KEPUTUSASAAN [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PAPER KEPERAWATAN JIWA I “KEPUTUSASAAN”



Dosen Pembimbing : Dr.Ns. Wahyu Kirana M.Kep. Sp.jiwa



Oleh Kelompok 2: Jabalul Rahman



(821181007)



Nurhillah



(821181009)



Sri Wahyuni



(821181011)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) YARSI PONTIANAK TAHUN AJARAN 2020/2021



A. Konsep Dasar Keperawatan 1. Pengertian Keputusasaan adalah kondisi individu yang memandang adanya keterbatasana atau tidak tersedianya alternatif pemecahan pada masalah yang dihadapi (PPNI, 2016, hal: 196). Keputusasaan merupakan kondisi subjektif yang ditandai dengan individu memandang hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada alternatif atau pilihan pribadi dan tidak mampu memobilisasi energi demi kepentingannya sendiri (Zaini, 2019, hal: 68). Keputusasaan adalah keadaan subyektif di mana orang merasa tidak mampu menyelesaikan masalah atau menetapkan tujuan. Mereka merasa bahwa mereka tidak memiliki alternatif atau pilihan, bahkan ketika mereka benar-benar dapat mengendalikan apa yang terjadi. Orang-orang yang tidak berdaya mengungkapkan perasaan apatis lengkap dalam menanggapi masalah.



Mereka sering terdengar



membuat pernyataan seperti, "Apa gunanya mencoba; tidak ada yang akan baik-baik saja" atau "Tidak ada yang cocok untuk saya." Karena orang yang putus asa tidak dapat melihat solusi yang memungkinkan, mereka cenderung pasif dan tidak tertarik. Mereka merasa sulit, jika bukan tidak mungkin, untuk menyelesaikan masalah atau membuat keputusan (Gloria, 2012, hal: 209). Bahasa tubuh orang-orang yang tidak memiliki harapan adalah bahasa kesedihan. Dalam kebanyakan kasus, orang-orang ini menunjukkan sedikit emosi (walaupun beberapa merespon dengan kemarahan). Perilaku self-destractive adalah umum di antara orang dewasa yang tidak memiliki harapan. Tanda-tanda putus asa termasuk kegagalan untuk makan, kegagalan untuk mengambil obat yang diresepkan, dan kegagalan untuk mengikuti perawatan medis. Dalam kasus-kasus ekstrem, individuindividu yang putus asa bisa menjadi bunuh diri. Tingkat bunuh diri pada orang dewasa yang lebih tua lebih tinggi daripada pada kelompok usia lainnya, dan jumlahnya tampaknya meningkat. Setiap orang yang lebih tua yang menunjukkan tanda-tanda putus asa yang parah harus diawasi dengan ketat. Orang dewasa tua yang putus asa yang menyalahgunakan alkohol atau obat-obatan depresan lainnya berisiko lebih tinggi daripada rata-rata untuk bunuh diri (Williams, 2016, hal: 209). Putus asa adalah persepsi diri di mana individu percaya bahwa mereka tidak memiliki pilihan atau alternatif dalam situasi kehidupan mereka saat ini. Keyakinan bahwa mereka tidak berdaya untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan



mengubah keadaan mereka terus mendukung pengalaman keputusasaan. Salah satu kebutuhan adaptif manusia adalah untuk merasa bahwa mereka memiliki sejumlah kendali atas perasaan mereka sendiri serta fungsi mereka di lingkungan tempat mereka hidup. Keputusasaan adalah keadaan memahami bahwa seseorang tidak memiliki kendali. Ini menjadi faktor yang sangat membatasi dalam memiliki energi untuk berubah atau keyakinan bahwa perubahan dari keadaan saat ini adalah mungkin. Adalah normal bagi semua individu untuk mengalami perasaan putus asa sesekali (Barry, 2002, hal:152). 2. Proses Terjadinya Masalah a. Faktor Predisposisi (penyebab) Beberapa faktor yang terkait dengan keputusasaan yaitu perasaan terbuang, adanya peniruan kondisi fisiologis, kehilangan kepercayaan pada kekuatan spiritual, kehilangan kepercayaan pada nilai penting, stress jangka panjang yang mengakibatkan isolasi sosial (Zaini, 2019, hal: 68). Berdasarkan aspek biologis, psikologis, dan sosial, kondisi keputusasaan dan disebabkan oleh kondisi berikut ini (Zaini, 2019, hal: 68-69). 1) Aspek biologis Kondisi biologis yang menyebabkan terjadinya keputusasaan adalah ada riwayat keluarga depresi, status nutrisi: riwayat anoreksia, dan BB kurang atau berlebih, status kesehatan secara umum: adanya riwayat penyakit kronis, ketidakseimbangan sistem saraf dan elektrolit, paparan terhadap racun atau alkohol. 2) Aspek psikologis Kondisi psikologis yang menyebabkan terjadinya keputusasaan adalah gangguan dalam komunikasi verbal, adanya pengalaman yang tidak menyenangkan (perpisahan atau penolakan), gangguan konsep diri: ideal diri yang tidak realistis, motivasi yang kurang atau tidak ada dukungan sosial, Self control yang kurang. 3) Aspek sosial Kondisi sosial yang menyebakan terjadinya keputusasaan adalah riwayat pendidikan: tidak sekolah/ putus sekolah, pekerjaan dan pendapatan: tidka bekerja atau tidak pernah bekerja tapi diberhentikan serta sosial ekonomi yang belum menikah atau kegagalan dalam berumah tangga, spiritualitas yang



kurang/ tidak menjalankan perintah agama, pengalaman sosial masyarakat: pernah ditolak di kelompok sebaya (Pitter, H.Z, 2011 dalam Zaini, 2019, hal:69). b. Faktor Presipitasi (Pencetus) 1) Secara biologis Riwayat keluarga menderita depresi, status nutrisi, ststus kesehatan secara umum, pembatasan aktivitas jangka panjang( stuuartd, 2011 dalam Esa Unggul, 2018, hal: 3). 2) Faktor psikologis Stres jangka panjang, Retardasi mental, kemampuan komunikasi verbal kurang, pengalaman masa lalukurang menyenangkan dan konsep diri kurang baik. 3) Faktor sosial budaya -



Adanya hambatan pelaksanaan interaksi sosial



-



Kehilangan kepercayaan pada kekuatan spiritual



-



Kehilangan kepercayaan pada nilai penting



-



Kurang dukungan sosial



-



Putus sekolah dan pemutusan hubungan kerja (Esa Unggul, 2018, hal:3).



c. Penilaian terhadap stressor Apakah masalah dalam konsep diri dipicu oleh stresor psikologis, sosiologis, atau fisiologis, elemen penting adalah persepsi pasien tentang ancaman. Ketika menilai perilaku dan merumuskan diagnosis keperawatan, perawat harus terus memvalidasi pengamatan dan kesimpulan untuk membangun hubungan terapeutik yang saling menguntungkan dengan pasien (Stuart, 2013, hal:273). d. Sumber koping Sumber koping pribadi termasuk status sosial ekonomi seseorang (pendapatan, pekerjaan, posisi sosial, pendidikan), keluarga (nuklir, perluasan), jaringan dukungan sosial, dan aset perawatan masyarakat dan kesehatan. Efek jangka panjang dari faktor-faktor penentu sosial kesehatan, termasuk kemiskinan, diskriminasi, perumahan yang tidak memadai, pendidikan di bawah standar, dan isolasi sosial sangat serius (Stuart, 2013, hal: 304). e. Mekanisme Koping Melakukan perubahan perilaku yang menurunkan keputusasaan



Beradaptasi dengan lingkungannya Membangun kepercayaan diri dan bersikap optimis Memanfaatkan dukungan keluarga/orang terdekat Fokus pada masalah (Stuart, 2011 dalam Esa Unggul, 2018, hal:4). 3. Penatalaksaan medis a. Psikofarmaka Psikofarmaka adalah berbagai jenis obat yang bekerja pada susunan saraf pusat. Efek utamanya pada aktivitas mental dan perilaku, yang biasanya digunakan untuk pengobatan gangguan kejiwaan. Terdapat banyak jenis obat psikofarmaka



dengan



farmakokinetik



khusus



untuk



mengontrol



dan



mengendalikan perilaku pasien gangguan jiwa (Yusuf, 2015, hal: 280). Obat



golongan



ini



dipakai



untuk



mengurangi



ansietas/kecemasan/



keputusasaan yang patologis tanpa banyak berpengaruh pada fungsi kognitif. Secara umum, obat-obat ini berefek sedatif dan berpotensi menimbulkan toleransi/ketergantungan terutama pada golongan Benzodiazepin (Yusuf, 2015, hal:283). b. Terapi ECT Terapi kejang listrik adalah suatu prosedur tindakan pengobatan pada pasien gangguan jiwa, menggunakan aliran listrik untuk menimbulkan bangkitan kejang umum, berlangsung sekitar 25–150 detik dengan menggunakan alat khusus yang dirancang aman untuk pasien. Pada prosedur tradisional, aliran listrik diberikan pada otak melalui dua elektroda dan ditempatkan pada bagian temporal kepala (pelipis kiri dan kanan) dengan kekuatan aliran terapeutik untuk menimbulkan kejang. Kejang yang timbul mirip dengan kejang epileptik tonik-klonik umum. Namun, sebetulnya yang memegang peran penting bukanlah kejang yang ditampilkan secara motorik, melainkan respons bangkitan listriknya di otak yang menyebabkan terjadinya perubahan faali dan biokimia otak (Yusuf, 2015, hal:289). c. Terapi TAK (Terapi Aktivitas Kelompok). Kelompok adalah kumpulan individu yang mempunyai hubungan satu dengan yang lain, saling bergantungan, serta mempunyai norma yang sama (Stuart dan Sundeen, 1991 dalam Yusuf, 2015, hal: 294). Manusia adalah makhluk sosial, hidup berkelompok, dan saling berhubungan untuk memenuhi kebutuhan sosial. Kebutuhan sosial dimaksud antara lain rasa menjadi milik



orang lain atau keluarga, kebutuhan pengakuan orang lain, kebutuhan penghargaan orang lain, dan kebutuhan pernyataan diri. Penggunaan kelompok dalam praktik keperawatan jiwa memberikan dampak positif dalam upaya pencegahan, pengobatan atau terapi serta pemulihan kesehatan jiwa. Selain itu, dinamika kelompok tersebut membantu pasien meningkatkan perilaku adaptif dan mengurangi perilaku maladaptif (Yusuf, 2015, hal: 294). B. Asuhan Keperawatan Teoritis 1. Pengkajian Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan melalui data biologis, psikologis, social dan spiritual. Adapun isi dari pengkajian tersebut adalah: a) Identitas Klien Melakukan perkenalan dan kontrak dengan klien tentang: nama mahasiswa, nama panggilan, nama klien, nama panggilan klien, tujuan, waktu, tempat pertemuan, topik yang akan dibicarakan. Tanyakan dan catat usia klien dan No RM, tanggal pengkajian dan sumber data yang didapat. b) Alasan masuk Apa yang menyebabkan klien atau keluarga datang, atau dirawat di rumah sakit, biasanya berupa menyendiri (menghindar dari orang lain), komunikasi kurang atau tidak ada, berdiam diri di kamar, menolak interaksi dengan orang lain, tidak melakukan kegiatan. sehari-hari, dependen, perasaan kesepian, merasa tidak aman berada dengan orang lain, merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu, tidak mampu berkonsentrasi, merasa tidak berguna dan merasa tidak yakin dapat melangsungkan hidup. Apakah sudah tahu penyakit sebelumnya, apa yang sudah dilakukan keluarga untuk mengatasi masalah ini. c) Faktor predisposisi Menanyakan apakah keluarga mengalami gangguan jiwa, bagaimana hasil pengobatan sebelumnya, apakah pernah melakukan atau mengalami kehilangan, perpisahan, penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan atau frustrasi berulang, tekanan dari kelompok sebaya, perubahan struktur social, terjadi trauma yang tiba-tiba misalnya harus di operasi,



kecelakaan, perceraian, putus sekolah, PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi (korban perkosaan, dituduh KKN, dipenjara tiba-tiba), mengalami kegagalan dalam pendidikan maupun karier, perlakuan orang lain yang tidak menghargai klien atau perasaan negative terhadap diri sendiri yang berlangsung lama. Faktor-faktor predisposisi terjadinya gangguan hubungan sosial, adalah: 1) Faktor Perkembangan Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan yang harus dilalui individu dengan sukses agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Tugas perkembangan pada masing-masing tahap tumbuh kembang ini memiliki karakteristik sendiri. Apabila tugas ini tidak terpenuhi, akan mencetuskan seseorang sehingga mempunyai masalah respon social maladaktif. System keluarga yang terganggu dapat menunjang perkembangan respon social maladaktif. Beberapa orang percaya bahwa individu yang mempunyai masalah ini adalah orang yang tidak berhasil memisahkan dirinya dan orang tua. Norma keluarga yang tidak mendukung hubungan keluarga dengan pihak lain diluar keluarga. 2) Faktor Biologis Genetic merupakan salah satu factor pendukung gangguan jiwa. Berdasarkan hasil penelitian, pada penderita skizofrenia 8% kelainan pada struktur otak, seperti atrofi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan struktur lmbik diduga dapat menyebabkan skizofrenia. 3) Faktor Sosial Budaya Isolasi sosial merupakan faktor dalam gangguan berhubungan. Ini akibat dan norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang lain, atau tidak menghargai anggota masyarakat yang tidak produktif, seperti lansia, orang cacat, dan penyakit kronik. Isolasi dapat terjadi karena mengadopsi norma, perilaku, dan system nilai yang berbeda dan kelompok budaya mayoritas. Harapan yang tidak realistis terhadap hubungan, keputusasaan merupakan factor lain yang berkaitan dengan gangguan ini. 4) Faktor Komunikasi Dalam Keluarga Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan factor pendukung untuk terjadinya gangguan dalam berhubungan sosial. Dalam teori ini termasuk masalah komunikasi yang tidak jelas yaitu suatu keadaan dimana seseorang anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan dalam



waktu bersamaan, ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan di luar keluarga. d) Stressor Presipitasi Stressor presipitasi umumnya mencakup kejadian kehidupan yang penuh stress seperti kehilangan, yang mempengaruhi kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan menyebabkan ansietas. Stressor presipitasi dapat dikelompokkan dalam kategori: 1) Stressor Sosial Budaya Stress dapat ditimbulkan oleh beberapa factor antara factor lain dan factor keluarga seperti menurunnya stabilitas unit keluarga dan berpisah dari orang yang berarti dalam kehidupannya, misalnya dirawat di rumah sakit. 2) Stressor Psikologis Tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan menurunnya kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intensitas kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu mengatasi masalah



diyakini



akan



menimbulkan



berbagai



masalah



gangguan



berhubungan (keputusasaan). e) Pemeriksaan fisik Memeriksa tanda-tanda vital, tinggi badan, berat badan, dan tanyakan apakah ada keluhan fisik yang dirasakan klien. f) Psikososial 1) Genogram Genogram menggambarkan klien dengan keluarga, dilihat dari pola komunikasi, pengambilan keputusan dan pola asuh. 2) Konsep diri i. Gambaran diri Tanyakan persepsi klien terhadap tubuhnya, bagian tubuh yang disukai, reaksi klien terhadap bagian tubuh yang tidak disukai dan bagian yang disukai. Pada klien dengan isolasi social, klien menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan terjadi, menolak penjelasan perubahan tubuh, persepsi negative tentang tubuh, preokupasi dengan bagian tubuh yang hilang, mengungkapkan perasaan keputusasaan, mengungkapkan ketakutan.



ii. Identitas diri Klien dengan isolasi social mengalami ketidakpastian memandang diri, sukar menetapkan keinginan dan tidak mempu mengambil keputusan. iii. Fungsi peran Tugas atau peran klien dalam keluarga/pekerjaan/kelompok masyarakat, kemampuan klien dalam melaksanakan fungsi atau perannya, dan bagaimana perasaan klien akibat perubahan tersebut. Pada klien dengan keputusasaan bisa berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit, proses menuah, putus sekolah, PHK, perubahan yang terjadi saat klien sakit dan dirawat. iv. Ideal diri Harapan klien terhadap keadaan tubuh yang ideal, posisi, tugas, peran dalam keluarga, pekerjaan atau sekolah, harapan klien terhadap lingkungan, harapan klien terhadap penyakitnya, bagaimana jika kenyataan tidak sesuai dengan harapannya. Pada klien dengan isolasi social cenderung mengungkapkan keputusasaan karena penyakitnya, mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi. v. Harga diri Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri sendiri, gangguan hubungan social, merendahkan martabat, mencederai diri, dan kurang percaya diri. vi. Hubungan sosial Dalam setiap interaksi dengan klien, perawat harus menyadari luasnya dunia kehidupan klien. Siapa orang yang berarti dalam kehidupan klien, tempat mengadu, bicara, minta bantuan atau dukungan baik secara material



maupun



non-material.



Peran



serta



dalam



kegiatan



kelompok/masyarkat sosial apa saja yang diikuti dilingkungannya. vii. Spiritual Nilai dan keyakinan, kegiatan ibadah/menjalankan keyakinan, kepuasan dalam menjalankan keyakinan. g) Status mental 1) Penampilan Melihat penampilan klien dari ujung rambut sampai ujung kaki. Pada klien dengan keputusasaan megalami defisit perawatan diri (penampilan tidak rapi.



Penggunaan pakaian tidak sesuai, cara berpakaian tidak seperti biasanya, rambut kotor, rambut seperti tidak pernah disisr, gigi kotor dan kuning, kuku panjang dan hitam). 2) Pembicaraan Tidak mampu memulai pembicaraan, berbicara hanya jika ditanya. Cara berbicara digambarkan dalm frekuensi (kecepatan, cepat/lambat) volume (keras/lembut) jumlah (sedikit, membisu, ditekan) dan karakteristiknya (gugup, kata-kata bersambung, aksen tidak wajar). Pada pasien isolasi sosial bisa ditemukan cara berbicara yang pelan (lambat, lembut, sedikit/membisu, dan menggunakan katakata simbolik). 3) Aktivitas motorik Klien dengan isolasi social cenderung lesu dan lebih sering duduk menyendiri, berjalan pelan dan lemah. Aktifitas motorik menurun, kadang ditemukan hipokinesia dan katalepsi. 4) Afek dan Emosi Klien dengan isolasi social cenderung datar (tidak ada perubahan roman muka pada saat ada stimulus yang menyenangkan atau menyedihkan) dan tumpul (hanya bereaksi bila ada stimulus emosi yang sangat kuat). 5) Interaksi selama wawancara Klien dengan isolasi social kontak mata kurang (tidak mau menatap lawan bicara), merasa bosan dan cenderung tidak kooperatif (tidak konsentrasi menjawab pertanyaan pewawancara dengan spontan). Emosi ekspresi sedih dan mengekspresikan penolakan atau kesepian kepada orang lain. 6) Persepsi–Sensori Klien dengan isolasi social berisiko mengalami gangguan sensori/persepsi halusinasi. h) Proses Pikir 1) Proses pikir Arus: bloking (pembicaraan terhenti tiba-tiba tanpa gangguan dari luar kemudian dilanjutkan kembali). Bentuk pikir: Otistik (autisme) yaitu bentuk pemikiran yang berupa fantasi atau lamunan untuk memuaskan keinginan yang tidak dapat dicapainya. Hidup dalam pikirannya sendiri, hanya memuaskan keinginannya tanpa perduli sekitarnya, menandakan ada distorsi



arus assosiasi dalam diri klien yang dimanifestasikan dengan lamunan yang cenderung menyenangkan dirinya. 2) Isi fikir Keputusasaan (putus asa) yaitu isi pikiran yang berupa rasa tidak bisa menyelesaikan masalah, menyediri, terkucil, tersekat, terpencil dari lingkungan sekitarnya/masyarakat, merasa ditolak, tidak disukai orang lain, dan tidak enak berkumpul dengan orang lain sehingga sering menyendiri. i) Tingkat Kesadaran Pada klien dengan isolasi social cenderung bingung, kacau (perilaku yang tidak mengarah pada tujuan), dan apatis (acuh tak acuh). j) Memori Klien tidak mengalami gangguan memori, dimana klien sulit mengingat hal-hal yang telah terjadi oleh karena menurunnya konsentrasi. k) Tingkat Konsentrasi dan berhitung Pada klien dengan keputusasaan tidak mampu berkonsentrasi: klien selalu minta agar pertanyaan diulang karena tidak menangkap apa yang ditanyakan atau tidak dapat menjelaskan kembali pembicaraan. l) Daya Tilik Pada klien dengan keputusasaan cenderung mengingkari penyakit yang diderita: klien tidak menyadari gejala penyakit (perubahan fisik dan emosi) pada dirinya dan



merasa



tidak



perlu



minta



pertolongan/klien



menyangkal



keadaan



penyakitnya, klien tidak mau bercerita tentang penyakitnya. m) Koping penyelesaian masalah Mekanisme yang sering digunakan pada isolasi sosial adalah regresi, represi, dan isolasi. i. Regresi adalah mundur kemasa perkembangan yang telah lain. ii. Represi adalah perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran yang tidak dapat diterima, secara sadar dibendung supaya jangan tiba di kesadaran. iii. Putus Asa adalah mekanisme mental tidak sadar yang mengakibatkan timbulnya kegagalan defensif dalam menghubungkan perilaku dengan motivasi atau pertentangan antara sikap dan perilaku. n) Pohon masalah Keputusasaan



Harga Diri Rendah



Ideal Diri Tidak Realistis 2. Diagnosa Keperawatan a. Ideal diri tidak realistis b. Harga diri rendah c. Keputusasaan 3. Rencana Keperawatan Rencana Keperawatan Klien dengan Keputusasaan Perencanaan Intervensi Rasional Tujuan Kriteria hasil Tujuan KH: Lingkungan Terus mengevaluasi pasien dengan pasien akan Umum: potensi pasien untuk bunuh gangguan mood aman dan Pasien akan protektif. diri. Rawat inap pasien yang parah responsif



ketika ada risiko bunuh berisiko



secara



diri. Bantu pasien pindah diri;



emosional



ke lingkungan baru jika lingkungan dapat



dan kembali



perlu



ke



kelompok teman sebaya, mengurangi



tingkat



fungsi



pra-



penyakit.



(pekerjaan



pengaturan keluarga).



bunuh perubahan



baru, melindungi pasien, tekanan langsung, dan memobilisasi sumber



daya



tambahan.



Baik



pasien



yang



depresi



maupun



yang



manik



menolak



untuk



terlibat



dalam



hubungan



terapi;



penerimaan, ketekunan,



dan



penetapan



batas



KH: Pasien akan



diperlukan. Gunakan pendekatan yang Baik pasien yang



menjalin



hangat,



hubungan



empatik.



terapeutik



kendalikan perasaan dan menolak



untuk



dengan perawat



reaksi



sendiri terlibat



dalam



frustrasi, hubungan



terapi;



menerima,



dan depresi



maupun



Waspadai dan yang Anda



(kemarahan, simpati).



penerimaan,



Dengan pasien yang



ketekunan,



mengalami depresi:



penetapan



Bangun hubungan baik diperlukan melalui waktu bersama dan persahabatan



yang



mendukung.



Beri pasien



waktu untuk merespons. Personalisasi sebagai



perawatan



cara



untuk



menunjukkan nilai pasien sebagai manusia. Dengan pasien manik: Berikan respons yang sederhana



dan



Waspadai



kemungkinan



manipulasi. batas



jujur. Tetapkan



konstruktif



pada



perilaku negatif. Gunakan pendekatan yang konsisten oleh semua anggota tim perawatan



kesehatan.



Pertahankan terbuka



dan



komunikasi berbagi



persepsi di antara anggota tim.



Perkuat kontrol diri



manik



dan batas



pasien dan aspek positif dari perilaku pasien. KH: pasien akan Bantu pasien memenuhi Perubahan fisiologis terjadi menjadi stabil kebutuhan perawatan diri, pada gangguan secara fisiologis khususnya di bidang mood; perawatan fisik dan terapi dan bisa bertemu nutrisi, tidur, dan somatik kebutuhan kebersihan pribadi. diperlukan untuk mengatasi masalah perawatan diri. Dorong kemandirian di bidang ini. pasien bila memungkinkan.



Berikan



obat yang diresepkan dan KH: Pasien akan dapat mengenali dan mengekspresikan emosi yang berkaitan dengan kejadian seharihari.



KH: Pasien akan mengevaluasi pemikiran dan memperbaiki pikiran yang salah atau negatif.



perawatan somatik Tanggapi dengan empatik, dengan fokus pada perasaan daripada fakta. Mengakui rasa sakit pasien dan menyampaikan rasa harapan dalam pemulihan. Bantu pasien mengalami perasaan dan ungkapkan dengan tepat. Bantu pasien dalam ekspresi kemarahan yang adaptif. Tinjau konseptualisasi pasien tentang masalahnya, tetapi tidak harus menerima kesimpulan pasien. Identifikasi pikiran negatif pasien dan bantu untuk menguranginya. Bantu meningkatkan pemikiran positif. Periksa akurasi persepsi, logika, dan kesimpulan. Identifikasi kesalahan persepsi, distorsi, dan kepercayaan irasional. Bantu pasien bergerak dari tujuan yang tidak realistis ke tujuan yang realistis. Kurangi pentingnya tujuan yang tidak dapat dicapai. Batasi jumlah evaluasi pribadi negatif yang



Pasien dengan gangguan mood yang parah mengalami kesulitan mengidentifikasi, mengekspresikan, dan memodulasi perasaan.



Ini



akan



membantu meningkatkan rasa kontrol atas tujuan dan



perilaku,



meningkatkan harga



diri,



dan



memodifikasi harapan negatif



dilakukan pasien. KH: Pasien akan menerapkan dua strategi koping perilaku baru



Periksa akurasi persepsi, logika, dan kesimpulan. Identifikasi kesalahan persepsi, distorsi, dan kepercayaan irasional. Bantu pasien bergerak dari tujuan yang tidak realistis ke tujuan yang realistis. Kurangi pentingnya tujuan yang tidak dapat dicapai. Batasi jumlah evaluasi pribadi negatif yang dilakukan pasien. Tetapkan tugas terapeutik yang berorientasi pada tindakan. Dorong kegiatan secara bertahap, tingkatkan mereka seiring energi pasien dimobilisasi. Berikan program yang nyata dan terstruktur bila perlu. Tetapkan tujuan yang realistis, relevan dengan kebutuhan dan minat pasien, dan fokus pada kegiatan positif. Fokus pada aktivitas saat ini, bukan aktivitas masa lalu atau masa depan. Positif memperkuat kinerja yang sukses. Masukkan latihan fisik dalam rencana perawatan pasien.



Kinerja perilaku yang sukses menangkal perasaan tidak berdaya dan putus asa.



Kh: Pasien akan menggambarkan interaksi sosial yang bermanfaat.



Nilai keterampilan sosial, dukungan, dan minat pasien. Tinjau sumber daya sosial yang ada dan potensial. Instruksikan dan contohkan keterampilan sosial yang efektif. Gunakan permainan peran dan latihan interaksi sosial. Berikan umpan balik dan penguatan positif keterampilan interpersonal yang efektif. Campur tangan dengan keluarga



Sosialisasi adalah pengalaman yang tidak sesuai dengan penarikan; itu meningkatkan harga diri melalui penguat sosial dari persetujuan, penerimaan, pengakuan, dan dukungan.



agar mereka memperkuat respons emosional adaptif pasien. Mendukung atau terlibat dalam terapi keluarga dan kelompok bila perlu.



C. Aplikasi Kasus Kasus : Ny. D usia 30 tahun datang ke RSJ RESPATI pada tanggal 19 november 2011, dengan wajah pasien tampak pucat, penampilan tampak lusuh dan tidak terawat, saat ditanya pasien hanya diam dengan tatapan kosong. keluarga yang mengantarkan mengatakan bahwa sudah satu bulan lebih sejak pasien ditinggal oleh tunangannya pergi dengan wanita lain,pasien hanya mengurung diri dikamar, tidak mau bersosialisasi dengan lingkungan terlebih dengan keluarga. keluarga juga mengatakan bahwa sebelumnya pasien pernah gagal dalam berumah tangga (bercerai) sekitar 1 tahun yang lalu dengan alasan yang sama,dan sejak gagal untuk yang ke-2 kalinya pasien putus asa dan tidak mau mengenal laki – laki lagi,pasien juga pernah mencoba untuk mengakhiri hidupnya.saat dilakukan pengkajian oleh perawat didapatkan hasil TB =160 cm, BB =58 kg. 1. Pengkajian a. Identitas klien Nama



: Ny.D



No. register



: 098764



Agama



: Islam



Pendidikan



: SMA



Status Perkawinan



: Bercerai



Umur



: 30 tahun



b. Alasan masuk Pasien dibawa ke rumah sakit Karena pasien selalu mengurung diri dikamar, tidak mau bersosialisasi da nada keinginan untuk mengakhiri hidupnya. c. Faktor prediposisi dan presipitasi 1) Faktor prediposisi



: pasien merupakan orang yang tertutup



2) Faktor presipitasi



: pasien putus asa dengan keadaanya yang selalu



mengalami kegagalan dalam menjalin suatu hubungan



d. Pemeriksaan fisik TTV : -



Tekanan Darah



: 130/80mmHg



-



Nadi



: 80x/menit



-



Suhu



: 36,5 OC.



-



Respirasi



: 24x/menit



Ukuran : -



TB



: 160 cm



-



BB



: 58 kg



Kepala



: rambut pasien kusut, kulit kepala kotor tidak terdapat lesi,



e. Fisik -



tidak tampak hematom, tidak terdapat nyeri tekan. -



Mata



: mata pasien tidak konjungtivitis, sayu, tidak terdapat edema,



terdapat lingkaran



hitam di kelopak mata bawah.



-



Hidung



: simetris, tidak terdapat lesi, tidak ada gangguan penciuman



-



Telinga



: telinga pasien simetris, tampak kotor, tidak ada gangguan



pendengaran -



Mulut



: mukosa bibir klien kering, tidak terdapat stomatitis, gigi



pasien kurang bersih



Ekstremitas atas ka/ki : tonus otot kuat



f. Psikososial Saat dirumah pasien banyak tinggal di rumah,hanya mengurung diri dikamar, jarang



melakukan aktivitas di luar rumah, bahkan pasien malas bekerja.



g. Konsep diri 1) Gambaran diri atau citra tubuh : pasien memandang dirinya adalah seorang wanita yang kurang beruntung 2) Identitas diri : pasien mengatakan bahwa dirinya adalah seorang wanita 3) Peran diri : pasien mengatakan bahwa dirinya dulunya adalah seorang istri 4) Ideal diri : pasien mengatakan bahwa lebih baik dia tidak mengenal laki-laki lagi 5) Harga diri : Pasien mengatakan dirinya tidak berguna lagi,dan putus asa. h. Hubungan sosial Sebelum bercerai dan dibawa ke rumah sakit pasien adalah sosok yang tidak mudah putus asa, pasien adalah seorang istri yang sangat menyayangi keluarganya, pasien menganggap keluarganya sangat berarti baginya. Hubungan



sosial pasien dengan lingkungannya sangat baik, tetapi setelah ditinggal oleh tunanganya untuk yang ke 2 kalinya pasien merasa seperti sendiri sehingga hanya mengurung diri dikamar. i. Spiritual 1) Nilai dan keyakinan : pasien menganut agama Islam. 2) Kegiatan ibadah : dulu pasien merupakan sosok yang rajin beribadah j. Status Mental 1) Penampilan : Penampilan pasien kuang rapi, tidak terurus, tampak lelah dan putus asa 2) Pembicaraan : pasien sering tidak focus dan melamun dengan tatapan kosong k. Aktivitas motorik 1) Hipomotorik :pasien terlihat diam tidak banyak melakukan aktivitas 2) Hipermotorik : Tidak ada aktivitas hipermotorik yang dilakukan oleh pasien 3) TIK : Tidak nampak TIK pada diri pasien 4) Agitasi : pasien nampak benci dan marah karena kegagalannya dalam menjalin suatu hubungan. 5) Grimaseran : pasien tidak menunjukkan gerakan-gerakan yang tidak disadari olehnya. 6) Tremor : pasien tidak menunjukkan adanya tremor : pasien tidak menunjukkan kompulsif yang dilakukan g. 7) Kompulsif : Pasien tidak menunjukkan kompusif yang dilakukan. l. Alam perasaan : Pasien mengatakan sering gelisah memikikan kegagalan dalam menjalin suatu hubungan, bingung dan selalu memikirkan masa lalu yang pernah di alaminya. m. Afek : Pasien menunjukkan ekspresi yang sesuai n. Interaksi selama wawancara : Selama dilakukan wawancara pasien terlihat banyak melamun dan kurang memperhatikan. pasien sering diam dengan tatapan kosong apabila ditanya tentang masalahnya. o.



Persepsi : pasien merasa bahwa kejadian yang menimpa dirinya merupakan kesalahan dirinya.



p. Proses pikir Saat dilakukan pengkajian pasien berbicara sesuai dengan parasaannya dan apa yang dirasakannya. 1) Isi pikir - Obsesi : tidak tampak adanya keinginan yang diulang-ulang oleh pasien



- Phobia : pasien merasa takut akan gagal dalam suatu hubungan sehingga pasien merasa putus asa - Waham : pasien tidak mengalami waham. q. Tingkat kesadaran dan orientasi 1) Kesadaran pasien : kesadaran pasien composmetis 2) Orientasi terhadap waktu, tempat, orang : orientasi pasien baik terhadap waktu, tempat dan orang r. Memori Pasien tidak mengalami gangguan daya ingat jangka panjang, jangka pendek dan saat ini s. Tingkat konsentrasi dan berhitung Saat dilakukan pengkajian klien kurang konsentrasi. t. Daya tilik diri : pasien melihat dirinya adalah orang yang belum beruntung sehingga selalu gagal dalam suatu hubungan u. Diagnosa medis: keputusasan 2. Diagnosa Keperawatan a. Keputusasaan b. Isolasi sosial c. Harga diri rendah 3. Rencana Keperawatan Perencanaan Intervensi Rasional Tujuan Kriteria hasil Tujuan KH: Lingkungan Terus mengevaluasi pasien dengan pasien akan Umum: potensi pasien untuk bunuh gangguan mood aman dan Pasien akan protektif. diri. Rawat inap pasien yang parah responsif



ketika ada risiko bunuh berisiko



secara



diri. Bantu pasien pindah diri;



emosional



ke lingkungan baru jika lingkungan dapat



dan kembali



perlu



ke



kelompok teman sebaya, mengurangi



tingkat



fungsi



pra-



penyakit.



(pekerjaan



pengaturan keluarga).



bunuh perubahan



baru, melindungi pasien, tekanan langsung, dan memobilisasi sumber



daya



tambahan.



Baik



pasien depresi



yang maupun



yang



manik



menolak



untuk



terlibat



dalam



hubungan



terapi;



penerimaan, ketekunan,



dan



penetapan



batas



KH: Pasien akan



diperlukan. Gunakan pendekatan yang Baik pasien yang



menjalin



hangat,



hubungan



empatik.



terapeutik



kendalikan perasaan dan menolak



untuk



dengan perawat



reaksi



sendiri terlibat



dalam



frustrasi, hubungan



terapi;



menerima,



dan depresi



maupun



Waspadai dan yang Anda



(kemarahan, simpati).



penerimaan,



Dengan pasien yang



ketekunan,



mengalami depresi:



penetapan



Bangun hubungan baik diperlukan melalui waktu bersama dan persahabatan



yang



mendukung.



Beri pasien



waktu untuk merespons. Personalisasi sebagai



perawatan



cara



untuk



menunjukkan nilai pasien sebagai manusia. Dengan pasien manik: Berikan respons yang sederhana



dan



Waspadai



kemungkinan



manipulasi. batas



jujur. Tetapkan



konstruktif



pada



manik



dan batas



perilaku negatif. Gunakan pendekatan yang konsisten oleh semua anggota tim perawatan



kesehatan.



Pertahankan terbuka



komunikasi



dan



berbagi



persepsi di antara anggota tim.



Perkuat kontrol diri



pasien dan aspek positif dari perilaku pasien. KH: pasien akan Bantu pasien memenuhi Perubahan fisiologis terjadi menjadi stabil kebutuhan perawatan diri, pada gangguan secara fisiologis khususnya di bidang mood; perawatan fisik dan terapi dan bisa bertemu nutrisi, tidur, dan somatik kebutuhan kebersihan pribadi. diperlukan untuk mengatasi masalah perawatan diri. Dorong kemandirian di bidang ini. pasien bila memungkinkan.



Berikan



obat yang diresepkan dan perawatan somatik KH: Pasien akan Tanggapi dengan empatik, dapat mengenali dengan fokus pada dan perasaan daripada fakta. mengekspresikan Mengakui rasa sakit pasien emosi yang dan menyampaikan rasa berkaitan dengan harapan dalam pemulihan. kejadian sehari- Bantu pasien mengalami hari. perasaan dan ungkapkan dengan tepat. Bantu pasien dalam ekspresi kemarahan yang adaptif. KH: Pasien akan mengevaluasi pemikiran dan memperbaiki pikiran yang salah atau negatif.



Tinjau konseptualisasi pasien tentang masalahnya, tetapi tidak harus menerima kesimpulan pasien. Identifikasi pikiran negatif pasien dan bantu untuk menguranginya. Bantu meningkatkan pemikiran positif. Periksa



Pasien dengan gangguan mood yang parah mengalami kesulitan mengidentifikasi, mengekspresikan, dan memodulasi perasaan.



Ini



akan



membantu meningkatkan rasa kontrol atas tujuan dan



perilaku,



meningkatkan



akurasi persepsi, logika, harga diri, dan dan kesimpulan. memodifikasi Identifikasi kesalahan persepsi, distorsi, dan harapan negatif kepercayaan irasional. Bantu pasien bergerak dari tujuan yang tidak realistis ke tujuan yang realistis. Kurangi pentingnya tujuan yang tidak dapat dicapai. Batasi jumlah evaluasi pribadi negatif yang dilakukan pasien. KH: Pasien akan menerapkan dua strategi koping perilaku baru



Periksa akurasi persepsi, logika, dan kesimpulan. Identifikasi kesalahan persepsi, distorsi, dan kepercayaan irasional. Bantu pasien bergerak dari tujuan yang tidak realistis ke tujuan yang realistis. Kurangi pentingnya tujuan yang tidak dapat dicapai. Batasi jumlah evaluasi pribadi negatif yang dilakukan pasien. Tetapkan tugas terapeutik yang berorientasi pada tindakan. Dorong kegiatan secara bertahap, tingkatkan mereka seiring energi pasien dimobilisasi. Berikan program yang nyata dan terstruktur bila perlu. Tetapkan tujuan yang realistis, relevan dengan kebutuhan dan minat pasien, dan fokus pada kegiatan positif. Fokus pada aktivitas saat ini, bukan aktivitas masa lalu atau masa depan. Positif memperkuat kinerja yang sukses. Masukkan latihan fisik dalam rencana perawatan pasien.



Kinerja perilaku yang sukses menangkal perasaan tidak berdaya dan putus asa.



Kh: Pasien akan Nilai keterampilan sosial, Sosialisasi adalah menggambarkan dukungan, dan minat pengalaman yang



interaksi sosial pasien. Tinjau sumber yang bermanfaat. daya sosial yang ada dan potensial. Instruksikan dan contohkan keterampilan sosial yang efektif. Gunakan permainan peran dan latihan interaksi sosial. Berikan umpan balik dan penguatan positif keterampilan interpersonal yang efektif. Campur tangan dengan keluarga agar mereka memperkuat respons emosional adaptif pasien. Mendukung atau terlibat dalam terapi keluarga dan kelompok bila perlu.



tidak sesuai dengan penarikan; itu meningkatkan harga diri melalui penguat sosial dari persetujuan, penerimaan, pengakuan, dan dukungan.



4. Strategi Pelaksanaan (Role Play) a. SP 1Pasien: Mendiskusikan kegiatan positif yang dulu pernah dilakukan, dan menulis ulang kegiatan positif yang sudah didiskusikan. Orientasi : Assalamualaikum wr.wb. Selamat pagi Bu/Pak?. Perkenalkan Saya perawat Sayonara, senang dipanggil Nara. Nama Ibu/Bapak siapa? Wow bapak (nama pasien). Senangnya dipanggil siapa?” Oooo bu/bapak (nama pasien). Nah, sayadatangkesiniuntukmembantu Ibu/Bapak menyelesaikan masalah Ibu/Bapak “. “Bagaimana perasaan Bapak/Ibuhari ini? (pasien : sedih) ” “Bagaimana Bu/Pak, kalau kita berbincang-bincang tentangperasaansedih yang Ibu / Bapakrasakansaatini ?”. Menurut Ibu/Bapak dimana enaknya kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau ditempatini saja”. “Bagaimanakalaukitaberbincang-bincangselama



30



menit.



Apakah



Bapak/Ibubersedia ?”. Kerja : “Coba Ibu/Bapakceritakan kepada saya tentang perasaan sedih yang Ibu/Bapak rasakan saat ini”. “ (Pasien : saya sedih sekali.... sejak jari tangan kanan saya diamputasi, rasanya saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi.... apalagi menghidupi keluarga,untuk



minum saja saya masih butuh bantuan orang lain....). “Yaaa.... saya sangat mengerti perasaan Ibu/Bapak. Sudah berapa lama perasaanitu Ibu/Bapak rasakan? “Kalau saya boleh simpulkan, Bapak/Ibu saat ini mengalami hal yang disebut dengan keputusasaan. Keputusasaan adalah suatu keadaan dimana seseorang itu merasa tidak ada pilihan lain lagi untuk menyelesaikan masalahnya walaupun sebenar nya ia masih memiliki potensi/kemampuan untuk menyelesaikan masalah. “Pak/Bu, bagaimana kalau saya memberitahukan tentang cara yang baik untuk menyelesaikan masalah?” “Ada beberapahal yang Bapak/Ibu bisalakukan, misalnya,



menceritakan



masalah



Bapak/Ibukepada



orang



lain



yang



Bapak/Ibupercaya. Dengan demikian beban yang Bapak/Ibu rasakan setidaknya bisa berkurang.Selain itu, Bapak/Ibu jugabisa mengingat atau menuliskan kemampuan atau aspek positif yang dulu pernah Ibu/Bapak lakukan. Coba ingat kembali apa saja hal baik yang dulu pernah bapak/ibu lakukan. Wah....dulu ternyata bapak/ibu bisa membuat es krim



yang lezat ya. Nah buat daftar



sebanyak-banyaknya kemampuan lainnya. Kegiatan seperti ini berguna untuk membantu membangkitkan semangat dan harapan Ibu/Bapak kembali dalam menjalani kehidupan”. Meskipun tidak dapat membuatnya sendiri tapi ibu/bapak masih bisa mengajarkannya ke orang lain. Tulis dan buat daftar tersebut, ini akan membuktikan bahwa ibu/bapak masih punya banyak kemampuan yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Hebat.. Terminasi Nah... Pak/Bu, bagaimana rasanya setelah kita berbincang-bincang tentang masalah Ibu/Bapaktadi?”. “Coba Ibu/Bapak menyebutkan apa sebenarnya yang Bapak/Ibu alami saat ini ? ”. “Coba Ibu/bapak ulangi, hal baik apa saja yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan masalah ?”. “Bagus sekali Pak/Ibu”. “Baiklah Ibu/Bapak,sesuai dengan janji kita telah berbincang-bincang selama 30 menit. Dan tadi Bapak/Ibu telah mengetahui cara untuk menyelesaikan masalah, setelahini, Bapak/Ibu bisa mencoba untuk mulai menerapkannya. Bagaimana, apa Bapak/Ibu bersedia melakukannya ?”. ”Bagussekali Pak/Bu”. Ibu/Bapak, bagaimana kalau besok kita berlatih kegiatan



membuat atau menuangkan air minum dari teko air, disini jam 9 pagi? Baiklah bu.... Saya permisi dulu. Assalamualaikum WW.SelamatPagi.



b. SP 2Pasien: Mendiskusikan kemampuan pasien dalam kegiatan sehari hari misalnya membuat minuman untuk dirinya atau orang lain. Orientasi: Assalamualaikum wr.wb. Selamat pagi Bu/Pak... (sebutkan nama pasien). Masih ingat saya? Ya saya perawat Sayonara, senang dipanggil Nara. Nah saya datang kembali untuk melanjutkan diskusi mengatasi masalah keputusasaan terutama pasca perawatan dari RS.Bagaimana



perasaanBapak/Ibu hari ini?Oya apakah daftar



kemampuan hal positif yang kemarin sudah selesai? Ada berapakah yang sudah disusun?” Bagus... ” “Bagaimana Bu/Pak, kalau kita sekarang berlatih satu kemampuan yaitu mengambil air minum yang dulu pernah dilakukan?.” “Menurut Ibu/Bapak dimana enaknya kita berlatih? Bagaimana kalau disini saja, selama 30 menit. Apakah Bapak/Ibubersedia ?”. Kerja: “Coba Ibu/Bapak ceritakan kepada saya bagaimana kegiatan atau aktifitas ibu/bapak sekarang pasca perawatan di RS? (berlatih menulis kemampuan kegiatan yang msh bisa dilakukan seperti pada pertemuan lalu). Waah sekarang sudah banyak hal positif yang bisa dituliskan ya... Bagus.... Nah saat ini kita akan membantu ibu/bapak untuk berlatih aktifitas misalnya mengoptimalkan fungsi perawatan diri. Yaa. Bagus... ibu/bapak ternyata bisa melakukannya seperti saya dan orang lain juga lakukan... Bagus sekali.... Terminasi: Nah ... Pak/Bu, bagaimana perasaan nya setelah kita berlatih kemampuan pasca perawatan dari RS. Ternyata ibu/bapak masih bisa membuktikan bahwa mampu melakukan seperti yang orang lain lakukan. Bagaimana rasanya, senang...? Bagus sekali Pak/Ibu”. “Baiklah Ibu/Bapak,sesuai dengan janji kita telah berlatih kemampuan positif pasca perawatan selama 30 menit.Dan tadi Bapak/Ibu telah berlatih kegiatan positif. Nah setelah ini, Bapak/Ibu bisa mencoba untuk mulai menerapkannya dengan kegiatankegiatan lainnya. Misalnya melatih kemampuan tangan untuk membuat minuman teh manis sendiri. Bagaimana, apa Bapak/Ibu bersediamelakukannya?.” “Bagussekali Pak/Bu”. Ibu/Bapak, bagaimana kalau besok kita berlatih hal tersebut?



Jam 9 saya datang ya. Baiklah bu/pak.... Saya permisi dulu . Assalamualaikum WW.SelamatPagi.



DAFTAR PUSTAKA Azizah, Lilik Makrifatul, Imam Zainuri & Amar Akbar. 2016. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa: Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Indomedia Pustaka. Barry, Patricia D. 2002. Mental health dan Mental Illness, Ed:7th. U.S.A: Lippincott. Esa Unggul, Tim Keperawatan. 2018. Modul Keperawatan Jiwa Keputusasaan. Jakarta: Universitas Esa Unggul. PPNI, Tim Pokja SDKI DPP. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definis dan Indikator Diagnostik. Jakarta: PPNI. Stuart, Gail W. 2013. Principle and Practice Of Psychiatric Nursing, Ed:10. China: Mosby ELSEIVER. William, Patricia. 2016. Basic Geriatric Nursing, Ed:6th. China: ELSEIVER. Wold, Gloria Hoffman. 2012. Basic Geriatric Nursing, 5th. China: ELSEIVER. Yusuf, AH; Rizky Fitryasari & Hanik Endang Nuhayati. 2015. Jakarta: Salemba Medika.