Laporan Final Skripsi PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KARAKTERISTIK KEMIRINGAN LERENG DAN KERAPATAN PENGALIRAN SEBAGAI RESPON TERHADAP LITOLOGI DAERAH ALIRAN SUNGAI SALU URO, SULAWESI



SKRIPSI STUDI GEOMORFOLOGI Diajukan untuk menempuh Sidang Sarjana pada Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran



Oleh : M. Dzaki Tirta 270110120184



PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2019



LEMBAR PENGESAHAN



JUDUL



: KARAKTERISTIK KEMIRINGAN LERENG DAN KERAPATAN PENGALIRAN SEBAGAI RESPON TERHADAP LITOLOGI DAS SALU URO, SULAWESI



PENYUSUN : M. DZAKI TIRTA R. NPM



: 270110120184 Telah disetujui dan disahkan sebagai Laporan Penelitian Skripsi Jatinangor, 26 Juli 2019



Menyetujui : Pembimbing Utama,



Dr. Ir Emi Sukiyah., MT NIP. 196701221997032002



Mengetahui : Dekan Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran,



Dr. Ir. Vijaya Isnaniawardhani., M.T NIP. 196808181993032003



ii



KATA PENGANTAR



Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya, shalawat serta salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi panutan bagi seluruh umatnya, sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “KARAKTERISTIK KEMIRINGAN LERENG DAN KERAPATAN PENGALIRAN SEBAGAI RESPON TERHADAP LITOLOGI DAERAH ALIRAN SUNGAI SALU URO, SULAWESI”. Disadari sepenuhnya bahwa kegiatan penelitian ini tidak akan terwujud tanpa ada bantuan, dorongan, dan bimbingan dari berbagai pihak yang sangat membantu selama tahap persiapan, penelitian hingga penyusunan laporan. Terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Emi Sukiyah, M.T selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan, serta kerelaannya untuk membimbing peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini dan kedua orang tua tercinta yang selalu menjadi sumber motivasi terbesar dan selalu memberikan doa, materi beserta kasih sayang yang sangat melimpah dari lahir hingga saat ini. Terima kasih juga kepada seluruh pihak yang telah membantu selama masa penelitian dan penyusunan laporan ini, diantaranya : 1. Ibu Dr. Ir. Vijaya Isaniawardhani., M.T sebagai Dekan Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran, atas izin yang telah diberikan kepada penulis untuk dapat melaksanakan kegiatan penelitian ini. 2. Bapak Dr. Eng. H. Boy Yoseph CSSSA, S.T., M.T. selaku Ketua Program Studi S1 FTG Unpad. 3. Rifni Yudesrina, Aprilia Rahmayani, dan Irfan Hilmi yang telah memberi dukungan dan memberi semangat dalam setiap proses pengerjaan skripsi. 4. Seluruh keluarga besar Wanadri terkhusus angkatan Topan Rimba – Puspa Rawa yang telah memberikan saya pengalaman dan pembelajaran yang sangat membantu dalam pengerjaan skripsi. 5. Seluruh keluarga besar HMG terkhusus angkatan 2012 yang senantiasa bersama saling mengingatkan, membantu dan memberi semangat dalam setiap proses hingga akhir pengerjaan skripsi. 6. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, yang tanpa batuan dan dukungannya maka laporan ini tidak akan dapat terselesaikan. Penulis menyadari, tentulah penelitian ini masih jauh dari sempurna. Maka dari itu, kritik serta saran sangat dibutuhkan untuk memperbaiki penelitian ini maupun sebagai evaluasi pribadi penulis. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat yang seluas-luasnya. Jatinangor, 29 Juli 2019



M. Dzaki Tirta R.



iii



ABSTRAK



Secara administratif, DAS Salu Uro terletak pada 2 provinsi dan 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Mamuju di Sulawesi Barat dan Kabupaten Luwu Utara serta Kabupaten Tanatoraja di Sulawesi Selatan. Secara geografis, daerah penelitian berada pada 119° 41' 07" BT sampai 119° 54' 30" BT dan 2° 19' 42" LS sampai 2° 46' 56" LS dengan luas daerah penelitian kurang lebih 613,7 km2. Penelitian dengan metode morfometri ini dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik kemiringan lereng dan kerapatan pengaliran atau Drainase density (Dd) yang dipengaruhi oleh litologinya. Metode yang digunakan pada penelitian ini berupa metode simple grid, yaitu membagi daerah penelitian kedalam grid berukuran 300 m x 300 m, didapat grid sebanyak 6818 grid. Setiap grid berisi informasi variabel-variabel kemiringan lereng, kerapatan pengaliran, dan litologi. Pembuatan peta, pengolahan dan modifikasi data dibuat menggunakan aplikasi berbasis SIG (Sistem Informasi Geografis) yaitu ArcGIS 10.3, dan Global Mapper 15. Untuk pengolahan dan analisa data statistic dibuat menggunakan Microsoft Excel 2016. Hubungan antara kerapatan pengaliran dan kemiringan lereng adalah semakin renggang sungai-sungainya, semakin curam kemiringan lerengnya, dan resistensi batuan sebagai karakteristik fisik akan semakin keras.



Kata Kunci : DAS Salu Uro, morfometri, kemiringan lereng, kerapatan pengaliran, metode simple grid, Sistem Informasi Geografis.



iv



ABSTRACT



Administratively, the Salu Uro watershed is located in 2 provinces and 3 districts, Mamuju Regency in West Sulawesi, North Luwu Regency and Tanatoraja Regency in South Sulawesi. Geographically, the research area is at 119 ° 41 '07 "E - 119 ° 54' 30"E and 2 ° 19 '42 "S - 2 ° 46' 56"S with an area of approximately 613.7 km2. This morphometric research is intended to determine the characteristics of the slope and the drainage density which is influenced by the lithology. The method used in this research is a simple grid method, which divides the study area into a grid with a scale of 300 m x 300 m, obtained as many as 6818 grids. Each grid contains information about variables i.e. slope, drainage density, and lithology. Map making, data processing, and modification are made using GIS (Geographic Information System) based applications, such as ArcGIS 10.3, and Global Mapper 15. Processing and analyzing statistical data are made using Microsoft Excel 2016. The relationship between drainage density and the slope is the drier the river, the steeper the slope, and rock resistance as a physical characteristic will be harder. Keywords: Salu Uro Watershed, morphometry, slope, drainage density, simple grid method, Geographic Information System.



v



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii ABSTRAK ............................................................................................................. iv ABSTRACT .............................................................................................................. v DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii DAFTAR TABEL ................................................................................................. x BAB I ...................................................................................................................... 1 PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 1.1



Latar Belakang ......................................................................................... 1



1.2



Identifikasi Masalah ................................................................................ 3



1.3



Maksud dan Tujuan Penelitian ................................................................ 4



1.4



Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 4



BAB II ..................................................................................................................... 7 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 7 2.1



Fisiografi Sulawesi .................................................................................. 7



2.2



Geologi Regional Daerah Penelitian ........................................................ 9



2.2.1



Geomorfologi Regional ................................................................... 11



2.2.2



Stratigrafi Regional Daerah Penelitian............................................ 12



2.2.3



Struktur Geologi Regional .............................................................. 14



2.3.



Geomorfologi ......................................................................................... 27



2.3.1



Morfografi ....................................................................................... 28



2.3.2



Morfometri ...................................................................................... 31



2.3.3



Morfogenetik ................................................................................... 40



BAB III ................................................................................................................. 42 BAHAN DAN METODE PENELITIAN ............................................................. 42 3.1



Objek Penelitian .................................................................................... 42



3.2



Alat dan Bahan Penelitian ..................................................................... 42



3.3



Alur Kerja Penelitian ............................................................................. 43



3.3.1



Tahap Persiapan .............................................................................. 43 vi



3.3.2



Tahap Analisis Data ........................................................................ 44



3.3.3



Tahap Penyusunan Laporan ............................................................ 45



BAB IV ................................................................................................................. 48 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................................... 48 4.1 Geomorfologi Daerah Penelitian ................................................................. 48 4.1.1



Morfografi ....................................................................................... 51



4.1.2



Morfometri ...................................................................................... 57



4.2 Analisis Morfometri Daerah Aliran Sungai ................................................ 61 4.2.1



Analisis Kerapatan Pengaliran / Drainage Density (Dd) ................ 61



4.2.2



Analisis Kemiringan Lereng ........................................................... 66



4.2.3 Analisis Perbandingan Kerapatan Pengaliran dan Kemiringan Lereng 72 BAB V................................................................................................................... 78 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 78 5.1



Kesimpulan ............................................................................................ 78



5.2



Saran ....................................................................................................... 79



DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 81 LAMPIRAN



vii



DAFTAR GAMBAR



Gambar 1.1 Wilayah penelitian (ditandai dengan kotak hitam) ............................. 5 Gambar 2.1 Pembagian jalur fisiografi Sulawesi (Smith, 1983) ............................ 9 Gambar 2.2 Peta Geologi Regional DAS Salu Uro .............................................. 10 Gambar 2.3 Keterangan Formasi Geologi Regional ............................................. 11 Gambar 2.4 Batuan Metamorf pada Formasi Latimojong (Kls) ........................... 16 Gambar 2.5 dan 2.6 Batupasir dan Tuf pada Satuan Tuf Beropa (Tmb) .............. 24 Gambar 2.7 Breksi pada Formasi Tuf Barupu (Qbt)............................................. 25 Gambar 2.8 Pola pengaliran sungai menurut Howard (1967); (A) Pola pengaliran dasar, (B dan C) Pola pengaliran modifikasi ....................................................... 29 Gambar 2.9 Sistematika pembagian orde sungai (Ritter et al, 1978) ................... 38 Gambar 3.1 Tahapan Penelitian ............................................................................ 47 Gambar 4.1 Satuan Geomorfologi Pegunungan Vulkanik Curam – Amat Curam 48 Gambar 4.2 dan 4.3 Satuan Geomorfologi Pegunungan Vulkanik Agak Curam – Curam .................................................................................................................... 49 Gambar 4.4 dan 4.5 Satuan Geomorfologi Perbukitan Struktural Agak Curam – Curam .................................................................................................................... 49 Gambar 4.6 Satuan Geomorfologi Perbukitan Vulkanik Curam – Amat Curam . 49 Gambar 4.7 Peta Geomorfologi Daerah Penelitian ............................................... 50 Gambar 4.8 dan 4.9 Morfografi Perbukitan Tinggi Pada Daerah Penelitian ........ 52 Gambar 4.10 dan 4.11 Morfografi Pegunungan Pada Daerah Penelitian ............. 52 Gambar 4.12 Peta Morfografi DAS Salu Uro ....................................................... 53 Gambar 4.13 Foto Salu Uro Diambil Dari Pesawat .............................................. 55 Gambar 4.14 Peta Pola Pengaliran Sungai Daerah Penelitian .............................. 56 Gambar 4.15 dan 4.16 Kemiringan Lereng Datar – Landai di Bagian Tengah Wilayah Penelitian ................................................................................................ 58 Gambar 4.16 dan 4.17 Kemiringan Lereng Miring – Agak Curam Tersebar Merata di Seluruh Wilayah Penelitian ............................................................................... 58 Gambar 4.18 dan 4.19 Penyempitan Sungai pada Kemiringan Lereng Curam – Amat Curam di Bagian Tengah Wilayah Penelitian ............................................. 59 Gambar 4.20 Peta Kemiringan Lereng Daerah Penelitian .................................... 60 Gambar 4.21 Peta Grid Kerapatan Pengaliran ...................................................... 62 Gambar 4.22 Grafik Kerapatan Pengaliran Pada Litologi Qbt ............................. 63 Gambar 4.23 Grafik Kerapatan Pengaliran Pada Litologi Tmpi........................... 63 Gambar 4.24 Grafik Kerapatan Pengaliran Pada Litologi Tmpi........................... 64 Gambar 4.25 Grafik Kerapatan Pengaliran Pada Litologi Tmtv........................... 64 Gambar 4.26 Grafik Kerapatan Pengaliran Pada Litologi Tmps .......................... 65 viii



Gambar 4.27 Grafik Kerapatan Pengaliran Pada Litologi Toml........................... 65 Gambar 4.28 Grafik Kerapatan Pengaliran Pada Litologi Kls .............................. 66 Gambar 4.29 Peta Grid Kemiringan Lereng ......................................................... 67 Gambar 4.30 Grafik Kemiringan Lereng Pada Litologi Qbt ................................ 68 Gambar 4.31 Grafik Kemiringan Lereng Pada Litologi Tmpi.............................. 69 Gambar 4.32 Grafik Kemiringan Lereng Pada Litologi Tmb ............................... 69 Gambar 4.33 Grafik Kemiringan Lereng Pada Litologi Tmtv .............................. 70 Gambar 4.34 Grafik Kemiringan Lereng Pada Litologi Tmps ............................. 71 Gambar 4.35 Grafik Kemiringan Lereng Pada Litologi Toml .............................. 71 Gambar 4.36 Grafik Kemiringan Lereng Pada Litologi Kls ................................. 72 Gambar 4.37 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Qbt .. 73 Gambar 4.38 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Tmpi 74 Gambar 4.39 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Tmb . 74 Gambar 4.40 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Tmtv 75 Gambar 4.41 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Tmps 76 Gambar 4.42 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Toml 76 Gambar 4.43 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Kls ... 77



ix



DAFTAR TABEL



Tabel 2.1 Pola Pengaliran Dasar dan Karakteristiknya (Howard, 1967) ............. 30 Tabel 2.2 Klasifikasi kemiringan lereng (Van Zuidam,1985) .............................. 32 Tabel 2.3 Hubungan ketinggian absolut dengan morfografi (sumber : Van Zuidam, 1985) ....................................................................................................... 34 Tabel 2.4 Hubungan kelas relief - kemiringan lereng dan ketinggian. (sumber: Van Zuidam,1985) ................................................................................. 34 Tabel 2.5 Indeks Kerapatan Aliran Sungai (Soewarno, 1991) ............................. 39 Tabel 2.6 Klasifikasi tekstur bentang alam bedasarkan kerapatan sungai (Sukiyah, 2009) ..................................................................................................... 40 Tabel 2.7 Warna yang direkomendasikan untuk dijadikan simbol satuan geomorfologi berdasarkan aspek genetik (Van Zuidam, 1985) ............................ 41 Tabel 3.1 Hubungan ketinggian absolut dengan morfografi (Zuidam, 1985) ...... 45 Tabel 4.1 Keterangan Satuan Geomorfologi ........................................................ 51 Tabel 4.2 Tabel Jumlah Data Grid Kerapatan Pengaliran (Dd) ........................... 61 Tabel 4.3 Tabel Jumlah Data Grid Kemiringan Lereng ....................................... 66



x



BAB I PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Geologi merupakan ilmu yang mempelajari bumi baik permukaan maupun



bawah permukaan, meliputi proses pembentukannya, hubungan antar tubuh batuannya, hubungan struktural yang terjadi akibat aktivitas gaya endogen (vulkanisme dan tektonik) atau pun proses sedimentasi serta denudasi yang dipengaruhi oleh gaya eksogen, hingga proses interpretasi mengenai sejarah keterbentukannya, kajian konvensional dalam ilmu geologi untuk mengetahui seluruh aspek tersebut dapat dialkukan dengan melakukan pemetaan geologi permukaan. Salah satu cabang ilmu geologi yaitu geomorfologi, adalah ilmu tentang roman muka bumi beserta aspek-aspek yang mempengaruhinya, yang meliputi pandangan luas sebagai cakupan satu kenampakan sebagai bentang alam (landscape) sampai pada satuan terkecil sebagai bentuk lahan (landform). Hubungan geomorfologi dengan kehidupan manusia adalah dengan adanya pegunungan-pegunungan, lembah, bukit, baik yang ada di darat maupun di dasar laut. Dan juga dengan adanya bencana alam seperti gunung berapi, gempa bumi, tanah longsor, dan sebagainya yang berhubungan dengan lahan yang ada di bumi yang juga mendorong manusia untuk melakukan pengamatan dan mempelajari



2



bentuk-bentuk geomorfologi yang ada di bumi. Baik yang dapat berpotensi berbahaya maupun aman. Sehingga dilakukan pengamatan dan identifikasi bentuk lahan. Bentuk lahan adalah bagian dari permukaan bumi yang memiliki bentuk topografis khas, akibat pengaruh kuat dari proses alam dan struktur geologis pada material batuan dalam ruang dan waktu kronologis tertentu. Bentuk lahan terdiri dari sistem Pegunungan, Perbukitan, Vulkanik, Karst, Alluvial, Dataran sampai Marine terbentuk oleh pengaruh batuan penyusunnya yang berada di bawah lapisan permukaan bumi. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan sebuah wilayah yang dikelilingi oleh topografi alami berupa punggungan bukit atau pegunungan, di mana presipitasi yang jatuh di atasnya mengalir melalui titik keluar tertentu (outlet) yang pada akhirnya bermuara ke danau atau laut (Ramdan, 2006). DAS juga disebut sebagai DTA (Daerah Tangkapan Air) untuk wilayah yang lebih sempit. Karakteristik morfologi suatu DAS yang dinyatakan secara kuantitatif disebut dengan morfometri (Horton, 1945). Pada penelitian ini penulis mencoba meneliti karakteristik morfometri yang meliputi dimensi DAS, areal morfometri dan linear morfometri yang diambil berdasarkan karakteristik fisik, genesa sungai, dan anak sungai pada sub-DAS yang mengalir di wilayah penelitian untuk mengetahui kaitan karakteristik secara kuantitatif tersebut terhadap kondisi litologi daerah penelitian. Latar belakang dipilihnya DAS Salu Uro sebagai tempat penelitian antara lain karena peneliti ingin meneliti lebih lanjut tentang semua infomasi yang bisa



3



didapat untuk dapat diteliti profil kemiringan lerengnya, profil kerapatan pengalirannya, dan juga litologi Mengingat Salu Uro ini berada di lokasi yang remote area dan hingga laporan ini ditulis peneliti belum menemukan penelitian serupa di lokasi tersebut, penelitian ini diharapkan dapat menjadi literatur ataupun referensi untuk penelitian lebih lanjut yang akan dilaksanakan disana di kemudian hari. Disamping itu, peneliti juga memiliki ketertarikan pribadi kepada Salu Uro dikarenakan peneliti pernah melakukan Ekspedisi Olahraga Arus Deras (ORAD) First Descent di lokasi tersebut, dan peneliti berharap dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dari data informasi yang dimiliki mengenai Salu Uro, baik berupa dokumen maupun pengalaman, untuk selanjutnya dapat diakses oleh seluruh pihak yang memiliki kepentingan dengan tujuan baik dan kemaslahatan umat. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba mengkorelasikan wawasan mengenai Salu Uro dengan latar belakang akademik peneliti, yaitu keilmuan Teknik Geologi.



1.2



Identifikasi Masalah Dalam penelitian ini, berbagai hal yang berhubungan dengan informasi



geologi, khususnya aspek-aspek geomorfologi perlu diindentifikasi lebih lanjut. Adapun permasalahan yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana Karakteristik Geomorfologi pada daerah penelitian? 2. Bagaimana Karakteristik Kemiringan Lereng pada daerah penelitian? 3. Bagaimana Karakteristik Kerapatan Pengaliran (Dd) pada daerah penilitian?



4



4. Bagaimana perbandingan antara nilai kerapatan pengaliran dan kemiringan lereng dengan jenis litologi penyusun wilayah DAS pada daerah penelitian?



1.3



Maksud dan Tujuan Penelitian Adapun maksud dan tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :



1. Mengetahui karakteristik Geomorfologi pada daerah penelitian. 2. Mengetahui karakteristik Kemiringan Lereng pada daerah penelitian. 3. Mengetahui karakteristik Kerapatan Pengaliran (Dd) pada daerah penelitian. 4. Mengetahui perbandingan antara nilai kemiringan lereng dan kerapatan pengaliran dengan jenis litologi penyusun wilayah DAS pada daerah penelitian.



1.4



Lokasi dan Waktu Penelitian Secara geografis, daerah penelitian terletak pada 119° 41' 07" BT sampai



119° 54' 30" BT dan -2° 19' 42" LS sampai -2° 46' 56" LS (Gambar 1.1). Luas daerah penelitian kurang lebih 613,7 km² yang secara administratif terletak pada 2 provinsi dan 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Mamuju di Sulawesi Barat dan Kabupaten Luwu Utara serta Kabupaten Tanatoraja di Sulawesi Selatan. Daerah penelitian termasuk kedalam Lembar Peta Rupa Bumi Digital Indonesia skala 1: 50.000 yang diterbitkan oleh Bakosurtanal meliputi Lembar



5



Bittuang (2013 – 31), Rantepao (2013 – 32), Batuisi (2013 – 33), Limbong (2013 – 34), Tambing Tambing (2013 – 61), dan Eno (2013 – 62).



Gambar 1.1 Wilayah penelitian (ditandai dengan kotak hitam)



6



Waktu kegiatan dilaksanakan selama kurang lebih 1 bulan, dimulai dari bulan Juli-Agustus 2019. Pelaksanaan kegiatan penelitian ini dikerjakan dalam tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pengolahan dan analisis data, dan tahap penyusunan laporan.



7



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



Geologi regional daerah penelitian meliputi beberapa aspek yakni geomorfologi & fisiografi, stratigrafi dan struktur geologi yang bersumber dari peneliti terdahulu. Tinjauan dari para peneliti terdahulu ini bertujuan untuk dijadikan referensi pada penelitian yang akan dilakukan di daerah penelitian. 2.1



Fisiografi Sulawesi Secara umum Hamilton (1979), Sukamto (1975a; 1975b), dan Smith (1983)



telah membagi wilayah Sulawesi ke dalam tiga bagian fisiografi (Gambar 2.1) yaitu 1. Busur Vulkanik Neogen (Neogene Volcanic Arc), terdiri dari kompleks basement Paleozoikum Akhir dan Mesozoikum Awal pada bagian utara dan tengahnya, batuan melange pada awal Kapur Akhir di bagian selatan (Sukamto, 2000), sedimen flysch berumur Kapur Akhir hingga Eosen yang kemungkinan diendapkan pada fore arc basin (cekungan muka busur) (Sukamto, 1975a;1975c) pada bagian utara dan selatan, volcanic arc (busur vulkanik) berumur Kapur Akhir hingga pertengahan Eosen, sekuen batuan karbonat Eosen Akhir sampai Miosen Awal dan volcanic arc (busur vulkanik) Miosen Tengah hingga Kuarter (Silver dkk, 1983). Batuan plutonik berupa granitik dan diorit berumur Miosen Akhir 4 hingga Pleistosen, sedangkan batuan vulkanik berupa alkali dan kalk-alkali berumur Paleosen sampai Pleistosen. Sulawesi bagian barat memiliki



8



aktifitas vulkanik kuat yang diendapkan pada lingkungan submarine sampai terestrial selama periode Pliosen hingga Kuarter Awal di bagian selatan, namun pada Sulawesi Utara aktifitas vulkanik masih berlangsung hingga saat ini. Gambar 2. 1 Pembagian jalur fisiografi Sulawesi (Smith, 1983) 2. Sekis dan Batuan Sedimen Terdeformasi (Central Schist Belt), tersusun atas fasies metamorfik sekis hijau dan sekis biru. Bagian barat merupakan tempat terpisahnya antara sekis tekanan tinggi dengan sekis temperatur tinggi, genes, dan batuan granitik (Silver dkk, 1983). Fasies sekis biru mengandung glaukofan, krosit, lawsonit, jadeit, dan aegerine. 3. Kompleks Ofiolit (Ophiolite), merupakan jalur ofiolit dan sedimen terimbrikasi serta molasse. Pada lengan Tenggara Sulawesi (segmen selatan) didominasi oleh batuan ultramafik (van Bemmelen, 1970; Hamilton, 1979; dan Smith, 1983), harzburgit dan serpentin harzburgit (Silver dkk, 1983), sedangkan pada lengan Timur Sulawesi (segmen utara) merupakan segmen ofiolit lengkap, berupa harzburgit, gabro, sekuen dike diabas dan basalt, yang merupakan hasil dari tumbukan antara platform Sula dan Sulawesi pada saat Miosen Tengah sampai Miosen Akhir (Hamilton, 1979; Smith, 1983), serta batuan sedimen pelagos dan klastik yang berhubungan dengan batuan ultramafik (Silver dkk, 1983). Berdasarkan pembagian di atas, maka daerah penelitian terletak pada Jalur Sekis dan Batuan Terdeformasi (Central Schist Belt). Jalur ini merupakan fasies metamorfik sekis hijau dan sekis biru yang penyebarannya mulai dari Sulawesi Tengah memanjang hingga Sulawesi Tenggara.



9



Gambar 2.1 Pembagian jalur fisiografi Sulawesi (Smith, 1983) 2.2



Geologi Regional Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada Peta Geologi Regional Lembar Mamuju



skala 1:250.000. Adapun kondisi geologi yang terdapat pada daerah penelitian terbagi atas tiga bagian, yaitu Geomorfologi, Stratigrafi, dan Struktur Regional daerah penelitian.



10



Gambar 2.2 Peta Geologi Regional DAS Salu Uro



11



Qbt



Tmpi Tmb



Tmtv



TUF BARUPU: Tuf, tuf lapili, tuf hablur bersusunan dasit dan sedikit breksi lava bersusunan andesit dan dasit BATUAN TEROBOSAN: Granit, granodiorit, riolit, diorit, dan aplit TUF BEROPA: Perselingan tuf dan batupasir tufan bersisipan breksi gunungapi dan batupasir wack BATUAN GUNUNGAPI TALAYA: Breksi gunungapi, tuf dan lava bersusunan andesit-basal, dengan sisipan batupasir dan napal, setempat batubara



Tmps



Toml



Kls



FORMASI SEKALA: Batupasir hijau, grewake, napal, batulempung dan tuf, sisipan lava bersusunan andesit-basal BATUAN GUNUNGAPI LAMASI: Tuf, lava dan breksi gunungapi, bersusunan andesit-dasit, setempat dengan sisipan batupasir gampingan, dan serpih FORMASI LATIMOJONG: Batusabak, kuarsit, filit, batupasir kuarsa malih, batulanau malih dan pualam, setempat batulempung malih



Gambar 2.3 Keterangan Formasi Geologi Regional



2.2.1



Geomorfologi Regional



a. Daerah Pegunungan Lembar Mamuju sebagian besar berupa pegunungan, hanya sebagian kecil berupa perbukitan bergelombang dan dataran rendah. Topografi Karst terdapat sempit disekitar Rantepao, dibagian tenggara lembar. Daerah pegunungan morfologi ini menempati hampir dua pertiga luas daerah yang dipetakan yaitu dibagian tengah, utara, timur laut dan selatan. Daerah ini umumnya berlereng terjal dan curam, puncak bukitnya berkisar dari 800 sampai 3.000 m. Puncak tertinggi adalah Bulu Ganda Dewata (kurang lebih 3.074 m) dan Bulu Potali (kurang lebih 3.008 m). Hal lain tertentu tidak terdapat pada sebaran gunung tersebut, akibatnya pola aliran berkembang tidak mengikuti aliran tertentu, melainkan menyesuaikan dengan keadaan tanah dibawahnya. Dibanyak tempat terdapat air terjun, yang menunjukkan ciri kemudaan daerah. Ciri lain berupa lembah yang



12



sempit dan curam. Disekitar Barupu dan Panggala, terdapat suatu morfologi yang berpola aliran memancar. Lereng bukit umumnya terjal dan membentuk ngarai, dindingnya digali untuk pemakaman. Di daerah pegunungan terdapat sedikit topografi karst dan dataran alluvium sempit, yaitu disekitar Rantepao. Gua alamiah pada batugamping didaerah ini digunakan penduduk setempat sebagai lokasi pemakaman. b. Daerah perbukitan bergelombang Morfologi ini terdapat dibagian barat daya lembar Mamuju, yaitu daerah antara Teluk Lebani dan Teluk Mamuju. Tinggi perbukitan berkisar dari 500 sampai 600 mdpl. Derah ini berpola aliran meranting. c. Daerah dataran rendah Dataran rendah menempati bagian barat Lembar Mamuju, yaitu sepanjang pantai mulai dari Kaluku sampai Babana (daerah S. Budong-budong). Umumnya berpola aliran meranting (denritik) dan beberapa sungai bermeander. 2.2.2



Stratigrafi Regional Daerah Penelitian Daerah Lembar Mamuju terbentuk oleh beraneka macam batuan seperti



batuan sedimen, malihan, gunungapi dan terobosan. Umurnya berkisar dari Mesozoikum sampai Kuarter. Satuan tertua di Lembar ini adalah batuan malihan (TR w) yang terdiri dari sekis, genes, filit dan batusabak. Satuan ini mungkin dapat disamakan dengan Kompleks Wana di Lembar Pasangkayu yang diduga berumur lebih tua dari Kapur dan tertindih takselaras oleh Formasi Latimojong (Kls). Formasi tersusun oleh filit, kuarsit, batulempung malih dan pualam, berumur Kapur.



13



Satuan berikutnya adalah Formasi Toraja (Tet) terdiri dari batupasir kuarsa, konglomerat kuarsa, kuarsit, serpih dan batulempung yang umumnya berwarna merah atau ungu. Formasi ini mempunyai anggota Rantepao (Tetr) yang terdiri dari batugamping numulit berumur Eosen Tengah Eosen Akhir. Formasi Toraja menindih takselaras Formasi Latimojong, dan tertindih takselaras oleh batuan gunungapi Lamasi (Toml) yang terdiri dari batuan gunungapi, sedimen gunungapi dan batugamping yang berumur Oligo-Miosen atau Oligosen Akhir – Miosen Awal. Batuan gunungapi ini mempunyai Anggota batugamping (Tomc), tertindih selaras oleh Formasi Riu (Tmr) yang terdiri dari batugamping dan napal. Formasi Riu berumur Miosen awal – Miosen Tengah, tertindih takselaras oleh Formasi Sekala (Tmps) dan batuan Gunungapi Talaya (Tmtv). Formasi Sekala terdiri dari grewake, batupasir hijau, napal, dan batugamping bersisipan tuf dan lava bersusunan andesitbasal, berumur Miosen Tengah – Pliosen, berhubungan menjemari dengan batuan gunungapi Talaya. Batuan gunungapi Talaya terdiri dari breksi, lava dan tuf yang bersusunan andesit-basal dan mempunyai Anggota Tuf Beropa (Tmb). Batuan gunungapi Talaya menjemari dengan batuan gunungapi Adang (Tma) yang terutama bersusunan leusit basal. Batuan gunungapi Adang berhubungan menjemari dengan Formasi Mamuju (Tmm) yang berumur Miosen Akhir. Formasi Mamuju terdiri atas napal, batupasir gampingan, napal tufaan dan batugamping pasiran bersisipan tuf. Formasi ini mempunyai Anggota Tapalang (Tmmt) yang terdiri dari batugamping koral, batugamping bioklastika dan napal yang banyak mengandung moluska. Formasi



14



Lariang terdiri dari batupasir gampingan dan mikaan, batulempung bersisipan kalkarenit, konglomerat dan tuf umunya Miosen Akhir – Pliosen Awal. Dibagian tenggara lembar, tersingkap Tuf Barupu (Qbt) yang terdiri dari tuf, tuf lapilli dan lava yang umumnya bersusunan dasit dan diduga berumur Plistosen, sedangkan dibagian barat laut tersingkap Formasi Budong-budong (Qb) yang terdiri dari konglomerat, batupasir, batulempung dan batugamping koral (Ql). Endapan termuda di Lembar Mamuju adalah endapan kipas alluvium (Qt) dan alluvium (Qa) yang terdiri dari endapan-endapan sungai, pantai dan antar gunung. 2.2.3



Struktur Geologi Regional Struktur utama di Lembar Mamuju adalah sesar normal dan sesar naik yang



mempunyai arah umum utara timur laut-selatan barat daya. Beberapa sesar berarah hampir barat daya-timur dan utara barat laut-selatan tenggara. Struktur lipatan di Lembar ini berkembang cukup baik. Daerah Lembar termasuk dalam Mandala Geologi Sulawesi Barat (Sukamto, 1973), terutama terdiri dari batuan malihan, batuan sedimen, batuan gunungapi dan batuan terobosan bersifat granit. Di daerah ini paling sedikit telah terjadi empat kali gejala tektonik di Daerah Sulawesi barat daya (Leewuen, 1981). Gejala ini mengakibatkan perlipatan, pensesaran dan pemalihan regional derajat rendah pada Satuan Batuan Malihan. Pada Kapur Akhir terbentuk Formasi Latimojong dalam lingkungan laut dalam, terutama terbentuk di bagian timur dan tengah Lembar. Tektonika selanjutnya terjadi pada Paleosen, yang mengakibatkan satuan batuan Malihan



15



terlipat dan termalih lagi serta Formasi Latimojong termalih regional derajat rendah. Pada kala Oligosen sampai Miosen Awal terjadi lagi kegiatan tektonik yang disertai dengan kegiatan gunungapi dalam bentuk busur kepulauan gunungapi, dan membentuk batuan gunungapi Lamasi, yang dibeberapa tempat terbentuk pula batugamping. Pada Kala Miosen Tengah bagian tengah sampai awal Miosen Akhir terjadi lagi kegiatan tektonik yang disertai dengan kegiatan gunungapi yang menghasilkan batuan Gunungapi Talaya, Tuf Beropa, dan batuan sedimen Gunungapi Formasi Sekala. Kegiatan tektonik terakhir mungkin terjadi pada Kala Pliosen dan pada Kala Plistosen terjadi kegiatan gunungapi yang menghasilkan tuf Barupu. a. Batuan Sedimen 1. Formasi Latimojong (Kls) Tersusun oleh batusabak, kuarsit, batupasir mali, batulanau malih, dan pualam, setempat batulempung gampingan. Batusabak berwarna kelabu kehitaman sampai hitam, berlapis baik dengan tebal 2 cm sampai 10 cm, mampat, setempat mengandung urat kuarsa, kuarsit, berwarna putih kehijauan, berlapis baik dengan tebal 1 sampai 3 cm, mampat. Filit, berwarna merah kecoklatan perdaunan searah dengan bidang perlapisan. Batupasir kuarsa malih dan batulempung malih, umumnya berwarna putih kelabu sampai kecoklatan, berlapis baik dengan tebal dan beberapa cm sampai 25 cm terutama tersusun dari kuarsa dan lempung perdaunan searah dengan perlapisan. Pualam, berwarna putih



16



kelabu, berbutir halus dan mampat. Batuan ini hanya tersingkap di daerah hulu S. Mariri sebelah timur Galumpang. Batulempung gampingan, berwarna kelabu muda, cukup keras, berlapis dengan tebal dan beberapa cm sampai 20 cm. Batuan ini mengandung fosil Globotruncana formicate,



formicata PLUMMER,



Globotruncana,



stuartiformis DOLBIER,



Globotruncana sp. Kumpulan fosil ini menunjukkan umur Kapur Akhir dengan lingkungan pengendapan laut dalam (Purmaningsih, hubungan tertulis, 1985). Satuan ini diterobos oleh granit Mamasa dan granit Kambuno, tertindih takselaras oleh Formasi Toraja dan batuan yang lebih muda lainnya.



Gambar 2.4 Batuan Metamorf pada Formasi Latimojong (Kls) Sebarannya terdapat dibagian tengah, selatan dan timur laut lembar, serta sedikit di bagian timur. Di bagian timur laut, menerus ke lembar Pasangkayu di Utara dan ke lembar Malili di Timur. Tebalnya lebih dari 1.000 m. Singkapan batusabak di S. Karataun daerah Galumpang banyak mengandung urat kuarsa yang disertai cetakan bijih sulfida tembaga, besi, seng dan sedikit emas. Tebal unit kuaras beraneka dari bebrapa cm sampai 50 cm. Nama Formasi Laatimojong pertama kali



17



digunakan oleh Brouwer (1934) dengan lokasi tipenya di Pegunungan Lembar Majene. (Djuri dan Sudjatmiko, 1979).



2. Formasi Sekala (Tmps) Tersusun oleh batupasir hijau, grewake, napal, batulempung, batupasir mikaan, tuf, serpih dan batupasir gampingan , dengan sisipan breksi, lava dan konglomerat. Umumnya berlapis baik, setempat berstuktur perlapisan bersusun,. Batupasir hijau, tufaan, keras, berlapis dengan tebal dari 10 cm sampai 1m, berselingan batulempung, berwarna cokelat kehitaman, keras dan tuf berwarna cokelat muda. Grewake, berwarna kelabu kehijauan berlapis baik dengan tebal dari 25 cm sampai lebih dari 1m, berbutir sedang sampai kasar, setempat konglomeratan dan memebentuk perlapisan bersusun dan ‘slump’. Komponennya terdiri dari mika, feldspar, hornblende, dan sedikit kuarsa. Batulempung, berwarna cokelat merah, keras, tufaan, berlapis baik dengan tebal dari beberapa cm sampai 20 cm. Batuan ini berelang-seling dengan grewake berbutir halus sampai sedang. Batulempung lunak dan serpih. Batupasir mikaan, berwana kelabu, keras, tufaan, berlapis dengan tebal 10 cm15 cm. Napal, berwarna putih, agak keras, berlapis, dengan tebal mencapai 25 cm. Batuan ini setempat berselingan dengan tuf halus dan lunak. Serpihnya, berwarna hitam sampai ungu dan agak lunak.



18



Batupasir gampingan, berwarna kelabu, mengandung fosil foraminifera, berstruktur perarian sejajar, berlapisan tuf, breksi gunungapi, tuf pasiran dan konglomerat. Didalam konglomerat terdapat komponen batugamping foram yang berumur Eosen. Breksi gunungapi, berkomponen andesit-basal, berstuktur bantal, berongga (amigdoloid) dan terisi kalsit, beberapa termineralkan dengan pirit, Lava dan breksi tersebut berupa trakit-andesit, porfirit, hypokristalin, tersusun oleh plagioklas, piroksin, feldspar, gelas dan bijih. Beberapa berupa trakit-basal, bertekstur pofirit, trakit, kristalnya berbentuk euhedral-anhedral, berukuran sedang sampai halus, tersusun oleh plagioklas, klinopiroksin, biotit, feldspar dan gelas. Feldspar piroksin sebagian besar terubah menjadi serisit dan klorit. Napal dan batugamping pasirannya mengandung fosil Orbulina universa D’ORBIGNY, Globigerina venezuelana HEDBERG, Globigerinoides immaturus LEROY, Globoguadrina altispira CUSHMAN & JARVIS, Globorotalia menardii D’ORBIGNY, Globigerinoides trilobus REUSS, Sphaeroidinellopsis subdehiscens BLOW, Globoquadrina sp, Bulimina sp, dan Nodosaria sp. Kumpulan fosil ini menunjukkan umur Miosen Tengah-Pliosen dan berlingkungan pengendapan innerouter sublitoral (Purnamaningsih, hubungan tertulis, 1985). Dengan adanya struktur perlapisan bersusun dan slump mungkin sebagian dari Formasi ini diendapkan dalam keadaan arus pekat (turbidit). Formasi ini tersebar di bagian tenggara Lembar, yaitu disebelah barat Rantepao dan dibagian tengah Lembar. Menindih tak selaras Formasi Riu, berhubungan menjemari dengan Batuan gunungapi Talaya. Tebal satuan diperkirakan 1.000 m.



19



Nama Formasi ini adalah nama baru yang diusulkan, diambil dari nama S. Sekala yang merupakan tempat singkapan terbaik. Kearah timur lembar Malili. Formasi ini disebut Tuf Rampi (Simandjuntak drr, 1991).



b. Batuan Gunungapi 1. Batuan Gunungapi Lamasi (Toml) Tersusun oleh aneka tuf, lava dan breksi gunungapi bersusunan andesit dasit, setempat sisipan batupasir gampingan dan serpih. Batuan ini umumnya mengandung urat kuarsa bermineral sulfide, terutama pirit, setempat tembaga, terubah dan terkersikkan, bersusunan andesit, dasit dan trakit serta sedikit basal. Aneka tuf terdiri dari tuf hijau, tuf sela dan tuf lapilli, tuf hijau, berbutir sangat halus, berhablur renik, terdiri dari klorit (60%), feldspar (10%), serisit (5%), lempung (15%), kuarsa (5%) dan bijih (1%). Batuan ini agak keras sampai lunak, berlapis buruk antara 0,5 – 2 cm sampai tak berlapis. Setempat berwarna putih kehijauan, keras, terkesikkan termineralkan, terutama pirit, berkepingan tuf putih bersifat dasit atau trakit, terdiri dari mineral kuarsa dan feldspar. Tuf sela, berwarna kuning kehijauan, berkepingan dasit dan andesit yang tertanam dalam massa dasar mineral kuarsa dan feldspar, mengandung sedikit tembaga dan pirit. Tuf lapilli, berupa tuf dengan pecahan dasit berukuran 1 – 3 cm, berbentuk menyudut tanggung, keras, berlapis baik.



20



Lava, berwarna kelabu muda, pejal, bersusunan dasit-trakit, umumnya terubah dan termineralkan berupa pirit, Lava bersusunan dasit, kristalnya berbentuk anhedral sampai euhedral, porfirit, berbutir kasar sampai halus, tersusun oleh plagioklas (An20, 20%) , kuarsa (15 %), biotit (15 %), mikrolit feldspar dan gelas (35 %), sedikit dan piroksin. Andesitnya berukuran halus sampai sedang, pejal, porfirit, hipokristalin, tersusun oleh fenokris plagioklas (35 %), piroksin (25 %), bijih (20 %), sedikit kuarsa dan gelas dengan massa dasar (35 %). Breksi, berwarna putih kelabu, bersusunan sama dengan lava, komponennya berukuran dari beberapa cm sampai 5 cm dengan bentuk menyudut tanggung sampai menyudut dengan massa dasar tuf. Di beberapa tempat, batuan ini termineralkan yang tersebar didalam komponen maupun massa dasarnya, setempat mengandung sulfida tembaga. Batulempung hitam, menyerpih, terdapat secara setempat, berupa selingan dalam tuf breksi. Batuan ini biasanya mengandung sisipan tipis tuf lapilli bersusunan andesit. Satuan batuan ini diterobos oleh retas diorite, andesit dan granit kambuno, yang menyebabkan terjadinya permineralan dari pengubahan (pengersikan dan pengkloritan), terutama pada bidang kontaknya. Permineralan yang terjadi berupa bijih “massive”, “fragmental”, “Stockwark” dan “network” dan sisipan urat. Bijih sulfidanya adalah sfalerit, pirit, galena dan kalkopirit, ditemukan didaerah Sangkaropi, Pompangeo dan Rumanga (semuanya telah diselidiki oleh PT. Aneka Tambang dan tim dari Direktorat Sumber Daya Mineral dan Energi. Batuan



21



gunungapi ini mempunyai Anggota batugamping, sehingga umurnya diperkirakan sama dengan anggota tersebut yaitu Oligosen-Miosen. Satuan ini tersebar di bagian tengah, utara dan timur Lembar, menindih takselaras Formasi Toraja dan tertindih selaras oleh Formasi Sekala. Lokasi tipenya terdapat di S. Lamasi antara Palopo dan Sabbang, Lembar Malili (Simandjuntak, drr, 1982) dibagian tenggara Lembar. 2. Batuan Gunungapi Talaya (Tmt) Tersusun oleh breksi lava, breksi tuf, tuf lapilli, bersisipan tuff dan batupasir (grewake), rijang, serpih, napal, setempat batupasir karbonatan dan batubara. Breksi, lava dan breksi tuf, umumnya bersusunan andesit sampai basal, setempat mengandung leusit, Batuan ini sebagian besar telah terpropilitkan dan termineralkan, sehingga warnanya kalabu kehijauan sampai hijau, banyak mengandung urat kalsit dan setempat urat kuarsa. Breksi, berwarna kelabu, komponen berukuran kerikil sampai bongkah, dengan bentuk menyudut tanggung sampai menyudut, tertanam dalam massa dasar tuf pasiran, mampat, tidak berlapis. Lava, berwarna kelabu, terkekarkan dengan struktur kekar tiang, beberapa bersturktur bantal, pejal. Berdasarkan penelitian petrologi, batuan ini umumnya bersusunan andesit, andesit piroksin, diabas dan basal, beberapa contoh bersusunan trakit basal, dasit, andesit hornblende, andesit biotit dan basal leusit. Umumnya terhablurkan penuh, porfirit, berbutir halus sampai sedang dengan bentuk andhedral sampai euhedral, beberapa bertekstur afanit.



22



Andesit piroksin tersusun dari plagioklas An 40-50 (40%-60%), piroksin (10%-20%), sedikit lempung, kuarsa, hornblende, biotit, bijih dan gelas. Piroksin dan Plagioklas, sebagian telah terubah menjadi kalsit, serisit, dan beberapa epidot. Massa dasarnya terdiri dari mikrolit atau Kristal renik feldspar dan sedikit piroksen atau hornblende, yang umunya telah terubah menjadi kalsit dan beberapa karbonat. Beberapa mineral menunjukkan beberapa retak-retak, yang diisi oleh kuarsa sekunder, Bijih berwarna hitam, berbutir halus (0,4 mm), kedap, andhedral, terdapat menyebar pada massa dasar. Basal dan breksi basal, umumnya terdiri dari plagioklas,(An3o-Ab7o), klinopiroksin, olivin, gelas, mineral gelap dan bijih,. Batuan ini menunjukkan tekstur porfirit, dengan fenokris terdiri dari feldspar dan pirokson, umumnya telah berubah menjadi serisit, klorit dan epidot. Tuf lapilli, berwarna kelabu kehijauan berkepingan andesit, Andesit, berbutir halus (0,3 mm-1 mm), anhedral euhedral, tersusun dari plagioklas (40%), piroksin (15%), kripto kristalin (20%), kuarsa (2%), ortoklas (1%), Karbonat (5%), Klorit (8%), dan bijih (1%). Batupasir Karbonatan, berwarna kelabu tua, berbutir halus-sedang, sebagian konglomeratan yang banyak mengandung kepingan batulanau sangat keras, berlapis dan menunjukkan struktur silang-siur. Batubara dengan tebal lebih dari 2 m ditemukan berselingan dengan batupasir karbonatan.



23



Batupasir wale sebagai sisipan, berwarna kelabu kehijauan, berlapis baik dengan tebal 0,5-1 m, berstruktur perlapisan bersusun, setempet “slump” dan konglomeratan. Batuan ini biasanya terdapat berselingan dengan lava atau breksi. Rijang, merupakan sisipan tipis dalam satuan ini, berwarna putih kelabu sampai kelabu kemerahan. Serpih, berwarna kelabu kecoklatan, keras, berlapis tipis. Napal, berwarna putih, berlapis tipis (1-5 cm), keras dan mampat. Napal ini mengandung fosil ganggang, pecahan ekinoid, Lepidocyclina sp, Miogypsina sp, Gypsina sp, yang mungkin menunjukkan umur Miosen Awal-Miosen Tengah. Berdasarkan umur itu dan kedudukan stratigrafinya yang menjemari dengan Formasi Sekala, maka dapat disimpulkan bahwa umur satuan ini berkisar antara Miosen Tengah sampai Pliosen. Lingkungan pengendapan satuan ini adalah laut dangkal dan sebagian darat. Satuan ini tersebar luas di Lembar Mamuju dan hampir tersingkap disemua tempat. Di bagian selatan Lembar, menerus ke Lembar Majene, ke utara ke Lembar Pasangkayu dan ke timur ke Lembar Malili dan sebelah barat Poso. Nama satuan ini diambil dari nama gunung (Bulu) Talaya, di bagian barat Lembar, tempat ditemukan singkapan yang baik. Tebal satuan ini kurang lebih 750 m. 3. Tuf Beropa (Tmb) Tersusun oleh perselingan tuf dan batupasir tufaan, bersisipan breksi gunungapi dan batupasir wacke.



24



Tuf berwarna putih kemerahan sampai kehijauan, berbutir halus-sedang, mengandung biotit, feldaspar dan kuarsa. Batupasir tufaan, berwarna kelabu kecoklatan, berlapis baik dan pejal. Batupasir wacke, berwarna kelabu kehijauan, berlapis baik tersusun dari plagioklas, mineral mafik, kuarsa dan oksida besi, berbutir sedang sampai kasar. Breksi gunungapi, berwarna kelabu kekuningan, pejal, sebagian berlapis, komponen berukuran dari 5 sampai 30 cm dengan bentuk menyudut tanggung sampai menyudut. Tersusun oleh kepingan andesit sampai basal, porfirit, tersusun dari plagioklas, hornblende, piroksin dan gelas yang tertanam dalam massa dasar mikrolit feldspar. Batupasir wacke sebagai sisipan berwaarna kelabu muda, berlapis cukup baik dengan tebal, dan 0,5 sampai 0,75 m.



Gambar 2.5 dan 2.6 Batupasir dan Tuf pada Satuan Tuf Beropa (Tmb) Satuan ini diduga merupakan anggota di bagian bawah dan batuan gunungapi Talaya sehingga umurnya diduga Miosen Tengah. Tebalnya kurang lebih 500 m. Satuan ini tersingkap ditengah dan bagian timur Lembar, terutama disekitar desa



25



Belopa, menjemari dengan Batuan Gunungapi Talaya dan menindih takselaras Formasi Latimojong. 4. Tuf Barupu (Qbt) Terdiri atas tuf, tuf lapilli, tuf hablur, bersusunan dasit dan sedikit breksi lava bersusunan andesit dan dasit. Tuf, berwarna putih sampai kelabu, agak mampat, sebagian mudah hancur, setempat berlapis (10-25 cm). Sedangkan tuf hablur, berwarna putih kelabu, berbutir sedang sampai kasar, terdapat sebagai sisipan tipis dalam tuf. Batuan ini umumnya bersusunan dasit, biotit, sanidin, dan banyak dijumpai oksida besi. Breksi lava, berwarna kelabu mampat keras, komponen berukuran kerikil sampai bongkah dengan bentuk menyudut tanggung sampai menyudut, bersusunan andesit.



Gambar 2.7 Breksi pada Formasi Tuf Barupu (Qbt) Tuf Barupa diduga berumur plistosen dan tebalnya kurang lebih 300 m. Sebarannya terdapat dibagian tenggara Lembar yaitu di daerah Kawalean, sebelah selatan Bulu Malimongan dan di sebelah barat Rantepao.



26



Satuan ini menindih takselaras batuan gunungapi Oligosen-Miosen. Penamaan Tuf Barupu pertama kali diberikan oleh Abendanon (1951), kemudian digunakan pula oleh Reyzer (1920). Namanya berasal dari Barupu, nama kampung disebelah barat Rantepao yang merupakan tempat singkapan terbaik. c. Batuan Terobosan 1. Tmpi Batuan Terobosan Tersusun oleh granit, granodiorit, riolit. Granit, berwarna kelabu, putih kemerahan sampai kehitaman, berbutir sedang sampai sangat kasar, terhablur sempurna dengan bentuk sub-euhedral, beberapa panidiomorfik. Mineral utamanya terdiri dari kuarsa, kalium feldspar, plagioklas, hornblende, biotit dan setempat klorit, apatit dan bijih. Kuarsa dan feldspar umumnya tumbuh bersama (intergrowth), dan setempat seritisasi dan karbonatisasi. Pada beberapa mineral terlihat retak-retak sebagai akibat pengaruh dari tekanan. Dibeberapa tempat mengandung emas. Granodiorit, berwarna putih kotor berbintik hitam hingga kelabu kehitaman, berbutir sedang-kasar, porfiritik dengan fenokris terdiri dari plagioklas, hornblende, kuarsa dan biotit, sedikit piroksin, bijih, setempat terlihat klorit, apatit, sirkon, epidot, serisit, magnetit dan lempung terdapat sebagai hasil ubahan. Riolit, berwarna putih kelabu, butir halus-sedang dan berbentuk sub-anhedral. Mineral penyusun utamanya terdiri dari piroksin, biotit dan plagioklas dengan sedikit kuarsa dan feldspar.



27



Diorit, berwarna kelabu kehitaman sampai kehijauan, umumnya berbutir sedang-halus, terhablur sempurna setempat mengandung butiran kuarsa hingga terbentuk batuan diorit kuarsa dan terdapat sebagai retas-retas dibeberapa tempat. Apatit, umumnya berbentuk retas-retas berwarna kelabu kemerahan, berbutir sangat kasar dengan mineral feldspar dan kuarsa mencapai ukuran 3 cm. Granit mempunyai penyebaran yang luas terutama dibagian selatan Lembar, beberapa tempat dibagian timur. Batuan ini ada yang menamakan Granit Mamasa atau Granit Kambuno di Lembar Malili dan Lembar Poso, Umurnya diperkirakan pada Miosen Akhir-Pliosen Awal. Dibeberapa tempat, terutama yang terdapat dibagian selatan Lembar telah mengalami pelapukan yang cukup kuat, hingga lepas-lepas seperti kuarsa. Penerobosan



terhadap



Batuan Gunungapi



Lamasi



menunjukkan adanya



pemineralan bijih sulfida dan membentuk cebakan tembaga, seperti yang terdapat di Sangkaropi, Penasuang dan Bilolo dibagian utara Tana Toraja.



2.3.



Geomorfologi Geomorfologi adalah ilmu tentang roman muka bumi beserta aspek-aspek



yang mempengaruhinya, yang meliputi pandangan luas sebagai cakupan satu kenampakan sebagai bentang alam (landscape) sampai pada satuan terkecil sebagai bentuk lahan (landform). Gaya-gaya yang bekerja pada proses geomorfologi yaitu gaya eksogen dan gaya endogen. Proses eksogen adalah proses yang dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar seperti faktor iklim, biologis dan artifisial. Secara garis



28



besar, proses eksogen diawali dengan pelapukan batuan, kemudian hasil pelapukan batuan menjadi tanah dan tanah terkikis (degradasional), terhanyutkan dan pada akhirnya diendapkan (agradasional). Proses endogen adalah proses yang dipengaruhi tenaga dari dalam kerak bumi. Proses endogen dapat berupa tektonik yang menghasilkan patahan, pengangkatan dan kekar, dan juga berupa kegiatan magma dan vulkanik yang membentuk gunungapi dan perbukitan intrusi. Dalam displin ilmu geomorfologi, terdapat beberapa aspek yang saling berkaitan. Aspek-aspek tersebut adalah morfografi, morfometri, morfogenetik, jenis batuan suatu daerah, dan pola aliran yang mengalir di daerah tersebut. 2.3.1



Morfografi Secara umum, morfografi adalah gambaran bentuk permukaan bumi atau



arsitektur permukaan bumi. Morfografi suatu daerah dapat dilihat dari bentuk lahan serta pola pengaliran sungai yang berkembang di daerah tersebut yang didukung oleh bentuk lembah, lereng dan punggungan. Analisis dalam morfografi merupakan analisis kualitatif. a. Pola Pengaliran Sungai Pola pengaliran adalah kumpulan dari suatu jaringan pengaliran di suatu daerah yang dipengaruhi atau tidak di pengaruhi oleh curah hujan, alur pengaliran tetap mengalir. Pola pengaliran sangat mudah dikenal dari peta topografi atau foto udara, pola pengaliran berhubungan erat dengan jenis batuan, struktur geologi, kondisi erosi dan sejarah bentuk bumi.



29



Howard 1967, (dalam van Zuidam, 1988) membagi pola pengaliran menjadi dua yaitu, pola pengaliran dasar dan pola pengaliran modifikasi. Pola dasar merupakan pola yang terbaca dan dapat dipisahkan dengan pola lain. Pola pengaliran modifikasi ialah pola dengan memperlihatkan ciri pola dasar.



Gambar 2.8 Pola pengaliran sungai menurut Howard (1967); (A) Pola pengaliran dasar, (B dan C) Pola pengaliran modifikasi



30



Tabel 2.1 Pola Pengaliran Dasar dan Karakteristiknya (Howard, 1967)



Pola Pengaliran Dasar



Dendritik



Paralel



Karakterstik Bentuk umum seperti daun, berkembang pada batuan dengan kekerasan relatif sama, batuan sedimen relatif datar serta tahan akan pelapukan, kemiringan landai, kurang dipengaruhi struktur geologi. Bentuk umum cenderung sejajar, berlerang sedang sampai agak curam, dipengaruhi oleh struktur geologi, terdapat pada perbukitan memanjang, dipengaruhi perlipatan, merupakan transisi pola dendritik dan pola trellis.



Trelis



Bentuk memanjang sepanjang arah jurus perlapisan batuan sedimen, induk sungai sering membentuk lengkungan menganan memotong kepanjangan dari alur-alur punggungannya. Biasanya dikontrol oleh struktur lipatan. Batuan sedimen dengan kemiringan atau terlipat, batuan volkanik serta batuan metasedimen berderajat rendah dengan perbedaan pelapukan yang jelas. Jenis pola pengalirannya berhadapan pada sisi sepanjang aliran subsekuen.



Rektangular



Induk sungai dengan anak sungai memperlihatkan arah lengkungan menganan, pengontrol struktur atau patahan yang memiliki sudut kemiringan, tidak memiliki perulangan perlapisan batuan, dan sering memperlihatkan pola pengaliran yang tidak menerus.



Radial



Bentuk menyebar dari satu pusat, biasanya terjadi pada kubah intrusi, kerucut vulkanik serta sisa-sisa erosi. Memiliki dua sistem, sentrifugal dengan arah penyebaran keluar dari pusat (berbentuk kubah) dan sentriprtal dengan arah penyabaran menuju pusat (cekungan).



Angular



Bentuk seperti cincin yang disusun oleh anak-anak sungai, sedangkan induk sungai memotong anak sungai hampir tegak lurus. Mencirikan kubah dewasa yang



31



Pola Pengaliran Dasar



Karakterstik telah terpotong atau terkikis, disusun perselingan batuan keras dan lunak.



Multibasinal



Endapan permukaan berupa gumuk hasil longsoran dengan perbedaan penggerusan atau perataan batuan dasar, merupakan daerah gerakan tanah, volkanisme, pelarutan gamping, serta lelehan salju, atau permafrost.



Kontorted



Terbentuk pada batuan metamorf dengan intrusi dike, urat yang menunjukan daerah yangrelatif keras batuannya, anak sungai yang relatif panjang kearah lenkungan subsekuen, umumnya merupakan pembeda antara penujaman antiklin dan sinklin.



2.3.2



Morfometri Morfometri adalah penilaian kuantitatif dari suatu bentuk lahan. Penilaian



kuantitatif ini dapat memberikan penajaman tata nama bentuk lahan dan akan sangat membantu analisis lahan untuk mengetahui klasifikasi kemiringan lereng (ukuran kemiringan lereng serta panjang lereng), klasifikasi ketinggian absolut, klasifikasi hubungan kemiringan lereng, relief, dan perbedaan ketinggian serta klasifikasi kerapatan pengaliran. a. Kemiringan Lereng Morfometri kemiringan lereng adalah salah satu aspek geomorfologi kuantitatif dimana lereng-lereng yang ada di klasifikasikan secara kuantitatif. Morfometri merupakan penilaian kuantitatif yang dapat mendukung morfografi dan morfogenetik.



32



Untuk memperoleh klasifikasi dengan angka-angka yang jelas maka digunakan perhitungan kemiringan lereng menurut van Zuidam (1985). Yaitu dimulai dari pembagian satu area penelitian menjadi kotak-kotak grid yang luasnya disesuaikan. Makin kecil luasan satu kotak grid berarti makin detail juga data yang didapatkan. Kemudian setiap grid ditarik garis tegak lurus kontur. Besarnya kemiringan lereng yang didapat kemudian dikelompokkan berdasarkan klasifikasi kemiringan lereng menurut van Zuidam (1985), sehingga diperoleh penamaan satuan morfometri yang sesuai (Tabel 2.1). Tabel 2.2 Klasifikasi kemiringan lereng (Van Zuidam,1985) KELAS



KLASIFIKASI



LERENG



KEMIRINGAN



SIMBOL WARNA



00 - 20 (0 - 2 %) 20 - 40 (2 - 7 %) 40 - 80 (7 - 15 %) 80 - 160 (15 - 30 %) 160 - 350 (30 - 70 %) 350 - 550 (70 - 140 %)



Datar atau hampir datar



Hijau tua



Landai



Hijau Muda



Miring



Kuning Muda



Agak Curam



Kuning Tua



Curam



Merah Muda



Amat Curam



Merah Tua



> 550 ( > 140% )



Amat Sangat Curam



Ungu Tua



33



Untuk mendapatkan persentase kemiringan lereng seperti yang tercantum dalam tabel digunakan rumus:



S = (N-1)x IC DxSp



Keterangan: S



= kemiringan lereng (%)



N



= jumlah kontur yang terpotong oleh garis



IC



= interval kontur (cm)



D



= jarak garis pada peta yang memotong kontur (cm)



Sp



= skala peta (cm)



b. Perbedaan ketinggian Perbedaan ketinggian (elevasi) biasanya diukur dari permukaan laut, karena permukaan laut dianggap sebagai bidang yang memilki angka ke-tinggian (elevasi) nol. Pentingnya pengenalan perbedaan ketinggian adalah untuk menyatakan keadaan morfografi dan morfogenetik suatu bentuklahan, seperti perbukitan, pegunungan atau dataran. Hubungan perbedaan ketinggian dengan unsur morfografi adalah sebagai berikut :



34



Tabel 2.3 Hubungan ketinggian absolut dengan morfografi (sumber : Van Zuidam, 1985) KETINGGIAN ABSOLUT < 50 meter



UNSUR MORFOGRAFI Dataran rendah



50 meter - 100 meter



Dataran rendah pedalaman



100 meter - 200 meter



Perbukitan rendah



200 meter - 500 meter



Perbukitan



500 meter - 1.500 meter



Perbukitan tinggi



1.500 meter - 3.000 meter



Pegunungan



> 3.000 meter



Pegunungan tinggi



Tabel 2.4 Hubungan kelas relief - kemiringan lereng dan ketinggian. (sumber: Van Zuidam,1985) KELAS RELIEF



KEMIRINGAN LERENG ( % )



PERBEDAAN



Datar - Hampir datar



0 - 2



140



KETINGGIAN (m)



> 1.000



curam



c. Morfometri DAS Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah yang dibatasi punggungpunggung gunung, di mana air hujan yang jatuh di daerah tersebut akan ditampung oleh cekungan diantara punggung gunung tersebut dan dialirkan melalui sungaisungai kecil ke sungai utama (Asdak, 1995). Kajian DAS pada umumnya meliputi bagian hulu, tengah dan hilir. Suatu DAS terbagi menjadi beberapa sub-DAS, dan sub-DAS dapat terbagi menjadi beberapa sub-sub-DAS. Untuk mengetahui karakterisik setiap DAS, diperlukan kajian mengenai karakterisitik morfometri DAS. Dalam karkaterisitik morfometri cekungan aliran, kita dapat mengetahui hubungan antara cekungan dan geometri jaringan sungai dengan penyebaran air dan sedimentasi ke arah cekungan. Ukuran dari cekungan aliran akan mempengaruhi jumlah air yang masuk. Bentuk, panjang dan relief cekungan akan mempengaruhi sistem keluarnya air dan total sedimentasi. Panjang dan karkater dari segmen-segmen sungai mempengaruhi pengangkutan sedimen dan perkiraan jumlah air dan sedimen yang keluar.



36



Menurut Stahler (1952) suatu DAS atau sub-DAS memiliki 3 karakteristik morfometri, yaitu : 1. Linear Morfometri 2. Areal Morfomteri 3. Relief Morfometri



1. Linear Morfometri Linear morfometri adalah karakterisitk morfometri yang dilihat berdasarkan pada unsur-unsur linear DAS seperti: 1. Jumlah segmen sungai dalam setiap orde 2. Jumlah total segmen sungai dalam suatu cekungan 3. Panjang rata-rata segmen sungai 4. Panjang total sungai 5. Nilai nisbah percabangan (Rb) 6. Nilai nisbah panjang (RL) 7. Panjang dari aliran permukaan. Untuk dapat mengetahui seluruh nilai aspek di atas, terlebih dahulu kita harus menentukan orde sungai dari setiap DAS. Orde sungai adalah tingkatan suatu segmen sungai dalam suatu DAS atau Sub DAS. Banyak ahli telah menentukan cara pemberian nilai orde suatu sungai seperti Horton (1945), Strahler (1952), dan Shreve (1967). (Gambar 2.3)



37



Menurut Horton (1945), segmen yang tidak memiliki percabangan merupakan orde pertama. Namun tidak semua segmen diberi keterangan orde, hanya salah satu di antara percabangan. Ketika dua segmen – satu bergabung, maka akan menjadi orde – dua. Dua orde – dua bergabung akan menjadi orde – tiga, dan seterusnya. Metode Strahler merupakan modifikasi dari metode Horton. Menurut Strahler (1952), segmen yang tidak memiliki percabangan merupakan orde pertama. Ketika dua segmen orde-pertama bergabung, maka akan terbentuk orde kedua. Dua segmen orde – dua akan memebentuk orde – tiga. Dua orde – tiga akan membentuk orde – empat, dan seterusnya. Setiap segmen dapat ditempel oleh orde dengan nilai yang lebih kecil namun tidak akan merubah atau meningkatkan nilai ordenya. Dalam penentuan orde sungai pada penelitian ini menggunakan metode Strahler. Sedangkan metode Shreve (1967), setiap segmen yang bertemu akan menambah nilai orde selanjutnya. Metode Shreve sering digunakan dalam penelitian geomorfologi untuk mencari hubungan antara hujan dan air permukaan. Karena orde pertama sungai berfungsi sebagai pengumpul utama air hujan dalam suatu cekungan. Dengan menggunakan metode Shreve, perkiraan akan aliran banjir akan lebih mudah diketahui daripada penggunaan kedua metode yang lain.



38



Gambar 2.9 Sistematika pembagian orde sungai (Ritter et al, 1978) 2. Areal Morfometri Aspek pada areal morfometri merupakan aspek yang dapat mencerminkan bentuk dua dimensi suatu DAS, sehingga areal morfometri sering sekali disebut juga morfometri bentuk. Beberapa aspek penting yang mendasari perhitungan areal morfometri adalah panjang dan luas dari DAS atau Sub DAS. Sedangkan parameter-parameter yang dilihat pada areal morfometri adalah: a. Kerapatan Pengaliran (Dd) b. Frekuensi Sungai (Fs) c. Nisbah tekstur (Rt) d. Nisbah Kelonjongan (Re) e. Nisbah Kebundaran (Rc) f. Nisbah bentuk (Rf) Pada penelitian ini, variabel yang digunakan untuk analisa adalah Kerapatan Pengaliran (Dd).



39



Kerapatan pengaliran (Dd) menyatakan jarak antara sungai pada suatu DAS atau Sub DAS dan dirumuskan sebagai perbandingan antara jumlah panjang segmen sungai dengan luas DAS atau Sub DAS tersebut. Nilai kerapatan pengaliran suatu DAS atau Sub DAS biasanya dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kemampuan batuan dasarnya terhadap pelapukan, permeabilitas batuan yang mengalasinya, iklim, vegetasi, dan lain-lain (Javed, 2009). Secara umum, nilai kerapatan pengaliran yang rendah mencirikan bahwa daerah tersebut dialasi oleh batuan yang permeabel, ditutupi oleh vegetasi dan memiliki relief yang rendah, dan sebaliknya. Rumus untuk menentukan Kerapatan Pengaliran adalah:



𝐷𝑑 =



∑𝐿 𝐴



KETERANGAN: L = Panjang sungai (km) A = Luas DAS atau Sub DAS (km2)



Tabel 2.5 Indeks Kerapatan Aliran Sungai (Soewarno, 1991)



1



Dd (Km/Km2) < 0,25



Kelas Kerapatan Rendah



2



0,25 – 10



Sedang



3



10 – 25



Tinggi



4



> 25



Sangat Tinggi



No.



Keterangan Alur sungai melewati batuan dengan resistensi keras, sehingga sedimen yang terangkut lebih kecil Alur sungai melewati batuan dengan resistensi lebih lunak sehingga sedimen yang terangkut lebih besar Alur sungai melewati batuan dengan resistensi lunak, sehingga sedimen yang terangkut lebih besar Alur sungai melewati batuan yang kedap air. Air hujan yang menjadi aliran akan



40



Dd (Km/Km2)



No.



Kelas Kerapatan



Keterangan lebih besar jika dibandingkan satu daerah dengan Dd rendah melewati batuan dengan permeabilitas besar



Kerapatan aliran dapat juga mencerminkan hubungan antara kondisi geologi dan iklim suatu daerah. Indeks kerapatan sungai dapat diklasifikasikan ke dalam enam kelas (Sukiyah, 2009). Kelas-kelas kerapatan sungai ini dapat menjadi pendekatan kemungkinan jenis tekstur pada suatu bentang alam. Tabel 2.6 Klasifikasi tekstur bentang alam bedasarkan kerapatan sungai (Sukiyah, 2009) Tekstur Sangat Kasar Kasar Sedang Agak Halus Halus Sangat Halus 2.3.3



Dd (Km/Km²) 0.000 – 1.379 1.380 – 2.759 2.760 – 4.139 4.140 – 5.519 5.520 – 6.899 6.900 – 8.279



Morfogenetik Kenampakan bentuk lahan pada muka bumi di sebabkan dua proses yakni



endogenik yaitu merupakan proses yang di pengaruhi oleh kekuatan dari dalam kerak bumi, dan proses eksogenik yang merupakan proses yang dipengaruhi dari luar seperti iklim, vegetasi, erosi, buatan manusia. Dilihat dari genesis control utama pembentukannya, bentuk lahan dapat dibedakan menjadi bentuk asal struktural, vulkanik, fluvial, marine, karst, aeolian, denudasi. (Tabel 2.3)



41



Tabel 2.7 Warna yang direkomendasikan untuk dijadikan simbol satuan geomorfologi berdasarkan aspek genetik (Van Zuidam, 1985) KELAS GENETIK



SIMBOL WARNA



Bentuklahan asal struktural



Ungu / Violet



Bentuklahan asal gunungapi



Merah



Bentuklahan asal denudasional



Coklat



Bentuklahan asal laut (marine)



Hijau



Bentuklahan asal sungai (fluvial)



Biru tua



Bentuklahan asal es (glasial)



Biru muda



Bentuklahan asal angin (aeolian)



Kuning



Bentuklahan asal gamping (karst)



Jingga (orange)



42



BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1



Objek Penelitian Adapun objek yang diteliti pada penelitian ini meliputi :



1. Karakteristik morfologi daerah penelitian, seperti bentuk bentang alam, pola pengaliran sungai, dan kerapatan kontur (morfografi), kemiringan lereng dan elevasi



(morfometri),



dan



litologi



serta



proses



yang



berkembang



(morfogenetik). 2. Karakteristik morfometri DAS, meliputi karakteristik morfometri linear meliputi pembagian orde sungai, dan areal morfometri yang didapat dari nilai Dd (Drainage Density) atau kerapatan alirannya pada kondisi litologi yang berbeda.



3.2



Alat dan Bahan Penelitian



1. Peta dasar, berupa peta rupabumi skala skala 1: 50.000 yang diterbitkan oleh Bakosurtanal meliputi Lembar Bittuang (2013 – 31), Rantepao (2013 – 32), Batuisi (2013 – 33), Limbong (2013 – 34), Tambing Tambing (2013 – 61), dan Eno (2013 – 62).Peta rupabumi ini digunakan untuk mengetahui tata guna lahan serta aksesibilitas jalan di wilayah penelitian. 2. Peta Geologi Regional Lembar Mamuju (12 – 2013). Peta ini digunakan untuk mengetahui jenis litologi regional penyusun di wilayah penelitian.



43



3. Citra DEMNAS BIG wilayah penelitian untuk mengetahui perkiraan bentuk bentang alam, elevasi, dan kemiringan lereng, serta membantu mengidentifikasi jenis litologi penyusun di wilayah penelitian . 4. Perangkat komputer/Laptop 5. Software ArcGIS 10.3, Global Mapper 15, MS. Excel 2016, MS. Word 2016 6. Literatur, yang membantu memenuhi informasi yang dibutuhkan selama penelitian.



3.3



Alur Kerja Penelitian Secara umum tahap-tahap penelitian yang dilakukan meliputi 3 tahapan,



diantaranya : Tahap Persiapan, Tahap Analisis Data, dan Tahap Penyusunan Laporan (Gambar 3.3). Tahap-tahap penelitian tersebut adalah sebagai berikut:



3.3.1



Tahap Persiapan Tahap persiapan meliputi studi regional tentang objek penelitian yang akan



diteliti, geologi daerah penelitian, serta aspek-aspek lainnya yang terkait seperti kondisi geologi, geomorfologi, dan karakteristik DAS Salu Uro. Tahap ini dilakukan terutama untuk mendapatkan data-data primer dalam kebutuhan penelitian ini. Hasil dari studi regional, diantaranya berupa hasil publikasi terdahulu yang membahas tentang daerah geologi daerah penelitian ini. Geologi daerah penelitian



44



juga dianalisis berdasarkan Peta Geologi Regional ( Lembar Mamuju oleh N. Ratman dan S. Atmawinata, 1993). 3.3.2



Tahap Analisis Data



a. Analisis Kondisi Geologi dan Geomorfologi Pada tahap ini dilakukan analisis untuk mengetahui kondisi geologi serta geomorfologi di wilayah penelitian. Adapun data-data yang digunakan meliputi morfografi, morfometri, dan morfogenetik. Aspek morfografi yang diidentifikasi melalui penelitian ini meliputi bentuk bentang alam dan pola aliran sungai. Bentuk bentang alam merupakan kajian dari unsur morfografi, bentuk bentang alam dalam penelitian ini menggunakan klasifikasi bentuk bentang alam berdasarkan Van Zuidam (1985). Nilai baku dari bentuk bentang alam ini dijabarkan lebih lanjut pada aspek morfometri, yaitu elevasi. Pola aliran sungai yang membentuk DAS memiliki arti penting dalam hubungannya dengan aliran sungai, yaitu berpengaruh terhadap kecepatan terpusatnya air. Pola aliran juga dapat mencerminkan kondisi geologi suatu daerah. Penentuan pola aliran sungai yang terdapat di DAS Salu Uro dilakukan berdasarkan klasifikasi pola pengaliran menurut Howard (1967 Aspek morfometri yang dibahas untuk mengidentifikasi kondisi geologi dan geomorfologi wilayah penelitian meliputi kemiringan lereng dan nilai elevasi. Perhitungan kemiringan lereng dilakukan berdasarkan jumlah persen dan besar sudut lereng. Adapun klasifikasi nilai kemiringan lereng ditunjukkan oleh (Tabel 2.1) melalui perhitungan rumus kemiringan berdasarkan Van Zuidam, 1985. Perbedaan ketinggian (elevasi) merupakan penilaian kuantitatif yang dilakukan melalui pengukuran dari permukaan laut. Pentingnya pengenalan perbedaan



45



ketinggian adalah untuk menyatakan keadaan morfografi suatu bentuk lahan, seperti pedataran, perbukitan, dan pegunungan. Hubungan perbedaan ketinggian dengan unsur morfografi ditampilkan ke dalam (Tabel 3.1). Tabel 3.1 Hubungan ketinggian absolut dengan morfografi (Zuidam, 1985) Ketinggian Absolut



Unsur Morfografi



< 50 meter



Dataran rendah



50 meter - 100 meter



Dataran rendah pedalaman



100 meter - 200 meter



Perbukitan rendah



200 meter - 500 meter



Perbukitan



500 meter - 1.500 meter



Perbukitan tinggi



1.500 meter - 3.000 meter > 3.000 meter



Pegunungan Pegunungan tinggi



b. Analisis Karakteristik Morfometri Pada tahap ini analisis morfometri yang digunakan meliputi 3 jenis karakteristik yaitu dimensi DAS, linear morfometri, dan areal morfometri.



3.3.3



Tahap Penyusunan Laporan Tahap penyusunan laporan merupakan tahap penulisan berbagai kumpulan



data dan seluruh informasi hasil penelitian yang sudah diolah dan dianalisis ke dalam sebuah laporan. Adapun tahap penyusunan laporan ini dibagi menjadi dua tahap pengerjaan, yaitu sebelum penelitian dan setelah penelitian. Pembuatan



46



laporan sebelum penelitian terutama pada bab I, bab II, dan bab III. Jika hasil pengolahan dan analisis data sudah diperoleh maka pembuatan laporan dapat dilanjutkan ke bab IV dan bab V. Alur penelitian secara sistematis menggambarkan tahapan-tahapan yang saling terintegrasi, dimulai dari persiapan, observasi, analisis data dan penyusunan laporan, yang disusun sedemikian rupa guna mencapai suatu penelitian



yang



terperinci



dan



dapat



dimanfaatkan.



47



Tahap Persiapan dan Inventaris Data



Peta Topografi



Peta Geologi Regional •



Data Primer



• • • •



Data Sekunder



• • •



Pembuatan Kemiringan Lereng Morfografi



Citra DEM



Peta dan



Kondisi Geomorfologi Jenis Litologi Peta Pola Pengaliran Peta Orde Sungai



Peta Geomorfologi Perhitungan Kerapatan Pengaliran Pembuatan grid Kemiringan Lereng dan Kerapatan Pengaliran



Tahap Analisis Data



Analisis Kemiringan Lereng



Analisis Kerapatan Pengaliran



• Karakteristik Kemiringan Lereng • Karakteristik Kerapatan Pengaliran • Hubungan dan Perbandingan dengan Litologi penyusun



Gambar 3.1 Tahapan Penelitian



Analisis Karakteristik Uji Statistika



48



BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN



4.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, wilayah DAS Salu Uro terdiri atas 2 macam bentuk lahan yakni perbukitan tinggi dan pergunungan. Bentuk lahan ini didukung oleh jenis kemiringan lereng yang bervariasi, mulai dari datar hingga amat sangat curam. Sedangkan dari segi morfogenetik, wilayah DAS Salu Uro Sub Das Karama tersusun atas empat jenis litologi



yaitu batuan batuan Vulkanik berumur Kuarter, batuan Sedimen berumur Tersier, batuan Vulkanik berumur Tersier, dan batuan Metamorf berumur Kapur. Wilayah penelitian terbagi menjadi 4 satuan geomorfologi, yaitu Perbukitan Tinggi Vulkanik Curam – Amat Curam, Perbukitan Tinggi Vulkanik Agak Curam – Curam, Pegunungan Struktural Agak Curam – Curam, dan Pegunungan Vulkanik Curam – Amat Curam.



Gambar 4.1 Satuan Geomorfologi Pegunungan Vulkanik Curam – Amat Curam



49



Gambar 4.2 dan 4.3 Satuan Geomorfologi Pegunungan Vulkanik Agak Curam – Curam



Gambar 4.4 dan 4.5 Satuan Geomorfologi Perbukitan Struktural Agak Curam – Curam



Gambar 4.6 Satuan Geomorfologi Perbukitan Vulkanik Curam – Amat Curam



50



Gambar 4.7 Peta Geomorfologi Daerah Penelitian



51



Tabel 4.1 Keterangan Satuan Geomorfologi



4.1.1



Morfografi Aspek morfografi DAS Salu Uro yang dikaji meliputi bentuk lahan dan pola



pengaliran sungai, dan kelurusan yang ada di daerah penelitian. c. Bentuk Lahan Bentuk lahan di wilayah DAS Salu Uro dapat dibagi menjadi 2 jenis bentuk lahan berdasarkan klasifikasi Van Zuidam (1985) diantaranya perbukitan tinggi dan pegunungan. Bentuk lahan ini dapat ditinjau berdasarkan nilai elevasi pada dilihat pada delineasi kontur (Gambar 4.1). Bentuk lahan perbukitan tinggi memiliki elevasi 596 - 1500 mdpl yang meliputi wilayah utara DAS Salu Uro dengan persentase luas sekitar 17% dari total



52



luas daerah penelitian dengan luas wilayah sebesar 104,3 Km2. Bentuk lahan perbukitan tinggi terletak di DAS Salu Uro bagian hilir.



Gambar 4.8 dan 4.9 Morfografi Perbukitan Tinggi Pada Daerah Penelitian Bentuk lahan pegunungan tinggi memiliki elevasi 1500-2805 mdpl. Bentuk lahan ini berada di wilayah tengah sampai ke selatan DAS Salu Uro bagian hulu dengan persentase luas sebesar 83% dari total luas daerah penelitian dengan luas wilayah sebesar 509,4 Km2.



Gambar 4.10 dan 4.11 Morfografi Pegunungan Pada Daerah Penelitian



53



Gambar 4.12 Peta Morfografi DAS Salu Uro



54



b. Pola Pengaliran Sungai Pembagian pola pengaliran sungai di wilayah DAS Salu Uro didasarkan atas pembagian sub-Daerah Aliran Sungai (DAS) dan orde pada masing-masing DAS. Berdasarkan klasifikasi Howard (1967), daerah penelitian dibagi menjadi 4 pola pengaliran, yaitu dendritik, sub-dendritik, parallel, dan radial (Gambar 4.2). Pola pengaliran dendritik menempati bagian hulu DAS, yaitu di bagian selatan daerah penelitian dengan luas 248,72 km2 atau sekitar 40,54 % dari seluruh daerah penelitian. Pola pengaliran ini dicirikan dengan bentuk yang menjari seperti daun, dan biasanya terbentuk di area yang batuannya homogen atau memiliki tingkat pelapukan yang relative sama, serta kurang dipengaruhi struktur. Pola pengaliran berada pada batuan vulkanik seperti breksi, tuf dan lava. Pola pengaliran sub-dendritik menempati bagian tengah dan menjalar hingga ke utara daerah penelitian, dengan luas sekitar 324,22 km2 atau sekitar 52,84 % dari seluruh daerah penelitian. Pola pengaliran merupakan modifikasi dari pola pengaliran dendritic. Pada pola pengaliran ini, anak sungai membentuk sudut sikusiku terhadap induk sungai utama (rectangular), sementara bagian hulu anak sungainya secara umum menjari (dendritik) dan beberapa menyerupai parallel. Pola pengaliran ini biasanya dipengaruhi oleh proses tektonik berupa sesar atau lipatan. Pola pengaliran ini berada pada batuan vulkanik dan batuan sedimen yang ada di daerah penelitian. Pola pengaliran radial menempati satu bukit di tengah area penelitian, dengan luas sekitar 13,83 km2 atau sekitar 2,25 % dari seluruh area penelitian. Pola



55



pengaliran ini menyebar keluar dari satu pusat yang didominasi oleh batuan metamorf yang terangkat karena adanya sesar. Pola pengaliran parallel tersebar di dua area yaitu area tengah dan area hilir di bagian selatan daerah penelitian, dengan total luas sekitar 26,81 km2 atau sekitar 4,37 % dari seluruh area penelitian. Pola pengaliran ini dicirikan dengan bentuk sungai yang saling sejajar, dan terbentuk di daerah yang mengalami struktur atau perbukitan memanjang. Pola pengaliran ini berada pada batuan sedimen dan vulkanik yang berada di daerah penelitian.



Gambar 4.13 Foto Salu Uro Diambil Dari Pesawat



56



Gambar 4.14 Peta Pola Pengaliran Sungai Daerah Penelitian



57



4.1.2



Morfometri Aspek morfometri meliputi penilaian kuantitatif terhadap bentuk lahan di



wilayah penelitian. Aspek morfometri yang dibahas pada bagian ini meliputi kemiringan lereng dan elevasi. Intepretasi kemiringan lereng dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan pembuatan peta kemiringan lereng. Pembuatan peta tersebut dilakukan dengan menggunakan bantuan software ArcGIS. Berdasarkan klasifikasi kemiringan lereng Van Zuidam (1985), wilayah DAS Salu Uro mempunyai variasi kemiringan lereng yang tinggi mulai dari datar hingga amat curam (Gambar 4.3). Kemiringan lereng datar menempati wilayah yang memiliki nilai persentase kemiringan lereng 0%-2%. Kemiringan lereng ini menempati luas 0,81 km2 dan mayoritas tersebar di wilayah tengah daerah penelitian (DAS Salu bagian tengah). Total luas kemiringan lereng ini menempati 0,13 % dari total keseluruhan wilayah penelitian. Kemiringan lereng landai menempati wilayah yang memiliki nilai persentase kemiringan lereng 2%-7%. Kemiringan lereng ini menempati luas 16,29 km2 dan tersebar merata di seluruh wilayah penelitian, dengan mayoritas berada di bagian tengah. Total luas kemiringan lereng ini menempati 2,65 % dari total keseluruhan wilayah penelitian.



58



Gambar 4.15 dan 4.16 Kemiringan Lereng Datar – Landai di Bagian Tengah Wilayah Penelitian Kemiringan lereng miring menempati wilayah dengan nilai persentase kemiringan lereng 7%-15%. Kemiringan lereng ini menempati luas 77,50 km2 dan tersebar merata di seluruh wilayah penelitian. Total luas kemiringan lereng ini menempati 12,63% dari total keseluruhan wilayah penelitian. Kemiringan lereng agak curam menempati wilayah dengan nilai persentase kemiringan lereng 15%-30%. Kemiringan lereng ini menempati luas 231,42 km2 dan tersebar di seluruh wilayah penelitian. Total luas kemiringan lereng agak curam menempati 37,71% dari total keseluruhan wilayah penelitian.



Gambar 4.16 dan 4.17 Kemiringan Lereng Miring – Agak Curam Tersebar Merata di Seluruh Wilayah Penelitian



59



Kemiringan lereng curam menempati wilayah dengan nilai persentase kemiringan lereng 30%-70%. Kemiringan lereng ini adalah yang paling dominan dengan luas area 272,86 km2 dan tersebar di seluruh wilayah penelitian, dengan penumpukan di daerah hulu DAS (baigan selatan wilayah penelitian) dan daerah hilir DAS (bagian utara wilayah penelitian). Total luas kemiringan lereng curam menempati 44,46% dari total keseluruhan wilayah penelitian. Kemiringan lereng amat curam menempati wilayah dengan nilai persentase kemiringan lereng 70%-140%. Kemiringan lereng ini menempati luas 14,85 km2 dan berada di daerah hulu DAS (baigan selatan wilayah penelitian) dan daerah hilir DAS (bagian utara wilayah penelitian), dan sedikit di bagian tengah wilayah penelitian. Total luas kemiringan lereng amat curam menempati 2,42% dari total keseluruhan wilayah penelitian.



Gambar 4.18 dan 4.19 Penyempitan Sungai pada Kemiringan Lereng Curam – Amat Curam di Bagian Tengah Wilayah Penelitian



60



Gambar 4.20 Peta Kemiringan Lereng Daerah Penelitian



61



4.2 Analisis Morfometri Daerah Aliran Sungai Analisis Morfometri pada penelitian ini yang akan dibahas mengerucut kepada kemiringan lereng dan kerapatan pengaliran. Metode yang digunakan pada penelitian ini berupa metode sampling grid, yaitu membagi daerah penelitian kedalam grid berukuran 300 m x 300 m, didapat grid sebanyak 6818 grid. Setiap grid berisi informasi variabel-variabel kemiringan lereng, kerapatan pengaliran, dan litologi. Setelah itu, setiap data akan dipisahkan berdasarkan litologi lalu dianalisa sesuai dengan karakteristik litologi tersebut. 4.2.1



Analisis Kerapatan Pengaliran / Drainage Density (Dd) Dari 6818 grid yang dibuat, data kerapatan pengaliran berkisar antara rendah



(0-0,25 Km/Km2) hingga tinggi (10-25 Km/Km2). Dari hasil perhitungan Dd menggunakan aplikasi ArcGIS, didapat data sebagai berikut. Tabel 4.2 Tabel Jumlah Data Grid Kerapatan Pengaliran (Dd)



62



Gambar 4.21 Peta Grid Kerapatan Pengaliran



63



d. Kerapatan Pengaliran pada Formasi Tuf Barupu (Qbt) Pada Formasi Tuf Barupu, didapat total sejumlah 1726 grid. Grid tersebut terbagi menjadi 498 grid dengan nilai kerapatan pengaliran rendah (0-0,25 Km/Km2) atau sekitar 28,85% jumlah total, 1219 grid dengan nilai kerapatan pengaliran sedang (0,25-10 Km/Km2) atau sekitar 70,63% jumlah total, dan 9 grid dengan nilai kerapatn pengaliran tinggi (10-25 Km/Km2) atau sekitar 0,52% jumlah total. 1500



100.00% 80.00% 60.00% 40.00% 20.00% 0.00%



1000 500 0 Rendah



Sedang



Tinggi



Sangat Tinggi



Rendah Sedang



Tinggi



Sangat Tinggi



Gambar 4.22 Grafik Kerapatan Pengaliran Pada Litologi Qbt e. Kerapatan Pengaliran pada Batuan Terobosan (Tmpi) Pada Batuan Terobosan, didapat total sejumlah 110 grid. Grid tersebut terbagi menjadi 28 grid dengan nilai kerapatan pengaliran rendah (0-0,25 Km/Km2) atau sekitar 25,45% jumlah total, dan 82 grid dengan nilai kerapatan pengaliran sedang (0,25-10 Km/Km2) atau sekitar 74,55% jumlah total. 100.00% 80.00% 60.00% 40.00% 20.00% 0.00%



100 80 60 40 20 0 Rendah Sedang Tinggi



Sangat Tinggi



Rendah



Sedang



Tinggi



Sangat Tinggi



Gambar 4.23 Grafik Kerapatan Pengaliran Pada Litologi Tmpi



64



f. Kerapatan Pengaliran pada Anggota Batuan Gunungapi Talaya, Tuf Beropa (Tmb) Pada anggota Tuf Beropa, didapat total sejumlah 838 grid. Grid tersebut terbagi menjadi 225 grid dengan nilai kerapatan pengaliran rendah (0-0,25 Km/Km2) atau sekitar 26,85% jumlah total, dan 613 grid dengan nilai kerapatan pengaliran sedang (0,25-10 Km/Km2) atau sekitar 73,15% jumlah total. 800



100.00% 80.00% 60.00% 40.00% 20.00% 0.00%



600 400 200 0 Rendah



Sedang



Tinggi



Sangat Tinggi



Rendah Sedang Tinggi



Sangat Tinggi



Gambar 4.24 Grafik Kerapatan Pengaliran Pada Litologi Tmpi g. Kerapatan Pengaliran pada Batuan Gunungapi Talaya (Tmtv) Pada Formasi Tuf Barupu, didapat total sejumlah 3648 grid. Grid tersebut terbagi menjadi 1047 grid dengan nilai kerapatan pengaliran rendah (0-0,25 Km/Km2) atau sekitar 28,70% jumlah total, 2588 grid dengan nilai kerapatan pengaliran sedang (0,25-10 Km/Km2) atau sekitar 70,94% jumlah total, dan 13 grid dengan nilai kerapatn pengaliran tinggi (10-25 Km/Km2) atau sekitar 0,36% jumlah total. 100.00% 80.00% 60.00% 40.00% 20.00% 0.00%



3000 2000 1000 0 Rendah Sedang



Tinggi



Sangat Tinggi



Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi



Gambar 4.25 Grafik Kerapatan Pengaliran Pada Litologi Tmtv



65



h. Kerapatan Pengaliran pada Formasi Sekala (Tmps) Pada Formasi Tuf Barupu, didapat total sejumlah 157 grid. Grid tersebut terbagi menjadi 41 grid dengan nilai kerapatan pengaliran rendah (0-0,25 Km/Km2) atau sekitar 26,11% jumlah total, 111 grid dengan nilai kerapatan pengaliran sedang (0,25-10 Km/Km2) atau sekitar 70,70% jumlah total, dan 5 grid dengan nilai kerapatn pengaliran tinggi (10-25 Km/Km2) atau sekitar 3,18% jumlah total. 100.00% 80.00% 60.00% 40.00% 20.00% 0.00%



150 100 50 0 Rendah Sedang



Tinggi



Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi



Sangat Tinggi



Gambar 4.26 Grafik Kerapatan Pengaliran Pada Litologi Tmps i. Kerapatan Pengaliran pada Batuan Gunungapi Lamasi (Toml) Pada Formasi Tuf Barupu, didapat total sejumlah 13 grid. Grid tersebut terbagi menjadi 3 grid dengan nilai kerapatan pengaliran rendah (0-0,25 Km/Km2) atau sekitar 23,08% jumlah total, dan 10 grid dengan nilai kerapatan pengaliran sedang (0,25-10 Km/Km2) atau sekitar 76,92% jumlah total. 100.00%



12 10 8 6 4 2 0



80.00% 60.00% 40.00% 20.00% 0.00% Rendah



Sedang



Tinggi



Sangat Tinggi



Rendah Sedang



Tinggi



Gambar 4.27 Grafik Kerapatan Pengaliran Pada Litologi Toml



Sangat Tinggi



66



j. Kerapatan Pengaliran pada Formasi Latimojong (Kls) Pada Formasi Tuf Barupu, didapat total sejumlah 326 grid. Grid tersebut terbagi menjadi 90 grid dengan nilai kerapatan pengaliran rendah (0-0,25 Km/Km2) atau sekitar 27,61% jumlah total, 235 grid dengan nilai kerapatan pengaliran sedang (0,25-10 Km/Km2) atau sekitar 72,09% jumlah total, dan 1 grid dengan nilai kerapatn pengaliran tinggi (10-25 Km/Km2) atau sekitar 0,31% jumlah total. 250



100.00%



200



80.00%



150



60.00%



100



40.00%



50



20.00%



0



0.00% Rendah



Sedang



Tinggi



Sangat Tinggi



Rendah Sedang



Tinggi



Sangat Tinggi



Gambar 4.28 Grafik Kerapatan Pengaliran Pada Litologi Kls 4.2.2



Analisis Kemiringan Lereng Dari 6818 grid yang dibuat, data kemiringan lereng berkisar antara datar



(0%-2%) hingga amat curam (70%-140%). Dari hasil perhitungan kemiringan lereng menggunakan aplikasi ArcGIS, didapat data sebagai berikut. Tabel 4.3 Tabel Jumlah Data Grid Kemiringan Lereng



67



Gambar 4.29 Peta Grid Kemiringan Lereng



68



k. Kemiringan Lereng pada Formasi Tuf Barupu (Qbt) Pada Formasi Tuf Barupu, didapat total sejumlah 1726 grid. Grid tersebut terbagi menjadi 3 grid dengan nilai kemiringan lereng datar (0%-2%) atau sekitar 0,17% jumlah total, 80 grid dengan nilai kemiringan lereng landai (2%-7%) atau sekitar 4,63% jumlah total, 268 grid dengan nilai kemiringan lereng miring (7%15%) atau sekitar 15,53% jumlah total, 727 grid dengan nilai kemiringan lereng agak curam (15%-30%) atau sekitar 42,12% jumlah total, 634 grid dengan nilai kemiringan lereng curam (30%-70%) atau sekitar 36,73% jumlah total, dan 14 grid dengan nilai kemiringan lereng amat curam (70%-140%) atau sekitar 0,81% jumlah total. 800



100.00% 80.00% 60.00% 40.00% 20.00% 0.00%



600 400 200



0



Gambar 4.30 Grafik Kemiringan Lereng Pada Litologi Qbt l. Kemiringan Lereng pada Batuan Terobosan (Tmpi) Pada Formasi Tuf Barupu, didapat total sejumlah 110 grid. Grid tersebut terbagi menjadi 1 grid dengan nilai kemiringan lereng datar (0%-2%) atau sekitar 0,91% jumlah total, 2 grid dengan nilai kemiringan lereng landai (2%-7%) atau sekitar 1,82% jumlah total, 16 grid dengan nilai kemiringan lereng miring (7%15%) atau sekitar 14,55% jumlah total, 63 grid dengan nilai kemiringan lereng agak curam



(15%-30%) atau sekitar 57,27% jumlah total, 26 grid dengan nilai



kemiringan lereng curam (30%-70%) atau sekitar 23,64% jumlah total, dan 2 grid



69



dengan nilai kemiringan lereng amat curam (70%-140%) atau sekitar 1,82% jumlah total. 80 60 40 20 0



100.00% 80.00% 60.00% 40.00% 20.00% 0.00% Datar Landai Miring Agak Curam Amat Amat Curam Curam Sangat Curam



Datar Landai Miring Agak Curam Amat Amat Curam Curam Sangat Curam



Gambar 4.31 Grafik Kemiringan Lereng Pada Litologi Tmpi m. Kemiringan Lereng pada Anggota Batuan Gunungapi Talaya, Tuf Beropa (Tmb) Pada Formasi Tuf Barupu, didapat total sejumlah 838 grid. Grid tersebut terbagi menjadi 1 grid dengan nilai kemiringan lereng datar (0%-2%) atau sekitar 0,12% jumlah total, 19 grid dengan nilai kemiringan lereng landai (2%-7%) atau sekitar 2,27% jumlah total, 78 grid dengan nilai kemiringan lereng miring (7%15%) atau sekitar 14,55% jumlah total, 275 grid dengan nilai kemiringan lereng agak curam (15%-30%) atau sekitar 32,82% jumlah total, 442 grid dengan nilai kemiringan lereng curam (30%-70%) atau sekitar 52,74% jumlah total, dan 23 grid dengan nilai kemiringan lereng amat curam (70%-140%) atau sekitar 2,74% jumlah total. 100.00% 80.00% 60.00% 40.00% 20.00% 0.00%



500 400 300 200 100 0



Datar



Miring



Curam



Amat Sangat Curam



Datar



Miring



Curam



Gambar 4.32 Grafik Kemiringan Lereng Pada Litologi Tmb



Amat Sangat Curam



70



n. Kemiringan Lereng pada Batuan Gunungapi Talaya (Tmtv) Pada Batuan Gunungapi Talaya (Tmtv), didapat total sejumlah 3648 grid. Grid tersebut terbagi menjadi 3 grid dengan nilai kemiringan lereng datar (0%-2%) atau sekitar 0,08% jumlah total, 74 grid dengan nilai kemiringan lereng landai (2%7%) atau sekitar 2,03% jumlah total, 462 grid dengan nilai kemiringan lereng miring (7%-15%) atau sekitar 12,66% jumlah total, 1368 grid dengan nilai kemiringan lereng agak curam (15%-30%) atau sekitar 37,53% jumlah total, 1646 grid dengan nilai kemiringan lereng curam (30%-70%) atau sekitar 45,12% jumlah total, dan 94 grid dengan nilai kemiringan lereng amat curam (70%-140%) atau sekitar 2,58% jumlah total. 2000 1500 1000 500 0



100.00% 80.00% 60.00% 40.00% 20.00% 0.00%



Gambar 4.33 Grafik Kemiringan Lereng Pada Litologi Tmtv o. Kemiringan Lereng pada Formasi Sekala (Tmps) Pada Formasi Sekala, didapat total sejumlah 157 grid. Grid tersebut terbagi menjadi 7 grid dengan nilai kemiringan lereng miring (7%-15%) atau sekitar 4,46% jumlah total, 26 grid dengan nilai kemiringan lereng agak curam (15%-30%) atau sekitar 16,56% jumlah total, 100 grid dengan nilai kemiringan lereng curam (30%70%) atau sekitar 63,39% jumlah total, dan 24 grid dengan nilai kemiringan lereng amat curam (70%-140%) atau sekitar 15,29% jumlah total.



71



120 100 80 60 40 20 0



Grafik Lereng Tmps 100.00% 80.00% 60.00% 40.00% 20.00% 0.00% Datar Landai Miring Agak Curam Amat Amat Curam Curam Sangat Curam



Datar Landai Miring Agak Curam Amat Amat Curam Curam Sangat Curam



Gambar 4.34 Grafik Kemiringan Lereng Pada Litologi Tmps p. Kemiringan Lereng pada Batuan Gunungapi Lamasi (Toml) Pada Batuan Gunungapi Lamasi (Toml), didapat total sejumlah 13 grid. Grid tersebut terbagi menjadi 1 grid dengan nilai kemiringan lereng miring (7%15%) atau sekitar 7,69% jumlah total, 6 grid dengan nilai kemiringan lereng agak curam (15%-30%) atau sekitar 46,15% jumlah total, 5 grid dengan nilai kemiringan lereng curam (30%-70%) atau sekitar 38,46% jumlah total, dan 1 grid dengan nilai kemiringan lereng amat curam (70%-140%) atau sekitar 7,69% jumlah total.



7 6 5 4 3 2 1 0



100.00% 80.00% 60.00% 40.00% 20.00% 0.00%



Gambar 4.35 Grafik Kemiringan Lereng Pada Litologi Toml



72



q. Kemiringan Lereng pada Formasi Latimojong (Kls) Pada Formasi Latimojong, didapat total sejumlah 326 grid. Grid tersebut terbagi menjadi 1 grid dengan nilai kemiringan lereng datar (0%-2%) atau sekitar 0,31% jumlah total, 6 grid dengan nilai kemiringan lereng landai (2%-7%) atau sekitar 1,84% jumlah total, 29 grid dengan nilai kemiringan lereng miring (7%15%) atau sekitar 8,90% jumlah total, 105 grid dengan nilai kemiringan lereng agak curam



(15%-30%) atau sekitar 32,21% jumlah total, 178 grid dengan nilai



kemiringan lereng curam (30%-70%) atau sekitar 54,60% jumlah total, dan 7 grid dengan nilai kemiringan lereng amat curam (70%-140%) atau sekitar 2,15%. 200 150 100 50 0



100.00% 80.00% 60.00% 40.00% 20.00% 0.00% Datar Landai Miring Agak Curam Amat Amat Curam Curam Sangat Curam



Datar Landai Miring Agak Curam Amat Amat Curam Curam Sangat Curam



Gambar 4.36 Grafik Kemiringan Lereng Pada Litologi Kls 4.2.3



Analisis Perbandingan Kerapatan Pengaliran dan Kemiringan Lereng Setelah mendapatkan data kemiringan lereng dan Dd, maka kedua variabel



tersebut coba dibandingkan dalam satu grafik untuk melihat keterkaitan antara karakteristik keduanya. Dalam penelitian yang membandingkan nilai kerapatan pengaliran dan kemiringan lereng, Jukepsa Andas menyatakan, “Semakin renggang jarak antar sungainya, semakin curam kemirjngan lerengnya, maka semakin keras batuannya.” (Andas, 2013).



73



r. Perbandingan Kerapatan Pengaliran dan Kemiringan Lereng pada Formasi Tuf Barupu (Qbt) Pada Formasi Tuf Barupu, grafik menunjukan trendline yang menurun, maka dapat disimpulkan semakin tinggi nilai kerapatan pengalirannya, maka nilai kemiringan lereng cenderung akan semakin rendah. Kerapatan pengaliran memiliki nilai maksimal 13,76 Km/Km2 (tinggi) dan kemiringan lereng memiliki nilai maksimal 100%.



-2



120 100 80 60 40 20 0 -20 0



2



4



6



8



10



12



14



16



Gambar 4.37 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Qbt s. Perbandingan Kerapatan Pengaliran dan Kemiringan Lereng pada Batuan Terobosan (Tmpi) Pada Batuan Terobosan, grafik menunjukan trendline yang naik-turun dengan kecenderungan menurun, maka dapat disimpulkan kemiringan lereng dan kerapatan pengaliran memiliki pola yang tak menentu tetapi memiliki kecenderungan semakin tinggi nilai kerapatan pengalirannya, semakin rendah nilai kemiringan lerengnya.



74



Kerapatan pengaliran memiliki nilai maksimal 8,89 Km/Km2 (sedang) dan kemiringan lereng memiliki nilai maksimal 82%.



100 80 60 40



20 0 -2



0



2



4



6



8



10



Gambar 4.38 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Tmpi t. Perbandingan Kerapatan Pengaliran dan Kemiringan Lereng pada Anggota Batuan Gunungapi Talaya, Tuf Beropa (Tmb) Pada Tuf Beropa, grafik menunjukan trendline yang menurun, maka dapat disimpulkan semakin tinggi nilai kerapatan pengalirannya, maka nilai kemiringan lereng cenderung akan semakin rendah. Kerapatan pengaliran memiliki nilai maksimal 9,54 Km/Km2 (sedang) dan kemiringan lereng memiliki nilai maksimal 104%. 120 100 80 60 40 20 0 -2



0



2



4



6



8



10



12



Gambar 4.39 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Tmb



75



u. Perbandingan Kerapatan Pengaliran dan Kemiringan Lereng pada Batuan Gunungapi Talaya (Tmtv) Pada Batuan Gunungapi Talaya, grafik menunjukan trendline yang menurun, maka dapat disimpulkan semakin tinggi nilai kerapatan pengalirannya, maka nilai kemiringan lereng cenderung akan semakin rendah. Kerapatan pengaliran memiliki nilai maksimal 15,09 Km/Km2 (tinggi) dan kemiringan lereng memiliki nilai maksimal 117%.



150 100 50 0 -2



0



2



4



6



8



10



12



14



16



Gambar 4.40 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Tmtv v. Perbandingan Kerapatan Pengaliran dan Kemiringan Lereng pada Formasi Sekala (Tmps) Pada Formasi Sekala, grafik menunjukan trendline yang naik-turun, maka dapat disimpulkan kemiringan lereng dan kerapatan pengaliran memiliki pola yang tak menentu. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kontrol struktur atau kontak dengan batuan yang lebih keras, sehingga pada pertemuan-pertemuan anak sungai terjadi pada kontur yang rapat atau kemiringan lereng yang curam.



76



Kerapatan pengaliran memiliki nilai maksimal 14,58 Km/Km2 (tinggi) dan kemiringan lereng memiliki nilai maksimal 133%. 150 100 50 0 -2



0



2



4



6



8



10



12



14



16



Gambar 4.41 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Tmps w. Perbandingan Kerapatan Pengaliran dan Kemiringan Lereng pada Batuan Gunungapi Lamasi (Toml) Pada Batuan Gunungapi Lamasi, grafik menunjukan trendline yang naikturun, maka dapat disimpulkan kemiringan lereng dan kerapatan pengaliran memiliki pola yang tak menentu. Hal ini kemungkinan disebabkan karena formasi tersebut memiliki cakupan area yang sangat kecil pada wilayah penelitian, sehingga data yang dihasilkan terlalu sedikit dan tidak menggambarkan karakteristik sebenarnya, Kerapatan pengaliran memiliki nilai maksimal 6,46 Km/Km2 (sedang) dan kemiringan lereng memiliki nilai maksimal 82%. 100 80 60 40 20 0 -1



0



1



2



3



4



5



6



7



Gambar 4.42 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Toml



77



x. Perbandingan Kerapatan Pengaliran dan Kemiringan Lereng pada Formasi Latimojong (Kls) Pada Formasi Latimojong. grafik menunjukan trendline yang naik-turun, dengan kecenderungan menurun, maka dapat disimpulkan kemiringan lereng dan kerapatan pengaliran memiliki pola yang tak menentu tetapi memiliki kecenderungan semakin tinggi nilai kerapatan pengalirannya, semakin rendah nilai kemiringan lerengnya. Kerapatan pengaliran memiliki nilai maksimal 10,67 Km/Km2 (sedang) dan kemiringan lereng memiliki nilai maksimal 87%. 100 80 60 40 20 0 -2



0



2



4



6



8



10



12



Gambar 4.43 Grafik Hubungan Kemiringan Lereng dan Dd pada Litologi Kls



78



BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1



Kesimpulan



1.



Batuan Gunungapi Lamasi (Toml) memiliki cakupan area yang terlalu



sempit pada wilayah penelitian, sehingga data yang dihasilkan dinilai kurang representatif. Maka pada kesimpulan selanjutnya, Batuan Gunungapi Lamasi (Toml) diabaikan dalam analisa. 2.



Dari analisis data kerapatan pengaliran, dapat disimpulkan bahwa ada



perbedaan karakteristik kerapatan pengaliran dari tiap litologi. Tuf Barupu (Qbt), Formasi Sekala (Tmps), dan Batuan Gunungapi Talaya (Tmtv) memiliki nilai Dd maksimal diatas 11 Km/Km2 atau termasuk tinggi, menandakan bahwa resistensi batuan tidak terlalu resisten. Sementara itu Tuf Beropa (Tmb), Batuan Terobosan (Tmpi) dan Formasi Latimojong (Kls) memiliki nilai Dd maksimal dibawah 11 Km/Km2 atau termasuk sedang, menandakan bawa resistensi batuan lebih tinggi. 3.



Dari analisis data kemiringan lereng, dapat disimpulkan bahwa ada



beberapa perbedaan karakteristik kemiringan lereng dari tiap litologi. Tuf Barupu (Qbt), dan Batuan Gunungapi Talaya (Tmtv) memiliki nilai kemiringan lereng dominan di agak curam, menandakan bahwa resistensi batuan yang tidak terlalu resisten. Sementara itu Tuf Beropa (Tmb), Batuan Terobosan (Tmpi) dan Formasi Latimojong (Kls) memiliki nilai kemiringan lereng dominan di curam. Bahkan persentase nilai kemiringan lereng amat curam di Formasi Sekala cukup tinggi dibandingkan yang lain. Hal ini menunjukan bahwa resistensi batuan pada formasi



79



tersebut cenderung lebih keras dari formasi lain, sehingga menghasilkan kemiringan lereng yang lebih curam. 4.



Pada Formasi Sekala (Tmps), terdapat sebuah anomali dimana formasi



tersebut memiliki kemiringan lereng yang dominan di curam, sementara batuanbatuan penyusun formasi tersebut memiliki resistensi batuan yang tidak terlalu tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kontrol struktur atau adanya kontak dengan batuan yang lebih keras (dalam hal ini Formasi Latimojong). 5.2



Saran



1.



Analisis lebih lanjut mengenai kerapatan pengaliran sangat diperlukan



untuk menjadi pembanding penelitian ini. Kedepannya, apabila akan menggunakan metode simple grid lagi sebaiknya gunakan skala grid yang cukup besar (minimal 500 m x 500 m) supaya cakupan area dalam satu grid dapat mewakili variabel yang dianalisa dengan lebih representatif. Selain itu, apabila membuat sungai dari basis data DEM sebaiknya diperhitungkan vaktor ketelitian sungai yang dibuat dibandingkan dengan resolusi citranya. Semakin tinggi resolusi citranya, maka semakin tinggi tingkat ketelitian sungai yang dibuat akan menghasilkan aliran sungai yang lebih rapat. 5.



Pada grafik kerapatan pengaliran tidak terlalu tampak perbedaan di tiap



litologinya. Hal ini mungkin dikarenakan grid yang dibuat terlalu kecil skalanya, sehingga banyak area DTA (Daerah Tangkapan Air) yang tidak masuk kedalam hitungan nilai kerapatan pengaliran karena tidak adanya aliran sungai di grid-grid tersebut. Selain itu, basis data yang digunakan adalah citra DEM dengan resolusi



80



spasial 1:8 (1 pixel mewakili 8 m x 8 m), sehingga sungai yang dihasilkan lebih detail dan ini mempengaruhi terhadap perhitungan Dd. Karena hamper seluruh lembahan terisi sungai, maka nilai Dd cenderung seragam di setiap litologinya. 2.



Hasil penelitian ini bisa menjadi rekomendasi bagi pemetaan geologi yang



lebih detail pada lokasi penelitian, mengingat peta geologi regional yang tersedia di wilayah tersebut hingga penelitian ini dikerjakan ialah skala 1:250.000.



81



DAFTAR PUSTAKA



Andas, J. 2013. Kerapatan Pengaliran dan Kemiringan Lereng Sebagai Indikator Anomali Bouguer di DAS Cimanuk Bagian Hulu, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Tesis. Tidak Diterbitkan. Fakultas Teknik Geologi. Universitas Padjadjaran: Jatinangor. Sukiyah, E. 2009. Model Bentangalam Vulkanik Kuarter Di Cekungan Bandung Bagian Selatan. Bandung: Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Tidak dipublikasi. 227 h. Sukiyah, E. dan Mulyono. 2007. Morfometri Daerah Aliran Sungai Pada Bentang Alam Vulkanik Kwarter Terdeformasi. Bulletin of Scientific Contribution Vol.5, No.3. Bandung. Sukiyah, E. 2017. Sistem Informasi Geografis. Konsep dan Aplikasinya Dalam Analisis Geomorfologi Kuantitatif. Bandung: Unpad Press. Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Hoobs, W. H. 1904. Lineament of Atlantic Border Region. Geological Society of America Bulletin, 15, pp, 483-506. Horton, R. E. (1932). Drainage‐basin characteristics. Eos, transactions american geophysical union, 13(1), 350-361 Horton, R. E. 1945. Erosional development of streams and their drainage basins. Bulletin of the Geological Society of America. vol. 56, 275-370. Howard, A. D. 1967. Drainage analysis in geologic interpretation: a summation. Stanford, California. The American Association of Petroleum Geologist Bulletin. vol. 51, no. 11.



82



Huggett,



R.



(2007).



A



history



of



the



systems



approach



in



geomorphology. Géomorphologie: relief, processus, environnement, 13(2), 145-158. Keller, E. A., & Pinter, N. (1996). Active tectonics (Vol. 19). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall. Martodjojo, S., 1984, Evolusi Cekungan Bogor Jawa Barat, Disertasi Doktor, ITB, Bandung. (tidak diterbitkan) Moody, J. D. & Hill, M. J. 1956. Wrench-Fault Tectonics. Geological Society of America Bulletin 67. Ragan, D. M. 1973. Structural Geology, an Introduction to Geometrical Techniques : John Wiles & Sons, New York. Schumm, S. A. 1956. Evolution Processes and Landform in Badlands National Monument, South Dakota. Bull. Geol. Soc. Am. 67 Shreve, R. L. 1967. Infinitive Topologicallu Random Channel Networks. Jurnal Of Geology 75, Hal. 178-186. Ratman, N., & Atmawinata, S. (1993). Peta Geologi Lembar Mamuju, Sulaweai, Skala 1:250.000. Bandung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Soewarno. 1991. Hidrologi: Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai (Hidrometri). Bandung: Nova. Strahler,



A.



N.



1952.



Hypsometric



(area-altitude)



analysis



of erosional topology. Geological Society of America Bulletin, 63 (11)