Epigon, Pengaruh Dan Plagiat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Epigon, Pengaruh dan Plagiat (Mata Kuliah: Sastra Bandingan) Farhatun Fitriah (11160130000043) PBSI 5B



Pada perkembangan zaman seperti sekarang ini, cukup sulit untuk menemukan benda ataupun budaya yang asli sepenuhnya. Begitu pula yang terjadi dengan karya sastra. Saat ini berbagai gerakan, mashab, dan kecenderungan dengan mudah menular dan membuat sebuah kegiatan baru di negeri-negeri yang tertular. Penularan tersebut telah menjadi alasan utama untuk mengembangkan sastra bandingan. Pada karya sastra kita akan mengenal beberapa hal dalam proses penularan di dalam sastra bandingan. Istilah epigon, pengaruh dan plagiat pasti akan ada dalam sastra bandingan yang dapat pula diungkap melalui studi interteks. Ketiganya apabila didengar oleh pengarang memang tampak memerahkan telinga. Harga diri pengarang diuji oleh tiga sebutan itu. 1 Namun sebenarnya jika kita membuka diri terhadap kesusastraan milik orang lain, dari daerah, dan dari Negara yang lain maka satra bandingan merupakan jembatan budaya untuk mengetahui system perilaku, agama, adat istiadat, politik dan unsur budaya lainnya. 2 Kecenderungan karya sastra yang menjadi epigon karya lain (the others) dapat dipahami dengan menggunakan pendekatan generic dan genetic. Dua pendekatan ini telah dibahas oleh Aziz yang mencoba membandingkan pantun Melayu dengan pantoum (England). Keduanya Nampak ada epigonistik antara satu dan lainnya, biarpun tidak ditentukan secara pasti mana yang epigon. Biasanya, karya yang lahir terdahulu sering dijadikan induk epigon, sedangkan karya berikutnya yang sering disebut epigon, plagiat, dan terjemahan.3



1 2



3



Suwardi Endaswara, Metodelogi Penelitian Sastra Bandingan, (Jakarta: Bukupop, 2014), h. 206 Ibid., h. 208 Ibid., h. 210



Epigon secara etimologi berasal dari bahasa Latin, yaitu epigomos atau epigignestai, yang berarti ‘terlahir kemudian’. Dalam hal ini pula Suwardi Endaswara kurang sependapat dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang menyebutkan bahwa epigon berarti orang yang tidak memiliki gagasan baru dan hanya mengikuti jejak pemikir atau seniman yang mendahuluinya. Ia berpendapat bahwa seniman atau sastrawan adalah creator yang gemar melakukan penjelajahan imajinasi. Melalui imajinasi tertentuada hal yang baru, ada sesuatu penolakan terhadap yang terdahulu, dan tidak tertutup kemungkinan ada inovasi. 4 Sapardi Djoko Damono dalam bukunya Endaswara memberikan rambu-ramburambu bahwa sastra bandingan perlu mencermati tiga hal, yaitu (1) asli, (2) Pinjaman, dan (3) tradisi. Ketiganya jelas terkait dengan epigonistik. Karya asli, biasanya disebut orisinil, yang sering menjadi sumber epigon. Istilah pinjaman sama halnya dengan serapan. Sastra sah-sah saja, sebab hubungan estetis tidak mungkin dibendung oleh siapapun.5 Sesuai dengan kodrat manusia yang sejak kecil bahkan masih bayi memang sudah cenderung untuk meniru, hingga besarpun meniru dari orang yang dianggapnya hebat. Sebenarnya melakukan epigon dapat dikatakan sah-sah saja jika tidak sekedar meniru melainkan untuk menemukan jati dirinya yang menjadikannya lebih kreatif untuk berkarya, hal ini dapat disebut epigon kreatif. Melalui pendekatan generik dapat terungkap karya satu dengan karya lain. Hubungan antargenre, sering terjadi lintas genre, sehingga tidak begitu jelas ketika pengarang cerpen mengepigon sebuah puisi. Berbeda ketika puisi mengepigon puisi, tentu akan segera diketahui. Hubungan generik akan selalu ada, sejauh pengarang tidak menutup diri. Pengarang dapat dipastikan akan membaca karya lain dari genre yang berbeda. Itulah sebabnya sastra bandingan akan memahami penyusupan genre satu ke genre lain.6 Selanjutnya mengenai ‘pengaruh’ sastra bandingan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan, atau perbuatan seseorang. Namun dalam hal karya 4



Ibid., h. 210-211 Ibid., h. 211-212 6 Ibid., h. 212-213 5



sastra ‘pengaruh’ harus diartikan secara luas, bukan sekedar proses peniruan yang menimbulkan karya sastra baru berdasarkan karya sastra yang sudah ada. Konsep pengaruh mencakup spectrum yang luas. Mulai dari pinjaman hingga tradisi. 7 Dalam studi pengaruh ada dua metode yang dapat dipergunakan, yakni peneliti menekankan masalahnya dari segi pandang sastrawan yang dipengaruhi atau sebaliknya sastrawan yang mempengaruhi. Jost (1974) mengingatkan bahwa telaah mengenai sumber tidak akan banyak manfaatnya jika tidak diikuti dengan kesimpulan mengenai kualitas intelektual, kandungan emosi, dan hakikat estetik suatu karya. Pengaruh bisa terjadi secara langsung ataupun tidak langsung. Tidak jelas apakah yabg dapat menimbulkan pengaruh itu sastrawan atau karyanya, dan juga tidak begitu saja diketahui apakah pengaruh itu terjadi secara langsung atau lewat perantara; penelitilah yang harus menentukan hal itu. 8 `



Pada bagian lain bukunya, Jost (1974) menyatakan bahwa penelitian bisa



dilaksanakan dengan metode genetic atau polegenetik, dari yang menekankan pentingnya hubungan sebab akibat maupun tidak. Betapapun pentingnya studi pengaruh, hasilnya tidak selalu dapat menjelaskan bagaimana proses penyebaran suatu teknik atau gagasan, sebab bagaimanapun suatu masyarakat harus memiliki sikap untuk siap menerima sesuatu dari luar; jika penularan itu tidak akan pernah terjadi. Dengan demikian sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa seandainya tidak ada sumber pengaruh, tidak akan bisa dipastikan bahwa sastra tertentu tidak menghasilkan sesuatu.9 Selanjutnya ada ‘plagiat’, yang dalam Kamus Besar Bahsa Indonesia diartikan sebagai pengambilan karangan (pendaapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan. Namun pada bukunya Endaswara menyebutkan bahwa plagiat adalah kerja sastrawan yang meniru karya orang lain. Plagiat sama halnya dengan pencurian. Plagiarism tidak saja terjadi dalam lingkungan sastra daerah, tetapi juga dalam hubungan sastra daerah dengan sastra daerah lain, dengan sastra 7



Sapardi Djoko Damono, Sastra Bandingan, (Ciputat: Editum, 2015), h. 24 Ibid., h. 12 9 Ibid., h. 13 8



nasional, bahkan dengan sastra Negara lain. Produk kesusastraan antar wilayah dan antarnegara sering memiliki pertalian dan kemiripan cerita. Fenomena menarik sebab tumbuh dan berkembangnya karya sastra itu dipisahkan oleh letak geografis yang berjalan serta latar budaya masyarakat yang sangat berbeda. 10 Sebagai contoh HB Jassin, kritikus sastra Indonesia, menggunakan prinsip kerja sastra bandingan ketika membela Hamka dan Chairil Anwar dari tuduhan plagiat. Pengarang Hamka dengan novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck-nya dituduh sebagai plagiat, karena memiliki kemiripan dengan karya seorang pengarang Mesir Musthafa Lutfi Al Manfaluthi. Setelah mengkaji melalui sastra bandingan, Jassin menegaskan bahwa Hamka bukan plagiat, melainkan mengadatasi karya pengarang mesir tersebut. 11



Referensi Damono, Sapardi D. Sastra Bandingan. Ciputat: Editum. 2015. Endaswara, Suwardi. Metodelogi Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Bukupop. 2014.



10 11



Endaswara, Op. Cit., h. 206 Ibid., h. 207