Konsep Nyeri [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB II TINJAUAN KONSEP DAN TEORI



A. Manajemen Nyeri 1. Pengertian Nyeri Menurut International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri adalah suatu pengalaman sensori, emosional serta kognitif yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan aktual maupun potensial yang dapat timbul tanpa adanya injuri (Ardinata, 2007). Nyeri adalah suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Definisi



keperawatan



tentang



nyeri



adalah



apapun



yang



menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada kapanpun individu mengatakannya (Smeltzer & Bare, 2002). Nyeri post operasi adalah nyeri yang dirasakan akibat dari hasil pembedahan. Kejadian, intensitas, dan durasi nyeri post operasi berbedabeda. Lokasi pembedahan mempunyai efek yang sangat penting yang hanya dapat dirasakan oleh pasien. Nyeri pasca operasi tidak hanya terjadi setelah operasi besar, tetapi juga setelah operasi kecil. Selain faktor fisiologis, nyeri juga dipengaruhi oleh rasa takut atau kecemasan mengenai operasi (dimensi afektif), yang dapat meningkatkan persepsi individu terhadap intensitas nyeri (dimensi sensorik). Meskipun semua pasien post



1



operasi mengalami sensasi rasa nyeri, ada perbedaan dalam ekspresi atau reaksi nyeri (dimensi perilaku), latar belakang budaya (dimensi sosiokultural) (Suza, 2007). Individu yang merasakan nyeri merasa tertekan atau menderita dan mencari upaya untuk menghilangkan nyeri. Perawat menggunakan berbagai intervensi untuk menghilangkan nyeri atau mengembalikan kenyamanan. Perawat tidak dapat melihat atau merasakan nyeri yang klien rasakan. Nyeri bersifat subjektif, tidak ada dua individu yang mengalami nyeri yang sama menghasilkan respons atau perasaan yang identik pada seorang individu (Potter & Perry, 2006). 2. Klasifikasi nyeri Menurut Asmadi (2008), nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan tempat, sifat, berat ringannya nyeri, dan waktu lamanya serangan. a. Nyeri berdasarkan tempatnya: 1) Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh misalnya pada kulit, mukosa 2) Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih dalam atau pada organ-organ tubuh visceral. 3) Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit organ/struktur dalam tubuh yang ditransmisikan ke bagian tubuh di daerah yang berbeda, bukan daerah asal nyeri. 4) Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan pada sistem saraf pusat, spinal cord, batang otak, talamus.



2



b. Nyeri berdasarkan sifatnya: 1) Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang 2) Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam waktu yang lama 3) Paroxymal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap ± 10-15 menit, lalu menghilang, kemudian timbul lagi. c. Nyeri berdasarkan berat ringannya: 1) Nyeri ringan, yaitu nyeri dengan intensitas yang rendah 2) Nyeri sedang, yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi 3) Nyeri berat, yaitu nyeri dengan intensitas yang tinggi. d. Nyeri berdasarkan waktu lamanya serangan 1) Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang singkat dan berakhir kurang dari enam bulan, sumber dan daerah nyeri diketahui dengan jelas. 2) Nyeri kronis, yaitu nyeri yang dirasakan lebih dari enam bulan. Pola nyeri ada yang nyeri timbul dengan periode yang diselingi interval bebas dari nyeri lalu nyeri timbul kembali. Adapula pola nyeri kronis yang terus-menerus terasa makin lama semakin meningkat intensitasnya walaupun telah diberikan pengobatan. Misalnya, pada nyeri karena neoplasma. Tabel 2.1



3



Perbedaan nyeri akut dan nyeri kronis



1. 2. 3. 4.



5.



Nyeri akut Waktu kurang dari enam bulan Daerah nyeri terlokalisasi Nyeri terasa tajam seperti ditusuk, disayat, dicubit. Respon sistem saraf simpatis: takikardia, peningkatan respirasi, peningkatan tekanan darah, pucat, lembab, berkeringat, dan dilatasi pupil. Penampilan klien tampak cemas, gelisah, dan terjadi ketegangan otot.



1. 2. 3. 4.



Nyeri kronis Waktu lebih dari enam bulan Daerah nyeri menyebar Nyeri terasa tumpul seperti ngilu, linu. Respons sistem saraf parasimpatis: penurunan tekanan darah, bradikardia, kulit kering, panas, dan pupil konstriksi.



5. Penampilan klien tampak depresi dan menarik diri.



3. Penyebab rasa nyeri Penyebab rasa nyeri menurut Asmadi (2008) antara lain: a. Fisik: Trauma (trauma mekanik, termis, kimiawi, maupun elektrik), neoplasma, peradangan, gangguan sirkulasi darah. Trauma mekanik menimbulkan nyeri karena ujung-ujung saraf bebas mengalami kerusakan akibat benturan, gesekan, ataupun luka. Trauma termis menimbulkan nyeri karena ujung saraf reseptor mendapat rangsangan akibat panas, dingin. Trauma elektrik dapat menimbulkan nyeri karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai reseptor rasa nyeri. Neoplasma menyebabkan nyeri karena terjadinya tekanan atau kerusakan jaringan yang mengandung reseptor nyeri dan juga karena tarikan, jepitan, atau metastase. Nyeri pada peradangan terjadi karena kerusakan ujung-ujung saraf reseptor akibat adanya peradangan atau terjepit oleh pembengkakan.



4



b. Psikis: Trauma psikologis Nyeri yang disebabkan faktor psikologis merupakan nyeri yang dirasakan akibat trauma psikologis dan pengaruhnya terhadap fisik. 4. Efek Nyeri Pada Klien Saat nyeri akut, denyut jantung, tekanan darah, dan frekuensi pernapasan meningkat. Perawat membandingkan tanda-tanda vital dengan nilai dasar yang tercatat sebelum mengalami nyeri. Apabila klien mengalami nyeri, maka perawat mengkaji kata-kata yang diucapkan, respon vokal, gerakan wajah dan tubuh serta interaksi sosial. Merintih, mendengkur dan menangis merupakan vokalisasi yang digunakan untuk mengekspresikan nyeri. Efek nyeri juga berpengaruh pada aktivitas sehari-hari. Klien yang mengalami nyeri setiap hari kurang mampu berpartisipasi dalam aktivitas rutin. Nyeri mengganggu kemampuan untuk mempertahankan hubungan seksual normal. Nyeri juga mengganggu kemampuan individu bekerja secara serius. Penting juga bagi perawat melakukan pengkajian efek nyeri pada aktivitas sosial. Nyeri dapat sangat melemahkan sehingga klien menjadi terlalu lelah untuk bersosialisi (Potter & Perry, 2006). 5. Mekanisme nyeri Menurut Asmadi (2008), terdapat beberapa teori yang menjelaskan mekanisme transmisi nyeri, diantaranya:



5



a. The Specificity Theory (Teori spesifik) Menurut teori spesifik, timbulnya sensasi nyeri berhubungan dengan pengaktifan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh perubahan mekanik, rangsangan kimia, atau temperatur yang berlebihan. Persepsi nyeri yang dibawa oleh serabut saraf nyeri diproyeksikan oleh spinotalamik ke spesifik pusat nyeri di talamus. b. The Intensity Theory ( Teori intensitas) Nyeri adalah hasil rangsangan yang berlebihan pada reseptor. Setiap rangsangan sensori mempunyai potensi untuk menimbulkan nyeri jika intensitasnya cukup kuat. c. The Gate Control Theory (Teori Kontrol Pintu) Menurut teori ini, nyeri bergantung pada kerja serat saraf aferen berdiameter besar atau kecil yang dapat mempengaruhi sel saraf di substansia gelatinosa. Kerja serat yang berdiameter besar menghambat transmisi yang artinya “pintu ditutup”, sedangkan serat saraf yang berdiameter kecil mempermudah transmisi yang artinya “pintu dibuka”. 6. Faktor yang mempengaruhi nyeri Faktor yang mempengaruhi nyeri menurut Potter & Perry (2006) adalah: Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak-anak dan lansia. Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan memahami nyeri dan prosedur yang dilakukan perawat yang menyebabkan nyeri. Kemampuan klien lansia untuk menginterpretasikan



6



nyeri dapat mengalami komplikasi dengan keberadaan berbagai penyakit disertai gejala samar-samar yang mungkin mengenai bagian tubuh yang sama. Jenis kelamin secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespons terhadap nyeri. Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin. Misalnya, menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama. Kebudayaan, keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri. Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Apabila rasa cemas tidak mendapat perhatian maka rasa cemas dapat menimbulkan suatu masalah penatalaksanaan nyeri yang serius. Nyeri yang tidak cepat hilang akan menyebabkan psikosis dan gangguan kepribadian. Pengalaman sebelumnya, pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang. Keletihan dapat meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Nyeri seringkali lebih berkurang setelah individu mengalami



7



suatu periode tidur yang lelap dibandingkan pada akhir hari yang melelahkan. 7. Strategi penatalaksanaan nyeri Strategi penatalaksanaan nyeri mencakup baik secara farmakologis maupun secara nonfarmakologis. a



Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis yaitu kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik dan anestesi. Analgesik merupakan metode yang umum untuk mengatasi nyeri. Anestesi lokal dan regional, anestesi lokal adalah suatu keadaan hilangnya sensasi pada lokalisasi bagian tubuh. Analgesia Epidural adalah suatu anestesia lokal dan terapi yang efektif untuk menangani nyeri pascaoperasi akut, nyeri persalian dan melahirkan, dan nyeri kronik, khususnya yang berhubungan dengan kanker (Potter & Perry, 2006).



b



Penatalaksanaan nyeri secara nonfarmakologis Metode pereda nyeri nonfarmakologi biasanya mempunyai resiko



yang



sangat



rendah.



Metode



ini



diperlukan



untuk



mempersingkat episode nyeri yang berlangsung hanya beberapa detik atau menit (Smeltzer & Bare, 2002). Penatalaksanaan



nyeri



secara



nonfarmakologis



mengurangi nyeri terdiri dari beberapa teknik diantaranya adalah:



8



untuk



1) Distraksi Distraksi adalah mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain dan dengan demikian menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Potter & Perry, 2006). 2) Relaksasi Teknik relaksasi adalah tindakan relaksasi otot rangka yang dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merelaksasikan ketegangan otot yang mendukung rasa nyeri (Tamsuri, 2007). 3) Imajinasi terbimbing Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu (Smeltzer & Bare, 2002). 4) Hipnosis Hipnosis efektif dalam meredakan nyeri atau menurunkan jumlah analgesik yang dibutuhkan pada nyeri akut dan kronis (Smeltzer & Bare, 2002).



B. Teknik Relaksasi Napas Dalam 1. Pengertian Teknik relaksasi adalah suatu bentuk tindakan keperawatan yang mana perawat mengajarkan kepada pasien bagaimana cara melakukan napas dalam untuk mengurangi nyeri. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernapas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan



9



dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi (“hirup, dua, tiga) dan ekshalasi (hembuskan, dua, tiga). Pada saat perawat mengajarkan teknik ini, akan sangat membantu bila menghitung dengan keras bersama pasien pada awalnya. Beberapa penelitian, bagaimanapun telah menunjukkan bahwa relaksasi



efektif



dalam



menurunkan



nyeri



pascaoperasi.



Ini



memungkinkan karena relatif kecilnya peran otot-otot skeletal dalam nyeri pascaoperasi atau kebutuhan pasien untuk melakukan teknik relaksasi tersebut agar efektif. Teknik tersebut tidak mungkin dipraktekkan bila hanya di ajarkan sekali, segera sebelum operasi. Pasien yang sudah mengetahui tentang teknik relaksasi mungkin hanya perlu di ingatkan untuk menggunakan teknik tersebut untuk menurunkan atau mencegah meningkatnya nyeri (Smeltzer & Bare, 2002). Menurut penelitian Zees (2012) tentang “Pengaruh tehnik relaksasi terhadap respon adaptasi nyeri pada pasien apendektomi diruang G2 lantai II kelas III BLUD RSU Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo” berpendapat bahwa ada pengaruh teknik relaksasi terhadap respon adaptasi nyeri. Pendapat Ikhsan (2012) dalam penelitiannya tentang “Pengaruh tehnik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan nyeri pada pasien pasca operasi Rumah sakit DR. M. Yunus Bengkulu” menunjukkan bahwa sebagian besar pasien pasca operasi sebelum relaksasi memiliki skor nyeri 4 dan hampir sebagian besar pasien pasca operasi sesudah relaksasi memiliki skor nyeri 1. Pendapat tersebut dapat



10



membuktikan bahwa teknik relaksasi napas dalam dapat menurunkan tingkat intensitas nyeri pada pasien pasca operasi. Ada tiga hal yang utama yang diperlukan dalam relaksasi yaitu posisi yang tepat, pikiran beristirahat, lingkungan yang tenang. Posisi pasien diatur senyaman mungkin dengan semua bagian tubuh disokong (misal bantal menyokong leher), persendian fleksi, dan otot-otot tidak tertarik (misal tangan dan kaki tidak disilangkan). Untuk menenangkan pikiran pasien dianjurkan pelan-pelan memandang sekeliling ruangan. Untuk melestarikan muka, pasien dianjurkan sedikit tersenyum atau membiarkan geraham bawah kendor (Priharjo, 2002). 2. Prosedur teknik relaksasi napas dalam Adapun langkah-langkah teknik relaksasi napas dalam menurut Priharjo (2002) adalah sebagai berikut : a



Ciptakan lingkungan yang tenang



b



Usahakan tetap rileks dan tenang



c



Menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru dengan udara melalui hitungan 1, 2, 3



d



Perlahan-lahan udara dihembuskan melalui mulut sambil merasakan ekstremitas atas dan bawah rileks



e



Anjurkan bernapas dengan irama normal 3 kali



f



Menarik napas lagi melalui hidung dan menghembuskan melalui mulut secara perlahan-lahan



g



Membiarkan telapak tangan dan kaki rileks



11



h



Usahakan agar tetap konsentrasi/mata sambil terpejam



i



Pada saat konsentrasi pusatkan pada daerah yang nyeri



j



Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa berkurang



k



Ulangi sampai 15 kali, dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali.



l



Bila nyeri menjadi hebat, seseorang dapat bernapas secara dangkal dan cepat.



3. Efek relaksasi Menurut Potter & Perry (2006) efek relaksasi antara lain: Penurunan nadi, tekanan darah, dan pernapasan, penurunan konsumsi oksigen, penurunan ketegangan otot, peningkatan kesadaran global, kurang perhatian terhadap stimulus lingkungan , tidak ada perubahan posisi yang volunteer, perasaan damai dan sejahtera, periode kewaspadaan yang santai, terjaga, dan dalam.



C. Apendiktomi 1. Pengertian Apendisitis adalah suatu penyakit bedah mayor yang paling sering terjadi. Walaupun apendisitis dapat terjadi pada setiap usia, namun paling sering terjadi pada remaja dan dewasa muda. Angka mortalitas penyakit ini tinggi sebelum era antibiotik (Price & Wilson, 2006). Apendiktomi adalah suatu tindakan pembedahan untuk mengangkat apendiks, harus segera dilakukan tindakan untuk menurunkan risiko perforasi apendiks, peritonitis (Smeltzer & Bare, 2002).



12



Apendektomi adalah pengangkatan apendiks terinflamasi dapat dilakukan pada pasien rawat jalan dengan menggunakan pendekatan endoskopi. Namun, adanya perlengketan multiple, posisi retroperitoneal dari apendiks, atau robek perlu dilakukan prosedur pembukaan (Doenges, Moorhouse, & Geissler, 2000). Apendiktomi adalah pemotongan lumen apendiks yang tersumbat oleh fekalit atau yang lain (Barbara C, 1996). Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa apendiktomi adalah suatu tindakan pembedahan untuk



mengangkat



apendiks



yang



terinflamasi,



jika



terlambat



penanganannya akan menyebabkan perforasi.



D. Pengkajian Nyeri Pengkajian pada masalah nyeri menurut Hidayat (2008), dapat dilakukan dengan cara: P (Pemacu), Faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya nyeri, Q(Quality), Kualitas nyeri dikatakan seperti apa yang dirasakan pasien misalnya, seperti diiris-iris pisau, dipukul-pukul, disayat, R (Region), Daerah perjalanan nyeri, S (Severity), keparahan atau intensitas nyeri, T (Time), lama/ waktu serangan atau frekuensi nyeri. 1. Mengkaji persepsi nyeri Deskripsi Verbal tentang Nyeri. Individu merupakan penilai terbaik dari nyeri yang dialaminya dan karenanya harus diminta untuk



13



menggambarkan dan membuat tingkatnya. Menurut Smeltzer & Bare (2002), informasi yang diperlukan harus menggambarkan nyeri individual dalam beberapa cara yang berikut: a Intensitas nyeri. Individu dapat diminta untuk membuat tingkatan nyeri pada skala verbal (misal tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri hebat, atau sangat hebat; atau 0 sampai 10: 0= tidak ada nyeri, 10= nyeri sangat hebat). b Karakteristik nyeri. Termasuk letak, durasi (menit, jam, hari, bulan, dsb), irama (misal terus-menerus, hilang timbul, periode bertambah dan berkurangnya intensitas atau keberadaan dari nyeri) dan kualitas (misal, nyeri seperti ditusuk, terbakar, sakit, nyeri seperti digencet). c Faktor-faktor yang meredakan nyeri (misal gerakan, kurang bergerak, pengerahan tenaga, istirahat, obat-obat bebas, dsb) dan apa yang dipercaya pasien dapat membantu mengatasi nyerinya. d Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari (misal tidur, nafsu makan, konsentrasi, interaksi dengan orang lain, gerakan fisik, bekerja dan aktivitas santai). Nyeri akut berkaitan dengan ansietas dan nyeri kronis dengan depresi. e Kekhawatiran individu terhadap nyeri. Dapat meliputi berbagai masalah yang luas, seperti beban ekonomi, prognosis, pengaruh terhadap peran dan perubahan citra diri. Skala Analogi Visual (VAS). Skala analogi visual sangat berguna dalam mengkaji intensitas nyeri. Skala tersebut adalah berbentuk garis



14



horizontal sepanjang 10 cm, dan ujungnya mengindikasikan nyeri yang berat. Pasien diminta untuk menunjuk titik pada garis yang menunjukkan letak nyeri terjadi di sepanjang rentang tersebut.ujung kiri biasanya menunjukkan “tidak ada” atau “tidak nyeri”, sedangkan ujung kanan biasanya menandakan “berat” atau nyeri yang paling buruk. Untuk menilai hasil, sebuah penggaris diletakkan sepanjang garis dan jarak yang dibuat pasien pada garis dari “tidak ada nyeri “ diukur dan ditulis dalam sentimeter (Smeltzer & Bare, 2002). 1. Skala intensitas nyeri deskriptif sederhana



2. Skala intensitas nyeri Numerik



3. Skala Analog Visual (VAS)



Gambar 2.1 Skala Intensitas Nyeri (Dikutip dari Smeltzer & Bare, 2002)



15



Face Rating Scale. Skala ini diatur secara visual dengan ekspresi guratan wajah untuk menunjukkan intensitas nyeri yang dirasakan. Skala penilaian wajah pada dasarnya digunakan pada anak-anak tetapi juga bisa bermanfaat ketika orang dewasa yang mempunyai kesulitan dalam menggunakan angka-angka dari skala visual analog (VAS) yang merupakan alat penilaian pengkajian nyeri secara umum (Suza, 2007). Wong dan Baker (1988) mengembangkan skala wajah untuk mengkaji nyeri pada anak-anak. Skala tersebut terdiri dari enam wajah dengan profil kartun yang menggambarkan wajah dari wajah yang sedang tersenyum “tidak merasa nyeri” kemudian secara bertahap meningkat menjadi wajah kurang bahagia, wajah yang sangat sedih sampai wajah yang sangat ketakutan “nyeri yang sangat” (Potter & Perry, 2006).



Gambar 2.2 Skala Wajah Wong-Baker (Dikutip dari Potter & Perry, 2006).



2. Mengkaji Respons Fisiologik dan perilaku terhadap nyeri Banyak pemberi perawatan kesehatan lebih mengenal nyeri akut dibanding nyeri kronis. Akibatnya pemberi perawatan kesehatan yang lebih



16



mengenal respon fisiologik dan perilaku nyeri dapat menanyakan keberadaan nyeri pasien yang dengan tenang melaporkan nyeri berat atau pada pasien yang tidur nyenyak dengan cepat sebelum atau setelah melaporkan nyeri berat menampakkan tanda-tanda fisiologis atau perilaku dari nyeri. Tidak adanya tanda-tanda ini tidak harus membuat perawat menyimpulkan bahwa nyeri tidak ada; keberadaan dari tanda-tanda ini tidak selalu berarti bahwa pasien mengalami nyeri. Indikator fisiologis nyeri, perubahan fisiologis involunter dianggap sebagai indikator nyeri yang lebih akurat dibanding laporan verbal pasien. Bagaimanapun respons involunter ini seperti meningkatnya frekuensi nadi dan pernapasan, pucat dan berkeringat adalah indikator rangsangan sistem saraf otonom, bukan nyeri. Respons Perilaku terhadap nyeri. Respons perilaku terhadap nyeri dapat mencakup perrnyataan verbal, perilaku vokal, ekspresi wajah, gerakan tubuh, kontak fisik dengan orang lain, atau perubahan respons terhadap lingkungan. Individu yang mengalami nyeri akut dapat menangis, merintih, merengut, tidak menggerakkan bagian tubuh, mengepal atau menarik diri. Orang dapat menjadi marah atau mudah tersinggung dan meminta maaf saat nyerinya hilang (Smeltzer & Bare, 2002).



E. Diagnosa Keperawatan Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik dari pembedahan (NANDA, 2012).



17



F. Fokus Intervensi Rencana tindakan keperawatan yang dilakukan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri teratasi dengan kriteria hasil: klien mengatakan nyeri berkurang/hilang, klien tampak rileks (Doenges, Moorhouse, & Geissler, 2000) Intervensi atau rencana tindakan yang akan dilakukan yaitu monitor tanda-tanda vital dengan rasional mengetahui perkembangan lebih lanjut, kaji karakteristik nyeri dengan rasional dapat menentukan terapi yang akan dilakukan, berikan posisi yang nyaman untuk klien dengan rasional agar pasien rileks dan membantu mengurangi rasa nyeri, ajarkan tehnik relaksasi (nafas dalam) dengan rasional mengurangi rasa nyeri (Carpenito, 2000).



18