Islam Dan Kebudayaan by Ismail Raji Al Faruqi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENERBIT MTZAN



lslam dan Kebudayaan Ismail R. Al-Faruqi



(r



ST]ru PIRADABAN ISTAM



L



lfuidf



bh! llu



Mlninrc



dt! Sed'Pifh f,rnl lrinrYr Ali



SYari'ati



2. lCrr &r XcbrdrYu



-



Isrnarl



Faruqi



ltr



3. ltuue Peqldifo drhr



S- fqfl?iti



Perbiuu



Spd Muhammad



l.



R



EAt



ir lbr



FUx Pa|&r hr



{-tlry1l



Etooori:



{f1l11ar



hll



l{d



SiLdr



t{tlt! H1q' Nl1 f*rya ltlu Dcpn ?rnlrbr syo



5



llrt



Ziruddio Sardrr



6. tu*tj.J



ltr- r.rd



tidt' AlQrr' ar



trhurirc Bwailh



't. rrrly"JJ &" th,.l erT.al



&il br rllllrninc



liryr



Murradha Muthahha.i



8. Trdlqu



thir



Mc{u$l



ldro Atrd 2t



lrtor-



;



Ziauddin Sardal



9. F&rht'$rir ocrnl



A{lru



Mahdi GhulsYani



10.



Mcrhqlr [t{s DcF. l&r ulol Pn ldelcllul Mrdr



3



?cru



Ali Svan'ati



lf



Islarn dan Kebudayaan Icmail R. Al-Faruqi



al AI



w



"ElqEnqry



lE!f,



XHAZANAT{ LMU,ILMU ISI.AM



Diterjemahkan dari buku lslam and Culture karya lsmail R. Faruqi,



terbitan Angkatan Belia lslam Malaysia (ABIM) Kuala Lumpur Penerjemah: Yustiono Penyunting : Jalaluddin Rakhmat Hak terjemahan dilindungi undang-undang All rights reservecl Cetakan pertama 1404t',t984 Cetakaii Kedua, Sya'ban 1409/Maret 1989 Cetakan Ketiga, Rajab 141 1/Januari 1991 Cetaken Keempat, Shafar 1413/Agustus 1992 Cetakan Kelima,



Dzulqa'dah 141 3/Mei 1993 Diterbilkan oleh Penerbii Mizan Anggota IKAPI



Jln. Yodkali No. 16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038 Desain sampul: Gus Ballon



ISI



i. II. III. IV. V.



tsUKIJ



BUKAN RELATIVISME - ? KT]BUDAYAAN ISI,AM DAN 'URUBAFI



-



15



PANDANGAN TERHADAP KENYATA.



AN POKOK



:25



PANDANGAN TERHADAP KEBENAR.



AN-30



PANDANGAN TER}IADAP MANT'SIA



_36



Vtr.



PANDANGAF] TERHADAP ALAM _ 46 A. Susunan Alam - 48 B. Teleologi Alam -- 54 C. Alam sebagai Rumah Suci b6



VII.



PANDANGAN TBRT{ADAP MASYARAKAT DAN SEJARAH * 59 PANDANGAJ.J 'TERHNDAP KEINDAHAN -- 69



VIII.



I. BUKAN RELATIVISME Kebudayaan adalah hesadaran akan nilai-nilai dalam kesemestaannya, yang pada tinglut terendah mengandung nnkns ruatu keradaran inhlitif dari identi* nilni dan urutan tingkat yang seeungguhnya dari setiap nilai, serta kewajiban seseomng untuk mengejar. dan mewujudkan nilainilai itu. Sedangkan pada tingkat tertinggi, kesadaran akan nilai ini menyiratkan, selain yang disebut di atas, pengetahiran yang luas akan nilai-nihi, hubungan timbal-balik dan tingkatan-tingkatannya, sejarah proses perkembangan yanS dengannya kesadaran akan nilai-nilai itu mencapai tingkat kesadaran tersebut di atas, dan juga komitmen kolektif kesadaran diri ke arah pencapaian dan perwujudan kesemestsan nilai itu. Kesadaran terhadap suatu nilai tidaklah dengan sendirinya berarti'ke-



l).



"Kebudryaan" sering diterjemahkan *,bagai tmqalelt yang berarti tindakan menjadi lebih cerdes atau bctpengetahuan. Yang lebih tepat adalah isdlah adob; yul.g dalam tradisi klasik berartl ftrrsn (keindehen, kcbdken), perhetaan, dkep dan perbuat' an, sebagaimanr Nabl san'. berkata tentang di,rnya "Allah telah memberlku kebudayaanku. la teloh membuanya meniadi kehudayaan yong baik."



budayaan. Kebudayaan adalah perspektif kenyata-



an nilai yang tidak mungkin diperoleh tanpa



pe-



ngamatan yang menyeluruh terhadapnya. Apa yang sering disebut axiology monistic - baik berupa tata-tingkah laku yang tumbuh pada masyarakat primitif, ataukah hd-hal yang secara samar-samar terdapat pada sejumlah "isrne" yang dipakai untuk



mengenal kehidupan atau kebudayaan di zarnan modem - bukanlah kesadaran akan nilai y4ng tunggal, melainkan penyusunan kembali seluruh nilai di bawah pengaruh nilai tunggal yang dikenal oleh aksiologi itu sebagai yang prima atau pertama, penentu dan pembafas bagi semua nilai lainnya. Karena itu, sangatlah mungkin membicarakan kebudayaan hedonisme - yang membatasi dan menempatkan semua nilai sesuai dengan peranannya terhadap kesenangan - atau kebtidayaan asceticism (kerahiban) - yang membatasi dan menempatkan semua nilai menurut peranannya terfuadap penafian pros€s kehidupan. Masing-masing merupakan perspektif yang berbeda dari keselumhan nilai. Hal yang sama juga berlaku bagr kebudayaan komunisme, sosialisme nasional dan demokrasi. Demikian pula halnya dengan kebudayaan-kebudayaan-kelompok seperti .Ierrnan, Italia, Prancis, India, Cina atau Jepang. Ivleskipun tidak sama dengan salah Batu dari Eemua jenis kebudayaan itu, kebudayaan Islarn adalah juga suatu perspektif



nilai. T\rlisan ini bertujuan untuk



rnenganalisis



kebudayaan trslam secara apa adar:ya dan mernbeberkan susunan terdalani dari nilai-nilai sebagaimana Islam memandangnya" 8



Batasan kebudayaan seperti di atas tidaklah lantas menyebabkan kita bc,rpandangan relativis_ !ik. Sebenarnyalah kedudukan Islam sangat ber_ lawanan dengan relativisme. Relativisme kebuda_ yaan menempatkan setiap kebudayaan menjadi suatu keselumhan yang mandiri, suatu susunan hirarki nilai-nilai sui generis (yang khas) yang, mes_ kipun bergantung pada pemaparan, kebal kritik berkat batasannya sendiri. Ia menolak kemungkin. an kritik atas dasar bahwa kriteria itu sendiri selalu ditentukan secara kultural dan, karenanya, terma_ suk golongan kebudayaan yang akan dinilai; oleh sebab itu tidaklah mungkin bagi manusia untuk menempatkan diri di atas kebudayaannya sendiri dan membangun semacarn' tata-cara suprakultural atau sistem kriteria dan norma-nonna yang dapat dipakai untuk mengkritik sejarah kebudayaan. Suatu kebudayaan, menurut relativisme, tidak dapat dikritik ataupun dibela, karena kenyataan .bu-



daya itu sudah mengandung pembelaannya sendiri. Pengkajian perbandingan agama, atau perbandipgan



peradaban, dalam banyak hal, mengalami kesulitan yang sama, yakni selalu bersifat deskriptif. Ia hanya melaporkan, menganalisis, membandirrgkan dan memperbedakan penemuannya ke dalam berbagai kebudayaan, agama dan peradaban. Tetapi ia tidak mampu melakukan kritik, menimbang atau rnenilai data, karena kriteria yang memberi_ kan kemungkinan penilaian itu sendiri merupakan data yang dipermasalahkan. Kebudayaan, agama dan peradaban dikatakan sebagai mempunyaiotonomi sarna, mengakibatkan masing-masing merupa_



kan hakim bagi diri sendiri. Tentunya, maslng-masing menganggap dirinya bersifat universal., berhubungan dengan manusia apa adanya, berbicara tentang agama apa adanya. Sekalipun begittl, sernua relativisrne sesungguhnya menyatakan bahwa seluruh pandangan mereka salah; karena meskipun menganggap diri universal, kenyataannya mereka bersifat propinsialisrne (sr'rbyektif). Dalam penyelidi kannya tentang manusia, an tropo lo gi, psi ltologi, sejarah, sosiologi maupun filsatat - semua disiplin tersebut, di zaman modern kini, telah rnenurunkan keinglnannya untuk menguraikan manusia dan hakikat atau kebenaran secala sedemikian drastis. Mereka rnernbatasi pandangan pada analisis pervrujudan tertentu manusia, tentang pemikiran dzrn perilalrunya, tentang sistem idea dan kehidupannya yang tertentu pula. Tak satu pun di antaranya pada masa ini memiliki keberanian atau kekuatan rlntuk berbicara perihat manusia, hakikat, atau kebenaran sub specie eternitatis inl. Di sini bukanlah tempatnya untuk mernandang persoalan secara kritis, mengapa ruh Barat tiba pada pembatasan kemampuannya seperti ini atau bagairnana ia telah kehilangan keberanian dan mengundurkan diri dari upaya pencapaian tujuanttijuan skolastik Kristen atauputl tujuan-tujuan rasionalis Zarnan Pencerahannya. Cukuplah jika di sini ditekankan dua hal. Fertarnu, seperbi agama dan peradaban, ke!:udayaan tidak menganggap dirinya sebagai satu ttri ant'ara banyak hal, bukan sebagai sistem yang kebenaran dzur kedapat-hidupannya hanya seltaclar "trrltl-Elg!tt



kin.'n "Kebenaran yang mungkin" tidak mempu_ nyai pengikut yang rela mencurahkan seluruh hi_ dup dan tenaganya untuk mewujudkannya. Tentu saja tak satu prajurit pun mau menyerahkan hidupnya untuk itu. Jika misalnya pandangan [:eg-



bagai kebudayaan dan agama tranyaUfr "temungkinanu" maka tak.akan pernah teriaai kebudayaal-l dan agama tersebut menimbulkan dorongan tenaga yang mahabesar - mental, fisik, emosionaf * Uagi jutaan manusia selarna berabadqbad, yang dipei_ lukan untuk rrenegakkan, mengokohkan dan mengembangkennya" Sesungguhnyalah, kehadirarr kebudayaan menunjukkan kenyitaan bahwa basis kebudayaan ditegakkan di atas tonggak kepercayaan, pada keyakinan yang tak dapat diganggu-gugat tentang dunia tn toto (keseluruhan;, trat