Lapkas Shin Splint [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS



PROSES FISIOTERAPI PADA SHIN SPLINT DI KONI PUSAT JAKARTA TAHUN 2020



Disusun oleh: Kelompok 4 Karina Nur Fadhilah



(P3.73.26.2.20.012)



Mariah ulfah



(P3.73.26.2.20.013)



KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN JAKARTA III JURUSAN FISIOTERAPI PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPI TAHUN 2020



LAPORAN KASUS PROSES FISIOTERAPI PADA SHIN SPLINT DI KONI PUSAT JAKARTA TAHUN 2020



Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Fisioterapi Geriatri Disusun oleh: Kelompok 4 Karina Nur Fadhilah



(P3.73.26.2.20.012)



Mariah ulfah



(P3.73.26.2.20.013)



KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN JAKARTA III JURUSAN FISIOTERAPI PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPI TAHUN 2020



LEMBAR PERSETUJUAN



LAPORAN KASUS PROSES FISIOTERAPI PADA SHIN SPLINT DI KONI PUSAT JAKARTA TAHUN 2020



Laporan kasus ini telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing untuk dipertahankan dihadapan penguji



Pembimbing pendidikan



Abdurahman BBL,sst.Ft.,M.Fis NIP. NIP.



Pembimbing Lapangan



Kanti Mahayanti,Ftr.SST.Ft



LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KASUS PROSES FISIOTERAPI PADA SHIN SPLINT DI KONI PUSAT JAKARTA TAHUN 2020



Laporan kasus ini telah diujikan dalam konferensi kasus pada tanggal 18 september 2020



Penguji I



Abdurahman BBL,sst.Ft.,M.Fis NIP.



Penguji II



Kanti Mahayanti,Ftr.SST.Ft NIP.



KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah Subhanahuwata’ala atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis banyak sekali mendapatkan bantuan bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat: 1. Ari Sudarsono.SSST.Ft.,M.Fis selaku ketua program studi Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenker Jakarta III yang telah membantu dan memfasilitasi kegiatan kami selama perkulian daring. 2. KONI Pusat di Jakarta sebagai lahan praktek 3. Kanti Mahayanti,Ftr.SST.Ft sebagai pembimbing lahan yang telah membimbing kami dengan sangat baik dengan masukan dan arahan yang telah bapak berikan. 4. Abdurahman BBL,sst.Ft.,M.Fis selaku pembimbing akademik yang telah membantu dan membimbing kami dalam stase FT Olahraga 5. Ny.NW selaku pasien 6. Serta anggota kelompok 4 yang sudah saling membantu. Penulis sadar sepenuhnya laporan kasus ini jauh dari kata sempurna. Penulis berharap saran dari semua pihak sebagai pembelajaran dikemudian hari. Akhir kata penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan laporan kasus ini. Semoga hasil laporan ini mendapat ridho dari Allah subhanahuwata’ala dan bermanfaat bagi semua. Aaamiin.



Jakarta,



Mariah Ulfah



DAFTAR ISI LAPORAN KASUS..........................................................................................................2 LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................................3 LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................................4 KATA PENGANTAR......................................................................................................5 BAB I.................................................................................................................................7 PENDAHULUAN.............................................................................................................7 A.



Latar Belakang.....................................................................................................7



B.



Identifikasi Masalah.............................................................................................9



C.



Tujuan Penelitian.................................................................................................9



D.



Manfaat Penelitian...............................................................................................9



BAB II.............................................................................................................................11 TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................11 A.



Definisi................................................................................................................11



B.



Anatomi dan Fisiologi........................................................................................12



C.



Epidemiologi.......................................................................................................13



D.



Etiologi................................................................................................................13



E.



Patofisiologi.........................................................................................................15



F.



Manifestasi klinis................................................................................................16



G.



Prognosis.........................................................................................................17



H.



Teknologi Fisioterapi......................................................................................17



I.



Penatalaksanaan Fisioterapi..............................................................................20



J.



Kerangka Berpikir.............................................................................................25



BAB IV............................................................................................................................36 PEMBAHASAN KASUS...............................................................................................36 A.



Hasil Penatalaksanaan Fisioterapi....................................................................36



B.



Kesimpulan.........................................................................................................36



BAB V.............................................................................................................................37 PENUTUP.......................................................................................................................37 A.



KESIMPULAN...................................................................................................37



B.



SARAN................................................................................................................37



DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................39



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara dengan jumah penduduk yang memasuki peringkat 5 besar penduduk terbanyak didunia. Dengan banyaknya jumlah penduduk di Indonesia membuat banyaknya keanekaragaman aktifitas dan rutinitas yang ada di negara ini. Aktifitas seseorang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor umur, lingkungan, jenis pekerjaan dan status social setiap manusia. Tubuh membutuhkan kesehatan dan kebugaran jasmani untuk menompang aktifitas-aktifitas sehari-hari. Kesehatan sangat penting bagi manusia untuk hidup, dan melakukan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya hingga kehidupan yang berkaitan dengan lingkungan sekitar. Sehat merupakan suatu keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental dan sosial serta tidak bebas dari penyakit atau kelemahan. Padatnya aktivitas maka masyarakat cenderung memilih olahraga yang praktis, efisien dan mudah dilakukan salah satunya adalah jogging atau lari. Namun dengan minimnya pemahaman masyarakat tentang bagaimana melakukan olah raga dengan baik dan benar sehingga melakukan kegiatan olahraga tidak sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan atau secara tidak sengaja melakukan gerakan yang salah sehingga dapat menyebabkan cedera pada tungkai bawah. Cedera dapat mengenai 2 otot, ligamen, maupun tulang, Cedera biasanya dikarenakan oleh kurangnya pemanasan, beban



olahraga yang berlebih, tidak melakukan gerakan dengan benar, pemilihan lapangan yang salah dan abnormalitas postur yang makin meningkatkan resiko cidera. Wine (2000), cedera sering terjadi akibat beban olahraga yang berlebih (overtraining) pada tungkai bawah adalah Shin Splint. Trackher (2002), shin splint secara umum terdiri dari satu atau lebih proses patologi, diantaranya Bone stress pada tulang tibia, Inflamasi pada periosteum dan fascia medial tibialis dan peningkatan tekanan compartement pada muscle lower leg akibat overuse dan inflamation. Shin splint merupakan rasa nyeri pada bagian dalam tulang tibia karena adanya inflamasi pada periosteum otot tibialis posterior dikarenakan trauma berulang akibat aktifitas olahraga, berjalan pada permukaan yang tidak rata atau keras, poor imbalance and muscle, penggunaan sepatu yang tidak tepat, malalignment ankle seperti pes planus, pes cavus, biomekanik berlari yang salah sehingga memicu terjadinya iritasi pada periosteum tibia, yang menimbulkan nyeri sebagaimana mengganggu gerak fungsional dari sendi ankle seperti berjalan, berlari, melompat yang dikarenakan adanya penurunan fungsi otot dan stabilisasi ankle. Keadaan ini kemudian mengakibatkan inflamasi pada periosteum dengan nyeri sebagai keluhan utamanya dan berhubungan dengan pembengkakan. Secara fisiologis nyeri dapat 3 hilang-timbul dengan penggunaan atau setelah lama beraktifitas olahraga. Apabila dilakukan dengan aktifitas olahraga secara terusmenerus dapat mengalami kerusakan jaringan yang luas, dan nyeri akan meningkat menjadi lebih sering dan menetap. Jeffery (2011), selain rasa



nyeri, mungkin yaitu adanya bengkak disekitar tulang tibia, dan keluhan lainya dapat berupa tenderness dibagian medial tulang tibia, rasa nyeri pada saat awal mula berlari yang terus menerus hingga keesokan pagi harinya, tidak nyaman ketika berjalan dan berlari. American collage of sport medicine (2002) bahwa kasus shin splint ditemukan 58% cidera pada berlari, 75% cidera akibat shin splint disertai stress fracture. B. Identifikasi Masalah 1.



Masalah gerak fungsional



2.



Pembatasan masalah



C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk mengetahui latihan streaching dan strengthening, ultrasound dan TENS dapat mengurangi nyeri dan meningkatkan ROM pada kasus shin splint. 2. Tujuan khusus a. Untuk mengetahui intervensi ultrasound dan TENS dapat mengurangi nyeri karena shin splint b. Untuk mengetahui latihan streaching dan strengthening dapat menignkatkan ROM dari ankle D. Manfaat Penelitian 1.



Manfaat bagi peneliti a. Mengetahui dan memahami tentang proses terjadinya kondisi shin splint



b. Membuktikan apakah latihan streaching dan strengthening, ultrasound dan TENS dapat mengurangi nyeri dan meningkatkan ROM pada kasus shin splint. 2.



Manfaat bagi fisioterapis a. Memberikan bukti empiris dan teori tentang shin splint dan penanganan apa saja yang lebih berpengaruh pada kasus ini sehingga dapat diterapkan dalam praktek klinis sehari-hari. b. Menjadi dasar penelitian dan pengembangan ilmu Fisioterapi di masa yang akan datang.



3.



Manfaat bagi institusi pendidikan a. Dapat digunakan sebagai bahan acuan atau referensi bagi penelitian selanjutnya yang akan membahas hal yang sama, yang lebih mendalam. b. Dapat menambah khasanah ilmu kesehatan dalam dunia pendidikan pada umumnya dan Fisioterapi pada khususnya.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Olahraga lari adalah salah satu olahraga yang mudah untuk dilakukan. Anda hanya perlu menggunakan sepatu dan berlari di sepanjang jalan yang Anda pilih. Bagi Anda yang hobi melakukan olahraga lari, baik sekadar jogging atau bahkan maraton, Anda pasti pernah mengalami nyeri pada tulang kering Anda. Ini adalah salah satu cedera tersering yang dialami oleh pelari. Nyeri ini disebabkan oleh suatu kondisi yang disebut shin splints. Shin adalah tulang tibia atau tulang kering. Seperti namanya, ciri khas dari shin splints adalah nyeri pada tulang kering. Ini sering terjadi pada pelari yang baru saja meningkatkan intensitas larinya atau mereka yang menganti rutinitas larinya. Akibatnya, otot, tendon, dan jaringan tulang sekitar tulang kering bekerja terlalu keras dan menimbulkan nyeri. Kondisi ini juga disebut sebagai medial tibial stress syndrome (Woon, Colin 2014). Shin splint adalah peradangan pada otot, tendon dan jaringan tulang di sekitar tulang kering (tibialis) akibat overuse dan cedera berulang pada daerah posteromedial dan anteromedial. Nyeri pada umumnya terjadi pada perbatasan antara tulang tibia atau tulang kering dimana otot melekat ke tulang disebut juga dengan penyakit Tibial Stress Syndrome.



B. Anatomi dan Fisiologi Nyeri di sepanjang tepi depan atau dalam tulang kering (tibia) sering disebut sebagai shin splints. Shin splints di bagian depan tibia disebut  anterior shin splints. Bagian dari tungkai yang terkena adalah kaki bagian bawah terdiri dari dua tulang. Tulang kering lebih besar dari dua tulang yaitu disebut tibia. Tulang kecil dan tipis yang membentang di sepanjang tibia dari lutut ke pergelangan kaki adalah fibula. Tibia dan fibula menjadi titik penghubung bagi beberapa otot yang menggerakkan kaki. Otot utama yang membengkokkan kaki ke atas terhubung di bagian depan tibia ini disebut tibialis anterior. Sedangkan tibialis posterior yang menarik kaki ke bawah dan di, atase sepanjang punggung (posterior) dan di dalam ujung tibia. Tekanan terus-menerus karena berlari di permukaan yang keras atau dari ketegangan yang berat pada otot tibialis dapat melemahkan otot tibia.



C. Epidemiologi Insiden sindrom stres tibialis medial berkisar antara 13,6% hingga 20% pada pelari dan hingga 35% pada militer. Beban yang meningkat secara signifikan, volume dan latihan berdampak tinggi dapat mempengaruhi shin splint dan cedera stres tulang lebih lanjut. Faktor risiko intrinsik termasuk peningkatan jenis kelamin wanita, riwayat shin splint sebelumnya, BMI tinggi, penurunan navicular (ukuran tinggi lengkungan dan pronasi kaki), rentang gerak fleksi plantar pergelangan kaki, dan rentang gerak rotasi eksternal pinggul. Studi pada rekrutan pelatihan dasar militer telah mengaitkan kekurangan vitamin D dengan peningkatan risiko cedera stress (Yates, 2004). 10-15 % terjadi pada pelari, penari, 60 % terjadi pada trauma di tungkai. Prevalensi laki-laki dan perempuan dalam penyakit shin splint adalah hampir sama atau seimbang. D. Etiologi Penyebab shin splints tidak selalu jelas. Secara umum, shin splints berkembang ketika otot dan jaringan tulang (periosteum) pada tungkai bekerja berlebihan akibat aktivitas berulang. Diperkirakan hal tersebut menyebabkan pembengkakan jaringan di sekitar tulang kering. Beberapa hal dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya shin splints, antara lain: 1. Perubahan tingkat aktivitas yang tiba-tiba – seperti baru memulai olahraga atau tiba-tiba menambah jarak atau kecepatan berlari   2. Berlari pada permukaan yang keras atau tidak rata



3. Menggunakan sepatu yang tidak pas atau sudah usang sehingga tidak memberikan bantalan dan tidak menyokong kaki dengan baik 4. Kelebihan berat badan 5. Memiliki kaki datar (flat feet) atau kaki yang bergulir ke sisi dalam (pronasi berlebihan)   6. Memiliki otot betis yang kencang, pergelangan kaki yang lemah, atau tendon Achilles yang kencang   7. Kelemahan menstabilkan otot panggul atau inti tubuh 8. Fungsi tulang belakang lumbal yang buruk



Lokasi shin splints yang paling sering adalah bagian medial (sisi dalam tulang kering). Shin splints anterior (ke arah luar tungkai) biasanya terjadi akibat ketidakseimbangan antara otot betis dengan otot di bagian depan tungkai, dan seringkali diderita pelari pemula yang belum menyesuaikan diri terhadap tekanan dalam berlari atau yang tidak melakukan peregangan dengan baik.



E. Patofisiologi Ada dua jenis cedera yang sering di alami oleh atlet, yaitu trauma akut dan overuse. Trauma akut adalah suatu cedera berat yang terjadi secara mendadak. Seperti robekan ligamen, otot, tendon, atau patah tulang. Cedera akut biasanya memerlukan pertolongan profesional. Sindrom pemakaian berlebih sering dialami oleh atlet, bermula dari adanya suatu kekuatan yang sedikit berlebihan, namun berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama. Sindrom ini kadang memberi respon yang baik dengan pengobatan sendiri. Cedera olahraga seringkali direspon oleh tubuh dengan tanda radang yang terdiri atas rubor (merah), tumor (bengkak), kalor (panas), dolor (nyeri), dan functiolaesa (penurunan fungsi). Cedera shin splint biasa terjadi karena penggunaan yang berlebihan dan berulang. Gerakan berulang pada kaki yang menyebabkan timbulnya kerusakan pada otot tibialis yang menempel pada tibia membuat otot mulai terluka dan penutup tulang (periosteum) menjadi meradang. Penggunaan berlebihan biasanya terjadi setelah perubahan dalam pelatihan. Meningkatkan kecepatan dan jarak lari dan berlari di permukaan yang keras atau miring dapat menyebabkan penggunaan yang berlebihan. Penggunaan berlebihan juga dapat terjadi karena berlari dengan alas kaki tipis atau sepatu dengan sol yang sudah usang.  Shin splint anterior cenderung memengaruhi orang yang melakukan aktivitas baru, seperti joging, lari cepat, atau olahraga yang memerlukan start dan stop cepat. Kekuatan yang baru memberikan tekanan yang beratvpada



tibialis anterior. menyebabkannya menjadi teriritasi dan meradang. Hal ini biasanya terjadi ketika orang yang bukan pelari biasa memutuskan untuk jogging jauh. Otot tibialis anterior harus bekerja keras untuk mengontrol pendaratan kaki depan dengan setiap langkahnya. Shin splint posterior umumnya disebabkan oleh ketidakseimbangan pada tungkai dan kaki. Ketidakseimbangan otot akibat otot betis yang tegang dapat menyebabkan kondisi ini.ketidakseimbangan garis kaki seperti flat arches dapat menyebabkan shin splint posterior. Saat kaki rata dengan setiap langkah, otot tibialis posterior meregang, menyebabkannya berulang kali menarik kearah tibia. Perlekatan otot tibialis posterior akhirnya menjadi rusak, menyebabkan nyeri dan pembengkakan di sepanjang tepi bagian dalam tungkai bawah. F. Manifestasi klinis Gejala utama dari shin splint adalah nyeri pada tulang kering (tulang betis depan). Nyeri cenderung: 1. Dirasakan segera setelah memulai olahraga 2. Perlahan-lahan membaik ketika istirahat – terkadang nyeri dapat menghilang ketika Anda masih berolahraga, tetapi pada akhirnya menetap meskipun sedang berisitirahat   3. Nyari pada awalnya terasa tumpul, tetapi dapat menjadi nyeri tajam dan berat sehingga Anda tidak dapat berolahraga 4. Mengenai kedua tulang kering



5. Dirasakan di area tulang kering yang luas (lebih dari 5 cm) – nyeri pada lokasi yang lebih kecil mungkin disebabkan oleh fraktur stress 6. Dicetuskan dengan menyentuh daerah yang sakit 7. Pembengkakan ringan juga dapat terjadi.   G. Prognosis Derajat kasus shin splint tergantung berat ringan kasus dan derajat nyeri yang dirasakan oleh pasien dimana pada fase pasien istirahat dan melakukan program terapi yang dianjurkan dokter, maka pemulihan cedera cepat dilakukan. H.



Teknologi Fisioterapi 1. Ultra Sound (US) US merupakan modalitas yang sering digunakan dalam program rehabilitasi terkait gangguan muskuloskeletal. Frekuensi yang digunakan untuk menghasilkan efek teraputik dari US yakni 3 MHz untuk area superficial dan 1 MHz untuk area yang lebih dalam. Dalam kasus piriformis syndrome, frekuensi yang digunakan yakni 1 MHz untuk menjangkau otot piriformis yang berada di bawah m.gluteus maximus. US memiliki 2 efek, yakni efek thermal dan nonthermal (mekanik). Efek thermal



menghasikan



peningkatan



suhu



permukaan



kulit



yang



meningkatan metabolisme, melancarkan aliran darah, mengurangi peradangan ringan, mengurangi kejang otot, mengurangi rasa nyeri dan meningkatkan lingkup gerak sendi. Efek mekanik dari US yakni adanya getaran micro oleh ultrasound yang akan menurunkan sensitivitas reseptor



(mechanoreseptor dan muscle spindle) dan mengubah viscoelastisitas otot, sehingga akan meningkatkan lingkup gerak sendi. Namun, peningkatan lingkup gerak sendi akibat efek thermal akan mengalami penurunan yang bertahap, sehingga dalam meningkatkan lingkup gerak sendi, efek mekanik dari US lebih berperan (Morishita et al., 2014). 2. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) TENS merupakan salah satu dari sekian banyak modalitas yang digunakan oleh profesi Fisioterapi di Indonesia yaitu merupakan suatu cara penggunaan energi listrik yang berguna untuk merangsang sistem saraf melalui permukaan kulit dan terbukti efektif untuk mengurangi berbagai tipe nyeri. Prosedur pelaksanaan TENS untuk nyeri kronis yaitu diberikan AL TENS (Acupuncture Like TENS) dengan durasi fase 20- 200 mikrodetik selama 30-45 menit diikuti dengan Intense TENS dengan durasi fase 20-200 mikrodetik selama 20-30 menit Johnson (2002).



3. Streaching Sebelum melakukan olahraga atau aktivitas yang berat, biasakan kita untuk melakukan streaching atau penguluran pada bagian otot yang akan berolahraga.



Stretching



merupakan



bentuk



dari



penguluran



atau



peregangan pada otot-otot di setiap anggota badan yang diperlukan dan digunakan baik untuk orang sehat atau sakit untuk mengulur, melenturkan atau menambah fleksibilitas otot-otot yang dianggap bermasalah sehingga ketegangan otot menjadi berkurang, tubuh terasa lebih relaks, memperluas rentang gerak, menambah rasa nyaman, dan membantu mencegah cedera.



Stretching atau peregangan, mengurangi ketegangan otot, tubuh terasa lebih relaks, memperluas rentang gerak, menambah rasa nyaman, dan membantu



mencegah



merupakan



suatu



(relaksasi).Sehingga



cedera



usaha



(Anderson,



untuk



dengan



2008).Peregangan



memperpanjang



adanya



peregangan



otot



otot



beristirahat



ini



kelenturan



(fleksibilitas) menjadi meningkat (Santi, 2012).



4. Strengthening Masalah pada shin splint biasanya adanya nyeri dan penuruan kekuatan otot –otot disekitar ankle. Strenghening exercises memiliki efek yang positif dalam mengurangi nyeri dan meningkatkan kemampuan fungsional. Isometric contraction merupakan teknik strengthening exrcises yang sangat sesuai dan dapat dipahami pasien dan sangat aman untuk dilakukan di rumah dan mntimal risiko. Latihan isomtetric contraction dilakukan pada otot otot sekitar ankle seperti, otot quadriceps, hamstrings, adductors, dan abductors (Nejati, Farzinmehr, & Moradi-Lakeh, 2015). Untuk mencapai fungsional berjalan yang simetris, perpindahan berat badan yang simetris harus tercapai terlebih dahulu. Penguatan otot pada ekstremitas bawah dengan ankle theraband dapat diaplikasikan. Latihan ini dilakukan dalam posisi duduk lalau letakan theraband di telapak kaki, lalau kedua tangan memegang ujung theraband, lalu kaki di gerakan ke depan, belakang, samping kanan kiri dengan tangan menarik theraband selama 30 detik lalu istirahat (Jung, Ko and Lee, 2017).



I.



Penatalaksanaan Fisioterapi Berdasarkan PERMENKES 65 tahun 2015 pasal 1, fisioterapi dapat berperan dalam menangani kasus osteoartitis genu bilateral adalah untuk memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh menggunakan penanganan secara manual, Proses pelamenggunakan terapi latihan maupun dengan elektroterapi. Pelayanan fisioterapi meliputi: 1.



Assesmen Assesmen fisioterapi terdiri dari pemeriksaan dan evaluasi yang memuat data anamnesa meliputi : a. Anamnesis 1) Keluhan Utama Penulisan keluhan utama berdasarkan bahasa pasien. Pada kasus OA Knee biasanya ditandai dengan adanya nyeri, pembengkakan, dan kekakuan di pagi hari atau morning stiffness, dan kelemahan otot paha (Guccione, 2012). 2) Keluhan Penyerta Keluhan yang menyertai keluhan utama yang dirasakan pasien di area tubuh lain. 3) Riwayat Penyakit Sekarang Riwayat



penyakit



sekarang



merupakan



kronologi



perkembangan penyakit dimulai saat pertama kali pihak pasien mengetahui permasalahan sampai datang ke fisioterapi. Riwayat penyakit sekarang pada kasus OA Knee dapat berupa penjelasan



mengenai kapan disadari adanya nyeri, kekakuan sendi dan kelemahan otot (Bhatia, Bejarano, & Novo, 2013). 4) Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat penyakit dahulu merupakan riwayat penyakit fisik maupun psikologik yang pernah diderita pasien sebelumnya. b. Pemeriksaan Umum 1) Subyektif a) Riwayat kejadian Riwayat penyakit sekarang merupakan rincian dari keluhan utama yang sedang terjadi berisi tentang riwayat perjalanan pasien selama mengalami keluhan secara lengkap. b) Riwayat keluarga Merupakan riwayat penyakit yang dialami keluarga pasien sehingga berpengaruh terhadap keadaan pasien. c) Riwayat pengobatan Merupakan riwayat pengobatan atau terapi yang pernah dijalani oleh pasien dari dulu hingga sekarang. d) Obat yang dimakan Obat yang sedang dikonsumsi pasien saat menjalani terapi. 2) Objektif a) Observasi Observasi atau Inspeksi yaitu melihat dan mengevaluasi pasien secara visual dan merupakan metode yang digunakan



untuk mengkaji atau menilai pasien. Observasi ini bertujuan untuk mengetahui keadaan fisik dan keadaan umum pasien. Inspeksi dibagi menjadi dua yaitu statis dan dinamis. b) Palpasi Pemeriksaan dengan cara menyentuh atau merasakan dengan tangan untuk mengetahui adanya nyeri tekan, spasme otot, suhu lokal, tonus otot, dan oedema. c) Pengukukuran Nyeri dengan Numerical Rating Scale (NRS) Dengan NRS, pasien secara sederhana diminta untuk mengukur seberapa parah nyeri yang dia rasakan berdasarkan skala nyeri 0 s/d 10. Skala 0 artinya tidak nyeri sedangkan skala 10 menggambarkan nyeri sangat parah. NRS dapat dilakukan secara lisan maupun dengan menuliskan angka pada selmbar kertas (Bambang Trisnowiyanto, 2012). d) Range of Motion Range of Motion adalah kemampuan gerak persendian tubuh untuk dapat melakukan kegiatan sehari-hari. Gerak sendi merupakan suatu mekanisme hubungan tulang yang digerakkan oleh otot ataupun gaya eksternal lain dalam lingkup geraknya. Pengukuran ROM dapat dilakukan dengan menggunakan goniometer. Pengukuran ROM dapat dilakukan dengan menggunakan goniometer.



c. Pemeriksaan Khusus Pemeriksaan khusus merupakan pemeriksaan yang dilakukan oleh profesi tertentu. Pada laporan ini, pemeriksaan khusus yang dimaksud merupakan pemeriksaan oleh fisioterapi. d. Pemeriksaaan Penunjang Merupakan data-data yang dapat dijadikan referensi dalam mengetahui kondisi pasien. Misalnya hasil dari Pemeriksaan Radiologi (CT-Scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI), Rontgen dan Pemeriksaan Laboratorium. 2. Diagnosis a. Diagnosis Fisioterapi Diagnosa



fisioterapi



dituliskan



berdasarkan



International



Classification of Functioning, Disability and Health (ICF) atau berkaitan dengan masalah kesehatan sebagaimana tertuang pada International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problem (ICD 10). Diagnosa fisioterapi terdiri atas: 1) Body Function and Structure Impairment Body function and structure impairment adalah bagian diagnosa untuk menggambarkan struktur dan fungsi anatomi yang terganggu. 2) Activity Limitation Activity limitation adalah keterbatasan aktivitas fungsional yang



dialami



oleh



individu



yang



diakibatkan



dari



kerusakan/gangguan yang terjadi pada struktur anatomi yang terkait. 3) Participation Restriction Participation restriction adalah keterbatasan yang dialami individu disertai hubungannya dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun non-fisik dalam kehidupan sehari-hari. b. Prognosis Kemungkinan dari akhir suatu penyakit, sebuah perkiraan kemungkinan hasil akhir gangguan atau penyakit, baik dengan atau tanpa pengobatan atau terapi. c. Program Fisioterapi 1) Tujuan jangka pendek Tujuan jangka pendek digunakan mengarahkan tindakan terapi yang segera dan dibuat berdasarkan prioritas masalah yang utama dengan memerhatikan waktu pencapaian, kondisi pasien, dan lingkungan. 2) Tujuan jangka Panjang Tujuan jangka panjang digunakan untuk mengarahkan tindakan terapi namun bukan yang segera. Tujuan jangka panjang menggambarkan



pencapaian



optimal



dari



pasien



dengan



memerhatikan harapan pasien serta target yang memungkinkan berdasarkan hasil pemeriksaan. 3.



Intervensi Fisioterapi



Program intervensi dibuat berdasarkan pada hasil pemeriksaan yang telah dilakukan dan sesuai dengan problematika yang ditemukan saat pemeriksaan. Intervensi fisioterapi adalah implementasi dan modifikasi teknologi fisioterapi termasuk manual terapi, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektromagnetik mekanik), pelatihan fungsi, penyediaan alat bantu, pendidikan pasien, konsultasi, dokumentasi, koordinasi dan komunikasi. J.



Kerangka Berpikir



PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPIS JURUSAN FISIOTERAPI POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA III FORMULIR PEMERIKSAAN FISIOTERAPI OLAHRAGA



I.



II.



Nama Mahasiswa



: Mariah Ulfah / Karina Nur Fadhilah



NIM



: P3.73.26.2.20.011 / P3.73.26.2.20.012



Tempat Praktik



: KONI



Pembimbing I



: Kanti Mahayanti,Ftr.SST.Ft



Pembimbing II



: Abdurahman Berbudi BL,SST.Ft,.M.fis



IDENTITAS KLIEN 1. No. RM



:



-



2. Nama



:



Nn. NW



3. Jenis Kelamin



:



perempuan, 39th



4. Tempat/Tanggal Lahir



:



jakarta , 1/11/1981



5. Alamat



:



grand traffic suites



6. Agama



:



kristen



7. Pekerjaan



:



Manager



8. Hobi



:



Running, Traveling



9. Tanggal Masuk Rumah Sakit



:



-



10. Tanggal Pemeriksaan



:



-



11. Diagnosis Medis



:



shin splint



12. Medika Mentosa



:



-



ASESMEN DAN PEMERIKSAAN A. Anamnesis : 1. Keluhan Utama : Pasien datang dengan keluhan nyeri pada bagian distal dan posteromedial tibia dimana posisi berdiri terasa sakit, lokasi nyeri terlokalisir di tulang kering. 2. Goal/Harapan Klien : Pasien mengharapkan rasa sakit dan nyeri dibagian tulang keringnya dapat berkurang sehingga bisa beraktivitas kembali



3. Keluhan Penyerta : -



Tightnees dibagian betis



4. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien mengeluhkan nyeri pada bagian tulang kering sejak 2 minggu yang lalu. Pasien hanya memberikan obat penghilang nyeri, tapi nyeri belum kunjung hilang. Pasien mendapat saran dari teman untuk datang ke fisioterapi, pasien sudah melakukan fisioterapi sebanyak 4x dan nyeri pasien sudah berkurang



5. Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak ada B. Pemeriksaan Umum 1. Kesadaran



: composmentis



2. Tekanan Darah



: 127/80 mmHg



3. Denyut Nadi



: 80 x/menit



4. Pernapasan



: 16 x/menit



5. BB/TB



: 50 kg / 155 cm



6. Kooperatif/Tidak Kooperatif C. Pemeriksaan Fisioterapi 1. Inspeksi a. Inspeksi



-



flat foot Ankle sinistra unstable



b. Dinamis



-



Adanya nyeri gerak plantar flexi dan dorso ankle sinistra (NRS:6/10)



-



Adanya nyeri tekan pada medial tibia sinistra (NRS:6/10)



-



Nyeri diam pada medial tibia sinistra (NRS:4/10)



-



Saat berjalan kaki kiri sedikit di seret karena rasa nyeri



2. Tes cepat



-



Foot and Ankle Ability Measure (FAAM) : 70% abnormal



-



Plantar dan dorso flexi ankle sinistra ada nyeri



3. Pemeriksaan fungsi gerak dasar (PFGD) a. PFGD Aktif



-



Plantar flexi sinistra : terbatas Dorso flexi sinistra : terbatas dan adanya nyeri Inversi sinistra : terbatas Eversi sinistra : terbatas S (ankle sinistra) F (ankle sinistra)



: 10⁰-0⁰-35⁰ : 10⁰-0⁰-20⁰



(Normal: 20⁰-0⁰-45⁰) (Normal: 20⁰-0⁰-30⁰)



b. PFGD Pasif



-



Plantar flexi sinistra : terbatas dan adanya nyeri Dorso flexi sinistra : terbatas Inversi sinistra : terbatas Eversi sinistra : terbatas S (ankle sinistra) F (ankle sinistra)



: 10⁰-0⁰-35⁰ : 10⁰-0⁰-20⁰



(Normal: 20⁰-0⁰-45⁰) (Normal: 20⁰-0⁰-30⁰)



c. PFGD Isometrik



-



Plantar flexi sinistra : terbatas Dorso flexi sinistra : terbatas dan adanya nyeri Inversi sinistra : terbatas Eversi sinistra : terbatas S (ankle sinistra) F (ankle sinistra)



: 10⁰-0⁰-35⁰ : 10⁰-0⁰-20⁰



(Normal: 20⁰-0⁰-45⁰) (Normal: 20⁰-0⁰-30⁰)



4. Tes khusus



-



Palpasi pada bagian medial tulang tibia , terjadi nyeri yang tinggi (NRS:7/10)



D. Pemeriksaan Penunjang Tidak ada III.



DIAGNOSIS FISIOTERAPI A. Problematik Fisioterapi 1. Body function and structure impairment Nyeri pada medial tibia



2. Activity limitation -



Keterbatasan dalam naik turun tangga Keterbatasan gerak saat meloncat Lari mengalami hambatan Sakit sewaktu melakukan gerakan stabilitas ankle saat berdiri dan berlari



3. Participation Restriction Pasien tidak bisa melakukan hobi lari



B. Diagnosis Fisioterapi Berdasarkan ICF Pasien kesulitan naik turun tangga, adanya keterbatasan saat meloncat, hambatan saat lari dan ankle yang unstabil karena adanya nyeri pada medial tibia sehingga pasien tidak bisa melakukan hobi larinya e.c shin splint IV.



PERENCANAAN FISIOTERAPI A. Tujuan Jangka Pendek -



Menghilangkan nyeri



-



Meningkatkan ROM



B. Tujuan Jangka Panjang



V.



-



dapat berlari dan berjalan dengan stabil



-



Penguatan pada otot calf muscle yaitu gastrocnemius 



Intervensi Fisioterapi A. Intervensi Fisioterapi No



Metode Ultrasound



Dosis a. Frekuensi : 1 Mhz b. Intensitas : continuous c. Time : 7-8 menit



TENS



a. Arus : IFC (Interferential Current) b. Frekuensi : analgesia untuk rasa nyeri 150 Hz, durasi pulsa >150 mikrodetik, intensitas sesuai toleransi



1



2



Tujuan Untuk perbaikan jaringan lunak dan mengurangi nyeri



Untuk mengurangi nyeri



SOP Pasien duduk lalu diberikan gel ultrasound pada medial tibia sinistra. Tranducer US digosokkan dengan perlahan secara memutar atau angka 8 Pasien posisi prone, lalu dipasangkan pad tens pada bagian calf (betis)



No



3



4



Metode



MASSAGE



Dosis Tujuan pasien c. Waktu :15-20 menit d. Peletakkan pads : cross F: 2x/ Seminggu a. Merelaksasi otot dan ujung- a. I : 6 rep ujung syaraf T: b. untuk penyembuhan a. Efflurage ketegangan otot akibat asam b. Friction laktat yang berlebih. c. Vibration and c. Merelaksisakan bagian otot shaking yang tegang T: 36 detik b.



a. plantar fleksi ANKLE b. dorsal fleksi THERABAND c. inversi EXERCISE d. eversi F : 2x / minggu I : 3 set x 10 rep T : 4 menit T : continous



Meningkatkan keseimbangan dinamis, kekuatan otot, dan ketahan otot



SOP



gerakan mengusap dengan menggunakan telapak tangan. dilakukan sesuai dengan peredaran darah menuju jantung maupun kelenjarkelenjar getah bening gerakan melingkar kecil-kecil dengan penekanan yang lebih dalam menggunakan jari atau ibu jari. Gerakan ini hanya digunakan pada area tubuh tertentu c. gerakan menggetar yang ditimbulkan oleh pangkal lengan dengan menggunakan telapak tangan ataupun jari-jari tangan. Semua gerakan di lakukan di bagian betis . a. Gerakan ini dilakukan dengan posisi duduk dan kaki diregangkan. Band dililitkan pada sisi plantar ankle kemudian mendorongnya untuk melawan tahanan dari band. Sedangkan sisi lain band berada pada kedua tangan. b. Gerakan ini dilakukan dengan posisi duduk dan kaki diregangkan. Salah satu sisi band dipegang oleh terapis sedangkan sisi lainnya berada pada ankle sisi dorsal. Kemudian kaki ditekuk sambil melawan tahanan dari band c. Gerakan ini dilakukan



No



Metode



Dosis



Tujuan



SOP dengan posisi duduk dan kaki diregangkan. Salah satu sisi band dipegang oleh terapis sedangkan sisi lainnya berada pada ankle sisi dorsal. Kemudian kaki ditekuk kearah dalam sambil melawan tahanan dari band d. Gerakan ini dilakukan dengan posisi duduk dan kaki diregangkan. Salah satu sisi band dipegang oleh terapis sedangkan sisi lainnya berada pada ankle sisi dorsal. Kemudian kaki ditekuk kearah luar sambil melawan tahanan dari band



5 CALF RISES



6



Straight knee wall stretch



F : 3x / minggu I : Low Set : 3 set x 10rep T : 1 menit T :Continous



F : 3x seminggu I : low Set : 3 setx5 rep Hold : 30 sec Rest : 15 sec T : 90 menit T : Intermiten



untuk meningkatkan otot tungkai terutama otot bagian betis



- Berdiri



pada posisi tegap dan badan lurus. - Angkat bagian belakang kaki dengan posisi kaki dibuka selebar bahu dan tangan di samping badan - Kemudian tahan 1-2 detik, dan kembali turunkan.



Untuk membantu meregangkan  Posisi berdiri tepat salah satu otot betis yang menghadap dinding disebut gastrocnemius tersebut yang kokoh, berdiri sekitar dua sampai dengan tiga kaki dari tembok.  Lengan lurus kedepan seperti mendorong  Salah satu kaki yang mengalami nyeri tungkai bawah dibelakang dan yang lainnya didepan seperti posisi kudakuda. Luruskan lutut (pada kaki yang lebih



No



7



Metode



Towel stretch



Dosis



F : 3x seminggu I : low Set : 3 setx5 rep Hold : 30 sec Rest : 15 sec T : 90 menit T : Intermiten



Tujuan



SOP jauh ke belakang) sampai merasakan peregangan di bagian belakang betis.  Dorong tembok, jadikan kaki yang depan sebagai tumpuan, kemudian diminta membungkuk ke depan sambil menjaga tumit kaki belakang di lantai sampai merasakan peregangan di betis dan atau daerah achilles. Tahan posisi itu selama 30 detik.



Merupakan latihan peregangan  Duduklah di lantai dengan handuk membantu atau di tempat tidur meningkatkan dan lutut tetap lurus. dorsofleksi pergelangan kaki  Lipat handuk persegi dan peregangan otot betis panjang, lingkarkan handuk pada kaki bagian bawah dimana bagian tengah handuk ditelapak kaki dan bagia ujung kanan serta kiri digenggam oleh tangan.  Kemudian tarik handuk kembali sampai mulai merasakan peregangan pada otot betis



No



Metode



Dosis



Tujuan



B. Edukasi/Home Programs



 Gunakan sepatu dengan bantalan yang tepat – sebaiknya berkonsultasi kepada ahli untuk menentukan sepatu yang tepat terutama bila baru pertama kali membeli sepatu untuk berlari.  Berlari dan berlatih pada permukaan yang datar dan lembut, seperti treadmille atau lapangan tanah merah atau track lari bila memungkinkan.  Kombinasi latihan dengan benturan tinggi seperti berlari, dengan latihan dengan benturan rendah seperti berenang.  Perbaiki kekuatan dan fleksibilitas otot secara keseluruhan.  Saat melakukan latihan, mulai dari intensitas yang rendah lalu bertahap ke tinggi  Lakukan pemanasan sebelum berolahraga dan peregangan setelah berolahraga – khususnya peregangan betis dan bagian depan tungkai.



SOP



VI.



EVALUASI Rehabilitation Problem Solving Form Name:



Date:



Health Condition: Body, Function & Structure Nyeri berkurang



According to Client



-



According to Fieldworker



-



Nyeri berkurang dari NRS 6/10 ke 3/10



Activities & Participation Sudah bisa melakukan aktivitas seperti naik turun tangga, jalan jalan , hingga berolahraga lari Peningkatan ROM, menjadi: S (ankle sinistra) F (ankle sinistra)



: 20⁰-0⁰-45⁰ : 20⁰-0⁰-30⁰



Foot and Ankle Ability Measure (FAAM)



Personal Factors



: 20% normal



Environmental Factors



According to Client



According to Fieldworker



Ada keinginan untuk sembuh



Adanya motivasi dan dorongan untuk sembuh dari keluarga



Pasien terlihat semangat saat melakukan terapi



Keluarga terlihat selalu mendampingi saat terapi



Jakarta, Menyetujui, Pembimbing Lahan



(



4 Februari



2021



Mahasiswa yang Menangani



)



(



)



BAB IV PEMBAHASAN KASUS A. Hasil Penatalaksanaan Fisioterapi Health Condition: According to Client According to Fieldworker



Body, Function & Structure - Nyeri berkurang



-



Nyeri berkurang dari NRS 6/10 ke 3/10



Activities & Participation Sudah bisa melakukan aktivitas seperti naik turun tangga, jalan jalan , hingga berolahraga lari Peningkatan ROM, menjadi: S (ankle sinistra)



: 20⁰-0⁰-45⁰



F (ankle sinistra)



: 20⁰-0⁰-30⁰



Foot and Ankle Ability Measure (FAAM)



: 20% normal



B. Kesimpulan Dari kasus diatas dapat dilihat, setelah dilakukan fisioterapi sebanyak 4 pertemuan. Terjadinya penurunan nyeri dari awalnya NRS 6-10 menjadi 3/10. Untuk Range of Motion



(ROM) pasien juga mengalami peningkatan yang



awalnya 10⁰-0⁰-35⁰ menjadi 20⁰-0⁰-45⁰.



Dengan intervensi yang diberikan



seperti US, TENS, Massage, Streaching dan strengthening secara bertahap dapat mengurangi rasa nyeri dan meningkatkan ROM pasien.



BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Dari pembahasan diatas dapat kita ketahui penyebab terjadinya cidera terjadi karena kelelahan otot, kurangnya peregangan otot/pemanasan sebelum melakukan aktifitas dan cidera dapat terjadi kepada siapapun selama dia melakukan aktifitas yang berlebihan.Maka jika terjadi cidera terhadap atlet kita harus melakukan pertolongan pertama untuk mencegah parahnya cidera yang dialami oleh atlet. Cedera shin splints  yang dialami, dapat segera kembali beraktifitas, namun tetap harus melalui tahapan yang benar sesuai kebutuhan dan kondisi. Dan prinsip-prinsip latihan harus dipatuhi agar tidak memperlambat penyembuhan dan atlet bisa kembali ke kondisi yang prima. B. SARAN Berikut saran yang dapat dipergunakan agar dapat mencegah terjadinya cidera pada saat melakukan aktifitas olahraga: 1. Sebelum melakukan olahraga harus pemanasan terlebih dahulu 2. Jika perlu gunakan alat pelindung 3. Jangan melakukan/memaksakan olahraga melebihi kemampuan 4. Melakukan latihan dan istirahat yang cukup 5. Jangan melakukan olahraga jika tubuh tidak dalam keadaan fit 6. Mengenakan sepatu yang pas 7. Menggunakan sol penyerap guncangan 



8. Hindari berolahraga di permukaan yang keras atau miring atau medan yang tidak rata 9. meningkatkan intensitas latihan secara bertahap 10. pastikan melakukan peregangan dengan benar



DAFTAR PUSTAKA Yates B, White S. The incidence and risk factors in the development of medial tibial stress syndrome among naval recruits. Am J Sports Med. 2004 AprMay;32(3):772-80.  Moen MH, Tol JL, Weir A, Steunebrink M, De Winter TC. Medial tibial stress syndrome: a critical review. Sports Med. 2009;39(7):523-46.