Faradila Alatas - 22004101010 - Ujian Laporan Kasus - MIastenia Gravis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



UJIAN LAPORAN KASUS



MYASTHENIA GRAVIS (MG)



Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya



Pembimbing:



dr.Luky Santi Eka Wirawati Sp.S , M.Biomed Disusun Oleh:



Faradila Alatas 22004101010



KEPANITERAAN KLINIK MADYA LABORATORIUM ILMU SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG RSUD KANJURUHAN KEPANJEN 2021



2



KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya kepada penyusun sehingga laporan kasus tentang “Myasthenia Gravis (MG)” ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana yang diharapkan. Tujuan penyusunan laporan kasus ini guna memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Madya serta melatih dalam menangani kasus kedokteran. Penyusun tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada dr.Luky Santi Eka Wirawati Sp.S , M.Biomed sebagai pembimbing dalam penulisan laporan kasus ini. Penyusun menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan. Untuk itu, saran dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan demi perbaikan laporan kasus ini. Atas saran dan kritik dokter pembimbing dan pembaca, penyusun ucapkan terima kasih. Semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi penyusun, pembaca serta rekan rekan lain yang membutuhkan demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kedokteran.



Kepanjen, 06 Agustus 2021



Penulis



3



DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar .............................................................................................. Daftar Isi....................................................................................................... PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................. 1.2 Rumusan Masalah ............................................................. 1.3 Tujuan ............................................................................... 1.4 Manfaat ............................................................................. BAB II LAPORAN KASUS 2.1 Identitas Pasien .................................................................. 2.2 Anamnesis ......................................................................... 2.3 Pemeriksaan Fisik .............................................................. 2.4 Diagnosa Banding .............................................................. 2.5 Pemeriksaan Penunjang ..................................................... 2.6 Resume .............................................................................. 2.7 Diagnosa Kerja .................................................................. 2.8 Penatalaksanaan ................................................................. 2.9 Prognosis ........................................................................... 2.10 SOAP ............................................................................... BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Definisi ............................................................................. 3.2 Epidemiologi ..................................................................... 3.3 Etiologi ............................................................................. 3.4 Klasifikasi ......................................................................... 3.5 Patofisiologi ...................................................................... 3.6 Manifestasi Klinis .............................................................. 3.7 Penegakan Diagnosa .......................................................... 3.8 Diagnosa Banding ............................................................. 3.9 Tatalaksana ....................................................................... 3.10 Prognosis .......................................................................... 3.11 Komplikasi ........................................................................ BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Pembahasan .......................................................................... BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ....................................................................... 5.2 Saran ................................................................................ DAFTAR PUSTAKA



2 3



BAB I



4 4 5 5 6 6 5 13 13 13 14 14 14 14 15 15 16 17 20 21 21 25 25 27 27 29 31 31



4



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot. Istilah Myasthenia adalah bahasa latin untuk kelemahan otot, dan Gravis untuk berat atau serius. Myasthenia Gravis termasuk salah satu jenis penyakit autoimun. Menurut kamus kedokteran, penyakit autoimun itu sendiri adalah suatu jenis penyakit dimana antibodi menyerang jaringanjaringannya sendiri. Myasthenia Gravis dapat menyerang otot apa saja, tapi yang paling umum terserang adalah otot yang mengontrol gerakan mata, kelopak mata, mengunyah, menelan, batuk dan ekspresi wajah. Bahu, pinggul, leher, otot yg mengontrol gerakan badan serta otot yang membantu pernafasan juga dapat terserang. Health Community dalam sebuah website-nya mendefinisikan Myasthenia Gravis sebagai penyakit autoimun kronis yang berakibat pada kelemahan otot skelet. Otot-otot skelet adalah serabut-serabut otot yang terdiri dari berkas-berkas atau striasi (striasi otot) yang berhubungan dengan tulang. Myasthenia Gravis menyebabkan kelelahan yang cepat (fatigabilitas) dan kehilangan kekuatan pada saat beraktivitas, dan membaik setelah istirahat. Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi dari AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR. Hubungan antara konsentrasi spesifisitas, dan fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik pada miastenia gravis telah dianalisis dengan sangat hati-hati, dan mekanisme dimana antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular telah diinvestigasi lebih jauh. Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi miastenia gravis yang berbedabeda, tetapi tidak dapat diragukan bahwa terapi imunomodulasi dan imunosupresif dapat memberikan prognosis yang baik pada penyakit ini. Ironisnya,



5



beberapa dari terapi ini justru diperkenalkan saat pengetahuan dan pengertian tentang imunopatogenesis masih sangat kurang. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa definisi dari Myasthenia Gravis (MG) 2. Bagaimana epidemiologi Myasthenia Gravis (MG) 3. Bagaimana etiologi dari Myasthenia Gravis (MG) 4. Bagaimana klasifikasi dari Myasthenia Gravis 5. Bagaimana patofisiologi dari Myasthenia Gravis (MG) 6. Bagaimana gejala dan tanda klinis dari Myasthenia Gravis (MG) 7. Bagaimana diagnosa dari Myasthenia Gravis (MG) 8. Bagaimana tatalaksana dari Myasthenia Gravis (MG) 9. Bagaimana prognosis dari Myasthenia Gravis (MG) 1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui definisi dari Myasthenia Gravis (MG) 2. Untuk mengetahui epidemiologi dari Myasthenia Gravis (MG) 3. untuk mengetahui etiologi dari Myasthenia Gravis (MG) 4. utnuk mengetahui klasifikasi dari Myasthenia Gravis 5. untuk mengetahui patofisiologi dari Myasthenia Gravis (MG) 6. untuk mengetahui gejala dan tanda klinis dari Myasthenia Gravis (MG) 7. untuk mnegetahu diagnosa dari Myasthenia Gravis (MG) 8. untuk mengetahui tatalaksana dari Myasthenia Gravis (MG) 9. untuk mengetahui prognosis dari Myasthenia Gravis (MG) 1.4 Manfaat Dengan adanya laporan kasus ini diharapkan dapat diperoleh penjelasan mengenai definisi, epidemiologi, patogenesis, gambaran klinis, penegakan diagnosis, penatalaksanaan serta prognosis dari penderita Myasthenia Gravis (MG).



6



BAB II LAPORAN KASUS



2.1. Identitas Pasien Nama



: Ny. VY



Umur



: 39 Tahun



Jenis kelamin



: Perempuan



Tanggal lahir



: 27 Juli 1982



Agama



: Islam



Pendidikan terakhir : Sarjana Suku



: Jawa



Alamat



: Mangunrejo, Kepanjen



Pekerjaan



: Pegawai Negeri



Status Pernikahan



: Sudah Menikah



Tanggal periksa



: 06 Juli 2021



No RM.



: 3513**



2.2. Anamnesa Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 03 Agustus 2021 pukul 08.16 WIB 1. Keluhan utama: Sulit membuka kelopak mata sebelah kiri dan kadang sesak. 2. Riwayat penyakit sekarang: Pasien kontrol ke poli saraf dengan keluhan utama sulit membuka kelopak mata sebelah kiri dan kadang sesak. Keluhan semakin memberat saat beraktivitas tetapi keluhan berkurang setelah istirahat. Keluhan lain sulit menelan, sulit mengunyah, penglihatan ganda, badan lemas, lemas, kesemutan, kebas, tremor, kekauan anggota gerak, demam serta mual muntah, pusing dan ekstremitas disangkal. Pasien meiliki riwayat myasthenia gravis sejak 7 tahun yang lalu, pasien rutin kontrol dan minum obat. 3. Riwayat penyakit dahulu: Hipertensi



: disangkal



7



DM



: disangkal



Stroke



: disangkal



Riwayat Cedera kepala, leher punggung: disangkal 4. Riwayat Penyakit Keluarga : 5. Riwayat Pengobatan



:-



6. Riwayat Alergi



: disangkal



7. Riwayat Kebiasaan



:-



8. Riwayat Sosial Ekonomi



: Menengah



2.3 Pemeriksaan Fisik Status generalis 1. Keadaan Umum : Baik 2. Kesadaran



: Compos mentis



GCS



:E4V5M6



3. Vital sign



: TD



: 125/95 mmHg



Nadi



: 110 x/menit regular



: 20 x/menit



Suhu : 36,5 oC



RR 4. Antopometri



: TB: - cm



BB: - kg



BMI: -



5. Kulit Warna kulit coklat, turgor kulit normal, ikterik (-), pucat (-), ptechie (-) 6. Kepala Bentuk normosephalic, luka (-), makula (-), papula (-), nodul (-). 7. Mata Konjungtiva anemis (-/-), ptosis (+/+), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), katarak (-/-), edema palpebra (-/-), cowong (-/-), pupil bulat isokor, diameter 3mm/3mm, radang (-/-). 8. Hidung Nafas cuping hidung (-/-), secret (-/-), epistaksis (-/-), deformitas (-/-). 9. Mulut Sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), tremor (-), gusi berdarah (-), atrofi (+) 10. Telinga Secret (-/-), pendengaran berkurang (-/-) 11. Tenggorokan



8



Hiperemi (-), tonsil membesar (-/-) 12. Leher Trakea ditengah, pembesaran KGB (-) 13. Toraks Simetris, retraksi subkostal (-), pembesaran kelenjar limfe (-) Cor I : ictus cordis tidak tampak P : ictus cordis kuat angkat P :



Batas kiri atas



: ICS II linea para sternalis sinistra



Batas kanan atas



: ICS II linea para sternalis dekstra



Batas kiri bawah



: ICS V linea medio clavicularis sinistra



Batas kanan bawah



: ICS IV linea para sterna dekstra



A : BJ I-II intensitas normal, regular, bising (-) Pulmo



: statis (depan dan belakang)



I : pengembangan dada kanan dan kiri simetris, benjolan (-), luka (-) P : fremitus taktil kanan = kiri, nyeri tekan (-), krepitasi (-) P : Sonor Sonor Sonor Sonor Sonor Sonor A : suara dasar vesikuler di semua lapang paru, suara tambahan (-) Rhonki



Wheezing



- -



- -



- -



- -



- -



- -



14. Abdomen I : dinding perut tampak datar A : bising usus normal P : supel, nyeri tekan, hepar tidak teraba, pembesaran lien (-)



9



- -



-



- -



-



- -



-



P : timpani seluruh lapang perut, nyeri ketok abdomen 15. Sistem Collumna Vertebralis: I : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-) P : nyeri tekan (-) 16. Ektremitas: Atas



: Edema (-/-), lengan atrofi (+/+), parese (+)



Bawah



: Edema (-/-), parese (-)



17. Sistem genetalia: tidak ada keluhan. Status Neurologi Tanda rangsang meningeal Kaku kuduk



:-



Kerniq



:-



Brudzinsky I



:-



Brudzinsky II



:-



Nervus Kranialis N. I (Olfaktorius) Normosmia



:+/+



N. II (Optikus) Acies visus



: Tidak dilakukan



Visus campus : Tidak dilakukan Lihat warna



: Tidak dilakukan



Funduskopi



: Tidak dilakukan



N. III, IV, VI (Occulomotorius, Trochlearis, Abducens) Kedudukkan bola mata



: Ortoposisi + / +



Pergerakkan bola mata



: Baik ke segala arah



Oculi Dextra



Oculi Sinistra



10



Lagofthalmus



:-/-



Ptosis



:+/+



Nystagmus



:-/-



Pupil Bentuk



: Pupil Bulat, isokor, diameter



mm/4mm Reflek cahaya langsung



:+/+



Reflek cahaya tidak langsung



:+/+



N. V (Trigeminus) Cabang Motorik Gerakan rahang



: Tidak dilakukan



Menggigit



: Tidak dilakukan



Cabang sensorik Ophtalmicus



: Tidak dilakukan



Maksilaris



: Tidak dilakukan



Mandibularis



: Tidak dilakukan



Refleks Kornea



: Tidak dilakukan



Jaw reflex



: Tidak dilakukan



N. VII (Fascialis) Motorik Sikap wajah



: Kesan mencong tidak ada



Angkat alis



: Baik / baik



Mengerutkan dahi



: Baik / baik



Menutup mata



: Baik / baik



Menyeringai



: Baik / baik



Plika nasolabialis



:Tidak ada bagian yang lebih



mendatar Sensorik Pengecapan lidah 2/3 depan



: Tidak dilakukan



11



N. VIII (Vestibulocochlearis) Vestibular Vertigo



:-



Nistagmus



:-



Koklearis



: Tidak dilakukan



N. IX, X (Glossopharyngeus, Vagus) Motorik Kedudukan uvula



: Tidak dilakukan



Kedudukan arcus faring



: Tidak dilakukan



Menelan



: Terganggu



Sensorik



: Tidak dilakukan



N. XI (Accesorius) Mengangkat bahu



: Tidak dilakukan



Menoleh



: Tidak dilakukan



N.XII (Hypoglossus) Pergerakkan lidah



: Baik



Menjulurkan lidah



: Lurus ke depan



Atrofi



:-



Fasikulasi



:-



Tremor



:-



Sistem Motorik Trofi



: eutrofi



Tonus



: normotonus



Kekuatan otot



:



Ekstremitas superior



: 5555/5555



Ekstremitas inferior



: 5555/5555



Gerakkan involunter: Tremor



:-/-



Chorea



:-/-



Atetose



:-/-



12



Miokloni



:-/-



Tics



:-/-



Sistem Sensorik Propioseptif Getar : Tidak dilakukan Sikap : Tidak dilakukan Eksteroseptif Nyeri : Tidak dilakukan Suhu : Tidak dilakukan Raba : Tidak dilakukan Refleks Fisiologis Kornea



: Tidak dilakukan



Biseps



: ++/++



Triseps



: ++/++



KPR



: ++/++



APR



: ++/++



Dinding perut : Tidak dilakukan Refleks Patologis Hoffman Tromer



:-/-



Babinsky



:-/-



Chaddok



:-/-



Gordon



:-/-



Schaefer



:-/-



Klonus patella



:-/-



Klonus achilles



:-/-



Fungsi Serebelar Ataxia



:-



Tes Romberg



:-



Disdiadokokinesia



:-



Jari-jari



:-



13



Jari-hidung



:-



Tumit-lutut



:-



Rebound phenomenon



:-



Hipotoni



:-



Fungsi Otonom Miksi



:-



Defekasi



:-



Sekresi keringat



:-



2.4 Diagnosa Sementara (Diagnosa Banding) -



Myasthenia gravis



-



Botulisme



-



Sklerosis amiotropik lateral



-



Sklerosis multipel



-



Penyakit Grave’s



2.5 Pemeriksaan penunjang 2.6 Resume Pasien kontrol ke poli saraf dengan keluhan utama sulit membuka kelopak mata sebelah kiri dan kadang sesak. Keluhan semakin memberat saat beraktivitas tetapi keluhan berkurang setelah istirahat. Keluhan lain sulit menelan, sulit mengunyah, penglihatan ganda, badan lemas, lemas, kesemutan, kebas, tremor, kekauan anggota gerak, demam serta mual muntah, pusing dan ekstremitas disangkal. Pasien meiliki riwayat myasthenia gravis sejak 7 tahun yang lalu, pasien rutin kontrol dan minum obat. Pasien datang dengan GCS E4 V5 M6, dengan TD : 125/95 mmHg, RR : 20 x/menit, Nadi : 110 x/menit regular, suhu : 36,5 oC. Pada pemeriksaan fisik kondisi umum baik, ptosis + dan pada pemeriksaan neurologis tidak didapatkan adanya kelainan.



2.7 Diagnosa Kerja Diagnosis klinis



: Disfagia, ptosis sinistra.



14



Diagnosis etiologis



: Myastenia gravis



Diagnosis topis



: Neuromuscular Junction (motor end plate)



2.8 Penatalaksanaan ● Non farmakologi: - Menghindari faktor pencetus - Kontrol rutin ● Farmakologi: Mestinon 3 x 1 (Tab. 60 mg)



2.9 PROGNOSIS Dubia ad bonam 2.10



SOAP



Hari/Tanggal 03



Agustus



2021



pukul



08.16



WIB



S -



Sulit



O -



membuka



(poli saraf) -



KU: compos



A



P



- Diagnosis klinis:



Non farmakologi:



mentis



Disfagia, ptosis



kelopak mata



-



GCS: 456



sinistra.



sebelah kiri.



-



Vital sign:



- Diagnosis



Sesak napas.



TD: 125/95 mmHg



etiologis:



Nadi:110x/mnt



Myastenia gravis



RR: 20x/mnt o



T: 36,5 C -



Pemeriksaan fisik



Ptosis (+/+)



- Diagnosis topis: Neuromuscular Junction (motor end plate)



- Menghindari faktor pencetus - Kontrol rutin Farmakologi: Mestinon 3 x 1 (Tab. 60 mg)



15



BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Definisi Myasthenia Gravis Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terusmenerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction4. 3.2 Epidemiologi Myasthenia Gravis Myasthenia Gravis dapat dikatakan sebagai penyakit yang masih jarang ditemukan. Umumnya menyerang wanita dewasa muda dan pria tua. Penyakit ini bukan suatu penyakit turunan ataupun jenis penyakit yang bisa menular. Kasus MG adalah 5- 10 kasus per 1 juta populasi per tahun, yang mengakibatkan kelaziman di Amerika Serikat sekitar 25.000 kasus. MG betul-betul dipertimbangkan sebagai penyakit yang jarang, artinya MG kelihatannya menyerang dengan sembarangan dan tanpa disengaja dan tidak dalam hubungan keluarga. Tidak ada kelaziman rasial, tapi orang-orang yang terkena MG pada usia < 40 tahun, 70 % nya adalah wanita. Yang > 40 tahun, 60 % nya adalah pria. Pola ini sering disimpulkan dengan menyebutkan bahwa MG adalah penyakit wanita muda dan pria tua. Pada pasien yang mengalami MG sebagai akibat karena memiliki thymoma, tidak ada kelaziman usia dan jenis kelamin 5. Menurut James F.Howard, Jr, M.D, kelaziman dari Myasthenia Gravis di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 14/100.000 populasi, kira-kira 36.000 kasus. Tetapi Myasthenia Gravis dibawah diagnosa dan kelaziman, mungkin lebih tinggi. Sebelum dipelajari, terlihat bahwa wanita lebih sering terserang disbanding pria. Usia yang paling umum terserang adalah pada usia 20 dan 30-an pada wanita dan 70 dan 80- an pada pria. Berdasarkan populasi umur, rata-rata usia yang terserang meningkat, dan



16



sekarang pria lebih sering terserang dibanding wanita, dan permulaan munculnya tandatanda biasanya setelah usia5. Pada Myasthenia bayi, janin mungkin memperolah protein imun (antibodi) dari ibu yang terkena Myasthenia Gravis. Umumnya, kasus-kasus dari Myasthenia bayi adalah sementara dan gejala-gejala anak-anak umumnya hilang dalam beberapa minggu setelah kelahiran. Myasthenia Gravis tidak secara langsung diwarisi ataupun menular. Adakalanya, penyakit ini mungkin terjadi pada lebih dari satu orang dalam keluarga yang sama5. 3.3 Etiologi Myasthenia Gravis Penyakit Terdapat 4 kelas berdasarkan etiologinya: 1.



Acquired autoimmune



2.



Transient neonatal disebabkan transfer maternal dari antibodi anti-AChR.



3.



Drug Induced: D-penicillamine merupakan prototipe obat yang dapat mencetuskan MG. Presentasi klinis tampaknya identik dengan acquired autoimmune MG dan antibodi terhadap AChR dapat dijumpai. Obat lain yang dapat



menyebabkan



kelemahan



yang



menyerupai



MG



atau



dapat



mengeksaserbasi kelemahan MG mencakup curare, aminoglikosida, quinine, procainamide, dan calcium channel blocker. 4.



Congenital myasthenic syndrome Pada penggunaan penicillamine dapat dijumpai kejadian myasthenia gravis dengan onset dalam beberapa hari hingga bulan setelah paparan awal walaupun dapat dijumpai setelah beberapa tahun. Sindrom ini dapat menghilang dalam 26 bulan setelah penghentian obat. Penjelasan mengenai mekanisme druginduced myasthenia gravis



kini berfokus pada perubahan reaktivitas



imunologis. Populasi limfosit B meningkat dan memproduksi antibodi terhadap reseptor asetilkolin. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme: (1) keadaan antigenik reseptor ACh berubah yang dapat menyulitkan ‘selfrecognition’; (2) Hilangnya kontrol sel T supressor terhadap produksi antibodi



17



oleh sel B; (3) stimulasi langsung terhadap sel B, yang menyebabkan peningkatan kadar antibodi. D-penicillamine menstimulasi prostaglandin E1 synthetase untuk menghasilkan prostaglandin E1, yang menempati allosteric site pada reseptor ACh. Hal ini dapat mengganggu ikatan ACh dengan reseptor9.



Gambar. Tempat kerja D-penicillamine Dikutip dari: Katz LJ, Lesser RL, Merikangas JR, et al. Ocular myasthenia gravis after Dpenicillamine administration. British journal of ophtalmology 1989; 73: 1015-1018.



3.4 Klasifikasi Myasthenia Gravis Klasifikasi Miastenia Gravis Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut 7: a. Klas I Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal. b. Klas II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular. c. Klas IIa Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan. d. Klas IIb



18



Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa. e. Klas III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang. f. Klas IIIa Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan. g. Klas IIIb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan. h. Klas IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat. i.



Klas IVa Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.



j.



Klas IVb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otototot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.



k. Klas V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik. Biasanya gejalagejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak



19



menurun Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah ini a) Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan. b) Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu. c) Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otototot okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.



Klasifikasi Myasthenia berdasarkan klinis dari MGFA Dikutip dari: Barohn RJ. Standards of Measurements in Myasthenia gravis. Ann.N.Y.Sci. 2003; 998:432-39.



20



3.5 Patofisiologi Myasthenia Gravis Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain8. Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata8. Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik5,8. Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain: ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan



21



sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis8. 3.6 Gejala dan Tanda Klinis Myasthenia Gravis Manifestasi Klinis Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat 4. Gejala klinis miastenia gravis antara lain4,5: 



Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis7. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala4.







Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas4. Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya4.



3.7 Diagnosa Myasthenia Gravis Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua



22



anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas normal4,8. Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher8. Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki8. Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang



23



ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan8. Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi8. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti4,7,1 1. 



Pemeriksaan Laboratorium Anti-asetilkolin reseptor antibodi Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive antiAChR antibody.







Antistriated muscle (anti-SM) antibody Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.







Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil antiAChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.







Antistriational antibodies



24



Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis. 2.



Imaging a. Chest x-ray (foto roentgen thorak) Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum. b. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ctscan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua. c. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.



3.



Pendekatan



Elektrodiagnostik



Pendekatan



elektrodiagnostik



dapat



memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular melalui 2 teknik: a. Repetitive Nerve Stimulation (RNS) Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi. b. Single-fiber Electromyography (SFEMG) Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah



25



potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).



SFEMG



mendeteksi adanya defek transmisi pada



neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal. 3.8 Diagnosa Banding Myasthenia Gravis Dagnosis banding yang harus dipikirkan pada pasien Myasthenia Gravis adalah:10  Sindroma Guillian-Barre  Sklerosis amiotropik lateral  Sklerosis multipel  Botulisme  Sindroma miastenik kongenital  Penyakit Grave’s  Sindroma Tolosa-Hunt  Polimiositis  Neurosakroidosis  Sindroma Lamber-Eaton Miastenik  Histeria  Sindroma moebius. 3.9 Tatalaksana Myasthenia Gravis Prinsip penatalaksanaan Myasthenia Gravis (MG) atau Miastenia Gravis adalah pemberian antikolinesterase dan imunosupresan secara hati-hati, serta plasma exchange atau immunoglobulin intravena pada kasus akut. Tindakan operatif timektomi juga dapat dilakukan pada beberapa kasus. Tujuan terapi myasthenia gravis adalah mencapai remisi dan mengurangi relaps. Definisi remisi adalah tidak adanya gejala-gejala kelemahan otot pada pemeriksaan atau kelemahan minimal pada kelemahan otot untuk menutup mata. Terapi farmakologis MG meliputi:11  Antikolinesterase



26



Antikolinesterase berupa neostigmine (7,5-45 mg) dan pyridostigmine (30-90 mg) dengan pemberian masing-masing 2-6 jam dan 6 jam, merupakan pilihan pada kasus myasthenia gravis. Farmakodinamik antikolinesterase adalah menghambat enzim asetilkolinesterase sehingga degradasi neurotransmiter asetilkolin berkurang. Hasilnya adalah jumlah asetilkolin yang meningkat pada sinaps untuk menduduki reseptornya pada postsinaps dan menghasilkan aksi potensial.  Kortikosteroid Kortikosteroid berupa prednisone (15-25mg) digunakan untuk mengontrol miastenia pada otot okuler. Kortikosteroid juga bisa dipakai dalam jangka panjang pada pasien dengan kelemahan menyeluruh yang tidak respon penuh dengan pemberian antikolinesterase.  Azathioprine dan Immunosupresif Lainnya Dosis awal azathioprine 50 mg per harinya, dengan dosis terapeutik 2-3 mg/kg/hari. Terapi ini diberikan apabila terdapat kontraindikasi, gagal respon, atau bertoleransi buruk terhadap pemberian kortikosteroid. Agen imunosupresif lainnya yang dapat digunakan adalah golongan cyclosporine, mycophenolate, atau cyclophosphamide.  Plasma Exchange (Plasmaferesis) Dosis plasmaferesis yang digunakan adalah 55 ml/kg/hari selama 5 hari. Perbaikan biasanya terjadi setelah pemberian ketiga kalinya dan menetap hingga 2-4 minggu. Indikasi pemilihan plasmaferesis adalah pre-timektomi, krisis miastenik, kelemahan yang cepat dan progresif.  Imunoglobulin Intravena (IVIG) Dosis yang direkomendasikan adalah 400 mg/kg/hari selama 5 hari atau 1 gram/kg/hari selama 2 hari. Pemilihan tatalaksana ini dibuat karena adanya kontraindikasi terhadap plasmaferesis. Terapi ini memiliki toleransi yang baik dan komplikasi yang lebih jarang dibandingkan plasmaferesis meskipun efek sampingnya lebih berbahaya. Tata laksana juga harus dilakukan dalam kondisi krisis, seperti krisis miastenik dan krisis kolinergik. Pasien dalam kondisi krisis miastenik berisiko mengalami gagal napas, sehingga memerlukan intubasi dan ventilasi mekanik. Beberapa kasus gagal nafas juga dapat ditangani dengan Bilevel



27



Positive Airway Pressure (BIPAP). Terapi definitif krisis miastenik adalah plasma exchange atau infus immunoglobulin. Tata laksana krisis kolinergik yang telah jatuh dalam kondisi bradikardia dan hipotensi adalah pemberian atropine sulfat 0,6 mg intravena. Operasi timektomi dapat dilakukan pada pasien MG dengan kelainan timus. Timektomi dianggap sebagai prosedur yang efektif dalam menangani Myasthenia Gravis tipe generalisata pada pasien dengan usia pubertas sampai 55 tahun. Pendekatan operatif yang digunakan adalah suprasternal karena paling sedikit memunculkan efek nyeri postoperatif dan lebih tidak invasif. Operasi ini bersifat elektif dan tidak untuk digunakan pada pasien yang sedang dalam perburukan akut Myasthenia Gravis.12 3.10



Prognosis Myasthenia Gravis Prognosis pasien dengan Myasthenia Gravis bervariasi bergantung perjalanan



penyakitnya. Penyebaran imun secara cepat dari satu otot ke otot lainnya terjadi pada beberapa kasus, akan tetapi tidak sedikit juga pasien yang progresivitas penyakitnya tidak berubah selama bertahun-tahun. Remisi penyakit bisa sewaktu-waktu terjadi dalam tahun pertama, tetapi serangannya tidak selama awal terkena penyakit. Relaps juga dapat muncul akibat infeksi sebagai faktor pencetusnya. Kematian biasanya paling tinggi insidensinya pada tahun pertama setelah onset dari awal Myasthenia Gravis. Periode kedua bahaya ada pada empat sampai tujuh tahun sesudah onset. Setelah waktu ini, penyakitnya cenderung untuk stabil dan risiko relaps menurun. Kematian paling sering diakibatkan oleh komplikasi paru berupa pneumonia aspirasi.10 3.11



Komplikasi Myasthenia Gravis Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien MG antara lain adalah:12



 Krisis Myastenik Krisis myastenik adalah hasil perburukan penyakit yang bisa menyebabkan kematian karena gagal nafas dan quadriparesis dalam hitungan jam. Pneumonia aspirasi karena kelemahan otot orofaring adalah salah satu faktor berkontribusi.



28



Penggunaan obat-obatan golongan sedatif juga dapat memperburuk kondisi pasien dalam krisis.  Krisis Kolinergik Krisis kolinergik adalah bahaya yang disebabkan karena penggunaan obat antikolinesterasi dosis tinggi. Gejala khas stimulasi reseptor muskarinik oleh asetilkolin adalah mual, muntah, pucat, berkeringat, salivasi berlebihan, bronchorrhea, kolik, diare, miosis, dan bradikardia.



29



BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Pembahasan Kasus Pada kasus ini pasien seorang wanita berusia 39 tahun didiagnosa menderita Myasthenia gravis (MG) berdasarkan autoanamnesa, pasien kontrol ke poli saraf dengan keluhan utama sulit membuka kelopak mata sebelah kiri dan kadang sesak. Keluhan semakin memberat saat beraktivitas tetapi keluhan berkurang setelah istirahat. Keluhan lain sulit menelan, sulit mengunyah, penglihatan ganda, badan lemas, lemas, kesemutan, kebas, tremor, kekauan anggota gerak, demam serta mual muntah, pusing dan ekstremitas disangkal. Pasien meiliki riwayat myasthenia gravis sejak 7 tahun yang lalu, pasien rutin kontrol dan minum obat. Pasien datang dengan GCS E4 V5 M6, dengan TD : 125/95 mmHg, RR : 20 x/menit, Nadi : 110 x/menit regular, suhu : 36,5 o



C. Pada pemeriksaan fisik kondisi umum baik, ptosis + dan pada pemeriksaan



neurologis tidak didapatkan adanya kelainan. Myasthenia gravis yang merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan gejala kelemahan yang berfluktuasi yang melibatkan satu atau beberapa otot skelet yang disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor asetilkolin nikotinik pada area postsynaptic pada neuromuscular junction (NMJ)17. Rejimen pengobatan yang diberikan bersifat individual bergantung pada keparahan penyakit, usia, keadaan timus, masalah medis lainnya13,14. Tujuan terapi adalah untuk mencapai fungsi neuromuskular senormal mungkin dengan efek samping yang minimal13. Inhibitor AChE, pyridostigmine bromide (Mestinon) biasanya akan memperbaiki kelemahan pada pasien dengan MG. Dengan menghambat AChE pada metabolisme ACh secara sementara, jumlah ACh dan durasi efeknya pada NMJ akan meningkat. Hal ini memungkinkan interaksi ACh dengan jumlah reseptor ACh yang cukup untuk menghasilkan EPP suprathreshold pada NMJ15,16. Obat inhibitor AChE adalah obat pertama yang diberikan dalam manajemen MG (good practice point)14.



30



Inhibitor AChE merupakan terapi simptomatik pada MG dan tidak memperlambat proses autoimun pada NMJ. Peranan obat ini adalah sebagai terapi pada miastenia ringan atau okular, pada pasien yang tidak dapat mendapat imunosupresi dan sebagai terapi tambahan pada pasien yang mendapat imunoterapi dengan kelemahan yang masih ada13. Pyridostigmine dimulai pada orang dewasa dengan dosis 30 tiga kali sehari dan dapat dinaikkan hingga 90 mg tiga hingga empat kali sehari Pada anak-anak, pyridostigmine dimulai pada dosis 1,0 mg/kg. Dosis secara bertahap dititrasi sesuai keperluan untuk mengontrol gejala myasthenia tanpa menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan. Sebagian besar pasien dewasa memerlukan dosis 60-120 mg dalam setiap 4-6 jam. Dosis tidak boleh melebihi 600 mg per hari pada dewasa dan 7 mg/kg pada anak-anak13,15. Keuntungan utama dari obat ini adalah onsetnya yang cepat (dalam 15-30 menit) dengan durasi kerja sekitar empat jam, dan efek puncak didapat dalam 45 menit13. Efek samping inhibitor asetilkolinesterase berhubungan dengan peningkatan aktivitas muskarinik dan termasuk mual, muntah, kram perut, diare, peningkatan sekresi liur dan bronkial, bradikardia13,15. Pemberian pyridostigmine yang berlebihan dapat mengakibatkan krisis kolinergik di mana akumulasi ACh di reseptor ACh mendesensitisasi atau memblok reseptor yang menyebabkan peningkatan kelemahan. Jenis krisis ini perlu dibedakan dari krisis myasthenia.7 Krisis kolinergik ditandai dengan perburukan kelemahan, hipersalivasi, nyeri abdominal dan diare. Penatalaksanaan terdiri dari penurunan dosis dan terapi suportif13,15.



31



BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Diagnosis myasthenia gravis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan neurologis, tes kuantitatif dan pemeriksaan penunjang. Perkembangan menjadi suatu generalized MG terjadi pada 85% kasus dalam tiga tahun pertama. Pada pasien dengan gejala terbatas pada otot ocular pemakaian inhibitor asetilkolinesterase dan kortikosteroid dosis rendah bermanfaat untuk meredakan gejala. 5.2 Saran Perlu dijelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai perjalanan penyakit dan kekambuhan yang mungkin terjadi, pilihan terapi dan efek samping dari pengobatan.



32



DAFTAR PUSTAKA 1.



Anonim,



Myasthenia



Gravis.



Available



at:



http://www.myasthenia.org/docs/MGFA_Brochure_Ocular.pd. Diakses pada tanggal 08 April, 2013. 2.



Frotscher, M., M. Baehr. 2012. Diagnosis Topik Neurologi DUUS: Anatomi, Fisiologi, Tanda dan Gejala, Ed. 4. EGC. Jakarta.



3.



Howard,



J.



F.



Myasthenia



Gravis,



a



Summary.



Available



at:



http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gra vis.htm. Diakses pada tanggal 08 April, 2013. 4.



Mardjono, M., 2004. Neurologi Klinis Dasar 9th ed. Dian Rakyat, Jakarta.



5.



Miastenia



Gravis



Indonesia.



2013.



http://www.mgindonesia.org/myastheniagravis.html. Diakses pada tanggal 08 April 2013. 6.



Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A.2008. Biokimia Harper: Dasar Biokimia Beberapa Kelainan Neuropsikiatri. ssEdisi 29. EGC. Jakarta.



7.



Ngoerah, I. G. N. G, 1991. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University Press.



8.



Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit ed. 6 vol.2. EGC. Jakarta.



9. 10.



Snell, Richard S., 2007. Neuro Anatomi Klinik ed. 5. EGC. Jakarta Aydin Y, Ulas AB, Mutlu V, Colak A, Eroglu A. Thymectomy in Myasthenia Gravis. Eurasian J Med. 2017 Feb. 49 (1):48-52.



11.



Marulli G, Schiavon M, Perissinotto E, et al. Surgical and neurologic outcomes after robotic thymectomy in 100 consecutive patients with myasthenia gravis. J Thorac Cardiovasc Surg. 2013 Mar. 145(3):730-5; discussion 735-6.



12.



Norwood F, Dhanjal M, Hill M, et al. Myasthenia in pregnancy: best practice guidelines from a UK multispecialty working group. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2014;85: 538–543.



33



13.



Juel VC, Massey JM. Myasthenia gravis. Orphanet Journal of Rare Diseases 2007; 2:44.



14.



Barohn RJ. Standards of measurements in Myasthenia gravis. Ann N Y Sci 2003; 998: 432-439.



15.



Thanvi BR, Lo TCN. Update on myasthenia gravis. Postgrad Med J 2004;80:690-700.



16.



Romi F, Gilus NE, Aarli JA. Myasthenia gravis: clinical,imunological, and therapeutic advances.Acta Neurol Scand 2005;111:134-141.



17.



Romi F, Gilus NE, Aarli JA. Myasthenia gravis: clinical,imunological, and therapeutic advances.Acta Neurol Scand 2005;111:134-141.