Keratosis Obturans [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



BAB I



PENDAHULUAN Keratosis obturans merupakan akumulasi atau penumpukan deskuamasi lapisan epidermis berkeratin pada meatus acusticus externus (MAE), berwarna putih mutiara, dapat membentuk gumpalan dan menyebabkan rasa penuh serta gangguan pendengaran. Penyakit ini bukan mengenai tulang rawan MAE, biasanya lesi ini terbatas pada MAE, tanpa menyebabkan pembusukan atau destruksi tulang, namun bila tidak ditanggulangi dengan baik maka seiring dengan perjalanan serta berkembangnya penyakit ini secara kronis dapat mengarah pada terjadinya erosi kulit dan destruksi bagian tulang MAE. Membran timpani terlihat normal, tetapi biasanya terlihat tebal atau retraksi. 1 Distribusi data kesehatan telinga di dunia bahwa keratosis obturans pada umumnya terjadi pada pasien usia muda antara umur 5-20 tahun dan dapat menyerang satu atau kedua telinga. Morrison (1956) melaporkan bahwa terdapat 50 kasus keratosis obturans di mana 20 pasien berumur 5-9 tahun, 15 pasien berumur antara 9-19 dan 15 pasien berumur antara 20-59 tahun. Black dan Clayton (1958) melaporkan terjadinya keratosis obturans pada anak-anak dengan insidens 90% terjadi secara bilateral. Di Indonesia, prevalensi penyakit ini menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2008 berkisar 125 kasus dalam 1000 penduduk setiap tahun, dengan rerata usia ± 22-43 tahun, dan tidak ada perbedaan rasio yang signifikan antara pria dan wanita. 1 Gejala dari keratosis obturans berupa gangguan pendengaran/tuli tipe konduktif derajat ringan hingga sedang yang mengenai satu maupun dua telinga, nyeri telinga (otalgia) serta telinga berdenging (tinnitus), dengan ditandai oleh dilatasi MAE dan tampak hiperemis, membran timpani intak tetapi lebih tebal dan jarang didapatkan cairan pada telinga (otorrhea). Tindakan talalaksana berupa pengangkatan epitel



2



deskuamasi melalui pembersihan liang telinga secara periodik (tiga bulan sekali) untuk mengurangi akumulasi debris, kemudian dengan pemberian tetes telinga dengan campuran alkohol atau gliserin dalam 3% peroksida (tiga kali seminggu), juga dengan kortikosteroid lokal pada peradangan yang cukup berat. 1 Adapun tujuan penulisan referat ini ialah untuk memenuhi tugas ilmiah kepaniteraan klinik pada bagian ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorokan, kepala dan leher (THT-KL) dalam membahas keratosis obturans yang meliputi anatomi liang telinga luar (MAE), fisiologi mekanisme pembersihan diri MAE, definisi, epidemiologi, klasifikasi, etiopatogenesis, manifestasi klinis, diagnosis banding, penegakkan diagnosis, penatalaksanaan dan komplikasinya.



3



BAB II



TINJAUAN PUSTAKA



A. Anatomi Telinga Luar (Auris Eksterna) 1. Muskuloskeletal Auricula terdiri dari lempeng cartilago berbentuk irregular yang dilapisi oleh kulit tipis. Auricula memiliki beberapa depresi dan elevasi. Concha adalah depresi yang paling dalam. Pinggir auricula yang meninggi ialah helix. Lobulus nonkartilaginosa terdiri dari jaringan fibrosa, lemak dan pembuluh darah. Lobulus mudah ditembus untuk mengambil sedikit sampel darah dan memasang anting. Tragus adalah proyeksi menyerupai lidah yang menutupi porus acusticus externus. 2



Gambar 1. Struktur Auricula (Paulsen; Waschke. 2013)



4



Otot-otot rudimenter terkadang dapat ditemukan menempel pada auricula, sehingga beberapa orang dapat menggerakan daun telinganya. Pergerakan daun telinga dikendalikan oleh otot skelet terutama M. auricularis superior et anterior dan M. auricularis posterior, yang merupakan bagian dari M. facialis, selain itu terdapat pula M. helicis major et minor, M. tragicus dan M. antitragus yang berada pada sisi anterolateral, sementara pada bagian posterior auricula diliputi oleh M. obliquus auriculae, M. auricularis posterior dan M. transversus auriculae. 3



Gambar 2. Musculi regio auriculi (Paulsen; Waschke. 2013)



Meatus acusticus externus merupakan suatu kanal yang mengarah ke dalam melalui pars tympanica ossis temporalis dari auricula ke membrana tympanica, berjarak 2-3 cm pada orang dewasa. Sepertiga lateral kanal yang sedikit berbentuk S tersebut merupakan pars fibrocartilaginea dan dilapisi kulit yang berlanjut dengan kulit auricular. Dua pertiga medialnya bertulang yang tersusun atas pars tympani dan pars skuamosa ossis temporalis dan dilapisi kulit tipis yang berlanjut dengan lapisan eksterna membrana tympanica. Glandula sebacea dan ceruminosa pada jaringan subkutan pars fibrocartilaginea meatus menghasilkan serumen (earwax). Bagian tulang rawan liang telinga luar ini strukturnya sangat berbeda dengan bagian tulang. Tulang



5



rawan melekat dengan erat ke tulang temporal tetapi masih dapat digerakkan karena adanya saluran-saluran fibrosa di dalam tulang rawan, yaitu fisura Santorini. Fisura ini dapat menyalurkan infeksi atau tumor antara liang telinga dan kelenjar Parotis. 2. 3



Gambar 3. Meatus acuticus externus (Paulsen; Waschke. 2013)



2. Peredaran Darah Suplai arterial yang menuju ke auricula terutama berasal dari A. temporalis superficialis dan arteria-arteria auricularis posterior yang merupakan percabangan dari A. carotis externa. Cabang aurikular dari A. temporalis superfisial mendarahi bagian atas dan anterior dari liang telinga luar. Cabang aurikular dalam dari A. maksilaris mendarahi kulit bagian anterior liang telinga luar. Sedangkan bagian posterior dari liang telinga luar mendapat pendarahan dari cabang aurikular dari A. aurikularis posterior. 2. 3



6



Gambar 4. Vaskularisasi Auricula (Paulsen; Waschke. 2013)



3. Persarafan Saraf-saraf utama yang menuju ke auricula terutama berasal dari N. auriculotemporalis (berasal dari N. mandibularis) dan N. auricularis magnus. N. auricularis magnus (bersama dengan N. occipitalis minor membentuk Plexus cervicalis) mempersarafi permukaan cranial (medial) MAE dan pars posterior yang merupakan percabangan dari N. vagus. Dinding posterior liang telinga luar juga mendapat persarafan dari serabut sensoris N. fasialis. N. auriculotemporalis mempersarafi kulit auricula di anterior MAE yang merupakan bagian ketiga dari N. trigeminus. 2. 3



7



Gambar 5. Innervasi Auricula (Paulsen; Waschke. 2013) B. Fisiologi Pembersihan Liang Telinga (Self-Clearing Mechanism of Ear Canal) Migrasi epitel memiliki banyak peran. Ini adalah mekanisme utama untuk menghilangkan cerumen dan mempertahankan kanal pendengaran eksternal untuk transmisi suara. Tanpa fungsi pembersihan diri untuk saluran pendengaran eksternal, akumulasi cerumen dalam lumen saluran pendengaran eksternal akan mencegah lewatnya suara ke membran timpani, menyebabkan gangguan pendengaran konduktif, mencegah saluran pendengaran eksternal dari melayani fungsi pendengarannya. Kedua, migrasi epitel mengangkut sel stratum korneum dari membran timpani menuju pembukaan di ujung distal kanal auditorius eksternal, mempertahankan ketebalan membran timpani. Selanjutnya, migrasi epitel adalah faktor kunci dalam perbaikan perforasi membran timpani spontan, seperti yang telah ditunjukkan pada marmut, tikus, kucing, dan manusia. Akhirnya, migrasi epitel juga berfungsi dalam perbaikan sayatan membran timpani pasca operasi. Singkatnya, migrasi epitel berfungsi sebagai mekanisme pembersihan diri untuk membran timpani dan saluran pendengaran eksternal dan sebagai mekanisme perbaikan untuk membran timpani. 4



8



Stratum korneum dari saluran pendengaran eksternal dan membran timpani biasanya tidak mengalami gesekan aktivitas sehari-hari; gesekan inilah yang biasanya menghilangkan sel stratum korneum terdeskuamasi dari permukaan epidermis ke lingkungan lokal. Dengan demikian, mekanisme alternatif harus ada untuk menghilangkan stratum korneum dari bagian dalam kanal pendengaran eksternal dan membran timpani. Telah dibuktikan bahwa sel-sel stratum korneum membran timpani bermigrasi tidak hanya dalam bidang vertikal selama diferensiasi, tetapi juga di bidang horizontal, sebelum deskuamasi, yang menunjukkan suatu proses pengelupasan epitel lama yang akan digantikan dengan epitel yang baru dengan analogi “conveyor-belt procces’; dengan kecepatan migrasi sebesar 50 μm/hari. Migrasi horisontal ini (migrasi epitel) epidermis belum diamati di lokasi lain di tubuh. Evaluasi, dengan mikroskop elektron, dari stratum corneum dari membran timpani pada manusia dan spesies lain belum menunjukkan perubahan morfologis yang akan menjelaskan perbedaan perilaku yang diamati dari membran timpani dibandingkan dengan epidermis di tempat lain. 4



Gambar 6. Analogi “Conveyor-Belt process” pada mekanisme pengelupasan epitel (Tabacca. 2015)



9



BAB III



KERATOSIS OBTURANS



A. Definisi Keratosis obturans adalah akumulasi besar plak dari deskuamasi keratin di MAE. Keratosis obturans merupakan suatu bentuk dermatitis (dengan peradangan yang ditandai dan peningkatan vaskularisasi kulit MAE). Peradangan kronis menyebabkan peningkatan deskuamasi kulit MAE dan mengurangi migrasi epitel abnormal. Epitel MAE dan membran timpani keduanya ditandai dengan penebalan yang jelas sebagai akibat dari peradangan kulit, dengan akumulasi laminar keratin pada MAE hadir sebagai bentuk deskuamasi yang paling umum. 1



Gambar 2. Lapisan keratin pada MAE (Piepergerdes. 1980) Piepergerdes et al (1980) mengklaim bahwa keratosis obturans dihasilkan oleh penyakit kulit MAE sedangkan penyakit tulang rawan MAE ialah dasar untuk kolesteatoma pada MAE.



3



Penyakit ini ditandai dengan lapisan keratin yang



10



membungkus kulit MAE dengan gambaran onion-like (gambar 2.A), dengan sumbatan jaringan debris yang meliputi hampir sepanjang MAE (gambar 2.B). Tampak jaringan debris/deskuamasi epitel kulit berkeratin yang berbentuk lempengan setelah diangkat dari MAE (gambar 2.C). 4



B. Epidemiologi Distribusi data kesehatan telinga di dunia bahwa keratosis obturans pada umumnya terjadi pada pasien usia muda antara umur 5-20 tahun dan dapat menyerang satu atau kedua telinga. Morrison (1956) melaporkan bahwa terdapat 50 kasus keratosis obturans di mana 20 pasien berumur 5-9 tahun, 15 pasien berumur antara 9-19 dan 15 pasien berumur antara 20-59 tahun. Black dan Clayton (1958) melaporkan terjadinya keratosis obturans pada anak-anak dengan insidens 90% terjadi secara bilateral. Di Indonesia, prevalensi penyakit ini menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2008 berkisar 125 kasus dalam 1000 penduduk setiap tahun, dengan rerata usia ± 22-43 tahun, dan tidak ada perbedaan rasio yang signifikan antara pria dan wanita. 2



C. Klasifikasi Menurut Hawke dan Shanker ada dua jenis keratosis obturans. Jenis pertama adalah peradangan kronis jaringan subepitel dan ini menghasilkan hiperplasia epitel dan pembentukan bahan skuamosa di MAE. Tipe kedua tidak ada peradangan kronis pada lapisan kulit MAE, terjadi secara bilateral dan mungkin karena kelainan herediter atau adanya enzim yang tidak diketahui yang berkontribusi terhadap pemisahan lapisan keratin superfisial, kondisi ini dapat terjadi jika lapisan bergerak ke luar selama proses migrasi normal. Menurut Soucek dan Michaels, migrasi epitel yang abnormal dapat berasal dari membran timpani itu sendiri atau MAE, sehingga menyebabkan dua jenis penyakit yang berbeda. Perbedaan ini jauh dari tipe yang digambarkan Hawke dan Shanker. 7



11



D. Etiopatogenesis Penyebab keratosis obturans hingga saat ini belum diketahui. Namun, mungkin disebabkan akibat dari eksema, seboroik dan furonkulosis. Penyakit ini kadang-kadang dihubungkan dengan bronkiektasis dan sinusitis kronik. 8 Keratosis obturans terjadi karena migrasi abnormal epitel pada lapisan kulit MAE. Secara normal, epitel dari permukaan membran timpani pars flaccida bermigrasi ke pars tensa dan bergerak secara inferior melintasi membran timpani, tetapi pergerakan sel-sel epitel pada penyakit ini tampak terbalik. Kegagalan migrasi ini atau adanya obstruksi pada saat migrasi yang disebabkan oleh lapisan keratin menyebabkan akumulasi debris epitel di bagian dalam MAE. Hal ini sesuai dengan studi tentang kulit normal pada telinga luar yang dilakukan oleh Alberti (1964) menunjukkan bahwa secara normal terdapat migrasi epitel dari membran timpani ke meatus auditorius eksternus. 9 Menurut Mayer, Papurella dan Shumrick keratosis obturans dapat disebabkan oleh beberapa faktor termasuk produksi sel epitel yang berlebihan, kegagalan migrasi epitel kulit dan ketidakmampuan mekanisme pembersihan diri oleh MAE. Mekanisme pembersihan diri oleh MAE adalah hasil dari koordinasi proses pematangan keratin dan migrasi sel ke luar, di mana pada kasus keratosis obturans mekanisme ini tidak bekerja. Morrison (1956) melaporkan hubungan antara bronkiektasis dan sinusitis dengan terjadinya keratosis obturans. Berkaitan dengan penemuan ini menyebabkan munculnya hipotesis bahwa adanya pus menstimulasi sistem refleks simpatis dari cabang trakeobronkial untuk merangsang refleks sekresi serumen yang menyebabkan obstruksi oleh keratin dan pembentukan sumbat epidermal. 8. 9



E. Manifestasi Klinis Keratosis obturans umumnya menyerang orang berusia muda, kurang dari 40 tahun, dengan gejala berupa gangguan pendengaran/tuli tipe konduksi derajat ringan-



12



sedang bilateral, severe otalgia, MAE yang lebih lebar dan hiperemis, tinitus, membran timpani intak tetapi lebih tebal dan jarang didapatkan otorrhea. Kehilangan/penurunan pendengaran dan rasa sakit yang parah merupakan keluhan sekunder yang selalu terjadi karena desakan akumulasi keratin pada MAE. Selain itu, keratosis obturans dapat disertai dengan bronkiektasis dan sinusitis kronik bilateral. 10 F. Diagnosis Banding Diagnosis banding dari keratosis obturans yang paling mendekati ialah kolesteatoma. Ada beberapa hal yang membedakan keratosis obturans dengan kolesteatoma. Keratosis obturans terjadi pada pasien muda dengan keluhan otalgia akut dan gangguan pendengaran tipe konduksi bilateral. Kolesteatoma terjadi pada lansia, umumnya unilateral, dan gejala klinisnya ditandai oleh nyeri tumpul di telinga dan adanya otorrhea. Pendengaran biasanya masih dalam batas normal. Pada pemeriksaan telinga pasien keratosis obturans, MAE penuh dengan plak keratin, MAE tampak melebar dan hiperemia. Pada kolesteatoma, sebuah divertikulum epidermal berasal dari dinding bawah MAE, sementara bagian-bagian lain dari MAE yang tidak terpengaruh tampak normal. Tidak ada erosi tulang pada keratosis obturans, sedangkan pada kolesteatoma MAE ada erosi tulang. Kolesteatoma ditandai oleh lesi yang dibentuk oleh epitel skuamosa berkeratin yang terjadi pada tulang temporal, tulang dinding MAE inferior dan posterior paling sering terkena. 1 G. Penegakkan Diagnosis 1. Anamnesis Riwayat otologi harus diperoleh dalam rangka untuk mengetahui gejala awal keratosis obturans. Gejala yang paling umum adalah kehilangan/penurunan pendengaran (tipe konduktif; bilateral), otalgia yang hebat dan tinnitus bilateral yang dapat disertai dengan bronkiektasis dan sinusitis kronik, sementara otorea jarang ditemui.



13



2. Pemeriksaan Fisis Selain pemeriksaan kepala dan leher, pemeriksaan otologi menjadi perhatian khusus. Penilaian umum untuk menghindari terlewatnya penilaian demam, perubahan status mental dan penilaian lainnya yang dapat memberikan petunjuk ke arah komplikasi. Pada inspeksi (otoskopik), tampak terlihat adanya obstruksi di sepanjang MAE hingga membrana timpani oleh akumulasi gumpalan debris berkeratin warna putih yang berisi serumen coklat pada bagian tengah (gambar 3). Kehadiran gumpalan keratin di MAE meningkatkan tekanan pada dinding MAE yang mengakibatkan remodeling tulang. Hal ini menyebabkan pelebaran tulang pada MAE disertai dengan peradangan epitel, membran timpani menebal tetapi masih utuh. 11



Gambar 3. Akumulasi gumpalan debris berkeratin pada MAE (Persaud. 2004) Di samping itu, dilakukan pula tes penala (Rinne dan Weber) menggunakan garpu tala (512 Hz) untuk menentukan adanya tuli konduksi dan dibandingkan dengan pemeriksaan audiometri. 11



14



3. Pemeriksaan Penunjang a. Radiologi Gambaran radiologis keratosis obturans dengan CT-scan tulang temporal memperlihatkan lesi jaringan lunak (umumnya bilateral) pada MAE yang sedang mengalami pembengkakan dan pelebaran dan membentuk kerak halus tanpa erosi tulang yang mendasari (gambar 4). Diagnosis penyakit ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, sementara pemeriksaan CT-scan dilakukan untuk menentukan ada tidaknya erosi tulang. 12



Gambar 4. Pencitraan CT-scan temporal pada kasus keratosis obturans (Beatriz. 2013) b. Histopatologi Melalui pemeriksaan histopatologik didapatkan sumbatan keratin, pada keratosis obturans terlihat seperti garis geometrik di dalam MAE yang terlihat seperti gambaran onion skin. Gambaran patologi ini dihubungkan dengan adanya hiperplasia jaringan dengan penebalan kapiler di bawah epitel dan infiltrasi sel-sel inflamasi kronik pada jaringan subepitel. Lapisan keratin mengelupas di sekitar MAE. Lapisan lama didorong ke



15



tengah dan hasilnya adalah lamelar (onion skin-layer) yang seluruhnya terdiri dari keratin padat. Selebaran padat seperti daun dan bahan keratin ortokeratotik dan kurangnya lapisan epitel di dalamnya. 13



Gambar 5. Potongan melintang yang menampakkan penutupan plug pada tulang MAE oleh kumpulan keratin squamosa (Lesser. 2008)



H. Penatalaksanaan Pengobatan keratosis obturans ialah berupa pengangkatan epitel skuamosa deskuamasi. Selain itu, pembedahan dapat dilakukan dengan anestesi umum untuk debridemen. Penyakit ini biasanya dapat dikontrol dengan pembersihan MAE secara teratur setiap satu hingga tiga bulan untuk mengurangi akumulasi debris. Tetes telinga dengan campuran alkohol atau gliserin dalam 3% peroksida, tiga kali seminggu sering dapat membantu. Kortikosteroid lokal memiliki peran penting dalam mengurangi peradangan. 14 Menurut Farrior (1990) setelah pembersihan debris, direkomendasikan untuk menutup MAE dengan kasa basah antibiotik/antiseptik dan kortikosteroid untuk mengurangi peradangan akut (gambar 5). Pasien yang mengalami erosi tulang MAE



16



sering memerlukan intervensi bedah dengan menyamakan jaringan di bawah kulit untuk menghilangkan gema di dinding MAE, yang penting untuk membuat MAE berbentuk seperti corong, sehingga pembersihan MAE secara spontan lebih terjamin.



Gambar 6. Keratosis yang terangkat dan terobati dengan betadin (Soucek. 1993)



I. Komplikasi Keratosis obturans umumnya merupakan suatu kondisi yang tidak berbahaya tetapi dapat menyebabkan komplikasi serius. Keratosis obturans dapat menyebabkan erosi tulang yang luas tetapi tidak ada komplikasi intrakranial yang diperoleh. Sumbatan dari debris skuamosa berkeratin perlahan-lahan menjadi besar dan dapat menekan tulang MAE hingga menyebabkan reabsorpsi yang cukup besar. Setelah pengangkatan sumbatan yang cukup besar, MAE akan terlihat jelas. Pasien yang memiliki plak keratin berlapis pada MAE secara berulang selama lima tahun akan menyebabkan tekanan pada dinding tulang MAE posterior dan dinding mastoid untuk diserap. 1



17



BAB IV



ALGORITMA DIAGNOSIS GEJALA Gangguan Pendengaran, Nyeri Telinga, Tinnitus



TANDA Akumulasi Deskuamasi/Debris Epitel Kulit MAE



-



PEMERIKSAAN PENUNJANG CT-Scan: Lesi Jaringan Lunak/Erosi Tulang - Histopatologi: Onion-skin Apearance



Keratosis Obsturans



-



Kholesteatoma



PENATALAKSANAAN Pembersihan Liang Telinga Secara Periodik (3 Bulan Sekali) Obat Tetes Telinga Alkohol/Gliserin dlm Peroksida 3% (3 kali Seminggu) Kortisteroid Lokal: Mengurangi Peradangan Akut Setelah Pembersihan MAE: Tampon dgn Kapas Antiseptik (Betadine)



18



BAB V



KESIMPULAN Keratosis obturans adalah akumulasi besar plak dari deskuamasi keratin yang tersebar di telinga. Etiologi keratosis obturans masih belum jelas. Beberapa hipotesis menunjukkan keratosis obturans terkait dengan eksema, dermatitis seboroik dan furunculosis. Keratosis obturans terjadi karena migrasi abnormal lapisan kulit MAE. Diagnosis keratosis obturans dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis, sedangkan CT scan dilakukan untuk menentukan ada tidaknya erosi tulang. Melalui anamnesis diperoleh informasi keluhan pasien berupa nyeri telinga yang parah, gangguan pendengaran tipe bilateral dan jarang terjadi otore. Pada pemeriksaan otoskopi, terlihat akumulasi keratin, MAE yang lebih luas dan hiperemia, membran timpani utuh tetapi lebih tebal. Pada pemeriksaan dukungan CT scan diperoleh erosi dan pelebaran MAE. Dalam pemeriksaan histopatologis, penyumbatan keratin yang ditemukan pada keratosis obturans terlihat seperti garis geometris di dalam MAE seperti gambaran lapisan kulit bawang (onion skin-like). Penyakit ini biasanya dapat dikendalikan dengan melakukan pembersihan saluran telinga secara berkala setiap satu hingga tiga bulan untuk mengurangi akumulasi debris keratin. Tetes telinga dari campuran alkohol atau gliserin dalam 3% peroksida, tiga kali seminggu sering dapat membantu.



19



DAFTAR PUSTAKA 1. Romdhoni AC, editor. Keratosis Obturans Management. Biomolecular and Health Science Journal: 2018. Surabaya: Department of Otorhinolaryngology-Head and Nech Surgery, Faculty of Medicine Universitas Airlangga - Dr. Soetomo General Hospital Surabaya, Indonesia. P. 75-78. 2. Moore KL, Dalley AF, editor. 2013. Anatomi Telinga. Anatomi Berorientasi Klinis. Edisi Ke-Lima. Jilid 3. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal. 138 – 141. 3. Paulsen F, Waschke J. editor. 2013. Telinga-Kecil, Tetapi Rumit Seperti Sebuah Labirin. Sobotta: Atlas Anatomi Indonesia; Kepala, Leher dan Neuroanatomi. Edisi Ke-Dua Puluh Tiga. Jilid 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Hal 134-141. 4. Tabacca NE, Cole LK, Hillier A, Rajala-Schultz PJ, editor. 2015. Thesis: Epithelial Migration on The Canine Tympanic Membrane. Veterinary Dermatology. USA: The Ohio State University. P. 11-21. 5. Kroon DF, Strasnick B. Disease of the auricle, external auditory canal, and tympanic membrane. In: Glasscock ME, Gulya AJ, eds. Glasscock-Sambaugh Surgery of the Ear. 5 th ed. Ontario: BC Decker Inc; 2010. P.345-67. 6. Lesser TH. Keratosis obturans and primary auditory canal cholesteatoma. In: Michael Gleeson, chief editor. Scott-Brown’s Otolaryngology Head and Neck Surgery. 7th ed. Vol 3. London: Hodder Arnold; 2011. p. 3342-5. 7. Persaud RA, Hajioff D, Thevasagayam MS, Wareing MJ, Wright A. Keratosis obturans and external auditory canal cholesteatoma: How and why we should distinguish between these conditions. Clin Otol 2017; 24:577-8. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15533140. Accessed May 31, 2018. 8. Rogan JC, Leslie M, Tony W. Epithelial migration in keratosis obturans. American Journal



of



Otolaryngology



2015;



311-14.



Available



http://dx.doi.org/10.1016/S0196-0709. Accessed April 4, 2016.



from:



20



9. Piepergerdes MC, Kramer BM, Behnke EE. Keratosis obturans and external auditory canal cholesteatoma. Laryngoscope 2014 ;90 :383-91. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7359960. Accessed April 24, 2014. 10. Loock JW. Benign necrotizing otitis externa. In: Michael Gleeson, chief editor. Scott-Brown’s Otolaryngology Head and Neck Surgery. 7th ed. Vol 3. London: Hodder Arnold; 2015. p. 3334. 11. Persaud R, Chatrath P, Cheesman A. Atypical keratosis obturans. J Laryngol Otol 2018;



117:725-7.



Available



from:



http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14561364. Accessed May 31, 2019. 12. Beatriz B, Amaya RF. Imaging diagnosis of benign lesions of the external auditory canal.



Acta



Otolaryngol



Esc



2014;



64:6-11.



Available



from:



www.sciencedirect.com/science. Accessed April 4, 2015. 13. Saunders NC, Malhotra R, Biggs N, Fagan PA. Complications of keratosis obturans.



J



Laryngol



Otol



2016;



120:



740-4.



Available



from:



http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16848919. Accessed May 31, 2017. 14. Negreiros J, Oliveira HF, Neves CA, Oliveira CA. External Auditory Canal Cholesteatoma. Int. Adv. Otol. 2017; 5:(3) 391393. Available from: www.scielo.br/scielo.php. Accessed April 18, 2017. 15. Soucek S, Michaels L: Keratosis of the tympanic membrane and deep ecternal auditory canal. Eur Arch Otorhino laryngol 2014; 250: 140-2. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8357603. Accessed Mei, 2014. 16. Tran LP, Grundfast KM, Selesnick SH. Benign lesions of the external auditory canal. Otolaryngol Clin North Am 2015;29(5): 807–825. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/. Accessed April 10, 2016. 17. Glynn F, Keogh IJ, Burns H. Neglected keratosis obturans causing facial nerve palsy.



J



Laryngol



Otol



2017;



120:784-5.



Available



http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16939670. Accessed May 31, 2017



from: