Ilmu Perundang-Undangan - Pewajoi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU) UAS TAKE HOME EXAM (THE) SEMESTER 2020/21.1 (2020.2)



Nama Mahasiswa



: PEWAJOI



Nomor Induk Mahasiswa/NIM



: 041453201



Tanggal Lahir



: SOPPENG, 15 JUNI 1999



Kode/Nama Mata Kuliah



: ISIP4131 /Sistem Hukum Indonesia



Kode/Nama Program Studi



: 311/Ilmu Hukum



Kode/Nama UPBJJ



: 89/Ternate



Hari/Tanggal UAS THE



: Sabtu, 16 januari 2021



Tanda Tangan Peserta Ujian



Petunjuk



1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini. 2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik. 3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan. 4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.



KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN



UNIVERSITAS TERBUKA



Surat Pernyataan Mahasiswa Kejujuran Akademik



Yang bertanda bawah ini:



tangan



di



Nama Mahasiswa



: PEWAJOI



NIM



: 041453201



Kode/Nama Mata Kuliah



: ISIP4131 /Sistem Hukum Indonesia



Fakultas



: ILMU HUKUM



Program Studi



: S1



UPBJJ-UT



: 89/Ternate



1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman https://the.ut.ac.id. 2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun. 3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian UAS THE. 4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan saya). 5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka. 6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.



16, januari 2020 Yang Membuat Pernyataan



PEWAJOI



1. A. Sesungguhnya tidak tepat untuk memperhadapkan secara frontal antara strategi kodifikasi dan modifikasi. Sebab, modifikasi adalah strategi yang tak bisa dihindari karena selalu dilakukan pada semua kodifikasi. Di dalam KUH Perdata, KUH Dagang, dan KUH Pidana sudah terdapat sekian banyak pasal baru yang dicabut, diubah, atau ditambahkan melalui undang-undang susulan. Pak Radhie rupanya tidak cukup sabar dengan strategi ‘tambal sulam’ seperti itu, yakni sekadar mengutak-atik kodifikasi secara parsial. Beliau ingin ada langkah yang lebih komprehensif untuk membentuk kitab undang-undang yang baru versi Indonesia merdeka. Kodifikasi pada hakikatnya penting terutama sebagai tempat diletakkannya asas-asas hukum yang berlaku umum bagi area hukum tersebut. Asas hukum sesungguhnya tidak harus diformulasikan secara legal dalam dokumen hukum yang otoritatif, semacam peraturan perundang-undangan. Sebagian besar asas hukum lahir dari doktrin atau pendapat ahli yang kerapkali dituangkan di dalam buku-buku teks hukum. Oleh sebab itu, tidak mengherankan ada asas hukum yang berbahasa Latin, Inggris, Prancis, Jerman, dan sebagainya karena mengacu pada tulisan para pakar hukum negara tersebut. Substansi kodifikasi dengan demikian harus ditempatkan sebagai lex generalis untuk suatu area hukum. KUHP adalah lex generalis bagi hukum pidana material dan KUHAP adalah lex generalis bagi hukum pidana formal. Jadi, bilamana ada undang-undang lain yang mengatur hukum pidana formal di luar KUHAP, maka seharusnya ketentuan undang-undang lain ini dapat diasumsikan merupakan lex specialis dari KUHAP. Sayangnya, sangat jarang ada penegasan di dalam suatu undang-undang sektoral tadi yang secara tegas menyatakan dirinya adalah lex specialis, sehingga berpotensi menimbulkan tafsir yang berbeda-beda. Sebagai contoh, apakah prosedur pertanggungjawaban perusahaan pers di dalam Undang-Undang tentang Pers dapat dianggap lex specialis dari KUHAP? Jika ada seseorang menilai bahwa suatu pemberitaan sudah mencermarkan nama baiknya, apakah ia



dapat langsung melaporkan ke polisi dengan mengacu pada Pasal 315 KUHP? Apakah kalangan pers dapat menyatakan bahwa prosedur pelaporan ke polisi tersebut telah salah prosedur karena melanggar Undang-Undang Pers. Di dalam undang-undang ini diatur mengenai hak jawab dan hak koreksi. Apakah penggunaan hak jawab dan hak koreksi ini masih berada dalam area hukum pidana atau sudah di luar hukum pidana? Kebingungan ini pada ujungnya membutuhkan petunjuk dari otoritas pengadilan, yang antara lain mendorong lahirnya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2008 yang pada intinya memberi preferensi kasus-kasus seperti ini diawali dengan mendengar/meminta keterangan ahli dari Dewan Pers. Di sini terlihat bahwa modifikasi yang mengarah pada pembentukan lex specialis tidak selalu mulus apabila tidak dibangun dalam suatu desain hukum nasional yang komprehensif dan terpadu. Lebih jauh lagi, desain ini juga tidak akan jalan tanpa kejelasan politik hukum nasional. Kodifikasi pada hukum-hukum yang bersifat mendasar sebenarnya berfungsi untuk memaparkan desain hukum nasional kita, agar dapat menjadi arah pada hukum-hukum sektoral.  B. Metode Omnibus tidaklah sama dengan Metode kodifikasi yang biasa digunakan di Indonesia, metode ini merupakan metode modifikasi. mengharapkan modifikasi penyusunan RUU dengan metode ini, jangan sampai merusak sistem hukum dan perundang-undangan indonesia. Jadi, penyusunannya tetap harus mengacu teknis pembentukan yang diatur dalam UU 12 Tahun 2011.  Hal senada diungkapkan oleh Bayu menurutnya, metode omnibus yang saat ini digunakan dalam RUU Cipta Kerja bukan merupakan contoh awal yang baik untuk dijadikan pedoman dalam pembentukan RUU omnibus yang lainnya. Lebih lanjut Bayu mengatakan seharusnya pemerintah lebih fokus melanjutkan agenda reformasi regulasi di periode pertama, seperti yang disebutkan oleh Jokowi dalam sesi debat Calon Presiden 2019-2024 dulu,



yang akan membentuk Pusat Legislasi Nasional. Jadi, solusi hiperregulasi dan disharmoni/tumpang-tindih regulasi bukan Omnibus tetapi ketiadaan lembaga yang khusus menangani permasalahan peraturan perundangUndangan di Indonesia.  Adapun Peneliti PSHK Fajri menyatakan RUU Cipta Kerja kontraproduktif dengan agenda reformasi regulasi, khususnya dalam menyederhanakan jumlah peraturan perundang-undangan. Fajri juga menyoroti



proses



pembentukan



RUU Omnibus Cipta



Kerja



yang penyusunannya dilakukan secara tertutup sehingga mengabaikan aspek pembentukan peraturan yang harus transparan dan partisipatif. Fajri juga menyampaikan



bahwa



PSHK



mendesak



Presiden



menunda



pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja dengan menarik Surat Presiden (Supres), RUU, dan Naskah Akademik RUU Cipta Kerja. 2. A. Peraturan menteri dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang



Pembentukan



Peraturan



Perundang-undangan (selanjutnya



saya



sebut



sebagai UU No. 12/2011) tidak diatur dalam ketentuan Pasal ayat (1). Namun demikian, jenis peraturan tersebut keberadaannya diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12/2011, yang menegaskan: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah



Provinsi,



Gubernur,



Dewan



Perwakilan



Rakyat



Daerah



Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.” . daerah, karena kedudukan lembaga kementerian sebagai pembantu presiden yang menjalankan garis kebijakan umum yang telah ditentukan dan



ruanglingkup keberlakuan peraturan menteri berskala nasional serta materi muatan yang diatur dalam peraturan menteri merupakan penjabaran secara langsung



dari



undang-undang,



peraturan



presiden



dan



peraturan



pemerintah.bahwa kedudukan peraturan menteri mempunyai derajat yang lebih tinggi dari peraturan. B. Dalam teori mengenai jenjang norma hukum, “Stufentheorie”, yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, bahwa norma-norma hukum itu berjenjangjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan).29 Teori tersebut juga tercermin dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagaimana tertuang pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011). Fungsi peraturan perundang-undangan jika dikaitkan dengan hukum sebagai sebuah ideal ialah mencegah timbulnya kesewenangwenangan oleh penguasa terhadap warga negara.30 UU 12/2011 merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Sebagai penyempurnaan terhadap Undang-Undang sebelumnya, terdapat materi muatan baru yang ditambahkan dalam UU 12/2011, antara lain: penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis 29 Maria Farida Indrati Soeprapto, Op.cit, hal. 57. 30 Titon Slamet Kurnia, Op.cit, hal 50. 23 peraturan perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan pada posisi kedua setelah UUD 1945.31 Secara umum UndangUndang tersebut memuat materi-materi pokok yang disusun secara sistematis, yaitu: asas pembentukan peraturan perundang-undangan, jenis, hierarki, dan materi muatan peraturan perundang-undangan, perencanaan peraturan perundangundangan, penyusunan peraturan perundang-undangan, teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang, pembahasan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota, dan pengundangan peraturan perundangundangan,



penyebarluasan, partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dan ketentuan lain-lain yang memuat mengenai pembentukan Keputusan Presiden dan lembaga negara serta pemerintah lainnya.32 Tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan penetapan, serta pengundangan merupakan langkah-langkah yang pada dasarnya harus ditempuh dalam pembentukan peraturan perundangundangan. Namun, tahapan tersebut tentu dilaksanakan 31 Achmad Edi Subiyanto, Menguji Konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Lex Jurnalica, Volume 11 Nomor 1, April 2014, hal 13. 32 Ibid. 24 sesuai dengan kebutuhan atau kondisi serta jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan tertentu yang pembentukannya tidak diatur dengan Undang-Undang tersebut, seperti pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, atau pembahasan pancangan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011. C. Pembentukan peraturan daerah (perda) merupakan wujud kewenangan yang diberikan kepada pemerintahan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Daerah menjadi salah satu alat dalam melakukan transformasi sosial dan demokrasi sebagai perwujudan masyarakat daerah yang mampu menjawab perubahan yang cepat dan tantangan pada era otonomi dan globalisasi saat ini serta terciptanya good local governance sebagai bagian dari pembangunan yang berkesinambungan di daerah (Siti Masitah, 427:2014). Atas dasar itu pembentukan peraturan daerah harus dilakukan secara taat asas. Agar pembentukan perda lebih terarah dan terkoordinasi, secara formal telah ditetapkan serangkaian proses yang harus dilalui yang meliputi proses perencanaan, proses penyusunan, proses pembahasan, proses penetapan dan pengundangan. Salah satu yang harus



mendapatkan perhatian khusus oleh organ pembentuk perda adalah proses perencanaan, pada proses ini sangat membutuhkan kajian mendalam, apakah suatu pemecahan permasalahan di daerah harus diatur dengan perda atau cukup dengan bentuk produk hukum daerah lainnya. Dalam proses perencanaan ini pula dapat diketahui bagaimana landasan keberlakuan suatu perda baik secara filosofis, sosiologis maupun yuridis yang biasanya dituangkan dalam suatu penjelasan atau keterangan atau Naskah akademik, yang untuk selanjutnya dimuat dalam Program Legislasi Daerah/ Program Pembentukan Peraturan Daerah (lihat ketentuan Pasal 403 UU Nomor 23 Tahun 2014). 3.



A.



Peraturan



Pemerintah



Pengganti



Undang-undang



(“PERPPU”) merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagaimana yang disebut dalam Pasal 22 ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 (“UUD 1945”) dan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (“UU 12/2011”). Penjelasan lebih lanjut mengenai PERPPU dapat Anda simak dalam artikel-artikel berikut: 1.    Kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) 2.    Syarat-Syarat Penetapan PERPPU oleh Presiden 3.    Prosedur Penolakan dan Pencabutan PERPPU  Bicara soal ketentuan pidana dalam PERPPU, maka hal tersebut menyangkut soal materi muatan dalam PERPPU. Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau norma perintah. Demikian yang dijelaskan dalam Angka 112 Lampiran 12/2011. Pasal 15 UU 12/2011 telah dengan jelas menyebut bahwa ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam undang-undang (“UU”) dan Peraturan Daerah (“Perda”):  



(1) Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam: a.    Undang-Undang; b.    Peraturan Daerah Provinsi; atau c.    Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (3) Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya. B. Maria Farida Indrati Soeprapto dalam bukunya berjudul Ilmu PerundangUndangan: Proses dan Teknik Pembentukannya (hal. 138) mengatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. Pencabutan peraturan perundangundangan dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi itu dilakukan jika peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi itu dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian materi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang dicabut itu. 4. Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara terdiri atas 23 halaman. Juga Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN mengamanatkan bahwa semua BUMN yang Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN ini terdiri dari 11 Bab dan 95 Pasal. Penjelasan berbentuk Perusahaan Jawatan (Perjan) (dahulu ada PJKA, Perusahaan Jawatan Kereta Api) untuk diubah bentuknya menjadi Perum atau Persero, dalam waktu 2 tahun. Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik



Negara pada pokoknya mengatur tentang : 1.



Persero;



2.



Perum;



3.



Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Pembubaran BUMN;



4.



Kewajiban Pelayanan Umum;



5.



Satuan Pengawasan Intern, Komite Audit, dan Komite Lain;



6.



Pemeriksaan Eksternal; dan



7.



Restrukturisasi dan Privatisasi.