Epistaksis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Referat



EPISTAKSIS



RSUD M. NATSIR



Oleh : Aprina Mayang Sari 1510070100016



Preseptor: dr.Jenny Tri Yuspita Sari, Sp.THT-KL



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU THT-KL RUMAH SAKIT UMUM DAERAH M. NATSIR 2021



KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan berkah dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyeelesaikan laporan ilmiah tepat pada waktunya. Tak lupa shalawat beriring salam penulis kirimkan kepada junjungan alam yakni Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang buta akan pengetahuan alam ke alam yang penuh dengan beribu ilmu seperti yang kita rasakan sekarang ini. Referat yang berjudul “Epistaksis” ini penulis buat sebagai tugas saat menjalani kepaniteraan klinik ilmu THT - KL. Rasa terima kasih saya sampaikan kepada pembimbing saya dr. Jenny Tri Yuspita Sari, Sp. THT-KL yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing saya dalam penulisan laporan ilmiah ini sehingga menjadi baik dan terarah. Penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dalam penyusunan karya tulis ini. Untuk itu, penulis memohon maaf atas segala kekhilafan dan kesalahan. Dan tidak lupa juga penulis memohon saran serta kritik yang bersifat membangun agar tujuan menjadikan karya tulis ini sempurna dapat tercapai.



Solok, Januari 2021



Penulis



i



DAFTAR ISI Kata Pengantar............................................................................................... i Daftar Isi.......................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1 1.2 Tujuan......................................................................................................... 1 1.3 Manfaat....................................................................................................... 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung............................................................................................ 2 2.1.1 Hidung Luar..................................................................................... 2 2.1.2 Hidung Dalam.................................................................................. 2 2.2Vaskularisasi Hidung...................................................................................... 3 2.3Innervasi Hidung............................................................................................ 5 2.4Epistaksis....................................................................................................... 5 2.4.1 Definisi............................................................................................. 5 2.4.2 Etiologi............................................................................................. 5 2.4.3 Patofisiologi..................................................................................... 15 2.4.4 Diagnosis ......................................................................................... 15 2.4.5Diagnosis Banding ........................................................................... 17 2.4.6Penatalaksanaan................................................................................ 18 2.4.7 Komplikasi....................................................................................... 22 2.4.8 Prognosis.......................................................................................... 23 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan................................................................................................. 24 DAFTAR PUSTAKA



ii



BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Epistaksis atau perdarahan dari hidung banyak dijumpai sehari-hari baik pada anak maupun usia lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain. Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat, walaupun jarang, merupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani. Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90% dapat berhenti sendiri. Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai pada musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi atau arteriosklerosis. Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. 1.2. Tujuan 



Dapat mengetahui dan memahami mengenai definisi, epidemiologi, patofisiologi, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan, dan komplikasi dari epistaksis.



 1.3.



Dapat memberikan penatalaksaan yang komprehensif untuk epistaksis.



Manfaat 



Sebagai sumber media informasi mengenai epistaksis







Mamanuhi tugas referat di kepaniteraan klinik senior bagian THT RSUD. M. Natsir.



1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung 2.1.1 Hidung Luar Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1. pangkal hidung (bridge), 2. dorsum nasi, 3. puncak hidung, 4. ala nasi, 5. kolumela dan 6. lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri atas : a. Tulang hidung b. Prosesus frontalis os maksila c. Prosesus nasalis os frontal Kerangka tulang rawan terdiri atas : a. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior b. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala mayor) c. Tepi anterior kartilago septum 2.1.2 Hidung Dalam Bagian hidung dalam terdiri atas bagian yang terdapat antara os internum di sebelah anterior hingga ke koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dengan nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum. Tiap kavum nasi mempunyai 4 dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.



2



Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah adalah konka inferior, yang lebih kecil ialah konka medial, lebih kecil lagi konka superior, dan yang paling kecil adalah konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Diantara konka inferior dan dasar hidung terdapat meatus inferior, diantara konka media dan konka inferior terdapat meatus medial, dan disebelah atas konka media terdapat meatus superior.



Gambar: Anatomi Hidung 2.2 Vaskularisasi Hidung



3



Gambar: Vaskularisasi Hidung



Hidung diperdarahi oleh arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna. Bagian atas rongga hidung diperdarahi oleh arteri etmoidalis anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dan arteri karotis interna. Bagian bawah rongga hidung diperdarahi oleh cabang arteri maksilaris interna, diantaranya yaitu ujung arteri palatina mayor dan arteri sphenopalatina. Bagian depan hidung diperdarahi oleh cabang dari arteri fasialis. Pleksus Kiesselbach merupakan anastomosis dari arteri etmoidalis anterior, arteri palatina mayor, arteri sphenopalatina, dan arteri labialis superior yang terletak di anterior rongga hidung. Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan tidak terlindungi sehingga mudah cedera karena trauma. Lebih dari 90% kasus epistaksis terjadi akibat perdarahan di pleksus Kiesselbach atau sering disebut Little’s area di septum nasal. Perdarahan posterior berasal dari pleksus Woodruff yang terletak di rongga hidung bagian belakang atas atau konka media yang merupakan anastomosis dari arteri sphenopalatina dan arteri etmoidalis posterior.



4



Gambar: Plexus Kiesselbach dan Plexus Woodruff



2.3 Innervasi Hidung Bagian depan dan atas ronga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anteior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus (N. V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besarnya mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina. Gangglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabutsaraf sensoris dari nervus maksila (N.V2), serabut parasimpatis dari nervus petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari nerus petrosus profundus. Gangglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.



5



Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel- sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 2.4 Epistaksis 2.4.1. Definisi Epistaksis berasal dari bahasa Yunani epistazo yang berarti hidung berdarah. Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari penyakit lain yang kebanyakan ringan dan dapat berhenti sendiri. Walaupun



jarang,



epistaksis



yang



berat



merupakan



masalah



kegawatdaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani. Hampir 60% dari penduduk dunia mengalami setidaknya satu kali episode epistaksis seumur hidupnya. Puncak kejadian pada pasien anak biasanya pada usia dibawah 10 tahun dan pada pasien dewasa diatas 40 tahun. 2.4.2. Etiologi Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik. 1) Lokal a)



Trauma Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Trauma karena sering mengorek hidung dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan di mukosa bagian septum anterior.



6



Selain itu epistaksis juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan. Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan. Benda asing yang berada di hidung dapat menyebabkan trauma local, misalnya pada pipa nasogastrik dan pipa nasotrakea yang menyebakan trauma pada mukosa hidung. Trauma hidung dan wajah sering menyebabkan epistaksis. Jika perdarahan disebabkan karena laserasi minimal dari mukosa biasanya perdarahan yang terjadi sedikit tetapi trauma wajah yang berat dapat menyebabkan perdarahan yang banyak.



b) Infeksi lokal Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis atau sinusitis. Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan merusak mukosa. Inflamasi akan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat sehingga memudahkan terjadinya perdarahan di hidung. c) Neoplasma



7



Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemangioma, angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat. Karena pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang abnormal dan pembentukan pembuluh darah yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga memudahkan terjadinya perdarahan.



Gambar: Epistaksis pada neoplasma



d) Kelainan kongenital Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan



telangiektasis



heriditer



(hereditary



hemorrhagic



telangiectasia/Osler's disease). Juga seringterjadi pada Von Willendbrand disease. Telengiectasis hemorrhagic hereditary adalah kelainan bentuk pembuluh darah dimana terjadi pelebaran kapiler yang bersifat rapuh sehingga memudah kan terjadinya perdarahan.



8



Gambar: Osler’s Disease Jika ada cedara jaringan, terjadi kerusakan pembuluh darah dan akan menyebabkan kebocoran darah melalui lubang pada dinding pembuluh darah. Pembuluh dapat rusak dekat permukaan seperti saat terpotong. Atau dapat rusak di bagian dalam tubuh sehingga terjadi memar atau perdarahan dalam. Jika pembuluh darah terluka, ada empat tahap untuk membentuk bekuan darah yang normal.



Gambar a. Normal



Gambar b. tidak normal



Tahap 1



Pembuluh darah terluka dan mulai mengalami perdarahan.



Tahap 2



Pembuluh darah menyempit untuk memperlambat aliran darah ke daerah yang luka.



9



Tahap 3



Trombosit melekat dan menyebar pada dinding pembuluh darah yang rusak. Ini disebut adesi trombosit. Trombosit yang menyebar melepaskan zat yang mengaktifkan trombosit lain didekatnya sehingga akan menggumpal membentuk sumbat trombosit pada tempat yang terluka. Ini disebut agregasi trombosit.



Tahap 4



Permukaan trombosit yang teraktivasi menjadi permukaan tempat terjadinya bekuan darah. Protein pembekuan darah yang beredar dalam darah diaktifkan pada permukaan trombosit membentuk jaringan bekuan fibrin.



Protein ini (Faktor I, II, V, VII, VIII, IX, X, XI, XII dan XIII dan Faktor Von Willebrand) bekerja seperti kartu domino, dalam reaksi berantai. Ini disebut cascade.



Gambar a. cascade koagulasi normal



Gambar b. cascade koagulasi Hemophilia



VWD dapat terjadi pada dua tahap terakhir pada proses pembekuan darah. 1. Pada tahap ke 3, seseorang dapat berkemungkinan tidak memiliki cukup Faktor Von Willebrand (VWF) di dalam darahnya atau faktor tersebut tidak berfungsi secara normal. Akibatnya VWF tidak dapat bertindak sebagai perekat untuk menyangga trombosit di sekitar daerah pembuluh darah yang mengalami kerusakan. Trombosit tidak dapat melapisi dinding pembuluh darah. 2. Pada tahap ke 4, VWF membawa Faktor VIII. Faktor VIII adalah salah satu protein yang dibutuhkan untuk membentuk jaringan yang kuat. Tanpa



10



adanya faktor VIII dalam jumlah yang normal maka proses pembekuan darah akan memakan waktu yang lebih lama. Akibatnya VWF tidak dapat bertindak sebagai perekat untuk menyangga trombosit di sekitar daerah pembuluh darah yang mengalami kerusakan. e) Pengaruh lingkungan Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis sering terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang disebabkan oleh dehumidifikasi mukosa nasal selain itu bisa di sebabkan oleh zat-zat kimia yang bersifat korosif yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh darah gampang pecah. f) Deviasi septum Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Selain itu dapat menyebabkan turbulensiudara yang dapat menyebabkan terbentuknya krusta. Pembuluh darah mengalami ruptur bahkan oleh trauma yang sangat ringan seperti mengosok-gosok hidung.



2) Sistemik a)



Kelainan darah Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis adalah trombositopenia, hemofilia dan leukemia. Trombosit adalah fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak berinti dan dibentuk di sumsum tulang. Trombosit berfungsi untuk pembekuan darah bila terjadi trauma. Trombosit pada pembuluh darah yang



rusak



akan



melepaskan



serotonin



dan



tromboksan



A₂



(prostaglandin), hal ini menyebabkan otot polos dinding pembuluh darah berkonstriksi. Pada awalnya akan mengurangi darah yang hilang. Kemudian trombosit membengkak, menjadi lengket, dan menempel pada serabut kolagen dinding pembuluh darah yang rusak danmembentuk plugtrombosit. Trombosit juga akan melepas ADP untuk mengaktivasi 11



trombosit lain, sehingga mengakibatkan agregasi trombosit untuk memperkuat plug. Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari 150.000/ µl. Trombositopenia akan memperlama waktu koagulasi dan memperbesar resiko terjadinya perdarahan dalam pembuluh darah kecil di seluruh tubuh sehingga dapat terjadi epistaksis pada keadaan trombositopenia. Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan secara X-linked resesif. Gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme hemostasis herediter, dimana terjadi defisiensi atau defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX (hemofilia B). Darah pada penderita hemofilia tidak dapat membeku dengan sendirinya secara normal.Proses pembekuan darah berjalan amat lambat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya epistaksis. Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darah putih yang diproduksi oleh .sumsum tulang (bone marrow). Sumsum tulang atau bone marrow ini dalam tubuh manusia memproduksi tiga tipe sel darah diantaranya sel darah putih (berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan infeksi), sel darah merah (berfungsi membawa oksigen kedalam tubuh) dan trombosit (bagian kecil sel darah yang membantu proses pembekuan darah). Pada Leukemia terjadi peningkatan pembentukan sel leukosit sehingga menyebabkan penekanan atau gangguan pembentukan sel-sel darah yang lain di sumsum tulang termasuk trombosit. Sehingga terjadi keadaan trombositpenia yang menyebabkan perdarahan mudah terjadi. Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat pula mempredisposisi epistaksis berulang. Aspirin mempunyai efek antiplatelet yaitu dengan menginhibisi produksi tromboksan, yang pada keadaan normal akan mengikat molekul-molekul trombosit untuk membuat suatu sumbatan pada dinding pembuluh darah yang rusak. Aspirin dapat menyebabkan peoses pembekuan darah menjadi lebih lama sehingga dapat terjadi perdarahan. Oleh karena itu,aspirin dapat menyebabkan epistaksis.



12



b) Penyakit kardiovaskuler Hipertensi



dan



kelainan



pembuluh



darah,



seperti



pada



aterosklerosis, sirosis hepatis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik. 1. Hipertensi Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHG dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmhg. Epistaksis sering terjadi pada tekanan darah tinggi karena kerapuhan pembuluh darah yang di sebabkan oleh penyakit hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi pembuluh darah terus menerus yang mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis. 2. Arteriosklerosis Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi keadaan tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa mengompensasi



dengan



vasodilatasi,



menyebabkan



rupture



dari



pembuluh darah. 3. Sirosis hepatis Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X dan vitamin K. Pada sirosis hepatis fungsi sintesis protein-protein dan vitamin yang dibutuhkan untuk pembekuan darah terganggu sehingga mudah terjadinya perdarahan. Sehingga epistaksis bisa terjadi pada penderita sirosis hepatis. 4. Diabetes mellitus Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan mikroangiopati dan makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi dapat



13



menyebabkan sel endotelial pada pembuluh darah mengambil glukosa lebih dari normal sehingga terbentuklah lebih banyak glikoprotein pada permukaannya dan hal ini juga menyebabkan basal membran semakin menebal dan lemah. Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal tapi lemah sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis dapat terjadi pada pasien diabetes mellitus. c) Infeksi akut Demam berdarah Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi



selain



mengaktivasi



sistem



komplemen,



juga



menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. Oleh karena itu epistaksis sering terjadi pada kasus demam berdarah.



d) Gangguan hormonal Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi di pembuluh darah yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh termasuk di hidung yang menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan akhirnya terjadinya epistaksis. e) Alkoholisme



14



Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal sehingga menyebabkan terjadinya sumbatan pada pembuluh darah. Hal ini menyebabkan terjadinya hipoksia dankematian sel. Selain itu hal ini menyebabkan



peningkatan



tekanan



intravascular



yang



dapat



mengakibatkan pecahnya pembuluh darah sehingga dapat terjadi epistaksis. 2.4.3 Patofisiologi Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadangkadang sukar ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan posterior. 1) Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.



Gambar: Epistaksis anterior 2) Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular.



15



Gambar: Epistaksis posterior 2.4.4 Diagnosis Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan penyebabnya harus segera dilakukan. Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa hidung berlebihan. Penting mendapatkan riwayat trauma terperinci. Riwayat pengobatan atau penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari. Banyak pasien minum aspirin secara teratur untuk banyak alasan. Aspirin merupakan penghambat fungsi trombosit dan dapat menyebabkan pemanjangan atau perdarahan. Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung beberapa waktu dan bahwa aspirin ditemukan sebagai komponen dalam sangat banyak produk. Alkohol merupakan senyawa lain yang banyak digunakan, yang mengubah fungsi pembekuan secara bermakna. Anamnesis yang penting ditanyakan antara lain: 1. Riwayat perdarahan sebelumnya 2. Lokasi perdarahan 3. Apakah ada darah mengalir kedalam tenggorokan atau keluar dari hidung bila pasien duduk atau tegak? 4. Lama perdarahan dan frekuensinya 5. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga 6. Hipertensi 7. Diabetes mellitus 8. Penyakit hati 9. Penggunaan antikoagulan



16



10. Trauma hidung yang belum lama Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, speculum hidung dan alat penghisap (bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kassa. Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung. Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa: a. Rinoskopi anterior : Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.



Gambar-11: Rhinoskopi Anterior b. Rinoskopi posterior Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma



17



c. Pengukuran tekanan darah Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang. d. Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi. e. Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya.



Gambar: Tampilan endoskopi epistaksis posterior f. Skrining terhadap koagulopati Tes-tes



yang



tepat



termasuk



waktu



protrombin



serum,



waktu



tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan. g. Riwayat penyakit Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari epistaksis.



2.4.5 Diagnosis Banding



18



Angiofibroma hidung, termasuk perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi darah mengalir keluar dari hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang berdarah, perdarahan di basis cranii yang kemudian darah mengalir melalui sinus sphenoid ataupun tuba eustachius. Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.



2.4.6 Penatalaksanaan Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari sumber perdarahan, hentikan perdarahan, dan cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan. Farmakoterapi hanya sebagai terapi pendukung pada pasien epistaksis. Bila pasien datang dengan epistaksis, periksa keadaan umumnya, nadi, pernafasan, serta tekanan darah. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu misalnya dengan memasang infus. a. Perdarahan Anterior Pada epistaksis anterior yang tidak berhenti sendiri, dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit, cara ini seringkali berhasil. Bila sumber perdarahan dapat terlihat, dapat dikauterisasi dengan larutan Nitrat Argenti (AgNO3) 25-30%. Bila perdarahan masih berlangsung, maka perlu dilakukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian pelumas ini berfungsi agar tampon mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan baru saat dimasukkan atau dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi. Bila perdarahan belum berhenti, dapat dipasang tampon baru.



19



Pasien juga harus diberikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi akibat pemasangan tampon



Gambar: Anterior NasalPacking / Tampon Hidung Anterior Komplikasi dari pemasangan nasal packing ini adalah hematoma septum dan abses dari trauma packing, sinusitis, singkop neurogenic selama pemasangan, dan nekrosis jaringan karena penekanan dari tampon itu sendiri. Karena adanya kemungkinan terjadi sindrom syok toksik pada pemasangan tampon yang lama, pemberian salep antibiotik topikal pada tampon yang diperlukan. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit (Metode Trotter).



Gambar . Metode Trotter Terapi medikamentosa : 



Pada pasien yang dipasang tampon anterior, berikan antibiotik profilaksis. 20







Vasokonstriktor topikal : Oxymetazoline 0,05%. -Menstimulasi reseptor alfa-adrenergik sehingga terjadi vasokonstriksi. -Dosis : 2 – 3 spray pada lubang hidung setiap 12 jam







Anestesi lokal : lidokain 4% -Digunakan bersamaan dengan oxymetazolin -Menginhibisi depolarisasi, memblok transmisi impuls saraf







Salep antibiotik : mopirocin 2% (Bactroban nasal) -Menghambat pertumbuhan bakteri -Dosis : 0,5 g pada setiap lubang hidung selama 5 hari



b. Perdarahan Posterior Epistaksis posterior lebih sulit diatasi karena biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Dapat dilakukan pemasangan tampon posterior atau yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini terbuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 buah benang, 2 di satu sisi dan 1 di sisi yang lain. Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan kateter Folley dengan balon. Untuk memasang tampon Bellocq, dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai tampak di orofaring dan kemudian ditarik keluar melalui mulut. Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung. Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon ini ke arah nasofaring. Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada kain kasa yang diletakkan ditempat lubang hidung sehingga tampon posterior terfiksasi. Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan melalui mulut (tidak boleh ditarik terlalu kencang) dan diletakkan pada pipi.



21



Benag ini berguna untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Setiap pasien dengan tampon Bellocq harus dirawat.



Gambar: Posterior nasal packing/Tampon hidung posterior Beragam sistem balon efektif dalam menangani perdarah posterior dan menimbulkan komplikasi yang lebih sedikit di bandingkan dengan prosedur packing. Konsepnya tetap sama, dengan memasukkan udara atau cairan kedalam balon, balon akan mengembang dan memberikan penekanan pada dinding lateral hidung dan septum. Tipe terbaru dari balon nasal adalah double balloon,gabungan dari balon dan Merocel yang mempunyai kemampuan untuk tetap berada di tempatnya setelah balon mengempis dan dilepas. Beberapa balon nasal dapat memberikan jalur pernafasan melalui lubang yang ada di tengahnya. Sama seperti anterior nasal packing, nekrosis jaringan dapat terjadi pada pemasangan posterior nasal packing yang salah maupun pada pemasangan balon yang dikembangkanberlebihan.



22



Gambar : Double Balloon terpasang



Ketika



tindakan



konservatif



gagal



untuk



menghentikan



perdarahan, embolisasi atau ligasi pembuluh darah diperlukan. Ahli radiologi intervensi dapat melakukan embolisasi pada cabang distal dari arteri maxillaris interna dan arteri sphenopalatina untuk epistaksis posterior. Resiko terjadinya komplikasi mayor seperti stroke, paralisis wajah, kebutaan, atau neuropati berhubungan dengan administrasi material kontras adalah sebesar 4%. Komplikasi minor seperti hematoma terjadi 10% dari kasus. Sedangkan angka kesuksesan dari kebanyakkan kasus adalah 80-90%. Berdasarkan beberapa laporan kasus dan ulasan literatur, tingkat kesuksesan ligasi arteri sphenopalatina adalah sama atau lebih tinggi dibandingkan tindakan embolisasi. Ligasi dapat dilakukan 30-60 menit dengan mengunakan teknik endoskopik modern. Ligasi endoskopik arteri sphenopalatina dapat mencegah terjadiya resiko-resiko diatas tetapi membutuhkan anastesi umum. Epistaksis anterior yang gagal pada kausterisasi ataupun packing jarang terjadi, tetapi intervensi bedah terkadang dibutuhkan. Embolisasi pada arteri etmoidalis anterior dan posterior jarang dilakukan karena adanya resiko kanulasi dari arteri karotis interna yangmana meningkatkan resiko terjadinya stroke, atau pada arteri ophtalmika yangmana meningkatkan resiko terjadinya kebutaan. Kebanyakan otolaringologis melakukan ligasi eksternal dari arteri ethmoidalis anterior dan posterior melalui insisi kecil di medial alis mata dan melakukan kauter bipolar atau mengklem pembuluh darah sebelum pembuluh darah tersebut keluar dari foramen etmoidalis anterior dan posterior. Dengan begitu resiko stroke dan kebutaan dapat di minimalisir.



23



Ketika epistaksis telah terkontrol, perawatan rutin mukosa hidung penting untuk diperhatikan agar menghindari rekurensi. Pemberian gel topical, lotion, dan salep dapat melembabkan mukosa dan mempercepat penyembuhan.



2.4.7 Komplikasi Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksis itu sendiri atau sebagai akibat dari upaya penanggulangan epistaksis yang dilakukan. Perdarahan yang hebat dapat menyebabkan aspirasi darah kedalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat menyebabkan hipoksia, edema serebri, insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. Pemasangan tampon anterior dapat menyebabkan rinosinusitis, bloodytears (akibat darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis), dan septikemia atau toxic shock syndrome. Pemasangan tampon posterior dapat menyebabkan otitis media, hemotimpanum (akibat darah mengalir melalui tuba Eustachius), dan laserasi palatum mole atau sudut bibir jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan di pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh di pompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum. Pada pasien yang di pasang tampon harus selalu diberikan antibiotik dan setelah 2-3 hari, tampon harus di cabut. Bila perdarahan masih berlanjut, pasang tampon baru. 2.4.8 Prognosis Epistaksis dapat berhenti sendiri pada 90% kasus. Pada pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk.



24



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan bukan suatu penyakit, yang disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan tertentu. Epistaksis bisa bersifat ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal. Epistaksis disebabkan oleh banyak hal, namun dibagi dalam dua kelompok besar yaitu sebab lokal dan sebab sistemik. Epistaksis dibedakan menjadi dua berdasarkan lokasinya yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah



25



perbaiki keadaan umum, cari sumber perdarahan, hentikan perdarahan, dan cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan.



DAFTAR PUSTAKA 1. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies buku ajar penyakit THT. Alih bahasa : Caroline W. Edisi VI. Jakarta. EGC Penerbit buku kedokteran, 1993:224 – 37. 2. Arsyad Soepardi, Efiaty, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL. Edisi VII. Jakarta : FKUI. 3. Ludman, Harold, Bradley, J Patrick. ABC Telinga, Hidung, dan Tenggorok. Edisi V. Jakarta: EGC,2011: 87-88 4. Nagel, Patrick, Gurkov,Robert. Dasar-Dasar Ilmu THT. Edisi 2. Jakarta: EGC. 2012: 50-51 26



5. Shah AG, Stachler RJ, Krouse JH. Endoscopic ligation of the sphenopalatine artery as a primary management of severe posterior epistaxis in patiens with coagulopathy. Ear Nose Throat J. 2005. Vol. 84 (5): 296 – 7. 6. Thornton MA, Mahest BN, Lang J. Posterior Epistaxis: Identification of common bleeding sites. Laryngodcope, 2005. Vol.115 (4): 588 – 90. 7. Vaghela HM. Foley catheter posterior nasal packing. Clin Otolaryngol, 2005. Vol. 30(2): 209 – 10.



27