Hijrah Ke Negeri Habasyah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Abessinia, Tujuan Sahabat Pertama Kali Hijrah Makkah, bulan Rajab tahun ketujuh sebelum Hijriah (615 M). Kala itu, di tengah pekatnya malam, sejumlah sahabat Rasulullah SAW diam-diam meninggalkan Makkah bersama harta benda yang mereka miliki. Para sahabat itu terdiri atas 11 pria dan lima wanita, di antaranya Utsman bin Affan dan istrinya Ruqayah, Abdur Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan Utsman bin Maz'un selaku ketua rombongan. Dari Makkah, mereka menuju tepian Laut Merah, tepatnya Pelabuhan Shuaibah. Di sana, dua perahu telah siap membawa mereka ke sebuah negeri untuk menghindari kebiadaban kaum kafir Quraisy. Adalah Abessinia, sebuah kerajaan di benua Afrika, yang menjadi tujuan mereka. Mengapa mereka pergi ke sana? Para sahabat itu hijrah ke Abessinia atas saran Rasulullah SAW. Inilah hijrah pertama yang dilakukan kaum Muslimin sebelum peristiwa hijrah ke Madinah. Saat itu, tekanan dan permusuhan dari kaum kafir Quraisy semakin keras. Sebagian pengikut Rasulullah disiksa, bahkan dibunuh. Maka itu, untuk melindungi mereka, Rasulullah menyarankan agar mereka hijrah ke Abessinia. Negeri ini dipilih karena penguasa Abessinia saat itu, Raja Najasyi, sangat bijaksana meski beragama Nasrani. Orang Arab menyebut Raja Najasyi sebagai Ashama Ibnu Abjar. "Sesungguhnya di Negeri Habasyah (Abessinia) terdapat seorang raja yang tak seorang pun dizalimi di sisinya, pergilah ke negerinya, hingga Allah membukakan jalan keluar bagi kalian dan penyelesaian atas peristiwa yang menimpa kalian," ujar Nabi SAW. Kisah hijrah para sahabat Nabi SAW ke Abessinia diungkapkan dalam Shahih Al-Bukhari, mengutip penjelasan dari Ummu Salamah, istri Rasulullah SAW yang juga ikut dalam peristiwa hijrah ke Abessinia. Lantas, di manakah tepatnya negeri Abessinia itu? Abessinia adalah nama kuno dari Ethiopia, sebuah negara di Afrika Timur. Nama itu (Abessinia) merupakan perubahan dari nama Arab, Habasyah, yang menunjuk pada campuran berbagai ras yang berasal dari Arab Selatan. Bangsa Abessinia merupakan keturunan bangsa Semit, sementara bahasa mereka, Amhariyah, serumpun dengan bahasa Arab. Seperti rajanya, saat itu pun sebagian besar rakyat Abessinia memeluk agama Kristen (Nasrani). Ibnu Ummi Maktum mencintai Rasulullah melampaui diri dan keluarganya. Tapi, sosok sahabat Nabi ini cukup mengemuka setelah sebuah kejadian yang menjadi konteks turunnya surah Abasa ayat 1-4. Menurut Ibnu Katsir, beberapa ahli tafsir Alquran menyebutkan bahwa suatu hari Rasulullah sedang berbicara dengan salah seorang pemuka Quraisy yang diharapkan berpindah agama kepada Islam. Saat itu, tiba-tiba Ibnu Ummi Maktum masuk ke dalam ruangan dan bertanya kepada Nabi ihwal Islam. Lelaki buta itu tak tahu dengan siapa Rasullulah sedang berbicara, sehingga ia mengajukan pertanyaannya berulang kali.



1



2 Sekilas, Rasulullah menampakkan wajah masam di hadapan Ibnu Ummi Maktum dan berpaling darinya untuk meneruskan pembicaraan dengan pemuka Quraisy tersebut. Maka, turunlah firman Allah SWT, surah Abasa ayat 1-4. "Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?" Sesudah peristiwa tersebut, Rasulullah SAW menjumpai lagi Ibnu Ummi Maktum dan memeluknya dengan hangat.



Setelah Hijrah ke Madinah Di Madinah, Ibnu Ummi Maktum bertugas mengumandangkan azan. Soal tugas yang satu ini, ia mendampingi tugas Bilal bin Rabah. Khususnya, selama Ramadhan, Rasulullah SAW membagi tugas azan itu sebagai berikut. Saat azan dikumandangkan oleh Bilal maka itu adalah tanda amaran agar orang-orang yang sedang sahur menyadari sebentar lagi masuk waktu Subuh. Demikian pula, azan ini untuk membangunkan orang-orang. Kemudian, azan dikumandangkan Ibnu Ummi Maktum sebagai tanda dimulainya waktu menahan diri dari makan, minum, dan segala yang membatalkan puasa. Rasa cinta Ibnu Ummi Maktum kepada Rasulullah diwujudkan dalam banyak hal. Salah satunya, ketika terjadi peristiwa pembunuhan atas seorang wanita Yahudi yang merupakan pemilik rumah tempat tinggal Ibnu Ummi Maktum. Sesungguhnya, sikap wanita tersebut kepada diri Ibnu Ummi Maktum dan keluarga amat ramah. Namun, sering kali lisan wanita ini mencela diri Rasulullah di hadapan Ibnu Ummi Maktum. Akhirnya, Ibnu Ummi Maktum mendatanginya dan membunuhnya. Ibnu Ummi Maktum menghadap Nabi dan berkata, Demi Allah, dia memang bersikap lembut kepadaku, tetapi dia menyakitiku terkait Allah dan Rasul-Nya. Nabi menjawab, Semoga Allah menjauhkan wanita itu. Aku telah membatalkan darahnya. Ibnu Ummi Maktum belajar Alquran dengan cara menyimaknya. Khususnya, ketika Rasulullah mendiktekan beberapa ayat Alquran kepada para sahabat untuk dihafalkan.



Gugur sebagai Syuhada Satu keinginan dari Ibnu Ummi Maktum yang belum jua terlaksana adalah ikut berjihad bersama pasukan Muslimin. Ia terkendala kekurangan fisiknya. Rasulullah meminta agar orang Islam yang memiliki uzur tidak perlu ikut berperang. Tapi, hati Ibnu Ummi Maktum tetap bergeming. Di sela-sela waktunya, ia kerap berlatih perang-perangan dengan sejumlah pemuda Muslim.



3 Hingga, satu hari, peperangan terjadi di Qadisiyah, Irak. Pasukan kaum Muslim berangkat ke sana dalam pimpinan Saad bin Abi Waqqash. Adapun dari pihak lawan, pasukan Romawi dipimpin Rustum. Ibnu Ummi Maktum berseru, Wahai para kekasih Allah! Wahai para sahabat Muhammad! Wahai para pahlawan peperangan! Serahkanlah panji kepadaku karena aku ini laki-laki buta yang tidak bisa kabur dan tegakkanlah aku di antara dua barisan! Maka, Ibnu Ummi Maktum diizinkan masuk ke dalam pasukan Islam untuk memerangi Rustum dan bala tentaranya. Dalam peperangan ini, Abdullah bin Ummi Maktum gugur sebagai syahid. Zaman Rasulullah, upaya membangunkan warga Muslim untuk menunaikan sahur lebih terpusat. Dalam arti, suara azan digunakan sebagai tanda dimulainya waktu bersahur. Rasulullah SAW memerintahkan Bilal bin Rabah untuk mengumandangkan azan sebagai tanda waktu santap sahur. Adapun Abdullah bin Ummi Maktum ditugaskan oleh beliau SAW untuk azan sebagai tanda masuknya waktu Subuh atau usainya sahur. "Sesungguhnya Bilal azan pada waktu malam, maka makan dan minumlah kalian sampai terdengar azan Ibnu Ummi Maktum," demikian sabda Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan Bukhari.



Rasulullah bertani Genderang rebana bertabuh. Rasul nan dinanti telah tiba. Madinah, menyambut hangat sang Nabi. Suasa begitu haru. Ratusan kilometer, tanpa harta, tanpa kemewahan, semua berlalu. Kini, wajahwajah baru siap menyambut di hadapan. Muhajirin dan Anshar, dua buah kaum yang namanya disebut oleh Allah dalam Al Quran kini melebur. Kaum Anshar, penduduk setempat dengan rela memberikan tanah usaha dan tempat tinggal kepada kaum muhajirin yang tak memiliki apa pun. Habis hartanya menemani Rasul hijrah. Bagaimanapun juga, Madinah, tempat baru Rasulullah harus menjadi Ibu Kota, pusat kehidupan umat Islam. Setelah hijrah, para sahabat mendambakan kehidupan yang lebih baik. Setelah membangun mesjid, Rasulullah mulai membangun peradaban Islam, mulai dari kajian ilmu, strategi perang, hingga arahan Rasulullah tentang kesejahteraan masyarakat yang bermula dari pangan. Pertanian dan peternakan merupakan hal yang amat penting yang Rasulullah terlibat di dalamnya. Bertani ialah sebagai bentuk syukur kepada Allah dan jalan mendapatkan rezeki. Rasulullah begitu menghayati Firman Allah Ta’ala dalam surat Abasa yang turun padanya: “Lalu Kami tumbuhkan pada bumi biji-bijian (27) Dan buah anggur serta sayur-sayuran (28) Dan zaitun serta pohon-pohon kurma (29) Dan taman-taman yang menghijau subur (30) Dan berbagai-bagai buah-buahan serta bermacammacam rumput. (31) Untuk kegunaan kamu dan binatang-binatang ternakan kamu (32).” Sejauh mata beredar, Rasulullah melihat banyak tanah yang tak terpakai di Madinah. Tanah-tanah kosong melompong, padahal telah Allah amanahkan untuk dikelola. Maka, beliau pun bersabda “Andainya kiamat tiba dan pada tangan seseorang daripada kamu ada sebatang anak kurma, maka hendaklah dia tanpa berlengah-lengah lagi menanamkannya.” (Hadits Riwayat Ahmad). Para sahabat mulai berlomba-lomba menggunakan tanah kosong. Ada Umar yang sehari-hari berladang gandum, dan bahan makanan. Ada Utsman Ibn Affan yang hasil ladangnya dijual ke luar negeri hingga Syam. Ada Abdurrahman Ibn Auf yang terjun beternak. Semua sahabat berlomba-lomba bertani, semua hanya dengan mengharapkan balasan terbesar, pahala Allah Ta’ala.



4 “Tiada seorang Muslim pun yang bertani, lalu hasil pertaniannya dimakan oleh burung atau manusia atau binatang, melainkan dia akan menerima pahala di atas hal itu.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim). Bertani merupakan profesi yang sangat mulia dan membanggakan. Hampir semua sahabat besar adalah petani. Para pemilik lahan yang mampu bertani menggunakan lahannya. Rasulullah sejak datang di Madinah menghimbau kepada para penduduk Anshar agar dapat bekerja sama dengan Muhajirin dalam hal pertanian. “Siapa yang memiliki tanah, hendaklah dia mengusahakannya, namun jika dia tidak berupaya melakukannya, maka hendaklah diberikan kepada saudaranya (supaya diusahakan) dan janganlah dia menyewakannya.” (Hadis riwayat Abu Daud) Tanah-tanah menjadi produktif, tidak ada yang terlantar. Para pemilik tanah menggunakannya untuk mempersiapkan pangan. Rasulullah sendiri, sebagai pemimpin Madinah mulai mengatur persediaan cadangan pangan Madinah. Rasulullah mengangkat Hudzaifah ibn Yaman sebagai katib yang mencatat hasil produksi peternakan dan hasil produksi pertanian. Bisa juga negara membeli hasil pangan dan menyimpannya di gudang-gudang Madinah untuk didistribusikan ketika supply mengalami kekurangan. Dengan kebijakan itu maka harga pangan bisa dijaga pada tingkat yang wajar. Kebijakan pengendalian harga dengan mengendalikan produksi dan permintaan menggunakan mekanisme pasar. Rasulullah pun melarang adanya monopoli pasar juga penentuan harga sepihak. “Siapa saja yang turut campur (melakukan intervensi) dari harga-harga kaum Muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak (HR Ahmad, Al Baihaqi, Thabrani) Kehidupan bertani dan penguatan ketahanan pangan Madinah terus berlanjut hingga Rasulullah saw wafat. Pada zaman Umar, dibentuk baitul Mal untuk menyimpan harta dan juga badan ketahanan pangan negara pada tiap wilayah yang dipimpin oleh gubernur langsung. Umar juga berijtihad untuk pemanfaatan lahan produktif yang selama tiga tahun berturut-turut terbengkalai. Saat nabi masih hidup, beliau saw pernah memberikan tanah kepada orang-orang dari Juhainah lalu mereka membiarkannya dan menelantarkannya, lalu datang kaum yang lain dan menghidupkannya. Kemudian orang-orang Juhainah itu mengadukannya kepada Umar bin Khathab, lalu Umar berkata : seandainya itu dari pemberianku atau dari Abu Bakar maka aku tidak akan ragu, tetapi itu adalah pemberian Rasulullah saw (artinya sudah ditelantarkan lebih dari tiga tahun). Dan Umar berkata : Siapa saja yang memiliki tanah lalu ia telantarkan tiga tahun tidak ia gunakan, lalu orang lain menggunakannya maka orang lain itu lebih berhak atas tanah itu. Pada zaman Umar pula, pernah terjadi paceklik yang sangat parah, hingga menguras gudang-gudang penyimpanan cadangan makanan. Namun, para gubernur daerah dengan sigap membantu mengirimkan makanan dari wilayahnya agar Madinah, Mekah juga jazirah Arab tak terlanda krisis pangan. Umar menulis surat kepada gubernurnya di Mesir Amru bin al–‘Ash tentang kondisi pangan di Madinah dan memerintahkannya untuk mengirimkan pasokan. Lalu Amru membalas surat tersebut, “saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan makanan, yang “kepalanya” ada di



5 hadapan Anda (di Madinah) dan ekornya masih di hadapan saya (Mesir) dan aku lagi mencari jalan untuk mengangkutnya dari laut”.



Kisah Umar dan warga Madinah hadapi kemarau panjang Kemarau yang panjang juga pernah dihadapi Khalifah Umar bin Khattab. Tahun Abu (Amar Ramadah) menjadi sebutan ketika musim paceklik tiba. Hujan sama sekali tak mengguyur Semenanjung Arab selama sembilan bulan. Segala usaha pertanian dan peternakan hancur total. Hewan ternak kurus kering. Unta dan domba tak mampu menghasilkan susu. Warga Arab Badui di pedalaman — yang tidak memiliki persediaan makanan — berbondong-bondong ke Madinah. Mereka meminta pertolongan khalifah. Melihat kondisi kaum Muslimin yang begitu memprihatinkan, Umar bersumpah tak akan makan daging dan samin sampai semua kembali seperti sedia kala. Dia memegang teguh sumpahnya hingga paceklik berakhir. Dia lantas mengirim surat kepada Abu Musa al-Asy'ari di Bashrah dan Amr bin Ash di Mesir. Kedua gubernur itu mengirimkan bantuan yang besar lewat laut melalui Madinah. Abu Ubaddah juga mengirim bantuan berupa 4.000 hewan tunggangan yang dipenuhi dengan makanan. Dengan cepat, Umar mendistribusikan semua bantuan yang diterima kepada kaum Muslimin. Umar juga melakukan shalat Istisqa untuk meminta hujan. Imam at- Thabarani meriwayatkan, Umar Radhiyallahu 'anhu keluar untuk melaksanakan doa minta hujan. Dia keluar bersama al-Abbâs Ra dhiyallahu 'anhu, paman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan memintanya berdoa minta turun hujan. Umar Radhiyallahu 'anhu berkata: "Ya Allah Azza wa Jalla sesungguhnya apabila kami ditimpa kekeringan sewaktu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup, maka kami meminta kepadaMu melalui Nabi kami; dan sekarang kami meminta kepada-Mu melalui paman Nabi kami Shallallahu 'alaihi wa sallam." Kepemimpinan, kecerdasan sekaligus empati — atas petunjuk Allah SWT — yang ditunjukkan Nabi Yusuf AS dan Umar Ra membawa rakyatnya keluar dari mala petaka. Keteladanan mereka patut untuk ditiru para pemimpin di negeri yang sedang menghadapi ujian kemarau panjang ini. Kebijakan yang bisa menjadi oase bagi umat.



Islamnya Raja Habasyah (Ethiopia) dan Asal Mula Shalat Ghaib Hijrah ke Habasyah Sebelum peristiwa hijrahnya umat Islam ke Madinah, Umat Islam juga pernah diperintahkan untuk hijrah ke Habasyah (Ethiopia), bahkan sampai dua kali. Namun saat hijrah kali pertama, di sana mereka hanya bertahan selama 3 bulan sebelum akhirnya kembali pulang ke Makkah. Pada masa tahun ketujuh kenabian, Umat Islam kembali diperintahkan hijrah ke Habasyah untuk kedua kalinya. Mereka yang ikut hijrah pada saat itu berjumlah 73 laki-laki dan 11 perempuan. Termasuk di dalam rombongan ini adalah Ja'far bin Abi Thalib, saudara dari Ali bin Abi Thalib.



6 Di Habasyah, mereka diterima dengan baik oleh Raja Najasy, penguasa Habasyah saat itu. Raja Najasy adalah seorang pengikut agama Nasrani yang taat. Saat orang-orang kafir Quraisy mengetahui bahwa umat Islam mendapat perlindungan dari raja Najasy, mereka mengirimkan dua orang utusan untuk menemui Raja Najasy dengan membawa beberapa hadiah. Menurut riwayat dua orang ini adalah Amr bin Ash dan 'Imarah bin Walid. Saat bertemu Raja Najasy, dua utusan ini berkata kepada raja: "Wahai Sang Raja! Telah masuk ke negara Anda beberapa remaja bodoh dari kaum kami. Mereka telah meninggalkan agama kaumnya, membuat agama baru yang kami dan Anda tidak mengetahuinya. Para pembesar kaum kami dari putra-putra paman dan keluarga mereka telah mengutus kami kepada Anda dalam perkara mereka, agar supaya Anda mengembalikan mereka kepada keluarganya (di Makkah)". Mendengar permintaan dua utusan ini, Raja Najasy menjawab: "Saya tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian sebelum saya memanggil dan menanyai mereka". Setelah rombongan kaum Muslim di hadirkan, Sang Raja kemudian bertanya kepada mereka (kaum Muslim) perihal perkara mereka. Ja'far bin Abi Thalib kemudian maju dan menjawab: "Wahai Sang Raja! Kami sebelumnya adalah ahli jahiliyyah yang menyembah berhala, memakan bangkai, berbuat keji, memutus persaudaraan, berlaku buruk kepada tetangga, dan yang kuat menindas yang lemah, hingga akhirnya Allah mengutus seorang Rasul kepada kami dari kaum kami sendiri. Kami mengenal nasab dan kejujurannya, amanahnya, dan ifahnya (terhindar dari melakukan maksiat). Dia (Rasul) mengajak kami untuk mengEsakan Allah dan tidak menyekutukannya dengan apa pun. Dia juga mengajak kami untuk meninggalkan berhala-berhala yang sebelumnya kami sembah. Dia juga memerintahkan kami untuk jujur dalam berucap, menyambung tali silaturahmi, berbuat baik kepada tetangga, menahan diri dari perbuatan yang dilarang dan menjaga dari tertumpahnya darah. Dia juga melarang kami dari perbuatan keji, perkataan dusta dan memakan harta anak yatim. Dia memerintahkan kami untuk menjalankan shalat, berpuasa, membayar zakat dan beribadah haji. Maka kami percaya, beriman kepadanya dan membenarkannya" Mendengar jawaban Ja'far bin Abi Thalib tentang hakikat ajaran Islam, Raja Najasy kemudian menolak untuk menyerahkan kaum muslim kembali kepada kaum kafir Quraisy. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Ja'far bin Abi Thalib juga sempat membacakan awal surat Maryam kepada Raja Najasy. Mendengar penolakan Raja Najasy, dua utusan kaum Quraisy akhirnya pulang sia-sia dengan membawa kegagalan. Raja Najasy beserta para pendeta dan para rahib yang menyertainya pun akhirnya memutuskan untuk masuk Islam pada waktu itu. Atas dasar peristiwa ini, Allah turunkan firman-Nya: "Dan pasti akan kamu dapati orang yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman, ialah orang-orang yang berkata, Sesungguhnya kami adalah orang Nasrani. Yang demikian itu karena di antara mereka terdapat para pendeta dan para rahib, (juga) karena mereka tidak menyombongkan diri." (QS. Al-Ma'idah Ayat 82). Saat Raja Najasy wafat, Malaikat Jibril memberitahukan kepada Rasulullah akan kewafatannya, Rasul pun kemudian melakukan shalat jenazah atasnya. Inilah asal mula pertama kalinya dilaksanakan shalat jenazah ghaib. Dalam tafsir Ibnu Katsir I hlm. 443 juga disebutkan bahwa telah tertera dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim: Ada seorang Najasyi meninggal, Rasulullah pun segera memberi tahu para sahabatnya, sabdanya: "Saudara kita di negeri Habasyah telah meninggal dunia, maka shalatlah kalian untuknya". Mereka pun keluar menuju lapangan, membuat barisan, dan mengerjakan shalat untuknya.



7



Sumber: Khulashah Nur al-Yaqiin juz 1 hlm 34-35 Kaum muslimin masih terus mendapat tekanan dari orang-orang Quraisy. Ketika sebagian dari mereka hijrah ke Habasyah, orang-orang Quraisy masih saja mengejar untuk membinasakan mereka. Penderitaan kaum muslimin makin bertambah ketika mereka diboikot di lembah Abu Thalib. Semakin lama, semakin keras permusuhan orang-orang Quraisy terhadap kaum muslimin. Akhirnya, kaum muslimin diizinkan Allah subhanahu wa ta’ala hijrah ke Habasyah. Orang-orang Quraisy kembali berusaha menahan dan menangkap mereka namun tidak berhasil. Ketika semakin ganas kekejaman yang dilancarkan kaum Quraisy terhadap kerabat mereka yang beriman, Allah subhanahu wa ta’ala mengizinkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Habasyah untuk kedua kalinya. Berangkatlah sekitar 80 muhajirin dan 19 muhajirah (kaum wanita). Di negeri ini, kaum muslimin berlindung dengan aman di kerajaan Ashimah an-Najasyi. Ketika Quraisy mendengar hal ini, mereka mengutus ‘Imarah bin al-Walid dan ‘Amru bin al-‘Ash dengan membawa berbagai hadiah kepada raja Najasyi agar berkenan menyerahkan kaum muslimin ke tangan mereka. Ketika tiba di hadapan Raja Najasyi, mereka berdua sujud kepadanya dan segera duduk di sampingnya, kemudian berkata, “Sesungguhnya ada sekelompok orang yang masih termasuk anak-anak paman kami. Mereka tinggal di negeri paduka, membenci masyarakatnya dan membenci tatanan kehidupan (ajaran) yang berlaku di masyarakat mereka.” Raja Najasyi berkata, “Di mana mereka?” Keduanya berkata, “Di negeri paduka. Mohon panggillah mereka!” Kemudian datanglah beberapa orang dari para muhajirin, di antaranya adalah Ja’far dan dia berkata, “Aku yang menjadi juru bicara (untuk) kalian hari ini.” Mereka pun mengikutinya. Setibanya di hadapan Najasyi, mereka mengucapkan salam namun tidak sujud kepadanya. Orangorang yang ada di sekitarnya bertanya, “Mengapa kalian tidak sujud kepada baginda raja?” Ja’far mengatakan, “Kami tidak sujud kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla.” “Mengapa demikian?” tanya Raja. Ja’far berkata, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah mengutus seorang rasul kepada kami dan dia memerintahkan kami agar tidak sujud kepada siapa pun kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla. Beliau memerintahkan kami untuk menegakkan shalat dan menunaikan zakat.” ‘Amru bin al-‘Ash segara menukas: “Mereka menyelisihi paduka tentang ‘Isa bin Maryam.” Raja Najasyi berkata, “Apa pendapat kalian tentang ‘Isa bin Maryam dan ibunya?” Ja’far menerangkan, “Kami hanya mengatakan sebagaimana yang diterangkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, bahwa beliau adalah kalimat-Nya dan ruh-Nya yang Dia lemparkan kepada perawan suci yang tidak pernah disentuh lelaki mana pun….”



8



Kemudian Najasyi mengambil sepotong kayu dan berkata, “Wahai rakyat Habasyah, para pendeta dan rahib sekalian! Demi Allah, apa yang mereka nyatakan (tentang ‘Isa) tidak lebih dari ini. Selamat datang, para tamu (kaum muslimin) dan selamat datang pula yang kalian datang dari sisinya. Aku bersaksi bahwa sesungguhnya beliau adalah Rasulullah. Beliaulah yang kami dapatkan beritanya di dalam Injil. Beliaulah rasul yang disebutkan oleh ‘Isa bin Maryam ‘alaihissalam sebagai berita gembira dari beliau. Tinggallah kalian di mana pun kalian suka di negeriku. Demi Allah, kalaulah bukan karena kedudukanku sebagai raja, pastilah aku akan datang menghadapnya sehingga akulah yang akan mengurus sandalnya.” Kemudian beliau memerintahkan agar hadiah-hadiah itu dikembalikan kepada kedua utusan Quraisy dan berkata, “Demi Allah! Allah tidak menerima suap dariku ketika mengembalikan kerajaan ini kepadaku. Aku juga tidak mengikuti manusia dalam urusanku sehingga aku harus tunduk pula kepada manusia. Kembalikan hadiah mereka kepada keduanya, aku tidak membutuhkannya. Usirlah utusan itu dari negeri ini.” Akhirnya kedua utusan itu meninggalkan Habasyah dalam keadaan kecewa dan terhina. Beberapa waktu kemudian terbetik kabar bahwa penduduk Makkah telah masuk Islam. Namun berita itu ternyata tidak benar. Ada sesuatu yang menyebabkan tersebarnya berita tersebut. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan an-Nasai (secara ringkas) dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat an-Najm di Makkah, kemudian beliau sujud dan sujud pula orang-orang yang bersamanya, kecuali seorang lakilaki tua yang hanya mengambil segenggam kerikil atau tanah lalu mengangkatnya ke dahinya dan berkata, ‘Cukuplah ini saja bagiku.’ Ibnu Mas’ud berkata, ‘Akhirnya aku melihatnya mati terbunuh dalam keadaan kafir’.” Penukil yang melihat kaum musyrikin sujud mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, merasa yakin bahwa mereka telah masuk Islam dan berdamai dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada lagi perselisihan di antara mereka. Akhirnya kabar ini meluas hingga terdengar oleh kaum muslimin yang ada di Habasyah. Mereka pun menyangka hal ini benar, maka sebagian mereka ada yang kembali, mengharapkan kenyataan dari berita tersebut. Sebagian lagi tetap tinggal di sana. Namun belum lagi mereka sampai di Makkah, mereka mendengar keganasan Quraisy bukannya berkurang, tetapi malah menjadi-jadi. Sebagian mereka ada yang berani masuk ke Makkah dengan jaminan perlindungan, ada pula yang tidak. Di antara yang masuk ke Makkah adalah Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Dia memberi salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang waktu itu sedang shalat, namun tidak dijawab oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentu saja hal ini terasa berat bagi Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, namun kemudian beliau menjelaskan: ‫ه‬ ‫ي هش ُاء هما َأ ْمره م ْن ُي ْحد ُث ه‬،‫للا َأ ْح هد هث مما هوإن ه‬ ُ ‫ف هت َك َّل ُموا هل َأ ْن‬ ْ ‫الة‬ ‫للا إن‬ ‫الص‬ ِ ِ “Sesungguhnya Allah berbuat sesuatu yang baru terhadap urusan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Termasuk yang baru adalah hendaknya kamu jangan berbicara di dalam shalat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim) Quraisy Memboikot Bani Hasyim



9



Ibnul Qayyim rahimahullah menceritakan (az-Zad, 3/29) bahwa setelah Hamzah radhiallahu ‘anhu dan beberapa orang masuk Islam serta Islam tersebar, kaum Quraisy yang mengetahui hal ini semakin bertambah kebenciannya. Akhirnya mereka sepakat untuk memboikot Bani Hasyim, Bani ‘Abdul Muththalib, dan Bani ‘Abdi Manaf, yang mereka (kaum Quraisy) tidak akan melakukan hubungan apa pun dengan Bani Hasyim dan lain-lainnya ini sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diserahkan kepada mereka. Kemudian mereka menuliskan kesepakatan ini dan menggantungnya di Ka’bah. Akhirnya seluruh Bani Hasyim kecuali Abu Lahab, ikut bergabung di Syi’ib (lembah) Abu Thalib. Mereka merasakan penderitaan hebat akibat blokade ini, sehingga terdengar dari lembah itu tangis pilu anakanak kecil yang kelaparan. Hal ini mereka alami selama hampir tiga tahun. Sementara itu di kalangan Quraisy sendiri muncul pro dan kontra atas tindakan yang dilakukan mereka. Orang-orang yang tidak senang dengan tindakan kejam ini berusaha merobek surat perjanjian yang mereka buat. Di antara yang berusaha membatalkan perjanjian itu adalah Hisyam bin ‘Amru bin al-Harits, Muth’im bin ‘Adi, dan beberapa orang lainnya. Allah subhanahu wa ta’ala memperlihatkan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang apa yang dialami oleh piagam perjanjian tersebut, lalu beliau sampaikan kepada pamannya Abu Thalib. Oleh Abu Thalib hal ini disampaikan pula kepada Quraisy. Namun setelah ternyata benar apa yang diceritakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kekafiran mereka justru semakin bertambah. Setelah perjanjian itu batal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun keluar bersama Bani Hasyim dari lembah itu. Beberapa bulan kemudian pamannya Abu Thalib meninggal dunia dalam keadaan masih memeluk agama nenek moyangnya (musyrik). Beberapa hari setelah itu menyusul pula istrinya yang dicintai dan banyak membantu perjuangannya, Khadijah bintu Khuwailid radhiallahu ‘anha. Sepeninggal keduanya, semakin hebat pula permusuhan kaum Quraisy terhadap beliau. Beliau pun mencoba melanjutkan dakwahnya ke Tha’if. Sesampainya di sana beliau justru mendapati keadaan yang lebih buruk dan belum pernah beliau dapatkan dari kaumnya. Akhirnya beliau bersama Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu kembali dengan penuh kesedihan. Disebutkan oleh al-Imam Muslim (no. 1795) dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Zaid bin Haritsah bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, apakah engkau pernah mendapatkan sesuatu yang lebih hebat dari kaummu dibandingkan dengan kejadian pada perang Uhud?” Beliau mengatakan, “Sungguh aku betul-betul mendapatkannya dari kaummu. Yang paling hebat adalah pada peristiwa ‘Aqabah, ketika aku menghadapi kabilah Ibnu ‘Abdi Ya Lail bin ‘Abdi Kulal. Tidak satu pun mereka yang menyambut apa yang kuinginkan. Akhirnya aku pergi dalam keadaan sangat berduka. Aku tidak tersadar, kecuali di Qarni Tsa’alib. Kemudian aku menengadahkan kepala, aku lihat ada awan yang menaungiku. Aku perhatikan, ternyata Jibril dan dia berseru, ‘Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla telah mendengar apa yang dikatakan kaummu kepadamu dan bagaimana mereka menolakmu. Sekarang Dia telah mengutus para malaikat penjaga gunung ini, agar engkau perintahkan sekehendakmu terhadap orang-orang kafir itu’.” Malaikat itu berseru dan mengucapkan salam kepadaku, kemudian dia berkata, “Ya Muhammad, sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah mendengar ucapan kaummu terhadapmu. Aku adalah malaikat penjaga gunung ini, dan Rabbmu telah mengutusku agar engkau memerintahkanku apa yang kau inginkan. Kalau engkau mau, akan aku empaskan kedua gunung ini kepada mereka.”



10



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Bahkan aku berharap akan keluar dari keturunan-keturunan mereka orang-orang yang beribadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya.” Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa kemudian beliau bersama Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu masuk ke Makkah dengan jaminan dari Muth’im bin ‘Adi.