Kajian Puisi Ipi 2018 PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Yayat Rasidi, S.Pd., M.Pd.



 Lahir di Garut 2 Mei 1960  SD Negeri Pangokokan 1 1971  SMP Negeri Bayongbong 1974  SPG Negeri Garut 1977  STKIP Garut 1998  UNIGAL Ciamis 2008  Alamat Jl. Garut-Bungbulang di Arinem Desa Jaya



Mekar Kec. Pakenjeng Garut  Istri Hj. Yayah Juariah, S.Pd  Anak enam  Cucu lima



1. Pengkajian Puisi, puisi sebagai karya seni dapat



dikaji dari struktur dan unsur-unsurnya, jenis-jenis dan ragamnya, serta kesejarahannya. 2. Puisi dan Pengertiaanya Puisi disebut sebagai karangan terikat terikat oleh banyak baris dalam tiap bait, banyak kata dalam tiap baris, banyak suku dalam baris, rima dan irama.



Gembala Perasaan siapa / tidakkan nyala Melihat anak / berlagu dendang Seorang saja / di tengah padang Tiada berbaju / buka kepala Beginilah nasib / anak gembala Berteduh di bawah / kayu nan rindang Semenjak pagi meninggalkan kandang Pulang ke rumah / di senja kala 1987)



(Yamin, dalam Jassin



3. Puisi dan Sajak Dalam kesusastraan Indonesia ada dua istilah puisi dan sajak. Puisi berasal dari bahasa Belanda poezie ada juga istilah lain gedicht yang berarti sajak. dalam bahasa Indonesia dahulu hanya dikenal sajak yang berarti poezie ataupun gedicht . dalam bahasa Inggris ada poetry untuk puisi dan poem untuk sajak. Sebaiknya puisi untuk gengrenya Puisi Chairil Anwar, sementara sajak untuk individunya sajak Aku.



4. Puisi itu Karya Seni Puisi sebagai karya seni akan membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas, menimbulkan keharuan puitis. Kepuitisan itu dapat dicapai dengan, bentuk visualnya: tipografi, susunan bait; dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, dan orkestrasi; dengan pemilihan kata (diksi): bahasa kiasan, sarana retorika, unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa dan sebagainya.



karya: Chairil Anwar Cintaku jauh di pulau gadis manis, sekarang iseng sendiri Perahu melancar, bulan memancar, di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar, angin membantu, laut terang, tapi terasa aku tidak kan sampai padanya. Di air yang terang, di angin mendayu, di perasaan penghabisan segala melaju Ajal bertahta, sambil berkata: “Tujukan perahu ke pangkuanku saja.” Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh! Perahu yang bersama ‘kan merapuh! Mengapa ajal memanggil dulu Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?! Manisku jauh di pulau Kalau ku mati, dia mati iseng sendiriSlide 1



Analisis Strata Norma Roman Ingarden  Roman Ingarden (filsuf Polandia) dalam bukuna Das



Literarische Kunstwerk menganalis puisi berdasarkan strata norma sbb: norma pertama adalah lapis bunyi suond stratum, lapis kedua berupa lapis arti units of meaning, lapis ketiga berupa latar, objek-objek yang ditemukan, dan dunia pengarang yang berupa cerita atau lukisan, lapis keempat lapis dunia, dan kelima lapis metafisis.



Lapis bunyi (sound stratum) Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi berfungsi dalam puisi untuk: - keindahan/hiasan puisi, - memperdalam ucapan, - menimbulkan rasa, - menimbulkan bayangan angan yang jelas, - menimbulkan suasana yang khusus, dsb.



PUSAT Toto Sodarto Bachtiar



Serasa apa hidup yang terbaring mati Memandang musim yang mengandung luka Serasa apa kisah sebuah dunia terhenti Padaku, tanpa bicara. Diri mengeras dalam kehidupan Kehidupan mengeras dalam diri Dataran pandang meluaskan padang senja Hidupku dalam tiupan usia. Tinggal seluruh hidup tersekat Dalam tangan dan jari-jari ini Kata-kata yang bersayap bisa menari Kata-kata yang pejuang tak mau mati.



Teori Simbolisme (Slamet Mulyana, 1965): - Kata itu menimbulkan asosiasi dan menciptakan tanggapan di luar arti yang sebenarnya. - Tugas puisi, mendekati kenyataan, dengan cara tak usah memikirkan arti katanya, melainkan mengutamakan suara, lagu, irama, dan rasa yang timbul karenanya, dan tanggapan-tanggapan yang mungkin dibangkit kannya. - Dalam puisi bunyi sebagai orkestrasi, ialah untuk mengalirkan perasaan, imaji-imaji dalam pikiran, atau pengalaman-pengalaman jiwa pembacanya (pendengarnya).



Euphony, kombinasi bunyi yang merdu, bunyi yang indah (kombinasi bunyi vokal asonansi: a, e, i, o, dengan bunyi konsonan bersuara voiced: b, d, g, j bunyi liquida: r, l dan bunyi sengau: m, n, ng, dan ny) menimbulkan bunyi merdu dan berirama (efoni) yang dapat mendukung suasana yang mesra, kasih sayang, gembira dan bahagia.



ADA TILGRAM TIBA SENJA W.S. RENDRA



Ada tilgram tiba senja Dari pusar kota yang gila Di semat di dada bunda. (BUNDA LETIHKU TANDAS KE TULANG ANAKANDA KEMBALI PULANG) Kapuk randu! Kapuk randu! Selembut tudung cendawan kuncup-kuncup di hatiku pada mengembang bermekahan. Dulu ketika pamit mengembara kuberi ia kuda bapaknya berwarna sawo muda cepat larinya jauh perginya.



Dulu masanya rontok asam jawa untuk apa kurontokan air mata? cepat larinya jauh perginya. lelaki yang kuat biarlah menuruti darahnya menghujam ke rimba dan pusar kota tinggal bunda di rumah menepuki dada melepas hari tua, melepas doa-doa cepat larinya jauh perginya. Elang yang gugur tergeletak Elang yang gugur terebah satu harapku pada anak ingat kan pulang pabila lelah



Kecilnya dulu meremasi susu kini letih pulang ke ibu hatiku tersedu hatiku tersedu. Bunga randu! Bunga Randu! anakku lanang kembali kupangku. Darah, o darah ia pun lelah dan mengerti artinya rumah Rumah mungil berjendela dua serta bunga di bendulnya bukankah itu mesra?



Ada podang pulang ke sarang tembangnya panjang berulang-ulang - pulang, ya pulang hai petualang! Ketapang, ketapang ya kembang berumpun di perigi tua anakku datang anakku pulang kembali kucium, kembali kuriba. (Balada Orang-orang Tercinta, 1959: 26 – 27)



KAKOPONI (cacophony) kombinasi bunyi yang tidak merdu, parau, penuh bunyi k, p, t, s kakoponi ini cocok untuk memperkuat suasana yang tidak menyenangkan, kacau balau, serba tak teratur, bahkan memuakkan. Jadi, suasana yang tergambar itu suasana yang kacau balau, suasana yang buruk, dan tidak menyenangkan. Suasana ini digambarkan diperkuat oleh bunyi-bunyi parau (bunyi konsonan tidak bersuara unvoiced) k, p, t, s dari awal sampai akhir.



SODOM DAN GOMORRHA Subagio Sastrowardoyo Tuhan tertimbun di balik surat pajak berita politik pembagian untung dan keluh tangga kurang air. Kita mengikut sebuah all night ball kertas berserak terompet berteriak muka pucat mengantuk asap asbak menyaput mata Tak terdengar pintu diketuk Kau Yippee! Rock – rock – rock Jam menunjuk tiga (Simphoni, 1975: 28)



Dalam puisi tugas atau fungsi bunyi kata adalah: 1. Simbol arti 2. Orkestrasi yang mendatangkan keindahan 3. Peniru bunyi atau onomatope 4. Lambang suara/rasa (klanksymboliek) 5. Kiasan suara (klankmetaphoor) Bila pemakaian bunyi tidak disesuaikan atau dihubungkan dengan peniru bunyi, kiasan bunyi, lambang rasa hanya sebagai hiasan dan permainan bunyi saja, tidak untuk mengefektifkan arti, maka akan kurang mempunyai daya ekspresi, bahkan akan menghilangkan kepuitisannya.



Unsur kepuitisan bunyi yang lain adalah sajak, sajak ialah pola estetika bahasa yang berdasar kan ulangan suara yang diusahakan dan dialami dengan sadar (Slamet Mulyana 1956 ) Ada bermacam-macam sajak (rima) sebagai unsur kepuitisan dalam puisi Indonesia adalah sajak akhir, sajak dalam, sajak tengah, aliterasi dan asonansi. Asonansi dan aliterasi berfungsi untuk orkestrasi, memperlancar ucapan, dan memperdalam rasa. Di manapun letaknya sajak, sajak akan memberikan dan memperkuat kepuitisan bila mengandung hakikat ekspresi dan daya evokasi.



Aliran simbolisme dan romantis yang memfungsikan bunyi dan sajak dalam memperkuat estetika, kemudian mendapat tantangan dari aliran ekspresionisme yang beranggapan sajak menghalangi penjilmaan angan. Meskipun setelah 1950 an pemakaian bunyi dan persajakan berkembang kembali meskipun bukan semata-mata pembuatan pola-pola bunyi yang teratur. Dalam hal bunyi sebagai orkestrasi, diperkuat oleh anasir-anasir kepuitisan lainnya.



LAGU GADIS ITALI



buat Silvana Maccari



Kerling danau di pagi hari Lonceng gereja bukit Itali Jika musimmu tiba nanti Jemputlah abang di teluk Napoli Kerling danau di pagi hari Lonceng gereja bukit Itali Sedari abang lalu pergi Adik rindu setiap hari Kerling danau di pagi hari Lonceng gereja bukit Itali Andai abang tak kembali Adik menunggu sampai mati Batu tandus di kebun anggur Pasir teduh di bawah nyiur Abang lenyap hatiku hancur Mengejar bayang di salju gugur (Sitor Situmorang, Dalam Sajak , 1955:9)



IRAMA • Irama dalam bahasa adalah pergantian turun naik,



panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur. • Sesungguhnya irama itu dapat dibagi dua macam: metrum dan ritme. • Metrum, adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu. Hal ini disebabkan oleh jumlah suku kata yang tetap dan tekanannya yang tetap sehingga alun suara yang menaik dan menurun tetap saja • Ritme, adalah irama yang disebabkan pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap, melainkan hanya menjadi gema dendang sukma penyairnya.



 Metrum itu ada beberapa macam, di antaranya:



Metrum jambis, tiap kaki sajaknya terdiri dari sebuah suku kata tak bertekanan diikuti suku kata yang bertekanan ( v - ) misalnya: / v - / v - / v - / v - / My heart is like a sing – ing bird Metrum anapest tiap kaki sajaknya terdiri dari tiga suku kata yang tak bertekanan, dikuti yang tak bertekanan kemudian suku kata bertekanan, ( v v - ) misalnya: / v v - / v v - / v v - / v v - / for the moon never beams without bringing me dreams Metrum trochee atau trocheus, tiap kaki sajaknya terdiri dari suku kata yang bertekanan diikuti suku kata tak bertekanan ( v ) misalnya: / - v / - v / - v / - v / - v / there they are my fif ty men and wo man



Dalam Kesusastraan Jawa kuno, kekawin kita kenal sajak bermetrum. Yaitu ada guru, suku kata yang panjang atau berat dan laghu suku kata yang bertekanan ringan



 Dengan irama selain puisi terdengar merdu, mudah



dibaca, juga menyebabkan aliran perasaan ataupun pikiran tak terputus dan terkonsentrasi sehingga menimbulkan bayangan angan (imaji-imaji) yang jelas dan hidup.  Hal ini menimbulkan adanya pesona atau daya magis hingga melibatkan para pembaca atau pendengar ke dalam keadaan extase (bersatu diri dengan objeknya) dan menyebabkan berkontemplasi hingga sajak itu apa yang dikemukakan meresap dalam hati / jiwa pembaca



Subagio Sastrowardoyo: KEHARUAN Aku tak terharu lagi sejak bapak tak menciumku di ubun Aku tak terharu lagi sejak perselisihan tak selesai dengan ampun Keharuan menawan Ketika Bung Karno bersama rakyat teriak “Merdeka” 17 kali Keharuan menawan ketika pasukan gerilya masuk Jokya sudah kita rebut kembali Aku rindu keharuan waktu hujan membasah bumi sehabis kering sebulan Aku rindu keharuan waktu bendera dwiwarna berkibar di makam pahlawan Aku ingin terharu melihat garis lengkung bertemu di ujung Aku ingin terharu melihat dua tangan damai berhubung Kita manusia perasa yang lekas terharu



KATA  Kata adalah satuan arti yang menentukan struktur



formal linguistik karya sastra.  J Elema menyatakan bahwa puisi memiliki nilai seni, bila pengalaman jiwa yang menjadi dasarnya dapat dijilmakan ke dalam kata (Slamet Mulyana, 1956:25).  Kata yang telah dipergunakan oleh penyair disebut kata berjiwa yang tidak sama artinya dengan kata di dalam kamus, dalam kata berjiwa ia telah dimasukan perasaan-perasaan penyair, termasuk sikap penyair terhadap sesuatu.  Pengetahuan tentang kata berjiwa/ tata bahasa kata berjiwa adalah stilistika.



 Chairil Anwar:



LAGU SIUL 1 Laron pada mati Terbakar di sumbu lampu Aku juga menemu Ajal di cerlang caya matamu Heran! Ini badan yang selama berjaga Habis hangus di api matamu ‘Ku kayak tidak tahu saja. (1959:25)



1. Kosa Kata



Alat untuk menyampaikan perasaan dan pikiran sastrawan adalah bahasa. Penggunaan kata-kata sehari-hari dapat memberi efek realistis, sedang penggunaan kata-kata yang indah dapat memberi efek romantis. 2. Pemilihan Kata Barfield, mengemukakan bahwa bila kata-kata dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa hingga artinya menimbulkan imajinasi estetis, maka hasilnya diksi puitis (1952:41)



3.Denotasi dan Konotasi Denotasi arti yang menunjuk dan konotasi arti tambahannya. denotasi sebuah kata adalah definisi kamusnya, yaitu pengertian yang menunjuk pada benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu, disebutkan atau diceritakan, denotatif, adalah bahasa yang menuju kepada korespondensi satu lawan satu antara tanda (kata itu) dengan hal yang ditunjuk. Puisi, (karya sastra pada umumnya), sebuah kata tidak hanya mengandung aspek denotasinya, masih ada arti tambahannya, yang ditimbulkan oleh asosiasi- asosiasi yang keluar dari denotasinya.



W. S. Rendra: DI MEJA MAKAN Ia makan nasi dan isi hati pada mulut terkunyah duka tatapan matanya pada lain isi meja lelaki muda yang dirasa tidak lagi dimilikinya Ruang diributi jerit dada Sambal tomat pada mata meleleh air racun dosa.



Sutardji Calzoum Bachri: SOLITUDE yang paling mawar yang paling duri yang paling sayap yang paling bumi yang paling pisau yang paling risau yang paling nancap yang paling dekap samping yang paling Kau!



4. Bahasa Kiasan Unsur kepuitisan yang lain adalah bahasa kiasan (figurative language) yang menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan angan. Jenis-jenis bahasa kiasan: a. perbandingan (simile) b. metafora c. perumpamaan epos (epic simile) d. personifikasi e. metomini f. sinekdoki (Synecdoche) g. allegori



a. Perbandingan Perbadingan ialah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, sepantun, penaka, se, dan kata-kata pembanding yang lain.



 AMIR HAMZAH:



PADAMU JUA



Habis kikis Segala cintaku hilang terbang Pulang kembali aku padamu Seperti dahulu Kaulah kandil kemerlap Pelita jendela di malam gelap Melambai pulang perlahan Sabar, setia selalu Satu kekasihku Aku manusia Rindu rasa Rindu rupa



Di mana engkau Rupa tiada Suara sayup Hanya kata merangkai hati Engkau cemburu Engkau ganas Mangsa aku dalam cakarmu Bertukar tangkap dengan lepas Nanar aku, gila sasar Sayang berulang padamu jua Engkau pelik menarik ingin Serupa dara di balik tirai Kasihmu sunyi Menunggu seorang diri Lalu waktu- bukan giliranku Mati hari- bukan kawanku.......



b. Metafora Metafora ini bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata pembanding. Metafora ini melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain. Metafora terdiri dari dua bagian, yaitu term pokok ( principal term / tenor ) menyebutkan hal yang dibandingkan, yang kedua (secondary term / vehicle ) adalah hal yang untuk membandingkan.



Metafora implisit (implied metaphor),



metafora yang langsung menyebutkan term kedua tanpa menyebutkan term pokok atau tenor. Matafora mati (dead mataphor), yaitu metafora yang sudah klise hingga orang sudah lupa bahwa itu metafora, misalnya kaki gunung, lengan kursi dan sebagainya.



 Subagio Sastrowardoyo:



APRIKA SELATAN Tapi kulitku hitam Dan sorga bukan tempatku berdiam. bumi hitam iblis hitam dosa hitam Karena itu: aku bumi laknat aku iblis laknat aku dosa melekat aku sampah di tengah jalan.



c. Perumpamaan Epos Perumpamaan epos atau perbandingan epos (epic simile) ialah perbandingan yang dilanjutkan, atau diperpanjang yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat pembandingnya lebih lanjut dalam kalimat-kalimat atau frase-frase yang berturutturut. Guna perbandingan epos ini seperti perbandingan juga, yaitu untuk memberi gambaran yang jelas, hanya perbandingan epos dimaksudkan untuk lebih memperdalam dan menandaskan sifat-sifat pembandingnya, bukan sekedar memberikan persamaan saja.



AOH KARTAHADIMADJA: SEBAGAI DAHULU Laksana bintang berkilat cahaya, Di atas langit hitam kelam, Sinar berkilau cahya matamu Menembus aku ke jiwa dalam. Ah, tersdar aku, Dahulu......... Telah terpasang lentera harapan, Tertiup angin gelap keliling. Laksana bintang di langit atas, Bintangku Kejora Segera lenyap beredar pula, Bersama zaman terus berputar.



d. Allegori Allegori ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan yang mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Allegori ini banyak terdapat dalam sajak-sajak Pujangga Baru, namun pada waktu sekarang banyak juga terdapat dalam sajak-sajak Indonesia modern. Allegori ini sesungguhnya metafora yang dilanjutkan.



Sapardi Djoko Damono: DI KEBON BINATANG Seorang wanita muda berdiri terpikat memandang ular yang melilit sebatang pohon sambil menjulur-julurkan lidahnya, katanya kepada suaminya, “Alangkah indahnya kulit ular itu untuk tas dan sepatu” Lelaki muda itu seperti teringat sesuatu, cepat-cepat menarik lengan istrinya meninggalkan tempat terkutuk itu



e. Personifikasi Personifikasi, mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia. Personifikasi ini membuat hidup lukisan, di samping itu memberi kejelasan beberan, memberikan bayangan angan yang konkret.



Sapardi Djoko Damono PERCAKAPAN DALAM KAMAR Puntung rokok dan kursi bercakap tentang seorang yang tibatiba menghela nafas panjang lalu berdiri. Bunga plastik dan lukisan dinding bercakap tentang seorang yang berdiri seperti bertahan terhadap sesuatu yang akan menghancurkannya. Jam dinding dan penanggalan bercakap tentang seorang yang mendadak membuka pintu lalu cepat-cepat pergi tanpa menutupnya kembali. Topeng yang tergantung di dinding itu, yang mirip wajah pembuatnya, tak berani mengucapkan sepatah kata pun, ia merasa bayangan orang itu masih bergerak dari dinding ke dinding , ia semakin mirip pembuatnya karena sedang menahan kata-kata.



f.



Metonimia Metonimia ini dalam bahasa Indonesia sering disebut kiasan pengganti nama. Metonimia ini berupa penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut (Altenbernd, 1970:21) Penggunaan metonimia ini efeknya untuk membuat lebih hidup dengan menunjukkan hal yang konkrit, dapat menghasilkan imaji-imaji yang nyata.



g. Sinekdoki (synecdoche) Sinekdoki, adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri. 1. pars pro toto, sebagian untuk keseluruhan 2. totum pro parte, keseluruhan untuk sebagian Kujelajah bumi dan alis kekasih (sitor situmorang) bumi itu totum pro parte, alis kekasih pars pro toto.



Pars pro toto, banyak ditemukan pada sajak-sajak Toto Sudarto Bachtiar: KEPADA SI MISKIN Terasa aneh dan aneh Sepasang-sepasang mata memandangku Menimpakan dosa Terus terderitakankah pandang begini? IBU KOTA SENJA Gedung-gedung dan kepala mengabur ...... Dan tangan serta kata menahan napas lepas bebas Menunggu waktu mengangkut maut.



5. Citraan (Gambaran-gambaran Angan) Citraan (imagery), ialah gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya. Citra atau imaji (image) adalah gambar pikiran Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai yang dihasilkan oleh penangkapan kita terhadap sebuah objek yang dapat dilihat oleh mata, saraf penglihatan, dan daerahdaerah otak yang berhubungan



Jenis-jenis Imaji: Gambaran-gambaran angan itu ada yang dihasilkan oleh indera penglihatan, pendengaran, perabaan, pencecapan, dan penciuman, bahkan juga diciptakan oleh pikiran dan gerakan. Maka ada citra penglihatan (visual imagery) citra pendengaran (auditory imagery) dan sebagainya.



 Sajak visual imagery:



Chairil Anwar: Bersandar pada tali warna pelangi Kau depanku bertudung sutra senja Di hitam matamu kembang mawar dan melati Harum rambutmu mengalun bergelut senda



 Sajak Auditory imagery (citra pendengaran)



Amir Hamzah:



SEBAB DIKAU Aku boneka engkau boneka Penghibur dalang pengatur tembang Di layar kembang bertukar pandang Hanya selagu, sepanjang dendang Toto Sudarto Bachtiar: KESAN Jenis suara peri mengiang Hanya lagu orang-orang malang Dalam pengembaraan di bawah bintang Mengalir dari tiap sempat celah jendela



 Citra perabaan (tactile/thermal imagery)



W.S. Rendra:



BLUES UNTUK BONNIE Maka dalam blinsatan Ia bertingkah bagai gorila Gorila tua yang bongkok Meraung-raung Sembari jari-jari galak di gitarnya Mencakar dan mencakar Menggaruki rasa gatal di sukmanya.



 Citra Penciuman



W.S. Rendra:



NYANYIAN SUTO UNTUK PATIMA Dua puluh tiga matahari bangkit dari pundakmu Tubuhmu menguapkan bau tanah Subagio Sastro Wardoyo: PUTERI GUNUNG NAGA puteri manis! di daerah asing udara berbau tembaga, dan di awan putih berkuasa ular naga bermata bengis.



 Citra Pencecapan



W. S. Rendra: BALLADA KASAN DAN PATIMA Bini kasan ludahnya air kelapa .... Dan kini ia lari kerna bini bau melati lezat ludahnya air kelapa Kasan tinggalkan daku, meronta paksaku terbawa bibirnya lapis daging segar mentah penghisap kuat kembang gula perawan



Berikut penyair yang menggunakan bermacam-macam citraan sekaligus dalam sebuah



sajak:



TEROMPET Terompet dilengkingkan nafas nestapa bagai pekik elang tua membuat garis di langit pantai Bau pandan di sepi malam duri-durinya menyuruk di daging Amboi! aroma daun pandan! Amboi amis darah dari daging! Nestapa! Maha duka! Didambakannya dahlia dua tangkai, burung-burung dua pasang, emas fajar yang pertama. Nestapa! Maha duka! Menyepak-nyepak dalam dada buyar napas isi rasa lepas lewat kerongkongan tembaga. Terompet dilengkingkan napas nestapa. Arwah leluhur mencekik malam dena (W. S. Rendra : Empat Kumpulan Sajak, 1978: 117)



 Altenbernd (1970:14) Citraan adalah salah satu alat



kepuitisan yang terutama yang dengan itu kesusastraan mencapai sifat-sifat konkret, khusus, mengharukan, dan menyaran.  Untuk memberi suasana khusus, kejelasan dan memberi warna setempat (local colour) yang kuat penyair mempergunakan kesatuan citra-citra yang selingkungan. Misalnya imaji pedesaan, alam, kekotaan, dan kehidupan modern. (Kumpulan sajak: Balada Orang-orang Tercinta dan Blues untuk Bonnie)



6. Gaya Bahasa dan Sarana Retorika Gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca. Gaya bahasa menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran (Altenbernd, 1970:22) dengan sarana retorika itu para penyair berusaha menarik perhatian, pikiran, hingga pembaca berkontemplasi atas apa yang dikemukakan penyair.



Sarana Retorika Pujangga Baru, sesuai dengan konsepsi estetikanya yang menghendaki keseimbangan yang simetris dan juga aliran romantis yang penuh curahan perasaan. Maka sarana retorika yang dominan ialah tautologi, pleonasme, keseimbangan, retorik retisense, paralelisme, dan penjumlahan (enumerasi) yang lain ada juga tetapi tidak dominan. Sarana Retorika Angkatan 45, sesuai dengan aliran realisme dan ekspresionisme banyak mempergunakan sarana retorika yang bertujuan intensitas dan ekspresivitas. Di antaranya hiperbola, litotes, tautologi, dan penjumlahan. Sajak-sajak yang berisi pemikiran dan filsapat banyak mempergunakan sarana retorika paradoks dan kiasmus Sajak bergaya mantra mempergunakan sarana retorika repetisi atau ulangan seperti sajaknya Sutardji C Bachri



Sajak berikut kelihatan sarana retorika tautologi dikombinasi dengan pleonasme,



keseimbangan, paralelisme, dan penjumlahan. DALAM GELOMBANG



Alun bergulung naik meninggi, Turun melembah jauh ke bawah, Lidah ombak menyerak buih, Surut kembali di air gemuruh. Kami mengalun di samud’ra-Mu, Bersorak gembira tinggi membukit, Sedih mengaduh jatuh ke bawah, Silih berganti tiada berhenti. Di dalam suka di dalam duka, Waktu bah’gia waktu merana, Masa tertawa masa kecewa, Kami berbuai dalam nafasmu, Tiada kuasa tiada berdaya, Turun naik dalam ‘rama-Mu. (St. Takdir Alisjahbana !984:4)



 Tautologi ialah sarana retorika yang menyatakan hal atau



keadaan dua kali, maksudnya supaya arti kata atau keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar. Sering kata yang dipergunakan itu tidak sama tetapi artinya sama atau hampir sama. Misalnya: silih berganti tiada berhenti, tiada kuasa tiada berdaya.  Pleonasme, (keterangan berulang) ialah sarana retorika yang sepintas lalu seperti tautologi, tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama. Misalnya naik meninggi, turun melembah jauh ke bawah, tinggi membukit, jatuh ke bawah.  Enumerasi ialah sarana retorika yang berupa pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau keadaan itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar (Slamet Mulyana , Tt: 25)



 Paralelisme (pensejajaran) ialah mengulang isi



kalimat yang maksud tujuannya serupa. Kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahuluinya. (Slamet Muljana, Tt: 29) segala kulihat segala membayang segala kupegang segala mengenang Retorik retisense, sarana ini menggunakan titik-titik banyak (.....) untuk mengganti perasaan yang tak terungkapkan.



 Sajak-sajak Angkatan 45 banyak mempergunakan sarana retorika hiperbola seperti sajak berikut:



KEPADA PEMINTA MINTA Baik-baik, aku akan menghadap Dia Menyerahkan diri dan segala dosa Tapi jangan tentang lagi aku Nanti darahku jadi beku. Jangan lagi kau bercerita Sudah tercacar semua di muka Nanah meleleh dari muka Sambil berjalan kau usap juga. Bersuara tiap kau melangkah Mengerang tiap kau memandang Menetes dari suasana kau datang Sembarang kau merebah. Mengganggu dalam mimpiku Menghempas ke bumi keras Di bibirku terasa pedas Mengaum di telingaku Baik, baik aku akan menghadap Dia Menyerahkan diri dan segala dosa Tapi jangan tentang lagi aku Nanti darahku jadi beku (Chairil Anwar 1959:17)



 Paradoks, adalah sarana retorika yang menyatakan



sesuatu secara berlawanan, tetapi sebetulnya tidak bila sungguh-sungguh dipikir dan dirasakan. Seperti: hidup yang terbaring mati ini sebuah kiasan yang artinya hidup yang tanpa ada pergerakan, tanpa ada perubahan ke arah yang baik. Paradoks yang mempergunakan penjajaran kata yang berlawanan itu: hidup – mati disebut oksimoron.  Kiasmus, sarana retorika yang menyatakan sesuatu di ulang, dan salah satu bagian kalimatnya dibalik posisinya: diri mengeras dalam kehidupan – kehidupan mengeras dalam diri.



7. Faktor Ketatabahasaan Penggunaan bahasa seseorang (parole) merupakan penerapan sistem bahasa (langue) yang ada. (Culler, 1977: 8) dan penggunaan bahasa penyair sekaligus penerapan konvesi bahasa puisi yang ada. Namun penerapan ini tidak selalu sesuai dengan sistem bahasa maupun konvesi puisi yang ada sebab hal ini dipengaruhi situasi penggunaan. Sehingga terjadi penyimpangan-penyimpangan dari sistem norma bahasa yang umum. Hal ini dilakukan penyair untuk mendapatkan efek puitis, yaitu diantaranya irama yang liris, kepadatan, kesegaran dan ekspresivitas yang lain.



 7.1 Faktor Ketatabahasaan Chairil Anwar



Pemendekan Kata Pemendekkan kata dalam sajak Chairil Anwar pada umumnya untuk kelancaran ucapan, untuk mendapatkan irama yang liris. ‘kan dari akan, ‘ku dari aku. Penghilangan Imbuhan. Penghilangan imbuhan untuk memperlancar ucapan dan untuk membuat berirama. Menggonggong – ‘nggonggong dll.



 Penyimpangan Struktur Sintaksis



untuk mendapatkan irama yang liris, kepadatan, dan ekspresivitas para penyair sering membuat penyimpangan-penyimpangan dari struktur sintaksis yang normatif. Penyimpangan struktur sintaksis yang dilakukan oleh Chairil Anwar itu dapat berupa susunan kelompok kata, ataupun susunan kalimat seluruhnya, bahkan membalik subjek- predikat, menjadi predikat-subjek.



SELAMAT TINGGAL Chiril Anwar Aku berkaca Ini muka penuh luka Siapa punya? Kudengar seru menderu - Dalam hatiku?Apa hanya angin lalu Lagu lain pula Menggelepar tengah malam buta Ah.....!! Segala menebal, segala mengental Segala tak kukenal.....!! Selamat Tinggal.....!!



7.2 Faktor Ketatabahasaan Sutardji Calzoum Bachri Penghapusan Tanda Baca rasa yang dalam rasa dari segala risau sepi dari segala nabi tanya dari segala nyata sebab dari segala abad sungsang dari segala sampai duri dari segala rindu luka dari segala laku igau dari segala risau kubu dari segala buku resah dari segala rasa rusuh dari segala guruh sia dari segala saya duka dari segala daku Ina dari segala anu puteri pesonaku! datang kau padaku! .....



Penggabungan Dua Kata atau Lebih Yang dimaksud penggabungan dua kata atau lebih menjadi satu gabungan hingga seolah-olah sudah menjadi satu kata, menjadi satu pengertian tak terpisah. gabungan yang berupa pengulangan kata memberikan efek penyangatan atau melebih-lebihkan. penggabungan kata seperti ini belum pernah dilakukan sebelumnya dalam perpuisian Indonesia.



O



dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau resahku resahkau resahrisau resahbalau resah kalian raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siarisau siakalian siasiasia waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswas duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai Oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau o....



 Penghilangan Imbuhan



Dalam sajak-sajaknya Sutardji banyak menghilangkan imbuhan baik awalan, akhiran, maupun awalan dan akhiran kata. Bahkan Sutardji banyak mempergunakan kata dasar tanpa dibentuk dengan awalan atau akhiran. Penghilangan imbuhan dimaksudkan untuk mendapatkan irama, untuk kelancaran membacanya, serta untuk mendapatkan daya ekpresi yang penuh karena kepadatannya.



Penghilangan Imbuhan (lanjutan) ‘saling gigitan’ seharusnya ‘saling bergigitan’ (dalalam Ngiau, 47) ‘tiang tanpa topang’ (‘Colonnes Sans Fin’ 24) Dalam “Ah” (h. 16) terdapat beberapa di antaranya: yang lengking, yang paling pijak, yang paling derai, yang mana gantung selain sambung, yang mana gairah selain resah, yang mana tahu selain waktu, yang mana tanah selain tugu.



Pemutusan Kata Kata-kata diputus-putus menjadi suku kata atau dibalik suku katanya, dengan cara yang demikian itu menjadi menarik perhatian, artinya berubah atau hilang artinya, yang memberi sugesti kesia-siaan atau arti tidak sempurna lagi.



 TRAGEDI WINKA SISKA



kawin kawin



win ka win



kawin kawin ka



win



ka



ka win ka winka winka winka sihka sihka sihka ka sih



ka sih ka sih ka



`



sih ka sih sih



sih



sih



sih



sih ka Ku



sih



Pembentukkan Jenis Kata Untuk ekspresivitas Sutardji membentuk kata-kata benda atau kata kerja langsung menjadi kata keadaan atau kata sifat dengan mengawalinya kata yang atau yang paling, dan tanpa mengubah bentuk morfologinya. Misalnya: ‘apa yang sebab?’ ‘siapa tanah yang paling pijak siapa burung yang paling sayap’ (“Ah”, h. 17)



 SOLITUDE



yang paling mawar yang paling duri yang paling sayap yang paling bumi yang paling pisau yang paling risau yang paling nancap yang paling dekap samping yang paling Kau! Slide 1



Analisis Struktural  Sajak (karya sastra) merupakan sebuah struktur,



dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan susunan yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik, saling menentukan.  Dalam pengertian struktur (Piaget via Hawkes, 1978: 16) terlihat adanya rangkaian kesatuan yang meliputi tiga ide dasar yaitu ide kesatuan, ide transpormasi, dan ide pengaturan diri sendiri (self regulation)



 Struktur itu merupakan keseluruhan yang bulat , yaitu



bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar strutur itu.  Struktur itu berisi gagasan transformasi dalam arti bahwa struktur itu tidak statis, dan  Struktur itu, mengatur dirinya sendiri, dalam artian struktur itu tidak memerlukan pertolongan dari luar dirinya untuk mensahkan prosedur transformasinya.



 Strukturalisme, itu pada dasarnya merupakan cara



berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-strukturnya.  Analisis struktural sajak, adalah analisis sajak ke dalam unsur-unsurnya dan fungsinya dalam struktur sajak dan penguraian bahwa tiap unsur itu mempunyai makna hanya dalam kaitannya dengan unsur-unsur lainnya, bahkan juga berdasarkan tempatnya dalam struktur.



ANALISIS SEMIOTIK 1. Menganalisis sajak itu bertujuan untuk memahami makna sajak. 2. Menganalisis sajak adalah usaha menangkap dan memberi makna pada teks sajak. 3. Karya sastra itu struktur yang bermakna, hal ini mengingat bahwa karya sastra itu merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang menggunakan medium bahasa.



 Bahasa, sebagai medium karya sastra sudah



merupakan sistem semiotik atau ketandaan yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti.  Medium karya sastra bukanlah medium yang bebas (netral) seperti bunyi pada seni musik, ataupun warna pada lukisan. Cat warna sebelum digunakan dalam lukisan dia belum memiliki arti apa-apa, sedangkan kata-kata (bahasa) sebelum digunakan dalam karya sastra sudah memiliki lambang yang memiliki arti yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat.



 Lambang-lambang atau tanda-tanda kebahasaan itu



berupa satuan-satuan bunyi yang mempunyai arti oleh konvensi masyarakat.  Bahasa itu merupakan sistem ketandaan yang berdasarkan yang ditentukan oleh konvensi masyarakat.  Sistem ketandaan itu disebut semiotik.  Ilmu yang mempelajari sistem tanda itu disebut semiotika atau semiologi



 Dalam pengertian tanda ada dua prinsip yaitu



penanda (signifier) atau yang menandai yang merupakan bentuk tanda, dan petanda (signified) atau yang ditandai yang merupakan arti tanda.  Berdasarkan hubungan antara penanda dengan petanda ada tiga jenis tanda yang pokok: ikon, indeks, dan simbol.  Ikon, adalah tanda hubungan antara penanda dengan petandanya bersifat persamaan bentuk alamiah -> potret orang menandai orang yang dipotret.



 Indeks, tanda yang menunjukkan hubungan alamiah



antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat -> asap menandai api, suara menandai orang atau sesuatu yang mengeluarkan suara.  Simbol, tanda yang tidak menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya hubungan antaranya bersifat semau-maunya/ arbitrer, hubungan berdasarkan konvensi masyarakat.



 Sebuah sistem tanda yang utama yang



menggunakan lambang adalah bahasa.  Ibu -> orang yang melahirkan kita (masyarakat bahasa Indonesia) • Mother -> (masyarakat bahasa Inggris) • La mere -> (masyarakat bahasa Perancis)



 Bahasa sebagai sistem tanda yang kemudian dalam



karya sastra menjadi mediumnya, dalam sistem tanda bahasa memiliki arti tingkat pertama. Sistem tanda tingkat pertama itu dalam bahasa disebut meaning (arti).  Karya sastra juga merupakan sistem tanda yang berdasarkan sistem tanda masyarakat sastra.  Dengan demikian timbulah arti baru yang merupakan arti dari arti (meaning of meaning) untuk membedakan dari arti bahasa arti sastra itu makna (signifiance)



 Makna sajak (karya sastra) itu bukan semata-mata



arti bahasanya, melainkan arti bahasa dan suasana, perasaan, intensitas arti, arti tambahan, daya liris, pengertian yang ditimbulkan tanda-tanda kebahasaan atau tanda-tanda lain yang ditimbulkan konvensi sastra, misalnya tipograpi, enjambement, sajak, baris sajak, ulangan dan yang lainnya.



 Karya sastra itu karya imajinatif, yang bermedium



bahasa, maka tanda-tanda yang utama dalam karya sastra adalah tanda-tanda kebahasaan, meskipun ada konvensi ketandaan sastra yang lain yang merupakan sistem ketandaan.



KETIDAKLANGSUNGAN EKSPRESI PUISI  Ketidaklangsungan pernyataan puisi itu disebabkan



oleh tiga hal: 1. Penggantian arti (displacing) 2. Penyimpangan arti (distorcing) 3. Penciptaan arti (creating of meaning)



Penggantian Arti Pada umumnya kata-kata kiasaan menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora, dan metonimi. Dalam penggantian arti ini suatu kata (kiasan) berarti yang lain. (tidak menurut arti sesungguhnya).



SAJAK PUTIH Chairil Anwar Bersandar pada tali warna pelangi Kau depanku bertudung sustra senja Di hitam matamu kembang mawar dan melati Harum rambutmu mengalun bergelut senda Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba meriak muka air kolam jiwa Dan dalam dadaku memerdu lagu Menarik menari seluruh aku Hidup dari hidupku, pintu terbuka Selama matamu bagiku menengadah Selama kau darah mengalir dari luka Antara kita Mati datang tidak membelah....



Penyimpangan Arti * Ambiguitas, mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir atau ambigu.  Kontradiksi, ironi yaitu salah satu cara menyampaikan secara berlawanan, atau berbalikan  Nonsense, secara linguistik kata-kata yang tidak mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosakata.



Penciptaan Arti  Penciptaan arti, terjadi bila ruang teks (spasi teks)



berlaku sebagai pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak artinya, misalnya simitri, rima, enjambement, atau ekuivalensi-ekuivalensi di antara persamaan persamaan posisi dalam bait (homologues)



TUGAS  Pilihlah salah satu sajak angkatan Pujangga Baru,



anggkatan 45, angkapan 66 atau sajak-sajak masa sekarang.  Tulislah sajak karya anda sendiri  Kemudian analisis sajak-sajak yang telah anda pilih dan tuli secara analisis struktural atau semiotik.  Tugas bersifat individual, laporan dalam bentuk makalah ditik pada kertas A4  Lengkapi dengan pembacaan puisinya dalam CD atau soft file.  Dikumpulkan pada pertemuan terakhir sebelum UAS.  [email protected]  082115161660



Latar Belakang Sosial Budaya  Karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya  Seorang penyair tidak dapat lepas dari pengaruh



sosial budaya masyarakatnya.  Latar sosial budaya itu terwujud dalam tokoh-tokoh yang dikemukakan, sistem kemasyarakatan, adat istiadat, pandangan masyarakat, kesenian, dan benda-benda kebudayaan yang terungkap dalam karya sastra.



 Penyair Indonesia berasal dari bermacam-macam



masyarakat, dengan demikian ada latar sosial budaya Sulawesi, Aceh, Batak, Minangkabau, Melayu, Sunda, Jawa, Bali, Madura, Sumba, dan lain sebagainya sesuai dengan jumlah suku bangsa di Indonesia.  Untuk memahami dan memberi makna sajak yang ditulis oleh penyair Sunda, Bali, atau Jawa dan sebagainya diperlukan pengetahuan tentang latar sosial budaya yang melatarinya.  Seperi sajak-sajak berikut:



ISTERI Darmanto Jt -isteri mesti digemateni ia sumber berkah dan rejeki (Towikromo, Tambran, Pundong, Bantul) Isteri sangat penting untuk ngurus kita Menyapu pekarangan Memasak di dapur Mencuci di sumur mengirim rantang ke sawah dan ngeroki kita kalau kita masuk angin Ya, isteri sangat penting untuk kita



Ia sisihan kita, kalau kita pergi ke ondangan Ia tetimbangan kita, kalau kita mau jual palawija Ia teman belakang kita, kalau kita lapar dan mau makan Ia sigaraning nyawa kita, kalau kita Ia sakti kita!



Ah. Lihatlah. Ia menjadi sama penting dengan kerbau, luku, sawah, dan pohon kelapa. Ia kita cangkul malam hari dan tak pernah ngeluh walau cape Ia selalu rapih menyimpan benih yang kita tanamkan dengan rasa sukur: tahu terimakasih dan meninggikan harkat kita sebagai lelaki. Ia selalu memelihara anak-anak kita dengan bersungguhsungguh seperti kita memelihara ayam, itik, kambing, atau jagung



Ah. Ya. Isteri sangat penting bagi kita justru ketika kita mulai melupakannya: Seperti lidah ia di mulut kita tak terasa Seperti jantung ia di dada kita tak teraba Ya. Ya. Isteri sangat penting bagi kita justru ketika kita mulai melupakannya. Jadi waspadalah! Tetap, madep, manteb Gemati, nastiti, ngati-ati Supaya kita mandiri perkasa dan pinter ngatur hidup



tak tergantung tengkulak, pak dukuh, bekel atau lurah Seperti Subadra bagi Arjuna makin jelita ia di antara maru-marunya: Seperti Arimbi bagi Bima Jadilah ia jelita ketika melahirkan jabang tetuka Seperti Sawitri bagi Setiawan Ia memelihara nyawa kita dari malapetaka Ah.Ah.Ah Alangkah pentingnya isteri ketika kita mulai melupakannya. Hormatilah isterimu Seperti kau menghormati Dewi Sri Sumber hidupmu Makanlah Karena memang demikian suratannya! --Towikromo



Asmaradana Subagio Sastrowardoyo



Sita di tengah nyala api tidak menyangkal betapa indahnya cinta birahi Raksasa yang melarikannya ke hutan begitu lebat bulu jantannya dan Sita menyerahkan diri Dewa tak melindunginya dari neraka tapi Sita tak merasa berlaku dosa sekedar menurutkan naluri Pada geliat sekarat terlompat doa jangan juga hangus dalam api sisa mimpi dari senggama



HUBUNGAN INTERTEKSTUAL  Untuk mendapatkan makna sepenuhnya dari sebuah



sajak selain sajak harus diinsafi ciri khasnya sebagai tanda (sign) tidak boleh juga dilupakan hubungan kesejarahannya, serta latar belakang sosial budayanya.  Hal ini mengingat karya sastra dalam hal ini sajak tidak ditulis dalam kekosongan budaya (Teeuw, 1980: 11)



 Karya sastra tidak begitu saja lahir, melainkan



sebelumnya telah ada karya sastra lain, yang tercipta berdasarkan konvensi dan tradisi sastra masyarakat yang bersangkutan.  Misalnya sebelum terbit pertama kali sajak Indonesia modern (Pujangga Baru) tentulah waktu itu sudah ada sajak-sajak Indonesia lama (Melayu).  Pada sisi yang lain para penyair Indonesia telah mengenal dan mempelajari sajak Eropa khususnya sajak Belanda dari Gerakan 80.



 Pada Sastra Melayu (sastra lama) pantun dan syair



telah menjadi konvensi sastra Indonesia, namun para penyair Pujangga Baru yang telah mengenal pantun dan syair dan telah mengenal pula sastra Eropa, sehingga mereka mencoba menyimpangi konvensi pantun dan syair.  Jadi, sajak-sajak itu ditulis dalam hubungannya dengan zaman penyair menulis maupun dalam pertentangannya dengan sajak-sajak sebelumnya.



 Sajak itu karya kreatif, maka penyair selalu



menciptakan kebaruan, namun tak mungkin sama sekali meninggalkan konvensi sajak yang telah ada. Sajak meneruskan konvensi sajak-sajak sebelumnya maupun menentang konsep –konsep estetik sajaksajak sebelumnya. Dalam hal ini terjadi ketegangan antara pemba ruan dan konvensi, antara yang lama dan yang baru.  Memahami sajak ialah untuk menangkap maknanya ataupun usaha memberi makna sajak  konteks kesejarahannya intertektualitas.



Amir Hamzah:



Berdiri Aku Berdiri aku di senja senyap Camar melayang menepis buih Melayah bakau mengurangi puncak Menjulang datang embun terkembang Angin pulang menyejuk bumi Menepuk teluk mengempas emas Lari ke gunung memuncak sunyi Berayun alun di atas alas Benang raja mencelup ujung Naik marak mengerak corak Elang leka sayap tergelung Dimabuk warna berarak-arak Dalam rupa mahasempurna Rindu sendu mengharap kalbu Ingin datang merasa sentosa Menyecap hidup bertentu tuju.



 Chairil Anwar:



SENJA DI PELABUHAN KECIL



Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tidak berlaut menghembus dari dalam mempercayai mau berpaut Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang Menyinggung muram, desir hari lari berenang Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak. Tidak lagi. Aku sendiri. Berjalan Menyisir semenanjung, masih pengap harap Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan Dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap. Slide 1



 IFFAH



( menjaga kehormatan diri ) 1. Menjaga Lisan 2. Menjaga Badan 3. Menjaga Harta  [email protected]



Bahasa Indonesia kita junjung Bahasa Daerah kita gunakan Bahasa asing kita pelajari Sastra kita baca



KASIDAH SUNYI 3 Aku letih menjengkal kesamaranmu Menyusuri terowongan-terowongan panjang Waktu ternyata sebuah gurun pasir Yang menelanku. Tapi kematian kutahan Hingga tenggorokanku terbakar sunyi Di antara erangan dan jeritanku yang terpendam Gunung batu hanya menyimpan kedamaianmu Aku letih memahami rahasiamu Menghirup kepulan pasir dan debu Langkahku telah menuruni jurang dan suaraku Ditenggelamkan batu karang. Kematian masih kutahan Tapi waktu terus membentangkan gurun demi gurun Dari keluasan tak bisa kujengkal jarak lagi Matahari hanya mengisyaratkan keagunganmu yang jauh



KUPU-KUPU Aku tidur dalam pelukan bunga layu Memimpikanmu melayarkan bintang-bintang Ke ranjangmu. Sungai-sungai Air mata yang mengering dalam doa-doaku Aku menulis semua yang dibidikkan angin Membaca semua yang dituliskan semilirnya padaku Bercakap dengan udara yang dingin: Betapa cepat kuda ajal merebut semua jalanku Lautan itu mengandung bulan Kaulah yang memompa perut gelombangnya! Ikan-ikan yang minum dari matamu Burung-burung mabuk dalam kejaran pandanganmu Kembali pada debu. Kupu-kupu Merontokkan lembar demi lembar rambutku



RUMAH YANG TERBUKA Jarum pengelihatanku memasuki seluruh pori-pori Dalam tubuhmu. Keindahan yang kugali sering menjelma api Yang menyalakan sumbu urat-urat darahku Aku memintal lagu sepanjang lorong rahasiamu Untuk kunyanyikan diam-diam. Tanganku meraba ayat-ayat Tapi setiap kunaiki tangga ke langit terjauh Aku selalu ditenggelamkan sinar bulan Mengupas kemolekanmu dengan pisau pikiran Adalah sia-sia. Keindahan hanya bisa kurasakan getarnya Seperti cinta yang membakarku tiba-tiba Aku menggali cahaya dari kuburan-kuburan kenanganmu Untuk kunyalakan dalam jiwa. Dengan kaki telanjang Kumasuki rumah batinmu yang terbuka Di lantai pualam aku bergulingan sepanjang malam



PERNYATAAN CINTA Kau yang diselubungi asap Kau yang mengendap seperti candu Kau yang bersenandung dari balik penjara Tanganmu buntung karena menyentuh matahari Sedang kakimu lumpuh Aku mencintaimu Dengan lambung yang perih Pikiran yang dikacaukan harga susu Pemogokan serta kerusuhan yang meletus Di mana-mana. Darah dan airmataku tumpah Seperti timah panas yang dikucurkan ke telingan Kubayangkan tanganmu yang buntung serta kakimu Yang lumpuh. Tanpa menunggu seorang pemimpin Aku mereguk bensin dan menyemburkannya ke udara Lalu bersama mereka akumelempari toko Membakar pasar, gudang dan pabrik Sebagai pernyataan cinta Betapa menyedihkan mencintaimu tanpa kartu kredit Tanpa kamar hotel atau jadwal penerbangan Para serdadu berebut ingin menyelamatkan bumi Dari gempa dahsyat. Kuda-kuda menerobos pagar besi Anjing-anjing memercikkan api dari sorot matanya Sementara aku melepaskan pakaian dan sepatu Ternyata mencintaimu tak semudah turun ke jalan raya Menentang penguasa atau memindahkan gunung berapi



ke tengah-tengah kota Aku berjalan dengan membawa kayu di punggungku Seperti kereta yang menyeret gerbong-gerbong kesedihan Melintasi stasiun-stasiun yang sudah berganti nama Kudengar bunyi rel yang pedih tengah menciptakan lagu Gumpalan mendung meloloskan diri dari mataku Menjadi halilintar yang meledakkan kemarahan Pada tembok dan spanduk. Aku mencintaimu Dengan mengerat lengan dan melubangi paru-paru Aku mencintaimu dengan menghisap knalpot Dan menelan butiran peluru Wahai kau yang diselubungi asap Wahai kau yang mengendap seperti candu Wahai kau yang terus bersenandung meskipun sakit dan miskin Wahai kau yang merindukan datangnya seorang pemimpin Tunggulah aku yang akan segra menjemputmu Dengan sebotol minuman keras 1998



ZIKIR Aku mengapung



 



 



Ringan Meninggi padamu. Bagai kapas menari-nari Dalam angin Jumpalitan bagai ikan Bagai lidah api Bau busuk mulutku, Anne Seratus tahun memanggi-manggil Namamu Inilah zikirku: Lelehan aspal kealpaanku, cairan timah Kekeliruanku, gemuruh mesin keliaranku Tumpukan sampah keterpurukanku Selokan mampat kesia-siaanku



Aku tak tidur padahal ngantuk, tak makan Padahal lapar, tak minum padahal haus Tak menangis padahal sedih, tak berobat Padahal luka, tak bunuh diri Padahal patah hati   Anne! Anne! Anne!   Zikirku seribu sepi menombakmu Menembus lapisan langitmu, membongkar Gumpalan megamu, membakar pusaran Kabutmu, menghanguskan jarak Ruang dan waktu   Aku mencair Bagai air Mengalir padamu. Bagai hujan    Tumpah ke bumi Menggelinding bagai batu Bagai hantu



Anne! Anne! Anne!   Inilah rentetan tembakan kerinduanku, lemparan Granat ketakutanku, dentuman meriam kemabukanku  Luapan minyak kegairahanku, kobaran tungku kecintaanku Semburan asap kepunahanku   Aku tak mengemis padahal miskin, tak mencuri Padahal terdesak, tak merampok padahal banyak utang Tak menipu padahal ada kesempatan, tak menuntut Padahal punya hak, tak memaksa Padahal putus asa   Anne! Anne! Anne!   Zikirku seribu sunyi mengejarmu Menggedor barikade pertahananmu, menerobos Dinding persembunyianmu, mengobrak-abrik ruang Semadimu, menghancurkan singgasana Kekhusyukanmu Bau busuk mulutku, Anne Seratus tahun memanggil-manggil Namamu



LE NAUSEE Buat Wing Kardjo   Jejak bulan telah hapus Bumi tinggal rawa peradaban Kata-kata menjadi belantara nilai Tak terbaca. Bencana demi bencana Bahkan pertikaian antar sesama Telah membunuh bahasa. Sungai-sungai Yang mengalirkan lumpur dan lahar Sumbernya berasal dari kemarahan



Tahun-tahun lindap, abad-abad gelap Mengekalkan kesumat. Langit merendah Berkaca pada lembaran sejarah Yang penuh darah. Harimau dan ular Mengaum dan menjalar Tak tertahan. Naik-turun gunung Keluar-masuk hutan Merambah dunia tanpa peta 1983



Sajak ti Jalan ka Mana Godi Suwarna



Ngémploh pucuk-pucuk entéh Mulas léngkob jeung lamping nu keur gumiwang Sapanjang jalan rumangsang muru hibar gebur beurang Hawar-hawar, kahariwang dilaungkeun kawih leuweung Sabot mipir jegir pasir jeung kaketir nangtang ringkang Lalaunan angin rintih ngusapan lengkah guligah Luak-léok ngitung tikungan Kalah kérok balas nyawang pulas haté jeung langitna Balitungan antara was-was mun nyorang lelewang jungkrang Jeung panggupay ti palebah mumunggang gunung panungtung Padungdengan sabot méga katémbong beuki meuleukmeuk Samar-samar nyidem hujan jeung guludugBeuki jauh nyusud waktu Bet kasarung satengahing kahayang nu pasulabreng Antara ngajuringkang ka landeuhkeun, ka sisi talaga wening Atawa rék terus nyusul jangjang julang kumalayang nilar sayang Humandeuar ti tetelar ka tetelar nu horéng teu matak kelar Kalah awor jeung geuneuk kelun halimunNgalulungsar di totowang Mépéndé rurungsing jantung nu gumuruh silantangan Sanggeus lawas ngaprak mangsa ngasruk tegal alimusa Beuki surti yén mumunggang panganggeusan ngancik dina sanubari Ngan kari ngaragap diri nu mindeng ngaberung mangprung Kari naker ieu ketak saméméh béakeun hégak (Pangaléngan, 07)



Sajak Satengahing Ringkang Godi Suawarna



Hariring angin rumangsang Ka landeuhkeun, nebak rénghap saamparan pucuk entéh Ngahiliwir ka talaga nu kasawang kapulas lélénglang langit Lebah dinya kulit cai tingborélak ngariak-riakkeun wanci Bet kaambung dumalingding seungit jemplingSungkeman lemah kahéman Nyambuang ti lamping wening nu katémbong semu ngénclong Aya kalbu langkung langgong tibatan kelewung gunung Langkung hurung manan talaga nu keur gumiwang Lalaunan ngajaulkeun lamunan ka alakpaulBut-bat jalan panineungan Ngagurat héhéjo kebon nu nungtung di sukugunung Kelun haseup ti rarambu leuweung pineus lain tangara balai Ngan ukur gebur kakangen ngagupay méga kasumba Nu ngalayang ka jabaning langit bungurKapireng kawih kamelang Moalboa riring mojang pasisian nu keur migandrung sarakan Ngayunambing lamping rungsing diléntab létah srangéngé Talaga beuki gumenclang dina pepeteng jajantung Méméh lunta muru lembur pangsingkurna



(Cileunca, 07)