Inkontinensia Urine Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahan–lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses yang terus menerus berlanjut secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup. Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat kecepatan yang berbeda, di dalam parameter yang cukup sempit, proses tersebut tidak tertandingi. Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem pencernaan. Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh , lebih mudah terkena konstipasi merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut.



1



Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai. Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama lain . Proses menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan



(impairment),



keterbatasan



fungsional



(functional



limitations),



ketidakmampuan (disability), dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduran. Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh, dan adanya inkontinensia baik urine maupun tinja merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai. Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau inkontinensia jarang dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa, malu atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada dokter, dianggap sesuatu yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urine bukan penyakit, tetapi merupakan gejala yang menimbulkan gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup (Rochani, 2002). Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko 2



terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).



2.2 Tujuan 1. Mengetahui dan memahami mengenai definisi inkontinensia urin pada lanjut usia. 2. Mengetahui dan memahami mengenai etiologi inkontinensia urin pada lanjut usia. 3. Mengetahui dan memahami mengenai faktor predisposisi atau faktor pencetus inkontinensia urin pada lanjut usia. 4. Mengetahui dan memahami mengenai patofisiologi inkontinensia urin pada lanjut usia. 5. Mengetahui dan memahami mengenai tanda dan gejala inkontinensia urin pada lanjut usia. 6. Mengetahui dan memahami klasifikasi dari inkontinensia urin 7. Mengetahui dan memahami mengenai pemeriksaan penunjang pada lanjut usia. 8. Mengetahui dan memahami mengenai pathway inkontinensia urin pada lanjut usia. 9. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan dan asuhan keperawatan inkontinensia urin pada lanjut usia.



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002). Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya,yang mengakibatkan masalah social dan higienis penderitanya (FKUI, 2006). Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine adalah kondisi keluarnya urin tak terkendali yang dapat didemonstrasikan secara obyektif dan menimbulkan gangguan hygiene dan social.



2.2 Epidemiologi Perempuan lebih sering mengalami inkontinensia urin daripada laki-laki dengan perbandingan 1,5:1 . Survei yang dila kukan oleh Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo di Poliklinik Geriatri RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (2003) terhadap 179 pasien geriatri mendapatkan angka kejadian inkontinensia urin tipe stres pada laki-laki sebesar 20,5% dan perempuan sebesar 32,5%. Sedangkan hasil penelitian di India terhadap 3000 wanita berbagai umur menunjukkan bahwa prevalensi inkontinensia urin sebesar 21,8% dan 42,8% nya memiliki usia 61-70 tahun 1,2 2.3 Etiologi Seiring dengan bertambahnya usia, terjadi beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ untuk berkemih, antara lain melemahnya otot dasar panggul akibat multigravida, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab inkontinensia urin antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. 4



Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan terapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Inkontinensia urin juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein. Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat. Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya yang menjadi faktor pencetus inkontinensia urin. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat. Golongan obat yang berkontribusi pada inkontinensia urin, antara lain, diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam inkontinensia urin. Kafein dan alkohol juga berperan dalam terjadinya inkontinensia urin. Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urin juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena tertekan selama masa mengandung. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urin. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urin. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua



5



seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.



2.4 Patofisiologi Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain: 1. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem Perkemihan Vesika Urinaria (Kandung Kemih). Kapasitas kandung kemih yang normal sekitar 300-600 ml. Dengan sensasi keinginan untuk berkemih diantara 150-350 ml. Berkemih dapat ditundas 1-2 jam sejak keinginan berkemih dirasakan. Ketika keinginan berkemih atau miksi terjadi pada otot detrusor kontraksi dan sfingter internal dan sfingter ekternal relaksasi,yang membuka uretra. Pada orang dewasa muda hampir semua urine dikeluarkan dengan proses ini. Pada lansia tidak semua urine dikeluarkan, tetapi residu urine 50 ml atau kurang dianggap adekuat. Jumlah yang lebih dari 100 ml mengindikasikan adanya retensi urine. Perubahan yang lainnya pada peroses penuaan adalah terjadinya kontrasi kandung kemih tanpa disadari. Wanita lansia, terjadi penurunan produksi esterogen menyebabkan atrofi jaringan uretra dan efek akibat melahirkan mengakibatkan penurunan pada otot-otot dasar (Stanley M & Beare G Patricia, 2006). 2. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin.



2.5 Manifestasi Klinis a. Inkontinensia stres: keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan sebagainya. Gejala-gejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia stres. b. Inkontinensia urgensi: ketidakmampuan menahan keluarnya



urin dengan



gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih. c. Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi (pancara lemah, menetes), trauma (termasuk pembedahan, misalnya reseksi abdominoperineal), fistula (menetes terus- menerus), penyakit neurologis (disfungsi seksual atau usus 6



besar) atau penyakit sistemik (misalnya diabetes) dapat menunjukkan penyakit yang mendasari.



2.6 Klasifikasi Terlampir 1. Inkontinensia urin stress (stres inkontinence). Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal, seperti pada saat batuk, bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia di bawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak. 2. Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence). Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan berkemih. Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai ikontinensia urin tipe lain sehingga penanganannya tidak tepat. 3. Inkontinensia urin luapan / overflow (overflow incontinence). Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya



7



mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh. 4. Inkontinensia urin fungsional. Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran urin akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia berat, masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang menyebabkan kesulitan untuk pergi ke kamar mandi, dan faktor psikologis. Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul dengan berbagai gejala dan gambaran urodinamik lebih dari satu tipe inkontinensia urin. Penatalaksanaan yang tepat memerlukan identifikasi semua komponen.



2.7 WOC (Terlampir)



2.8 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Penunjang Inkontinensia Urine menurut (Soeparman&Waspadji S, 2001). Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih. a. Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria. Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosasitol. b. Catatan Berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urine dan tidak inkontinensia urine, dan gejala berkaitan denga inkontinensia urine. Pencatatan pola berkemih tersebut dilakukan selam 1-3 hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau respons terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan pasien faktor pemicu. c. Laboratorium tambahan 8



Kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi.



d. Tes urodinamik Untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah.



e. Tes tekanan urethra Mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dianmis.



f. Radiologi Imaging --> tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.



2.8 Komplikasi Inkontinensia urin dapat menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, lecet pada area bokong sampai dengan ulkus dekubitus karena selalu lembab, serta jatuh dan fraktur akibat terpeleset oleh urin yang tercecer. 2.9 Penatalaksanaan Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot dasar panggul adalah terapi non operatif yang paling populer, selain itu juga dipakai obat-obatan, stimulasi dan pemakaian alat mekanis. Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. 



Terapi non farmakologi Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia



urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lainlain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah: 



Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam,



9



selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam. 



Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.







Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).







Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan cara :







Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali, dan berputar searah dan berlawanan dengan jarum jam ± 10 kali.







Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10 kali.



Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik. 



Terapi farmakologi 



Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine.







Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.







Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.







Terapi pembedahan Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila



terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini 10



dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita). 



Modalitas lain Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan



inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan bedpan. 



Pampers Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan sudah



tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin. Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi. 



Kateter Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih.







Alat bantu toilet Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut akan menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikan kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.



2.10 Prognosis



11







Inkontinensia urin tipe sterss biasanya dapat diatasi dengan latihan otot dasar panggul, prognesia cukup baik.







Inkontinensia urin tipe urgensi atau overactive blader umumnya dapat diperbaiki dengan obat – obat golongan antimuskarinik, prognosis cukup baik.







Inkontinensia urin tipe overflow, tergantung pada penyebabnya (misalnya dengan mengatasi sumbatan / retensi urin).



2.11 Asuhan Keperawatan Pengkajian 1.



Identitas klien Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada lansia (usia



ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya. 2.



Riwayat kesehatan



-



Riwayat kesehatan sekarang Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan saat ini.



Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului inkonteninsia (stres,



ketakutan,



tertawa,



gerakan),



masukan



cairan,



usia/kondisi



fisik,kekuatan



dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan. -



Riwayat kesehatan masa lalu Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya,



riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit. -



Riwayat kesehatan keluarga



12



Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan. 3.



Pemeriksaan fisik



a



Keadaan umum Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari



terjadinya inkontinensia b -



Pemeriksaan Sistem B1 (breathing) Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen



menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi. -



B2 (blood) Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah



-



B3 (brain) Kesadaran biasanya sadar penuh



-



B4 (bladder)



Inspeksi: periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya.



13



Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing. -



B5 (bowel) Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen,



adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal. -



B6 (bone) Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain,



adakah nyeri pada persendian. 4.



Data penunjang



a



Urinalisis



b



Hematuria.



c



Poliuria



d



Bakteriuria.



5.



Pemeriksaan Radiografi



a



IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan ureter.



b



VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan fungsi VU,



melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi prostat), mengkaji PVR (Post Voiding Residual). 6.



Kultur Urine



a



Steril.



b



Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml). 14



c NO 1



Organisme. NANDA



NOC



NIC



Inkontinensia



1. Inkontinensia urin



1. Manajemen eliminasi urin



urin refleks



dapat di manajemen



2. Perawatan inkontinensia



2. Penuanan spesifik



urin



dirawat



3. Membantu perawatan untuk



3. Eliminasi membaik 2.



Gangguan eliminasi urine



1. Eliminasi urine Indikator :



toileting 1.



Manajemen urine



Aktivitas :



 Pola eliminasi in







Timbang BB tiap hari



expected range







Hitung haluaran







Pertahankan



 Bau urin in expected range  Jumlah urin in expected range  Warna urin in expected range



intake



akurat 



Pasang kateter urin







Monitor



(seperti



status



:kelebapan







 Kejernihan urin



termasuk CVP,MAP, PAP



 Pencernaan cairan yang







 Keseimbangan intake dan output dalam 24 jam  Urin yang keluar disertai nyeri  Urin yang tak lancar keluar  Urin yang keluar dengan tergesa-gesa  Pengawasan urin  Pengosongan kandung



hidrasi mukosa



membrane, nadi)



 Partikel urin yang bebas



adekuat



yang



Monitor status hemodinamik



Monitor hasil lab. terkait



retensi cairan (peningkatan BUN, Ht ↓) 



Monitor TTV







Monitor



adanya



indikasi



retensi/overload cairan (seperti : edem, asites, distensi vena leher) 



Monitor perubahan BB klien



sebelum dan sesudah dialisa 



Monitor status nutrisi







Monitor respon pasien untuk



meresepkan terapi elektrolit 



Kaji lokasi dan luas edem



15



kemih dengan lengkap







Anjurkan klien untuk intake



oral 



Distribusikan cairan > 24



jam 



Tawarkan snack(seperti : jus



buah) 



Konsultasi dengan dokter,



jika gejala dan tanda kehilangan cairan makin buruk 



Kaji



ketersediaan



produk



darah untuk trsanfusi 



Persiapkan



untuk



administrasi produk darah 



Berikan terapi IV







Berikan cairan







Berikan diuretic







Berikan cairan IV







Nasogastrik



untuk



mengganti kehilangan cairan 



3.



Resiko infeksi



1.



Kontrol resiko



Produk darah



1. Pengontrolan infeksi



Indikator :



Aktivitas :







Menyatakan resiko



 Ciptakan lingkungan ( alat-







Memantau faktor



alat, berbeden dan lainnya)



resiko lingkungan



yang nyaman dan bersih



Memantau faktor



terutama setelah digunakan



resiko perilaku pribadi



oleh pasien



 







Mengembangkan



 Gunakan alat-alat yang baru



strategi kontrol risiko



dan berbeda setiap akan



yg efektif



melakukan



Menyesuaikan strategi



keperawatan ke pasien



kontrol risiko yg



 Isolasikan



tindakan



pasien



yang



16



dibutuhkan 



terkena penyakit menular  Tempatkan



Melakukan strategi







harus diisolasi yang sesuai



Mengikuti strategi



dengan kondisi pasien  Batasi jumlah pengunjung



dipilih



sesuai kondisi pasien  Ajari klien untuk mencuci



Modifikasi gaya hidup







untuk menurunkan



tangan sebagai gaya hidup



resiko



sehat pribadi  Instruksikan



Menghindari paparan







yang



kontrol risiko



kontrol risiko yg 



pasien



klien



untuk



ancaman kesehatan



mencuci tangan yang benar



Berpartisipasi dalam



sesuai dengan yang telah



skrining masalah



diajarkan  Instruksikan



kesehatan yang berhubungan



pengunjung



kepada untuk



selalu



mencuci tanagn sebelum dan sesudah memasuki ruangan pasien  Gunakan sabun antimikroba untuk proses cuci tangan  Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan kepada pasien



3.



Ketidakefektifan manajemen regimen



1. Fungsi keluarga



1. Keterlibatan keluarga



Indikator : 



Merawat anggota



Aktivitas : 



Identifikasi



terapeutik



keluarga yang



keluarga



keluarga



tergantung



pasien







Mengatur prilaku







Menunjukkan peran yang diharapkan



dalam



merawat



Tentukan sumber fisik emosi dan pendidikannya



anggota keluarga 



kemampuan







Identifikasi



penurunan



perawatan diri pada pasien 17



 



Menerima perubahan







dan ide baru



keluarga



Beradaptasi dengan



pasien



transisi







mental



 



Mengikutsertakan



Identifikasi



harapan



Monitor struktur dan peran



Berikan informasi kepada







Fasiliatasi



pemahaman



anggota keluarga



keluarga



dalam proses



medis penyakit



pemecahan masalah



merawat



keluarga tentang pasien



diharapkan 



dalam



keluarga



Beradaptasi dengan krisis yang tidak



keinginan



keluarga terhadap pasien



perkembangan 



Identifikasi







tentang



aspek



Identifikasi persepsi anggota keluarga



secara



individu



tentang situasi dan kejadian pencetus 



Identifikasi pemahaman dan keyakinan keluarga tentang situasi



4



Kerusakan



Setelah dilakukan



Integritas



kulit Tindakan keperawatan



1. Yakinkan apakah konseling dilakukan dan atau perlu diversi



yang



Selama …x 24 jam



urinaria, diskusikan pada saat



berhubungan



diharapkan gangguan



pertama.



dengan konstan urine



irigasi Body image oleh Pasien teratasi dengan Kriteria hasil:



2. Dorong pasien / orang terdekat untuk mengatakan perasaan. Akui kenormalan perasaan



1. Body image positif



marah, depresi, dan kedudukan



2. Mampu



karena kehilangan. Diskusikan



3. Mengidentifikasi



“peningkatan dan penurunan”



4. Kekuatan personal



tiap hari yang dapat terjadi



5. Mendiskripsikan



setelah pulang.



6. Secara faktual



3. Perhatikan perilaku menarik diri,



18



7. Perubahan fungsi



peningkatan ketergantungan,



8. Tubuh



manipulasi atau tidak terlibat



9. Mempertahankan Interaksi



pada asuhan.



social



4. Berikan kesempatan untuk pasien / orang terdekat untuk memandang dan menyentuh stoma, gunakan kesempatan untuk memberikan tanda positif penyembuhan, penampilan, normal, dsb 5. Berikan kesempatan pada klien untuk menerima keadaannya melalui partisipasi dalam perawatan diri. 6. Pertahankan pendekatan positif, selama aktivitas perawatan, menghindari ekspresi menghina atau reaksi mendadak. Jangan menerima ekspresi kemarahan pasien secara pribadi. 7. Rencanakan / jadwalkan aktivitas asuhan dengan orang lain.



5



Gangguan



Citra Setelah diberikan tindakan



tubuh



asuhan keperawatan selama ….x24 jam diharapkan kerusakan integritas kulit



Mandiri 1. Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8 jam. 2. Ganti wafer stomehesif setiap



dapat teratasi



minggu atau bila bocor



dengan kriteria hasil:



terdeteksi.



1.



3. Yakinkan kulit bersih dan



2. 1. Integritas kulit yang baik



kering sebelum memasang



2. Mampu melindungi kulit



wafer yang baru. Potong lubang



dan mempertahankan



wafer kira-kira setengah inci



19



kelembapan kulit dan



lebih besar dar diameter stoma



perawatan alami



untuk menjamin ketepatan



4. Menunjukkan pemahaman



ukuran kantung yang benar-



dalam proses perbaikan kulit



benar menutupi kulit



dan mencegah terjadinya



periostomal.



cedera berulang



4. Kosongkan kantung urostomi



5. Kulit periostomal tetap utuh.



bila telah seperempat sampai setengah penuh.



BAB III PENUTUP



20



3.1 Kesimpulan Inkontinensia urine merupakan keluhan yang banyak dijumpai pada lanjut usia. Prevalensi meningkat dengan bertambahnya umur, lebih banyak didapat pada wanita dan pada penderita lansia yang dirawat dibangsal akut. Pengelolaan dan tindakan keperawatan lansia yang mengalami inkontinensia urine dimulai antara lain dengan membedakan apakah secara garis besar penyebab dari segi urologi atau masalah neurologi. Kemudian penting untuk diketahui apakah inkontinensia terjadi secar akut dan kronik .



DAFTAR PUSTAKA



21



Potter, Patricia A. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Proses dan praktik. Ed. 4.Jakarta: EGC Hidayah, a. Aziz Alimul.2007. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan (Edisi 2). Jakarta: Salemba Medika. Stanley, Mickey dan Patricia G. Beare. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta: EGC Doengoes, Marilynn E. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Darmojo B. 2009. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hariyati, Tutik S. (2000). Hubungan antara bladder retraining dengan proses pemulihan inkontinensia urin pada pasien stoke. Diakses dari http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=76387&lokasi=lokal pada tanggal 15 April 2017



22