Lapkas Peritonitis [PDF]

  • Author / Uploaded
  • ----
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS PERITONITIS Disusun oleh: Bebie Ayura



120100165



Durga A/P Alagindera



130100356



Jeeshnaavi A/P Muraleedharan



130100359



Roni Syaputra Hasibuan



140100064



Hakimah Hasan Lubis



150100079



Pembimbing: Dr. dr. Erjan Fikri, Sp.B-KBA



PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RUMAH SAKIT UMUM PENDIDIKAN HAJI ADAM MALIK MEDAN 2020



PERITONITIS LAPORAN KASUS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara



Pembimbing: dr. Edwin Saleh Siregar, Sp.B-KBD Jessica



150100105



Adelia Ginting



150100110



Purnama Paulina Siregar



150100157



Sherin Agustina Hasibuan



150100160



Pradeepa A/P Govindan



150100201



PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RUMAH SAKIT UMUM PENDIDIKAN HAJI ADAM MALIK MEDAN 2020



KATA PENGANTAR



Puji dan ayukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas penyertaannya,



penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul



“Peritonitis” ini dengan baik. Tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter Departemen Ilmu Bedah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Edwin Saleh Siregar, Sp.B-KBD atas kesediaan beliau meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing, mendukung, dan memberikan masukan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan sebaik-baiknya. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang turut membantu dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih belum sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi perbaikan laporan kasus ini di kemudian hari. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu kesehatan.



Medan,



Juli 2020



Penulis



i



DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR...........................................................................................i DAFTAR ISI..........................................................................................................i BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1 1.1 Latar Belakang....................................................................................1 1.2 Tujuan.................................................................................................1 1.3 Manfaat...............................................................................................2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................3 2.1 Anatomi dan Fisiologi Peritoneum....................................................3 2.2 Peritonitis...........................................................................................3 2.2.1 Definisi....................................................................................3 2.2.2 Klasifikasi................................................................................4 2.2.3 Patofisiologi..............................................................................5 2.2.4 Manifestasi Klinis.....................................................................8 2.2.5 Penegakan Diagnosis................................................................8 2.2.6 Tatalaksana..............................................................................10 2.2.7 Komplikasi...............................................................................13 BAB III STATUS ORANG SAKIT.....................................................................15 BAB IV KESIMPULAN......................................................................................18 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................19



ii



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peritonitis merupakan salah satu penyebab tersering dari akut abdomen. Akut abdomen adalah suatu kegawatan abdomen yang dapat terjadi karena masalah bedah dan non-bedah. Peritonitis atau peradangan pada lapisan peritoneum abdomen dapat terjadi akibat proses dari luar maupun dalam abdomen (Japanesa, Zahari, & Rusjdi, 2016). Secara klinis, seseorang yang mengalami peritonitis memiliki keluhan nyeri abdomen dan pada pemeriksaan umumnya dijumpai kekakuan abdomen (Maqbool, Wen, & Liacouras, 2020). Spektrum klinis peritonitis dapat diklasifikasikan menurut pathogenesis, sebagai peritonitis primer, sekunder, atau tersier (Ordoñez & Puyana, 2006). Pada peritonitis primer, sumber infeksi berasal dari luar abdomen dan menginfeksi rongga peritoneum melalui hematogen, limfatik, atau penyebaran transmural. Peritonitis sekunder muncul dari rongga/ kavitas abdomen itu sendiri, umumnya melalui pecahnya viskus intraabdominal atau abses di dalam organ. Peritonitis tersier mengacu pada penyakit difus berulang dan dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk daripada peritonitis sekunder. (Maqbool, Wen, & Liacouras, 2020). Di lapangan, selain abses intra-abdominal, peritonitis cukup banyak ditakuti karena berisiko tinggi terjadinya syok septik dan kegagalan organ (Doron & Snydman, 2017). Peritonitis yang tidak ditangani dengan tepat dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi yang mengancam nyawa, misalnya trombosis vena mesenterika, respiratory distress syndrome, kegagalan multi- organ hingga kematian (Rangel, Townsend, Karki, & Moss, 2018). Prognosis terhadap peritonitis umumnya bergantung pada penyebab infeksi, penyakit komorbid, dan respon oleh pasien terhadap proses inflamatorik. Adapun dengan adanya penanganan modern saat ini, mortality rate pada kasus peritonitis mencapai hingga 10% (Rangel, Townsend, Karki, & Moss, 2018; Williams, O’Connel, & McCaskie, 2018). 1.2 Tujuan Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah: 1. Dapat mengerti dan memahami topik peritonitis



1



2 2. Sebagai persyaratan untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 1.3 Manfaat Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan pemahaman penulis serta pembaca, khususnya peserta P3D untuk lebih memahami dan mengenal teori tentang peritonitis.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI PERITONEUM Peritoneum adalah membran serosa yang melapisi rongga perut, yang terdiri dari sel-sel mesotelial yang didukung oleh lapisan tipis jaringan fibrosa. Secara embriologis, peritoneum berasal dari mesoderm. Peritoneum berfungsi untuk mendukung organ-organ perut dan berfungsi sebagai tempat untuk lewatnya saraf, pembuluh darah, dan limfatik. Meskipun tipis, peritoneum terdiri dari 2 lapisan dengan ruang potensial di antara mereka. Ruang potensial antara 2 lapisan mengandung sekitar 50 hingga 100 ml cairan serosa yang mencegah gesekan saat viscera abdomen bergerak satu terhadap yang lain. Lapisan luar adalah peritoneum parietal, yang menempel pada dinding perut dan panggul. Lapisan visceral dalam membungkus di sekitar organ internal yang terletak di dalam ruang intraperitoneal (Kalra, Wehrle, & Tuma, 2020). Rongga peritoneum berisi omentum, ligamen, dan mesenterium. Organ intraperitoneal meliputi lambung, limpa, hati, bagian duodenum pertama dan keempat, jejunum, ileum, kolon transversum, dan kolon sigmoid. Organ retroperitoneal terletak di belakang selubung posterior peritoneum, termasuk aorta, kerongkongan, bagian duodenum kedua dan ketiga, kolon asendens dan descending, pankreas, ginjal, ureter, dan kelenjar adrenal. “The greater omentum” menggantung dari curvatura mayor gaster dan melekat pada usus transversum, yang bertindak sebagai lapisan pelindung atau isolasi. Mesenterium berfungsi sebagai tempat melekatnya organ perut ke dinding perut dan mengandung banyak pembuluh darah, saraf, dan limfatik. Organ intraperitoneal biasanya bergerak sementara organ retroperitoneum biasanya melekat pada dinding perut posterior (Kalra, Wehrle, & Tuma, 2020). 2.2 PERITONITIS 2.2.1 Definisi Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau kondisi aseptik pada selaput organ perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut bagian dalam. Peritonitis juga menjadi salah satu penyebab tersering dari akut abdomen (Japanesa, Zahari, & Rusjdi, 2016).



3



4 2.2.2 Klasifikasi a. Peritonitis Primer Peritonitis primer, sering juga dikenal sebagai spontaneous bacterial peritonitis, umumnya tidak berhubungan langsung dengan abnormalitas atau gangguan intraabdomen. Jenis peritonitis ini kebanyakan terjadi pada orang dewasa dengan sirosis hepatis, pasien dengan penyakit kolagen vaskular, ataupun anak-anak dengan glomerulonpati tertentu, dan hampir selalu monomikrobial. Patogen penyebab yang khas biasanya adalah basil gram negatif enterik seperti E. coli atau Klebsiella spp. (Wyers & Matthews, 2016; Wagner, Chen, Barie, & Hiatt, 2017). b. Peritonitis Sekunder Peritonitis sekunder, disebut juga surgical peritonitis, merupakan jenis peritonitis yang paling sering terjadi. Peritonitis sekunder disebabkan oleh infeksi pada peritoneum yang berasal dari traktus gastrointestinal, ataupun biasanya berhubungan dengan abnormalitas atau gangguan intraabdomen (Japanesa, Zahari, & Rusjdi, 2016; Wagner, Chen, Barie, & Hiatt, 2017). Peritonitis sekunder terjadi akibat adanya proses inflamasi pada rongga peritoneal yang dapat disebabkan oleh inflamasi, perforasi, ataupun gangren dari struktur intraabdomen



dan retroperitoneal.



Perforasi akibat ulkus peptikum, apendisitis,



diverticulitis, kolesistitis akut, pankreatitis dan komplikasi pasca operasi merupakan beberapa penyebab tersering dari peritonitis sekunder. Penyebab non-bakterial lainnya termasuk bocornya darah ke dalam rongga peritoneal akibat robekan pada kehamilan di tuba fallopi, kista ovarian, atau aneurisma (Wyers & Matthews, 2016). Pada analisis mikrobiologis dari cairan peritoneum purulen pasien dengan peritonitis sekunder umumnya dijumpai B. fragilis dan E. coli. B. fragilis merupakan anaerob obligat yang paling sering diisolasi, sementara E. coli merupakan organisme fakultatif yang paling sering diisolasi. Sementara, Enterococcus spp., Candida spp., Clostridium spp., dan Pseudomonas aeruginosa jarang dijumpai pada hasil isolasi (Wagner, Chen, Barie, & Hiatt, 2017). c. Peritonitis Tersier Peritonitis tersier dapat dijelaskan sebagai tahap lanjutan dari peritonitis, ketika gejala klinis peritonitis dan tanda-tanda sistemik sepsis menetap bahkan setelah mendapat pengobatan untuk peritonitis primer atau sekunder (Levison & Bush, 2015). Peritonitis tersier sering



terjadi pada pasien immunocompromised dan orang-orang dengan kondisi komorbid (Wagner, Chen, Barie, & Hiatt, 2017). Organisme penyebab biasanya mencakup satu atau lebih jenis Staphylococci spp. (sering MRSA) dan Enterococcus spp., Candida spp., atau Pseudomonas spp. Adapun peritonitis tersier umumnya berprognosis buruk dengan persentase kematian 30 sampai 64% (Maqbool, Wen, & Liacouras, 2020). Berdasarkan luas infeksinya peritonitis dapat dibagi menjadi peritonitis lokalisata dan peritonitis generalisata. Peritonitis sekunder generalisata adalah salah satu kegawatdaruratan bedah yang paling umum (Doklestić, et al., 2014). 2.2.3 Patofisiologi Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus (Fauci, et al., 2008). Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapatmenimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia (Fauci, et al., 2008). Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebutmeninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi (Fauci, et al., 2008).



Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus (Fauci, et al., 2008).



Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis (Fauci, et al., 2008).



Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia (Fauci, et al., 2008). Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perutmenimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsanganperitoneum berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakterial (Fauci, et al., 2008). Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalamibendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan



peningkatan



tekanan



intralumen



dan



menghambat



aliran



limfe



yang



mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokalisata maupun generalisata (Fauci, et al., 2008). Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut,



mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untukberkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum (Fauci, et al., 2008). 2.2.4 Manifestasi Klinis Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda-tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, dan pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun hingga menghilang akibat usus mengalami kelumpuhan sementara. Apabila telah terjadi peritonitis bakterial, temperatur tubuh pasien akan meningkat dan terjadi takikardia, hipotensi serta penderita tampak letargik dan syok. Selain itu, dapat dijumpai nyeri subjektif berupa nyeri ketika pasien bergerak seperti berjalan, batuk, atau mengejan; dan nyeri objektif berupa nyeri ketika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lain (Doherty, 2006). 2.2.5 Penegakan Diagnosis Anamnesis yang jelas, evaluasi cairan peritoneal, dan tes diagnostik tambahan sangat diperlukan untuk membuat suatu diagnosis peritonitis yang tepat sehingga pasien dapat diterapi dengan benar. a. Anamnesis Anamnesis dapat dilakukan dengan menanyakan adanya nyeri abdomen yang dapat bersifat akut atau terjadi tiba-tiba karena adanya viskus yang berlubang atau lebih berbahaya karena granulomatosa atau bahan kimia, dan beberapa gejala yang dapat dijumpai pada peritonitis seperti demam, anoreksia, nausea, dan lain-lain. b. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut nadi, pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum melakukan pemeriksaan abdomen. Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi atau sepsis juga perlu diperhatikan. Pada saat melakukan inspeksi, pemeriksa mengamati ada tidaknya jaringan parut bekas operasi



menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan gambaran usus atau gerakan usus yang disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis biasanya akan ditemukan perut yang membuncit dan tegang atau distended (Wagner, Chen, Barie, & Hiatt, 2017). Bagian anterior dari peritoneum parietal adalah yang paling sensitif. Palpasi harus selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen yang tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna sebagai pembanding antara bagian yang tidak nyeri dengan bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan rigiditas muskular menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai peritoneum parietale (nyeri somatik). Rigiditas yang murni adalah proses refleks otot akan dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan. Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya udara bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis, pekak hepar akan menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani karena adanya udara bebas tadi (Wagner, Chen, Barie, & Hiatt, 2017). Auskultasi dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara bising usus. Pasien dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah atau menghilang sama sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal yang lumpuh sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik). Sementara pada peritonitis lokal, bising usus dapat terdengar normal. Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus dilakukan pemeriksaan colok dubur dan pemeriksaan vaginal untuk membantu penegakan diagnosis (Wagner, Chen, Barie, & Hiatt, 2017). c. Pemeriksaan Penunjang Kegunaan utama pencitraan pada pasien dengan dugaan peritonitis adalah untuk membantu menentukan penyebab primer atau sekunder dan perlunya laparotomi yang mendesak. Pemeriksaan pencitraan yang dapat dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis peritonitis adalah dengan radiologis (X-Ray), USG, dan CT Scan (Rangel, Townsend, Karki, & Moss, 2018). Pemeriksaan foto polos abdomen dapat dilakukan dengan posisi supine, upright, dan left lateral decubitus. Radiografi abdomen polos dapat menunjukkan bukti ileus paralitik, dan



udara bebas di bawah diafragma pada pandangan tegak menegaskan adanya viskus perforasi. CT scan lebih sensitif, 70 hingga 100%, daripada radiografi polos untuk mendeteksi udara bebas dan juga dapat menunjukkan penyebab yang mendasarinya. Pada pasien muda, radang usus buntu dan ulkus duodenum berlubang adalah penyebab umum. Pada pasien yang lebih tua, divertikula perforasi dan kanker ebih sering terjadi. Pada wanita muda, kehamilan tuba dan abses tubo-ovarium yang pecah harus dipertimbangkan (Kuemmerle, 2020). Dalam banyak kasus, riwayat medis pasien, hasil pemeriksaan klinis, temuan laboratrium, dan hasil radiografi polos abdomen atau dada cukup untuk menunjukkan perlunya pembedahan segera, dan pemeriksaan ultrasonografi tidak diindikasikan dalam pasienpasien ini. Namun, dalam kasus lain, ketika diagnosis klinis tidak pasti dan pengobatan tidak jelas, ultrasonografi dapat mengidentifikasi penyebab yang tepat yang mendasari nyeri perut akut yang memerlukan pembedahan. Temuan ultrasonografi yang paling umum adalah ascites, dilatasi loop usus kecil dengan ketebalan dinding, pneumoperitoneum, ketebalan antrum atau dinding duodeal, apendisitis perforata dengan akumulasi eksudat perifokal, dan pembentukan abses (Kuemmerle, 2020). Pemeriksaan laboratorium dapat dijumpai leukositosis dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis (shift to the left). Hiperkapnia dijumpai sebagai akibat dari hiperventilasi. Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat (Rangel, Townsend, Karki, & Moss, 2018). 2.2.6 Tatalaksana Pada sebagian besar kasus peritonitis, terutama peritonitis sekunder, resusitasi cairan dan terapi antibiotik diikuti dengan intervensi bedah seperti laparotomi atau laparoskopi yang mendesak (urgent) merupakan tatalaksana utama (Wyers & Matthews, 2016). a. Resusitasi Cairan Resusitasi cairan dilakukan secara agresif untuk menangani penurunan volume intravaskuler sekunder akibat perpindahan cairan keluar dari ruang vaskular. Resusitasi cairan (bolus



30mL/kg) disertai oleh pemantauan parameter fisiologis secara berkala, termasuk tekanan darah, denyut jantung, tekanan vena sentral (central venous pressure/ CVP), saturasi oksigen vena campuran, dan keluaran urin (urine output). Hematokrit, leukosit, elektrolit, glukosa, kreatinin, dan gas darah juga perlu dipantau. Hipovolemia, hipotensi, asidosis metabolik, hipoksia, dan hemokonsentrasi akibat hilangnya plasma ke dalam rongga peritoneum dapat terjadi pada kondisi ini. Terapi vasopresor harus dimulai hanya setelah resusitasi volume yang memadai gagal untuk memperbaiki hipotensi dan hipoperfusi (Wyers & Matthews, 2016). b. Terapi Antibiotik Peritonitis primer ditatalaksana menggunakan antibiotik yang ditujukan pada patogen infeksi, tanpa adanya intervensi bedah (Wyers & Matthews, 2016). Peritonitis primer biasanya bersifat monomikroba. Adanya berbagai bakteri campuran pada pemeriksaan cairan asites pasien suspek peritonitis mengarahkan pada dilakukannya tindakan laparotomi untuk melokalisasi perforasi yang merupakan kemungkinan sumber infeksi intraabdominal. Terapi antibiotik dengan cakupan spektrum luas, seperti Cefotaxime, harus dimulai segera, dengan perubahan selanjutnya tergantung pada pengujian sensitivitas. Terapi umumnya dilanjutkan selama 10-14 hari (Maqbool, Wen, & Liacouras, 2020). Pada pasien asites dugaan peritonitis dengan kultur negatif (culture-negative neurocytic ascites) – yang merupakan varian dari peritonitis primer dengan hitung leukosit >500/mm 3 cairan asites, hasil kultur negatif, tidak ditemukannya sumber infeksi intraabdomen, dan tidak ada riwayat terapi antibiotik – maka diterapi sesuai dengan peritonitis primer (Maqbool, Wen, & Liacouras, 2020). Pada peritonitis sekunder, terapi antibiotik diberikan sebelum, selama, dan setelah intervensi bedah. Jenis bakteri yang menyebabkan peritonitis sekunder bergantung pada flora normal di saluran gastrointestinal, yang pada keadaan ini merupakan sumber infeksi maupun sepsis. Adapun pedoman terbaru untuk pengelolaan infeksi intraabdominal yang rumit (complicated intra-abdominal infections) merekomendasikan terapi antimikroba yang lebih luas untuk infeksi yang didapat di rumah sakit (hospital-acquired infections) daripada infeksi yang didapat dari masyarakat (community-acquired infections). Pada peritonitis yang community- acquired, umumnya ditemukan basil Gram negatif yang rentan, bakteri anaerob, dan



Enterococci. Sementara itu pada peritonitis yang hospital-acquired, flora normal kemungkinan telah mengalami perubahan akibat paparan antibiotik sebelumnya dan juga penyakit sebelumnya, sehingga umumnya ditemukan lebih banyak organisme yang resisten antibiotik. Secara umum, terapi antibiotik yang diberikan ditujukan pada patogen yang kemungkinan besar menginfeksi pasien (most likely pathogens) (Wyers & Matthews, 2016). Kegagalan terapi pada peritonitis sekunder setelah pemberian antibiotik yang tepat atau terjadinya peritonitis kembali (rekurensi) dapat digolongkan dalam peritonitis tersier. Infeksi nosokomial yang terjadi pada pasien setelah perawatan jangka panjang/ lama di rumah sakit berisiko infeksi oleh Pseudomonas yang multiresisten, Enterobacter, Enterococcus, Staphylococcus, dan Candida spp.. Terjadinya multiple organ dysfunction syndrome (MODS) setelah operasi awal mendorong pencarian kontrol sumber infeksi yang tidak adekuat dan abses, yang melibatkan pemeriksaan CT ulang, drainase abses perkutan ataupun operatif, serta kultur pengumpulan cairan persisten, sebagai tambahan di luar terapi antibiotik (Wyers & Matthews, 2016). c. Intervensi Bedah Kebocoran isi usus (leakage of gut contents) maupun abses yang besar tidak dapat disterilkan hanya dengan terapi antibiotik tanpa adanya drainase. Intervensi bedah untuk pengendalian sumber peritonitis harus segera dilakukan setelah pasien diresusitasi cairan, stabil secara hemodinamik dan antiobiotik telah diberikan. Laparotomi merupakan gold standard untuk diagnosis pasti dan juga terapi andalan dalam peritonitis sekunder (surgical). Adapun literatur terbaru menegaskan peningkatan jumlah prosedur laparoskopi yang berhasil pada beberapa kasus peritonitis. Baik laparoskopi maupun laparotomi, tujuan dilakukannya intervensi bedah adalah untuk mengendalikan sumber, dekontaminasi peritoneum, dan pencegahan infeksi berulang (Wyers & Matthews, 2016). Pada beberapa kasus juga dapat dilakukan tindakan bedah re-eksplorasi. Adapun beberapa indikasi dilakukan re-eksplorasi (Wyers & Matthews, 2016) adalah sebagai berikut : 1) kontrol lemah terhadap sumber infeksi; 2) penilaian ulang viabilitas usus; 3) drainase yang tidak memadai atau buruk; 4) ketidakstabilan hemodinamik;



5) nekrosis pankreas yang terinfeksi atau peritonitis fekal difus pada operasi awal; 6) penilaian ulang anastomosis yang lemah atau renggang; dan 7) perkembangan hipertensi intraabdomen (sindrom kompartemen abdominal). Sindrom kompartemen abdominal terjadi ketika penutupan abdomen, baik pada tingkat fasia atau kulit, menyebabkan peningkatan tekanan intraabdominal hingga menganggu fungsi pernapasan, hati, dan ginjal. 2.2.7 Komplikasi Peritonitis yang disebabkan oleh infeksi memiliki beberapa komplikasi yang dapat mengancam jiwa. Beberapa di antaranya adalah mesenteric vein thrombosis, adult respiratory distress syndrome (ARDS), kegagalan organ multipel, hingga kematian. Komplikasi-komplikasi yang berat umumnya berkaitan dengan peritonitis sekunder. Beberapa komplikasi lainnya termasuk prolonged ileus, abses intraabdominal, fistula enterik, dan adhesi inflamatorik (Rangel, Townsend, Karki, & Moss, 2018). Prognosis terhadap peritonitis umumnya bergantung pada penyebab infeksi, penyakit komorbid, dan respon oleh pasien terhadap proses inflamatorik. Dengan adanya penanganan modern saat ini, mortality rate pada kasus peritonitis mencapai hingga 10%. Secara umum komplikasi pada peritonitis terbagi dua, yaitu komplikasi lokal dan komplikasi sistemik (Rangel, Townsend, Karki, & Moss, 2018; Williams, O’Connel, & McCaskie, 2018). Tabel 2.1 Komplikasi Peritonitis (Williams, O’Connel, & McCaskie, 2018)



Komplikasi Lokal



Komplikasi Sistemik



Ileus paralitik



Syok septik



Residual atau Recurrent abcess atau



Systemic inflammatory response



Inflammatory mass



syndrome



Portal pyremia/ Liver abscess



Multi-organ dysfunction syndrome



Adhesional small bowel obstruction



Kematian



Peritonitis rekuren atau peritonitis tersier merupakan istilah yang digunakan pada kondisi yang terjadi setelah terapi peritonitis sekunder yang berlangsung lama. Pasien dengan kondisi ini tetap mengalami gejala meskipun telah menerima terapi antibiotik yang sesuai dan cairan peritoneum menunjukkan inflamasi yang persisten. Kegagalan organ multipel dan outcome yang



buruk sering kali diasosiasikan dengan peritonitis tersier. Mekanisme yang menyebabkan terjadinya inflamasi peritoneum secara terus – menerus, belum diketahui dengan baik. Beberapa peneliti mengajukan kemungkinan adanya disfungsi regulasi imun dan pemberian nutrisi yang tidak adekuat sebagai faktor yang berkontribusi (Cherry, et al., 2019). Pembentukan fistula enterokutaneus merupakan salah satu komplikasi yang ditakutkan pada inflamasi peritoneum dan bowel injury. Lebih dari 80% fistula yang terbentuk terjadi pada saat post operatif. Fistula yang terjadi secara primer dari infeksi biasanya jarang terjadi. Adanya fistula dapat menjadi sumber infeksi yang tidak terdeteksi untuk sepsis. Fistula dapat menjadi tempat terjadinya abses pada sepanjang kanal fistula atau terbentuk secara interal dan menghubungkan dua struktur intraabdomen (Wagner, et al., 2017).



BAB III STATUS ORANG SAKIT 3.1 IDENTITAS PASIEN Nama



: Nn. J



RM



: 00818722



Jenis Kelamin : Perempuan Usia



: 12 tahun



Alamat



: Jl. SM Raja. Gg. Kamboja No.10



Pekerjaan



: Pelajar



3.2 AUTOANAMNESIS Keluhan utama: Nyeri seluruh bagian perut Telaah: Hal ini telah dialami pasien sejak ± 8 hari SMRS. Saat ini nyeri dirasakan di seluruh perut. Nyeri dirasakan semakin berat dan terus-menerus. Pasien juga mengeluhkan perut membesar ± 8 hari SMRS. Pasien sudah tidak BAB ± 7 hari. BAK normal, Mual (-), muntah (-), nafsu makan menurun (-), BB menurun (-). Pasien adalah Rujukan dari RS. Bhayangkara dan didiagnosa dengan dd kista ovarium multiple + tumor adnexa susp. Malignancy. RPT : riwayat penyakit jantung (-), riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-) RPO : tidak jelas 3.3 PEMERIKSAAN FISIK STATUS PRESENS Sensorium



: Compos Mentis



Tekanan Darah



: 120/80



HR



: 102 x/menit



RR



: 22 x/menit



Temperatur



: 37,9oC



15



16 STATUS GENERALISATA Kepala Wajah :



dalam batas normal



Mata :



konjungtiva palpebra anemis (-/-), mata cekung (-/-),sklera ikterik (-/-)



Telinga, hidung, mulut : dalam batas normal Thorax Paru Inspeksi



: Simetris fusiformis



Palpasi



: Stem fremitus kanan = kiri



Perkusi



: Sonor pada kedua lapangan paru



Auskultasi : Sp = vesikuler, St = tidak dijumpai Jantung Inspeksi



: Iktus kordis tidak tampak



Palpasi



: Iktus kordis teraba



Perkusi



: Batas atas jantung ICS II LMCS Batas kiri jantung ICS IV 1 cm LMCS Batas kanan jantung ICS IV LPSD



Auskultasi : Bunyi jantung I-II reg, gallop (-), murmur (-) Abdomen Inspeksi



: Datar



Palpasi



: Defans muskular (+), nyeri tekan (+) seluruh lapangan abdomen



Perkusi



: Hipertimpani (+)



Auskultasi : Bising usus (+) menurun Ekstremitas Akral hangat, CRT < 2 detik 3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium Hb : 14.2 g/dL Hematokrit : 43/µL Trombosit : 316000 /µL



Leukosit Eritrosit GDS Clotting time Bleeding time Limfosit absolut Monosit absolut Eosinofil absolut Basofil absolut Natrium Kalium Klorida



: : : : : : : : : : : :



Pemeriksaan radiologi



9,670/µL 5,16 93 mg/dL 8 menit 3 menit 2.35 1.00 0.21 0.02 138 mEq/L 4.0 mEq/L 104 mEq/L



Preperitonial fat line baik Psoas line smooth dan simetris dan kontur kedua ginjal sulit dinilai Distribusi udara tidak mencapai pelvis minor.Tampak pelebaran kaliber dan penebalan dinding usus dengan ukuran terbesar +/- 5,5cm disertai gambaran herring bone. Pada posisi erect,tampak multiple air fluid level yang membentuk gambaran step ladder. Kesan: Ileus obstruktif tinggi



3.5 DIAGNOSIS Diffuse peritonitis ec. apendisitis perforasi 3.6 DIAGNOSIS BANDING Diffuse peritonitis ec. apendisitis perforasi Diffuse peritonitis ec. perforasi gaster Acute Pancreatitis 3.7 TERAPI AWAL −



Bed rest







Puasakan pasien







IVFD NaCl 0,9% 20gtt/i







Pemasangan NGT







Pemasangan kateter urin







Injeksi Cefotaxim 3x1 gr (skin test terlebih dahulu)







Infus Metronidazole 3x500 mg



3.8 RENCANA −



Laparotomi Eksplorasi



BAB IV KESIMPULAN Peritonitis merupakan peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau kondisi aseptik pada peritoneum. Peritonitis diklasifikasikan atas 3 kelompok yaitu peritonitis primer, sekunder dan tersier. Sementara itu, berdasarkan luas infeksinya, peritonitis terbagi menjadi peritonitis lokalisata dan generalisata. Diagnosis peritonitis dapat ditegakkan melalui serangkaian pemeriksaan, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik (terutama abdomen), dan pemeriksaan penunjang, baik hasil laboratorium maupun pencitraan/imaging. Adapun tatalaksana utama peritonitis adalah dengan resusitasi cairan dan terapi antibiotik, dapat diikuti dengan intervensi bedah seperti laparotomi atau laparoskopi. Peritonitis yang tidak ditangani dengan baik atau lambat penanganannya dapat menyebabkan berbagai komplikasi, baik lokal maupun sistemik. Prognosis terhadap peritonitis umumnya bergantung pada penyebab infeksi, penyakit komorbid, dan respon oleh pasien terhadap proses inflamatorik.



18



DAFTAR PUSTAKA Cherry, J., Demmler-Harrison, G., Kaplan, S., Steinbach, W., & Hotez, P. (2019). Feigin and Cherry’s Textbook of Pediatric Infectious Disease (8th ed.). Philadelphia: Elsevier. Doherty, G. (2006). Current Surgical Diagnosis & Treatment. United States of America (USA): The McGraw-Hill. Doklestić, S., Bajec, D., Djukić, R., Bumbaširević, V. D., Detanac, S., Bracanović, M., et al. (2014). Secondary Peritonitis Evaluation of 204 Cases and Literature Review. J Med Life, 7(2), 132-138. Doron, S., & Snydman, D. (2017). Peritonitis and Intra-Abdominal Abscess. In S. McKean, J. Ross, D. Dressler, & D. Scheure, Principles and Practice of Hospital Medicine. United States of America (USA): McGraw-Hill Education. Fauci, et al. (2008). Harrison’s Principal Of Internal Medicine. United States of America: The McGraw-Hill. Japanesa, A., Zahari, A., & Rusjdi, S. (2016). Pola Kasus dan Penatalaksanaan Peritonitis Akut di Bangsal Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 5(1), 209213. Kalra, A., Wehrle, C., & Tuma, F. (2020). Anatomy, Abdomen and Pelvis, Peritoneum. Retrieved July 14, 2020, from StatsPearl [Internet]: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534788/ Kuemmerle, J. (2020). Inflammatory and Anatomic Diseases of the Intestine, Peritoneum, Mesentery, and Omentum. In L. Goldman, & A. I. Schafer (Eds.), Goldman-Cecil Medicine (26th ed., pp. 908-916). United States of America (USA): Elsevier. Levison, M., & Bush, L. (2015). Peritonitis and Intraperitoneal Abcesses. In J. Bennett, R. Dolin, & M. Blaser (Eds.), Mandell, Douglas, and Bennett’s Principles and Practice of Infectious Disease (8th ed., pp. 935-947). Philadelphia: Elsevier. Maqbool, A., Wen, J., & Liacouras, C. (2020). Peritonitis. In R. Kliegman, J. StGeme, N. Blum, S. Shah, R. Tasker, & K. Wilson, Nelson Textbook of Pediatrics (21st ed., pp. 2147-2148). Philadelphia: Elsevier. Ordoñez, C., & Puyana, J. (2006). Management of Peritonitis in the Critically Ill Patient. The Surgical clinics of North America, 86(6), 1323-1349. Rangel, S., Townsend, S., Karki, M., & Moss, L. (2018). Peritonitis. In S. Long, C. Prober, & M. Fischer (Eds.), Principles and Practice of Pediatric Infectious Disease (5th ed., pp. 423428). Philadelphia: Elsevier. 19



20 Wagner, J., Chen, D., Barie, P., & Hiatt, J. (2017). Peritonitis and Intraabdominal Infection. Textbook of Critical Care. (7th ed.). Philadelphia: Elsevier. Williams, N., O’Connel, P., & McCaskie, A. (2018). Bailey & Love’s Short Practice of Surgery (27th ed.). London: Taylor & Francis Group. Wyers, S., & Matthews, J. (2016). Surgical Peritonitis and Other Diseases of the Peritoneum, Mesentery, Omentum, and Diaphragm. In M. Feldman, L. Friedman, L. Brandt, M. Feldman, L. Friedman, & L. Brandt (Eds.), Sleisenger and Fordtran’s Gastrointestinal and Liver Disease (10th ed., Vol. I, pp. 636-648). United States of America (USA): Saunders.