Laporan Kasus Abses Hepar 5 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS ABSES HEPAR IDENTITAS PASIEN Nama



:



Tn. R



Tgl Lahir



:



5/7/1973



Jenis Kelamin



:



Laki-laki



Nomor RM



:



667945



Tanggal Pemeriksaan :



18 Agustus 2014



ANAMNESIS KU: nyeri perut kanan atas AT: dialami sejak ± 2 minggu SMRS, nyeri dirasakan tiba – tiba dan terus menerus, tembus sampai ke belakang. Rasa sakit akan bertambah bila penderita berubah posisi dan memberat bila istirahat. Penurunan berat badan 3 kg dalam 2 minggu. Riwayat ikterus (+), Mual (+), muntah (+), nyeri ulu hati (+), demam (+), menggigil (-), sakit kepala (-), pusing (-), batuk (-), sesak (-), nyeri dada (-). BAB: biasa, kuning kecoklatan. Riw.BAB hitam (-). BAB encer (-) darah (-) lendir (-) BAK: lancar, warna kuning. RK : Riwayat konsumsi alcohol (+) sejak masih muda dan berhenti ketika sakit. Riwayat merokok (+) RPS: Riwayat Hepatitis (-). Riwayat Hipertensi (-) Riwayat DM (-) Riwayat BAB encer (+) sebulan lalu. PEMERIKSAAN FISIS SP : SS/GC/CM T : 120/70 mmHg



P : 20x/menit



N : 90 x/menit, reguler



S : 37,40C 1



TB : 160 cm BB : 55 kg LLA : 27 cm IMT : 21,4 kg/m2 (normal) -



-



Kepala Ekspresi



: meringis



Simetris muka



: simetris kiri = kanan



Deformitas



: (-)



Rambut



: hitam, ikal, tidak mudah dicabut



Mata Eksoptalmus/Enoptalmus



: (-), gerakan : dalam batas normal



Tekanan bola mata



: tidak diperiksa



Kelopak mata



: edema (-)



Konjungtiva



: anemis (-)



Sklera



: ikterus (+)



Kornea



: jernih



Pupil -



-



-



: isokor Ø2,5 mm/ Ø2,5 mm, RCL/RCTL (+/+)



Telinga Tophi



: (-)



Nyeri tekan mastoideus



: (-)



Pendengaran



: normal



Hidung Perdarahan



: (-)



Sekret



: (-)



Mulut Bibir



: Kering (-), pecah-pecah (-), sianosis (-)



Gigi geligi



: caries (+)



Gusi



: Perdarahan (-)



Tonsil



: Hiperemis (-), Pembesaran (-) 2



-



Farings



: Hiperemis (-)



Lidah



: Kotor (-)



Leher KGB : tidak ada pembesaran KG



: tidak ada pembesaran



DVS : R-2 cmH2O -



Thorax I



: normothorax, simetris kanan=kiri



P : MT (-), NT (-), vocal fremitus kanan=kiri P : sonor kanan = kiri A : BP vesikuler, Rh -/- Wh-/-



Jantung I



: IC tidak tampak



P : IC tidak teraba P : pekak, batas jantung kesan normal A : BJ I/II murni, regular, bising (-) -



Abdomen : I



: datar, ikut gerak napas



A : peristaltik (+) kesan normal P : Hepar teraba 4 cm Bawah Arcus Costa, permukaan fluktuatif, konsistensi lunak, tepi reguler, nyeri tekan (+) ,Lien tidak teraba Massa Tumor (-), Nyeri Tekan hipokondrium kanan (+) dan epigastrium (+), nyeri tekan regio abdomen lainnya (-), P : timpani (+) Extremitas : edema -/-



3



PEMERIKSAAN PENUNJANG A. Laboratorium:  WBC



: 34,9 x103 /ul



 RBC



: 3,38x106 /ul



 HGB



: 10,4 gr/dl



 HCT



: 29,2 %



 PLT



: 413 x103 /ul



 PT



:17,2 c 11,5 detik



 APTT



: 38,1 c 24,8 detik



 INR



: 1,41



 Ureum



: 83 mg/dl



 Kreatinin



: 0,70 mg/dl



 Bilirubin total



: 12,28 mg/dl



 Bilirubin direct : 11,05 mg/dl  SGOT



: 251 µl



 SGPT



: 253 µl



 Protein total



: 5,4 mg/dl



 Albumin



: 2,6 gr/dl



 Globulin



: 2,8 gr/dl



 Na



: 133 mmol/L



K



: 4,7 mmol/L



 Cl



: 100 mmol/L



 HbsAg



: Non Reaktif



 Anti HCV



: Non Reaktif



4



B. Radiologi UCT Scan abdomen



: Abses Hepar Efusi Pleura Bilateral



USG Abdomen



: Malignancy lobus kanan (via Rs. Maros)



DIAGNOSIS SEMENTARA 1. Abses Hepar 2. Peningkatan enzim transaminase 3. Hipoalbuminemia (6,2 gr/dl) 4. Koagulopati (38,1 c24,8 detik)



PENATALAKSANAAN AWAL  Diet hepar  IVFD Asering 20 tetes/menit  Metronidazole 0,5 gr/8 jam/drips  Sistenol 3x1  Omeprazole 40 mg/24J/IV  Domperidon Tab 2x1  Laxadin syr 0-0-2  Inj. Novalgin Amp 12J/IV  HP pro 3x1



RENCANA PEMERIKSAAN  AFP  Alkali fosfatase  Gamma GT  ADT  Foto Thorax



5



CATATAN PERJALANAN PENYAKIT TANGGAL



PERJALANAN PENYAKIT



INSTRUKSI DOKTER



18 Agustus 2014



Perawatan hari ke-1



R/



T : 130/60mmHg



S: nyeri perut kanan atas (+)



 Diet hepar



N : 88 x/menit



dialami sejak ± 10 hari  Metronidazole 0,5gr/8 jam/drips



P : 36 x/menit



SMRS, nyeri hilang timbul,  Sistenol 3x1



S : 37,40C



rasanya seperti ditusuk-tusuk,  Omeprazole 40 mg/24J/IV tembus sampai ke belakang,  Domperidon Tab 2x1 menjalar ke area ulu hati.  Laxadin syr 0-0-2 Mual



(+),



muntah



(+),  Inj. Novalgin Amp 12J/IV demam (+), menggigil (-),  HP pro 3x1 sakit kepala (-), pusing (-), Periksa: batuk (-), sesak (-), nyeri  Konsul GEH dada (-). BAB: biasa, kuning  USG Abd kecoklatan. BAK: lancar,  Foto Thoraks warna kuning pekat.  AFP,Gamma GT, Alkali fosfatase



O: SS/GC/CM Anemis



(+)



ikterus



(+)



sianosis (-) Paru : BP: vesikuler, BT : Rh -/-, Wh -/-, Cor : BJ I/II murni, regular Abdomen : peristaltik (+) kesan normal. Hepar teraba 4 cm



Bawah



permukaan



Arcus



Costa,



fluktuatif,



konsistensi lunak, tepi regular,



6



nyeri tekan (+) Lien tidak teraba Massa Tumor (-) Nyeri Tekan hipokondrium (+) dan epigastrium (+), nyeri tekan regio abdomen lainnya (-), Ekstremitas: edema -/-, A: Abses Hepar Peningkatan enzim transaminase Efusi pleura bilateral



19 Agustus 2014



Perawatan hari ke-2



R/



T : 120/80mmHg



S: nyeri perut kanan atas (+)



 Diet hepar



N : 92 x/menit



Nyeri ulu hati (+), Mual (+),  Metronidazole



P : 18 x/menit



muntah (+) , demam (+),



0



S : 37,2 C



0,5



gr/8



jam/drips



menggigil (-), sakit kepala (-)  Aminofusin Hepar btl/hr , pusing (-), batuk (-), sesak  Sistenol 3x1 (-), nyeri dada (-).  Omeprazole 40 mg/24J/IV BAB: biasa ,kuning  Domperidon Tab 2x1 kecoklatan.



 Inj. Novalgin Amp 12J/IV



BAK: lancar, warna kuning



 Dulcolax Supp 1x1



pekat.



 HP pro 3x1 Periksa:



O: SS/GC/CM anemis (+) ikterus (+) sianosis (-) Paru : BP: vesikuler,



 AFP  Alkali fosfatase  Gamma-GT  Konsul GEH



7



 Foto Thorax



BT : Rh -/-, Wh -/-, Cor : BJ I/II murni, regular Abdomen : peristaltik (+) kesan normal Hepar teraba 4 cm



Bawah



Arcus



permukaan



Costa,



fluktuatif,



konsistensi lunak, tepi reguler, nyeri tekan (+) Lien tidak teraba Massa Tumor (-) Nyeri Tekan hipokondrium (+) dan epigastrium (+), nyeri tekan regio abdomen lainnya (-), Ekstremitas: edema -/-, A: Abses Hepar DD/ Hepatoma Koagulopati Efusi Pleura bilateral 20 Agustus 2014



Perawatan hari ke-3



T : 120/80mmHg



S:



R/



nyeri perut kanan atas (+)  Diet hepar



N : 72 x/menit



berkurang, Nyeri ulu hati (+),  Metronidazole



P : 18 x/menit



Mual (+), muntah (-), demam



0



S : 36,8 C



0,5



gr/8



jam/drips



(-), menggigil (-), sakit kepala  Aminofusin Hepar 1 btl/hr (-), pusing (-), batuk (-), sesak  Sistenol 3x1 (-), nyeri dada (-).  Omeprazole 40 mg/24J/IV BAB: biasa, kuning  Domperidon Tab 2x1 BAK: lancar, warna kuning. O: SS/GC/CM anemis



(+),



 Inj. Novalgin Amp 12J/IV  HP pro 3x1



ikterus



(-),



sianosis (-)



8



Paru : BP: vesikuler, BT : Rh -/-, Wh -/-, Cor : BJ I/II murni, regular Abdomen : peristaltik (+) kesan normal Hepar teraba 4 cm



Bawah



Arcus



permukaan



Costa,



fluktuatif,



konsistensi lunak, tepi reguler, nyeri tekan (+) Lien tidak teraba Massa Tumor (-) Nyeri Tekan



hipokondrium



(+)



dan epigastrium (+), nyeri tekan regio abdomen lainnya (-), Ekstremitas: edema -/-, Lab tgl 17/6/14 Alkali fosfatase : 601 Gamma GT



: 391



AFP



: 1,47



A: Abses Hepar Koagulopati Peningkatan enzim transaminase Efusi pleura bilateral CXR 17/6/14 - Cor dan pulmo dalam batas normal.



9



21 Agustus 2014



Perawatan hari ke-4



R/



T : 130/90mmHg



S: nyeri perut kanan atas (+)



 Diet hepar



N : 80 x/menit



Nyeri ulu hati (+), Mual (-),  Metronidazole



P : 20 x/menit



muntah



0



S : 37,0 C



(-),



demam



(-),



0,5



gr/8



jam/drips



menggigil (-), sakit kepala (-  Aminofusin Hepar 1 btl/hr ), pusing (-), batuk (-), sesak  Omeprazole 40 mg/24J/IV (-), nyeri dada (-).  Domperidon Tab 2x1 BAB: biasa, kuning  Inj. Novalgin Amp 12J/IV BAK: lancar, warna kuning. O: SS/GC/CM



 HP pro 3x1  Vit. K 1 cap/IM/hr



anemis (+) ikterus (+) sianosis



 Lactulosa 3x1 caps



(-) Paru : BP: vesikuler, BT : Rh -/-, Wh -/-, Cor : BJ I/II murni, regular Abdomen : peristaltik (+) kesan normal Hepar teraba 4 cm



Bawah



Arcus



permukaan



Costa,



fluktuatif,



konsistensi lunak, tepi reguler, nyeri tekan (+) Lien tidak teraba Massa Tumor (-) Nyeri Tekan perut kanan



atas (+)



dan epigastrium (+), nyeri tekan regio abdomen lainnya (-), Ekstremitas: edema -/-,



10



A: Abses Hepar Koagulopati Hipoalbuminemia



Pemeriksaan Penunjang Lab



Hasil



WBC



34,9 x 103 /ul



RBC



3,38 x 106 /ul



HGB



10,4 gr/dl



HCT



29,2 %



PLT



413 x 103 /ul



MCV



98,4



MCH



-



MCHC



-



Neut



-



Lymph



-



Mono



-



Eo



-



Baso



-



LED I/II



-



Creatinine Ureum



0,70 mg/dl 83 mg/dl



PT



17,2 c11,5 detik



INR



1,41



APTT ALP



38,1 c 24,8 detik 601



SGOT



251 µl



SGPT



253 µl



11



Protein total



5,4 mg/dl



Albumin



2,6 gr/dl



Globulin



2,8 gr/dl



Cholesterol



-



Triglycerides



-



Bil. Total



12,28 mg/dl



Bil. Direct



11,05 mg/dl



GDS



-



HBsAg



Non reaktif



Anti HCV



Non reaktif



γGT



3,91



Elektrolit Na



133 mmol/l



K



4,7 mmol/l



Cl



100 mmol/l



AFP



1,47



12



Foto thoraks PA (18 Juni 2014) -



Corakan bronkovaskular dalam batas normal



-



Tidak tampak proses spesifik pada kedua paru



-



Cor dalam batas normal



-



Sinus dan diafragma kesan normal



-



Tulang-tulang intak



Kesan : - tidak ada kelainan pada foto radiologi ini.



USG Abdomen (18 Juni 2014) Kesan : Malignancy lobus kanan CT Scan Abdomen : Kesan : Abses hepar Efusi Pleura bilateral



13



RESUME Pasien laki-laki, 47 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri perut kanan atas, sejak 2 minggu SMRS, nyeri dirasakan tiba – tiba an terus – menerus. Nyeri tembus sampai ke belakang dan dipengaruhi oleh perubahan posisi terutama saat istirahat. Mual (+), muntah (-), demam (+), menggigil (-), sakit kepala (-), pusing (-), batuk (-), sesak (+), nyeri dada (-). BAB: biasa, kuning kecoklatan. Riw. BAB hitam (-). BAK: lancar, warna seperti kuning. Riwayat penyakit kuning sebelumnya (-). Riwayat minum minuman beralkohol (-), Riwayat merokok (-), Riwayat Hipertensi (-) Pada pemeriksaan fisis didapatkan pasien sakit sedang, gizi cukup, dan kesadaran compos mentis. Tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 88x/menit dan regular, suhu 37,4 0C, pernapasan 20 x/menit. Ikterus (+). Pada pemeriksaan abdomen didapatkan peristaltik (+) kesan normal, nyeri tekan hipokondrium kanan (+) dan epigastrium (+), hepar teraba 4 jari Bawah Arcus Costa, permukaan rata, konsistensi lunak, tepi reguler, nyeri tekan (+); Lien tidak teraba, Massa Tumor (-). Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis, penurunan kadar Hb (10,4) kesan anemia normositik normokrom. Selain itu, didapatkan juga hipoalbuminemia, peningkatan enzim transaminase, HBsAg Non reaktif dan Anti HCV Non reaktif. Pada pemeriksaan



radiologi, foto thorax menunjukkan paru dan jantung



dalam batas normal. Hasil ct scan abdomen menunjukkan adanya abses hepar,. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang lainnya, maka pasien ini didiagnosis Abses hepar, peningkatan enzim transaminase, koagulopati,dan hipoalbuminemia.



14



DISKUSI Pasien masuk dengan keluhan nyeri perut kanan atas yang bersifat terus – menerus dan tembus ke belakang. Pasien juga mengalami mual dan riwayat demam. Dari hasil pemeriksaan fisis diperoleh adanya hepatomegali, yakni hepar teraba 4 cm bawah arcus costa, dengan permukaan yang fluktuatif, konsistensi lunak, tepi regular, dan nyeri tekan (+). Beberapa penyakit dengan manifestasi nyeri perut kanan atas dan hepatomegali yaitu Hepatoma, Hepatitis, Abses Hepar. Pada pasien ini, diagnosis lebih cenderung ke arah abses hepar karena pada palpasi hepar diperoleh hepatomegali dengan permukaan yang fluktuatif dan konsistensi yang lunak. Sedangkan pada hepatoma, hepar cenderung konsistensinya keras, permukaan bisa rata ataupun tidak rata, atau bahkan berbenjol-benjol, atau dengan tepi yang tumpul. Untuk lebih memastikan diagnosis, dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu dengan pemeriksaan laboratorium dan radiologi. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya leukositosis (34,9), penurunan kadar Hb (10,4) kesan anemia normositik normokrom. Selain itu, didapatkan juga hipoalbuminemia (2,6), peningkatan enzim transaminase (SGOT:251 dan SGPT :253), HBsAg Non reaktif dan Anti HCV Non reaktif. Pada pemeriksaan radiologi, foto thorax menunjukkan cord an pulmo dalam batas normal. Hasil CT Scan abdomen menunjukkan adanya abses hepar. Hasil pemeriksaan penunjang ini mendukung diagnosis abses hepar. Abses hepar merupakan rongga patologis berisi jaringan nekrotik yang timbul dalam jaringan hati akibat infeksi amuba, bakteri, parasit, atau jamur. Abses hepar terbagi dua secara umum, yaitu abses hati amebik (AHA) yang dan abses hati piogenik (AHP). Gold standar untuk diagnosis AHA adalah dengan menemukan bakteri penyebab pada pemeriksaan kultur hasil aspirasi. Namun, berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisis, dan hasil pemeriksaan penunjang, kita dapat mencurigai jenis abses hepar pada kasus ini adalah AHA. Dari hasil anamnesis



15



diperoleh adanya riwayat diare sebulan sebelumnya. AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang paling sering dijumpai. Ada beberapa kriteria untuk mendiagnosis AHA, antara lain kriteria Sherlock (1969). Kasus ini memenuhi kriteria Sherlock yaitu adanya hepatomegali yang nyeri tekan, adanya lekositosis, peninggian diafragma kanan, dan pemeriksaan USG yang mendukung (adanya rongga di dalam hepar), serta adanya respon yang baik setelah terapi amoebisid. Pada pemeriksaan fisis, didapatkan nyeri pada hipokondrium dextra. Hal ini disebabkan oleh peregangan kapsula Glison pada hepar sebagai akibat adanya abses. Berdasarkan hasil laboratorium yang ditemukan pada pasien terdapat peningkatan enzim – enzim hati (SGOT, SGPT) dan adanya hipoalbuminemia yang menunjukkan telah terjadinya gangguan hepar. Anemia dapat terjadi karena trophozoit sangat aktif bergerak, mengandung protease yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan destruksi jaringan dan mampu memangsa eritrosit, Leukositosis sendiri muncul sebagai akibat dari reaksi inflamasi dari infeksi. Terapi yang diberikan berupa diet hepar dan pemberian infus Asering 20 tpm sebagai penyeimbang elektrolit. Antibiotik yang diberikan yaitu Metronidazole yang merupakan drug of choice dengan dosis 0,5 gr/ 8jam/ drips. Selain itu diberikan juga HP pro 3 x 1 sebagai hepatoprotektor untuk menurunkan kadar SGOT dan SGPT,



dan



transfusi



albumin



20%



1



botol/IV/drips



untuk



mengatasi



hipoalbuminemia. Pasien juga dikonsul ke bagian bedah digestif mengingat ukuran abses 9,8 x 10,8 cm. Ukuran abses yang besar, > 5 cm, merupakan indikasi dilakukannya drainase.



16



ABSES HEPAR A. PENDAHULUAN Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam parenkim hati .(1) Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini merupakan kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400 SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936. (1) Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang jelek, status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus urbanisasi menyebabkan bertambahnya kasus abses hati di daerah perkotaan. Di negara yang sedang berkembang abses hati amuba lebih sering didapatkan secara endemik dibandingkan dengan abses hati piogenik. Dalam beberapa dekade terakhir ini telah banyak perubahan mengenai aspek epidemiologis, etiologi, bakteriologi, cara diagnostik maupun mengenai pengelolaan serta prognosisnya. (2) B. ANATOMI DAN FISIOLOGI HATI Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar 1.500gr atau 2 % berat badan orang dewasa normal. Letaknya sebagian besar di regio hipokondria dekstra, epigastrika, dan sebagian kecil di hipokondria sinistra. Hati memiliki dua lobus utama yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan. Lobus kiri dibagi menjadi segmen



17



medial dan lateral oleh ligamentum falsiformis. Di bawah peritonium terdapat jaringan ikat padat yang disebut kapsula Glisson yang meliputi seluruh permukaan hati. Setiap



lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang disebut sebagai lobulus, yang merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ yang terdiri atas lempenglempeng sel hati dimana diantaranya terdapat sinusoid. Selain sel-sel hati, sinusoid vena dilapisi oleh sel endotel khusus dan sel Kupffer yang merupakan makrofag yang melapisi sinusoid dan mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus hepatikus. Hati memiliki suplai darah dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta hepatika dan dari aorta melalui arteria hepatika. (2,3,4)



Hati mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Beberapa di antaranya yaitu: (3,4,5)



18



 Pembentukan dan ekskresi empedu Dalam hal ini terjadi metabolisme pigmen dan garam empedu. Garam empedu penting untuk pencernaan dan absopsi lemak serta vitamin larut-lemak di dalam usus.  Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak, protein) setelah penyerapan dari saluran pencernaan a. Metabolisme karbohidrat : menyimpan glikogen dalam jumlah besar, konversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, serta pembentukan banyak senyawa kimia dari produk antara metabolisme karbohidrat. b. Metabolisme lemak : oksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain, sintesis kolesterol, fosfolipid, dan sebagian besar lipoprotein, serta sintesis lemak dari protein dan karbohidrat c. Metabolisme protein : deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma, serta interkonversi beragam asam amino dan sintesis senyawa lain dari asam amino.  Penimbunan vitamin dan mineral Vitamin larut-lemak ( A,D,E,K ) disimpan dalam hati, juga vitamin B12, tembaga, dan besi dalam bentuk ferritin. Vitamin yang paling banyak disimpan dalam hati adalah vitamin A, tetapi sejumlah besar vitamin D dan B12 juga disimpan secara normal.  Hati menyimpan besi dalam bentuk ferritin Sel hati mengandung sejumlah besar protein yang disebut apoferritin, yang dapat bergabung dengan besi baik dalam jumlah sedikit maupun banyak. Oleh karena itu, bila besi banyak tersedia dalam cairan tubuh, maka besi akan berikatan dengan apoferritin membentuk ferritin dan disimpan dalam bentuk ini di dalam sel hati sampai diperlukan. Bila besi dalam sirkulasi cairan tubuh mencapai kadar rendah, maka ferritin akan melepaskan besi.



19



 Hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam jumlah banyak Zat-zat yang dibentuk di hati yang digunakan pada proses koagulasi meliputi fibrinogen, protrombin, globulin akselerator, faktor VII, dan beberapa faktor koagulasi lainnya. Vitamin K dibutuhkan oleh proses metabolisme hati, untuk membentuk protrombin dan faktor VII, IX, dan X.  Hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon, dan zat lain Medium kimia yang aktif dari hati dikenal kemampuannya dalam melakukan detoksifikasi atau ekskresi berbagai obat-obatan meliputi sulfonamid, penisilin, ampisilin, dan eritromisin ke dalam empedu. Beberapa hormon yang disekresi oleh kelenjar endokrin diekskresi atau dihambat secara kimia oleh hati meliputi tiroksin dan terutama semua hormon steroid seperti estrogen, kortisol, dan aldosteron.  Hati berfungsi sebagai gudang darah dan filtrasi Hati adalah organ venosa yang mampu bekerja sebagai tempat penampungan darah yang bermakna saat volume darah berlebihan dan mampu menyuplai darah ekstra di saat kekurangan volume darah. Sinusoid hati merupakan depot darah yang mengalir kembali dari vena cava (gagal jantung kanan). kerja fagositik sel Kupffer membuang bakteri dan debris dari darah.



C. EPIDEMIOLOGI Di negara – negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene /sanitasi yang kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8 – 15 per 100.000 kasus AHP yang memerlukan perawatan di RS, dan dari beberapa kepustakaan Barat, didapatkan 20



prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29 – 1,47% sedangkan prevalensi di RS antara 0,008 – 0,016%. AHP lebih sering terjadi pada pria dibandingkan perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih dari 40 tahun, dengan insidensi puncak pada dekade ke – 6. (1) Abses hati piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal setelah otopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG, CT Scan dan MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi otopsi berkisar antara 0,29-1,47 % sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000 penderita. (2) Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens amubiasis hati di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 % sedangkan di berbagai rumah sakit di Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun. Penelitian di Indonesia menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar 3:1 sampai 22:1, yang tersering pada dekade keempat. Penularan umumnya melalui jalur oralfekal dan dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan yang menderita amubiasis hati adalah pria dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih sering dari wanita. Usia yang sering dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama dewasa muda dan lebih jarang pada anak. Infeksi E.histolytica memiliki prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal dan tropikal dengan kondisi yang padat penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk. (2)



D. ETIOLOGI D.1 Abses Hati Amebik Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai parasit non-patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba histolytica yang dapat menyebabkan penyakit. Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi Entamoeba histolytica yang memberikan gejala amebiasis invasif, sehingga diduga ada 2 jenis Entamoeba histolytica yaitu strain patogen dan non-



21



patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain Entamoeba histolytica ini berbeda berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi pada hati. (2)



Amuba bentuk trofozoit dengan pseupoda ukuran besar



Entamoeba histolytica adalah protozoa usus kelas Rhizopoda yang mengadakan pergerakan menggunakan pseupodia/kaki semu. Terdapat 3 bentuk parasit, yaitu tropozoit yang aktif bergerak dan bersifat invasif, mampu memasuki organ dan jaringan, bentuk kista yang tidak aktif bergerak dan bentuk prakista yang merupakan bentuk antara kedua stadium tersebut. Tropozoit adalah bentuk motil yang biasanya hidup komensal di dalam usus. Dapat bermultiplikasi dengan cara membelah diri menjadi 2 atau menjadi kista. Tumbuh dalam keadaan anaerob dan hanya perlu bakteri atau jaringan untuk kebutuhan zat gizinya. Tropozoit ini tidak penting untuk penularan karena dapat mati terpajan hidroklorida atau enzim pencernaan. Jika terjadi diare, tropozoit dengan ukuran 10-20 um yang berpseudopodia keluar, sampai yang ukuran 50 um.Tropozoit besar sangat aktif bergerak, mampu memangsa eritrosit, mengandung protease yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan destruksi jaringan. Bentuk tropozoit ini akan



22



mati dalam suasana kering atau asam. Bila tidak diare/disentri tropozoit akan membentuk kista sebelum keluar ke tinja. (2,6) Kista akan berinti 4 setelah melakukan 2 kali pembelahan dan berperan dalam penularan karena tahan terhadap perubahan lingkungan, tahan asam lambung dan enzim pencernaan. Kista infektif mempunyai 4 inti merupakan bentuk yang dapat ditularkan dari penderita atau karier ke manusia lainnya. Kista berbentuk bulat dengan diameter 8-20 um, dinding kaku. Pembentukan kista ini dipercepat dengan berkurangnya bahan makanan atau perubahan osmolaritas media. (2,6)



D.2 Abses Hati Piogenik Etiologi



AHP



adalah



enterobacteriaceae,



microaerophilic



streptococci, anaerobic streptococci, klebsiella pneumoniae, bacteriodes, fusobacterium, staphylococcus aureus, staphylococcus milleri, candida albicans, aspergillus, actinomyces, eikenella corrodens, yersinia enterolitica, salmonella typhi, brucella melitensis, dan fungal. Organisme penyebab yang paling sering ditemukan adalah E.Coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus vulgaris, Enterobacter aerogenes dan spesies dari bakteri anaerob ( contohnya Streptococcus Milleri ). Staphylococcus aureus biasanya organisme penyebab pada pasien yang juga memiliki penyakit granuloma yang kronik. Organisme yang



jarang



ditemukan



sebagai



penyebabnya



adalah



Salmonella,



Haemophillus, dan Yersinia. Kebanyakan abses hati piogenik adalah infeksi sekunder di dalam abdomen. Bakteri dapat mengivasi hati melalui : 1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal atau bisa menyebabkan fileplebitis porta 2. Arteri hepatika sehingga terjadi bakteremia sistemik 3. Komplikasi infeksi intra abdominal seperti divertikulitis, peritonitis, dan infeksi post operasi



23



4. Komplikasi dari sistem biliaris, langsung dari kantong empedu atau saluran-saluran empedu. Obstruksi bilier ekstrahepatik menyebabkan kolangitis.



Penyebab



lainnya



biasanya



berhubungan



dengan



choledocholithiasis, tumor jinak dan ganas atau pascaoperasi striktur. 5. Trauma tusuk atau tumpul. Selain itu embolisasi transarterial dan cryoablation massa hati sekarang diakui sebagai etiologi baru abses piogenik. 6. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada orang lanjut usia. Namun insiden meningkat pada pasien dengan diabetes atau kanker metastatik. (1,2,7)



E. PATOGENESIS E.1 Abses Hepar Amebik Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista, baik melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi langsung pada orang dengan higiene yang buruk. Kasus yang jarang terjadi adalah penularan melalui seks oral ataupun anal. (7) E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang menyebabkan penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat ditemukan pada lumen usus. Bentuk kista tahan terhadap asam lambung namun dindingnya akan diurai oleh tripsin dalam usus halus. Kemudian kista pecah dan melepaskan trofozoit yang kemudian menginvasi lapisan mukosa usus. Amuba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim cysteine protease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan menyebar keseluruh organ secara hematogen dan perkontinuinatum. Amoeba yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah melalui vena porta ke hati. Di hati E.hystolitica mensekresi enzim proteolitik yang melisis jaringan hati, dan membentuk abses. Di hati terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal



24



yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu, dan granuloma diganti dengan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa. Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% 90%) karena lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik. Dinding abses bervariasi tebalnya,bergantung pada lamanya penyakit. Secara klasik, cairan abses menyerupai ”achovy paste” dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta sel darah merah yang dicerna. (2,8) E.2 Abses Hepar Piogenik Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu studi di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral. Abses hati dapat berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat terjadi dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum. Hati menerima darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid hati akan menghindari terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Bakteri piogenik dapat memperoleh akses ke hati dengan ekstensi langsung dari organ-organ yang berdekatan atau melalui vena portal atau arteri hepatika. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabangcabang dari vena portal dan limfatik sehingga akan terbentuk formasi abses fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan menyebar secara hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati sehingga terjadi AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan nekrosis hati, perdarahan intrahepatik dan terjadinya kebocoran saluran empedu sehingga terjadi 25



kerusakan dari kanalikuli. Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan terjadi pembentukan pus. Lobus kanan hati lebih sering terjadi AHP dibanding lobus kiri, kal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik. (1)



F. GAMBARAN KLINIS F.1 Abses Hepar Amebik (2,6) Gejala : a. Demam internitten ( 38-40 oC) b. Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat menjalar hingga bahu kanan dan daerah skapula c. Anoreksia d. Nausea e. Vomitus f. Keringat malam g. Berat badan menurun h. Batuk i. Pembengkakan perut kanan atas j. Buang air besar berdarah k. Kadang ditemukan riwayat diare l. Kadang terjadi cegukan (hiccup) Kelainan fisis : a. Ikterus, namun jarang terjadi b. Temperatur naik c. Malnutrisi d. Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai komplikasi 26



e. Nyeri perut kanan atas f. Fluktuasi F.2 Abses hati piogenik (1,2) Gambaran klinis abses hati piogenik menunjukkan manifestasi sistemik yang lebih berat dari abses hati amuba. Keluhan : a. Demam yang sifatnya dapat remitten, intermitten atau kontinyu yang disertai menggigil b. Nyeri spontan perut kanan atas ditandai dengan jalan membungkuk ke depan dan kedua tangan diletakkan di atasnya. c. Mual dan muntah d. Berkeringat malam e. Malaise dan kelelahan f. Berat badan menurun g. Berkurangnya nafsu makan h. Anoreksia Pemeriksaan fisis : a. Hepatomegali b. Nyeri tekan perut kanan c. Ikterus d. Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura e. Buang air besar berwarna seperti kapur f. Buang air kecil berwarna gelap g. Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik



27



G. DIAGNOSIS G.1 Abses hati amebik (2,6) Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan trofozoit amuba.



Diagnosis



abses



hati



amebik



di



daerah



endemik



dapat



dipertimbangkan jika terdapat demam, nyeri perut kanan atas, hepatomegali yang juga ada nyeri tekan. Disamping itu bila didapatkan leukositosis, fosfatase alkali meninggi disertai letak diafragma yang tinggi dan perlu dipastikan dengan pemeriksaan USG juga dibantu oleh tes serologi. Untuk diagnosis abses hati amebik juga dapat menggunakan kriteria Sherlock (1969), kriteria Ramachandran (1973), atau kriteria Lamont dan Pooler. a. Kriteria Sherlock (1969) 1. Hepatomegali yang nyeri tekan 2. Respon baik terhadap obat amebisid 3. Leukositosis 4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang. 5. Aspirasi pus 6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati 7. Tes hemaglutinasi positif b. Kriteria Ramachandran (1973) Bila didapatkan 3 atau lebih dari: 1. Hepatomegali yang nyeri 2. Riwayat disentri 3. Leukositosis 4. Kelainan radiologis 5. Respons terhadap terapi amebisid



28



c. Kriteria Lamont Dan Pooler Bila didapatkan 3 atau lebih dari: 1. Hepatomegali yang nyeri 2. Kelainan hematologis 3. Kelainan radiologis 4. Pus amebik 5. Tes serologi positif 6. Kelainan sidikan hati 7. Respons terhadap terapi amebisid G.2 Abses hati piogenik Menegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP kadang-kadang sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik. Diagnosis dapat ditegakkan bukan hanya dengan CT-Scan saja, meskipun pada akhirnya dengan CT-Scan mempunyai nilai prediksi yang tinggi untuk diagnosis AHP, demikian juga dengan tes serologi yang dilakukan. Tes serologi yang negatif menyingkirkan diagnosis AHA, meskipun terdapat pada sedikit kasus, tes ini menjadi positif beberapa hari kemudian. Diagnosis berdasarkan penyebab adalah dengan menemukan bakteri penyebab pada pemeriksaan kultur hasil aspirasi, ini merupakan standar emas untuk diagnosis. (1)



H. PEMERIKSAAN PENUNJANG H.1 Pemeriksaan Laboratorium Pada pasien abses hati amebik, pemeriksaan hematologi didapatkan hemoglobin 10,4-11,3 g% sedangkan lekosit 15.000-16.000/mL3 . pada pemeriksaan faal hati didapatkan albumin 2,76-3,05 g%, globulin 3,62-3,75 g%, total bilirubin 0,9-2,44 mg%, fosfatase alkali 270,4-382,0 u/L, SGOT 27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,7-63,0 u/L. Jadi kelainan yang didapatkan pada 29



amubiasis hati adalah anemia ringan sampai sedang, leukositosis berkisar 15.000/mL3. Sedangkan kelainan faal hati didapatkan ringan sampai sedang. Uji serologi dan uji kulit yang positif menunjukkan adanya Ag atau Ab yang spesifik terhadap parasit ini, kecuali pada awal infeksi. Ada beberapa uji yang banyak



digunakan



antara



lain



hemaglutination



(IHA),



countermunoelectrophoresis (CIE), dan ELISA. Real Time PCR cocok untuk mendeteksi E.histolityca pada feses dan pus penderita abses hepar. (2,6) Pada pasien abses hati piogenik, mungkin didapatkan leukositosis dengan pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah, gangguan fungsi hati seperti peninggian bilirubin, alkalin fosfatase, peningkatan enzim transaminase, serum bilirubin, berkurangnya konsentrasi albumin serum dan waktu protrombin yang memanjang menunjukkan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati. Kultur darah yang memperlihatkan bakterial penyebab menjadi standar emas untuk menegakkan diagnosis secara mikrobiologik. Pemeriksaan biakan pada permulaan penyakit sering tidak ditemukan kuman. Kuman yang sering ditemukan adalah kuman gram negatif seperti Proteus vulgaris, Aerobacter aerogenes atau Pseudomonas aeruginosa, sedangkan kuman anaerib



Microaerofilic



sp,



Streptococci



sp,



Bacteroides



sp,



atau



Fusobacterium sp. (1,2) H.2 Pemeriksaan Radiologi Pada pasien abses hati amebik, foto thoraks menunjukkan peninggian kubah diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan diafragma efusi pleura kolaps paru dan abses paru. Kelainan pada foto polos abdomen tidak begitu banyak. Mungkin berupa gambaran ileus, hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas hati. Jarang didapatkan air fluid level yang jelas, USG untuk mendeteksi amubiasis hati, USG sama efektifnya dengan CT atau MRI. Gambaran USG pada amubiasis hati adalah bentuk bulat atau oval tidak ada gema dinding yang berarti ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal bersentuhan dengan kapsul hati dan peninggian sonic distal. Gambaran CT 30



scan : 85 % berupa massa soliter relatif besar, monolokular, prakontras tampak sebagai massa hipodens berbatas suram. Densitas cairan abses berkisar 10-20 H.U. Pasca kontras tampak penyengatan pada dinding abses yang tebal. Septa terlihat pada 30 % kasus. Penyengatan dinding terlihat baik pada fase porta. (2)



Gambaran CT Scan pada abses hati amebic(8)



Pada pasien abses hati piogenik, foto polos abdomen kadang-kadang didapatkan kelainan yang tidak spesifik seperti peninggian diafragma kanan, efusi pleura, atelektasis basal paru, empiema, atau abses paru. Pada foto thoraks PA, sudut kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral sudut kostofrenikus anterior tertutup. Secara angiografik abses merupakan daerah avaskuler. Kadang-kadang didapatkan gas atau cairan pada subdiafragma kanan. Pemeriksaan USG, radionuclide scanning, CT scan dan MRI mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. CT scan dan MRI dapat menetapkan lokasi abses lebih akurat terutama untuk drainase perkutan atau tindakan bedah. Gambaran CT scan : apabila mikroabses berupa lesi hipodens kecilkecil < 5 mm sukar dibedakan dari mikroabses jamur, rim enhancement pada mikroabses sukar dinilai karena lesi terlalu kecil. Apabila mikroabses > 10 mm atau membentuk kluster sehingga tampak massa agak besar maka prakontras kluster piogenik abses tampak sebagai masa low density berbatas suram. Pasca kontras fase arterial tampak gambaran khas berupa masa dengan



31



rim enhancement dimana hanya kapsul abses yang tebal yang menyengat. Bagian tengah abses terlihat hipodens dengan banyak septa-septa halus yang juga menyengat, sehingga membentuk gambaran menyerupai jala. Fase porta penyengatan dinding kapsul abses akan semakin menonjol dan sekitar dinding abses tampak area yang hipodens sebagai reaksi edema di sekitar abses. Sebagian kecil piogenik bersifat monokuler, tidak bersepta, dan menyerupai abses amoebiasis. Pembentukan gas di dalam abses biasanya pada infeksi oleh kuman Klebsiella. (1,2,)



Gambaran CT Scan dengan multifokal abses hati piogenik pada segmen IV. Abses lainnya terdapat pada segmen VII dan VIII.(8)



Karateristik abses pada pemeriksaan MRI adalah lesi dengan penyengatan kontras yang berbentuk cincin dan bagian sentral yang tidak tampak penyengatan. Cincin penyengatan tetap terlihat pada fase tunda. (2) Sangat sukar dibedakan gambaran USG antara abses piogenik dan amebik. Biasanya sangat besar, kadang-kadang multilokular. Struktur eko rendah sampai cairan ( anekoik ) dengan adanya bercak-bercak hiperekoik (debris) di dalamnya. Tepinya tegas, ireguler yang makin lama makin bertambah tebal. (9)



32



I. PENATALAKSANAAN I.1 Abses hati amebik (1,2,8,10) 1. Medikamentosa Abses



hati



amoeba



tanpa



komplikasi



lain



dapat



menunjukkan



penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba. Pengobatan yang dianjurkan adalah: a. Metronidazole Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk amubiasis intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping yang paling sering adalah sakit kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap logam. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amoeba adalah 3 x 750 mg per hari selama 5 – 10 hari. Sedangkan untuk anak ialah 35-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Derivat nitroimidazole lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800 mg perhari selama 5 hari, untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal selama 3-5 hari. b. Dehydroemetine (DHE) Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang direkomendasikan untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari atau 1-1,5 mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10 hari. DHE relatif lebih aman karena ekskresinya lebih cepat dan kadarnya pada otot jantung lebih rendah. Sebaiknya tidak digunakan pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal, dan anak-anak



c. Chloroquin Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis ekstraintestinal ialah 2x300 mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150 mg/hari selama 2 atau 3 minggu. Dosis untuk anak ialah 10 mg/kgBB/hari



33



dalam 2 dosis terbagi selama 3 minggu. Dosis yang dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan diikuti 500 mg/hari selama 20 hari. 2. Aspirasi Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di atas tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada ancaman ruptur atau bila terapi dcngan metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi. Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG. 3. Drainase Perkutan Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi campuran, letak abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda perforasi dan abses pada lobus kiri hati. Selain itu, drainase perkutan berguna juga pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan perikardial. 4. Drainase Bedah Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil mcmbaik dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis susah dicapai dengan aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah diindikasikan juga untuk perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses. Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila usaha dekompresi perkutan tidak berhasil Laparoskopi juga dikedepankan untuk kemungkinannya dalam mengevaluasi tcrjadinya ruptur abses amuba intraperitoneal.



34



I.2 Abses hati piogenik (1,2)  Pencegahan Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses hati piogenik yaitu dengan cara: a. Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu ataupun tumor dengan rute transhepatik



atau dengan



melakukan endoskopi b. Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal  Terapi definitif Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang adekuat dan menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari saluran cerna. Pemberian antibiotika secara intravena sampai 3 gr/hari selama 3 minggu diikuti pemberian oral selama 1-2 bulan. Antibiotik ini yang diberikan terdiri dari: a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan beberapa jenis bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya sefalosporin



generasi



ketiga



seperti



cefoperazone



1-2



gr/12jam/IV b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk bakteri anaerob terutama B. fragilis. Dosis metronidazole 500 mg/6 jam/IV c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten. d. Ampicilin-sulbaktam



atau



kombinasi



klindamisin-



metronidazole, aminoglikosida dan siklosporin.  Drainase abses Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase terbuka terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan konservatif. Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan



35



drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan abdomen ultrasound atau tomografi komputer.  Drainase bedah Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi perkutan, drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen yang memerlukan manajemen operasi.



J. KOMPLIKASI J.1 Abses Hepar Amoeba Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6 %. Ruptur dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit. Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau drainase. Infeksi pleuropneumonal adalah komplikasi yang paling umum terjadi. Mekanisme infeksi termasuk pengembangan efusi serosa simpatik, pecahnya abses hati ke dalam rongga dada yang dapat menyebabkan empiema, serta penyebaran hematogen sehingga terjadi infeksi parenkim. Fistula hepatobronkial dapat menyebabkan batuk produktif dengan bahan nekrotik mengandung amoeba. Fistula bronkopleural mungkin jarang terjadi. Komplikasi pada jantung biasanya dikaitkan pecahnya abses pada lobus kiri hati dimana ini dapat menimbulkan kematian. Pecah atau rupturnya abses dapat ke organ-organ peritonium dan mediastinum. Kasus pseudoaneurysm arteri hepatika telah dilaporkan terjadi sebagai komplikasi. (8)



J.2 Abses Hepar Piogenik Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat seperti septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati disertai peritonitis generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan pleuropulmonal, gagal hati, perdarahan ke dalam rongga abses, hemofilia, empiema, fistula hepatobronkial, ruptur ke dalam perikard atau retroperineum. Sesudah 36



mendapatkan terapi, sering terjadi diatesis hemoragik, infeksi luka, abses rekuren, perdarahan sekunder dan terjadi rekurensi atau reaktifasi abses. (1)



K. PROGNOSIS Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin, metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas memadai sekitar 2% dan pada fasilitas yang kurang memadai mortalitasnya 10%. Pada kasus yang membutuhkan tindakan operasi mortalitas sekitar 12%. Jika ada peritonitis amuba, mortalitas dapat mencapai 40-50%. Kematian yang tinggi ini disebabkan keadaan umum yang jelek, malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab kematian biasanya sepsis atau sindrom hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit ini juga dipengaruhi oleh virulensi penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak serta jumlah abses dan terdapatnya komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5% pasien dengan infeksi ektraintestinal, serta infeksi peritonial dan perikardium. (2) Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang akurat dengan ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur anaerob, pemberian antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase secara bedah. Faktor utama yang menentukan mortalitas antara lain umur, jumlah abses, adanya komplikasi serta bakterimia polimikrobial dan gangguan fungsi hati seperti ikterus atau hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir mortalitas terjadi pada keadaan sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur abses ke rongga peritonium, ke pleura atau ke paru, kegagalan hati, hemobilia, dan perdarahan dalam abses hati. Penyakit penyerta yang menyebabkan mortalitas tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan sirosis hati. Mortalitas abses hati piogenik yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial penyebab dan dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila: terjadi umur di atas 70 tahun, abses multipel, infeksi polimikroba, adanya hubungan dengan keganasan atau penyakit immunosupresif, terjadinya sepsis, keterlambatan diagnosis dan pengobatan, tidak 37



dilakukan drainase terhadap abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit lain. (1,2)



L. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS (11) Differential Diagnosis Hepatoma



Manifestasi Klinis Merupakan tumor ganas hati primer. Anamnesis: penurunan berat badan, nyeri perut kanan atas, anoreksia, malaise, benjolan perut kanan atas. Pemeriksaaan fisik : hepatomegali berbenjol-benjol, stigmata penyakit hati kronik. Laboratorium : peningkatan AFP, PIVKA II, alkali fosatase USG : lesi lokal/ difus di hati



Kolesistitis akut



Merupakan reaksi inflamasi kandung empedu akibat infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan panas badan. Anamnesis : nyeri epigastrium atau perut kanan atas yang dapat menjalar ke daerah scapula kanan, demam. Pemeriksaan fisik : teraba massa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda-tanda peritoitis lokal, Murphy sign (+), ikterik biasanya menunjukkan adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik. Laboratorium: leukositosis USG : penebalan dining kandung empedu, sering ditemukan pula sludge atau batu.



38



DAFTAR PUSTAKA



1. Wenas,Nelly Tendean. Waleleng,B.J. Abses hati piogenik. Dalam : Sudoyo, Aru W. Setiyohadi,Bambang. Alwi,Idrus. Simadibrata,Marcellus. Setiati,Siti. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Hal 460-461. 2. Sofwanhadi, Rio. Widjaja, Patricia. Koan, Tan Siaw. Julius. Zubir, Nasrul. Anatomi hati. Gambar tomografi dikomputerisasi (CT SCAN). Magnetic resonance imaging (MRI) hati. Abses hati. Penyakit hati parasit. Dalam : Sulaiman, Ali. Akbar, Nurul. Lesmana, Laurentius A. Noer, Sjaifoellah M. Buku ajar ilmu penyakit hati edisi pertama. Jakarta : Jayabadi. 2007. Hal 1, 80-83, 93-94, 487-491, 513-514. 3. Lindseth, Glenda N. Gangguan hati, kandung empedu, dan pankreas. Dalam : Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit vol.1 edisi 6. Jakarta : EGC. 2006. Hal 472-476. 4. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Hati sebagai suatu organ. Dalam : Buku ajar fisiologi kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC. 2008. Hal 902-906. 5. Sherwood, Lauralee. Sistem pencernaan. Dalam : Fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta : EGC. 2001. Hal 565. 6. Soedarto. Penyakit protozoa. Dalam : Sinopsis kedokteran tropis. Surabaya : Airlangga University Press. 2007. Hal 23-24, 27-29. 7. Crawford, James M. Hati dan saluran empedu. Dalam : Kumar. Cotran. Robbins. Robbins buku ajar patologi vol.2 edisi 7. Jakarta : EGC. 2007. Hal 684. 8.



Fauci. et all. Infectious disease. In : Harrison’s principles of internal medicine 17th edition. USA. 2008. Chapter 202. 39



9. Iljas, Mohammad. Ultrasonografi hati. Dalam : Rasad, Sjahriar. Radiologi diagnostik edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal 469. 10. Syarif, Amir. Elysabeth. Amubisid. Dalam : Gunawan, Sulistia Gan. Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit UI. 2008. Hal 551-554. 11. Rani, Aziz. Soegondo, Sidartawan. Nasir, Anna Uyainah. Wijaya, Ika Prasetya. Nafrialdi. Mansjoer, Arif. Abses hati. Kolesistitis akut. Dalam : Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Hal 321324.



40