Evaluasi Kebijakan Publik (W.dunn) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Evaluasi Kebijakan Publik BAB I PENDAHULUAN Menurut William N Dunn dalam Publik Policy Analisis: An Introduction menjelaskan bahwa evaluasi merupakan salah satu dari proses ataupun siklus kebijakan publik setelah perumusan masalah kebijakan, implementasi kebijakan, dan monitoring atau pengawasan terhadap implementasi kebijakan. Pada dasarnya, evaluasi kebijakan bertujuan untuk menilai apakah tujuan dari kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut telah tercapai atau tidak. Tetapi evaluasi tidak hanya sekedar mengahasilkan sebuah kesimpulan mengenai tercapai atau tidaknya sebuah kebijakan atau masalah telah terselesaikan, tetapi evaluasi juga berfungsi sebagai klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan masalah pada proses kebijakan selanjutnya. Evaluasi merupakan salah satu dari prosedur dalam analisis kebijakan publik. Metodologi analisis kebijakan publik pada hakikatnya menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia yaitu definisi (perumusan masalah), prediksi (peramalan), preskripsi (rekomendasi), dan evaluasi yang mempunyai nama sama dengan yang dipakai dalam bahasa sehari-hari yang berfungsi menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan masalah atau pengatasan masalah. Ke lima prosedur tersebut dapat dilihat pada gambar 1.



Gambar 1. Analisis Kebijakan yang berorientasi pada masalah



BAB II PEMBAHASAN Evaluasi Kebijakan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara no Per / 15 / M.Pan / 7 / 2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi menyebutkan bahwa ”evaluasi adalah suatu kegiatan menilai hasil suatu kegiatan yang sedang atau sudah dilaksanakan. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui kesesuaian pelaksanaan kegiatan dengan tujuan yang telah ditetapkan. ” Hal ini berbeda dengan monitoring dimana monitoring dilakukan ketika sebuah kebijakan sedang diimplementasikan ( Subarsono, cetakan II 2006 : 113). Mustopadidjaja (2003 : 45 ) mengatakan bahwa ”evaluasi merupakan kegiatan pemberian nilai atas suatu fenomena, yang di dalamnya terkandung pertimbangan nilai ( value judgement tertentu ).” Fenomena yang dinilai adalah berbagai fenomena mengenai kebijakan, seperti tujuan dan sasaran kebijakan,kelompok sasaran yang ingin dipengaruhi, instrumen kebijakan yang dipergunakan, respons dari lingkungan kebijakan, kinerja yang dicapai, dampak yang terjadi dan lain – lain. Sedangkan evaluasi kinerja kebijakan merupakan bagian dari evaluasi kebijakan yang secara spesifik terfokus pada berbagai indikator kinerja yang terkait kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan. Esensi dari evaluasi menurut buku SANKRI ( LAN 2005 : 131 ) adalah untuk menyediakan umpan balik ( feedback ), yang mengarah pada hasil yang baik (successful outcomes ) menurut ukuran nyata dan obyektif. Pada hakekatnya, tujuan evaluasi adalah untuk perbaikan ( bila perlu, bukan dalam rangka pembuktian / to improve, not to prove ). Dua hal yang ingin diungkap melalui evaluasi adalah : (1) Keluaran kebijakan ( policy output ), yaitu apa yang dihasilkan dengan adanya perumusan kebijakan; ( 2 ) hasil / dampak kebijakan ( policy outcomes / consequences ), yaitu akibat dan konsekuensi yang ditimbulkan dengan diterbitkan dan diimplementasikannya suatu kebijakan. Secara umum, tujuan evaluasi menurut Mark, et.al. (2000:13) ada empat: a. Penilaian terhadap unggulan dan nilai (assessment of merit and worth), yaitu mengembangkan penilaian-penilaian yang dapat dipercaya, pada tingkat individu dan masyarakat, dari suatu kebijakan atau program. b. Penyempurnaan program dan organisasi (program and organizationalimprovement), yaitu usaha untuk menggunakan informasi yang secara langsung memodifikasi dan mendukung operasi program. c. Kekeliruan dan kesesuaian (oversight and compliance), penilaian terhadap perluasan dari program seperti status perintah, peraturan, aturan, mandat baku dan harapan formal lainnya.



d. Pengembangan pengetahuan (knowledge development), pemeriksaan atau



pengujian teori umum, proposisi hipotesis dalam konteks kebijakan dan program. Sedangkan jenis- jenis evaluasi kinerja kebijakan menurut LAN (2005:131 ) dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori besar : 1. Evaluasi proses, meliputi: a. Evaluasi implementasi, memusatkan perhatian pada (1) upaya mengidenfifikasi kesenjangan yang ada antara hal-hal yang telah direncanakan dan realita, ( 2 )upaya menjaga agar kebijakan / program dan kegiatankegiatan sesuai dengan rancangan dan bila diperlukan dapat dilakukan modifikasi dalam rangka penyesuaian dan penyempurnaan. b. Evaluasi kemajuan, memfokuskan pada kegiatan pemantauan indikator - indikator dari kemajuan pencapaian tujuan kebijakan. 2. Evaluasi hasil, dilakukan dalam rangka menetapkan tingkat pencapaiantujuan kebijakan. Termasuk di dalamnya analisis SWOT, dan rekomendasi untuk perbaikan di masa yang akan datang. Kedua jenis evaluasi tersebut perlu dilakukan untuk memastikan pencapaian tujuan kebijakan yang telah ditetapkan S ecara m et odol ogis, (1989: 5) dapat dibedakan evaluasi dalam dua jenis, yaitu evaluasi formatif dan sumatif. Evaluasi formatif biasanya melihatdan meneliti pelaksanaan suatu program, mencari umpan balik untuk memperbaiki pelaksanaan program tersebut. Sementara evaluasi sumatifbiasanya dilakukan pada akhir program untuk mengukur apakah tujuan program tersebut tercapai. Sedangkan Herman, Morris dan Gibbon ( 1987: 26 ) membedakan evaluasi formatif dengan evaluasi sumatif menurut fokus tindakannya sebagai berikut : (..... evaluasi formatif, yang memfokuskan pada pemberian informasi kepada perencana dan pelaksana mengenai bagaimana meningkatkan dan memperbaiki suatu program yang sedang dikembangkan atau berlangsung; dan evaluasi sumatif yang berusaha menilai kualitas dan dampak keseluruhan dari program yang matang untuk tujuan pertanggung jawaban dan pembuatan kebijakan ). Perbedaan yang lebih jelas antara keduanya dapat ilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2. Perbandingan antara Evaluasi Formatif dan Evaluasi Sumatif Evaluasi Formatif Evaluasi Sumatif Penggunaan Pengembang program  Pengambil Kebijakan Utama Manager program  Penyandang dana Pelaksana Program Tekanan Klarifikasi Tujuan  Dokumentasi utama dalam Kematangan program, proses atau outcome pengumpulan implementasi  Dokumentasi data Klarifikasi persoalan dalam impleimplementasi mentasi dan kemajuan terkait outcome Analisa level mikro dari implementasi dan outcome Peran utama pengembang Kolaborator Penyedia data



dan pelaksana program Peran utama evaluator Metodologi tipikal Frekuensi pengambilan data Mekanisme utama pelaporan Frekuensi pelaporan Penekanan  pelaporan



Interaktif



Independen



Kualitatif dan kuantitatif, dengan penekanan pada metode kualitatif



Kuantitatif, kadang diperkaya dengan kualitatif Terbatas



Selama proses monitoring



Diskusi atau interaksi dalam pertemuan informal



Laporan formal



Selama proses berlangsung



Pada akhir proses



Hubungan antara elemen proses level mikro  Hubungan konteks & proses  Hubungan proses& outcome  Implikasi terhadap pelaksanaan program & perubahan yang spesifik dalam operasi. Kredibilitas  Memahami program yang diper  Adanya hubungan dengan syaratkan pengembang atau pelaksana  Advokasi atau rasa percaya



Hubungan dalam konteks makro dari proses dan outcomes. Implikasi terhaap kebijakan, kontrol administrasi dan manajemen.  Aturan ilmiah yang ketat  Kenetralan



Sumber : Herman, Morris & Gibbon ( 1987:26) Weis ( 1972:2526 ) seperti yang dikatakan oleh Widodo ( 2008:124 ) menjabarkan bahwa terdapat beberapa tahap dalam evaluasi kebijakan: 1. Formulating the program goals that the evaluation will use as criteria. 2. Choosing among multiple goals. 3. Investigating unanticipated consequences. 4. Measuring outcomes. 5. Specifying what the program is 6. Measuring program inputs and intervening processes. 7. Collecting the necessary data. Dengan mengacu pada uraian sebelumnya maka menurut Widodo (2008:125) untuk melakukan evaluasi kebijakan, program dan kegiatan terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan : a. Mengidentifikasi apa yang menjadi tujuan kebijakan, program dan kegiatan. b. Penjabaran tujuan kebijakan, program dan kegiatan ke dalam kriteria atau indikator pencapaian tujuan.



c. Pengukuran indikator pencapaian tujuan kebijakan program. d. Berdasarkan indikator pencapaian tujuan kebijakan program tadi, data dicari di lapangan. e. Hasil data yang diperoleh dari lapangan diolah dan dikomparasi dengan kriteria pencapaian



tujuan. Sedangkan kriteria / indikator evaluasi menurut Dunn ( 2000 :61) sebagai berikut Tabel 3. Indikator Evaluasi Kebijakan menurut Dunn Tipe kriteria Pertanyaan 1. Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai 2. Efisiensi



Seberapa banyak usaha diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan



3. Kecukupan



Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan memecahkan masalah



4. Pemerataan



Apakah biaya dan manfaat didistribusikan dengan merata kepada kelompok yang berbeda



5. Responsivitas



Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok tertentu



6. Ketepatan



Apakah hasil ( tujuan ) yang diinginkan benar – benar berguna atau bernilai ?



Berdasarkan tingkat keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kebijakan, disusun rekomendasi kebijakan berkaitan dengan masa depan kebijakan publik yang sedang dievaluasi. Alternatif rekomendasi kebijakan tentang nasib kebijakan publik meliputi beberapa hal yaitu apakah kebijakan program tersebut : (1) perlu diteruskan, (2) perlu diteruskan dengan perbaikan, (3) perlu direplikasikan di tempat lain atau memperluas berlakunya royek, (4) harus dihentikan. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi kebijakan adalah kegiatan menilai hasil suatu kegiatan yang sedang atau sudah dilaksanakan. Evaluasi bertujuan untuk memperbaiki ( to improve ) dan bukan membuktikan ( to prove ) dengan memberikan umpan balik.



BAB III PENUTUP Kesimpulan



a. b. c. d. e.



Evaluasi adalah suatu kegiatan menilai hasil suatu kegiatan yang sedang atau sudah dilaksanakan. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui k esesuaian pelaksanaan kegiatan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Tahapan-tahapan yang harus dilakukan dalam melakukan evaluasi kebijakan adalah : Mengidentifikasi apa yang menjadi tujuan kebijakan, program dan kegiatan. Penjabaran tujuan kebijakan, program dan kegiatan ke dalam kriteria atau indikator pencapaian tujuan. Pengukuran indikator pencapaian tujuan kebijakan program. Berdasarkan indikator pencapaian tujuan kebijakan program tadi, data dicari di lapangan. Hasil data yang diperoleh dari lapangan diolah dan dikomparasi dengan kriteria pencapaian tujuan. Evaluasi bertujuan untuk menilai apakah tujuan dari kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut telah tercapai atau tidak. Evaluasi muncul karena adanya kebutuhan untuk melakukan klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan.



Studi Kasus Evaluasi Pemekaran Daerah Kabupaten di Indonesia Pemerintah daerah melihat pemekaran daerah sebagai upaya untuk secara cepat keluar dari kondisi keterpurukan. Studi ini menyajikan evaluasi terhadap pemekaran kabupaten yang telah berlangsung di Indonesia sejak tahun 2000 sampai dengan 2005. Melalui penerapan metode control-treatment dan pemilihan sampel secara purposive, studi ini telah membandingkan kinerja pembangunan daerah otonom baru, daerah induk, dan daerah kontrol. Empat aspek utama yang menjadi fokus penelitian dalam studi ini adalah (a) perekonomian daerah, (b) keuangan daerah, (c) pelayanan publik, serta (d) aparatur pemerintah daerah. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa daerah-daerah pemekaran yang menjadi cakupan wilayah studi, secara umum memang tidak berada dalam kondisi awal yang lebih baik dibandingkan daerah induk atau daerah kontrol. Namun setelah lima tahun dimekarkan, ternyata kondisi Daerah Otonom Baru (DOB) juga secara umum masih tetap berada di bawah kondisi daerah induk dan daerah kontrol. Pertumbuhan ekonomi daerah otonom baru (DOB) lebih fluktuatif dibandingkan dengan daerah induk yang relatif stabil dan terus meningkat. Memang pertumbuhan ekonomi daerah pemekaran (gabungan DOB dan daerah induk) menjadi lebih



tinggi dari daerah-daerah kabupaten lainnya, namun masih lebih rendah dari daerah kontrol. Hal ini berarti, walaupun daerah pemekaran telah melakukan upaya memperbaiki perekonomian, di masa transisi membutuhkan proses, belum semua potensi ekonomi dapat digerakkan. Dari sisi ekonomi, penyebab ketertinggalan daerah DOB daridaerah induk maupun daerah lainnya adalah keterbatasan sumber daya alam, juga keterbatasan sumber daya manusia (penduduk miskin cukup banyak), dan belum maksimalnya dukungan pemerintah dalam menggerakkan perekonomian melalui investasi publik. Masalah-masalah yang dihadapi pada aspek ekonomi cukup beragam dan belum kondusif dalam menggerakkan investasi, pola belanja aparatur, dan pembangunan yang belum sepenuhnya mendukung perekonomian lokal karena masalah tempat tinggal aparatur, pemilihan ibukota kabupaten yang belum dapat menciptakan pusat perekonomian di DOB, keterbatasan berbagai infrastruktur penunjang ekonomi maupun penunjang pusat fasilitas pemerintahan. Secara umum kinerja keuangan daerah otonom baru (DOB) lebih rendah dibandingkan daerah induk. Pemekaran juga mendorong ketergantungan yang lebih besar di daerah pemekaran dibandingkan dengan daerah kontrol maupun kabupaten lain pada umumnya. Dalam periode 2001-2005, kinerja keuangan pemerintah DOB mengalami peningkatan, baik dari sisi penurunan dependensi fiskal maupun dari sisi kontribusi ekonomi. Hanya saja peningkatan kinerja tersebut belum dapat dikatakan optimal karena masih tergolong dalam dependensi fiskal yang tinggi dengan kontribusi ekonomi yang relatif rendah. Hal ini terjadi dalam kondisi investasi pemerintah (capital expenditure) DOB yang relatif lebih besar dibandingkan daerah lainnya. Tentunya ini terkait dengan kenyataan bahwa DOB masih berada dalam fase transisi, baik secara kelembagaan, aparatur maupun infrastruktur pemerintahan. Secara umum kinerja pelayanan publik di DOB masih di bawah daerah induk, walaupun kesenjangannya relatif kecil. Kinerja pelayanan publik di DOB plus daerah induk secara umum masih berada di bawah kinerja pelayanan publik di daerah kontrol maupun rata-rata kabupaten. Selama lima tahun terakhir, di semua kategori daerah terlihat kinerja pelayanan publik yang cenderung menurun. Masalah yang dihadapi dalam pelayanan publik ialah (i) tidak efektifnya penggunaan dana, terkait dengan kebutuhan dana yang tidak seimbang dengan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang relatif sama, (ii) ketersediaan tenaga pelayanan pada masyarakat karena perkembangan ekonomi dan fasilitas yang terbatas, (iii) masih terbatasnya pemanfaatan layanan publik publik yang diberikan. Pertumbuhan guru untuk pendidikan dasar di daerah DOB lebih tinggi dibandingkan daerah induk maupun daerah kontrol, meskipun masih lebih rendah dibandingkan rata-rata kabupaten. Di sisi lain, daya tampung sekolah mengalami kecenderungan menurun. Ketersediaan fasilitas kesehatan di daerah DOB dalam perkembangannya tidak jauh berbeda dengan daerah induk. Pemekaran daerah secara nyata mendorong pemerataan pelayanan kesehatan, terutama di bidang sarana fisik. Dari sisi ketersediaan tenaga kesehatan, daerah DOB masih berada di bawah daerah induk dengan kesenjangan yang relatif besar. Pada aspek infrastuktur, kualitas jalan di daerah induk masih lebih baik dibandingkan di daerah DOB. Selain itu kualitas jalan di daerah pemekaran lebih rendah daripada kualitas jalan di daerah kontrol dan rata-rata kabupaten. Hal ini menandakan, meski upaya pembangunan infrastruktur tetap dilakukan perkembangannya jauh lebih cepat di daerah bukan pemekaran. Kualitas aparatur di DOB masih sangat rendah, meskipun data menunjukkan adanya peningkatan persentase aparat dengan pendidikan minimal sarjana. Daerah DOB belum menunjukkan kinerja sesuai dengan yang diharapkan, karena pada masa transisi tidak ada desain



penempatan aparatur yang benar-benar baik. Di samping itu, pembatasan jumlah aparatur yang formasinya ditentukan oleh pusat juga ikut menentukan ketersediaan aparatur. Masalah-masalah yang ditemui pada pengelolaan aparatur di antaranya: adanya ketidaksesuaian antara aparatur yang dibutuhkan dengan ketersediaan aparatur yang ada, kualitas aparatur yang rendah, aparatur daerah bekerja dalam kondisi underemployment, yakni bekerja di bawah standar waktu yang telah ditetapkan oleh pemerintah.



DAFTAR PUSTAKA Dunn .W, (2003), Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta, Gajah Mada Universitas Press. Lembaga Administrasi Negara RI, ( 2005 ). SANKRI, Buku III – Landasan dan pedoman Pokok Penyelenggaraan dan Pengembangan Sistem Administrasi Negara, Jakarta, LAN. Mustopadidjaya, (2005), Manajemen Proses Kebijakan Publik, Jakarta, Lembaga Administrasi Negara - Duta Pertiwi Foundation, Jakarta. Subarsono, AG.Drs, Msi, MA.( cetakan kedua 2006 ). Analisis Kebijakan Publik ( Konsep, Teori dan Apikasi ), Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Widodo, Joko, Dr.M.S. ( cetakan kedua, 2008 ). Analisis Kebijakan Publik ( Konsep, dan Aplikasi Proses Kebijakan Publik). Malang, Bayumedia Publishing.