Ilmu Perundang-Undangan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH TUGAS 2



Nama Mahasiswa



: Riska Adi Syaputra



Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 042879058



Kode/Nama Mata Kuliah



: HKUM4403/Ilmu Perundang-Undangan



Kode/Nama UPBJJ



: 20/ Bandar Lampung



Masa Ujian



: 2020/21.1 (2020.2)



KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS TERBUKA



1. A. Mekanisme perubahan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut: a. Pada usulan perubahan pasal dan undang-undang dasar diagendakan dalam sebuah sidang yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat di mana setidaknya pengajuan sebaiknya hadir sebanyak 1/3 dari jumlah total Majelis Permusyawaratan Rakyat itu sendiri. b. Setiap usulan di mana pada masing-masing perubahan pasal dari UndangUndang Dasar tahun 1945 dilakukan dengna pengajuan tertulis yang berisi alasan untuk melakukan perubahan. c. Untuk melakukan perubahan pasal-pasal, sidang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yang setidak-tidaknya menghadiri rapat mencapai 2/3 orang dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat itu sendiri. d. Khusus pada pasal mengatur tentang bentuk negara di mana dasar negara tidak dapat diubah. e. Keputusan untuk melakukan perubahan pasal Undang-Undang kemudian dilakukan dengan melakukan persetujuan dan pengesahan di mana jumlah yang haidr sebanyak 50% + 1% dari total Majelis Permusyawaratan Rakyat.



B. UUD 1945 pasca amandemen lebih bersifat rigid. Hal ini dikarenakan persepsi penguasa yang sepakat untuk lebih mengkultuskan UUD 1945 sebagai kesatuan pemikiran dari mayarakat untuk memilih sesuatu yang ideal dalam hal-hal tertentu yang direfleksikan didalamnya. Selain itu, nilai historis yang terkandung dalam UUD 1945 membuatnya sebagai konstitusi memiliki kandungan rigiditas. UUD 1945 tidak lg dipandang sebagai peraturan perundang-undangan saja melainkan merupakan wibawa daripada suatu bentuk Hukum tertinggi dari suatu negara.



2. A. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber tertib hukum di Indonesia atau biasa disebut sebagai norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm), serta falsafah hidup bangsa (philosophische groundslag). Sebagai norma fundamental negara, Pancasila merupakan norma tertinggi dalam negara dengan kata lain merupakan norma yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi bersifat “presupposed” atau ditetapkan terlebih dahulu yang menjadi tempat



bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya. Sebagai konsekuensi logis terhadap fungsi Pancasila ini, dikatakan bahwa Pancasila merupakan cita hukum (rechtsidee) Indonesia. Cita hukum merupakan nilai hukum yang telah diramu dalam kesatuan dengan nilai-nilai lainnya yang berasal dari kategori nilai-nilai lainnya, yang menunjukkan pula sejauh mana fenomena kekuasaan terintegrasi padanya. Cita hukum meliputi segi formalnya, yaitu sebagai suatu wadah nilai-nilai hukum yang telah digarap dengan memperhitungkan alam kenyataan sekelompok yang bersangkutan. Segi material atau substansial cita hukum adalah sebagai nilai hukum yang telah diramu dalam satu kesatuan dengan nilai-nilai dari kategori nilai lainnya termasuk fenomena kekuasaan, menurut cita rasa budaya masyarakat yang terkait. Cita hukum bangsa Indonesia berakar dalam Pancasila yang oleh para Pendiri bangsa ditetapkan sebagai landasan kefilsafatan dalam menata kerangka dan struktur dasar organisasi negara sebagaimana dirumuskan dalam UUD 1945. Cita hukum Pancasila mencerminkan tujuan bernegara dan seperangkat nilai dasar yang tercantum baik dalam Pembukaan maupun pasal demi pasal serta Penjelasan UUD 1945. Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dianggap sebagai norma dasar, sebagai sumber hukum positif. Rumusan hukum dasar dalam pasal demi pasal UUD 1945 adalah pancaran dari norma yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Asas-asas Pancasila terkandung dalam dan merupakan bagian dari Pembukaan UUD 1945, sehingga dengan menyebut Pembukaan UUD 1945 saja, asasasas itu dengan sendirinya telah tercakup. Penjelasan UUD 1945 sendiri juga telah mengutarakan hal yang serupa, walaupun tidak menggunakan istilah norma dasar, melainkan sebagai “cita-cita hukum (rechtsidee)” yang terwujud dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (undang-undang dasar), maupun hukum yang tidak tertulis. Dalam kapasitasnya sebagai rechtsidee, Pancasila dianggap dan diletakkan sebagai hal yang paling mendasar dan fundamental. Hal ini Nampak pada Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 yang menentukan, “Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum.”Penyebutan seperti ini seolah mengukuhkan pandangan Notonagoro, pada tahun 1959 yang menganggap Pancasila adalah pokok kaidah fundamental negara (staatfundamentalnorm) yang mempunyai kekuatan sebagai grund norm. Pancasila dilihat sebagai cita hokum merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hokum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hokum positif. Dengan



ditetapkannya Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm, maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaannya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila. B. Penolakan berbagai elemen masyarakat terhadap materi muatan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Haluan Ideologi Pancasila (HIP) semakin menguat. Sebab utamanya, lantaran tidak memasukkan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah NKRI Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atas Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme dalam konsiderans. Rumusan identifikasi masalah. Menurutnya bila membaca naskah akademik RUU HIP, rumusan identifikasi masalah semacam lebih tepat ketika hendak merumuskan UUD, bukan setingkat UU. Pancasila menjadi dasar negara, sumber dari segala sumber hukum. Karena itu, Pancasila seharusnya menjadi rujukan dalam setiap regulasi atau pembuatan UU. Ironisnya, RUU HIP malah hendak menjadikan Pancasila sebagai UU. Menurut Fadli, Pancasila menjadi standar nilai, bukan produk nilai. Nah, Pancasila dalam RUU HIP malah hendak dijadikan produk nilai, Pancasila seharusnya tak boleh diatur oleh UU. Sebab, sejatinya seluruh produk hukum dan peraturan perundang-undangan merupakan implementasi dari Pancasila. Sementara, satu-satunya UU yang dapat mengatur institusionalisasi Pancasila hanya UUD 1945, bukanlah UU di bawahnya, apalagi omnibus law. UU HIP gagal memisahkan ‘wacana’ dari ‘norma’. Pancasila dengan rumusan kelima silanya adalah ‘norma’. Rumusannya pun terjaga dalam naskah pembukaan UUD 1945. Sementara istilah ‘Trisila’ dan ‘Ekasila’ sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 RUU HIP hanyalah ‘wacana’ yang muncul saat gagasan Pancasila kali pertama dipidatokan Bung Karno pada 1 Juni 1945.



3. Teori Pemisahan dan Pembagian Kekuasan Negara. Pemisahan atau pembagian kekuasaan berarti kekuasaan negara terpisah-pisah dalam beberapa bagian, baik mengenai organnya maupun mengenai fungsinya yang secara tidak langsung berjalan dalam suatu sistem yang terstruktur. Berbeda dengan mekanisme pemisahan kekuasaan, di dalam mekanisme pembagian kekuasaan, kekuasaan negara dibagi dalam beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan. Hal tersebut membawa konsekuensi bahwa di antara bagian-bagian kekuasaan negara tersbeut dimungkinkan ada koordinasi dan kerja sama. Mekanisme pembagian kekuasaan seperti tersebut banyak dilakukan oleh negara-negara di dunia.



Menurut Prof. Jennings, Pemisahan kekuasaan dapat dibedakan dalam dua arti, yaitu : 



pemisahan kekuasaan dalam arti material adalah pemisahan kekuasaan yang dilakukan atau dipertahankan dengan jelas dan tegas dalam tugas-tugas kenegaraan di bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif.







pemisahan kekuasaan dalam arti formal adalah pembagian kekuasaan yang tidak dilakukan atau tidak dipertahankan dengan tegas. Teori Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan Negara di Indonesia. Menurut Mohammad Kusnardi dan Hermaily Ibrahim dalam bukunya yang berjudul 'Pengantar Hukum Tata Negara', menjelaskan bahwa istilah pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan pembagian kekuasaan (divisions of powers) merupakan dua istilah yang mempunyai pengertian yang berbeda antara yang satu dengan lainnya.







Pemisahan kekuasaan negara, berarti kekuasaan negara tersebut dipisahkan dalam beberapa bagian, baik mengenai organnya maupun mengenai fungsinya. Atau dengan kata lain, lembaga pemegang kekuasaan negara, yaitu lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif merupakan lembaga yang terpisah satu sama lainnya, berdiri sendiri tanpa memerlukan koordinasi dan kerjasama. Setiap lembaga melaksanakan fungsinya masingmasing. Contoh negara yang menganut sistem pemisahan kekuasaan adalah Amerika Serikat.







Pembagian kekuasaan negara, berarti kekuasaan negara dibagi-bagi dalam beberapa bagian, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kekuasaan negara tersebut dibagi tetapi tidak dipisahkan. Hal tersebut berakibat bahwa diantara bagian-bagian kekuasaan negara tersebut memungkinkan untuk melakukan koordinasi dan kerja sama. Sistem pembagian kekuasaan negara ini dianut oleh banyak negara di dunia, salah satunya adalah Indonesia.



Sistem pembagian kekuasaan di Indonesia diatur sepenuhnya dalam Undang-Undang Dasar 1945, di mana penerapan pembagian kekuasaan di Indonesia terdiri atas dua bagian tanpa menekankan pemisahaannya, yaitu : pembagian kekuasaan negara secara horizontal dan pembagian kekuasaan negara secara vertikal. Indonesia menganut sistem pembagian kekuasaan, karena Indonesia merupakan negara yang kedaulatan tertingginya berada pada rakyat. Sehingga, segala jenis penjalanan pemerintahan— baik dari sistem legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus sesuai dengan keinginan rakyat. Sementara itu, wakil rakyat adalah pemegang kekuasaan legislatif, yang diisi oleh DPR, MPR, dan DPD.