Evangelisasi - Materi Kuliah Gasal 2021-2022 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



Dasar-dasar Evangelisasi melalui Media Pendahuluan Pusat dari setiap proses evangelisasi dan katekese adalah Kristus sendiri. Apapun yang diwartakan dan diajarkan di dalam evangelisasi dan katekese harus senantiasa berpusat pada Kristus. Kegiatan evangelisasi sebenarnya bersifat lebih luas dibandingkan dengan katekese. Evangelisasi (baik dalam bentuk kata-kata maupun perbuatan) diperlukan terlebih dahulu sebelum seseorang masuk dalam proses katekese secara formal – dalam kaitannya dengan sakramen inisiasi. Seseorang tidak akan masuk secara formal dalam kelas pelajaran agama Katolik, tanpa dia mempunyai ketertarikan akan Kristus. Oleh karena itu, evangelisasi diperlukan untuk membangkitkan iman, sehingga seseorang ingin mengenal lebih dalam iman Katolik dalam proses katekese. Dan proses katekese ini akan menuntun seseorang kepada kepenuhan hidup kristiani, yang dimanifestasikan dalam sakramen inisiasi (Sakramen Baptis, Sakramen Penguatan, Sakramen Ekaristi). Namun, evangelisasi harus dilakukan secara terus-menerus, termasuk kepada orangorang yang telah dibaptis, sehingga mereka terus diperbaharui dengan semangat Injil dan terus berkobar untuk menjadi saksi Kristus yang baik. Namun, katekese juga harus dilakukan secara teru-menerus sehingga orang yang telah dibaptispun dapat terus mendalami, menghayati dan melaksanakan iman Katolik dalam kehidupan nyata. Kegiatan evangelisasi pasti bernilai kateketis tetapi tidak semua kegiatan evangelisasi bisa disebut katekese?” Pernyataan tersebut benar, karena semua kegiatan evangelisasi (baik dengan perkataan, perbuatan), pasti mempunyai nilai-nilai katekese. Evangelisasi pasti mempunyai nilai-nilai katekese, karena di dalam katekese, seseorang diajarkan seluruh misteri iman secara terstruktur (dibagi menjadi empat: apa yang dipercaya, bagaimana merayakan apa yang dipercaya, bagaimana hidup sesuai dengan apa yang dipercaya, dan doa). Namun memang tidak semua kegiatan evangelisasi (seperti: kegiatan bakti sosial, dll) dapat disebut katakese, karena katekese adalah momen atau saat tertentu yang mempunyai karakter yang khusus – pemaparan dan pengajaran iman secara formal dan terstruktur. Dengan perspektif ini maka kita dalam menelusuri persoalan-persoalan dasar evangelisasi itu dalam hubungannya juga dengan penggunaan media komunikasi sosial dalam pewartaan. Para uskup di Asia, pada tahun 1970, memandang penggunaan media massa  perlu “untuk memperdengarkan suara Kristus secara lebih relevan mengenai soal-soal aktual … seperti keadilan sosial, pendidikan dan kebebasan politik”. 1 Media massa dapat mengontrol segala program pemerintah, khususnya program pemberdayaan orang miskin. Media massa bisa mengawasi apakah dana bantuan bagi orang miskin sudah sungguh sampai ke tangan mereka atau tidak. Dalam kerangka dasar itu, maka berikut ini, saya akan pertama-tama mengemukakan gagasan-gagasan teologis pokok dalam evangelisasi, seperti communio dan communicatio, R. Hardawiryana SJ, “Katakese: Tradisi bagi Hidup Umat Sehari-hari”, dalam, Orientasi Baru, Pustaka Filsafat dan Teologi, No. 3, Tahun 1989, Yogyakarta: Kanisius, 1989,  hlm. 65. 1



2



evangelisasi dan evangelisasi baru, dan terutama evangelisasi dan kesaksian. Pada bagian kedua saya akan mengemukakan gagasan-gagasan filosofis pokok berkaitan dengan media komunikasi sosial, seperti causa principalis dan causa instrumentalis, gagasan tentang wartawan dan pewarta, dan kemudian bagaimana media itu digunakan untuk melayani orang miskin. Akhirnya, ditutup dengan refleksi tentang wartawan dan pewarta dalam evangelisasi melalui media dan evangelisasi melalui mimbar Gereja. 1. Dasar-Dasar Evangelisasi 1. 1. Communio dan Communicatio  Hakikat dasar hidup Gereja adalah kenyataan dirinya sebagai persekutuan, sebagai suatu kesatuan (communio). Gereja bukanlah pertama-tama untuk berkumpul menegaskan atau menentukan sesuatu, namun untuk menghidupi sabda yang diterimanya. Dan gagasan Gereja communio ini berkaitan erat dengan communicatio (komunikasi). Gagasan komunikasi dalam Gereja berakar dari realitas inkarnasi Sabda Allah karena di dalamnya terwujud communio antara Allah dan manusia. Inkarnasi Sabda Allah adalah komunikasi diri Allah dalam diri Yesus Kristus. Karena itu, perjumpaan dengan Kristus, Sabda yang menjadi manusia, adalah pintu masuk dan pusat kehidupan Gereja sebagai persekutuan. Dan kalau Gereja itu disebut sebagai sakramen keselamatan maka itu berarti sakramen keselamatan dalam persekutuan (communio sacramentalis).2 Disebut persekutuan sakramental karena persekutuan itu berakar dan berdasar pada persekutuan atau kesatuan dengan Allah. Atas dasar communio dengan Allah ini baru kita bisa berbicara tentang communio sebagai ambil bagian dalam hidup ilahi melalui sabda dan sakramen, misalnya sakramen ekaristi. Melalui sabda dan sakramen manusia dipersatukan dengan Allah dan dimasukkan ke dalam persekutuan para orang beriman. Persekutuan orang beriman ini pada tempat pertama  ialah jemaat setempat yang berkumpul merayakan ekaristi. Kemudian baru kita berbicara tentang communio antara Gereja-gereja partikular dengan Gereja universal, dan tentang communio jemaat Gereja lokal yang diperagakan pada tingkat keuskupan oleh persatuan para pastor dengan  uskup sebagai pastor utama di dalam keuskupannya.3 Dengan ini jelas bahwa communicatio adalah gagasan kunci berkaitan  dengan Gereja communio itu. Kesatuan atau persekutuan itu hanya terwujud kalau ada komunikasi antara pihakpihak atau unsur-unsur yang bersatu itu. Semua orang beriman yang dipanggil ke dalam communio, dipanggil untuk berperan serta yang sadar dan aktif yang tidak hanya berlaku untuk liturgi melainkan untuk seluruh hidup dan tugas Gereja. Maka seluruh Gereja dalam seluruh hidupnya mempunyai  maksud misioner, yakni  ia dipanggil menjadi sakramen keselamatan bagi semua orang, menjadi ragi yang meresapkan semangat dan nilai-nilai Kerajaan Allah, semangat communio dan communicatio ke dalam seluruh dunia. Jadi, semua manusia dan bangsa memperoleh communio dan communicatio satu sama lain.4 2



Krispurwana Cahyadi, SJ, Benediktus XVI, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm. 92-95. Georg Kirchberger, Allah Menggugat. Sebuah Dogmatik Kristiani, Maumere: Ledalero, 2007, hlm. 424. 4 Bdk. Dokumen Communio et Progressio. Intstruksi Pastoral Perihal Alat-alat Komunikasi Sosial, 1971, Ende: Nusa Indah, 1971, hlm. 16. 3



3



1. 2. Evangelisasi dan Evangelisasi Baru  1. 2. 1. Evangelisasi Istilah evangelisasi relatif baru dalam lingkungan Gereja, yakni baru sejak Konsili Vatikan II (1962-1965). Sebelumnya Gereja menggunakan istilah misi bukan evangelisasi, dan kegiatan misi  itu berorientasi pada menobatkan orang. Dalam Konsili Vatikan II istilah evangelisasi sebanyak 31 kali dipakai, sedangkan istilah Evangelium (Injil) sebanyak 18 kali dan 157 kali mewartakan Injil.5 Yang dimaksud dengan evangelisasi adalah pemakluman pewartaan kristiani yang paling dasar kepada orang-orang yang belum percaya kepada Kristus. Evangelisasi di sini  masih searti dengan misi, yakni pewartaan amanat dasar Injil kepada mereka yang belum mengenal Yesus Kristus. Kemudian Paus Paulus VI memakai istilah evangelisasi itu dalam arti seluas-luasnya sehingga istilah itu praktis berarti segala usaha untuk mewartakan, memperkenalkan dan meresapkan kabar gembira tentang Yesus Kristus dan nilai-nilai Injil kepada umat manusia dalam semua aspeknya.  Dengan maksud memberikan orientasi yang lebih jelas kepada perutusan Gereja, Paulus VI memilih tema “Evangelisasi Dalam Dunia Moderen” dalam sinode para uskup pada tahun 1974. Berdasarkan bahan dari sinode ini lalu ia menerbitkan Amanat Apostolik Evangelii Nuntiandi (1975), di mana di dalamnya beliau mengartikan evangelisasi secara lebih luas. “Evangelisasi adalah rahmat panggilan khas Gereja, merupakan jati dirinya yang paling dasar. Gereja ada untuk mewartakan Injil, artinya untuk memaklumkan dan mengajar, menjadi saluran anugerah rahmat, untuk mendamaikan orang-orang berdosa dengan Allah dan untuk melanggengkan kurban Kristus dalam ekaristi, yang adalah kenangan akan wafat dan kebangkitanNya yang mulia” (EN 14). Menurut Paulus VI, Yesus adalah “penginjil pertama dan terbesar” (EN 7). Karya Yesus sebagai evangelisator adalah mewartakan Kerajaan  Allah. Tentang Kerajaan Allah inilah Yesus bersaksi dalam karya penyembuhan dan pemeriharaanNya dan Ia mewujudkan dalam misteri terdalam kepribadianNya. Kunci untuk memahami kerajaan ini adalah gagasan tentang keselamatan yang disediakan Yesus bagi semua orang yang dijumpainya, dengan satu-satunya syarat bahwa orang itu terbuka sepenuh-penuhnya kepada kasih Allah dengan melewati “suatu pembaruan batin yang menyeluruh … suatu keterlibatan yang radikal, perubahan pikiran dan hati yang mendalam” (EN 10). Selanjutnya Gereja mengambil bagian dalam tugas misi Yesus itu, yaitu mewartakan, melayani dan bersaksi tentang Kerajaan Allah dengan segenap hati. Di sini paus merefleksikan corak majemuk dari proses evangelisasi itu: 6 Pertama,  Evangelisasi bermula dengan “pewartaan Kabar Gembira secara diam-diam”, yaitu ketika orang Kristen memberikan kesaksian melalui cara hidup bersama mereka, melalui solidaritas mereka dengan kebudayaan Dr. I. Suharyo, “Evangelisasi Baru dan Kerasulan Kitab Suci”, dalam, A.S. Hadiwiyata (ed.), Evangelisasi Baru dan Kerasulan Kitab Suci, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hlm. 12. 6 Stephen B. Bevans & Roger P. Schoeder, Terus Berubah-Tetap Setia. Dasar, Pola, Konteks Misi (terj. Yosef Maria Florisan), Maumere: Ledalero, 2006, hlm. 521-522. 5



4



lokal, melalui tindakan yang luhur dan baik mereka (EN 21). Kedua, ketika orang mulai bertanya mengenai motivasi mereka  bersikap dan bertindak demikian, maka orang Kristen menjawabnya dengan pewartaan Injil khusus (EN 22). Ketiga, lalu orang menyatakan minat mereka lebih lanjut akan amanat Injil, mendekatkan diri mereka ke dalam Gereja sebagai katakumen dan melalui pembabtisan menjadi Gereja (EN 23). Kemudian mereka yang baru dibabtis bersama mereka yang lama sama-sama melakukan pewartaan baru lagi. 1. 2. 2.  Evangelisasi Baru Istilah Evangelisasi Baru berasal dari Paus Yohanes Paulus II. Istilah itu diungkapkannya pada tahun 1983 di hadapan para Uskup Amerika Latin, di Haiti, dalam rangka perayaan 5 abad kedatangan Injil untuk pertama kalinya di benua itu. Paus berpesan: “Peringatan 500 tahun evangelisasi hanya akan mempunyai makna yang sepenuhnya, apabila perayaan tersebut disertai dengan komitmen anda, para uskup, bersama dengan kaum klerus dan awam, suatu komitmen bukan kepada evangelisasi kembali (re-evangelisasi) melainkan kepada suatu evangelisasi baru, baru dalam semangatnya, dalam metodenya, dan dalam ungakapan-ungkapannya”.7 Dalam pidato itu Bapa Suci tidak menguraikan lebih lanjut secara jelas dan ekplisit apa yang dimaksud semangat baru, metode baru dan ungkapan baru. Akibatnya, para penulis tentang Evangelisasi Baru tidak selalu sepakat dalam menafsirkan ketiga kategori kebaruan dari evangelisasi baru itu. Berikut ini kita mengikuti tafsiran Mgr. J. E. Bifet, yang dikemukakannya dalam tulisan, “Church Renewal for a New Evangelization.8 Pertama, Evangelisasi Baru dalam semangat:9 Semangat baru adalah dorongan atau tekad yang diperbarui untuk mewartakan Kabar Gembira. Tekad itu disertai dengan kerelaan dan kesiapsediaan orang untuk menjadi pewarta Kabar Gembira. Tekad itu mengandaikan juga usaha-usaha serius untuk menggalakkan panggilan menjadi pewarta Kabar Gembira itu. Dan yang dimaksud pewarta Kabar gembira itu tidak terbatas pada   klerus dan religius melainkan juga kaum awam. Gereja membutuhkan keterlibatan semua orang kristen untuk mewartakan Kabar Gembira tentang Yesus Kristus. Alasan utama pembaruan semangat ini adalah kenyataan berikut ini: setelah hampir dua ribu tahun Yesus Kristus mengutus Gereja untuk mewartakan Injil kepada seluruh bangsa, ternyata masih dua pertiga  penduduk dunia ini belum mengenal dan menyerahkan diri kepada kasih Kristus. Kedua, Evangelisasi Baru dalam metode: 10 Metode baru bisa dalam beberapa arti. Pertama, menurut Leonardo Boff, metode baru dalam evangelisasi adalah bahwa orang miskin sebagai titik-tolak evangelisasi. Dasarnya adalah karena Yesus Kristus sendiri menggunakan pendekatan ini. Ia mewartakan Injil sebagai orang miskin dan kepada orang miskin. Yesus datang untuk membawa keselamatan bagi seluruh umat manusia, terutama orang miskin dan menderita. Pewartaan Injil harus ditujukan pertama-tama kepada mereka untuk membebaskan Dr. H. Pidyarto Gunawan, OCarm, “Alkitab dan Evangelisasi Baru”, dalam, H.S.Hadiwiyata (ed.), Evangelisasi Baru, Op. Cit., hlm. 103. 8 Ibid., hlm. 108. 9 Ibid., hlm. 109. 10 Ibid., hlm. 115-118.   7



5



mereka dari segala bentuk kemiskinan yang membelenggu. Kedua, metode baru juga berarti penggunaan sarana dan teknik komunikasi yang baru. Pewartaan Kabar Gembira membutuhkan teknik-teknik manusiawi yang cukup menunjang keberhasilan evangelisasi. Teknik dialog misalnya dapat membuat Alkitab menjadi lebih hidup karena orang tidak menjadi pendengar pasif. Selain teknik komunikasi itu, evangelisasi baru mendorong juga penggunaan sarana-sarana komunikasi massa yang baru yang lebih sesuai dengan kemajuan zaman. Ketiga, Evangelisasi Baru dalam ungkapan:11 Wujud baru evangelisasi adalah bagaimana pewartaan Injil itu diintegrasikan ke dalam kebudayaan bangsa setempat, dan itulah yang kita namakan inkulturasi. Pengintegrasian Injil dengan kebudayaan bangsa setempat dilakukan sejauh unsur-unsur kebudayaan itu tidak bertentangan dengan isi Injil. Dengan inkulturasi itu barulah kita bisa berbicara tentang Gereja Indonesia dan tidak lagi hanya tentang Gereja di Indonesia. Akan tetapi menurut Yohanes Paulus II, inkulturasi itu adalah suatu proses yang panjang, karena tidak sekadar soal adaptasi luaran semata-mata. 12 Inkulturasi adalah “suatu transformasi nilainilai kebudayaan otentik secara mendalam melalui suatu proses integrasi mereka ke dalam kekristenan dan meresapnya kekristenan ke dalam berbagai kebudayaan umat manusia” (Redemptoris Missio 52). Jadi, evangelisasi yang benar harus sampai kepada manusia dengan segala kekhasaan kebudayaannya. Evangelisasi harus mengambil unsur-unsur yang baik dan otentik dari kebudayaan itu, meresapi dan menyempurnakan dengan semangat Injil dan mengintegrasikannya ke dalam penghayatan iman Kristen. Hanya dengan cara demikian, orang dapat menghayati iman Kristen, yakni menghayati Injil sebagai sesuatu yang tidak asing baginya. 1. 3. Evangelisasi dan Kesaksian  Pada tahun 1991 Kongregasi Evangelisasi Bangsa-Bangsa bekerjasama Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama mengeluarkan Dialog dan Pewartaan.13 Menurut dokumen ini, perutusan evangelisasi, atau lebih sederhana evangelisasi, mengacu pada perutusan Gereja sebagai keseluruhan. Sedangkan istilah pewartaan diartikan sebagai “komunikasi pesan Injil, misteri keselamatan yang dilaksanakan Allah bagi semua orang dalam Yesus Kristus berkat kuasa Roh Kudus. Pewartaan merupakan suatu ajakan untuk menyerahkan diri dalam iman kepada Yesus Kristus dan melalui pembabtisan masuk ke dalam persekutuan kaum beriman yang adalah Gereja. …Pewartaan biasanya terarah pada katekese yang bertujuan untuk memperdalam iman itu. Pewartaan adalah dasar, pusat dan sekaligus puncak dari evangelisasi” (Dialog dan Pewartaan 10). Menurut Mortiner Arias,14 pewartaan adalah tindakan mengkomunikasikan Injil tentang Yesus dan Injil dari Yesus. Injil tentang Yesus maksudnya bahwa pewartaan yang dilakukan Gereja berarti mengisahkan cerita tentang Yesus, kehidupan, pelayanan, kematian dan Ibid., hlm. 122-124. Bdk. A. Quack, “Antroplogi dan Karya Misi: Meneropong Ilmu Antropologi meurut Lensa Sasaran Misi SVD”, dalam, G. Kirchberger, John M. Prior (ed), Iman dan Transformasi Budaya, Ende: Nusa Indah, 1996, hlm. 51. 13 Judul lengkapnya, “Dialog dan Pewartaan, Refleksi dan Orientasi Mengenai Dialog Antaragama dan Pewartaan Injil” (Georg Kirchberger, editor, Dialog dan Pewartaan, Maumere: LPBAJ, 2002, hlm. 9-63). 14 Stephen B. Bevans & Roger P. Schoeder, Terus Berubah-Tetap Setia, Op. Cit., hlm. 608. 11 12



6



kebangkitanNya. Sedangkan pewartaan Injil dari Yesus berarti bagaimana perumpamaanperumpamaan yang dikemukakan Yesus menjadi imperatif bagi para muridNya agar mereka menjadi orang-orang yang rela mengampuni; bagaimana mukjizat-mukjizat yang dilakukan Yesus menjadi imperatif bagi para muridNya agar mereka juga menjadi pelaku penyembuhan; bagaimana pengusiran setan yang dilakukan Yesus menjadi imperatif bagi para muridNya agar mereka juga menentang secara mutlak kejahatan dalam segala bentuknya; bagaimana gaya hidup Yesus yang merangkul semua orang menjadi imperatif bagi para muridNya agar mereka juga  menjadi manusia yang bisa merangkul semua orang. Dengan ini jelas bahwa pewartaan bukan melulu komunikasi tentang sebuah kisah di masa silam, yakni sekadar Injil tentang Yesus, melainkan bagaimana kita mewujudkan nilai-nilai yang dikemukakan melalui perkataan dan perbuatan Yesus itu di era kita sekarang ini, jadi Injil dari Yesus.  Kata kunci di sini adalah kesaksian. Paulus VI menulis “sarana utama bagi evangelisasi adalah kesaksian hidup Kristen yang otentik” (Evangelii Nuntiandi 41). Sedangkan “pewartaan” menurut Dialog dan Pewartaan, “adalah dasar, pusat dan sekaligus puncak evangelisasi” (10).  Jadi, pewartaan Gereja bukanlah urusan perkataan semata melainkan terutama urusan perbuatan  yaitu kesaksian hidup orang-orang Kristen. Mengapa kesaksian hidup? Karena misi Yesus sendiri dicirikan oleh perkataan dan perbuatan, di mana yang satu menjelaskan yang lain. Dan mandat misioner Yesus bagi Gereja diungkapkan oleh Injil Lukas 24: 47-48: “pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa. Kamu adalah saksi dari semuanya ini”, dan Kis 1:8: “kamu akan menjadi saksiKu di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi”. Maka masalah evangelisasi kita dewasa ini sebenarnya bukan pada soal ketidakmampuan para evangelisator untuk berkata-kata tentang Yesus Kristus melainkan pada soal kesesuaian antara apa yang diwartakan oleh evangelisator dan apa yang dia sendiri hayati dalam hidupnya. Singkatnya, masalah kita adalah masalah kesaksian hidup, yaitu kesaksian hidup kita sebagai orang Kristen tidak sejalan dengan apa yang kita wartakan dan bahkan justru bertentangan dengan apa yang  kita wartakan. Kalau kita mencermati bahasa Evangelii Nuntiandi 41, di sana kita temukan penekanan Paulus VI pada kesaksian hidup. Menurut Paulus VI di dalam Evangelii Nuntiandi artikel 41 ini, manusia dewasa ini lebih senang mendengarkan para saksi daripada para pengajar. Mengapa? Karena para pengajar bisa saja berbicara secara gemilang tentang Yesus Kristus namun hidupnya sendiri jauh dari apa yang dikatakan itu. Karena itu, manusia dewasa ini hanya mau mendengarkan para pengajar  itu sejauh didukung oleh kesaksian hidupnya.15 2. Menggunakan Media Komunikasi Sosial  dalam Pewartaan Salah satu unsur kebaruan dari evangelisasi baru adalah menyangkut motode, yakni menyangkut teknik dan sarana baru dalam pewartaan. Evangelisasi baru mendorong juga penggunaan sarana-sarana komunikasi baru yang lebih sesuai dengan kemajuan zaman, seperti,



15



Ibid., hlm. 598.



7



penggunaan radio, televisi, media cetak, dan internet.  Semua sarana komunikasi sosial itu memang  bukan pewarta namun mereka sebagai alat dapat “berperan” dalam pewartaan. 2. 1. Causa Principalis (pewarta) dan Causa Instrumentalis  (media) Kalau pewartaan dan kesaksian berkaitan erat, seperti dikatakan oleh Paus Paulus VI itu, apakah sarana-sarana komunikasi sosial dapat digunakan dalam pewartaan? Apakah radio, televisi, surat kabar, majalah, buku, internet, dan film, bisa memberikan kesaksian. Betul bahwa semua sarana itu dapat menyampaikan pesan kepada penerima, tetapi apakah mereka sebagai alat bisa memberikan kesaksian seperti dituntut oleh evangelisasi itu? Jawaban kita, meski sarana-sarana itu tidak memberikan kesaksian namun mereka sebagai alat dapat “berperan” dalam mewartakan dan sekaligus memberikan kesaksian kepada manusia. Dalam konteks ini, evangelisator (pewarta Injil) adalah causa principalis dan sarana komunikasi sosial adalah causa instrumentalis. Di sini causa principalis adalah sebab yang sendiri mengakibatkan sesuatu. Ia menghasilkan sesuatu dengan dayanya sendiri. Sedangkancausa instrumentalis juga disebut sebab tetapi  sebab yang tidak oleh sendirinya mengakibatkan sesuatu ada.16 Suatu alat tidak mempunyai daya untuk menghasilkan sendiri suatu hasil. Kegiatan suatu media  sebagai causa instrumentalis bergantung pada pengaruh sepenuhnya dari apa yang dia terima dari causa principalis yakni para pekerja media. Meski benar bahwa suatu alat tidak bergiat dari sendirinya, namun tidak benar bahwa alat itu tidak berbuat atau tidak menyebabkan apa-apa. Bagaimanapun alat itu ikut menentukan atau mengakibatkan sesuatu. Jadi, alat sebagai alat mempunyai kausalitas yang khas bagi mereka. Kausalitas dari alat terletak dalam kenyataan bahwa suatu alat memodifikasi atau menspesifikasi suatu akibat. Suatu akibat bergantung secara riil dari jenis alat yang dipergunakan, meskipun kegiatannya sepenuhnya bergantung pada causa principalis. Jadi, kesempurnaan suatu alat bersifat relatif, karena bagaimanapun kausalitas dari alat itu bergantung dari maksud untuk apa ia dipakai, jadi bergantung pada penyebab utama.17 Berdasarkan distingsi antara causa principalis (penyebab utama) dan causa instrumentalis (penyebab alat) ini, kita dapat menjawab pertanyaan di atas, bahwa pewartaan Injil tetap berada di tangan sang pelaku atau pekerja media, hanya bagaimana pewartaan Injil itu disampaikan kepada penerima di situlah peran media sebagai causa instrumentalis. Jadi, keterlibatan atau kausalitas dari  radio, televisi, surat kabar, majalah, dan internet,  dalam pewartaan, semuanya bergantung pada untuk apa mereka dipakai oleh pelaku media. 18 Dan bagi media Katolik, sarana komunikasi sosial itu dipakai untuk, dalam arti luas, “mewartakan” Injil. Karena bagaimanapun, dalam arti tegas, mewartakan Injil tetap dilakukan oleh  manusia. 16



Norbertus Jegalus, “Metafisika Dasar. Pendekatan Aristotelo-Thomistik” (Manuskrip Perkuliahan pada Fakultas Filsafat Agama, Unwira Kupang, 2008), hlm. 88 17 Loc. Cit. Bdk. Konsili Vatikan II, De Instrumentis Communicationis Socialis (Dekrit Tentang Alat-alat Komunikasi Sosial), Ende: Nusa Indah, 1966, hlm. 21: “Dari sebab itu Gereja mempunyai hak yang fundamental untuk menggunakan dan memiliki alat-alat itu sekedar alat-alat itu perlu dan berguna bagi pendidikan Kristen dan bagi karyanya demi keselamatan jiwa-jiwa”. 18 Bdk. Communio et Progressio (Perihal Alat-alat Komunikasi Sosial) Artikel 126-134, tentang Penggunaan Alatalat Komunikasi Sosial untuk mewartakan Kabar Gembira.



8



2. 2. Analisis Media: Posisi Media danPosisi Wartawan  Dalam Filsafat Media sampai dengan saat ini dikenal dua paradigma utama mengenai media, yakni paradigma realis dan paradigma kritis.  Kedua paradigma ini memiliki pandangan berbeda tentang posisi media dan posisi wartawan. Bagi paradigma realis, juga disebut paradigma pluralis, realitas adalah bersifat eksternal, yang ada dan hadir sebelum wartawan meliputnya. Jadi ada realitas yang objektif. Karena itu berita adalah pencerminan dari realitas. Sedangkan bagi paradigma kritis, yakni paradigma yang bersumber pada filsafat atau teori kritis Mashab Frankfurt, realitas tidak pernah objektif melainkan selalu sudah terbentuk oleh proses kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Karena itu, berita adalah realitas yang telah disikapi atau dibentuk oleh wartawan.19 Tentang  posisi media, bagi kaum realis/pluralis, media adalah saluran yang netral. Ia memberitakan apa saja sebagaimana adanya tanpa melibatkan sikap dan pandangan dari pelaku media. Sedangkan bagi kaum kritis, media bukanlah saluran netral melainkan saluran pertarungan ideologi antara kelompok yang ada di dalam masyarakat. Media bukan saluran yang netral yang menampilkan kekuatan dan kelompok yang ada dalam masyarakat secara apa adanya. Titik penting dalam memahami media menurut paradigma kritis ini adalah bagaimana media melakkukan politik pemaknaan.20 Sedangkan posisi wartawan sejalan  dengan  posisi terhadap media itu. Bagi kaum realis, wartawan adalah pelapor. Ia hanya menjalankan tugas untuk memberitakan fakta, dan tidak diperkenankan pertimbangan moral dari wartawan. Pertimbangan moral yang dalam banyak hal selalu bisa diterjemahkan sebagai bentuk keberpihakan harus disingkirkan. Sedangkan bagi paradigma kritis justru sebaliknya. Bagai mereka, wartawan tidak sekadar pelapor. Wartawan bukanlah robot yang merekam apa adanya, melainkan ia meliputi dengan sekaligus menentukan fakta atau kejadian itu menurut pertimbangan-pertimbangan moral dan nilai-nilai tertentu lainnya, yang tidak bisa dihilangkan dari pemberitaannya. Jadi, wartawan bukanlah subjek yang netral, melainkan bagian dari anggota masyarakat yang ikut menilai kejadian sesuai dengan kepentingan kelompoknya. Wartawan adalah partisipan dari kelompok yang ada dalam masyarakat. Ia mempunyai nilai-nilai tertentu yang diperjuangkan dalam pemberitaan itu.21 Dari dua posisi media itu, yang akhirnya berakibat pada dua macam posisi wartawan itu, di mana posisi media Katolik sebagai sarana evangelisasi, apakah menganut paradigma realis atau paradigma kritis? Kalau kita bertolak dari dasar-dasar evangelisasi yang dibicarakan di atas, maka media Katolik di sini menganut paradigma kritis. Karena, seorang pelaku atau pekerja media, tidak sekadar memberitakan peristiwa Yesus dari masa lampau melainkan memberitakan hal itu dengan terlebih dahulu ia sendiri terlibat dalam apa yang diberitakan. Seorang pelaku atau pekerja media  (wartawan) mengambil bagian dalam apa yang dia beritakan. Jadi, ia tidak bersikap netral terhadap apa yang disampaikan melalui radio, televisi, media cetak dan internet itu. Apa yang dia sampaikan melalui media itu, itulah juga sikapnya, itulah hidupnya. Dengan demikian, perannya ganda, ia wartawan sekaligus pewarta. 19



Eryanto, Analisis Wacana, Yogyakarta: LKiS, 2001, hlm. 34-35. Ibid., hlm. 36-40. 21 Ibid., hlm. 40-43. 20



9



2. 3. Media Komunikasi Sosial sebagai Pelayanan Orang Miskin Seperti dikatakan oleh Leonardo Boff di atas bahwa metode baru dalam evangelisasi adalah orang miskin sebagai titik-tolak evangelisasi. Mengapa orang miskin sebagai titik tolak atau sebagai tujuan evangelisasi? Karena Yesus Kristus sendiri menggunakan pendekatan ini. Ia mewartakan Kabar Gembira, dimana Ia memberikan perhatian kepada orang miskin, dan Ia sendiri juga hidup sebagai orang miskin.22 Atas dasar itu, dalam hal penggunaan media komunikasi sosial saat ini, keterlibatan Gereja perlu ditempatkan di dalam situasi  orang miskin ini. Media Katolik harus berorientasi pada pelayanan terhadap orang miskin. Mengapa? Karena tradisi spiritual dan mistik dalam kekristenan selalu melihat Yesus dalam diri orang yang menderita, orang miskin dan korban kekuasaan. Kehidupan kebanyakan orang kudus dari Fransiskus Asisi sampai Ibu Theresia memperlihatkan hal itu. Michael Mollat menyebut orang miskin, dalam kerangka teologi Kristen, sebagai vicarius Christi, wakil Kristus.23 Orang miskin menghadirkan Kristus. Bila orang miskin dan menderita menghadirkan Kristus, maka sebagai konsekuensinya kita harus memberikan perhatian kepada mereka. Kebaruan evangelisasi baru menurut Boff adalah bahwa orang miskin sebagai titik tolak dan tujuan evangelisasi. Evangelisasi melalui media berarti media komunikasi sosial (radio, televisi, surat kabar, majalah, buku, dan internet) bisa menjadi sarana yang efektif untuk menghasilkan semangat pelayanan, sebuah kebudayaan solidaritas dan terutama untuk membangun kesadaran kritis. Media memiliki tanggung jawab sosial  yang besar yang tidak boleh dikompromikan demi alasan persaingan dan pencapaian keuntungan ekonomis semata. Intinya, sarana komunikasi sosial yang sangat penting ini harus diarahkan untuk melayani kepentingan banyak orang, terutama orang miskin. Kesadaran baru ini mengajak orang Kristen yang berkeyakinan kuat agar masuk ke dalam dunia media sosial, tidak saja media sosial milik Gereja tetapi juga milik masyarakat lainnya dan bahkan milik pemerintah. Di sana mereka bisa menciptakan pendapat publik dan dengan itu mereka bisa mempengaruhi kebijakan publik yang adil sehingga orang miskin tidak semakin menderita melainkan berubah menjadi lebih baik. Media yang berorientasi pada pelayanan orang miskin tidak dalam arti bahwa media itu dijual kepada orang miskin dengan harga yang murah, atau dihadiahkan saja kepada orang miskin, melainkan dalam arti, media itu memberitakan tentang keadaan orang miskin dengan semangat keberpihakan kepada mereka. Jadi, media tidak netral dalam pemberitaannya, melainkan ia memberitakan fakta kemiskinan itu dengan melibatkan penilaiannya sebagai seorang Kristen. Dengan pemberitaan itu maka lahirlah sikap dan jaringan solidaritas kristiani di seluruh dunia. Dari sana bisa muncul sikap dan tanggapan dari pelbagai pihak berupa memberikan bantuan untuk menanggulanginya. 22



Bdk. Mgr. Petrus Turang, “Pemakluman Kabar Gembira: Dimensi Evangelisasi Baru dalam Konteks Kemiskinan”, dalam, Rm. Leo Mali, Pr, Katakese dalam Pelayanan Pastoral Gereja Nusa Tenggara. Dari Cura Animarum ke Cura Hominum. Roadmap Katakese Perpas IX Regio Nusra 2012, Kupang: Keuskupan Agung Kupang, 2013, hlm. 143-170. 23 Felix Wilfried, “Keprihatinan Gereja Bagi Kaum Miskin Pada Zaman Globalisasi”, dalam, Georg Kirchberger (ed.), Misi- Evangelisasi-Penghayatan Iman, Maumere: Ledalero, 2004, hlm. 117.



10



Pemberitaan media tentang orang miskin dan menderita yang melahirkan jaringan solidaritas internasional sudah umum dilakukan oleh media Katolik. Namun masih ada satuperan media dalam kaitan dengan orang miskin ini yakni media membangunkesadaran kritis. Itu berarti, pertama, media, seperti radio, televisi, surat kabar, majalah, dan internet, isi pemberitaannya membangunkan kesadaran kritis kaum miskin itu sendiri, untuk bisa keluar dari situasi itu; kedua, sarana komunikasi sosial itu mengeritik struktur-struktur masyarakat yang tidak adil yang menyebabkan orang menjadi miskin dan menderita. Di sini media mengambil posisi profetis, yakni menantang kebijakan-kebijakan publik yang tidak adil demi terciptanya kondisi sosial-ekonomi yang adil. Tetapi seberapa efektif Gereja menggunakan media komunikasi sosial untuk mendukung perkara orang miskin? Kita perlu, sejak hari ini, pada HARI KOMUNIKASI SOSIAL NASIONAL ini, merubah sikap dan pendekatan kita terhadap media, yakni media tidak sekadar memberitakan apa yang dilakukan oleh Gereja, apa yang diimani oleh Gereja, atau apa yang dilakukan oleh para pemimpin Gereja, melainkan terutama memberitakan apa yang sedang dialami oleh orang miskin dan mengeritik struktur-struktur sosial yang tidak adil yang menyebabkan kemiskinan itu. Sudah saatnya, kita memperluas wawasan media sosial dalam rangka evangelisasi, terlebih dalam rangka semangat Paus Fransiskus  yang begitu besar memberikan perhatian kepada orang miskin. Jadi, media komunikasi sosial harus lebih berorientasi pada usaha pembebasan orang miskin dari kemiskinan yang membelenggu mereka. 3. Penutup Sebagai refleksi penutup saya hanya menggarisbawahi dua term yang digunakan dalam konteks evangelisasi melalui media, yakni term wartawan dan pewarta. Kedua istilah Indonesia ini berdasarkan kata dasar bahasa Indonesia yang sama, warta, yang artinya menyampaikan berita kepada yang lain. Seorang pastor yang memberitakan Yesus Kristus kepada segala manusia dan bangsa tidak disebut wartawan melainkan pewarta. Mengapa? Karena sebagai pastor ia tidak sekadar menyampaikan peristiwa Yesus itu dari masa lampau ke masa kini, melainkan ia sendiri terlibat dalam apa yang diberitakan. Pewarta  tidak sekadar melakukan penyampaian (transmissio) informasi melainkan terutama melakukan perubahan (transformatio).24 Sedangkan wartawan  bertugas untuk melakukan transmissio informasi. Adapun evangelisasi melalui media mencakupi tugas wartawan (jurnalis) sekaligus pewarta (evangelisator). Berkaitan dengan refleksi tentang evangelisasi melalui media itu, berikut ini saya  juga membuat catatan refleksif tentang evangelisasi melalui mimbar Gereja. Konstitusi Dogmatis Dei Verbum Vatikan II mengajarkan bahwa wahyu adalah komunikasi diri Allah sendiri yang mencapai puncaknya dalam diri Yesus. Vatikan II memberikan penekanan pada penyampaian diri Allah dan bukan pada penyampaian kebenaran-kebenaran tentang Allah yang diterima dengan ketaatan akalbudi oleh manusia, sebagaimana diajarkan oleh Konstitusi Dogmatis Dei Filius dari Vatikan I. Ajaran  Vatikan II ini mempunyai konsekuensi yang sangat penting bagi 24



Krispurwana Cahyadi, SJ, Benediktus XVI, Op. Cit., hlm. 48.



11



karya pastoral. Kalau iman itu bukan pada tempat pertama suatu sikap akalbudi yang menerima dan mengakui ajaran ilahi melainkan suatu sikap hati, maka pembinaan iman umat bukan pada tempat pertama suatu pengajaran kepada otak melainkan kepada interaksi pribadi. Dengan demikian, tantangan pewartaan sebenarnya bukan pada tempat pertama umat yang mendengarkan Sabda Allah melainkan agen pastoral yang menjalankan tugas pewartaan Sabda Allah itu. Baginya, Sabda Allah itu, itulah hidupnya, itulah bagian hidupnya, itulah cara hidupnya. Singkatnya, ia adalah seorang pewarta. Akan tetapi, manakala ia hanya menyampaikan informasi (transmissio) tentang kebenaran-kebanaran ilahi tanpa keterlibatan dirinya dalam kebenaran itu, maka ia seorang wartawan . Pewartaan tentang keselamatan semua manusia dan bangsa, terutama mereka yang paling tertindas, miskin dan tersingkir, hanya bisa dimengerti, dipercayai, kalau pewartaan itu disertai oleh kesaksian hidup sang evangelisator. Tanpa kesaksian dan keterlibatan yang nyata sang pewarta, maka Injil akan dianggap omong kosong saja. Biarpun seorang agen pastoral berkotbah dengan sangat menarik tentang hidup miskin dan sederhana, namun realitas hidupnya menunjukkan konsumerisme, maka omongannya itu kosong. Ia tampil lebih sebagai wartawan bukan pewarta. Dalam bahasa logika, ia sementara memperlihatkan kepada umat apa yang disebut contradictio in exercito, kata-katanya yang hebat dan menarik itu digugurkan atau dilawan oleh kenyataan hidupnya. Atau, dalam bahasa moralnya, ia sementara berbohong.



Landasan Teologis – Misioner Gereja dalam Kontak dengan Tradisi Keagamaan dan Kebudayaan Lain Gereja didirikan oleh Kristus dan diserahi tugas yaitu perintah untuk mewartakan Injil dalam berbagai bentuk dan cara seperti: mewartakan Kabar Baik, memberikan kesaksian, menjadikan orang murid Kristus, membaptis, dan mengajar. Semua segi ini merupakan amanat misi dari Yesus kepada para muridNya. Semuanya harus dilihat dalam terang perutusan yang dilaksanakan oleh Yesus sendiri, perutusan yang Ia terima dari Bapa. Gereja diutus untuk menjadi garam dan terang dunia, berguna bagi sesuatu ‘di luar dirinya’, melanjutkan misi Yesus. Magisterium menegaskan bahwa: Kehidupan Kristus mengandung semua unsur misi. Dalam Injil, Yesus ditampilkan dalam keheningan, kegiatan, doa, dialog, dan pengajaran. PesanNya tak dapat dipisahkan dari tindakanNya; Ia mewartakan Allah dan kerajaanNya tak hanya dengan perkataan, melainkan dengan tindakan yang melengkapi pewartaanNya.25



Dalam bab ini akan dibahas misi Gereja untuk mewartakan Injil dalam tradisi keagamaan dan kebudayaan lain. Uraian ini diawali dengan beberapa dasar teologis misi sebagai titik tolak dan arah praksis, dan unsur-unsur apa saja yang menjadi sasaran dari teologi misi dan dialog agar pewartaan Injil mendapatkan tempat di dalam kebudayaan. Selanjutnya akan dibahas secara



Sekretariat Kepausan Untuk Orang-orang Bukan Kristen, Sikap Gereja Terhadap Para Penganut Agama-Agama Lain: Refleksi dan Orientasi tentang Dialog dan Misi (DM), no. 15, dalam HAK, Op. Cit. 25



12



khusus mengenai dialog dengan tradisi keagamaan lain yang makin mendesak, dan diakhiri dengan kesimpulan. 1. Dasar Teologis Misi Misi Gereja mengungkapkan hubungan yang dinamis antara Allah dan dunia, pertama-tama dalam sejarah bangsa Israel dan mencapai puncaknya dalam diri Yesus Kristus. Dalam karya pewartaan, “Yesus memanggil mereka yang dikehendakiNya sendiri, dan menetapkan dua belas orang untuk menyertaiNya serta untuk diutusNya mewartakan Injil” (Mrk 3:13-14). Para rasul merupakan benih-benih Israel baru sekaligus merupakan cikal bakal hirarki Gereja dewasa ini. Gereja mewarisi perintah misi Yesus “yang menghendaki agar semua orang diselamatkan” (1Tim 2:4). Gereja adalah Gereja sejauh ia memusatkan diri pada Kerajaan Allah dengan memahami identitasnya yang paling dalam sebagai tanda dan sarana yang kelihatan (bdk. AG 1). 1.1. Inkarnasi Dalam mewahyukan diriNya kepada manusia dan mewujudkan rencana keselamatanNya dalam sejarah, Allah menyesuaikan diri dengan kodrat manusia, menerima kondisi dan senasib dengannya. Inkarnasi adalah bahasa solidaritas Allah kepada manusia dan itulah juga bahasa Gereja. Dalam peristiwa inkarnasi, Sang Sabda menjadi manusia dan masuk dalam kebudayaan manusia. Sabda Allah diterima lalu dikomunikasikan dalam bahasa-bahasa kebudayaan manusia. 1.1.1. Inkarnasi Sebagai Komunikasi Diri Allah Komunikasi diri Allah yang secara definitif dalam inkarnasi Sang Sabda merupakan kehadiran dan tindakan Allah yang menyelamatkan dalam sejarah, “Sabda telah menjadi daging dan tinggal di antara kita” (Yoh 1:14). Di zaman PL, Allah mengkomunikasikan diri dengan beberapa cara seperti melalui pengalaman hidup, peristiwa alam, para tokoh, dan hukumhukumNya. Allah menyatakan diriNya melalui tiang awan (Kel 13:12; 40:34-38), melalui peristiwa alam seperti nyala api dari semak duri (Kel 3:2-6). Dalam peristiwa ini Allah menyatakan siapa DiriNya kepada Musa. Komunikasi diri Allah juga disampaikan melalui tokoh-tokoh seperti Abraham (Kej 18), Musa (Kel 3:2-6), Yakub (Kel 28:12-19), dan para nabi lain dan juga melalui hukum-hukum, seperti hukum sepuluh perintah Allah di Gunung Sinai (Kel 34:28). Dalam PB, Allah tidak lagi menggunakan peristiwa alam dan hukum-hukum sebagai bentuk komunikasi diriNya. Ia mengambil bentuk yang lebih mulia dalam diri Yesus Kristus melalui inkarnasi (Yoh 1:14), “Dia adalah gambaran Allah yang tidak kelihatan” (Kol 1:15). Dalam Surat kepada Orang Ibrani dikatakan bahwa: Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan AnakNya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada (Ibr 1:1-2).



13



Dalam inkarnasiNya, Yesus berintegrasi dalam budaya manusia, dan menjadi senasib dengan manusia. Ia dibesarkan dalam tatacara Yahudi, bergaul dengan dan mengikuti norma-norma agama Yahudi. Ia mengosongkan diri (kenosis), melepaskan ‘budaya ilahi’ dan masuk dalam budaya manusia dan menjadi sama dengan manusia, bahkan sampai mati di salib (bdk. Flp 2:611). Karena itu, Putera Allah yang menjelma sungguh-sungguh ‘Immanuel: Allah beserta kita’ (Mat 1:23), menerima segala sesuatu yang kita miliki, agar memberikan kepada kita apa yang merupakan milikNya sendiri. Hidup Yesus yang sempurna manusiawi, sepenuhnya dibaktikan kepada cintakasih dan pelayanan terhadap Bapa dan kepada sesama, memperlihatkan bahwa panggilan setiap manusia harus menerima cintakasih dan memberikan cintakasih (EA 13).



Hidup Yesus yang ‘sempurna manusiawi’ membuat komunikasi diri Allah dapat ditangkap dalam bentuk yang nyata, dapat didengar dan konkret sesuai dengan struktur historis dan sosial. “Barang siapa melihat Aku, ia melihat Dia yang telah mengutus Aku” (Yoh 12:45; bdk. 14:9). 1.1.2. Inkarnasi: Titik Tolak Pewartaan Injil Dalam Tradisi Keagamaan Lain Inkarnasi Sabda adalah Putera Allah yang mengambil kekhasan seorang manusia. Sang Sabda masuk dalam satu keluarga manusia yang nyata dan memulai satu biografi manusia pada satu tempat dan kebudayaan khusus, dalam satu periode sejarah tertentu. Dengan masuknya Putera Allah ke dalam ruang lingkup dan kebudayaan manusia, maka seluruh ruang lingkup dan kebudayaan itu menjadi sarana keselamatan yang dapat mempertemukan manusia dengan Allah. Penjelmaan bertujuan agar segala sesuatu yang telah diciptakan oleh Allah dapat diselamatkan dan dikuduskan bagiNya, agar “Allah menjadi semua di dalam semua” (1 Kor 15:28). Dalam inkarnasi, Putera Allah mengenakan kodrat manusia, masuk dan hidup dalam masyarakat yang berbudaya. Inkarnasi Putera Allah mengambil tempat dalam budaya tertentu dalam arti lokal dan temporal (bdk. AG 10). ‘Lokal dan temporal’ mau menegaskan bahwa pewahyuan Allah itu berkesinambungan, tidak hanya berhenti pada peristiwa ‘mengambil rupa manusia’. Kesinambungan itu terlaksana dalam hidup Yesus selanjutnya dalam tradisi dan kebudayaan Yahudi, budayaNya sendiri. Namun dalam karya pewartaanNya, Yesus tidak hanya menggunakan kebudayaan Yahudi melainkan juga kebudayaan lain. Terhadap budaya Yahudi, Ia bersikap kritis, memurnikan, menantang dan mengubah unsur-unsur budaya, cara berpikir orangorang Yahudi yang tidak sesuai dengan semangat Injil. Gereja tidak mungkin lagi mewartakan Yesus historis. Gerejalah yang menjalani dialog Injil dan kebudayaan, bukan lagi Yesus. Dalam arti ini inkulturasi bukan lagi perpanjangan dari inkarnasi.26 Karena itu, pembicaraan mengenai inkarnasi sebagai dasar misi hanya dapat dipahami dalam pengertian analogis.27 Pemakaian kata analogi menunjukkan bahwa tidak ada satu bentuk inkarnasi pun yang sempurna seperti yang terjadi dalam diri Yesus. Menurut Shorter, ada tiga hal penting dari analogi tersebut:28 Bdk. J B Banawiratma, “Menjernihkan Inkulturasi”, dalam Komlit MAWI, Inkulturasi, Jakarta: Obor, 1985, hlm. 21. 27 Aylward Shorter, Toward a Theology of Inculturation, London: Geoffry Champan, 1998, hlm. 82. 28 Ibid., hlm. 80-83. 26



14 Pertama, dalam inkarnasi, Yesus menggunakan tubuh manusia dan ikut ambil bagian dalam kebudayaan manusia sebagai jalan mutlak bagi kodrat manusiawiNya. Kedua, analogi inkarnasi menunjukkan juga bahwa Yesus membutuhkan kebudayaan dalam pewartaan Injil tentang Kerajaan Allah dan untuk pemberian seluruh hidupNya kepada manusia. Tidak pernah akan ada karya pelayanan Yesus di dunia ini, apabila Dia tidak menggunakan kebiasaan, simbol-simbol dan konsep kebudayaan pendengarNya. Ketiga, pendidikan kebudayaan yang diterima oleh Yesus serta keterlibatanNya dalam suatu kebudayaan memasukan Dia di dalam seluruh proses sejarah, hubungan antara kebudayaan yang satu dengan yang lain.



1.2. Misteri Paskah: Realitas Penebusan Universal Gereja hanya dapat menjadi Tubuh Kristus kalau ia berpartisipasi dalam sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus. Gereja terus menghidupkan misteri Paska dalam hidup dan misinya sebagai suatu realitas kontinyu. Gereja mengakui adanya kejahatan di dunia, realitas dosa dan pengaruhnya, kekuatan dan konsekuensi dalam segala realitas dan kehidupan manusia. Pengakuan ini sekaligus menunjukkan kebenaran imannya bahwa wafat dan kebangkitan Kristus membawa suatu penebusan yang berifat universal, di dalamnya semua bangsa dihimpun untuk ikut ambil bagian. Dokumen Dialog dan Pewartaan (DP) menegaskan bahwa realitas dosa telah merusak dan merasuki kebudayaan-kebudayaan manusia, termasuk unsur-unsurnya. Karena dosa telah bekerja di dalam dunia, dan dengan demikian tradisi-tradisi keagamaan, meskipun memiliki nilai positif, mencerminkan keterbatasan roh manusia, yang kadang-kadang cenderung untuk memilih yang jahat (DP 31).



Realitas dunia yang jatuh dalam dosa ini harus mendapat pemurnian dan bahkan pematian dari unsur-unsur yang menghalangi persekutuan dengan Allah dan sesama. Injillah titik acuan berhubungan dengan pemurnian dan pematian realitas dunia, yang ditandai sekaligus oleh dosa dan berkat Allah. “Sebab semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rm 3:23). Namun Allah yang begitu mencintai dunia mengutus PuteraNya untuk menebus dunia dari dosa (bdk. Yoh 3:16), sebab “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuatNya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah” (2 Kor 5:21). Dalam misteri Paskah Yesus mengalami kematian, namun kebangkitanNya membawa manusia ke dalam ciptaan baru. KebangkitanNya mengubah keterbatasan secara fisik dan manusiawi. Ia tidak lagi terikat oleh ruang, waktu dan kebudayaan. Dapat dikatakan bahwa Ia “memiliki semua kebudayaan” seketika itu juga. Setiap orang dengan kebudayaan dan tradisinya telah berada di dalam kekuasaan Kristus yang telah mengalahkan kegelapan. Dengan demikian setiap orang bergantung pada dan membutuhkan Kristus dalam seluruh hidupnya (bdk. Yoh 6:44; 14:6). Tidak seorang pun mampu membebaskan diri dari dosa dan melampaui dirinya atas kekuatan sendiri ... semua orang membutuhkan Kristus sebagai pola-teladan, guru, pembebas, juruselamat, Dia yang menghidupkan … Kristus oleh kaum beriman dirayakan sebagai ‘Harapan dan Penyelamat para bangsa (AG 8).



Magisterium juga mengajarkan bahwa iman dan baptis itu perlu untuk keselamatan (AG 7; LG 14), serta perlunya pewartaan Injil agar orang yang hidup menurut atau melakukan amanat Kristus memperoleh keselamatan (AG 3; LG 16). Konsekuensi logisnya adalah bahwa hanya



15



orang yang telah menjadi Kristen dan mereka yang mengikuti Kristus sajalah yang dapat hidup dalam kesatuan dan persekutuan Gereja.29 Jika demikian, maka hal yang sama juga berlaku bahwa Gereja tidak boleh menerima begitu saja segala kebiasaan, ajaran dan praktek-praktek keagamaan lain ke dalam praktek Gereja. Semua hal yang dianggap positif dihadapkan dengan Kristus sebagai batu ujian dan dengan misteri PaskahNya. Misteri Paskah Kristus menjadi analogi bagi inkulturasi Injil dalam kebudayaan para bangsa. Untuk menemukan suatu nilai otentik dalam dirinya, segala tradisi dalam kebudayaan harus mengalami pematian dan pemurnian oleh Injil. Kebudayaan perlu dimurnikan dan ditundukkan di bawah salib Kristus. Dalam terang Paskah ini, Gereja yang terwujud dalam setiap dan semua Gereja lokal perlu dilahirkan kembali ke dalam konteks dan budaya baru. 30 Selain kebudayaan, Gereja juga perlu ‘mati’ terhadap kesombongan dan keterbatasannya. Mati terhadap kesombongan karena walaupun adanya kepenuhan wahyu Allah dalam Kristus, dalam mengerti ajaran Kristus dan mempraktekkan agamanya mungkin butuh pemurnian (bdk. DP 32). Juga mati atas keterbatasannya yang sering nampak dalam hidup dan tindakannya yang nyata, setiap kali memaksakan sebagai Sabda Allah unsur-unsur dari penjelmaannya yang konkret yang sebenarnya hanya dibentuk oleh budaya tertentu. Keterbatasan ini pula sering tampak dalam sikap memvonis sesuatu dari luar sebagai yang bertentangan hanya karena bentuk dan tampilan luarnya tidak biasa dalam praktek Gereja selama ini.31 1.3. Peristiwa Pentakosta Berkat kebangkitanNya, Yesus mengutus Roh Kudus untuk menghimpun dalam kesatuan segala macam orang-orang, beserta adat-kebiasaan, sumber-sumber daya dan bakat-kemampuan mereka, sambil menjadikan Gereja tanda persekutuan semua umat manusia di bawah Kristus sebagai kepala (bdk. LG 13), sebab “rencana Bapa untuk menyelamatkan umat manusia tidak berakhir dengan wafat dan kebangkitan Yesus” (EA 17). Berkat Roh Kudus, Roh Kristus sendiri, buah-buah misi penyelamatanNya disajikan melalui Gereja kepada semua orang. Roh itu telah berkarya di dalam dunia sebelum Kristus dimuliakan (AG 4). Roh Kudus inilah yang mengerjakan karya penyelamatan dari Kristus dan menggerakan Gereja untuk memperluas dirinya (bdk. DP 64-71). Relasi antara pewartaan Injil dan peranan Roh Kudus sebagai daya penggerak ditunjukkan oleh KV II dalam beberapa dokumen, antara lain: Roh Kudus yang memungkinkan manusia untuk menerima Injil (AG 13, 15, 40), dan mendalaminya (DV 8), menghimpun mereka yang menerimanya menjadi satu bangsa (GS 32, CD 11, PO 2). Roh itu juga yang telah mengilhami penulisan Kitab Suci dan memantulkan suaraNya dalam Gereja (DV 7-8). Roh Kudus terus berkarya bersama Yesus sejak awal, dari peristiwa inkarnasi sampai kebangkitanNya. Banyak teks dalam PB yang menekankan peranan Roh Kudus dalam peristiwa Bdk. D S Amalorpavadass, “Injil dan Kebudayaan: Evangelisasi dan Inkulturasi”, dalam Georg Kirchberger, (ed.), Gereja Berwajah Asia, Ende: Nusa Indah, 1995, hlm. 113. 30 Bdk. David Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Kristen yang Mengubah dan Berubah, (terj. Stephen Suleeman), Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997, hlm. 696. 31 Bdk. “Tesis-tesis Gereja Lokal”, dalam Kirchberger (ed.), Gereja Berwajah Asia, Op. Cit., hlm. 58. 29



16



hidup Yesus. Yesus yang dikandung oleh Roh Kudus dalam rahim perawan Maria (Mat 1:18, par.); Roh Kudus turun atas Yesus pada waktu pembaptisanNya di Sungai Yordan (Mrk 1:10); Roh Kudus menuntun Yesus ke padang gurun, agar Ia diteguhkan sebelum berkarya di muka umum (Mrk 1:12, par.). Di Sinagoga, Yesus memulai pelayanan kenabianNya dengan menerapkan pada diriNya visi Yesaya tentang pengurapan oleh Roh, yakni mewartakan Kabar Baik kepada orang-orang miskin dan pembebasan kepada para tawanan (Luk 4:18-19). Roh Kudus juga tetap menyertai Yesus sampai saat terakhir hidupNya yakni wafat di salib, Yesus mempersembahkan diriNya kepada Bapa dalam Roh Kudus (Ibr 9:14). Roh yang sama itu dijanjikan dan diutus oleh Yesus kepada para murid sebagai penolong, penghibur, pengajar (bdk. Yoh 14:15-26; 16:4b-15). Roh itulah yang menjadi mediator antara Yesus dan Gereja, pengajar dan penafsir atas apa yang telah diajarkan Yesus. Peristiwa kebangkitan memungkinkan Roh Kudus untuk masuk dalam setiap kebudayaan manusia. Berkat Pentakosta ini, semua orang dari bahasa dan latar belakang kebudayaan yang berbeda dihimpun menjadi satu bahasa yang sama yaitu bahasa iman. Peristiwa Pentakosta menandai lahirnya Gereja. Konsili menegaskan: Pada hari Pentakosta Roh Kudus turun atas para murid, untuk tinggal bersama mereka selamalamanya (Yoh 14:16); tampillah Gereja secara resmi di hadapan banyak orang; mulailah penyebaran Injil melalui pewartaan di antara para bangsa; dan akhirnya dipralambangkan persatuan bangsabangsa dalam sifat Katolik iman, melalui Gereja Perjanjian Baru, yang bersabda dengan semua bahasa, memahami dan merangkul semua bahasa dalam cintakasih, dan dengan demikian mengatasi percerai-beraian Babel. Sebab dari Pentakosta mulailah ‘Kisah Para Rasul’ (AG 4).



Pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta memberanikan para Rasul untuk pergi ke seluruh dunia dan memulai karya pewartaan Injil. Roh memenuhi mereka keberanian untuk menyampaikan kepada orang-orang lain pengalaman mereka akan Yesus yang bangkit (bdk. Kis 2:29; 4:13). Rasul Yohanes menegaskan: Kami mewartakan kepadamu hidup kekal, yang ada pada Bapa dan telah nampak kepada kami: yang kami lihat dan kami dengar, itulah yang kami wartakan kepadamu, supaya kamu pun beroleh persekutuan dengan kami, dan persekutuan kami beserta Bapa dan PuteraNya Yesus Kristus (1 Yoh 1:2-3).



Roh Kudus selalu aktif bekerja di dalam Gereja, “Dialah pelaku utama tugas perutusan Gereja” (RM 21). “Kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksiKu di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kis 1:8). Roh Kudus tetap bekerja dalam diri para pewarta Injil dan kebudayaankebudayaan sampai saat ini, untuk memanggil semua orang kepada Kristus melalui benih-benih Sabda dan membangkitkan ketaatan iman dalam hati mereka (bdk. AG 15). Dalam mewartakan Injil ke dalam kebudayaan dan tradisi kegamaan para bangsa, Sabda Allah itu sendiri menjadi sumber inspirasi dalam membarui kehidupan dan karya misioner Gereja. 2. Unsur-Unsur Teologi Misi Dan Dialog Kebangkitan Yesus telah memperluas perutusan para Rasul bagi para bangsa. Perjumpaan Petrus dengan Kornelius (Kis 10:1 – 11:18) serta keputusan-keputusan Konsili Yerusalem (Kis



17



15:1-21) memberikan gambaran bagi kita kesimpulan-kesimpulan doktrinal yang dihasilkan Gereja perdana itu. Petrus menandaskan: Allah telah menunjukkan kepadaku, bahwa aku tidak boleh menyebut orang najis atau tidak halal. Sesungguhnya aku telah mengerti bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepadaNya (Kis 10:28.34-35; bdk. 15:11).



Pandangan positif terhadap tradisi religius dan filosofis di luar Gereja juga telah diusulkan oleh para Bapa Gereja dari abad II, terutama oleh Yustinus Martir, Ireneus dan Klemens. Mereka mengembangkan gagasan Kristus kosmis dalam usaha pencarian manusia akan Yang Tertinngi, absolut.32 Yustinus berpendapat bahwa dalam agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan lain sudah ada benih-benih sabda (logos spermatikos). Ini menunjukkan kenyataan bahwa rahmat Allah sudah hadir dalam agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan lain yang akan dan selalu dijumpai oleh Gereja dalam tugas perutusannya. 2.1. Mewartakan Dan Bersaksi Tentang Yesus “Pewartaan adalah komunikasi pesan Injil, misteri keselamatan yang dilaksanakan Allah bagi semua orang dalam Yesus Kristus berkat kuasa Roh Kudus” (DP 10). Oleh karena itu, pewartaan dan kesaksian Gereja selalu berpusat pada Injil dari Yesus dan Injil tentang Yesus. Perutusan Gereja selalu dimotivasi oleh perintah Yesus dalam perutusan para murid (bdk. Mat 28:18-20; Mrk 16:15-16; Luk 24:46-48; Yoh 20:21). Namun, perutusan itu selalu dalam konteks perutusan yang dilaksanakan oleh Yesus sendiri, perutusan yang Ia terima dari Bapa. Prioritas utama misi Gereja adalah pewartaan dan kesaksian yang tetap setia pada konstanta Injil, yaitu pribadi dan karya Yesus di dalam konteks tertentu. Dokumen Evangelii Nuntiandi (EN) menegaskan: “Tidak ada pewartaan Injil yang sesungguhnya jika Nama, ajaran, hidup dan janji-janji, Kerajaan Allah dan misteri Yesus dari Nazaret, Putera Allah tidak diwartakan” (EN 22). Semua ini merupakan konstanta Injil yang harus dan terus menerus menampilkan gemanya, bagaimana pun konteksnya, agar kisah Injil itu dapat menggugah dan memikat hati seseorang. Gereja mewartakan Injil dalam kepatuhan akan perintah Kristus, sambil menyadari bahwa setiap orang berhak mendengarkan Kabar Baik tentang Allah yang mewahyukan Diri dalam Kristus, orang Nazaret itu. Ada uraian menarik dari Savio: Kisah tentang Yesus merupakan sebuah kisah terbesar yang pernah dituturkan. Bahkan sekarang ini, 2000 tahun setelah kematiannya, kekuatan Sabda dan karyaNya di bumi terus memberi inspirasi bagi dunia. Kisah itu membawa kembali kita ke masa-masa awal ketika belum ada waktu, kecuali cinta ilahi yang mengalir dari Allah Tritunggal. Cinta ilahi sekian berjalin dengan manusia sehingga ciptaan menjadi pintu masuk Allah ke dalam dunia yang terus berlangsung dan mencapai puncaknya dalam Inkarnasi Sabda … Kisah itu tidak berakhir dengan kenaikan Tuhan kita. Kisah itu menjadi suatu kenangan yang memberi hidup dan dengan kenangan itulah Roh Kudus terus memperbarui manusia. Kisah itu … harus terus dijaga dalam pewartaan Gereja sehingga iman akan Allah dihidupkan, harapan akan keselamatan dibangkitkan, dan cinta akan sesama bernyala. Itulah kisah yang menyentuh, kisah semua umat manusia apakah tersirat atau pun tersurat. Hanya dalam



Bdk. Jaques Dupuis, Toward a Christian Theology of Religious Pluralism, Maryknoll, New York: Orbis Books, 1997, hlm. 51-53. 32



18 Kedatangan Kedua Tuhanlah, rekapitulasi semua ini dalam Kristus akan menjadi nyata. Dia adalah “jalan, kebenaran, dan hidup” (Yoh 16:6).33



Mewartakan dan memberi kesaksian akan Yesus Kristus merupakan pengabdian yang amat luhur, dan merupakan amanat Yesus bagi perutusan Gereja yang tidak boleh diabaikan, apalagi dapat saling menggantikan. Kita simak dua pernyataan berikut ini: Barangsiapa berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan. Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepadaNya, bila mereka tidak percaya akan Dia? Bagaimana mereka dapat percaya akan Dia, bila mereka tidak mendengar tentang Dia? Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, bila tidak ada yang memberitakanNya? (Rm 10:13-15.17). Manusia modern lebih senang mendengarkan kesaksian daripada para pengajar. Dan bila mereka mendengarkan para pengajar, hal itu disebabkan karena para pengajar tadi merupakan saksi-saksi (EN 41).



Kedua pernyataan di atas mengisyaratkan bahwa walaupun pewartaan dan kesaksian itu mendesak, namun ia harus ditunaikan dengan kepekaan yang mendalam atas konteks di mana Injil diwartakan. Pernyataan St. Paulus dalam arti sempit cukup relevan bagi kelompok orangorang yang belum pernah mendengarkan Yesus dan InjilNya, karena berbagai situasi dan kondisi. Mereka ini memiliki kerinduan akan keselamatan dalam Kristus. Yohanes Paulus II mengatakan: Banyak orang tidak mempunyai kesempatan untuk mengetahui atau menerima wahyu Injil atau bergabung dengan Gereja. Kondisi sosisal dan budaya di mana mereka hidup tidak memungkinkan hal ini dan sering mereka tidak dibesarkan dalam tradisi agama lain. Bagi orang-orang semacam itu, keselamatan di dalam Kristus bisa diterima berkat rahmat yang, sambil memelihara hubungan misteri dengan Gereja, tidak membuat mereka secara formal menjadi bagian dari Gereja, tetapi membuka hati mereka dengan suatu cara yang disesuaikan dengan situasi spiritual dan material mereka. Rahmat ini berasal dari Kristus; rahmat itu adalah hasil KorbanNya dan dikomunikasikan oleh Roh Kudus (RM 10)



Dalam situasi dunia globalisasi dan postmodern dengan mentalitas instant dan relativistik atas agama, pernyataan Paulus VI menjadi relevan, dan perhatian khusus harus “difokuskan pada pewartaan dan kesaksian tentang Yesus sebagai satu-satunya penyelamat dunia, walaupun ada kenyataan menyangkut keabsahan agama-agama lain”.34 Penegasan tentang keunikan Kristus ini bukan semata-mata ajaran yang ditetapkan otoritas Gereja, melainkan berasal dari Kitab Suci. Allah adalah satu dan satu juga pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Yesus Kristus, yang telah menyerahkan nyawaNya sebagai tebusan bagi semua orang (bdk. 1 Tim 2:36). Dan lagi, keselamatan tidak ada dalam siapa pun juga (bdk. Kis 4:12), sebab Yesus sendiri berkata: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14:6) (bdk. DI 5). Savio Hon Tai Fai, SDB, “Kisah Yesus Dalam Agama-Agama Asia”, dalam John M Prior & Patris Pa (eds.), Kisah Yesus Di Asia: Perayaan Iman dan Hidup, Kongres Misi Asia, Chiang Mai, Thailand, 2006, Jakarta: KKM KWI & KKI, 2007, hlm. 102. Injil yang dirujuk seharusnya Yoh 14, bukan 16. 34 Stephen B Bevans & Roger P Schroeder, Terus Berubah – Tetap Setia, Dasar, Pola, Konteks Misi, (terj. Yosef Maria Florisan), Maumere: Ledalero, 2006, hlm. 615. Ajaran Gereja dalam Redemptoris Missio (RM), Fides et Ratio (FR), Dominus Iesus (DI), Ecclesia in Asia (EA) adalah menegaskan kebenaran absolut dari iman Katolik “sebagai penyembuh bagi mentalitas relativistik” (DI 5). Deklarasi DI ini berpusat pada tiga afirmasi atau penegasan yaitu: kepenuhan dan puncak dari wahyu Allah (DI 5-8), kesatuan ekonomi keselamatan dari Sabda yang Menjelma dan Roh Kudus (DI 9-12), keunikan dan universalitas misteri keselamatan Yesus Kristus (DI 13-16). Frasa seperti: harus teguh diimani, harus mengikrarkan, perlu teguh diimani, harus diimani secara teguh, dll, mendominasi DI. 33



19



Kisah Injil tentang Yesus dan kata-kata (sabda) dari Yesus dalam Injil menjadi sumber kekuatan dan inspirasi bagi para murid Tuhan. Kisah tentang Yesus dan kisah dari Yesus bukan hanya berupa warisan untuk dikenang melainkan kisah dan pegangan yang mengobarkan semangat dan memberi hidup. Sebuah kisah kehidupan karena pribadi yang dikisahkan itu adalah sumber kehidupan. Sangat beralasan jika Gereja bersama Rasul Petrus sekali lagi secara lantang berkata: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? PerkataanMu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah” (Yoh 6:68-69). Tugas Gereja “untuk memperkenalkan Yesus, supaya Ia dikasihi dan diikuti” (EA 19) perlu dijalankan dengan kepekaan yang tinggi dan pendekatan yang berbeda atas konteks tertentu. Tugas mulia ini hanya akan dapat menyentuh hati para penerima Kabar Baik itu jika kisah itu disajikan seturut cara berpikir dan kesadaran religius mereka. Misalnya, untuk konteks Asia, Yohanes Paulus II mengatakan: Penyajian … Yesus Kristus kiranya dapat datang sebagai pemenuhan dambaan-dambaan, yang diungkapkan dalam mitologi-mitologi dan folklore bangsa-bangsa Asia … pola-pola naratif yang berdekatan dengan bentuk-bentuk budaya Asia perlu diutamakan. Kenyataanya pewartaan Yesus Kristus dapat secara paling efektif dengan mengisahkan ceritaNya, seperti disampaikan oleh Injil. Faham-faham ontologis terkait, yang selalu harus diandaikan dan diungkapkan dalam menyampaikan Yesus, dapat dilengkapi dengan perspektif-perspektif relasional, historis dan bahkan kosmis. Menurut para Bapa Sinode, Gereja hendaklah terbuka bagi cara-cara yang baru dan mengejutkan, dan itulah cara-cara wajah Yesus kiranya dapat disajikan di Asia. Sinode menganjurkan, supaya katekese-katekese yang menyusul hendaklah mengikuti “pendidikan yang merangsang, dengan menggunakan cerita-cerita, parabel-parabel dan lambang-lambang yang begitu khas bagi metodologi Asia dalam mengajar”. Pelayanan Yesus sendiri jelas menunjukkan nilai kontak pribadi, yang meminta pewarta Injil agar sungguh mengindahkan situasi pendengar, supaya menyajikan pewartaan yang memang sesuai dengan tahap kematangan pendengar, lagi pula dalam bentuk maupun bahasa yang cocok. Dalam perspektif itu para Bapa Sinode sering menekankan kebutuhan mewartakan Injil melalui cara yang menyentuh perasaan-perasaan bangsa-bangsa Asia, dan mereka menyarankan gambaran-gambaran tentang Yesus, yang kiranya dapat dimengerti bagi citarasa dan kebudayaan-kebudayaan Asia, sekaligus juga tetap setia terhadap Kitab Suci dan Tradisi. Di antara mereka: “Yesus Kristus sebagai Guru Kebijaksanaan, Sang Penyembuh dan Pembebas, Penuntun Rohani, Dia Yang Diterangi, Sahabat yang Berbela-duka bagi rakyat Miskin, Orang Samaria yang Baik, Gembala Baik, Dia yang Taat”. Yesus dapat diperkenalkan sebagai Kebijaksanaan Allah yang Menjelma, lagi pula rahmatNya membuah-hasilkan “benih-benih” Kebijaksanaan ilahi yang sudah hadir dalam perihidup, agama-agama dan bangsa-bangsa Asia. Di tengah sekian banyak penderitaan di tengah bangsa-bangsa Asia, kiranya Yesus Kristus itu paling baik diwartakan sebagai Sang Penyelamat, “yang dapat memberikan makna kepada mereka yang sedang menanggung rasa sakit dan penderitaan” (EA 20).



Isi Injil tetap satu dan sama, tetapi pesannya harus disajikan dalam konteks yang berubah dengan cara tertentu. Kisah Yesus adalah kisah yang memberi inspirasi dan hidup, kisah agung yang pernah dituturkan di seantero bumi ini, yang tetap dan terus menggemakan daya inspiratifnya. Kisah itu perlu dihadirkan secara kontekstual dan inkulturatif.



2.2. Relasi Injil dan Kebudayaan: Inkulturasi Yohanes Paulus II menggunakan istilah “inkulturasi” secara resmi dalam dokumen-dokumen Gereja, awalnya dalam konteks inkarnasi dan katekese. Dalam Surat Apostolik Catechesi



20



Tradentae (CT) Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa katekese memunyai bentuk inkarnasi. Seperti lewat inkarnasi Sabda Allah menjadi manusia demikian pula lewat inkulturasi katekese sebagai bentuk pewartaan Injil, mendapat ekspresi budaya (bdk. CT 53). Menurut Yohanes Paulus II, antara Injil dan kebudayaan terjadi proses relasi mutual yang saling memberi dan menerima. Melalui inkulturasi, Gereja menjelmakan Injil dalam kebudayaan-kebudayaan yang berbeda dan serentak membawa masuk para bangsa bersama dengan kebudayaan mereka, ke dalam persekutuan Gereja sendiri (RM 52).



Jadi, inkulturasi berarti transformasi mendalam dari nilai-nilai budaya yang asli yang diintegrasikan ke dalam Gereja dan penanaman Gereja dalam keragaman budaya lain. Sementara itu, Shorter mendefinisikan inkulturasi sebagai hubungan yang kreatif dan dinamis antara iman Kristen dengan satu atau lebih kebudayaan. Selain itu, ia menegaskan tiga hal penting mengenai inkulturasi: pertama, inkulturasi adalah suatu proses yang berlangsung terus menerus dan selalu relevan untuk setiap bangsa di mana iman kristiani mulai tumbuh. Kedua, inkulturasi mengandaikan bahwa iman Kristen tidak mungkin ada kecuali di dalam konteks kebudayaan tertentu. Artinya, ketika kekristenan memasuki suatu kebudayaan, ia sudah terbungkus seturut kultural pewartanya. Ketiga, inkulturasi mengandaikan perjumpaan antara dua budaya, tetapi diperlukan suatu simbiosis yang kritis.35 Selain itu, menurut Peter C Phan, seperti dikutip oleh Bevans & Schroeder, ada lima keyakinan tentang inkulturasi. Pertama, inkulturasi akan merupakan sebuah “persoalan yang paling mendesak dan kontroversial dalam misi selama beberapa dasawarsa mendatang”, khususnya mengingat kenyataan bahwa agama Kristen dewasa ini benar-benar merupakan agama Kristen sedunia dan Gereja sekarang ini benarbenar merupakan Gereja sedunia. Kedua, berbagai paham dan praktek inkulturasi belakangan ini tengah ditantang karena pemahaman tentang inkultrasi dan kebudayaan itu sendiri sedang mengalami pembaruan yang signifikan dalam teologi, misiologi dan antropologi. Ketiga, inkulturasi akan sangat diuntungkan oleh penghargaan yang semakin luas terhadap religiositas kerakyatan, yakni agama orang-orang kebanyakan. Keempat, suatu pemahaman yang lebih dalam tentang sejarah misi akan menyajikan “banyak pelajaran yang berharga mengenai proses inkulturasi dan peran agama popular di dalamnya”. Kelima, pada keberhasilan atau kegagalan inkulturasi itulah bergantung masa depan Gereja.36



Inkulturasi dalam banyak hal terbukti sebagai sebuah tugas yang menarik, namun sekaligus juga terbukti sebagai sebuah tugas yang “panjang” serta “sulit lagi rumit” (RM 52; EA 22), dan tidak jarang mendatangkan kebosanan, bahkan penderitaan. Dibutuhkan spiritualitas inkulturasi yang senantiasa membimbing orang-orang Kristen yang memikul tugas yang berat lagi sukar ini, agar iman Kristen dan konteks-konteks lokal berjumpa secara autentik. Spiritualitas ini Bevans sebut sebagai ihwal “menanggalkan” dan “berbicara lantang”, dan itu tentu berfungsi secara berbeda untuk “orang luar” dan “orang dalam”. 37 Tugas spiritual yang utama bagi orang luar ialah menanggalkan, melucuti diri dari segala persepsi pribadinya lalu memasang telinga, belajar untuk diinjili oleh konteks. Setelah dalam waktu lama barulah ia bersuara lantang berupa saran atau pun kritikan tentang proses inkulturasi atau atas Bdk. Aylward Shorter, Toward a Theology of Inculturation, Op. Cit., hlm. 11-12. Bevans & Schroeder, Op. Cit., hlm. 663. 37 Bevans & Schroeder, Ibid., hlm. 664. Bdk. Bevans, Model-Model, Op. Cit., hlm. 99. 35 36



21



konteks. Bagi orang dalam adalah berani berbicara lantang atas kepercayaan dan pemahamannya sendiri tentang konteks budaya atau pun sosialnya, juga berani menerima resiko dalam perjumpaan antara Injil dan konteks. Hanya secara perlahan ia boleh mendengarkan kritik atas konteks budaya dan sosialnya, dan secara perlahan menanggalkan intuisinya. Jadi, menurut Bevans, tugas seorang pelaku inkulturasi ialah berdialog dengan konteks di mana Injil itu diwartakan atau kehidupan Kristen ditafsir. Dengan kata lain, menurutnya inkulturasi dilakukan secara paling baik dalam dialog profetis: Inkulturasi harus secara mendasar bercorak dialogis, karena sebuah konteks tidak selalu dengan mudah dapat terbaca pada permukaannya. Setelah bertahun-tahun menyendengkan pendengaran, bertahun-tahun belajar dari sebuah tradisi kebudayaan, kerja keras berbicara dengan umat akar rumput dan studi akademis – semuanya ini merupakan hal yang hakiki baik untuk orang dalam maupun orang luar pada setiap situasi pastoral. Pada saat yang sama, bukan segala sesuatu yang terdapat dalam sebuah kebudayaan baik adanya; beberapa hal malahan perlu dicela sebagai kejahatan dan dienyahkan dari kebudayaan tersebut. Pengalaman mesti dihormati, namun berbagai prasangka juga dapat merancukan persepsi. Injil menemukan gaung dan kendala dalam setiap konteks. 38



Dalam relasinya dengan budaya-budaya lokal, Gereja tetap memusatkan diri pada kekayaan budayanya yang absolut yang terkandung dalam Kitab Suci, Tradisi dan bahasa-bahasa biblis.39 Maksudnya, isi Kitab Suci satu dan tetap, tapi pesannya harus selalu kontekstual. Gereja tentu saja dalam proses inkulturasi tidak ingin kehilangan identitas kekristenannya yang mengalir dari Kitab Suci dan Tradisi kekristenan (bdk. DV 8). Injil tidak tunduk pada budaya-budaya lokal, Injil harus tetap berada di atas kebudayaan karena unggul dalam hal kualitas, 40 Injil adalah kepenuhan rahmat Allah. Dialog Injil dan kebudayaan bukan sekadar adaptasi belaka, yakni menerima dan memupuk unsur-unsur budaya dalam kekristenan, tetapi lebih dari itu, dialog itu memiliki karakter transformatif. Kekuatan Injil dalam dialog adalah dayanya yang mengubah. 41 Pesan Injil meneropong situasi budaya, menantang, mengubah, dan membaruinya dari dalam (bdk . Ef 1:10). Kekuatan Injil di manapun juga menimbulkan perubahan dan kelahiran baru. Bila kekuatan itu merasuki kebudayaan, tidak mengherankan bahwa banyak unsur kebudayaan itu dijernihkan atau diluruskan olehnya. Tidak akan ada penginjilan, seandainya Injillah yang harus berubah bila berjumpa dengan kebudayaan (CT 53).



Pembaruan oleh Injil harus secara vital, mendalam dan tepat pada akar-akarnya, yakni membarui perihidup dan kebudayaan manusia yang jatuh akibat dosa (bdk. DP 31; GS 58). Nilai-nilai dalam kebudayaan itu, bila disaring dan diperbarui oleh Injil, akan menjadi ungkapan otentik dan perwujudan nyata dari iman kristiani, baik dalam perayaan liturgi maupun dalam kehidupan jemaat yang beranekaragam (bdk. GS 58). 2.3. Liturgi Dan Doa



Bevans & Schroeder, Ibid., hlm. 665. H Vorgrimler (ed.), Commentary On The Documents of Vatican II, vol.Five, New York: The Crossroad Publishing Company, 1998, hlm. 226. 40 Richard Niebuhr, Kristus dan Kebudayaan (terj. Eka Darmaputra), Jakarta: Satya Karya, 1998, hlm 226 41 Georg Kirchberger, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus, Ende: Nusa Indah, 1991, hlm. 232. 38 39



22 Untuk melaksanakan karya sebesar itu, Kristus selalu mendampingi GerejaNya, terutama dalam kegiatan-kegiatan liturgis. Ia hadir dalam Korban Misa, baik dalam pribadi pelayan maupun terutama dalam rupa Ekaristi. Dengan kekuatanNya Ia hadir dalam sakramen-sakramen, Ia hadir dalam sabdaNya. Akhirnya Ia hadir, sementara Gereja memohon dan bermazmur. Tak ada tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkatan yang sama (SC 7).



Ya, Gereja hanya dapat menampilkan diri sebagai Gereja ketika ia tampil dan berada dalam persekutuan, baik dengan sesama umat kristiani maupun dengan anggota di luar Gereja. Bersama sesama anggota Gereja ia tampak ketika berkumpul untuk beribadat dan bersama semua orang ia tampak ketika berada dalam suasana doa, berada dalam dialog penuh iman dan perhatian dengan kehendak Allah. Thomas Schattauer, seperti yang disampaikan oleh Bevans, berpendapat bahwa ada tiga kemungkinan relasi antara liturgi dan misi, yaitu “yang di dalam dan yang diluar”, “yang di luar ke dalam”, dan “yang di dalam keluar”.42 Maksud Schattauer adalah adanya hubungan timbalbalik antara kehadiran Gereja melalui kegiatan-kegiatan liturgi dengan realitas kehidupannya sehari-hari. Tentang ketiga relasi ini, secara umum Bevans berpendapat bahwa, liturgi adalah sekaligus “yang di dalam dan yang diluar”. Sebab dalam liturgi, Firman Allah yang diwartakan, perjamuan yang dibagi-bagikan, panggilan yang dirayakan dan rekonsiliasi yang ditawarkan merupakan saat-saat pewartaan bagi semua orang. Demikian juga, semua kejadian di tengah dunia mesti menjalin dialog dengan pertemuan kebaktian jemaat, kejadian di luar mesti dibawa dan dihayati dalam doa.43 Dengan demikian, “liturgi secara mengagumkan menguatkan tenaga mereka untuk mewartakan Kristus” (SC 2), sebab liturgi adalah sumber dari mana segala kekuatan Gereja berasal (SC 10). Walaupun setiap upacara liturgi mengandung unsur misioner, namun hal ini nampak secara gamblang dalam perayaan Ekaristi maupun Ibadat Sabda tanpa imam. Mengenai pentingnya perayaan Ekaristi bagi umat dinyatakan oleh Gereja bahwa: Sakramen-sakramen lainnya, begitu pula semua pelayanan gerejawi serta kerasulan, berhubungan erat dengan Ekaristi suci dan terarah kepadanya. Sebab dalam Ekaristi suci tercakuplah seluruh kekayaan rohani Gereja, yakni Kristus sendiri, Paskah kita dan Roti hidup, yang karena dagingNya yang dihidupkan oleh Roh Kudus dan menjadi sumber kehidupan mengaruniakan kehidupan kepada manusia … dan menjadi sumber kehidupan mengaruniakan kehidupan kepada manusia … Oleh karena itu tampillah Ekaristi sebagai sumber dan puncak seluruh pewartaan Injil … Jadi Ekaristi merupakan pusat jemaat beriman, yang dipimpin oleh imam (PO 5).



Ekaristi merupakan tempat awal keluar dan mengalirnya kekayaan rohani untuk menyirami dan menyuburkan hidup kristiani; pokok sekaligus bagian terpenting dari kehidupan kristiani itu sendiri. Hidup jemaat dan segala jerih-payahnya serta segenap ciptaan berdasar dan mengarah pada Ekaristi, dalam persekutuan dengan Kristus. Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup dan persekutuan kristiani mencapai momen terindahnya ketika semua orang (tanpa peduli perbedaan latar belakang) bersama-sama menerima Tubuh dan Darah Kristus sebagai sumber kekuatan dan kehidupan rohani. Di dalam Ekaristi, Kristus sendiri bertindak sebagai tuan rumah yang mengundang dan menjamu semua 42 43



Bevans & Schroeder, Op. Cit., hlm. 616-617. Bdk. Ibid., hlm. 617-621.



23



orang, bahkan Dia sendiri menjadi santapan. Dengan berperanserta dalam Liturgi (Ekaristi) suci ini, jemaat beriman mencapai kehidupan doa yang tulus. Ekaristi membekali dan menjadikan kehidupan jemaat kristiani sebagai pewartaan Injil, seperti yang dikatakan oleh Yohanes Paulus II: Semakin jemaat Kristiani berakar dalam pengalaman akan Allah yang mengalir dari iman yang hidup, itu kian dapat dipercaya akan mampu mewartakan kepada sesama pemenuhan Kerajaan Allah dalam Yesus Kristus. Itu akan berhasil dari kesetiaan mendengarkan Sabda Allah, dari doa dan kontemplasi, dari perayaan misteri Yesus dalam Sakramen-sakramen, terutama dalam Ekaristi, serta dari penyampaian teladan persekutuan sejati hidup dan keutuhan cintakasih. Jantung Gereja yang khas harus ditaruh pada kontemplasi akan Yesus Kristus, Allah yang menjadi Manusia, lagi pula tiada hentinya berusaha mewujudkan persatuan yang lebih mesra dengan Dia, yang misiNya tetap dilangsungkan oleh Gereja. Perutusan itu aksi yang kontemplatif dan kontemplasi yang aktif (EA 23).



Dua orang kudus besar, Fransiskus Xaverius (misionaris aktif) dan Theresa dari Lisieux (misionaris kontemplatif) ditetapkan oleh Gereja sebagai pelindung misi. Gereja ingin menekankan segi perutusannya yang aktif dan kontemplatif sekaligus.44 Kehidupan doa dari setiap umat beriman apapun profesinya selalu memiliki segi dan menjadi sebuah karya misioner yang sejati. Doa selalu merupakan komunikasi yang mengatasi ke-aku-an menuju kontak relasi dengan kehendak Allah, dengan kebutuhan dunia universal dan dengan Gereja yang berdiam di dalamnya. Kesadaran akan dimensi misioner doa mendorong Gereja agar dalam dalam perayaan liturgi, dipanjatkan doa umat dengan ujud-ujud yang secara umum sebagai berikut: untuk kepentingan Gereja; untuk para pejabat pemerintah dan keselamatan dunia; untuk orang-orang yang sedang menderita berbagai kesulitan; untuk umat setempat; dan ujud-ujud lain sesuai maksud dari peristiwa yang sedang dirayakan.45



Gereja harus mengarahkan pandangan keluar, melampaui dirinya untuk bergabung dengan orang kabanyakkan – Gereja dan masyarakat yang lebih luas – seturut pandangan dan ajaran Gurunya: “Bapa kami yang di surga, …” (Mat 6:9-13). Menurut Benediktus XVI, dengan menyebut “Bapa Kami” kita menggabungkan diri bersama para murid (rasul) Yesus, dan hanya dalam “kami”-nya mereka kita boleh memanggil Allah sebagai “Bapa” dan juga kita masuk dalam persekutuan dengan Yesus, dan dengan demikian kita sungguh-sungguh menjadi “anak-anak” Allah. Dalam arti ini, Benediktus XVI mengatakan: Kata kami itu sesungguhnya penuh tuntutan: kata itu menuntut kita melangkah keluar dari lingkaran tertutup “saya”-nya kita. Kata itu menuntut kita menaklukkan diri kita pada persekutuan dengan anak-anak Allah lainnya. Kata itu menuntut kita melucuti diri dari apa yang semata-mata menjadi milik kita sendiri, dari apa yang membagi dan memilah. Kata itu menuntut kita menerima yang lain, sesama – agar kita membukakan telinga dan hati kita bagi mereka. Ketika mengujarkan kata kami, kita mengatakan Ya kepada Gereja yang hidup, di dalamnya Tuhan berkehendak mengumpulkan keluargaNya yang baru. Dalam arti ini, Doa Bapa Kami sekaligus doa yang seluruhnya personal dan seutuhnya gerejawi. Dengan mendaraskan doa Bapa Kami, kita berdoa secara sepenuhnya dengan hati kita sendiri, namun pada saat yang sama dalam persekutuan dengan segenap keluarga Allah, dengan orang-orang yang masih hidup dan yang sudah meninggal dunia, dengan manusia dari segenap kondisi, kebudayaan dan ras. Doa Bapa Kami mengatasi semua sekat pembatas dan menjadikan kita satu keluarga.46 Bdk. Bevans & Schroeder, Ibid., hlm. 624-625. Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR), Komisi Liturgi, Ende: Nusa Indah, 2002, no. 69-70. 46 Benediktus XVI, Yesus dari Nazaret (terj. B S Mardiatmadja), Jakarta: Gramedia, 2008, hlm. 153. 44 45



24



Tafsiran ini menjadi kunci bagi kita untuk mengerti keseluruhan Doa Tuhan sebagai ungkapan yang menjangkau dan menerobos semua batasan. Sasaran dari upacara liturgi dan doa Gereja selalau berupa pembaruan dalam perjumpaan dengan Allah misioner. “Saudara (-saudari) sekalian, Perayaan Ekaristi (Sabda) sudah selesai. Marilah pergi! Kita diutus”, demikian Gereja, lewat pemimpin perayaan mengakhiri sebuah perayaan liturgi. Liturgi di dalam membentuk komitmen untuk aksi keluar.