Kep Kritis KLP 1 (Pernafasan) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS PENCEGAHAN PRIMER, SEKUNDER, TERTIER PADA KASUS KRITIS SISTEM PERNAFASAN (TUBERKULOSIS PARU) Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis Dosen Pembimbing : Ns. Harmilah, S. Pd, S.Kep, M. Kep, Sp. MB



Disusun oleh : Kelompok I



Ellen Munikarie Emi Indrayati Novelia Agatha Simbolon Rona Tio Aprilina Manurung



NIM : P07120521036 NIM : P07120521008 NIM : P07120521024 NIM : P07120521030



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES YOGYAKARTA T.A 2021



KATA PENGANTAR



Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkah dan Rahmat-Nya penulis telah menyelesaikan tugas mata kuliah Keperawatan Kritis tepat pada waktunya. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan rekan-rekan kami, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi bisa teratasi. Dalam penyusunan makalah ini, penulis merasa masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini. Dalam penyusunan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada rekanrekan yang telah membantu dalam menyelesaikan pembuatan makalah ini. Besar harapan semoga makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis dan profesi perawat pada umumnya.



Yogyakarta, Mei 2021



Penulis



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR.......................................................................................................i DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN................................................................................................2 A.



Latar Belakang.....................................................................................................2



B.



Tujuan...................................................................................................................4



BAB II TINJAUAN TEORI..........................................................................................21 A.



TUBERKULOSIS PARU..................................................................................21



B.



PENCEGAHAN PRIMER................................................................................25



C.



PENCEGAHAN SEKUNDER...........................................................................26



D.



PENCEGAHAN TERSIER...............................................................................29



BAB III PENUTUP.......................................................................................................32 A.



Kesimpulan.........................................................................................................32



B.



Saran...................................................................................................................32



DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Sepertiga penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi oleh Mycobacterium Tuberculosis (TB), TB Ialah penyakit yang menjadi perhatian dunia dengan berbagai upaya pengendalian yang dilakukan. Insiden dan kematian akibat tuberkulosis telah menurun namun tuberkulosis masih dalam kasus TB baru tersebut terdiri dari pria 5,4 juta jiwa, wanita 3,2 juta jiwa dan anak-anak 1,0 juta jiwa. Terdapat juga 1,5 juta jiwa akibat TB 1,1 juta orang diantaranya HIV negatif dan 0,4 juta orang diantaranya HIV positif, dimana sekitar 890.000 jiwa adalah pria, 480.000 jiwa adalah wanita dan 140 000 jiwa yaitu anak-anak tuberkulosis paru saat ini masih menjadi masalah kesehatan global. Sepertiga dari populasi penduduk diseluruh dunia sudah tertular dengan Tuberkulosis paru. Hal ini menyebabkan kesehatan yang buruk diantara jutaan orang setiap tahun dan menjadi penyebab utama kedua kematian dari penyakit menular diseluruh dunia setelah Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) World Health Organization (WHO, 2018). Data World Health Organization tahun 2018 menunjukkan bahwa tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus TB Paru didunia, 56% kasus TB Paru berada di India, Indonesia, Cina, Filipina, dan Pakistan. Tahun 2016, sekitar 1,3 juta orang didunia meninggal karena TB Paru Sedangkan di Indonesia tahun 2016 terdapat 298 ribu penemuan kasus TB Paru dan 156 ribu penemuan kasus BTA Positif berdasarkan hasil cakupan penemuan kasus penyakit TB Paru (WHO, 2018). Hasil riset Kementrian Kesehatan Repubik Indonesia 2018, menyebutkan bahwa jumlah prevalensi Tuberkulosis paru klinis yang tersebar di seluruh indonesia yaitu 1,0%. beberapa Provinsi yang di antaranya mempunyai angka Prevalensi di atas angka Nasional yaitu: Provinsi Aceh, DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatra barat, kepulauan Riau, Nusa Tengara Barat, Nusa Tengara Sulawesi selatan, Sulawesi tengah dan daerah timur Indonesia (Riskesdas, 2018). Angka keberhasilan pengobatan semua kasus TB (success rate ) sebesar 89% dari target 85%. Dengan succes rate lebih dari 90% menggambarkan semakin



1



banyak masyarakat yang menderita TB yang menyelesaikan pengobatan sampai tuntas. Mayoritas penderita TB mengalami nyeri yang sangat saat batuk, dan juga mengalami sesak. Mekanisme koping tubuh dalam mengahadapi ini dengan mengeluarkan neuromodulator yang dapat menghambat transmisi impuls nyeri, salah satunya dengan menstimulasi beta-endorfin. Endorfin berperan untuk mengurangi sensasi nyeri dengan memblokir proses pelepasan substansi p dari neuron sensorik sehingga proses transmisi impuls nyeri di medula spinalis menjadi terhambat dan sensasi nyeri menjadi berkurang. Tingginya beta-endorfin juga memiliki dampak psikologis langsung yakni membantu memberi perasaan santai, mengurangi ketegangan, meningkatkan perasaan senang, membuat seseorang menjadi lebih nyaman, dan melancarkan pengiriman oksigen ke otot adalah usia produktif (Andri et al., 2019). Dewasa ini pengobatan penyakit TB dimasyarakat diupayakan dengan meningkatkan produktifitas apa yang mereka bisa lakukan supaya mereka bisa hidup secara normal meski dalam kondisi pemulihan penyakitnya. Impact-nya adalah masyarakat terbebas dari masalah-masalah sosial ekonomi yang diakibatkan karena penyakit TB. Angka keberhasilan pengobatan TB (Succes Rate) Provinsi Jawa Timur Tahun 2013-2016 No Indikator Program succses rate, Target Nas> 85%, Target Jatim> 90 %,2013 91%, 2014 91%, 2015 91%, 2016 89,91% (Kementerian Kesehatan RI, 2017). Besarnya tantangan dalam penanggulangan penyakit TB dapat dilihat dari hasil survey prevalensi tuberkulosis Kemenkes tahun 2013-2014, angka insiden TB adalah 399 per 100.000 penduduk, dan angka prevalensi TB sebesar 647 per 100.000 penduduk. Jika jumlah penduduk Indonesia berkisar 250 juta orang, maka diperkirakan ada sekitar 1 juta pasien TB baru dan ada sekitar 1,6 juta pasien TB setiap tahunnya. Sedangkan jumlah kematian karena TB 100.000 orang per tahun, atau 273 orang per hari. Situasi tersebut menyebabkan Indonesia menempati peringkat ke-2 negara yang memiliki beban TB tinggi di dunia, setelah India (Kementerian Kesehatan, 2017) Berdasarkan data yang diperoleh dari dinas kesehatan Penyakit baru dengan BTA+ 626 kasus, dengan angka kesembuhan pada tahun 2016 sebesar 790 kasus dari 944 kasus yang di obati dengan angka keberhasilan (success rate) 92,27 (Dinkes Sumenep, 2016).



2



Pencegahan penularan Tuberkulosis dapat dilakukan dengan menggunakan teori Five Levels of Prevention, teori ini terdiri dari lima bagian yaitu Health romotion (Promosi Kesehatan), Specific Protection (Perlindungn Khusus), Early Diagnosis and Prompt Treatment (Diagnosa dan Pengobatan Segera), Dissability Limitation (Pembatasan Kecacatan), dan Rehabilitation (Rehabilitasi). Teori ini tidak hanya membahas mengenai pencegahan penularan Tuberkulosis dari awal penyakit tersebut menginfeksi seseorang namun juga dilakukan pencegahan hingga sembuh (Leavell dan Clark, 1958).



B. Tujuan 1. Tujuan Umum Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami



pencegahan primer,



pencegahan sekunder, pencegahan tertier pada kasus kritis sistem pernafasan (TB Paru).



2. Tujuan Khusus a. Mahasiswa mampu mengetahui pencegahan primer pada kasus kritis sistem pernafasan (TB Paru). b. Mahasiswa mampu mengetahui pencegahan sekunder pada kasus kritis sistem pernafasan (TB Paru).. c. Mahasiswa mampu mengetahui pencegahan tertier pada kasus kritis sistem pernafasan (TB Paru



3



BAB II TINJAUAN TEORI



A. TUBERKULOSIS PARU 1. Pengertian Tuberkulosis atau TB paru adalah suatu penyakit menular yang paling sering mengenai parenkim paru, biasanya disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.TB paru dapat menyebar ke setiap bagian tubuh,



termasuk



meningen,



ginjal,



tulang



dan



nodus



limfe



(Smeltzer&Bare, 2015). Selain itu TB paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru atau di berbagai organ tubuh lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi (Tabrani Rab, 2010). Pada manusia TB paru ditemukan dalam dua bentuk, (Somantri, 2009)



yaitu: (1) tuberkulosis primer: jika terjadi pada infeksi yang



pertama kali, (2) tuberkulosis sekunder: kuman yang dorman pada tuberkulosis primer akan aktif setelah bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa Menurut Robinson, dkk (2014),TB Paru merupakan infeksi akut atau kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis di tandai dengan adanya infiltrat paru, pembentukan granuloma dengan perkejuan, fibrosis serta pembentukan kavitas. 2. Etiologi TB paru disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang dapat ditularkan ketika seseorang penderita penyakit paru aktif mengeluarkan organisme.Individu yang rentan menghirup droplet dan menjadi terinfeksi.Bakteria di transmisikan ke alveoli dan memperbanyak diri.Reaksi



inflamasi



menghasilkan



eksudat



di



alveoli



dan



4



bronkopneumonia, granuloma, dan jaringan fibrosa (Smeltzer&Bare, 2015). Ketika seseorang penderita TB paru batuk, bersin, atau berbicara, maka secara tak sengaja keluarlah droplet nuklei dan jatuh ke tanah, lantai, atau tempat lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau suhu udara yang panas, droplet atau nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri ke udara dibantu dengan pergerakan angin akan membuat bakteri tuberkulosis yang terkandung dalam droplet nuklei terbang ke udara. Apabila bakteri ini terhirup oleh orang sehat, maka orang itu berpotensi terkena bakteri tuberkulosis (Muttaqin Arif, 2012). Menurut Smeltzer & Bare (2015), Individu yang beresiko tinggi untuk tertular virus tuberculosis adalah: a.



Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB aktif.



b.



Individu imunnosupresif (termasuk lansia, pasien dengan kanker, mereka yang dalam terapi kortikosteroid, atau mereka yang terinfeksi dengan HIV).



c.



Pengguna obat-obat IV dan alkhoholik. d. Individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat (tunawisma; tahanan; etnik dan ras minoritas, terutama anak-anak di bawah usia 15 tahun dan dewasa muda antara yang berusia 15 sampai 44 tahun).



d.



Dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya (misalkan diabetes, gagal ginjal kronis, silikosis, penyimpangan gizi).



e.



Individu yang tinggal didaerah yang perumahan sub standar kumuh.



f.



Pekerjaan (misalkan tenaga kesehatan, terutama yang melakukan aktivitas yang beresiko tinggi.



3. Klasifikasi TB Paru TB paru diklasifikasikan menurut Wahid & Imam (2013) yaitu: a. Pembagian secara patologis 1) Tuberculosis primer (childhood tuberculosis)



5



2) Tuberculosis post primer (adult tuberculosis). b. Pembagian secara aktivitas radiologis TB paru (koch pulmonum) aktif, non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh) c. Pembagian secara radiologis (luas lesi) 1) Tuberkulosis minimal Terdapat sebagian kecil infiltrat nonkavitas pada satu paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru. 2) Moderately advanced tuberculosis Ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm. Jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari 1 bagian paru.Bila bayangan kasar tidak lebih dari sepertiga bagian 1 paru. 3) Far advanced tuberculosis Terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi keadaan pada moderately advanced tuberkulosis. Klasifikasi TB paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologik, radiologik, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini penting karena merupakan salah satu faktor determinan untuk menentukan strategi terapi. Sesuai dengan program Gerdunas-TB (Gerakan Terpadu Nasional Penanggulan Tuberkulosis) klasifikasi TB paru dibagi sebagai berikut: a.



TB Paru BTA Positif dengan kriteria: 1) Dengan atau tanpa gejala klinik 2) BTA positif: mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali disokong biakan positif satu kali atau disokong radiologik positif 1 kali. 3) Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru.



b.



TB Paru BTA Negatif dengan kriteria: 1) Gejala klinik dan gambaran radiologik sesuai dengan TB paru aktif. 2) 2) BTA negatif, biakan negatif tapi radiologik positif.



6



c.



Bekas TB Paru dengan kriteria: 1) Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negatif 2) Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru. 3) Radiologik



menunjukkan



gambaran



lesi



TB



inaktif,



menunjukkan serial foto yang tidak berubah. 4) Ada riwayat pengobatan OAT yang lebih adekuat (lebih mendukung) 4.



Patofisiologi



7



B.



PENCEGAHAN PRIMER Pencegahan primer merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mencegah penyakit, ketidakmampuan dan cidera. Strategi yang dilakukan meliputi promosi kesehatan dan kesejahteraan pada saat sebelum terjadinya penyakit atau tiap tahapan perkembangan kehidupan melalui pendidikan kesehatan yang dilakukan secara rutin dan berkesinambungan, proteksi kesehatan melalui pelayanan perawatan kesehatan (Hitchcock, Schubert & Thomas, 1999) Cara pencegahan TB paru agar tidak menular ke orang lain yaitu: a.



Menelan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara lengkap dan teratur sampai sembuh.



b.



Pasien TB harus menutup mulutnya dengan sapu tangan atau tisu atau tangan apabila bersin dan batuk, kemudian mencuci tangan.



c.



Tidak membuang dahak disembarang tempat, tetapi dibuang pada tempat khusus dan tertutup. Misalnya dengan menggunakan wadah atau kaleng bertutup yang sudah diberi air sabun. Buanglah dahak ke lubang WC atau timbun ke dalam tanah di tempat yang jauh dari keramaian.



d.



Menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), yaitu: -



Menjemur alat tidur,



-



Membuka pintu dan jendela setiap pagi agar udara dan sinar matahari masuk. Sinar matahari langsung dapat mematikan kuman TB,



-



Makan makanan bergizi,



-



Tidak merokok dan minum minuman keras,



-



Olahraga secara teratur,



-



Mencuci pakaian hingga bersih,



-



Buang air besar di jamban atau WC,



-



Mencuci tangan hingga bersih di air yang mengalir setelah selesai buang air besar, sebelum, dan sesudah makan,



-



Berisirahat cukup,



8



C.



Jangan tukar menukar peralatan mandi



PENCEGAHAN SEKUNDER Pencegahan sekunder adalah aktifitas yang berhubungan dengan deteksi dini dan pengobatan. Fokus pencegahan dengan melakukan skrining untuk mendeteksi penyakit pada fase awal. Pencegahan sekunder pada kasus TB dapat dilakukan dengan melakukan skrining untuk penemuan kasus secara dini, penanganan atau pengobatan segera bila ditemukan klien yang menderita TB. a.



Penemuan kasus tuberkulosis Penemuan kasus bertujuan untuk mendapakan kasus TB melalui



serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap suspek TB, pemeriksaan fisik dan laboratories, menentukan diagnosis dan menentukan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh dan tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadar akan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten yang mampu melakukan pemeriksan terhadap gejala dan keluhan tersebut. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana pasien TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat. Strategi penemuan • Penemuan pasien TB, secara umum dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB. Pelibatan semua layanan dimaksudkan



untuk mempercepat



penemuan



dan



mengurangi



9



keterlambatan pengobatan. Penemuan secara aktif pada masyarakat umum, dinilai tidak cost efektif. • Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap o



Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti pada pasien dengan HIV (orang dengan HIV AIDS),



o



Kelompok yang rentan tertular TB seperti di rumah tahanan, lembaga pemasyarakatan (para narapidana), mereka yang hidup pada daerah kumuh, serta keluarga atau kontak pasien TB, terutama mereka yang dengan TB BTA positif.



o



Pemeriksaan terhadap anak dibawah lima tahun pada keluarga TB harus dilakukan untuk menentukan tindak lanjut apakah diperlukan pengobatan TB atau pegobatan pencegahan.



o



Kontak dengan pasien TB resistan obat



• Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi kasus dengan gejala dan tanda yang sama dengan gejala TB, seperti pendekatan praktis menuju kesehatan paru (PAL = practical approach to lung health), manajemen terpadu balIta sakit (MTBS), manajemen terpadu dewasa sakit (MTDS) akan membantu meningkatkan penemuan kasus TB di layanan kesehatan, mengurangi terjadinya “misopportunity” kasus TB dan sekaligus dapat meningkatkan mutu layanan. Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki gejala: o



Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.



o



Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di 10



Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Suspek TB MDR adalah semua orang yang mempunyai gejala



o



TB dengan salah satu atau lebih kriteria suspek dibawah ini: 1.



Pasien TB yang gagal pengobatan kategori 2 (kasus kronik)



2.



Pasien TB tidak konversi pada pengobatan kategori 2.



3.



Pasien TB dengan riwayat pengobatan TB di fasyankes Non DOTS.



4.



Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.



5.



Pasien TB tidak konversi setelah pemberian sisipan.



6.



Pasien TB kambuh.



7.



Pasien TB yang kembali berobat setelai lalai/default.



8.



Pasien TB dengan riwayat kontak erat pasien TB MDR 9. ODHA dengan gejala TB-HIV.



• P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di Fasyankes. • S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Pengambilan 3 spesimen dahak masih diutamakan dibanding dengan 2 spesimen dahak mengingat masih belum optimalnya fungsi sistem dan hasil jaminan mutu eksternal pemeriksaan laboratorium. b.



Pemeriksaan Biakan Peran



biakan



dan



identifikasi



M.



Tuberkulosis



pada



pengendalian TB adalah untuk menegakkan diagnosis TB pada pasien tertentu, yaitu: -



Pasien TB Ekstra Paru



11



-



Pasien Tb Anak



-



Pasien TB BTA Negatif Pemeriksaan tersebut dilakukan jika keadaan memungkinkan



dan tersedia laboratorium yang telah memenuhi standar yang ditetapkan. c.



Uji Kepekaan Obat TB Uji kepekaan



obat



TB bertujuan



untuk



resistensi



M.



Tuberkulosis terhadap OAT. Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di laboratorium yang tersertifikasi dan lulus pemantapan mutu atau Quality Assurance (QA). Pemeriksaan tersebut ditujukan untuk diagnosis pasien TB yang memenuhi kriteria suspek TB-MDR.



D.



PENCEGAHAN TERSIER Pencegahan tersier adalah aktifitas yang dilakukan untuk mencegah penyakit supaya tidak bertambah parah atau kronis dan tidak akan menimbulkan ketidakmampuan pada individu. Pencegahan tersier meliputi pengobatan rutin dan teratur serta pencegahan kerusakan lebih lanjut atau komplikasi suatu penyakit. Prinsip dari pencegahan tersier adalah memberikan penguatan pertahanan tubuh terhadap stresor melalui pendidikan kesehatan dan membantu dalam pencegahan terjadinya masalah yang sama. a. Pengobatan tuberkulosis Tujuan, dan Prinsip Pengobatan Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Jenis , sifat dan dosis OAT yang akan dijelaskan pada bab ini adalah yang tergolong pada lini pertama. Secara ringkas OAT lini pertama dijelaskan pada tabel dibawah ini:



12



Tabel 1.1 Pengelompokan OAT



Tabel 1.2. Jenis, Sifat dan Dosis OAT lini pertama



Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:



13







OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).







Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Tahap awal (intensif) o Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. o Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. o Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Tahap Lanjutan o Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama o Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan



14



BAB III PENUTUP



A.



Kesimpulan Upaya pencegahan terhadap suatu penyakit di bidang pelayanan kesehatan terdapat tiga tingkatan yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier. Pencegahan primer terdiri dari promosi kesehatan dan perlindungan spesifik baik terhadap individu maupun lingkungan. Masalah kesehatan seperti penyakit infeksi khususnya TB Paru perlu dicegah. Pencegahan primer dilaksanakan selama fase prepatogenesis suatu kejadian penyakit atau masalah kesehatan. Pencegahan sekunder terdiri dari diagnosis dini dan terapi adekuat. Pencegahan sekunder dilakukan saat fase patogenesis (masa inkubasi) yang dimulai saat bibit penyakit masuk ke dalam tubuh manusia sampai saat timbulnya gejala penyakit atau gangguan kesehatan. Pencegahan tersier dilaksanakan melalui program rehabilitasi untuk mengurangi ketidakmampuan dan meningkatkan efisiensi hidup penderita.



B.



Saran Penerapan berpikir kritis sangatlah penting, baik yang dilakukan mahasiswa, dosen, perawat maupun orang awam sekalipun, oleh karena itu perawat harus memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan konsep berpikir kritis apalagi dalam mengahadapi pasien penyakit dalam/paru khususnya TB Paru



15



DAFTAR PUSTAKA



Andri, J., Karmila, R., Padila, P., Harsismanto, J., & Sartika, A. (2019). Pengaruh Terapi Aktivitas Senam Ergonomis terhadap Peningkatan Kemampuan Fungsional Lansia. Journal of Telenursing, 1(2), 304– 313. https://doi.org/https://doi.org/10.31539/joting.v1i2.933 Kementerian Kesehatan RI. (2017). Juknis Penemuan Aktif TBC Integrasi Program Indonesia Sehat melalui Pendekatan Keluarga (PISPK). Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. (2017). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Leavell H, Clark E. (1958). Preventive medicine for the doctor in his community an epidemiologic approach. 1 st edition, New York; McGraw-Hill;. Riskesdas. (2018). Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 1–100. https://doi.org/1 WHO. (2018). Global Tuberculosis Report WHO 2018. In WHO report (Vol. 69, Issue 4) Smeltzer, S.C., and Bare, B.G. (2015).Medical Surgical Nursing (Vol 1). LWW Mutaqqin, Arif. 2012. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernafasan.Jakarta: Salemba Medika Kemenkes RI, (2011). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan