perawat professional 3. Keterlambatan system pelayanan keperawatan., ( standart, bentuk praktik keperawatan, lisensi ) Menyadari peran profesi keperawatan yang masih rendah dalam dunia kesehatan akan berdampak negatif terhadap mutu pelayanan kesehatan bagi tercapainya tujuan kesehatan “ sehat untuk semua pada tahun 2010 “, maka solusi yang harus ditempuh adalah :



1. Pengembangan pendidikan keperawatan. Sistem pendidikan tinggi keperawatan sangat penting dalam pengembangan keperawatan,



perawatan pembinaan



professional,



pengembangan



profesi



pendidikan



dan



teknologi



keperawatan



berkelanjutan. Akademi Keperawatan merupakan pendidikan keperawatan yang menghasilkan tenaga perawatan professional dibidang keperawatan. Sampai saat ini jenjang ini masih terus ditata dalam hal SDM pengajar, lahan praktik dan sarana serta prasarana penunjang pendidikan. 2. Memantapkan system pelayanan perawatan professional Depertemen Kesehatan RI sampai saat ini sedang menyusun registrasi, lisensi dan sertifikasi praktik keperawatan. Selain itu semua penerapan model praktik keperawatan professional dalam memberikan asuhan keperawatan harus segera di lakukan untuk menjamin kepuasan konsumen/klien. 3. Penyempurnaan organisasi keperawatan Organisasi profesi keperawatan memerlukan suatu perubahan cepat dan dinamis serta kemampuan mengakomodasi setiap kepentingan individu menjadi kepentingan organisasi dan mengintegrasikannya menjadi serangkaian kegiatan yang dapat dirasakan manfaatnya. Restrukturisasi organisasi keperawatan merupakan pilihan tepat guna menciptakan suatu organisasi profesi yang mandiri dan mampu menghidupi anggotanya melalui upaya jaminan kualitas kinerja dan harapan akan masa depan yang lebih baik serta meningkat. Komitmen perawat guna memberikan pelayanan keperawatan yang bermutu baik secara mandiri ataupun melalui jalan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sangat penting dalam terwujudnya pelayanan keperawatan professional. B. Definisi issue Issue adalah sesuatu yang sedang di bicarakan oleh banyak namun belum jelas faktannya atau buktinya.



2.1.1. System Endokrin TREND DAN ISSUE SISTEM ENDOKRIN DI INDONESIA 1. Perkembangan Terkini di Bidang Terapi Farmakologis Diabetes Melitus Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penderita Diabetes Melitus (DM) di seluruh dunia, semakin pesat pula perkembangan di bidang terapi farmakologis DM. Di satu sisi, perkembangan ini menyediakan harapan baru bagi penderita DM. Di sisi lain, timbul banyak pertanyaan baru mengenai waktu dan cara pemberian golongan obat terbaru itu. Acara tahunan PERKENI (Perhimpunan Endokrinologi Indonesia) yang luas dikenal sebagai Jakarta Diabetes Meeting (JDM) mengumpulkan praktisi medis dari seluruh negeri untuk mendiskusikan isu-isu tersebut serta isu terkini seputar DM secara umum. Bertempat di Hotel Mercure, Ancol, acara yang berlangsung dari 12 hingga 13 November 2011, ini mengambil tema “The Art of Diabetes Management: Stratification Approach”. Terlepas dari ketersediaan sekian banyak golongan obat antidiabetik oral (OAD) seperti metformin, sulfonilurea, glitazon maupun insulin, mayoritas pasien gagal mencapai atau mempertahankan kontrol gula darah. Guideline dari American Diabetes Associtation



(ADA)



merekomendasikan



metformin



sebagai



obat



antihiperglikemik lini pertama. Begitu metformin gagal, direkomendasikan penambahan



OAD



lain.



Sayangnya,



kombinasi



obat



seringkali



menimbulkan efek samping yang signifikan dan menghambat intensifikasi terapi. Penambahan berat badan dan hipoglikemia merupakan dua dari sekian banyak efek samping yang menghambat kemajuan terapi pada penderita DM. Sesi simposium JDM pertama didedikasikan untuk membahas perkembangan terbaru di bidang terapi DM dengan tajuk “Current an Future Treatment in Managing Diabetes: GLP-1 analogue or Insulin?” Analog GLP-1 merupakan kelas obat antidiabetik terbaru dengan cara kerja yang menyerupai hormon endogen, yaitu glucagon-like peptide (GLP). GLP-1 sendiri merupakan salah satu jenis hormon saluran cerna yang bernama inkretin. Inkretin dilepaskan ke sirkulasi sebagai respons



dari nutrisi yang sedang dicerna dari makanan. Menurut Prof. Dr. dr. Sarwono Waspadji, SpPD-KEMD, efek dari inkretin ini pertama kali diketahui setelah adanya pengamatan bahwa pemberian glukosa secara oral dan intravena menghasilkan respons yang berbeda. Rangsangan pelepasan insulin dari pankreas lebih besar setelah pemberian glukosa oral dibandingkan dengan glukosa intravena yang diberikan dalam jumlah sama. Analog GLP-1 sendiri bukanlah satu-satunya terapi yang berbasis inkretin. Diketahui pula bahwa terdapat enzim bernama DPP-4 yang menghancurkan GLP-1. Berangkat



dari



pemahaman



mengenai



hal



tersebut,



peneliti



menetapkan penghambatan enzim DPP-4 atau dikenal sebagai inhibitor DPP-4, atau ‘gliptin’ sebagai target terapi selanjutnya. Gliptin akan mencegah degradasi dari analog GLP-1 dan memperpanjang waktu paruhnya. Kedua terapi berbasis inkretin ini memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan para pendahulunya. Selain penurunan HbA1C dan kadar glukosa darah yang signifikan, terdapat manfaatmanfaat lain. Oleh karena sekresi dari inkretin bergantung dari keberadaan glukosa di saluran cerna, terjadi penurunan risiko hipoglikemia apabila dibandingkan dengan OAD lainnya. “GLP-1 dikaitkan pula dengan timbulnya rasa kenyang yang selanjutnya diikuti penurunan asupan makanan. Hasil akhir dari keadaan ini adalah penurunan berat badan atau sekurang-kurangnya penderita tidak bertambah berat badan. Inilah sebabnya analog GLP-1 direkomendasikan pada pasien dengan berat badan berlebih,” demikian menurut dr. E. M. Yunir, SpPD-KEMD. Ditambahkan pula oleh beliau mengenai adanya penelitian yang mendapati preservasi fungsi sel beta pankreas setelah konsumsi obat tersebut. Saat ini, analog GLP-1 belum ada di Indonesia, namun kehadirannya diharapkan dalam waktu dekat. Selain analog GLP-1, topik lain yang cukup menyita perhatian adalah perkembangan terbaru dari terapi insulin. Insulin dibutuhkan secara mutlak oleh pasien DM tipe 1 yang tidak lagi memiliki sel beta pankreas fungsional serta oleh pasien DM tipe 2 dengan



fungsi sel beta pankreas yang menurun secara progresif. Untuk pasien DM tipe 2, pemberian insulin masih cukup problematik. Walaupun penambahan insulin berimbas pada penurunan kadar glukosa darah secara signifikan, banyak pasien tidak mampu mencapai target HbA1C setelah pemberian regimen insulin konvensional. Selain itu, muncul kekhawatiran mengenai hipoglikemia. “Dapat timbul resistansi insulin fisiologis pada pasien DM yang kapok setelah mengalami kejadian hipoglikemia,” demikian ujar dr. Tri Juli Edi Tarigan, SpPD, pada kesempatan yang sama. Sebuah studi yang dijalankan oleh Rury R. Holman, dkk., dari kelompok studi 4-T berupaya menggambarkan perbandingan berbagai jenis insulin sebagai tambahan untuk terapi OAD pada pasien DM tipe 2. Studi ini membandingkan pemberian insulin aspart bifasik (basal ditambah prandial), insulin prandial, dan insulin basal detemir pada pasien yang sudah mendapat dosis maksimal metformin dan sulfonilurea yang mampu ditoleransi. Hasilnya, didapatkan bahwa penambahan insulin bifasik atau prandial lebih menurunkan kadar HbA1C dibandingkan pemberian insulin basal. Bagaimanapun, diamati pula adanya peningkatan risiko hipoglikemia dan penambahan berat badan pada pemberian kedua kelompok insulin pertama. Insulin basal detemir pun ternyata memiliki kelebihan lain dalam hal variabilitas intraindividu. Lebih dari 98% insulin detemir di aliran darah terikat pada albumin, sehingga ia didistribusikan lebih lambat ke jaringan target perifer. Penambahan asam lemak juga menjadikan detemir tidak mudah mengalami presipitasi saat pemberian atau saat diabsorpsi. Stabilitas semacam ini lah yang berkontribusi mengurangi proses yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya, yaitu variabilitas intraindividu, pada pemberian detemir. Salah satu merk insulin detemir yang beredar luas di Indonesia adalah Levemir keluaran Novo Nordisk. Dengan alat injeksi yang mudah digunakan oleh pasien, Levemir menyediakan alternatif terapi yang baik untuk menurunkan hambatan adherensi terhadap terapi insulin pada pasien DM tipe 2. (Livia) ]



2. Issue gangguan sistem endokrin di indonesia Isu mutakhir tentang penyakit Diabetes Mellitus 



Adanya hubungan timbal balik antara periodontitis (infeksi pada mulut) dengan Diabetes Mellitus, keterlibatan dokter gigi dalam penanganan pasien Diabetes Mellitus perlu ditingkatkan. (Saidina Hamzah Daliemunthe,2003)







Dokter gigi dituntut untuk lebih aktif memposisikan diri sebagai mitra dokter umum/dokter spesialis dalam penanganan pasien Diabetes Mellitus Saidina Hamzah Daliemunthe,2003)







Perlu adanya perlindungan kepada obat tradisional untuk penyakit Diabetes Mellitus agar tetap asli dari tanaman obat dan tidak diberi tambahan zat kimia (Siti SapardiyahSantoso, 2003)







Perlu dipelajari lebih lanjut dengan mengadakan pendekatan kasus dengan metode penelitian yang khusus pula mengapa penderita IDDM dapat bertahan hidup selama 1minggu tanpa insulin dengan melalui penggantian insulin atau adaptasi







Obat anti Diabetes oral sebaiknya tidak diberikan pada Diabetes Mellitus denganTuberkulosis paru karena adanya efek rifampicin dan isoniazid yang mengurangi efek obat tersebut







Kadar glukosa darah yang terkontrol pada penderita Diabetes Mellitus dapat menurunkan derajat kegoyahan gigi sebesar 51,45%



g.



Melakukan



penelitian



lanjutan



dengan



menggunakan bahan aktif yang diisolasi dari buahmengkudu untuk mengetahui efeknya dalam menurunkan kadar gula darah 



Perlu



dikembangkan



masyarakat



guna



kegiatan



meningkatkan



di



kelompok-kelompok



pengetahuan



kesehatan



terutama gizi, sehingga masyarakat mempunyai pengetahuan dankemampuan untuk menangani masalah kesehatan yang dihadapinya 



Menguji khasiat hipoglikemianya untuk menurunkan kadar glukosa darah



EVIDANCE BASED PRACTICE DIABETES MELLITUS MADU SEBAGAI AGEN DEBRIDEMENT:SYSTEMATIC REVIEW SUKHRI HERIANTO RITONGA Staf Pengajar STIKES Aufa Royhan Padangsidimpuan [email protected] HASIL Gambaran umum Berdasarkan 8 jurnal yang telah diperoleh, terlihat bahwa Sebagian besar penelitian ini dilaksanakan di Eropa (n=6). Sedangkan sisanya dari Mesir (n=1) dan dari Australia (n=1). Hal ini tentu akan berhubungan dengan jenis madu yang digunakan dalam penelitian. Sudah pasti bahwa jenis madu yang digunakan dalam penelitian tersebut jarang atau hampir tidak bisa kita temui di Indonesia. Adapun jenis madu yang digunakan pada penelitian di atas adalah Manuka honey (n=3), madu asli komersial Mesir (n=1), medihoney (n=3), madu lokal Slovakia (n=1) Adapun gambaran umum mengenai desain penelitian yang digunakan dalam penelitian diatas adalah eksperiment. Desain ini terdiri dari studi kasus (n=3), kuasi eksperiment (n=2), RCT (n=1), comparative (n=1) dan juga prospective study (n=1). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat evidence based sudah berada dalam level yang tinggi, khususnya tentang penggunaan madu dalam perawatan luka. Berdasarkan jenis luka, jenis luka yang mayoritas diintervensi dengan madu adalah luka kronik. Jenis luka adalah 77 % merupakan pressure ulcer, 14 % leg ulcer dan 9 % surgical wound. Madu sebagai agen debridement Berdasarkan systematic review ini didapatkan hasil bahwa madu dapat memicu terjadinya autolisis baik secara parsial ataupun total. Waktu minimal yang dibutuhkan untuk terjadinya autolisis ini adalah 6 hingga 7 hari. Adapun rata-rata terjadinya autolisis total adalah 31, 7 hari. Hal ini berdekatan dengan time frame terjadinya autolysis debridemen yaitu 14 hari (Sussman & Bates-Jensen, 1998; Sussman & Bates-Jensen, 2012). Keefektifan madu berdasarkan jaringan memiliki perbedaan. Pada jaringan nekrotik tingkat terlepasnya jaringan nekrotik 87 % sedangkan pada jaringan slough tingkat terlepasnya mencapai 90 %. Alat ukur yang digunakan dalam 2 penelitian ini menggunakan lembar observasi, yaitu presentase jaringan mati yang menutupi dasar luka. Alat ukur ini juga sama dengan alat ukur standar dalam menilai keefektifan



debridement pada luka (Sussman & Bates-Jensen, 1998; Sussman & Bates-Jensen, 2012). Manfaat lain dari madu Manfaat lain yang didapatkan dari penggunaan madu adalah terjadinya penurunan luas luka, penutupan luka dan akhirnya terjadi penyembuhan luka. Hal ini terjadi secara bersinergi dengan terjadinya autolisis. Rata-rata waktu penyembuhan luka adalah 2,3 minggu (Moghazy, et.al,2010). Menurut Robson, Dodd dan Thomas, (2008) madu juga lebih cepat dalam waktu penyembuhan luka ketika dibandingkan dengan terapi konfensional 46, 2 % berbanding 34 %. Madu dapat menurunkan bakteri pada luka sehingga dapat menurunkan inflamasi (Moghazy et,al, 2010: Vlecekova, 2011). Turunnya aktifitas bakteri ini juga akan berdampak pada menurunnya bau dan jumlah eksudat yang dihasilkan luka dan hasil akhirnya adalah meningkatnya kenyamanan dan kualitas hidup (Vlecekova, 2011; Freeman, May & Wraight, 2010). Implikasi pada penelitian dan asuhan keperawatan Berdasarkan systematic review ini, terlihat secara jelas bahwa jenis madu yang digunakan untuk perawatan luka adalah madu yang jarang ada di Indonesia. Jenis madu yang mudah diperoleh tentu akan meningkatkan kemudahan dalam menggunakan madu dalam perawatan luka. Menurut Eddy, Gideonsen dan Mack (2008) semua jenis madu dapat digunakan untuk balutan dalam perawatan luka. Dalam kata lain, semua jenis madu, baik yang diperoleh langsung dari peternakan, diperoleh di pasar tradisional ataupun supermarket dapat digunakan sebagai balutan luka. Sehingga perlu untuk menguji jenis madu lain yang familiar di wilayah Indonesia. Adapun berdasarkan jenis luka, jenis luka mayoritas pada systematic review ini adalah pressure ulcer. Sehingga masih perlu untuk menguji madu pada jenis luka lain, seperti luka diabetik, venous ulcer, ataupun arterial ulcer.



3. Hausm mulut terasa kering 4. Penurunan berat badan 5. Sering lapar 6. Penglihatan kabur 7. Perasaan kebingungan 8. Kerentanan terhadat infeksi tertentu B. Diabetes Insipidus Diabetes insipidus adalah kondisi yang cukup langka, dengan gejala selalu merasa haus dan pada saat bersamaan sering membuang air kecil dalam jumlah yang sangat banyak. Jika sangat parah, penderitanya bisa mengeluarkan air kencing sebanyak 20 liter dalam sehari. Diabetes insipidus sendiri berbeda dengan diabetes melitus. Diabetes melitus adalah penyakit jangka panjang yang ditandai dengan kadar gula darah di atas normal. Diabetes insipidus, pada lain sisi tidak terkait dengan kadar gula dalam darah. Penyebab diabetes insipidus dikarenakan gangguan pada hormon antidiuretik (antidiuretic hormone/ADH) yang mengatur jumlah cairan dalam tubuh. Hormon ini dihasilkan hipotalamus, yaitu jaringan khusus di otak. Hormon ini disimpan oleh kelenjar pituitari setelah dihasilkan oleh hipotalamus. Kelenjar pituitari akan mengeluarkan hormon antidiuretik ini saat kadar air di dalam tubuh terlalu rendah. ‘Antidiuretik’ berarti bersifat berlawanan dengan ‘diuresis’. ‘Diuresis’ sendiri berarti produksi urine. Hormon antidiuretik ini membantu mempertahankan air di dalam tubuh dengan mengurangi jumlah cairan yang terbuang melalui ginjal dalam bentuk urine. Yang menyebabkan terjadinya diabetes insipidus adalah produksi hormon antidiuretik yang berkurang atau ketika ginjal tidak lagi merespons seperti biasa terhadap hormon antidiuretik. Akibatnya, ginjal mengeluarkan terlalu banyak cairan dan tidak bisa menghasilkan urine yang pekat. Orang yang mengalami kondisi ini akan selalu merasa haus dan minum lebih banyak karena berusaha



mengimbangi banyaknya cairan yang hilang. Diabetes insipidus sendiri terbagi menjadi dua jenis utama, yaitu: 1. Diabetes insipidus kranial. Diabetes insipidus jenis ini yang paling umum terjadi. Disebabkan tubuh tidak memiliki cukup hormon antidiuretik dari hipotalamus. Kondisi ini bisa disebabkan oleh kerusakan pada hipotalamus atau pada kelenjar pituitari. Kerusakan yang terjadi bisa diakibatkan oleh terjadinya infeksi, operasi, cedera otak, atau tumor otak. 2. Diabetes insipidus nefrogenik. Diabetes insipidus jenis ini muncul ketika tubuh memiliki hormon antidiuretik yang cukup untuk mengatur produksi urine, tapi organ ginjal tidak merespons terhadapnya. Kondisi ini mungkin disebabkan oleh kerusakan fungsi organ ginjal atau sebagai kondisi keturunan. Beberapa obat-obatan yang digunakan untuk mengatasi penyakit mental, seperti lithium, juga bisa menyebabkan diabetes insipidus jenis ini. Tanda dan gejala diabetes insipidus, seperti selalu merasa haus dan buang air kecil melebihi dari biasanya. Orang dewasa buang air kecil sebanyak 47 kali dalam sehari, sedangkan anak kecil melakukannya hingga 10 kali dalam sehari. Hal ini dikarenakan kandung kemih anak-anak berukuran lebih kecil. C. Pankreasitis Pangkreatitis adalah sebuah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada pankreas. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa pankreatitis ada dua macam, yaitu pankreatitis akut dan pankreatitis akut. Pankreatitis akut merupakan peradangan pada pankreas yang berlangsung dalam waktu yang cepat, inflamasi biasanya terjadi dalam beberapa hari saja. Pankreatitis akut bisa hilang dan tidak meninggalkan kerusakan permanen. Pankreatitis kronis merupakan peradangan pada pankreas yang berlangsung cukup lama atau persisten. Salah satu penyebab penyakit pankreatitis adalah gangguan batu ginjal. Selain batu ginjal, minuman beralkohol juga disebut memberikan pengaruh terjadinya inflamasi pada pankreas. Meski belum diketahui bagaimana alkohol memicu terjadinya



inflamasi, akan tetapi gejala akan terlihat pada sebagian orang yang minum alkohol, dan gejala tersebut bisa terlihat. Meskipun hal ini jarang terjadi, beberapa hal berikut merupakan penyebab pankreatitis ialah karena adanya infeksi virus, efek samping penggunaan obat obatan terntentu, kerusakan akibat operasi di sekitar pankreas. Penyebab berikutnya adalah pengaruh autoimun. Sistem kekebalan tubuh yang seharusnya melindungi tubuh, malah menyerang pankreas. Gejala dari penyakit pankreatitis akut salah satunya adalah adanya rasa nyeri yang terjadi pada bagian perut (abdomen) dan di bawah tulang rusuk. Selain itu orang yang menderita pankreatitis akan mengalami suhu tubuh yang tinggi (demam) dan biasanya mengalami muntah. Jika pangkreatitis terus berkembang dan menjadi lebih parah penderita bisa saja mengalami dehidrasi atau kekurangan cairan. Selain itu gejala yang timbul biasanya adalah pembengkakan yang terjadi pada bagian perut. D. Hiperpituitarisme Hiperpituitarisme adalah sekresi berlebihan hormone hipofisisn anterior. Hiperpituitarisme biasanya mengenai hanya satu jenis hormone hipofisis. Hormon-hormon hipofisis lainya sering di keluarkan dalam kadar yang lebih rendah. Hiperpituitari dapat terjadi akibat malfungsi kelenjar hipofisis atau hipotalamus, penyebab mencakup : 1. Adenoma primer salah satu jenis sel penghasil hormone, biasanya sel penghasil GH,ACTH atau prolakter. 2. Tidak ada umpan balik kelenjar sasaran, misalnya peningkatan kadar TSH terjadi apabila sekresi kelenjar tiroid menurun atau tidak ada. Adapun



tanda



dan



gejala



yang



terjadi



pada



penderita



Hiperpituitarisme, antara lain: 1. Perubahan bentuk dan ukuran tubuh serta organ – organ dalam (seperti tangan, kaki, jari – jari tangan, lidah, rahang, kardiomegali) 2.



Impotensi



3. Visus berkurang 4. Nyeri kepala dan somnolent



5. Perubahan siklus menstruasi (pada klien wanita), infertilitas 6. Libido seksual menurun 7. Kelemahan otot, kelelahan dan letargi 8. Tumor yang besar dan mengenai hipotalamus: suhu tubuh, nafsu makan dan tidur bisa terganggu, serta tampak keseimbangan emosi 9. Gangguan penglihatan sampai kebutaan total E. Hipertiroidisme (Tirotoksikosis) Hipertiroidisme atau kelenjar tiroid overaktif adalah kondisi terlalu banyaknya hormon tiroksin yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid di dalam tubuh. Kondisi ini akan menyebabkan gangguan pada metabolisme tubuh.Tiroid adalah kelenjar di bagian depan leher yang mengendalikan metabolisme dan fungsi normal tubuh, seperti mengubah makanan menjadi energi. Banyaknya hormon tiroksin yang diproduksi kelenjar tiroid dalam tubuh bisa disebabkan oleh berbagai hal, seperti penyakit Graves, obat amiodaron, suplemen iodine, nodul tiroid, kanker tiroid, atau tiroiditis. Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing kondisi yang mungkin menyebabkan kelenjar tiroid overaktif. F. Tiroiditis Tiroiditis



adalah



istilah



medis



untuk



peradangan



atau



pembengkakan yang terjadi di kelenjar tiroid. Pembengkakan ini dapat menyebabkan kadar hormon tiroid di dalam darah menjadi lebih tinggi atau bahkan lebih rendah dari normal. Tiroid adalah sebuah kelenjar yang berada di area leher yang berfungsi untuk menghasilkan hormon-hormon penting



tubuh,



Hormonhormon



untuk ini



kemudian



bekerja



untuk



dilepaskan mengatur



ke



aliran



pertumbuhan



darah. dan



metabolisme dalam tubuh. Selain itu, hormon-hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid juga berperan penting dalam mengontrol detak jantung, suhu tubuh, serta membantu mengubah makanan yang masuk ke tubuh menjadi energi. Ada beberapa jenis tiroiditis, dan mereka dibedakan berdasarkan manifestasi klinis penyebabnya. Beberapa jenis yang paling sering ditemui



antara



lain



tiroiditis



Hashimoto,



tiroiditis



postpartum,



tiroiditis



silent/painless, tiroiditis yang diinduksi obat, tiroiditis yang diinduksi radiasi, tiroiditis subakut atau de Quervain, dan tiroiditis akut atau infeksi. G. Addison Penyakit Addison adalah penyakit yang disebabkan oleh berkurangnya hormon yang diproduksi oleh kelenjar adrenal. Penyakit ini tergolong ke dalam kelainan langka pada kelenjar adrenal. Penyakit ini dapat terjadi pada pria dan perempuan dari berbagai usia, namun lebih umum ditemui pada perempuan dan anak-anak. Jika tidak segera diobati, penyakit Addison bisa membahayakan nyawa penderitanya. Anak dengan penyakit Addison dapat mengalami keterlambatan masa puber. Penyakit Addison umumnya disebabkan oleh adanya gangguan pada sistem imun tubuh yang menyerang kelenjar adrenal bagian luar (cortex). Kondisi ini berdampak pada terganggunya produksi hormon kortisol dan aldosteron yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Walaupun demikian, penyebab munculnya kelainan pada sistem imunitas tubuh penderita penyakit Addison belum diketahui hingga saat ini. 2.1.2. System Imunologi TREND DAN ISU Secara keseluruhan kaitan antara aktivasi sistem imun dan pratogenesis HIV masih belum terjawab secara tuntas. Berbagai penelitian terkait dengan aktivasi sistem imun masih terus dilakukan. Selama ini penelitian sebagian besar dilakukan di negara maju, padahal insidensi HIV di negara berkembang termasuk di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui gambaran status imunologis dan klinis penderita HIV/AIDS yang mendapat terapi antiretroviral di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta: kajian aktivasi sistem imun, CD4, dan klinis. Penelitian ini bermanfaat sebagai uji pendahuluan untuk mengetahui sejauh mana peran ekspresi CD38 di sel CD8+ kaitannya dengan kemajuan (progresivitas) HIV secara imunologis dan klinis. CD4 + pada penderita HIV yang mengonsumsi retroviral mengalami peningkatan jika diberikan sesuai kategorinya. Hal ini sesuai teori yang



menyatakan bahwa semakin rendah jumlah CD4+ memungkinkan seseorang untuk menderita infeksi atau manifestasi klinis yang lebih kompleks. Sel limfosit CD4+ adalah salah satu komponen imun yang berperan dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi. Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap



molekul



permukaan



CD4+.



Limfosit



CD4+



berfungsi



mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respons imun yang progresif Terdapat perbedaan yang bermakna pada ekspresi CD38 pada limfosit CD8+ penderita HIV/AIDS dengan kontrol normal. Pemberian terapi antiretroviral terbukti dapat meningkatkan jumlah sel CD4+ pasien HIV/AIDS secara bermakna. Jumlah sel CD4+ tersebut juga berkorelasi negatif dengan status klinis penderita HIV/AIDS yang dinyatakan dengan stadium WHO. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa jumlah CD4 awal, kepatuhan minum obat, dan infeksi tuberkulosis berhubungan dengan kenaikan jumlah CD4 pada pasien pada pasien HIV yang diberikan HAART dalam 6 bulan pertama. Namun, tidak didapatkan hubungan antara usia, jenis kelamin, IMT, faktor risiko HIV, stadium klinis HIV, jenis HAART, jumlah infeksi oportunistik dan koinfeksi hepatitis C dengan kenaikan jumlah CD4 pada pasien HIV yang diberikan



HAART dalam 6 bulan pertama.



Ketidakberhasilan mencapai target disebut sebagai kegagalan. Kegagalan virologis merupakan pertanda awal dari kegagalan pengobatan satu kombinasi obat ARV. Setelah terjadi kegagalan virologis, dengan berjalannya waktu akan diikuti oleh kegagalan imunologis dan akhirnya akan timbul kegagalan klinis. Pada keadaan gagal klinis biasanya ditandai oleh timbulnya kembali infeksi oportunistik. Hal ini disebabkan oleh rendahnya jumlah limfosit CD4 akibat terjadinya resistensi virus terhadap ARV yang sedang digunakan. Kegagalan virologis muncul lebih dini daripada kegagalan imunologis dan klinis. Karena itu, pemeriksaan viral load akan mendeteksi lebih dini dan akurat kegagalan pengobatan dibandingkan dengan



pemantauan menggunakan kriteria imunologis maupun klinis, sehingga mencegah meningkatnya mordibitas dan mortalitas pasien HIV



EVIDANCE BASED PRACTICE Relaksasi pernafasan dan dzikir menurunkan tingkat kecemasan pada ibu hamil HIV positif: Literature review Tina Mawardika1*, Imami Nur Rahmawati2, Wiwit Kurniawati3 1Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Ngudi Waluyo, Indonesia 2,3Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Indonesia *Coresponding Author: [email protected] HASIL Ibu hamil dengan HIV Positif yang melakukan relaksasi pernafasan dengan dzikir, setelah melaksanakan latihan tersebut ibu hamil dengan HIV Positif merasa lebih tenang, nyaman, lebih dekat dengan Allah dan lebih pasrah menerima berbagai keadaan yang kurang menyenangkan bagi dirinya dalam hal ini adalah kondisi kehamilan dengan HIV Positif. Terapi relaksasi pernafasan dengan dzikir adalah teknik yang mengurangi ketegangan-ketegangan yang melibatkan kelompokkelompok otot tertentu yang dipadukan dengan ajaran agama Islam yaitu dengan melafadzkan dzikir. Melalui praktek berulang, individu dapat belajar untuk mengenali dan membedakan perasaan yang terkait dari otot tegang dan otot santai. Menegangkan dan melepaskan berbagai kelompok otot di seluruh tubuh dapat menghasilkan keadaan rileks (Sellakumar, 2015). Relaksasi dengan dzikir adalah sebuah metode yang digunakan dengan harapan dapat mengurangi kecemasan kehamilan. Terapi ini merupakan pengembangan dari respon relaksasi yang dikembangkan oleh Maimunah & Retnowati (2011), dimana relaksasi ini merupakan gabungan dari antara relaksasi dengan keyakinan agama yang dianut. Relaksasi pernafasan dengan dzikir melatih individu untuk mengendurkan otot-otot dan menghayati perbedaan situasi tegang dan rileks, setelah pengendoran otot dicapai, tahapan selanjutnya adalah memasukkan unsur keyakinan atau religius sambil melakukan relaksasi pernafasan yang membantu mengurangi kecemasan dengan cara mengatur



langkah dan kedalaman pernafasan (Indonesia, Pasca, Fakultas, Keperawatan, & Indonesia, 2008) . Maimunah dan Retnowati (2011) menyatakan bahwa konsep relaksasi yang menerapkan ajaran agama ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi rileks yang berlipat, karena selain otot (fisik) yang dilemaskan, penggunaan unsure agama dapat memudahkan ibu hamil dengan HIV Positif untuk memusatkan perhatian dan membantu menenangkan pikiran juga sikap pasrah dan berserah kepada Tuhan menambah kondisi rileks dan keadaan jiwanya menjadi lebih tenang. Terdapat dua karakteristik individu yang berpengaruh dalam proses penilaian kognitif, yaitu commitment dan belief. Dengan melibatkan dzikir pada terapi relaksasi ini, meningkatkan belief subyek, terutama existensial belief subyek. Pada proses pembentukan kecemasan, Relaksasi pernafasan dengan dzikir yang dilakukan oleh subyek dapat membentuk proses cognitive reappraisal follows, yaitu proses dimana individu kemudian menilai kembali situasi yang mengancam tersebut, sehingga individu tersebut dapat menggunakan koping yang lebih baik daripada sebelumnya yang menimbulkan reaksi kecemaan (Yamada, Inoue, Mafune, Hiro, & Nagata, 2017). Ibu hamil dengan HIV positif yang pada awalnya merasakan kecemasan mengenai kehamilannya dikarenakan memandang kehamilan dengan HIV positif sebagai sesuatu yang mengancam janinnya dan memberi dampak negative kepada kehidupannya, seperti subyek 3 yang mengatakan bahwa kehamilannya ini membuat dia ketakutan jika anak yang dikandungnya akan tertular virus HIV seperti kakaknya, belum lagi kondisi keuangan yang belum memadai saat ini, apabila nanti anak sudah lahir, akan bertambah lagi pengeluaran yang harus ditanggung. Setelah diberikan relaksasi pernafasan dengan dzikir, semua ibu hamil dengan HIV positif mengaku tidak lagi memandang kehamilan dengan HIV positif yang dijalaninya sebagai suatu hal yang memberikan dampak negative pada janin yang dikandungnya. Dengan kata lain, relaksasi pernafasan dengan dzikir mempengaruhi cognitive appraisal subyek dalam tataran existensial belief’nya. Relaksasi dengan dzikir menguatkan existensial belief ibu hamil dan



memunculkan suatu keyakinan bahwa kehamilan sebagai suatu takdir yang harus dijalani, atau yang menganggap kehamilan sebagai suatu anugerah dari Tuhan, sehingga ibu hamil dengan HIV positif lebih bisa menjalani kehamilannya dengan lebih tenang, memasrahkan semua kekhawatiran yang ada sebelumnya, apapun yang akan terjadi semua adalah kehendak Allah SWT (Maimunah & Retnowati, 2011). Keterbatasan Penerapan Evidence Based Practice Nursing (EBPN) ini dilakukan pada jumlah subjek yang sangat kecil (hanya lima orang) karena proses yang tidak mungkin berjalan dengan efektif jika dilakukan dengan jumlah subjek yang lebih banyak. Selain itu hal ini juga dilakukan karena adanya kesulitan pencarian ibu hamil dengan HIV positif yang sesuai kriteria inklusi. Desain dengan subjek yang sedikit memungkinkan melihat dinamika yang terjadi pada masing-masing subjek. Namun demikian, hasil penerapan EBPN ini belum dapat digeneralisasikan secara luas karena subjeknya yang belum mewakili populasi. Hasil penerapan EBPN ini hanya menjelaskan keadaan kelompok subjek saja. Implikasi keperawatan Penerapan asuhan keperawatan pada ibu hamil dengan HIV positif harus lebih komprehensif dan sesuai dengan kebutuhan dan intervensi yang tepat sasaran guna meningkatkan status kesehatannya. Peran perawat sebagai peneliti yaitu menggunakan riset untuk meningkatkan mutu pelayanan dan asuhan keperawatan pada ibu hamil dengan resiko tinggi (HIV positif )meliputi memberikan terapi non farmakologi dalam mengurangi kecemasan dengan relaksasi pernapasan dan dzikir dengan tujuan dapat meningkatkan status kesehatannya ibu dan janinya. Berdasarkan penerapan Evidence Based Practice Nursing (EBPN) didapat hasil bahwa pemberian terapi relaksasi pernafasan dan dzikir secara signifikan dapat menurunkan tingkat kecemasan ibu hamil dengan HIV Positif. Penurunan tingkat kecemasan pada setiap subjek terlihat dari selisih penurunan skor sebelum dan sesudah melakukan treatment relaksasi pernafasan dan dzikir. Pemberian terapi relaksasi pernafasan dan dzikir dapat menjadi salah satu alternative terapi yang dapat digunakan kepada ibu hamil dengan HIV positif yang



mengalami kecemasan dengan menurunkan tingkat kecemasan yang dialaminya. Terapi relaksasi pernafasan dan dzikir dapat digunakan untuk menurunkan tingkat kecemasan dengan mencapai keadaan yang lebih rileks dan menenangkan bagi ibu hamil dengan HIV Positif yang mengalami kecemasan. Dengan mencapai keadaan rileks dan menenangkan tersebut, ibu hamil menjadi lebih optimis dan berpikir positif terhadap kehamilan yang sedang dijalani dan segala hal yang akan terjadi di masa mendatang, ibu hamil memiliki sikap pasrah dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah SWT. Subjek penelitian diharapkan tetap menerapkan relaksasi dengan dzikir di rumah agar manfaat yang dirasakan tetap akan dirasakan atau bahkan diharapkan bertambah jika semakin sering dilatihkan.



2.1.3. System Pencernaan Trend issue pemberian prebiotik dan probiotik dalam pengobatan dan pencegahan diare : Penelitian di Pakistan dan Thailand membuktikan, Lactobacillus GG dapat mengurangi jumlah pasien yang mengalami diare persisten. Pemberian Lactobacillus GG mampu memendekkan durasi diare dari 3,5 hari menjadi 2,5 hari pada anak yang dirawat di rumah. Konsentrasi serum antibodi IgA untuk melawan rotavirus meningkat secara signifikan apada anak yang diberi probiotik SEAMEO-Tropmed Pusat Kajian Gizi Regional melakukan penelitian di Indonesia dan Vietnam. Uji klinis di dua rumah sakit di Jakarta menunjukkan pemberian probiotik Lactobacillus ramnosus dikombinasi dengan prebiotik setelah



rehidrasi oral pada 58 bayi penderita diare akut dengan dehidrasi sedang dapat mengurangi lama diare, lama rawat inap, dan pengobatan. Tidak ditemukan efek samping. Penderita tidak diberi antidiare maupun atibiotika. Di Vietnam dilakukan uji komunitas untuk melihat efek probiotik dalam mencegah diare apada anak di bawah usia tiga tahun. Pemberian susu kedelai yang difermentasi dengan Lactobacillus bulgaricus, Steptococcus thermophilus, dan Bifidobacterium dapat menurunkan kejadian diare pada anak pedesaan Vietnam. Selain trend issue diatas, probiotik dan prebiotik memiliki beberapa manfaat antara lain : Manfaat probiotik : 1. Membantu membersihkan saluran cerna dan memproduksi vitamin Bakteri



probiotik



dapat



membantu



membersihkan



saluran



pencernaan dan semua membran mukosa tempat mereka hidup. Karena itu bisa membantu mengatasi masalah-masalah yang disebabkan sistem pencernaan yang tidak bekerja sebagaimana mestinya. Selain itu bakteri probiotik juga berfungsi memproduksi berbagai jenis vitamin B (B-3, B-5, B6, B-9 dan B12). 2. Meningkatkan fungsi hati dalam membersihkan toksin Protein yang terkandung dalam makanan akan diuraikan dan diserap oleh asam lambung. Jika bakteri patogen dalam tubuh lebih dominan daripada bakteri „baik‟ maka bakteri patogen dapt mengubah sebagian protein menjadi amino, fenol dan zat-zat beracun lainnya. Zat-zat beracun ini lalu diserap usus dan hati ketika hati melakukan fungsinya sebagai penawar racun. Bila zat-zat berbahaya tersebut dalam jumlah berlebihan sehingga melebihi beban yang bisa ditanggung oleh hati dan ginjal, maka tidak semua zat berbahaya tersebut dapat diurai. Akibatnya, zat beracun tersebut kemudian bercampur di dalam darah dan bersikulasi di seluruh tubuh. Akhirnya bisa menjadi faktor penyebab kanker dan mempercepat proses penuaan. .



3. Menurunkan kolesterol darah dan trigliserida Kolesterol dan triglserida darah yang berlebihan bisa menyebabkan serangan jantung dan gangguan pembuluh darah. Bakteri probiotik dapat berfungsi mengontrol peningkatan kadar kolesterol dan menyesuaikan kadar kolesterol dalam darah. 4.



Mencegah diare, sembelit dan mengurangi alergi Berdasarkan penelitian di Amerika, anak-anak yang menderita diare kronis bisa cepat sembuh jika diberi yogurth yang mengandung probiotik. Karena bakteri „baik‟ di dalamnya bisa mencegah berkembangnya virus dan bakteri penyebab diare. Bakteri dalam makanan probootik juga berfungsi mempercepat kinerja usus sehingga bisa memperlancar pembuangan. Dengan demikian bisa membantu mencegah sembelit. Memberikan makanan sumber probiotik pada anak-anak juga bisa mengurangi kemungkinan alergi seperi asma, eksem, atau sulit mencerna susu sapai (laktose intolerance).



5. Mencegah perkembangan bakteri patogen Bakteri „baik‟ yang mampu menghasilkan asam laktat dan asma asetat dapat mempertahankan pH di dalam usus pada kisaran 4,5-5,5 sehingga dapat mencegah infeksi. Dengan demikian dapat mengurangi timbulnya diare, radang usus, dan kanker hati. 6. Meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit Bakteri probiotik dapat mengaktifkan sel darah putih serta limpa yang bertanggung jawab terhadap sistem pertahan tubuh, Dengan begitu berbagai penyakit dapat dicegah. 7. Meningkatkan fungsi pencernaan Orang-orang yang karena penyakitnya harus mengkonsumsi antibiotik akan mengalami ketidakseimbangan flora usus, terkadang saluran pencernaan tidak bisa melakukan fungsi penyerapan zat-zat gizi dengan baik. Akibatnya adya tahan tubuh bisa berkurang dan mudah terkena infeksi. Mengkonsumsi bakteri probiotik akan membantu memperbaiki kondisi tubuh. 8. Mencegah keropos tulang



Beberapa jenis bakteri probiotik bisa memproduksi vitamin K yang berperan penting dalam metabolisme tulang. Sebab salah satu penyebab terjadinya keropos tulang (osteoporosis) adalah karena penggunaan antibiotik yang menyebabkan terbunuhnya bakteri probiotik penghasil vitamin K. 9. Membantu mencegah kanker Beberapa jenis bakteri „baik‟ seperti Lactobacillus acidopholus dan Lactobacillis bulgaricus memiliki efek antitumor. Sedangkan beberapa jenis probiotik bisa memecah nitrosamin, yaitu zat yang bersifat karsinogen (penyebab kanker) yang dihasilkan oleh senyawa nitrat yang berasal dari bahan pengawet yang digunakan dalam daging olahan seperti kornet. 10. Mencegah infeksi jamur Cancida albicans Jika jamur Cancida tumbuh di luar kontrol, maka terjadinya infeksi jamur.



Makanan



probiotik



yang



mengandung



bakteri



„baik‟



Lactobacillus acidophilus mampu melepas hidrogen peroksida untuk menciptakan lingkungan asam yang dapat membunuh jamur cancida Manfaat penggunaan prebiotik : 1. memperbaiki keluhan malabsorsi laktosa 2. meningkatkan ketahanan alami terhadap infeksi di usus oleh kuman patogen, Clostridium perfringen, Escherchia coli, Salmonella, Shigella, Listeria (Gizard, 1999) 3. supresi kanker 4. memperbaiki metabolisme lipid dan mengurangi kadar kholesterol darah 5. memperbaiki pencernaan (Fuller, 1991) 6. stimulasi imunitas gastrointestinal (McCracken, 1999; McFarlane, 1999). Mekanisme kerja prebiotik Mikrobiota pada kolon manusia dapat memberikan manfaat kesehatan pada host atau potensial patogen. Saat ini banyak dilakukan penelitian untuk memanipulasi komposisi mikrobiota kolon dalam upaya memperoleh aspek



potensial yang menguntungkan untuk host. Pendekatan melalui prebiotik, suatu komponen yang tidak hidup dari makanan (non-viable food components) yang secara spesifik difermentasi di kolon oleh bakteri probiotik misalnya Lactobacilli, Bifidobakteria. Sebenarnya setiap food ingredient yang masuk kedalam usus besar adalah kandidat prebiotik, namun demikian untuk efektivitas, selektivitas fermentasi adalah sangat esensial. Bahan yang mendapat banyak diperhatikan dan sukses dipakai adalah non digestible oligosaccharide yang termasuk dalam klasifikasi tersebut adalah fructosa, xylosa, soya, galactosa, glukosa, dan mannosa. Oligosakharide yang mengandung fruktosa yang terdapat dalam alam misalnya onion, asparagus pisang, chicori, memenuhi kriteria sebagai prebiotik (Gibson, 1998). Mekanisme kerja probiotik Mekanisme kerja dari probiotik masih banyak yang kontroversi, tetapi beberapa mekanisme berikut penting untuk menjadi bahan pertimbangan, antara lain adalah: 1. Melekat / menempel dan berkolonisasi dalam saluran pencernaan. Kemampuan probiotika untuk bertahan hidup dalam saluran pencernaan dan menempel pada sel-sel usus adalah sesuatu yang diinginkan. Hal ini merupakan tahap pertama untuk berkolonisasi, dan selanjutnya dapat dimodifikasi untuk sistem imunisasi/ kekebalan hewan inang. Kemampuan menempel yang kuat pada sel-sel usus ini akan menyebabkan mikrobamikroba probiotika berkembang dengan baik dan mikrobamikroba patogen terreduksi dari sel-sel usus hewan inang, sehingga perkembangan organisme-organisme patogen yang menyebabkan penyakit tersebut, seperti Eshericia coli, Salmonella thyphimurium dalam saluran pencernaan akan mengalami hambatan. Sejumlah probiotik telah memperlihatkan kemampuan menempel yang kuat pada sel-sel usus manusia seperti Lactobacillus casei, Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus plantarum dan sejumlah besar Bifidobacteria. (McNaught and MacFie, 2000). 2. Berkompetisi terhadap makanan dan memproduksi zat anti mikrobial



Mikroba



probiotika



menghambat



organisme



patogenik



dengan



berkompetisi untuk mendapatkan sejumlah substrat bahan makanan untuk difermentasi. Substrat bahan makanan tersebut diperlukan agar mikroba probiotika dapat berkembang dengan baik. Substrat bahan makanan yang mendukung perkembangan mikroba probiotika dalam salauran pencernaan disebut “prebiotik” (Patterson and Burkholder, 2003). Prebiotik ini adalah terdiri dari bahanbahan makanan yang pada umumnya banyak mengandung serat. Sejumlah mikroba probiotika menghasilkan senyawa / zat-zat yang diperlukan untuk membantu proses pencernaan substrat bahan makanan tertentu dalam saluran pencernaan yaitu enzim. Mikrobamikroba probiotika penghasil asam laktat dari spesies Lactobacillus, menghasilkan enzim selulase yang membantu proses pencernaan. Enzim ini mampu memecah komponen serat kasar yang merupakan komponen yang sulit dicerna dalam saluran percernaan . Penggunaan mikrobamikroba probiotika yang menghasilkan enzim selulase mampu memanfaatkan makanan berserat kasar tinggi dari limbah industri dan pertanian tersebut, dan mikroba probiotika membantu proses pencernaan sehingga serat kasar dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan jaringan dan peningkatan pertambahan bobot badan. Mikroba probiotika juga mensekresikan produk anti mikrobial yang dikatakan bacteriocin. Sebagai contoh Lactobacillus aciodophilus menghasilkan dua komponen bacteriocin yaitu bacteriocin lactacin B dan acidolin. Bacteriocin lactacin B dan acidolin bekerja menghambat berkembangnya organisme patogen (McNaught and MacFie, 2000). 3. Menstimulasi mukosa dan meningkatkan sistem kekebalan Mikroorganisme probiotika mampu mengatur beberapa aspek dari sistem kekebalan



Kemampuan mikroba probiotika mengeluarkan toksin yang



mereduksi / menghambat perkembangan mikroba-mikroba patogen dalam saluran pencernaan, merupakan suatu kondisi yang dapat meningkatkan kekebalan hewan inang. Toksin-toksin yang dihasilkan tersebut merupakan antibiotika



bagi



mikroba-mikroba



patogen,



sehingga



penyakit



yang



ditimbulkan oleh mikroba patogen tersebut akan bekurang dan dapat hilang atau sembuh dengan sendirinya. Hal ini akan memberikan keuntungan terhadap kesehatan hewan inang sehingga tahan terhadap serangan penyakit. Penggunaan probiotika pada ternak unggas dilaporkan dapat menurunkan aktivitas urease, suatu enzim yang bekerja menghidrolisis urea menjadi amonia sehinggga pembentukan amonia menjadi berkurang. Amonia adalah suatu bahan yang dapat menyebabkan keracunan pada ternak unggas (Yeo and Kim, 1997). 2.1.4



System Perkemihan Sistem Perkemihan –Trend dan Issue Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy



ESWL DI INDONESIA Harga lithotripter yang cukup mahal mungkin hanya rumah sakit besar saja yang telah memiliki alat ini. Mengenai biaya pengobatan dengan ESWL sangat tergantung berapa kali Tindakan ESWL yang diperlukan sampai pasien benar-benar bebas dari batu ginjal. Di Amerika, rata-rata pasien menjalani 1-5 kali tindakan ESWL sampai benar-benar bebas dari batu ginjal. Namun jika merujuk pada artikel kesehatan yang menyatakan bahwa untuk sekali tindakan ESWL diperlukan biaya sekitar 4,5 juta rupiah, maka dapat dikatakan bahwa terapi ini selain menawarkan keamanan dan kenyamanan, juga menawarkan biaya pengobatan yang relatif murah



ESWL UNTUK GINJAL Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy adalah suatu prosedur Tindakan dengan menggunakan gelombang kejut untuk memecah batu ginjal menjadi potonganpotongan kecil yang dapat lebih mudah keluar melalui saluran kemih dan keluar daritubuh. Prsedur Tindakannya yaitu : Pasien berbaring di atas bantal yang berisi air, dan ahli bedah menggunakan sinarX atau tes USG untuk secara tepat menemukan lokasi batu. Tinggi energi gelombang suara memancar melalui tubuh pasien tanpa melukai sedikitpun dan menghancurkan batu menjadi potongan-potongan kecil. Porongan-potongan kecil



ini dapat dengan mudah mengalir melalui saluran kemih dan keluar dari tubuh dengan lebih mudah dibanding dengan ukuran semula yang jauh lebih besar . Proses ini hanya memakan waktu kurang lebih satu jam. Pasien mungkin akan mendapatkan obat penenang atau bius lokal. HARAPAN TINDAKAN ESWL ESWL biasanya merupakan prosedur rawat jalan. Pasien pulang setelah perawatan dan tidak harus menghabiskan waktu malam di rumah sakit. Mungkin diperlukan beberapa hari atau minggu untuk semua ragmen batu untuk keluar dari dalam tubuh pasien. Pasien mungkin mengalami sakit ringan sewaktu fragmen-fragmen kecil batu melewati saluran kemih. Mengapa perlu dilakukan ESWL : 1. ESWL dapat digunakan pada orang dengan batu ginjal cukup besar diameternya yang dapat menyebabkan rasa sakit atau menghalangi aliran urin. /atu dengan diameter antara 4 mm sampai 2cm paling mungkin yang memerlukan Tindakan dengan ESWL 2. ESWL dapat bekerja dengan baik untuk batu yang terdapat di ginjal, tidak di ureter. A. ISK Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang terjadi di sepanjang saluran kemih, termasuk ginjal itu sendiri, akibat proliferasi suatu mikroorganisme. Sebagian besar infeksi saluran kemih disebabkan oleh bakteri, tetapi virus dan jamur juga dapat menjadi penyebabnya. Infeksi bakteri tersering disebabkan oleh Escherichia coli. Infeksi saluran kemih sering terjadi pada anak perempuan. Salah satu penyebabnya adalah uretra wanita yang lebih pendek sehingga bakteri kontaminan lebih mudah memperoleh akses ke kandung kemih (Corwin, 2007). Sistitis (infeksi saluran kemih bawah) adalah inflamasi kandung kemih yang paling sering disebabkan oleh infeksi asenden dari uretra. Penyebab lainnya aliran balik urine dari uretra kedalam kandung kemih (refluks uretrovesical), kontaminasi fekal, atau penggunaan kateter atau sistoskop. Sistitis pada pria merupakan kondisi sekunder akibat beberapa faktor (mis., prostat yang terinfeksi, epididimitis, atau batu pada



kandung kemih). Infeksi saluran kemih merupakan jenis infeksi nosokomial yang sering terjadi. Beberapa penelitian menyebutkan, infeksi saluran kemih merupakan 40% dari seluruh infeksi nosokomial dan dilaporkan 80% infeksi saluran kemih terjadi sesudah instrumentasi, terutama oleh kateterisasi (Marlina, 2013). Walaupun kesakitan dan kematian dari infeksi saluran kemih berkaitan dengan kateter dianggap relatif rendah dibandingkan infeksi nosokomial lainnya, tingginya prevalensi penggunaan kateter urin menyebabkan besarnya kejadian infeksi yang menghasilkan komplikasi infeksi dan kematian. Berdasarkan survei di rumah sakit Amerika Serikat tahun 2002, kematian yang timbul dari infeksi saluran kemih diperkirakan lebih dari 13.000 (2,3% angka kematian). Sementara itu, kurang dari 5% kasus bakteriuria berkembang menjadi bakterimia. Infeksi saluran kemih yang berkaitan dengan kateter adalah penyebab utama infeksi sekunder aliran darah nosokomial. Sekitar 17% infeksi bakterimia nosokomial bersumber dari infeksi saluran kemih, dengan angka kematian sekitar 10% (Gould & Brooker, 2009). Kateter urin adalah penyebab yang paling sering dari bakteriuria. Risiko bakteriuria pada kateter diperkirakan 5% sampai 10% per hari. Kemudian diketahui, pasien akan mengalami bakteriuria setelah penggunaan kateter selama 10 hari. Infeksi saluran kemih merupakan penyebab terjadinya lebih dari 1/3 dari seluruh infeksi yang didapat di rumah sakit. Sebagian besar infeksi ini (sedikitnya 80%) disebabkan prosedur invasif atau instrumentasi saluran kemih yang biasanya berupa kateterisasi (Smeltzer & Bare, 2005). B. Batu Saluran Kemih Batu kandung kemih atau bladder calculi adalah batu yang terbentuk dari endapan mineral yang ada di dalam kandung kemih. Ukuran batu kandung kemih sangat bervariasi dan semua orang punya risiko untuk memiliki batu kandung kemih. Tapi laki-laki lanjut usia, biasanya lebih dari 52 tahun, lebih sering mengalaminya, terutama mereka yang menderita pembesaran prostat.



Saluran urine bisa tersumbat oleh batu kandung kemih. Terhalangnya saluran urine tersebut bisa menyebabkan rasa nyeri saat buang air kecil, dan kesulitan berkemih atau tidak bisa berkemih sama sekali. Penyakit batu saluran kemih merupakan penyakit yang banyak di derita oleh masyarakat, dan menempati urutan ketiga dari penyakit di bidang urologi disamping infeksi saluran kemih dan pembesaran prostat jinak. Penyakit ini dapat menyerang penduduk di seluruh dunia tidak terkecuali penduduk di Indonesia. Angka kejadian penyakit ini tidak sama di berbagai belahan bumi. Di Amerika serikat dam eropa 5-10% penduduknya satu kali dalam hidupnya pernah menderita penyakit saluran kemih, bahkan pada laki-laki angka ini lebih tinggi yaitu 10-20%. Angka kejadiannya laki-laki dibanding perempuan sebesar 3 dibanding 1, usia terjadinya batu antara 20 tahun sampai 40-50 tahun dimana merupakan usia produktif. Lebih kurang dua pertiga dari pasien batu pada anak adalah batu kandung kemih. Biasanya banyak didapatkan pada umur 2-7 tahun dan kebanyakan pada anak laki-laki. ( Smith, 2000). Batu saluran kemih pada laki-laki 3-4 kali lebih banyak dari pada wanita. Hal ini mungkin karena kadar kalsium air kemih sebagai bahan utama pembentuk batu pada wanita lebih rendah dari pada laki-laki dan kadar sitrat air kemih sebagai bahan penghambat terjadinya batu (inhibitor) pada wanita lebih tinggi dari pada laki-laki ( Kimata, 2012). C. BPH Benigna Prostat Hipertropi BPH adalah pembesaran kelenjar dan jaringan seluler kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan endokrin berkenaan dengan proses penuaan (Suharyanto, 2009). Prevalensi BPH yang bergejala pada pria berusia 40-49 tahun mencapai hampir 15%. Angka ini meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 50-59 tahun prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada usia 60 tahun mencapai angka sekitar 43%.



Meskipun



jarang



mengancam



jiwa,



salah



satu



pokok



permasalahannya adalah gejala-gejala yang ditimbulkan pada pembesaran kelenjar prostat dirasakan sangat tidak nyaman oleh pasien dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Menurut survei, berdasarkan pola penyakit pasien rawat jalan pada Rumah Sakit di Provinsi Jawa Barat, Umur diatas 60 tahun pada 2003 penyakit BPH (Benigna Prostat Hipertropi) menempati urutan ke-19 yaitu sebesar 1,37% (530 orang). Penyakit batu saluran kemih yang disingkat BSK adalah terbentuknya batu yang disebabkan oleh pengendapan substansi yang terdapat dalam air kemih yang jumlahnya berlebihan atau karena faktor lain yang mempengaruhi daya larut substansi. BSK pada laki-laki 3-4 kali lebih banyak dari pada wanita. Hal ini mungkin karena kadar kalsium air kemih sebagai bahan utama pembentuk batu pada wanita lebih rendah dari pada lakilaki dan kadar sitrat air kemih sebagai bahan penghambat terjadinya batu (inhibitor) pada wanita lebih tinggi dari pada laki-laki. Batu saluran kemih banyak dijumpai pada orang dewasa antara umur 30-60 tahun dengan rerata umur 42,20 tahun (pria rerata 43,06 dan wanita rerata 40,20 tahun). Umur terbanyak penderita batu di negara-negara Barat 20-50 tahun dan di Indonesia antara 30-60 tahun. Kemungkinan keadaan ini disebabkan adanya perbedaan faktor sosial ekonomi, budaya dan diet. Apabila BSK kambuh maka dapat terjadi peningkatan mortalitas dan peningkatan biaya pengobatan. Manifestasi BSK dapat berbentuk rasa sakit yang ringan sampai berat dan komplikasi seperti urosepsis dan gagal ginjal . BSK dapat menimbulkan keadaan darurat bila batu turun dalam sistem kolektivus dan dapat menyebabkan kelainan sebagai kolektivus ginjal atau infeksi dalam sumbatan saluran kemih. Kelainan tersebut menyebabkan nyeri karena dilatasi sistem sumbatan dengan peregangan reseptor sakit dan iritasi lokal dinding ureter atau dinding pelvis ginjal yang disertai edema dan penglepasan mediator sakit. Sekitar 60-70% batu yang turun spontan sering disertai dengan serangan kolik ulangan.



Salah satu komplikasi batu saluran kemih yaitu terjadinya gangguan fungsi ginjal yang ditandai kenaikan kadar ureum dan kreatinin darah, gangguan tersebut bervariasi dari stadium ringan sampai timbulnya sindroma uremia dan gagal ginjal, bila keadaan sudah stadium lanjut bahkan bisa mengakibatkan kematian. Robertson dkk. telah membuktikan bahwa di Inggris kejadian BSK meningkat dengan adanya peningkatan konsumsi protein hewani. Oleh karena itu besar sekali kemungkinan bahwa masalah BSK akan menjadi masalah yang semakin besar di Indonesia, sehubungan dengan perbaikan taraf hidup rakyat dengan adanya Program Perbaikan Gizi oleh Pemerintah. Harus pula diingat bahwa Indonesia terletak pada kelompok Negara di dunia yang dilewati oleh Sabuk batu (Stone belt) . Secara garis besar pembentukan BSK dipengaruhi oleh faktor Intrinsik dan Ekstrinsik. Faktor Intrinsik adalah faktor yang berasal dari dalam individu sendiri seperti herediter/ keturunan, umur, jenis kelamin. Faktor ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari luar individu seperti kondisi geografis daerah, faktor lingkungan, jumlah air minum, diet, lama duduk saat bekerja, olah raga, obesitas, kebiasaan menahan buang air kemih dan konsumsi vitamin C dosis tinggi. Tidak setiap orang dengan diet tidak seimbang akan terbentuk batu. Pada kelompok yang disebut pembentuk batu, bila mempunyai kelainan kebiasaan makan tidak seimbang akan terbentuk batu, tetapi pada kelompok bukan pembentuk batu tidak terjadi batu. Mengapa pada kelompok pembentuk batu terjadi batu dan dan pada kelompok bukan pembentuk batu tidak terjadi batu belum diketahui secara lengkap. Pembentuk batu cenderung mengekskresi air kemih dengan volume yang rendah sehingga merupakan faktor pemacu pembentuk batu. Beberapa zat gizi tertentu diduga merupakan faktor risiko BSK tetapi tidak pada orang normal. Pembentukan batu juga dipengaruhi oleh faktor hidrasi. Pada orang dengan kondisi dehidrasi kronik dan asupan cairan rendah seperti pada pelari maraton memiliki risiko tinggi terkena BSK. Dehidrasi



kronik akan meningkatkan gravitasi air kemih dan saturasi, sehingga terjadi penurunan pH air kemih yang berisiko terhadap terjadinya BSK. Berdasarkan beberapa literatur, faktor-faktor seperti hipertensi akan menyebabkan pengendapan ion-ion kalsium papilla (perkapuran ginjal) yang dapat berubah menjadi batu. Faktor lain seperti kebiasaan menahan buang air kemih akan menimbulkan stasis air kemih, pengendapan kristal dan akhirnya menimbulkan BSK . Penyakit-penyakit herediter seperti Dent’s dan sindroma barter juga merupakan salah satu penyebab BSK. Obesitas (kegemukan) menyebabkan pH air kemih turun, kadar asam oksalat dan kalsium naik. 2.2. Evidance Based Practice EBP merupakan salah satu  perkembangan yang penting pada dekade ini untuk membantu sebuah profesi, termasuk kedokteran, keperawatan, sosial, psikologi, public health, konseling dan profesi kesehatan dan sosial lainnya (Briggs & Rzepnicki, 2004; Brownson et al., 2002; Sackett et al., 2000). Menurut (Goode & Piedalue, 1999) : Praktik klinis berdasarkan bukti melibatkan temuan pengetahuan dari penelitian, review atau tinjauan kritis. EBP didefinisikan sebagai intervensi dalam perawatan kesehatan yang berdasarkan pada fakta terbaik yang didapatkan. EBP merupakan proses yang panjang, adanya fakta dan produk hasil yang membutuhkan evaluasi berdasarkan hasil penerapan pada praktek lapangan. EBP merupakan suatu pendekatan pemecahan masalah untuk pengambilan keputusan dalam organisasi pelayanan kesehatan yang terintegrasi di dalamnya adalah ilmu pengetahuan atau teori yang ada dengan pengalaman dan bukti-bukti nyata yang baik (pasien dan praktisi). EBP dapat dipengaruh oleh faktor internal dan external serta memaksa untuk berpikir kritis dalam penerapan pelayanan secara bijaksana terhadadap pelayanan pasien individu, kelompok atau system (newhouse, dearholt, poe, pough, & white, 2005). Clinical Based Evidence atau Evidence Based Practice (EBP) adalah tindakan yang teliti dan bertanggung jawab dengan menggunakan bukti



(berbasis bukti) yang  berhubungan dengan keahlian klinis dan nilai-nilai pasien untuk menuntun pengambilan keputusan dalam proses perawatan (Titler, 2008). EBP merupakan salah satu  perkembangan yang penting pada dekade ini untuk membantu sebuah profesi, termasuk kedokteran, keperawatan, sosial, psikologi, public health, konseling dan profesi kesehatan dan sosial lainnya (Briggs & Rzepnicki, 2004; Brownson et al., 2002; Sackett et al., 2000). EBP menyebabkan terjadinya perubahan besar pada literatur, merupakan proses yang panjang dan merupakan aplikasi berdasarkan fakta terbaik untuk pengembangan dan peningkatan pada praktek lapangan. Pencetus dalam penggunaan fakta menjadi pedoman pelaksanaan praktek dalam memutuskan untuk mengintegrasikan keahlian klinikal individu dengan fakta yang terbaik berdasarkan penelitian sistematik. Beberapa ahli telah mendefinisikan EBP dalam keperawatan sebagai : 1. Penggabungan bukti yang diperoleh dari hasil penelitian dan praktek klinis ditambah dengan pilihan dari pasien ke dalam keputusan klinis (Mulhall, 1998). 2. Penggunaan teori dan informasi yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian secara teliti, jelas dan bijaksana dalam pembuatan keputusan tentang pemberian asuhan keperawatan pada individu atau sekelompok pasien dan dengan mempertimbangkan kebutuhan dan pilihan dari pasien tersebut (Ingersoll G, 2000). 2.2.1. System Endokrin A. Pemberian Nutrisi Enteral Dini (Early Internal Feeding) Perawat



sebagai



pemberi



asuhan



keperawatan



perlu



memperhatikan keadaan dan kebutuhan dasar pasien, yang salah satunya adalah nutrisi pasien. Pengelolaan nutrisi sangat penting karena pasien (terutama pasien kritis) seringkali mengalami stress akibat trauma, cedera, pembedahan, sepsis dan penyakitnya sehingga mengakibatkan peningkatan metabolisme dan katabolisme yang akhirnya terjadi malnutrisi, kondisi malnutrisi dapat menyebabkan



kematian, komplikasi,memperlama hari rawat dan biaya serta waktu penyembuhan(Setianingsih dan Anna tahun, 2014). Inisiasi dini makanan enteral dapat dilakukan pada 24-48 jam setelah masuk ICU/pasca bedah apabila tidak ada kontraindikasi. Jika nutrisi enteral diindikasikan, pemberian susu formula enteral diberikan pada volume 20 cc/jam pada awalnya dan meningkat sebesar 10 cc/jam setiap 24 jam sampai target kalori dicapai. Perkiraan target kalori untuk setiap pasien adalah 20-25 kcal/kg selama fase akut dan 25-30 kkal/kg selama fase stabil (Kim et al, 2017). Pemberian nutrisi saat awal 24 jam hingga 48 jam pertama diberikan 50% dari total kebutuhan kalori dan dosis penuh (100%) setelah 3x24 jam (Weisman, 2009). Pasien yang terpasang nasogatric tube pemberian makan menggunakan rumus isotonik (Jevity, Abbott Laboratories, Ontario, Kanada), mulai dari 20 cc/jam, dan meningkat 20 mL/jam setiap 4 jam untuk memenuhi kebutuhan energi dan protein yang dianjurkan oleh ahli gizi klinis berdasarkan persamaan Ireton-Jones: EEE (v) = 1784-1711 (A) + 5 (W) + 244 (S) + 239 (T) + 804 (B) 609 (O) REI



= EEE × (1,0-1,5)



Keterangan: EEE = perkiraan pengeluaran energi (kkal / hari) v = tergantung ventilator A = umur (thn) W = berat badan (kg) S = seks (laki-laki = 1, perempuan = 0) T = diagnosis trauma B = luka bakar O = obesitas (jika ada = 1, tidak ada = 0) REI = asupan energi yang direkomendasikan (Huang et al, 2012). Nilai rekomendasi harian energi dan protein berkisar 25-30 kkal/kg dan 1,2-1,5 g/kg berat badan ideal. Semua pasien diberi makan dengan kepala ditinggikan 30-45° selama makan dan selama 1 jam setelah makan.



Residual diperiksa setiap 4 jam dan makan ditahan selama 1 jam jika volume residu adalah lebih dari 250 ml. Residu diperiksa ulang sebelum pemberian makan kembali. Setelah volume residu lebih rendah dari 250 ml dan pasien tidak menunjukkan distensi abdomen, mual atau muntah, tabungpengisi dimulai kembali pada tingkat 20 mL/jam dan meningkat sebesar 20 mL/jam setiap 4 jam sampai target kalori dicapai. Pasien dipantau sampai 21 hari atau pengamatan ditutup jika mereka berakhir atau dipindahkan ke ruang rawat inap (Huang et al, 2012). Pemberian nutrisi secara enteral terdapat dua jenis yaitu gravity drip (pemberian yang menggunakan corong yang disambungkan ke selang nasogastric dengan kecepatan mengikuti gaya gravitasi) dan intermittent feeding (pemberian nutrisi secara bertahap yang diatur kecepatannya menggunakan syiringe pump). Metode intermittent lebih efektif dibandingkan grafitty drip volume residu yang dihasilkan 2,v47ml : 6,93ml (Montejo et al., 2010). Banyak pasien yang mendapat manfaat lebih banyak dengan pemberian nutrisi melalui enteral dengan formulasi terbaru, seperti Immunonutrisi (Salim et al, 2013). Imunonutrisi (IN) merupakan konsep pemberian nutrisi



melalui



enteral



dengan



kandungan



arginine,



omega



3



polyunsaturated fatty acids, glutamine or ribonucleic acid yang bertujuan untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Pemberian nutrisi enteral memiliki komplikasi yang rendah di banding parenteral nutrisi namun kadang tidak mencukupi kebutuhan klien jika tidak di kombinasi dengan pemberian parenteral nutrisi. Pemberian nutrisi enteral dapat menurunkan infeksi sebesar 0,64% dibanding parenteral nutrisi, penelitian lain menunjukan enteral : parenteral yaitu 60: 84 (Ziegler, 2009). Apabila dilihat dari hasil unit perawatan intensif dan kematian di rumah sakit lebih rendah pada kelompok nutrisi enteral dini dibandingkan kelompok enteral akhir (34% vs 44%; P < .001). (Imran et al, 2017). Pemberian early enteral feeding dapat meningkatkan hasil klinis,



mengurangi



intoleransi



lambung,



dan



mempromosikan



pembentukan kembali motilitas saluran cerna [ CITATION Doi09 \l 1057 ]. Dalam penelitian McClave, et al. (2009) menyebutkan pasien yang mendapatkan early enteral feeding (dalam waktu 24-48 jam setelah masuk ICU) menunjukkan penurunan permeabilitas usus dan pelepasan sitokin dibandingkan dengan pasien yang mendapat late enteral feeding (setelah 72 jam).Jika kurang dari 48 jam termasuk early enteral feeding, jika lebih dari 48 jam termasuk late enteral feeding. B. Gastric Lavage (Bilas Lambung) Menurut Pateron et al, (2011) bilas lambung pada pasien dengan perdarahan lambung dapat menggunakan 500 ml air suhu ruangan yang diulang setiap jam sampai jernih, dan NGT tersambung terus dengan kantung drainase. Residu sebanyak 500ml masih dikatakan normal karena tidak menimbulkan komplikasi gastrointestinal (Montejo et al., 2010). Jika volume residu lambung 200 mL atau lebih, maka penggunaan penurunan feeding rate atau agen motilitas direkomendasikan. Jika volume residu lambung persisten tinggi, atau jika risiko aspirasi tinggi, makan via nasojejunal direkomendasikan. Metoclopramide digunakan sebagai agen motilitas pilihan dalam penelitian Kim, et al (2017). Erythromycin adalah agonis reseptor motilin yang dapat mempercepat pengosongan lambung melalui induksi kontraksi antrum gaster. Beberapa uji klinis telah membuktikan efektifitas erythromycin dalam membersihkan traktus gastrointestinal dibandingkan dengan placebo (pateron et al, 2011) Pada studi oleh Pateron et al, dilakukan perbandingan antara injeksi



erythromycin



dan bilas



lambung



terhadap kualitas



visual



endoskopi. Pada studi ini tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kelompok erythromycin, nasogastric , dan nasogastric erythomycin. Namun pada kasus yang berat, kombinasi pemberian erythromycin dan bilas lambung dapat memberi keuntungan (gambaran visual lambung yang lebih jelas). Angka perdarahan berulang dan kematian pada ketiga kelompok tidak berbeda bermakna, dengan rata-rata angkan mortalitas 7%.



Pada studi



ini juga



tidak ditemukan komplikasi akibat



pemasangan NGT selain nyeri. Didapatkan seperempat pasien pada studi ini yang mengalami nyeri berat (VAS > 60). Sedangkan pemberian erythromycin dilaporkan menimbulkan



nyeri.



aman,



mudah



dilakukan,



Pada penelitian lain, pemberian



dan



tidak



erythromycin



sebelum endoskopi juga memberikan efektifitas biaya. Berbeda dengan studi oleh Huang et al, studi oleh Pateron et al melaporkan adanya darah atau bekuan darah



pada



aspirat



NGT



memiliki



sensitifitas



danspesifisitas yang rendah dalam memprediksi adanya perdarahan aktif saat dilakukan endoskopi. Pemberian early enteral nutrition terbukti dapat mencegah kerusakan yang timbul pada saluran pencernaan yang berkaitan dengan berkurangnya tingkat kejadian malnutrisi, morbiditas dan mortalitas pada pasien rawat inap. Pemberian early enteral nutrition dapat dilakukan melalui intubasi gastrointestinal menggunakan selang nasogastric (NGT). Pada pasien-pasien dengan gangguan sistem pencernaan, sebelum dilakukan enteral nutrition perlu dilakukan pengecekan dan pengetesan fungsi lambung salah satunya dengan cara melakukan prosedur bilas lambung. Bilas lambung dilakukan untuk membantu dalam stratifikasi risiko terjadinya perdarahan aktif, serta mengurangi risiko terjadinya aspirasi. Analisa jurnal evidence based practice tentang pelaksanaan terapi bilas lambung dan pemberian enternal nutrisi ini diharapkan dapat menambah referensi tenaga kesehatan khususnya perawat dalam pelaksanaan



pemberian



asuhan



keperawatan



dalam



pelaksanaan



implementasi pemenuhan kebutuhan nutrisi pada pasien-pasien dengan indikasi terpasang intubasi gastrointestinal.



2.2.2. System Pencernaan Mengatasi Konstipasi Pasien Stroke Dengan Masase Abdomen Dan Minum Air Putih Hangat A. Definisi Minum air hangat dapat memberikan sensasi yang cepat menyebarkan gelombang panasnya ke segala penjuru tubuh manusia. Pada saat yang bersamaan pembuluh darah akan berdilatasi sehingga dapat mengeluarkan keringat dan gas dalam tubuh. Abdomen salah satu organ yang memiliki reseptor terhadap suhu yang panas dan lebih dapat mendeteksi suhu panas dibanding dengan suhu dingin (Guyton & Hall, 2006). Masase abdomen membantu untuk merangsang peristaltik usus dan memperkuat otot-otot abdomen serta membantu sistem pencernaan sehingga dapat berlangsung dengan lancar. Masase abdomen telah dibuktikan efektif mengatasi konstipasi terhadap beberapa pene-litian. Menurut Liu, et al., (2005), masase abdomen dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen. Pada kasus-kasus neurologi masase abdomen dapat memberikan stimulus terhadap rektal dengan somato-autonomic reflex dan adanya sensasi untuk defekasi. B. Tujuan atau Manfaat Tindakan



Membantu



untuk



merangsang



peristaltik



usus



dan



memperkuat otot-otot abdomen serta membantu untuk melembabkan feses dalam usus dan mendorongnya keluar sehingga memudahkan untuk defekasi. C. IndikasiTindakan Pasien stroke yang dirawat di rumah sakit sering mengalami kelemahan anggota gerak, baik sebagian maupun seluruhnya yang menyebabkan pasien imobilisasi. Imobilisasi yang berkepanjangan berpotensi terjadi komplikasi, salah satunya adalah konstipasi. Konstipasi dapat menyebabkan tekanan pada abdomen yang memicu pasien mengejan saat berdefekasi. Pada saat mengejan yang kuat terjadi respons maneuver valsava yang dapat meningkatkan tekananintrakranial. Peningkatan tekanan intrakranial pada pasien stroke merupakan prognosis yang buruk.



D. Prosedur Tindakan Dilakukan satu kali dalam tujuh hari mendapatkan terapi standar seperti sebelum sarapan pagi, pasien diberikan masase abdomen dengan teknik swedish massage selama 15-20 menit Setelah enam puluh menit, kemudian pasiendiberi tambahan minum air hangat sebanyak 500 ml. Setelah enam puluh menit, pasiendipersilakan sarapan pagi. E. Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan waktu terjadinya defekasi pada kelompok masase abdomen lebih lambat, yaitu rerata waktu terjadinya defekasi adalah 70,43 jam jika dibandingkan dengan kelompok kontrol, yaitu rerata waktu terjadi defekasi responden adalah 60,35 jam yang hanya mendapatkan intervensi yang standar. Salah satu faktor yang dapat menyebabkan perbedaan tersebut adalah dilihat dari hasil penelitian bahwa responden yang mendapatkan masase abdomen mayoritas berada pada tingkat kemandirian rendah dan ketergantungan total. Responden pada kelompok masase abdomen ini secara fisik mengalami penurunan kekuatan otot dan kelemahan pada otot-otot abdomen yang memicu perlambatan waktu yang dibutuhkan feses untuk berpindah dari kolon ke rektum, dibandingkan dengan responden pada kelompok kontrol ratarata memiliki tingkat kemandirian yang sedang. Dalam beberapa aktivitas responden pada kelompok kontrol masih dapat melakukan pergerakan secara aktif, pergerakan secara aktif dapat memengaruhi percepatan waktu perpindahan feses dari kolon ke rektum. Hasil penelitian ini telah membuktikan bahwa telah dapat mengatasi masalah konstipasi pada pasien stroke setelah masase abdomen dilakukan setiap hari selama tujuh hari. Masase abdomen efektif mengatasi konstipasi jika dilakukan secara rutin setiap hari. Hal ini yang menyebabkan perbedaan dengan penelitian terdahulu karena pada penelitian terdahulu masase abdomen tidak dilakukan setiap hari secara rutin. Masase abdomen yang dilakukan secara rutin dapat merangsang peristaltik usus serta memperkuat otot-otot abdomen yang akan membantu system pencernaan dapat berlangsung secara lancar (Folden, 2009).



Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa frekuensi defekasi antara kelompok responden yang mendapat masase abdomen dengan kelompok kontrol tidak berbeda jauh. Hal ini disebabkan oleh pengaruh jumlah serat yang dikonsumsi oleh kelompok kontrol lebih banyak dibandingkan dengan kelompok masase abdomen. Responden yang menjadi kelompok kontrol adalah responden yang berasal dari rumah sakit swasta yang setiap penyajian menu makan siang selalu disertai dengan buah-buahan, dibandingkan dengan responden kelompok masase abdomen yang berasal dari rumah sakit pemerintah. Hal ini dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan frekuensi defekasi kelompok masase abdomen dengan kelompok intervensi standar tidak berbeda jauh. Frekuensi defekasi pada responden yang mendapat masase abdomen dibandingkan dengan frekuensi defekasi pada responden kelompok masase abdomen dan minum air putih hangat lebih sedikit. Perbedaan frekuensi ini dapat dipengaruhi oleh jumlah asupan cairan resonden



terhadap



kelompok



masase



abdomen



setiap



harinya,



kemungkinan lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok masase abdomen yang diberi tambahan minum air putih hangat 500 ml setiap hari. Jika asupan cairan dalam tubuh kurang, tubuh akan menyerap cadangan air dalam usus dan absorbsi air menjadi lebih sedikit menyebabkan kandungan air dalam feses akan diserap kembali. Kekurangan kandungan air dalam feses menyebabkan feses menjadi kering, keras, dan membutuhkan waktu yang cukup lama dari kolon transfersum sampai ke kolon sigmoid. Hasil penelitian yang sudah dilakukan dan hasil penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa masase abdomen efektif dilakukan untuk mengatasi konstipasi pada pasien stroke. Namun, memerlukan intervensi tambahan agar efek terhadap waktu terjadinya defekasi lebih cepat sehingga frekuensi defekasi juga dapat bertambah. Pada penelitian ini, minum air hangat sebanyak 500 ml diberikan setelah responden mendapatkan masase abdomen. Beberapa responden



awalnya tidak dapat meminum air hangat yang telah disediakan 500 ml sekaligus sehingga pada awalnya harus diberikan secara bertahap untuk mengurangi ketidaknyamanan. Pada kelompok yang mendapatkan masase abdomen dan minum air putih hangat, waktu terjadinya defekasi dimulai dalam dua puluh empat jam terhadap perlakuan di hari pertama. Dilihat dari waktu terjadinya proses defekasi pada kelompok ini lebih cepat, yaitu rata-rata waktu terjadi defekasi responden adalah 35,25 jam dibandingkan dengan kelompok yang hanya mendapat masase abdomen. Masase abdomen dan mendapatkan minum air putih hangat sebanyak 500 ml setelah dilakukan masase abdomen terbukti dapat mempercepat terjadinya proses defekasi. Proses defekasi ini dapat berlangsung secara cepat disebabkan oleh stimulasi pada otot-otot abdomen yang secara langsung dapat merangsang peristaltik usus ditambah dengan minum air hangat sebanyak 500 ml yang akan memberikan suasana yang encer dan cair pada usus. Suasana yang encer ini akan memudahkan usus halus mendorong sisa makanan untuk diabsorbsi di usus besar. Pernyataan ini didukung oleh teori yang menyatakan bahwa pemberian minum air putih hangat memberikan efek hidrostatik dan hidrodinamik dan hangatnya membuat sirkulasi peredaran darah khususnya pada daerah abdomen menjadi lancar. Secara fisiologis, air hangat juga memberi pengaruh oksigenisasi dalam jaringan tubuh (Hamidin, 2012). Hal serupa diungkapkan oleh Yuanita (2011), minum air hangat dapat memperlancar proses pencernaan, karena pencernaan membutuhkan suasana yang encer dan cair. Pada penderita konstipasi minum air hangat sangat tepat untuk membantu memperlancar pencernaan karena dengan minum air hangat partikelpartikel dalam usus akan dipecah dan menyebabkan sirkulasi pencernaan menjadi lancar sehingga mendorong usus mengeluarkan feses. Frekuensi defekasi responden pada kelompok masase abdomen dan minum air putih hangat lebih sering dua kali (2,62 kali) dibandingkan dengan kelompok yang mendapat masase abdomen frekuensi defekasi satu kali (1,93 kali), sementara itu frekuensi defekasi pada kelompok kontrol



adalah 1,29 kali. Namun, jika dilihat dari hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Tampubolon (2008), frekuensi defekasi pada kelompok intervensi empat kali lebih sering dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah air minum yang diberikan kepada responden yang mengalami konstipasi. Jika pada penelitian ini responden diberikan minum air putih hangat sebanyak 500 ml sementara penelitian oleh Tampubolon (2008), memberi minum air putih sebanyak 1500 ml. Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin banyak asupan cairan yang diminum maka proses defekasi akan lebih baik. Proses defekasi pada kelompok yang hanya mendapatkan intervensi standar dimulai pada hari kedua. Proses defekasi pada kelompok ini hanya memperoleh terapi standar dari rumah sakit berupa anjuran makan makanan yang mengandung serat, memenuhi kebutuhan cairan, melakukan aktivitas dalam batas yang dapat ditoleransi, dan memberikan obat laksatif membantu melunakkan feses. Intervensi standar yang diberikan kepada pasien yang mengalami konstipasi didukung oleh pemenuhan kebutuhan cairan dan jumlah serat yang dimakan dapat membantu terjadinya proses defekasi. Hasil penelitian ini didukung oleh teori yang dikemukakan oleh Mckay (2012), dengan diet kaya serat sangat membantu untuk memperlancar pencernaan sehingga dapat mencegah konstipasi, namun pada pasien yang mengalami dehidrasi asupan cairan harus ditambah dengan minum lebih banyak. Frekuensi defekasi pada kelompok yang hanya mendapatkan intervensi standar ini jauh lebih sedikit bahkan ada yang sama sekali belum terjadi proses defekasi selama observasi dilakukan dibanding kelompok intervensi masase abdomen dan kelompok masase abdomen dengan mendapatkan minum air putih hangat. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, seperti imobilisasi, yaitu tirah baring yang lama dapat memengaruhi penurunan tonus otot abdomen, motilitas, serta tonus usus sehingga menyebabkan waktu terjadi defekasi menjadi lambat. Hal ini disebabkan oleh kurangnya latihan pergerakan yang dilakukan, baik secara aktif oleh pasien maupun secara pasif oleh keluarga dan tenaga kesehatan.



Menurut Smeltzer dan Bare (2008), tirah baring yang lama merupakan penyebab terjadinya konstipasi pada pasien stroke.



2.2.3.



System Perkemihan Pengaruh Bladder Trainning Terhadap Kemampuan Berkemih Pada Pasien Pria Dengan Retensi Urine. A. Latar Belakang Penelitian Pemaparan masalah penelitian pada penelitian ini sudah dijelas pada pendahuluan, Retensi urin adalah suatu keadaan emergency medis yang menuntut tindakan yang cepat. Bilamana retensi urin tidak ditangani sebagaimana mestinya, akan mengakibatkan terjadinya penyulit yang memperberat morbiditas penderita yang bersangkutan salah satu tindakan yang dapat dilakukan dalam mengatasi retensi



urine adalah dengan menggunakan metode bladder trainning. • Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh bladder trainning terhadap kemampuan berkemih pada pasien pria dengan retensi urine • Peneliti sudah menuliskan dengan jelas tujuan dilakukan penelitian sesuai







Fakta



• Kata kunci yang digunakan peneliti sudah



dan



teori



dituliskan



Kutipan-nya.



Sehingga



meningkatkan nilai kebenarannya. B. Hasil Penlitian Dari semua komponen tersebut, terlihat bahwa Terapy Bladder Training



Dapat



Bertindak



Sebagai



Intervensi



Efektif



Untuk



Meningkatkan Kemampuan berkemih dan Meningkatkan frekuensi berkemih Pada Pasien Yang mengalami Retensi Urine. Hasil evaluasi dari artikel penelitian, dapat disimpulkan bahwa badder training efektif dan efisien untuk Meningkatkan pengosongan kandung kemih (kemampuan berkemih) pasien dengan Retensi Urine. Dibuktikan hasil penelitian yang menujukkan bahwa Bladder Training secara signifikan meningkatkan frekuensi berkemih pada pasien pria dengan retensi urine di Ruang Penyakit dalam RSUD Bitung. Kemampuan Pengosongan kandung kemih pada pasien Pria Retensi Urine setelah diberikan Bladder Training menjadi LEBIH BAIK dibandingkan dengan sebelum diberikan tindakan. Terjadi peningkatan adalah 5 (3-6) atau termasuk dalam kategori baik Kesimpulan: Sehingga dapat disimpulkan bahwa Bladder Training memberikan pengaruh pada kemampuan berkemih. Sulli



Nova (2011). Retensi Urine. http://www.scribd.com/novasuli Syafar (2011). Bladder Trainning. http://odesyafar.wordpress.com/



Diakses Diakses



dari dari



BAB III PENUTUP 3.1.



Kesimpulan Evidence-Based Practice (EBP), merupakan pendekatan yang dapat digunakan dalam praktik perawatan kesehatan, yang berdasarkan evidence atau fakta. Selama ini, khususnya dalam keperawatan, seringkali ditemui praktik-praktik atau intervensi yang berdasarkan “biasanya juga begitu”. Sebagai contoh, penerapan kompres dingin dan alkohol bath masih sering digunakan tidak hanya oleh masyarakat awam tetapi juga oleh petugas kesehatan, dengan asumsi dapat menurunkan suhu tubuh lebih cepat, sedangkan penelitian terbaru mengungkapkan bahwa penggunaan kompres



hangat dan teknik tepid sponge meningkatkan efektifitas penggunaan kompres dalam menurunkan suhu tubuh. Trend adalah sesuatu yang sedang di bicarakan oleh banyak orang saat ini dan kejadiannya berdasarkan fakta.Setelah tahun 2000, dunia khususnya bangsa Indonesia memasuki era globalisasi, pada tahun 2003 era dimulainya pasar bebas ASEAN dimana banyak tenaga professional keluar dan masuk ke dalam negeri. Pada masa itu mulai terjadi suatu masa transisi/pergeseran pola kehidupan masyarakat dimana pola kehidupan masyarakat tradisional berubah menjadi masyarakat yang maju. 3.2.



Saran Makalah ini mungkin memiliki banyak kekurangan, apabila terdapat kritik



dan saran sebagai tambahan untuk kelengkapan makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA Ari Franciscus, 2014. Manfaat Terapi Bilas Lambung Pada Pasien Dengan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas: Sebuah Laporan Kasus Berbasis Bukti; Tesis. Jakarta. Divisi Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSCM. Cook, A,M., Peppard, A., Magnuson, B. (2008). Nutrition consideration In: traumatic brain Injury. Nutrition in clinical practice. Debora, Y., Villyastuti, Y, W., Harahap, M,S. (2009). Nutrisi pada pasien cedera kepala. J Anestesiologi Indonesia. Doig S. Egc Tayek, J, A. (2008). Nutrition. In: Bongard, F,S., Sue, D,Y., Vintch, J,R. editors. Current diagnosis and treatment critical care 3rd. New York: Gibson GR, Fuller R, 2000 : Aspect of invitro and invivo researches directed toward identifying probiotics and prebiotics for human use. J Nutr 130(2S Suppl):391S-395S. Fuller R, 1991; Probiotics in human medicine. Gut, 32, 439-442.



Gibson GR, Roberfroid MB, 1995 : Dietary modulation of the human colonic microbiota: introduction the concept of prebiotics. J Nutr 125(6):140112. Gibson GR, Fuller R, 2000 : Aspect of invitro and invivo researches directed toward identifying probiotics and prebiotics for human use. J Nutr 130(2S Suppl):391S-395S. Gibson GR, 1998 : Dietary modulation of the human gut microflora using prebiotics. Br J Nutr 80(4):S209-12. Gnoth MJ, Kunz C, Kinne-Saffran E, Rudloff S, 2000 : Human milk oligosaccharieds : Are minimally digested in vitro? J Nutr 130(12):3014-3020. Gordon., dkk. 2013. Early Enteral Nutrition in Critical Illness: Clinical Evidence and Pathophysiological Rationale. Australia: Northern Clinical School Intensive Care Research Unit Kim, et al. (2017). The impact of implementation of an enteral feeding protocol on the improvement of enteral nutrition in critically ill adults. Asia Pac J Clin Nutr 26(1): 2735 doi 10.6133/apjcn.122015.01 Huang ES, Karsan S, Kanwal F, Singh I, Makhani M, Spiegel B. Impact of nasogastric lavage on outcomes in acute GI bleeding. Gastrointest Endose. 2011:74:971-80. Marlina. 2013. “Hubungan Pemasangan Kateter Dengan Kejadian Infeksi Saluran Kemih Pada Pasien Di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam Rsudza Banda Aceh Tahun 2012”. Jurnal Keperawatan Medikal Bedah . Volume 1, No. 1 Moh Hanafi MBBS, dr,Ms, 1998 : Prevention of colon cancer by pre- and probiotics : evidence from laboratory studies. Br J Nutr 80(4):S219-23. McGraw-Hill. Weisman, C. (2009). Nutrition and metabolic control. In: Miller, R,D., Eriksson, L,I., Fleisher, L,A., Wiener, J,P., Young, W,L., editors. Miller’s anesthesia 7th ed. Philadelphia: Elsevier. Pateron D, Vicaut E, Debuc E, Sahraoui K, Carbonell N, Bobbia X. Erythromycin Infusion or Gastric Lavage for Upper Gastrointestinal Bleeding: A Multicenter Randomized Controlled Trial. Ann Emerg Med. 2011;57:582-589 Pranoto,Yosephin Anandati. 2015. Pemenuhan Kebutuhan Gizi Pasien Intensive Care Unit (Critically Ill) Dengan Enteral Nutrition (En). Dietetic Internship FK UB Price, A. Sylvia & Wilson, M. Lorraine. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC Reddy BS, 1999 : Possible mechanism by which pro- and prebiotics influence colon carcinogenesis and tumor growth. J Nutr 129 (7 Suppl):1478S82S. Roberfroid MB, 2000 : Ratu, dkk. 2006. “Profil Analisis Batu Saluran Kemih Di Laboratorium Patologi Klinik” Indonesian Journal Of Clinical Pathology And Medical Laboratory, Vol. 12, No. 3. Sari, Dkk. 2015. “Perbedaan Risiko Infeksi Nosokomial Saluran Kemih Berdasarkan Kateterisasi Urin, Umur, Dan Diabetes Melitus”. Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 2



Sinaga, dkk. 2015. “Asuhan Keperawatan Tn.”A” Dengan Gangguan Sistem Perkemihan: Post Operasi Prostatektomy”. Jurnal Obstretika Scientia ISSN 2337-6120 Vol. No. 2 Salminen S, Bouly C, Boutron-Ruault MC, Cumming JH, Frank A, Gibson GR, Isolauri E, Moreau MC, Roberfroid M, Rowland I, 1998 : Functional food science gastrointestinal physiology and function. Br J Nutr Suppl 1:S14771. Sabjaya, Ayling. 2008. Jurnal Addison’s Disease. Dosen Fakultas Kedokteran: Universitas Wijaya Kusuma Surabay Setianingsih, A. 2014. Perbandingan enteral dan parenteral pada pasien kritis. A literature review. Smelter & bareng. 2002. Keperawatan medikal bedah volume 1 edisi 8. Jakarta: Yulianti, Sri Rahayu., dkk. 2014. Jurnal Profil Pengobatan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Instalasi Rawat Inap RSUD Undata Tahun 2012. Untad: Prodi FarmasiPrebiotics and probiotics: are they functional foods? Am J Clin Nutr 2000 Jun;71(6 Suppl):1682S-7S.