Gangguan Aktifitas Akibat Patologis System Muskuloskletal, Persyarafan Dan Indera [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

GANGGUAN AKTIFITAS AKIBAT PATOLOGIS SYSTEM MUSKULOSKLETAL, PERSYARAFAN DAN INDERA



Oleh : Kelompok II Komang Risti Indriani



P07120016085



Kadek Kartini Anggarini Putri



P07120016086



Ni Kadek Kristian Purnama Dewi



P07120016087



Ni Kadek Krisna Dewi



P07120016088



Ida Ayu Putu Suci Indra Dewi



P07120016089



KEMENTERIAN KESEHATAN RI PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR TAHUN AKADEMIK 2018/2019



KATA PENGANTAR



Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan makalah Keperawatan Medikal Bedah II



yang membahas mengenai “Gangguan Aktifitas Akibat Patologis System



Muakuloskletal, Persyarafan dan Indera”. Dalam penyusunan makalah ini penulis berusaha untuk menyajikan secara ringkas dan jelas agar mudah dipahami oleh pembaca. Sumber informasi penyajian uraian menyeluruh mengenai makalah yang penulis dapatkan diperoleh dari hasil pencarian di beberapa buku pembelajaran dan jurnal resmi dari situs internet sehingga sangat mendukung penyelesaian makalah ini. Penulis sepenuhnya menyadari, tanpa bantuan dan kerjasama dari pihak yang terkait, makalah ini tidak akan sesuai dengan harapan. Untuk itu pada kesempatan yang baik ini tidak lupa disampaikan terima kasih dan penghargaan kepada : 1. Ners. I Made Sukarja, S.Kep, M.Kep selaku dosen mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II yang selalu meluangkan waktu untuk memberikan kami bimbingan dan tuntunan dalam penyelesaian makalah ini. 2. Teman-teman kelompok yang sudah membuat makalah ini dengan sebaik-baiknya. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran konstruktif sangat diharapkan oleh penulis. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkompeten.



Denpasar, Agustus 2018



Kelompok 2



ii



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1 1.1



Latar Belakang.............................................................................................................1



1.2



Rumusan Masalah.......................................................................................................2



1.3



Tujuan..........................................................................................................................2



BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................3 2.1



Anamnesa Gangguan System Muskuloskletal............................................................3



A. Pengkajian Umum Sistem Muskuloskeletal................................................................3 B. Anamnesis Sistem Muskuloskeletal............................................................................3 2.2



Anamnesa Gangguan System Persyarafan................................................................22



2.3



Anamnesa Gangguan System Indera.........................................................................40



A. Anamnesa Pada Mata...................................................................................................40 B. Anamnesa Pada Telinga...............................................................................................44 C. Anamnesa Pada Hidung...............................................................................................46 D. Pemeriksaan Pada Hidung...........................................................................................47 F. Anamnesa Pada Kulit...................................................................................................49 2.4



Persiapan Pasien Dengan CT Scan Otak dan MS.....................................................52



2.5



Persiapan Pasien Dengan MRI..................................................................................56



2.6



Persiapan Pasien Dengan Angiografi Cerebral.........................................................59



2.7



Persiapan Pasien Dengan Fungsi Lumbal.................................................................62



BAB III PENUTUP..................................................................................................................65 3.1



Kesimpulan................................................................................................................65



3.2



Saran..........................................................................................................................65



DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................66



iii



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Aktivitas adalah suatu energi atau keadaan bergerak dimana manusia memerlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup. Kebutuhan aktivitas/pergerakan dan istrahat merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Salah satu tanda kesehatan adalah adanya kemampuan seseorang yang tidak terlepas dari kekuatan sistem persyarafan dan musculoskeletal. Manusia mempunyai kebutuhan untuk bergerak agar dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan melindungi diri dari kecelakaan. Mekanika tubuh adalah usaha koordinasi dari musculoskeletal dan sistem saraf untuk mempertahankan keseimbangan yang tepat. Mekanika tubuh adalah cara menggunakan tubuh secara efisien, yaitu tidak banyak mengeluarkan tenaga, terkoordinasi secara aman dalam menggerakan serta mempertahankan keseimbangan dalam beraktivitas. Imobilitas merupakan keadaan dimana seseorang tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi mengganggu pergerakan (aktivitas). Prosedur dan pemeriksaan khusus dalam keperawatan merupakan bagian dari tindakan   untuk mengatasi masalah kesehatan yang dilaksanakan secara tim, perawat melakukan fungsi kolaboratif dalam memberikan tindakan. Hasil suatu pemeriksaan laboratorium sangat penting dalam membantu diagnosa,memantau perjalanan penyakit serta menentukan prognosa. Karena itu perlu diketahui faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium. Terdapat 3 faktor utama yang  dapat mengakibatkan kesalahan hasil laboratorium yaitu : 1.    Faktor Pra instrumentasi : sebelum dilakukan pemeriksaan. 2.    Faktor Instrumentasi : saat pemeriksaan ( analisa ) sample 3.    Faktor Pasca instrumentasi : saat penulisan hasil pemeriksaan             Pada tahap prainstrumentasi sangat penting diperlukan kerjasama antara petugas,pasien dan dokter. Karena tanpa kerja sama yang baik akan mengganggu /mempengaruhi hasi lpemeriksaan laboratorium. Yang termasuk dalam tahapan pra instrumentasi meliputi : 1



1.    Pemahaman instruksi dan pengisian formulir laboratorium. 2.    Persiapan penderita. 3.    Persiapan alat yang akan dipakai. 4.     Cara pengambilan sample. 5.    Penanganan awal sampel ( termasuk pengawetan ) & transportasi.



1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana anamnesa gangguan pada system muskuloskletal ? 2. Bagaimana anamnesa gangguan pada system persyarafan ? 3. Bagaimana anamnesa gangguan pada system indera ? 4. Bagimana persiapan pasien dengan CT scan otak, dan MS, MRI, angiografi cerebral dan fungsi lumbal ? 1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui anamnesa gangguan pada system muskuloskletal ? 2. Untuk mengetahui anamnesa gangguan pada system persyarafan ? 3. Untuk mengetahui anamnesa gangguan pada system indera ? 4. Untuk mengetahui persiapan pasien dengan CT scan otak, dan MS, MRI, angiografi cerebral dan fungsi lumbal ?



2



BAB II PEMBAHASAN



2.1 Anamnesa Gangguan System Muskuloskletal A. Pengkajian Umum Sistem Muskuloskeletal Perawat menggunakan riwayat kesehatan dan pengkajian fisik untuk memperoleh data tentang pola pergerakan yang biasa dilakukan seseorang. Data tersebut dikoordinasikan dengan riwayat perkembangan dan informasi tentang latar belakang sosial dan psikologi pasien (Risnanto, 2014). Secara umum tujuan pengkajian sistem musculoskeletal adalah untuk memperoleh data dasar tentang otot, tulang, dan persendian serta untuk mengetahui adanya mobilitas, kekuatan atau adanya gangguan pada bagian-bagian tertentu (Lukman, 2013). Menurut Risnanto (2014) Riwayat kesehatan akan diperoleh pada saat kontak pertama kali dengan pasien untuk menetapkan informasi dasar dan merumuskan diagnosa keperawatan dan riwayat kesehatan meliputi informasi tentang aktifitas hidup sehari-hari dan mencatat alat bantu juga mengkaji pola ambulasi klien dan mencatat alat bantu ambulasi seperti kursi roda, tongkat, walker, atau nyeri pada beberapa sendi dan, tetapkan lokasi, lama, faktor pencetus, nyeri otot, kram atau kelemahan perlu dicatat.Riwayat kesehatan dapat juga digunakan untuk mendapat informasi tentang kelainan muskuloskeletal sebelumnya. Perawat dapat mendapatkan kelainan kongenital, trauma, peradangan atau faktor lain. Data yang dikumpulkan dari riwayat dapat dikaitkan dengan informasi dari pemeriksaan dari sistem sistem lain. Suatu riwayat nutrisi misalnya dapat mengugkapkan definisi diet kelebihan berat badan yang dapat menambah stress terhadap skeletal. Pengkajian perlu dilakukan secara sistematis, teliti, dan terarah. Data yang dikumpulkan meliputi data subjektif dan objektif dengan cara melakukan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan diagnostik. (Suratun, 2008). B. Anamnesis Sistem Muskuloskeletal Menururt Muttaqin (2008) Wawancara atau anamnesis dalam pengkajian keperawatan pada system musculoskeletal merupakan hal utama yang dilakukan perawat. Sebagian masalah system musculoskeletal dapat tergali melalui anamnesis yang baik dan 3



teratur sehingga seorang perawat perlu meluangkan waktu yang cukup dalam melakukan anamnesis secara tekun dan menjadikannya kebiasaan pada setiap pengkajian keperawatan. Perawat perlu melaksanankan dan memperhatikan beberapa hal agar proses anamnesis dapat optimal dilaksanakan yang meliputi : 1. Ketenangan. Perawat



melaksananakan



anamnesis



dengan



bersikap



tenang



agar



dapat



mengorganisasi pikiran dan informasi lengkao tentang apa yang akan disampaikan atau ditanyakan kepada klien. 2. Mendengar dengan aktif. Perawat membantu memastikan keakuratan data yang terkumpul. Perawat menunjukkan sikap ingin mendengar tanpa melakukan penilaian. Perawat memusatkan sikap ingin mendengar tanpa melakukan penilaian. Perawat memusatkan wawancara pada masalah kesehatan atau system tubuh tertentu untuk mengindari wawancara yang bertele-tele. Perawat mengulang apa yang telah didengar dari komunikasi klien, ini merupakan validasi dalam bentuk yag lebih khusus tentang apa yang dikatakan pasien. Ini memungkinkan klien mengetahui bagaimana orang lain memahami pesannya. 3. Klarifikasi. Perawat meminta klien untuk mengulang informasi dalam bentuk atau cara lain yang membantu perawat mengeri maksud klien dengan baik. 4. Memfokuskan. Perawat membantu menghilangkan kesamaran komunikasi dengan mengajukan pertanyaan evaluasi dan meminta klien untuk melengkapi data. 5. Konfrontasi. Suatu pendekatan konstruktif yang menginformasikan klien tentang apa yang dipikirkan atau dirasakan perawat terkait dengan perilaku klien selama interaksi. Perawat dapat menggambarkan perilaku klien yang terlihat, dnegan menggunakan respons yang mengacu pada pengertian klien dan umpan balik yang konstruktif. Keterampilan ini berfokus pada persepsi perawat mengenai perilaku klien, baik yang jelas terlihat maupun yang samar. 6. Memberi umpan balik. Perawat member kline informasi mengenai apa yang telah diobservasi atau disimpulkan. Umpan balik yang efesien meliputi hal-hal sebagai berikut : 4



a. Berfokus lebih pada perilaku daripada klien. b. Berfokus lebih pada observasi daripada kesimpulan. c. Berfokus lebih pada deskripsi daripada penilaian. d. Berfokus lebih pada eksplorasi alternative daripada jawaban atau pemecahan. e. Berfokus lebih pada nilai informasi klien daripada merasan terharu terhadap klien. f. Berfokus pada apa yang dikatakan, bukan mengapa hal itu dikatakan. 7. Pemberian informasi. Perawat memberikan informasi kepada klien. Ketika member informasi, perawat menghindari informasi yang salah dan komunikasi yang tidak terapeutik. 8. Menyimpulkan. Perawat menyimpulkan ide-ide utama setiap wawancara atau diskusi. Hal ini memvalidasi data dari klien dan menandakan akhir bagian pertama wawancara sebelum berlanjut kebagian berikutnya. (Muttaqin, 2008). C. Menurut Risnanto (2014), Pengkajian Sistem Muskuloskeletal terdiri dari : 1. Riwayat Keperawatan a. Data Biografi Data pribadi dapat membantu untuk mengetahui klien secara individual sehingga memungkinkan untuk menyusun rencana perawatan yangtepat (Risnanto,2014). Data ini meliputi antara lain nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal, jenis transportasi



yang



digunakan,



orang



orang



yang



terdekat



dengan



klien(Suratun,2008). 1) Usia Menurut jurnal Binarfika Maghfiroh (2014) Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi gejala adanya keluhan muskuloskeletal disorders. Berdasarkan hasil yang didapatkan bahwa usia pekerja yang < 25 tahun adalah 2 responden, yang berumur 25–35 tahun terdapat 27 responden, dan yang berumur ≥ 35 tahun terdapat 4 responden. Dari 33 respondenyang mengalami keluhan adalah usia 25–35 tahun.nyeri pinggang bisa terjadipada usia muda dan sebagian besar menyerangpada usia-usia produktif. Prevalensi nyeri pinggangsemakin meningkat dengan bertambahnya usiayaitu pada usia 40–45 tahun. keluhan nyeri punggung mulaidirasakan pada usia 20–40 tahun yang diperkirakandisebabkan oleh faktor degenerasi dan beban static serta osteoporosis. 5



2) Jenis Kelamin Menurut jurnal Binarfika Maghfiroh (2014) menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama terhadap keluhan muskuloskeletal hingga usia 60 tahun, namun pada kenyataannya jenis kelamin seseorang dapat mempengaruhi timbulnya keluhan. Pada wanita keluhan ini lebih sering terjadi misalnya pada saat mengalami siklus menstruasi, selain itu proses menopause juga dapat menyebabkan kepadatan tulang berkurang. 3) Identifikasi ras, budaya, dan suku bangsa. -



Apakah latar belakang budaya klien?



-



Apakah klien mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia (nasional) atau perlu penerjemah?



-



Apa nilai kebudayaan klien yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan?



-



Adakah tabu budaya atau acara tabu yang klien ikuti?



-



Apa sistem sehat-sakit (dokter, ahli neurologi, kebatinan, dukun) atau kepercayaan rakyat yang klien gunakan?



-



Sampai tingkat mana penyakit dan perawatan di rumah sakit memengaruhi kemampuan klien untuk mengikuti norma budaya?(Muttaqin: 2008)



4) Hubungan keluarga. -



Siapa saja yang klien anggap sebagai anggota keluarga?



-



Bagaimana hubungan klien dengan pasangan, orang tua, saudara, dan teman?



-



Bagaimana pembagian tugas dalam keluarga?



-



Bagaimana status pernikahan klien?



-



Adakah anggota keluarga dekat yang baru meninggal?



-



Siapakah yang klien cari untuk mendapatkan dukungan?



-



Bagaimana keluarga secara normal mengatasi stres saat ini?



-



Apakah anggota keluarga menghormati pandangan setiap anggota lainnya? (Muttaqin,2008)



b. Keluhan utama Kaji klien untuk mengungkapkanalasan klien memeriksakan diri/mengunjungi fasilitas kesehatan.Keluhan utama pasien-pasien gangguan muskuloskeletal adalah: sakit/nyeri delormitas kelainan fungsi. Namun demikian perawat dapat memfokuskan pertanyaan pada adanya nyeri, kulit dirasakan menipis, kram, sakit 6



tulang belakang, kemerahan, bengkak, delormitas, pengurangan gerakan atau faktor-faktor lain yang mempengaruhi aktifitas sehari-hari. (Risnanto,2014) Menurut Muttaqin (2008) Keluhan utama yang sering terjadi pada klien dengan masalah system musculoskeletal adalah nyeri deformitas, kekakuan/ ketidakstabilan sendi, pembengkakan/ benjolan, kelemahan otot, gangguan sensibilitas, dan gangguan atau hilangnya fungsi. 1) Nyeri. Nyeri merupakan gejala yang tersering ditemukan pada masalah system musculoskeletal dan perlu diketahui secara lengkap tentang sifat-sifat nyeri. Kebanyakan kilien dengan penyakit atau kondisi trauma, baik yang terjadi pada otot, tulang, dan sendi biasanya mengalami nyeri.Nyeri tulang biasanya digambarkan sebagai nyeri dalam, tumpul yang bersifat menusuk, sedangkan nyeri otot digambarkan sebagai adanya rasa pegal. Nyeri pada satu tutuk yang terus bertamabah menunjukkan proses infeksi (osteomielitis), tumor ganas, atau komplikasi vascular. Nyeri menyebar terdapat pada keadaan yang menimbulkan tekanan pada serabut saraf. Menurut Risnanto (2014) Identifikasi apakah nyeri timbul setelah diberi aktivitas/gerakan. Nyeri saat bergerak merupakan satu tanda masalah persendian. Degenerasi panggul menimbulkan nyeri selama badan bertumpu pada sendi tersebut. Degenerasi pada lutut menimbulkan nyeri selama dan setelah berjalan. Nyeri pada osteoarthritis makin meningkat pada suhu dingin. Tanyakan kapan nyeri semakin meningkat apakah pagi atau malam hari. lnflamasi pada bursa atau tendon makin meningkat pada malam hari. Tentukan juga apakah nyeri menghilang setelah istirahat. Apakah nyerinya dapat diatasi dengan aspirin. Apakah pernah jatuh atau yang lainnya. Rasa nyeri berbeda antara satu individu dengan individu yang lain berdasarkan ambang nyeri dan toleransi nyeri masing-masing klien. Sifat-sifat nyeri yang perlu diketahui dapat dikaji dengan menggunakan PQRST. Menurut Risnanto (2014) untuk masing-masing gejala dimaksud gunakan pertanyaan pertanyaan sistem PQRST. -



Provokative/Paliative (apa penyebabnya dan apa yang dapat membuat lebih baik gejalanya atau lebih buruk,



-



Quality/quantity, kualitas/kuantitas (bagaimana klien merasakan gejala yang timbul), 7



-



Region/radiation lokasi/penyebaran (dimana saja terjadi penyebaran),



-



Scale severity, Skala nyeri, tingkat beratnya masalah (bagaimana aktifitas sehari-hari dipengaruhi oleh sakitnya),



-



Timing/waktu (kapan terjadinya, bagaimana terjadinya tiba tiba atau bertahap). (Risnanto: 2014)



Berkaitan dengan pengkajian nyeri, dapat penulis deskripsikan tentang penjelasan nyeri yang meliputi: nyeri berdasarkan durasi, skala, transmisi, sumber asal nyeri, dan penyebab nyeri. Secara lebih detail dapat penulis jelaskan menurut Risnanto (2014) sebagai berikut: a) Nyeri Akut Tiba-tiba, durasi singkat, bersifat sementara Sifat nyeri jelas, besar kemungkinan hilang Area nyeri dapat diidentifikasi, rasa nyeri cepat hilang dan berkaitan dengan penyakit akut b) Nyeri kronis Menetap/kontinu selama lebih dari enam bulan. Intensitas nyeri sukar untuk diturunkan, area nyeri tidak mudah diidentifikasi, rasa nyeri biasanya meningkat. Sifat kurang jelas, kecil kemungkinan untuk sembuh c) Nyeri



berdasarkan



skala



Rentang



Skala



Nyeri



(Skala



Analog



Visual)Menurut Graham R. B. (2006)dalam Risnanto (2014) : - 0 = Tidak ada nyeri - 1-3= Nyeri ringan - 4-6= Nyeri sedang - 7-9= Nyeri berat - 10= Nyeri tidak terkontrol 2) Deformitas/ Imobilitas Deformitas atau kelainan bentuk menimbulkan suatu keluhan yang menyebabkan klien meminta pertolongan layanan kesehatan. Perawat perlu menanyakan beberapa lama keluhan dirasakan, ke mana klien pernah meminta pertolongan sebelum ke rumah sakit(Muttaqin: 2008). Menurut Risnanto (2014) Tanyakan kapan terjadinya, apakah tiba tiba atau bertahap apakah menimbulkan keterbatasan gerak. Apakah semakin memburuk dengan aktivitas, apakah dengan posisi tertentu makin memburuk



8



dengan aktivitas sehari hari klien. Apakah klien menggunakan alat bantu misal kruk. 3) Kekakuan/ketidakstabilan sendi. Kekakuan atau ketidakstabilan sendi merupakan suatu keluhan yang dirasakan klien mengganggu aktivitasnya sehari-hari dan menyebabkan klien meminta pertolongan layangan kesehatan. Perawat perlu menanyakan berapa lama kelihan dirasakan serta sejauh mana keluhan menyebablan gangguan pada ktivitas klien. Keluhan ini bisa bersifat umum atau bersifat local pada sendi-sendi tertentu.Locking merupakan suatu kekakuan sendi yang terjadi secara tiba-tiba akibat blok mekanis pada sendi oleh tulang rawan atau meniscus. Kelainan yang ada menybabkan ketidaksatbilan sendi dan ditelusuri pula penyebabnya apakah karena kelemahan otot atau kelemahan/robekan pada ligament dan selaput sendi. (Muttaqin: 2008) Menurut Risnanto (2014) Tanyakan sendi mana yang mengalami kekakuan, lamanya, apakah selalu terjadi kekakuan. Beberapa kondisi seperti spondilitis ankilosis terjadi remisi kekakuan beberapa kali sehari. Pada penyakit penyakit degenerasi sendi sering terjadi kekakuan yang meningkat pada pagi hari setelah bangun tidur (inaktivitas). Bagaimana dengan perubahan suhu dan aktifitas. Suhu dingin dan kurang aktifitas biasanya meningkatkan kekakuan sendi. Suhu panas biasanya menurunkan spasme otot. 4) Pembengkakan/benjolan. Menurut Muttaqin (2008) Kelihatan adanya pembengkakan ekstremitas merupakan



suatu



tanda



adanya



bekas



trauma



yang



terjadi



pad



klien.Pembengkakn dapat terjadii pada jaringan lunak, sendi, atau tulang. Hal yang perlu ditanyakan adalah lokasi spesifik pembengkakan, sudah berapa lama proses terjadinya trauma. Pembengkakan juga dapat disebabkan oleh infeksi, tumor jinak atau ganas. Tanyakan berapa lama terjadi pembengkakan, apakah juga disertai dengan nyeri, karena bengkak dan nyeri sering kali menyertai cedera pada otot. Penyakit penyakit degenerasi sendi sering kali tidak timbul bengkak pada awal awal serangan, tetapi muncul setelah beberapa minggu setelah terjadi nyeri. Dengan istirahat dan meninggikan bagian yang sakit dapat mengurangi bengkak. Apakah bagian tubuh ada yang dipasang Gips. Identifikasi apakah 9



ada panas atau kemerahan karena tanda tersebut menunjukan adanya inflamasi, infeksi atau injury (Risnanto: 2014). 5) Kelemahan otot. Keluhan adanya kelemahan otot biasanya dapat bersifat umum atau bersifat local karena gangguan neurologis pada otot.(Muttaqin: 2008) 6) Gangguan atau hilang fungsi. Keluhan gangguan dan hilangnya fungsi organ musculoskeletal merupakan gejala yang sering menjadi keluhan utama. Gangguan atau hilangnya fungsi baik pada sendi maupun anggota gerak mungkin disebabkan oleh nyeri, kekakuan sendi, atau kelemahan otot. Anamnesis yang dilakukan perawat untuk menggali keluhan utama klien adalah berapa lama keluhan muncul, lokasi atau organ yang mengalami gangguan atau kehilangan fungsi, dan apakah ada keluhan lain yang menyertai.(Muttaqin: 2008) c. Riwayat kesehatan sekarang Menurut Risnanto (2014)Sejak kapan timbul keluhan, apakah ada riwayat trauma. Hal-hal yang menimbulkan gejala. Timbulnya gejala mendadak atau perlahan serta timbul untuk pertama kalinya atau berulang. Perlu ditanyakan pula tentang ada tidaknya gangguan pada sistem lainnya. Bagaimana penanganan yang sudah dilakukan. Presepsi dan harapan pasien sehubungan dengan masalah kesehatan dapat mempengaruhi perbaikan kesehatan. Pengertian klien tentang masalah kesehatan. Hal ini memperlihatkan tingkat penerimaan, tingkat intelektual, dan kemampuan untuk melaksanakan perawatan mandiri klien. Persepsi klien tentang masalah kesehatan. 1) Apakah klien mempunyai pengertian yang akurat mengenai masalah kesehatan? 2) Apakah klien memahami beratnya masalah? 3) Bagaimana pemahaman klien tentang perawatan sekarang dan yang akan dilakukan? Adanya masalah kesehatan lain yang juga dirasakan (mis. Diabetes, penyakit jantung, infeksi saluran napas atas) perlu diperhatikan ketika menyusun rencana perawatan. Riwayat pemakaian obat dan respons terhadap obat pereda nyeri dapat membantu merancang program penatalkasanaan pengobatan. Alergiharus dicatat dan diterangkan dengan istilah reaksi yang timbulkan pada pasien,pemakaian 10



tembakau, alkhol, dan obat lain harus dikaji untuk mengevaluasi efek bahan-bahan tersebut terhadap perawatan pasien.(Smeltzer,2002) d. Riwayat kesehatan masa lalu Data ini meliputi kondisi kesehatan individu. Data tentang adanya efek langsung atau tidak langsung terhadap muskuloskeletal, misal riwayat trauma/kerusakan tulang rawan. Riwayat Arthritis, osteomielitis. Riwayat pengobatan berikut efek sampingnya,



misal



kortikosteroid



dapat



menimbulkan



kelemahan



otot



(Risnanto,2014). e. Riwayat Perkembangan Data ini menggambarkan sejauh mana tingkat perkembangan pada neonatus, bayi, pra sekolah, usia sekolah, remaja, dewasa dan tua (Suratun,2008). Kebutuhan akan aktifitas pada masing masing individu akan berbeda pada tiap-tiap tahap perkembangan di atas sehingga perawat perlu memahaminya baik saat pengkajian maupun pembuatan rencana dan pelaksanaan perawatan nantinya (Risnanto,2014). f. Riwayat Sosial Data ini meliputi antara lain pendidikan klien dan pekerjaannya. Seseorang yang terpapar terus pada agent-agent tertentu dalam pekerjaannya akan dapat mempengaruhi status kesehatan. Sebagai contoh seseorang yang bekerja dengan memerlukan kekuatan otot/skeletal untuk mengangkat benda benda berat hobi atau pekerjaan yang mengundang trauma dan lain-lain (Risnanto,2014). g. Keadaan Tubuh Lainnya. Tanyakan pada klien tentang, kondisi sistem tubuh lainnya. Pengkajian pada sistem



tubuh



yang



lain



kadang



kadang



merupakan



indikasi



problem



muskuloskeletal, sebagai contoh gejala-gejala kardiovaskuler seperti takhikardi dan hipertensi biasanya mendukung adanya gout/pirai, perubahan kulit misal keringnya kulit pada ibu jari tangan dan jari telunjuk dan tengah menandai adanya carpal tunnel syndrome. (Risnanto,2014) h. Riwayat Keluarga Riwayat keluarga untuk menentukan hubungan genetik perlu di identifikasi misal adanya predisposisi, sepertiArthritis, spondilitas ankilosis, gout/pirai.Sama halnya menurut Suratun (2008) Riwayat penyakit keluarga perlu diketahui untuk menentukan hubungan genetik yang perlu diidentifikasi (mis, penyakit diabetes melitus yang mcrupakan predisposisi penyakit sendi degeneratif; TBC, artritis, riketsia, osteomielitis, dll). 11



i. Riwayat Diet Identifikasi adanya kelebihan berat badan karena kondisi ini dapat mengakibatkan stress pada sendi sendi penyangga tubuh dan predisposisi terjadinya instabilitas ligamen, khususnya pada punggung bagian bawah, kurangnya intake kalsium dapat menimbulkan fraktur karena adanya dekalsifikasi. Bagaimana menu makanan sehari hari, bagaimana konsumsi vitamin A, D. Kalsium dan protein yang merupakan zat untuk menjaga kondisi musculoskeletal (Risnanto,2014). j. Aktifitas kegiatan sehari hari Identifikasi pekerjaan pasien dan aktifitasnya sehari-hari. Kebiasaan membawa benda-benda berat yang dapat menimbulkan strain otot dan jenis jenis trauma Iainnya. Orang yang kurang aktivitas mengakibatkan tonus otot menurun. Fraktur atau trauma dapat timbul pada olah raga sepak bola, hocky, nyeri sendisendi tangan dapat timbul dari tenis. Pemakaian hak sepatu tinggi dapat menimbulkan kontraksi pada tendon akhiles dan dapat terjadi dislokasi (Risnanto , 2014). Selain pengkajian aspek biologis, menurut Asmadi (2008) perlu untuk membahas aspek lain dalam anamnesa gangguan sistem muskuloskeletal yaitu meliputi aspek psikologis, sosiokultural dan spiritual. a. Aspek psikologis Aspek psikologis yang perlu dikaji di antaranya adalah bagaimana respons psikologis klien terhadap masalah gangguan aktivitas yang dialaminya, mekanisme koping yang digunakan klien dalam menghadapi gangguan aktivitas, dan lain-lain. b. Aspek sosiokultural Pengkajian pada aspek sosiokultural ini dilakukan untuk mengidentifikasi dampak yang terjadi akibat gangguan aktivitas yang dialami klien terhadap kehidupan sosialnya, misalnya, bagaimana pengaruhnya terhadap pekerjaan. peran diri baik di rumah, kantor, maupun sosial, dan lain-lain. c. Aspek spiritual Hal yang perlu dikaji pada aspek ini adalah bagaimana keyakinan dan nilai yang dianut klien terkait dengan kondisi kesehatan yang dialaminya sekarang. seperti apakah klien menunjukkan keputusasaan? Bagaimana pelaksanaan ibadah klien dengan keterbatasan kemampuan fisiknya? dan lain lain. 12



2. Pemeriksaan Fisik Dasar pengkajian adalah perbandingan simetris bagian tubuh. Kedalam pengkajian bergantung pada keluhan fisik pasien dan riwayat kesehatan dan semua petunjuk fisik yang ditemukan Pemeriksa harus melakukan eksplorasi lebih jauh. Hasil pemeriksaan fisik harus didokumentasikan dengan cermat dan informasi tersebut diberitahukan kepada dokter yang akan menentukan diagnosis dan penatalaksanaan lebih lanjut. (Suratun: 2008) Pemeriksaan ini dapat dilakukan terpisah atau digabungkan dengan pemeriksaan lain. Ini dilakukan saat memandikan atau memposisikan klien. Pemeriksaan ini berfokus pada penentuan rentang gerak sendi, tonus dan kekuatan otot, dan kondisi sendi dan otot. Pemeriksaan ini penting dilakukan jika khen mengeluhkan rasa nyeri atau kehilangan fungsi sendi atau otot. Kelainan otot sering diakibatkan oleh penyakit neurologis. Oleh karena itu, sering dilakukan pemeriksaan neurologis secara bersamaan. (Potter,perry : 2009) Menurut jurnal oleh Made Adinanta (2015)IMT berpengaruh dalam terjadinya gangguan musculoskeletal yaitu untuk distribusi nya bagian tubuh yang paling sering mengalami gangguan muskuloskeletal pada orang dengan Indeks Massa Tubuh normal adalah pada lengan atas kanan, bahu kanan dan bahu kiri, sedangkan pada overweight adalah pada leher bagian bawah, lutut kiri, dan lutut kanan, dan pada obese terjadi pada bagian tubuh kaki kanan, lutut kanan, dan leher bagian bawah. a. Mengkaji Skelet Tubuh Skelet Tubuh dikaji mengenai adanyadeformitas dan kesejajaran. Pertumbuhan tulang yang abnormal akibat tumor tulang dapat dijumpai. Pemendekan ekstremitas, amputasi, dan bagian tubuh yang tidak dalam kesejajaran anatomis harus dicataat. Angulasi abnormal pada tulang panjangatau gerakan pada titik selain sendi biasanya menunjukkan adanya fraktur tulang. Bisa teraba krepitus (suara berderik) pada titik gerakan abnormal. Gerakan fragmen tulang harus diminimalkan untuk mencegah cedera lebih lanjut. Pengkajian tulang diantaranya amati kenormalan susunan tulang dan kaji adanya deformitas, lakukan palpasi untuk mengetahui adanya edema atau nyeri tekan, dan amati keadaan tulang untuk mengetahui adanya pembengkakan(Lukman: 2013). b. Mengkaji Tulang Belakang Kurvatura normal tulang belakang biasanya konveks pada bagian dada dan konkaf sepanjang leher dan pinggang.Deformitas tulang belakang yang sering terjadi 13



meliputi skoliosis, kifosis dan lodrosis. Skoliosis ditandai deviasi kurvatura tulang belakang. Skoliosis bisa congenital, idiopatik (tanpa diketahui penyebabnya atau akibat kerusakan otot paraspinal. Kifosis ditandai dengan kenaikan kurvatura tulang belakang bagian dada. Kifosis sering dijumpai pada manula dengan osteoporosis dan pada klien gangguan neuromuscular. Sedangkan lodrosis (membebek) ditandai kurvatura tulang belakang bagian pinggang yang berlebihan. Lodrosis biasa dijumpai pada saat kehamilan karena ibu menyesuaikan posturnya akibat pusat gaya beratnya. Pada lansia akan kehilangan tinggi badan akibat hilangnya tulang rawan tulang belakang.(Lukman: 2013) c. Mengkaji Sistem Persendian Persendian dievaluasi dengan memeriksa rentang gerak, deformitas, stabilitas dan adanya benjolan, rentang gerak dievaluasi secara aktif maupun pasif. Pengukuran yang tepat terhadap rentang gerak dapat dilakukan dengan goniometer (suatu busur derajat yang dirancang khusus untuk mengevaluasi gerakan sendi). Bila suatu sendi diekstensi maksimal, namun masih tetap ada sisa fleksi maka luas gerakan dikatakan terbatas. Rentang gerak yang terbatas bisa disebabkan Karena adanya deformitas skeletal, patologi sendi atau adanya patologi sendi atau adanya kontraktur otot dan tendon disekitarnya. Bila gerakan sendi terganggu atau sendi terasa nyeri, maka harus diperiksa adanya kelebihan cairan dalam kapsulnya (efusi), pembengkakan dan peningkatan suhu akibat adanya inflamasi. Sementara deformitas sendi bisa deisebabkan kontraktur (pemendekan struktur sekitar sendi), dislokasi (lepasnya permukaan sendi), subluksasi (lepasnya sebagian eprmukaan sendi) atau distrupsi struktur sekitar sendi. Informasi integritas sendi diketahui melalui palpasi sendi dengan menggerakkan sendi secara pasif karena normalnya sendi bergerak secara halus. Jika terdengar suara gemeletukmenunjukkan adanya ligamen yang tergelincir diantara tonjolan tulang.Permukaan yang kurang rata seperti pada arthritis mengakibatkan adanya krepitus, karena permukaan yang tidak rata tersebut saling bergeser satu sama lain. (Lukman,2013) Pada rheumatoid arthritis, gout dan osteoarthritis menimbulakn benjolan yang khas. Benjolan di bawah kulit pada rheumatoid arthritis lunak, terdapat di dalam dan sepanjang tendon yang memberikan fungsi ekstensi pada sendi. Benjolan pada 14



gout keras dan terletak di dalam tepat di sebelah kapsul sendi. Benjolan osteoartritis keras dan tidak nyeri dan merupakan pertumbuhan tulang baru akibat destruksi permukaan kartilago pada tulang dalam kapsul sendi, biasanya ditemukan pada lansia. (Lukman,2013) d. Mengkaji Sistem Otot Sistem otot dikaji dengan memperhatikankemampuan seseorang dalam mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi, serta ukuran masing-masing otot. Kelemahan sekelompok otot menunjukkan berbagai macam indikasi kondisi, seperti polineuropati, gangguan elektrolit (khususnya kalsium dan kalium), miastenia gravis, poliomielitis, dan distropi otot. Lingkar ekstremitas harus diukur untuk memantau pertambahan ukuran akibat adanya edema atau perdarahan ke dalam otot, juga untuk mendeteksi adanya pengurangan ukuran otot yang terjadi akibat atropi. Ekstremitas yang sehat digunakan sebagai standar acuan. Pengukuran dilakukan pada lingkar terbesar ekstremitas. Perlu diingat bahwa pengukuran harus dilakukan pada otot yang sama, lokasi ekstremitas yang sama, dan dalam keadaan istirahat. Untuk memudahkan pengkajian berseri, titik pengukuran dapat dilakukan dengan membuat tanda titik di kulit. Perbedaan ukuran yang lebih besar dari satu cm dianggap bermakna. (Lukman: 2013) Skala 0



Reeves Tidak ada



Tidak



klasifikasi terdapat0%



Paralisis total



kontraktilitas 1



Sedikit



Ada bukti sedikit10%



Tidak ada gerakan



kontraktilitas tanpa



teraba/terlihat



adanya



adanya



gerakan



sendi 2



Buruk



ROM



otot (Rentang25%



Sedang



Gerakan otot penuh



gerak)



komplit



menentang



dengan



batasan



gravitasi,



gravitasi 3



kontraksi



ROM



dengan



sokongan komplit50%



terhadap gravitasi



15



Gerakan menentang



normal



gravitasi 4



5



Baik



ROM



Normal



komplit75%



Gerakan



terhadap gravitasi



penuh



dengan



gravitasi



beberapa



normal menentang dengan



resistensi



sedikit penahanan



ROM yang komplit100%



Gerakan



terhadap gravitasi



penuh, menentang



dengan



gravitasi



resistensi



penuh



normal dengan



pertahanan penuh



                           (Lukman: 2013) e. Mengkaji Cara Berjalan Minta klien untuk berjalan sampai beberapa jauh, perhatikan cara berjalan mengenai kehalusan dan iramanya. Setiap adanya gerakan yang tidak teratur dan ireguler (biasanya pada lansia) dianggap tidak normal. Bila klien berjalan pincang, biasanya disebabkan adanya nyeri akibat menyangga beban tubuh yang terlalu berat. Berbagai kondisi neurologis juga dapat menyebabkan cara berjalan abnormal, misalnya cara berjalan spastik hemiparesis (stroke), cara berjalan selangkah-selangkah (penyakit lower motor neuron), cara berjalan bergetar (penyakit parkinson).(Lukman: 2013) f. Mengkaji Kulit dan Sirkulasi Perifer Pengkajian tambahan penting yang dapat dilakukan perawat adalah mengkaji kulit dan sirkulasi perifer. Palpasi kulit digunakan untuk melihat adanya suhu yang lebih panas atau lebih dingin dari lainnya dan adanya edema. Sirkulasi perifer dievaluasi dengan mengkaji denyut nadi perifer, warna, suhu, dan waktu pengisian kapiler. Hal tersebut memengaruhi penatalaksanaan tindakan keperawatan. (Lukman: 2013) Otot



Tulang dan Sendi



Atropi



Ketidakmampuan untuk menahanMati rasa dan kesemutan



Hipertropi Nyeri Kejang



Lain-lain



beban



(parastesi)



Nyeri



Perubahan seperti



Kekakuan



16



warna



pucat,



kulit



sianotik,



Kelemahan Bengkak



gelap, ruam.



Kemerah-merahan Naiknya



temperature



lokal



(panas) Menurunnya



rentang



gerak



(ROM) Patah/retak Berbunyi klik Locking atau caching Menekuk                                                 (Lukman: 2013) 3. Pemeriksaan Diagnostik Menurut Muttaqin (2008) Persiapan untuk pemeriksaan diagnostik meliputi pengkajian klien mengenai kondisinya (mis., kehamilan, klaustrofobia, irnplan logam, kemampuan menoleransi posisi yang diinginkan akibat lansia, keterbelakangan mental, dan deformitas) yang memerlukan pendekatan mental khusus selama pemeriksaan. Perawat harus berkomunikasi dengan dokter dan departemen terkait mengenai situasi yang mungkin memengaruhi uji diagnostik yang dilakukan. a. Foto Rontgen Sinar-X penting untuk mengevaluasi klien dengan kelainan muskuloskeletal. Sinar-X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, erosi, dan perubahan hubungan tulang. Sinar-X multipel diperlukan untuk mengkaji secara paripurna struktur yang sedang diperiksa. Sinar-X tekstur tulang menunjukkan adanya pelebaran, penyempitan, dan tanda iregularitas. Sinar X sendi dapat menunjukkan adanya



cairan,



iregularitas,



penyempitan,



dan



perubahan



struktur



sendi. (Muttaqin:2008) b. Computed tomography (CT scan) Menunjukkan



rincian



bidang tertentu



tulang



yang terkena



dan dapat



memperlihatkan tumor jaringan lunak atau cedera ligamen atau tendon. Digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan panjangnya patah tulang di daerah 17



yang sulit dievaluasi (mis., asetabulum). Pemeriksaan dilakukan dapat dengan atau tanpa kontras dan berlangsung sekitar satu jam. (Muttaqin: 2008) c. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Teknik pencitraan khusus, noninvasif, yang menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan komputer untuk memperlihatkan abnormalitas (mis., tumor atau penyempitan jalur jaringan lunak melalui tulang) jaringan lunak seperti otot, tendon, dan tulang rawan. Karena yang digunakan elektromagnet, klien yang mengenakan implan logam, braces, atau pacemaker tidak dapat menjalani pemeriksaan ini. Perhiasan harus dilepas. Klien yang menderita klaustrofobia biasanya tidak mampu menghadapi ruang tertutup pada MRI tanpa obat penenang. (Muttaqin: 2008) d. Angiografi Angiografi adalah pemeriksaan struktur vaskular (sistem arteri). Suatu bahan kontras radiopaq diinjeksikan ke dalam arteri tertentu, dan diambil foto sinar-X serial sistem arteri yang dipasok oleh arteri tersebut. Prosedur ini sangat bermanfaat untuk mengkaji perfusi arteri dan dapat digunakan untuk tingkat amputasi yang akan dilakukan. Setelah dilakukan prosedur ini, klien dibiarkan berbaring selama 12 sampai 24 jam untuk mencegah perdarahan pada tempat penusukan arteri. Perawat memantau tanda Vital, tempat penusukan untuk melihat adanya pembengkakan, perdarahan, dan hematoma, dan mengkaji apakah sirkulasi ekstremitas bagian distal adekuat. (Muttaqin: 2008) e. Digital Substraction Angiography  (DSA) Menggunakan teknologi computer untuk menggambarkan sistem arteri melalui kateter vena. Sedangkan, venogram adalah pemeriksaan sistem vena yang sering digunakan untuk mendeteksi adanya thrombosis vena dalam.(Lukman: 2013)



f. Skintigrafi Tulang (Pemindai Tulang) Menggambarkan derajat sejauh mana matriks tulang “mengambil” isotop radioaktif khusus tulang yang diinjeksikan ke dalam sistem tersebut. Pemindai dilakukan empat sampai enam jam setelah isotop diinjeksikan. Derajat ambilan nuklida berhubungan langsung dengan metabolisme tulang. Peningkatan ambilan tampak pada penyakit primer tulang ( osteosarkoma), penyakit tulang metastasik,



18



penyakit inflamasi skelet (osteomielitis) dan pada jenis patah tulang. (Lukman: 2013) g. Termografi, mengukur derajat pancaran panas dari permukaan kulit. Kondisi Inflamasi seperti artritis dan infeksi, neoplasma harus dievaluasi. Pemeriksaan serial berguna untuk mendokumentasikan episode inflamasi dan respons klien terhadap terapi pengobatan antiinflamasi. (Lukman: 2013) h. Elektromiografi, memberi informasi mengenai potensial listrik otot dan saraf yang Menyarafi tujuannya adalah menentukan abnormalitas fungsi unitmotor end. Setelah tindakan berikan kompres hangat untuk mengurangi ketidaknyamanan. (Lukman: 2013) i. Absorpsiometri foton tunggal dan ganda, adalah uji noninvasif untuk menentukan kandungan mineral tulang pada pergelangan tangan atau tulang belakang. Osteoporosis dapat dideteksi dengan menggunakan alat densitometri. (Lukman: 2013) j. Venogram Adalah pemeriksaan sistem vena yang sering digunakan untuk mendeteksi trombosis vena. Penyuntikan bahan kontras ke dalam rongga subaraknoid spinalis lumbal, dilakukan untuk melihat adanya herniasi diskus, stenosis spinal (penyempitan kanalis spinalis), atau adanya tumor. (Muttaqin: 2008) k. Artrografi Adalah Penyuntikan bahan radiopaq atau udara ke dalam rongga sendi untuk melihat struktur jaringan lunak dan kontur sendi. Sendi diposisikan dalam kisaran pergerakannya sambil dilakukan serial sinar-X. Artrografi sangat berguna untuk mengidentifikasi adanya robekan akut atau kronik kapsul sendi atau ligamen penyangga lutut, bahu, tumit, pinggul, dan pergelangan tangan. Bila terdapat robekan, bahan kontras akan merembes keluar dari sendi dan akan terlihat pada sinar-X. Setelah dilakukan artrografi, biasanya sendi diimobilisasi selama 12 sampai 24 jam dan diberi balut tekan elastis. (Muttaqin: 2008) l. Artrosentesis Artrosentesis (aspirasi sendi) dilakukan untuk memperoleh cairan sinovial untuk keperluan pemeriksaan atau menghilangkan nyeri akibat efusi. Dengan menggunakan teknik asepsis, perawat memasukkan jarum kertrosen sais dalam sendi dan melakukan aspirasi cairan. Kemudian dipasang balman steril setelah dilakukan aspirasi. Normalnya, cairan sinovial jernih, Pucat berwarna seperti 19



jerami, dan volumenya sedikit. Cairan tersebut kemudian diperiksa secara makroskopis mengenai volume, warna, kejernihan, dan adanya bekuan musin. Diperiksa juga secara mikroskopis untuk memmiksa jumlah, mengidentifikasi sel, melakukan pewarnaan Gram, dan mengerami elemen penyusunnya. Pemeriksaan cairan sinovial sangat berguna Untuk mendiagnosis artritis reumatoid dan atrofi inflamasr lainnya dan dapat memperlihatkan adanya hemartrosis (perdarahan di dalam rongga Sendi), yang menyebabkan trauma atau kecenderungan perdarahan. (Muttaqin: 2008) m. Artroskopi Merupakan prosedur endoskopis yang memungkinkan pandangan langsung ke dalam sendi. Prosedur ini dilakukan di kamar operasi dalam kondisi steril. Perlu dilakukan injeksi anestesi lokal ataupun anestesi umum. Jarum diameter besar dimasukkan dan sendi diregangkan dengan salin. Artroskop kemudian dimasukkan sehingga struktur sendi, sinovium, dan permukaan sendi dapat dilihat. Setelah prosedur ini, luka ditutup dengan balutan steril. Sendi dibalut dengan balutan tekan untuk menghindari pembengkakan. Bila perlu dikompres es untuk mengurangi edema dan rasa tidak nyaman. Secara umum, sendi tetap diekstensikan dan dielevasi untuk mengurangi pembengkakan. Klien dianjurkan untuk membatasi aktivitas setelah prosedur. Fungsi neurovaskular dipantau. Analgesik dapat diberikan untuk meredakan rasa tidak nyaman. Komplikasi jarang, tetapi dapat mencakup infeksi, hemartrosis, tromboflebitis, kaku sendi, dan penyembuhan luka yang lama. (Muttaqin: 2008) n. Biopsi Biopsi dapat dilakukan untuk menentukan struktur dan komposisi tulang, otot, dan sinovial guna membantu menentukan penyakit tertentu. Tempat biopsi harus dipantau mengenai adanya edema, perdarahan, dan nyeri. Tempat biopsi mungkin perlu dikompres es untuk mengontrol edema dan perdarahan dan pasien diberi analgesik untuk mengurangi rasa tidak nyaman. (Muttaqin,2008). 4. Pemeriksaan Laboratorium Menurut Muttaqin (2008) Pemeriksaandarah dan urine klien dapat memberi informasi mengenai masalah muskuloskeletal primer atau komplikasi yang terjadi (mis infeksi), sebagai dasar acuan pemberian terapi. Pemeriksaan darah lengkap meliputi kadar hemoglobin (biasanya lebih rendah bila terjadi perdarahan karena trauma) dan hitung sel darah putih. Sebelum dilakukan pembedahan, pemeriksaan pembekuan darah 20



harus dilakukan untuk mendeteksi kecenderungan perdarahan karena tulang merupakan jaringan yang sangat vaskular. Pemeriksaan kimia darah memberi data mengenai berbagai macam kondisi musculoskeletal. Kadar kalium serum berubah pada osteomalasia, fungsi paratiroid, penyakit paget, tumor tulang metastasis, dan pada imobilisasi lama. Kadar fosfor serum berbanding terbalik dengan kadar kalsium dan menurun pada riketsia yang berhubungan dengan sindrom malabsorpsi. Fosfatase asam meningkat pada penyakit Paget dan kanker metastasis. Fosfatase alkali meningkat selama penyembuhan patah tulang dan pada penyakit dengan peningkatan aktivitas osteoblas (mis., tumor tulang metastasis). Metabolisme tulang dapat dievaluasi melalui pemeriksaan tiroid dan penentuan kadar kalsitonin, hormon paratiroid (PT H), dan vitamin D. Kadar enzim serum kreatin kinase (CK) dan serum glutamic-oxaloacetic transaminase (SGOT, aspartat aminotransferase) meningkat pada kerusakan otot. Aldolase meningkat pada penyakit otot (mis., distrofi otot dan nekrosis otot skelet). Kadar kalsium urine meningkat pada destruksi tulang (mis., disfungsi paratiroid, tumor tulang metastasis, mieloma multipel).



2.2 Anamnesa Gangguan System Persyarafan A. Anamnesa 1. Riwayat Kesehatan Tujuan diperolehnya riwayat kesehatan klien adalah menentukan status kesehatan saat ini dan masa lalu dan memperoleh gambaran kapan mulainya penyakit yang diderita saat ini. Riwayat kesehatan ini meliputi : data biografi, keluhan utama dan riwayat penyakit saat ini, riwayat kesehatan masa lalu, riwayat keluarga, riwayat psikososial dan pemeriksaan sistem tubuh. a. Data Biografi : Termasuk diantaranya adalah identitas klien, sumber informasi (klien sendiri atau orang terdekat/significant other). Data Biografi : Perawat memperoleh gambaran secara detail pada kondisi yang utama dialami klien. Memperoleh informasi tentang perkembangan, tanda-tanda dan gejala-gejala : onset (mulainya), faktor pencetus dan lamanya. Perlu menentukan kapan mulainya gejala tersebut serta perkembangannya. b. Riwayat kesehatan masa lalu :



21



Mencakup penyakit yang pernah dialami sebelumnya, penyakit infeksi yang dialami



pada masa kanak-kanak, pengobatan, periode perinatal, tumbuh



kembang, riwayat keluarga, riwayat psikososial dan pola hidup. Penyakit saraf sering mempengaruhi kemampuan fungsi-fungsi tubuh. Perawat perlu menanyakan perubahan tingkat kesadaran, nyeri kepala, kejang-kejang, pusing, vertigo, gerakan dan postur tubuh. c. Masalah kesehatan utama dan hospitalisasi : Berbagai penyakit yang berhubungan dengan perubahan akibat gangguan persarafan misalnya diabetes mellitus, anemia pernisiosa, kanker, berbagai penyakit infeksi dan hipertensi. Penyakit hati dan ginjal yang menahun akan mengakibatkan gangguan metabolisme misalnya gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa akan mempengaruhi fungsi mental. d. Pengobatan : Perawat akan memperoleh informasi sehubungan dengan obat-obatan yang diperoleh klien. Banyak obat-obat anti alergi dan pilek yang bisa dikomsumsi dapat mengakibatkan klien mengantuk. e. Riwayat keluarga : Perawat akan menanyakan pada keluarga sehubungan dengan gangguan persarafan guna menentukan faktor-faktor resiko / genetik yang ada. Misalnya epilepsi, hipertensi, stroke, retardasi mental dan gangguan psikiatri. f. Riwayat psikososial dan pola hidup : Perawat mengajukan pertanyaan sehubungan faktor psikososial klien seperti yang berhubungan dengan latar belakang pendidikan, tingkat penampilan dan perubahan kepribadian. Perawat memperoleh informasi tentang aktifitas klien sehari-hari. Juga menanyakan adanya perubahan pola tidur, aktifitas olahraga, hobi dan rekreasi, pekerjaan, stressor yang dialami dan perhatian terhadap kebutuhan seksual.



2. Pengkajian neurologik a. ACTIVITY – EXERCISE -



Jelaskan jnis aktifitas kliens selama 24 jam Apakah klien memiliki kesulitan terhadap keseimbangan, koordinasi atau berjalan. Apakah klien menggunakan alat bantu jalan 22



-



Apakah klien menaglami kelemahan pada lengan atau kaki



-



Apakah klien mampu menggerakkan seluruh bagian tubuhnya



-



Jika klien kejang, apakah klien mampu mengidentifikasi faktor pencetusnya. Bagaimana perasaannya setelah kejang



-



Apakah klien memiliki pengalaman tremor/gemetar. Dimana bagian mana?



b. COGNITIVE-PERCEPTUAL -



Uraikan tentang pengalaman sakit kepala klien termasuk frekuensi, jenis, lokasi dan faktor pencetusnya



-



Pernahkah klien merasakan pingsan atau pusing. Pernahkah klien merasakan berada di ruangan pemintalan



-



Apakah klien pernah mengalami perasaan kebas, terbakar atau perasaan geli. Dimana areanya dan kapan



-



Apakah klien pernah mengalami masalah visual seperti penglihatan ganda, penglihatan seperti dibatasi embun



c. SELF PERCEPTION-SELF CONCEPT -



Bagaimana masalah neurologik mempengaruhi perasaanmu tentang dirimu Bagaimana masalah neurologik mempengaruhi perasaanmu tentang hidupmu



-



Bagaimanaperasaannmu tentang kelemahan yang mungkin disebabkan dari masalah neurologic



d. ROLE-RELATIONSHIP -



Adakah riwayat masalah neurologik keluarga seperti alzheimer disease, tumor otak, epilepsy



-



Apakah klien sulit mengekspresikan dirinya.



-



Apakah masalah neurologik berpengaruh terhadap perannya dalam keluarganya. Bagaimana



-



Apakah masalah neurologik berpengaruh terhadap interaksi dengan anggota keluarga yang lain, dengan teman-temannya, pekerjaannya, dan aktifitas sosialnya



-



Apakah maslah neurologik berpengaruh terhadap kemampuan kerjanya



B. Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan Fisik Tingkat Kesadaran a. Tingkat kesadaran 1) Alert : Composmentis / kesadaran penuh 23



Pasien berespon secara tepat terhadap stimulus minimal, tanpa stimuli individu terjaga dan sadar terhadap diri dan lingkungan. 2) Lethargic : Kesadaran Klien seperti tertidur jika tidak di stimuli, tampak seperti enggan bicara. Dengan sentuhan ringan, verbal, stimulus minimal, mungkin klien dapat berespon dengan cepat. Dengan pertanyaan kompleks akan tampak bingung. 3) Obtuned Klien memerlukan rangsangan yang lebih besar agar dapat memberikan respon



misalnya



rangsangan



sakit,



respon



verbal



dan



kalimat



membingungkan. 4) Stuporus Klien dengan rangsang kuat tidak akan memberikan rangsang verbal. Pergerakan tidak berarti berhubungan dengan stimulus. 5) Koma Tidak dapat meberikan respon walaupun diberikan stimulus b. Glasgow Coma Scale (GCS) Score : 3–4



: vegetatif, hanya organ otonom yang bekerja



11



: moderate disability



15



: composmentis



Adapun scoring tersebut adalah : 1) Eye ( Respon membuka mata) 4



: Spontan



3



: Dengan perintah



2



: Dengan nyeri



1



: Tidak berespon



2) Verbal ( Respon verbal) 5



: Berorientasi



4



: Bicara membingungkan



3



: Kata-kata tidak tepat



2



: Suara tidak dapat dimengerti



1



: Tidak ada respon



3) Motorik (Respon motorik) 24



6



: Dengan perintah



5



: Melokalisasi nyeri



4



: Menarik area yang nyeri



3



: Menjauhi rangsangan nyeri (fleksi abnormal)/postur dekortikasi



2



: Ekstensi abnormal/postur deserebrasi



1



: Tidak berespon



2. Pemeriksaan Fisik Nervus Cranial 1. Test nervus II ( Optikus) Fungsi aktifitas visual dan lapang pandang: • Test aktifitas visual, tutup satu mata klien kemudian suruh baca dua baris di koran, ulangi untuk satunya. • Test lapang pandang, klien tutup mata kiri, pemeriksa di kanan, klien memandang hidung pemeriksa yang memegang pena warna cerah, gerakkan perlahan obyek tersebut, informasikan agar klien langsung memberitahu klien melihat benda tersebut, ulangi mata kedua. 2. Test nervus III, IV, VI (Oculomotorius, Trochlear dan Abducens) Fungsi koordinasi gerakan mata dan kontriksi pupil mata (N III). • Test N III Oculomotorius (respon pupil terhadap cahaya), menyorotkan senter kedalam tiap pupil mulai menyinari dari arah belakang dari sisi klien dan sinari satu mata (jangan keduanya), perhatikan kontriksi pupil kena sinar. • Test N IV Trochlear, kepala tegak lurus, letakkan obyek kurang lebih 60 cm sejajar mid line mata, gerakkan obyek kearah kanan. Observasi adanya deviasi bola mata, diplopia, nistagmus. • Test N VI Abducens, minta klien untuk melihat kearah kiri dan kanan tanpa menengok. 3. Test nervus V (Trigeminus) a. Fungsi sensasi, caranya : dengan mengusap pilihan kapas pada kelopak mata atas dan bawah. •



Refleks kornea langsung maka gerakan mengedip ipsilateral.



• Refleks kornea consensual maka gerakan mengedip kontralateral. Usap pula dengan pilihan kapas pada maxilla dan mandibula dengan mata klien tertutup. Perhatikan apakah klien merasakan adanya sentuhan.



25



b. Fungsi motorik, caranya : klien disuruh mengunyah, pemeriksa melakukan palpasi pada otot temporal dan masseter. 4. Test nervus XI (Accessorius) • Klien disuruh menoleh kesamping melawan tahanan. Apakah Sternocledomastodeus dapat terlihat ? apakah atropi ? kemudian palpasi kekuatannya. • Minta klien mengangkat bahu dan pemeriksa berusaha menahan —- test otot trapezius. 3. Pemeriksaan Fisik Fungsi Motorik dan Sensorik a. Fungsi Motorik Sistem motorik sangat kompleks, berasal dari daerah motorik di corteks cerebri, impuls berjalan ke kapsula interna, bersilangan di batang traktus pyramidal medulla spinalis dan bersinaps dengan lower motor neuron. Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara observasi dan pemeriksaan kekuatan. 1. Massa otot : hypertropi, normal dan atropi 2. Tonus otot : Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota gerak pada berbagai persendian secara pasif. Bila tangan / tungkai klien ditekuk secara berganti-ganti dan berulang dapat dirasakan oleh pemeriksa suatu tenaga yang agak menahan pergerakan pasif sehingga tenaga itu mencerminkan tonus otot. Bila tenaga itu terasa jelas maka tonus otot adalah tinggi. Keadaan otot disebut kaku. Bila kekuatan otot klien tidak dapat berubah, melainkan tetap sama. Pada tiap gerakan pasif dinamakan kekuatan spastis. Suatu kondisi dimana kekuatan otot tidak tetap tapi bergelombang dalam melakukan fleksi dan ekstensi extremitas klien. Sementara penderita dalam keadaan rileks, lakukan test untuk menguji tahanan terhadap fleksi pasif sendi siku, sendi lutut dan sendi pergelangan tangan. Normal, terhadap tahanan pasif yang ringan / minimal dan halus. 3. Kekuatan otot : Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji. Klien secara aktif menahan tenaga yang ditemukan oleh sipemeriksa. Otot yang diuji biasanya dapat dilihat dan diraba. Gunakan penentuan singkat kekuatan otot dengan skala Lovett’s (memiliki nilai 0 – 5) 26



0



= tidak ada kontraksi sama sekali.



1



= gerakan kontraksi.



2



= kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalau melawan tahanan atau gravitasi.



3



= cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.



4



= cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.



5



= kekuatan kontraksi yang penuh.



b. Fungsi Sensorik Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit diantara pemeriksaan sistem persarafan yang lain, karena sangat subyektif sekali. Oleh sebab itu sebaiknya dilakukan paling akhir dan perlu diulang pada kesempatan yang lain (tetapi ada yang menganjurkan dilakukan pada permulaan pemeriksaan karena pasien belum lelah dan masih bisa konsentrasi dengan baik). Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh klien digambarkan sebagai perasaan geli (tingling), mati rasa (numbless), rasa terbakar/panas (burning), rasa dingin (coldness) atau perasaan-perasaan abnormal yang lain. Bahkan tidak jarang keluhan motorik (kelemahan otot, twitching / kedutan, miotonia, cramp dan sebagainya) disajikan oleh klien sebagai keluhan sensorik. Bahan yang dipakai untuk pemeriksaan sensorik meliputi: 1.



Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum pada perlengkapan refleks hammer), untuk rasa nyeri superfisial.



2.



Kapas untuk rasa raba.



3.



Botol berisi air hangat / panas dan air dingin, untuk rasa suhu.



4.



Garpu tala, untuk rasa getar.



5.



Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif) seperti : - Jangka, untuk 2 (two) point tactile dyscrimination. -



Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan sebagainya), untuk pemeriksaan stereognosis



-



Pen / pensil, untuk graphesthesia.



4. Reflek Fisiologis dan Patologis a. Reflek Fisiologis Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan refleks hammer. Skala untuk peringkat refleks yaitu : 27



0 = tidak ada respon 1 = hypoactive / penurunan respon, kelemahan ( + ) 2 = normal ( ++ ) 3 = lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal ( +++ ) 4 = hyperaktif, dengan klonus ( ++++) Refleks-refleks yang diperiksa adalah : 1. Refleks patella Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi kurang lebih 300. Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae) dipukul dengan refleks hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps femoris yaitu ekstensi dari lutut. 2. Refleks biceps Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900 , supinasi dan lengan bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa ditempatkan pada tendon m. biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul dengan refleks hammer.Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi fleksi sebagian dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi penyebaran gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu. 3. Refleks triceps Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900



,tendon triceps



diketok dengan refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas olekranon). Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila ekstensi ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebar keatas sampai otot-otot bahu atau mungkin ada klonus yang sementara.



4. Refleks achilles Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini kaki yang diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas tungkai bawah kontralateral. 28



Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa gerakan plantar fleksi kaki. 5. Refleks abdominal Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilikus. Kalau digores seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah daerah yang digores. 6.



Refleks Babinski Merupakan refleks yang paling penting . Ia hanya dijumpai pada penyakit traktus kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah kuatkuat bagian lateral telapak kaki dari tumit kearah jari kelingking dan kemudian melintasi bagian jantung kaki. Respon Babinski timbul jika ibu jari kaki melakukan dorsifleksi dan jari-jari lainnya tersebar. Respon yang normal adalah fleksi plantar semua jari kaki.



b. Reflek Patologis 1.



Babinsky Cara : penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke anterior Respon : ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan jari kaki lainnya



2. Gordon



Cara : penekanan betis secara keras Respon : seperti babinsky 3.



Schaefer Cara : memencet tendon achilles secara keras Respon : seperti babinsky



4. Sucking reflex



Cara : sentuhan pada bibir Respon : gerakan bibir, lidah dn rahang bawah seolah-olah menyusu 5. Snout reflex



Cara : ketukan pada bibir atas Respon : kontrksi otot-otot disekitar bibir / di bawah hidung 6.



Grasps reflex Cara : penekanan / penekanan jari pemeriksa pada telapak tangan pasien Respon : tangan pasien mengepal



7.



Palmo-mental reflex



29



Cara : goresan ujung pena terhadap kulit telapak tangan bagian thenar Respon : kontaksi otot mentalis dan orbikularis oris (ipsi lateral) C. Tes Diagnostik Persarafan Lima Prosedur diagnostik yang lazim dilakukan yaitu Lumbal Pungsi, Angiografi, Elekto



Encephalografi,



Elektromiografi,



Computerized



Axial



Tomografi Scan (CT Scan) Otak a. Lumbal Pungsi 1) Pengertian Suatu cara pengambilan cairan cerebrospinal melalui pungsi pada daerah lumbal. 2) Tujuan Mengambil cairan cerebrospinaluntuk kepentingan pemeriksaan/diagnostik maupun kepentingan therapi. b. Angiografi 1) Pengertian Melihat secara langsung sistem pembuluh darah otak. Zat kontras dimasukkan melalui arteri. Biasanya pada arteri



carotis dan arteri



vertebra atau mungkin juga pada arteri brchialis dan arteri femoralis 2)



Angiografi dapat mendeteksi : a. sumbatan pada pembuluh darah cerebral seperti pada stroke b. Anomali congenital pembuluh darah c. Pergeseran pembuluh darah yang mungkin mengindikasikan SOL (Space Ocupaying Lession) d. Malformasi vaskuler, seperti pada aneurisma atau angioma



c.



Elektro Encephalografi (EEG) 1. Pengertian Suatu cara untuk merekam aktifitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh.



d. Elektromyegrafi (EMG) 1. Pengertian



30



Suatu cara yang dilakukan untuk mengukur dan mencatat aliran listrik yang ditimbulkan oleh otot-otot skeletal. Dalam keadaan istirahat otot tidak melepaskan listrik, tetapi bila oto berkontraksi secara volunter potensial aksi dapat direkam. 2. Tujuan a. membantu membedakan antara gangguan otot primer seperti distrofi otot dan gangguan sekunder b. membantu menetukan penyakit degeneratif saraf sentral c. membantu mendiagnosa gangguan neuromuskular seperti myestania grafis e. Computerized Axial Tomografi (CT Scan) 1. Pengertian CT Scan adalah suatu prosedur yang digunakan untuk mendapatkan gambaran dari berbagai sudut kecil dari tulang tengkorak dan otak. 2. pemeriksaan ini mendeteksi : a. Gambaran lesi dari tumor, hematoma dan abses b. Perubahan vaskuler : malformasi, naik turunnya vaskularisasi dan infark c. Brain contusion, brain atrofi, hydrocephalus d. Inflamasi



2.3 Anamnesa Gangguan System Indera A. Anamnesa Pada Mata 1. Pemeriksaan mata untuk penglihatan jauh (visus) Pemeriksaan tajam penglihatan : a. Lakukan uji penglihatan dalam ruangan yang cukup tenang, tetapi anda dapat mengendalikan jumlah cahaya. 



Gantungkan kartu snellen atau kartu e yang sejajar mata responden dengan jarak 6 meter.







Pemeriksaan dimulai dengan mata kanan.







Mata kiri responden ditutup dengan penutup mata atau telapak tangan.







Tanpa menekan bola mata. 31







Responden disarankan membaca huruf dari kiri ke kanan setiap baris kartu snellen atau memperagakan posisi huruf e pada kartu e dimulai baris teratas atau huruf yang paling besar sampai huruf terkecil (baris yang tertera angka 20/20).







Penglihatan normal bila responden dapat membaca sampai huruf terkecil 20/20 (tulis 020/020). bila dalam baris tersebut responden dapat membaca atau memperagakan posisi huruf e kurang dari setengah baris maka yang dicatat ialah baris yang tertera angka di atasnya.







Bila dalam baris tersebut responden dapat membaca atau memperagakan posisi huruf e lebih dari setengah baris maka yang dicatat ialah baris yang tertera angka tersebut.



2. Pemeriksaan uji penglihatan dengan hitung jari : 



Bila responden belum dapat melihat huruf teratas atau terbesar dari kartu snellen atau kartu e maka mulai hitung jari pada jarak 3 meter (tulis 03/060).







Hitung jari 3 meter belum bisa terlihat maka maju 2 meter (tulis 02/060), bila belum terlihat maju 1 meter (tulis 01/060). Bila belum juga terlihat maka lakukan goyangan tangan pada jarak 1 meter (tulis 01/300).







Goyangan tangan belum terlihat maka senter mata responden dan tanyakan apakah responden dapat melihat sinar senter (jika ya tulis 01/888).







Bila tidak dapat melihat sinar senter disebut buta total (tulis 00/000) selanjutnya, uji fungsi visual, termasuk ketajaman penglihatan jarak dekat dan jarak jauh, persepsi warna dan penglihatan perifer.



3. Uji penglihatan jarak jauh Untuk menguji penglihatan jarak jauh pada klien yang dapat membaca bahasa inggris, gunakan grafik alfabet snellen yang berisi berbagai ukuran huruf. Untuk klien yang buta huruf atau tidak dapat berbicara Bahasa inggris, gunakan grafik snellen e, yang menunjukkan huruf-huruf dalam berbagai ukuran dan posisi. Klien menunjukkan posisi huruf e dengan menirukan posisi tersebut dengan jari tangannya.



32







Uji setiap mata secara terpisah dengan terlebih dahulu menutup satu mata dan kemudian mata yang lain dengan kartu buram berukuran 3 x 5 atau penutup



mata. Setelah



itu, uji penglihatan binokular klien dengan



meminta klien membaca gambar dengan kedua mata terbuka. Klien yang normalnya memakai lensa korektif untuk penglihatan jarak jauh harus memakainya untuk uji tersebut. 



Mulai dengan baris yang bertanda 20/20. Jika klien salah membaca lebih dari dua huruf, pindahlah ke baris berikutnya 20/25. Lanjutkan sampai klien dapat membaca baris tersebut dengan benar dengan kesalahan yang tidak lebih dari dua. Baris tersebut menunjukkan ketajaman penglihatan jarak jauh klien.



4. Uji penglihatan jarak dekat Uji penglihatan jarak dekat klien dengan memegang grafik snellen atau kartu dengan kertas koran berukuran 30,5 sampai 35,5 cm di depan mata klien, klien yang normalnya memakai kacamata baca harus memakainya untuk uji ini. Seperti pada penglihatan jarak jauh, uji setiap mata secara terpisah dan kemudian bersamaan. 5. Uji persepsi warna Minta klien untuk mengidentifikasi pola bulatan-bulatan warna pada plat berwarna. Klien yang tidak dapat membedakan warna tidak akan mendapatkan polanya. 6. Uji fungsi otot ekstraokuler Untuk mengkaji fungsi otot ekstraokuler klien, perawat harus melakukan tiga tes : enam posisi kardinal tes penglihatan, tes terbuka-tertutup, dan tes refleks cahaya korneal. -



Tutupi satu mata anda dengan kertas buram atau tangan anda dan minta klien untuk menutup matanya yang tepat bersebrangan dengan mata anda yang ditutup



-



Kemudian, ambil sebuah objek, misalnya pensil dari bidang superior perifer ke arah lapang pandang tengah. Objek tersebut harus berada pada jarak yang sama di antara anda dan klien. 33



-



Minta klien untuk mengatakan pada anda saat objek tersebut terlihat. Jika penglihatan perifer anda utuh, anda dan klien akan melihat objek tersebut pada waktu yang bersamaan.



-



Ulangi prosedur searah jarum jam pada sudut 45 derajat, periksa lapang pandang superior, inferior, temporal, dan nasal. Ketika menguji lapang pandang temporal, anak akan mengalami kesulitan menggerakkan objek sampai cukup jauh sehingga anda dan klien tidak dapat melihatnya. Jadi lakukan uji lapang pandang temporal ini dengan meletakkan pensil sedemikian rupa di belakang klien dan di luar lapang pandang klien. Bawa pensil tersebut berkeliling secara perlahan sampai klien dapat melihatnya.



7. Reflek pupil -



pasien disuruh melihat jauh



-



setelah itu pemeriksa mata pasien di senter / diberi cahaya dan lihat



-



apakah ada reaksi pada pupil. Normal akan mengecil



-



perhatikan pupil mata yang satunya lagi, apakah ikut mengecil karena



-



penyinaran pupil mata tadi disebut dengan reaksi cahaya tak langsung



-



cegah reflek akomodasi dengan pasien disuruh tetap melihat jauh



8. Pemeriksaan sensibilitas kornea Tujuan : untuk mengetahui apakah sensasi kornea normal, atau menurun Cara pemeriksaan Alat : kapas steril Caranya : 



Bentuk ujung kapas dengan pinset steril agar runcing dan halus







Fiksasi mata pasien keatas agar bulu mata tidak tersentuh saat kornea disentuh







Fiksasi jari pemeriksa pada pipi pasien dan ujung kapas yang halus dan runcing disentuhkan dengan hati-hati pada kornea, mulai pada mata yang tidak sakit.







Pada tingkat sentuhan tertentu reflek mengedip akan terjadi. 34







Penilaian dengan membandingkan sensibilitas kedua mata pada pasien tersebut.



8 Eversi kelopak mata. Pemeriksaan untuk menilai konyungtiva tarsalis Cara pemeriksaan : 



Cuci tangan hingga bersih



 Pasien duduk didepan slit lamp  Sebaiknya mata kanan pasien diperiksa dengan tangan kanan  Pemeriksa.  Ibu jari memegang margo, telunjuk memegang kelopak bagian atas dan  Meraba tarsus, lalu balikkan.  Setelah pemeriksaan selesai kembalikan posisi kelopak mata. Biasakan memeriksa kedua mata. 9 Pemeriksaan dengan oftalmoskop  Untuk melakukan pemeriksaan dengan oftalmoskop, tempatkan klien di ruang yang digelapkan atau setengah gelap, anda dan klien tidak boleh memakai kacamata kecuali jika anda sangan miop atau astigmatis. Lensa kontak boleh dipakai oleh anda atau klien.  Duduk atau berdiri di depan klien dengan kepala anda berada sekitar 45 cm di depan dan sekitar 15 derajat ke arah kanan garis penglihatan mata kanan klien. Pegang oftalmoskop dengan tangan kanan anda dengan apertura penglihat sedekat mungkin dengan mata kanan anda. Letakkan ibu jari kiri anda di mata kanan klien untuk mencegah memukul klien dengan oftalmoskop pada



saat



anda



bergerak mendekat. Jaga agar telunjuk kanan anda tetap



berada di selektor lensa untuk menyesuaikan lensa seperlunya seperti yang ditunjukkan di sini. 



Instruksikan klien untuk melihat lurus pada titik sejajar mata yang sudah ditentukan di dinding. Instruksikan juga pada klien, bahwa meskipun berkedip



selama



pemeriksaan



diperbolehkan,



mata harus tetap diam.



Kemudian, mendekat dari sudut oblik sekitar 38 cm dan dengan diopter pada angka 0, berfokuslah pada lingkaran kecil cahaya pada pupil. Cari cahaya oranye kemerahan dari refleks merah, yang harus tajam dan jelas melewati pupil. Refleks merah menunjukkan bahwa lensa bebas dari opasitas dan kabut.



35







Bergerak mendekat pada klien, ubah lensa dengan jari telunjuk untuk menjaga agar struktur retinal tetap dalam fokus.







Ubah diopter positif untuk melihat viterous humor, mengobservasi adanya opasitas.







Kemudian, lihat retina, menggunakan lensa negatif yang kuat. Cari pembuluh darah retina dan ikuti pembuluh darah tersebut ke arah hidung klien, rotasi selektor lensa untuk menjaga agar pembuluh darah tetap dalam fokus. Karena fokus tergantung pada anda



dan status refraktif klien maka diopter lensa



berbeda-beda untuk sebagian besar klien. Periksa dengan cermat seluruh struktur



retina,



termasuk pembuluh darah retina, diskus optikus, latar



belakang retina, macula dan fovea. 



Periksa pembuluh darah dan struktur retina untuk warna, perbandingan ukuran arteri dan vena, refleks cahaya arteriol, dan persilangan



B. Anamnesa Pada Telinga Kaji tanda dan gejala yang berhubungan dengan gangguan pendengaran: -



Nyeri pada telinga



-



Tinnitus Tinnitus adalah bunyi berdenging pada telinga. Ini bukanlah sebuah penyakit, melainkan gejala dari kondisi kesehatan tertentu, seperti cedera telinga, gangguan pada sistem sirkulasi tubuh, atau menurunnya fungsi pendengaran yang muncul seiring bertambahnya usia.



-



Vertigo Merupakan persepsi pasien dimana dirinya atau lingkungan disekitarnya seperti berputar. Gangguan ini dapat disebabkan karena adanya gangguan pada telinga dalam, lesi N. VIII atau adanya gangguan pada jalur persarafan dari telinga ke SSP. Pemeriksaan Fisik Telinga a. Pemeriksaan Daun Telinga & bagian-bagiannya: 1. Lakukan inspeksi pada setiap daun telinga (kanan dan kiri) dan bagian bagiannya, apakah terdapat deformitas, benjolan atau lesi kulit. Deformitas/kelainan dapat ditemukan apabila terdapat trauma. Benjolan yang dijumpai pada saat inspeksi 36



dapat berupa kelloid, kista, basal cell carcinoma, tophi.Lihat kesimetrisan kedua daun telinga, lihat apakah ada Battle’s Sign pada bagian belakang telinga. Battle’s Sign merupakan suatu kondisi dimana terdapat ecchymosis pada tulang mastoid dan merupakan indikator adanya fraktur pada basis cranii. Apabila terdapat nyeri pada telinga, adanya discharge atau proses inflamasi maka lakukan pemeriksaan dengan cara menggerakkan daun telinga secara lembut ke atas dan ke bawah (= tug test) serta berikan tekan lembut pada bagian belakang telinga dari atas ke bawah. Saat dilakukan tug test akan dijumpai adanya rasa nyeri pada kondisi Acute Otitis Externa (inflamasi pada kanal auditorius) namun tidak pada kondisi Otitis Media. 2. Pemeriksaan Kanal Auditorius & Membran Tymphani: - Lakukan pemeriksaan dengan menggunakan otoscope Pada kondisi Acute Otitis Externa dapat dijumpai tanda inflamasi pada kanal auditorius berupa



adanya pembengkakan,



penyempitan, lembab dan



tampak pucat atau bahkan kemerahan. Pada kondisi Chronic Otitis permukaan



kulit pada



kanal



Externa



auditorius tampak menebal, merah dan terasa



gatal. - Periksa ada tidaknya serumen (catat warna dan konsistensinya), benda asing, discharge, kemerahan dan atau edema - Inspeksi membran tymphani, perhatikan dan catat warna dan konturnya (ada tidaknya perforasi, sklerosis). Warna normal pada mebran tymphani adalah merah muda keabuabuan. Pada warna



Otitis



Media



Akut



Purulenta



dapat



dijumpai



merah membesar pada membran tymphani yang disertai adanya



pengeluaran cairan. Pada kondisi sklerosis maka akan dijumpai area pada membrane tymphani yang berwarna keputihan dengan batas yang tidak rata. Tes Pendengaran - Tes sederhana/klasik: tes arloji, tes berbisik, tes garpu tala. Berfungsi menentukan derajat ketulian secara kasar, pastikan melakukan pemeriksaan ini dalam kondisi ruangan yang betul-betul tenang. Pemeriksaan dilakukan dari jarak (1-2 feet = 30,5-61 cm = 0,3-0,6 m)



37



- Pada tes berbisik: Lakukan pemeriksaan dari samping, tutup telinga lain yang belum diperiksa dengan jari dan pastikan pasien tidak membaca gerakan bibir pemeriksa. Gunakan angka atau kata yang terdiri dari 2 suku kata yang beraksen sama: “tigalima”; “bola-bata”, dst. Minta pasien untuk mengulangi kata atau angka yang telah disebutkan - Penilaian (menurut Feldmann):  Normal: 6-8 m  Tuli ringan: 4 -