Laporan Kasus EDH [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Epidural Hematoma



Oleh: Steven Hartanto Kurniawan 112019106



Pembimbing : dr. Fadhil, Sp. BS



Fakultas Kedokteran Universitas Kristen KridaWacana Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk – Jakarta Barat Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Daerah TARAKAN, Jakarta Periode 06 Januari 2020 s/d 14 Maret 2020



1



BAB I PENDAHULUAN Cedera kepala tertutup



(Closed Head Injury) mempunyai insidensi yang



masih sangat tinggi, di Amerika pada tahun 2003 didapatkan 570.000 kasus cedera kepala per tahun dan merupakan 40% dari seluruh kematian akibat cedera akut. Di Eropa 91 dari 100.000 penduduk per tahun dirawat di Rumah Sakit (RS) dengan cedera kepala. Di Spanyol pada tahun 1988 terdapat 313 dari 100.000 penduduk. Di China melalui survey door to door tahun 1983 didapatkan angka 56 per 100.000 penduduk per tahun. Di Negara-negara berkembang berkisar antara 200-300/100.000 populasi per tahun.1,2,3,4 Data dari Traumatic Coma Data Bank (TCDB) didapatkan bahwa kematian akibat cedera kepala lebih kurang 17 per 100.000 orang pada pasien yang tidak dirawat di rumah sakit, dan lebih kurang 6 per 100.000 orang pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Cedera primer otak berupa



Intracranial Space



Occupying Lession yaitu hematoma, baik hematoma epidural (EDH) maupun hematoma subdural sekitar 20-40% 1,2,5,6 Adanya massa intrakranial



menyebabkan terjadinya kenaikan tekanan



intrakranial (TIK).4,7,8 Kenaikan TIK ini dapat mengakibatkan pengurangan suplai darah ke otak yang akan mengakibatkan serangkaian iskemia sehingga akan terjadi kerusakan otak. Monitoring terjadinya iskemia otak sangat diperlukan, sampai saat ini belum ada yang paling tepat, beberapa prosedur monitoring iskemia otak dengan pengukuran TIK dengan menggunakan kateter intraventrikuler selain mahal, tidak praktis juga invasif.9 Saat ini berkembang pengukuran iskemia otak dengan biomarker plasma darah. Pengukuran salah satu



biomarker iskemia otak yang



terakhir ditemukan adalah Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP). GFAP ini telah diuji dan didapatkan kadar yang lebih tinggi dari konsentrasi plasma biomarker yang telah ada yaitu protein S-100β,



pada keadaan otak yang mengalami iskemia.10



.



2



BAB II LAPORAN KASUS 2.1



2.2



Identitas Pasien Nama



: Tn. Atma wijaya



Umur



: 38 tahun



Jenis kelamin



: Laki-laki



Pekerjaan



: Karywan



Alamat



: Rusunawa Tambora, TWR B lnt 12/07



Bangsa



: Indonesia



Anamnesis



2.2.1 Keluhan utama Sakit Kepala 2.2.2 Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang Pasien dibawa ke IGD dengan keluhan Nyeri kepala setelah terpeleset, Nyeri kepala dirasakan sejak 2 jam yang lalu akibat terpeleset ketika sedang jalan keluar dari mesjid.Dia sedang berjalan seusai sholat tiba-tiba terpeleset karena lantai licin ,menurut saksi korban jatuh karena terpeleset dan jatuh di bagian kepala kanan belakang dahulu.Nyeri dirasakan terus menerus, dengan sifat nyeri dirasakan hanya di kepala bagian kanan belakang dan bersifat menekan.Riwayat penurunan kesadaran Tidak ada.Riwayat mual dan muntah tidak ada.Riwayat keluar darah dari telinga kanan ada. 2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu Tidak ada riwayat alergi, sesak, asma batuk, penyakit hipertensi, dyspepsia, DM maupun vertigo.



3



2.2.4 Riwayat Penyakit Dalam Keluarga Tidak ada riwayat alergi, sesak, asma batuk, penyakit hipertensi, dyspepsia, DM maupun vertigo dalam keluarga. 2.3



Pemeriksaan Fisik Keadaan umum



: Tampak sakit sedang



Kesadaran



: Tampak Compos mentis, GCS 15



Tanda vital



: Tekanan darah



Kepala



103/90 mmHg (N=120/80 mmhg)



Nadi



68 x/menit (N=80-100 x/menit)



Respiratory Rate



22 x/menit (N=18-24x/menit)



Suhu



36,4C (N=36,6-37,2C)



: Didapatkan adanya bengkak pada regio parietoocipittal kanan dengan ukuran kira-kira panjang 4 cm dan lebar 1 cm



Mata



: Pupil anisokor/ka 2 mm-ki 2,5 mm, Refleks cahaya (+/+), sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-)



Telinga



: Bentuk normal, deformitas (-), sekret (-)



Hidung



: Bentuk normal, deformitas (-), sekret (-)



Tenggorokan



: Hiperemis (-), pembesaran tonsil (-)



Leher



: Pembesaran KGB (-), tiroid dbn



Thoraks



: Paru Inspeksi



=> Simetris, retraksi (-), sikatriks (-)



Palpasi



=> nyeri tekan (-)



Perkusi



=> Sonor



Auskultasi => vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-) Jantung



4



Inspeksi



=> Ictus cordis tampak di ICS 5 linea midclavicularis sinistra



Palpasi



=> Ictus cordis teraba di ICS 5 linea midclavicularis sinistra, lebar 1 jari



Perkusi



=> batas jantung tidak melebar, batas jantung kanan di ICS 5 linea sternalis sinistra, batas jantung kiri ICS 5 di linea midclavicularis sinistra



Auskultasi => S1 dan S2 normal, iram regular, bising (-) Abdomen



: Inspeksi



=> supel, simetris, tidak ada kelainan kulit



Auskultasi => BU (+) normal



Ekstremitas



Palpasi



=> nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba



Perkusi



=> Timpani (+)



: Superior



=> Edema (-), akral dingin, sianosis (-), jari tabuh (-)



Inferior



=> Edema (-), akral dingin, sianosis (-), jari tabuh (-)



5



2.4



Pemeriksaan Penunjang



2.4.1 Pemeriksaan CT-Scan kepala CT-Scan Kepala



\



Ekspertise : CT-Scan kepala dengan dan tanpa kontras o



Tampak lesi hiperdens bikonveks pada regio parietoocipittal dextra



o



Tampak Subgaleal hematom dibawah kulit region parietoocipittal dextra



o



Midline struktur tidak tampak bergeser ke kontra lateral



o



Grey and white matter diferensiasi baik



o



Sulci dan system ventrikel tidak menyempit



o



Tidak tampak diskontinuitas patologis/fraktur pada tulang tengkorak



6



o



Mastoid air cell dan Sinus Para Nasal jelas



Kesan : Epidural Hematom dan subgaleal dengan volume kira-kira 30 cc di lobus parieto-ocipittal dextra Usul : Lakukan rontgen thorax dan pemeriksaan labor untuk persiapan operasi 2.5



Diagnosa Kerja Hematoma Epidural (EDH) dan subgaleal dengan volume kira-kira 30 cc di



lobus parieto-ocipittal dextra 2.6



Penatalaksanaan Untuk persiapan operasi Craniotomy: 1. Lakukan pemeriksaan Laboratorium seperti Hb, Ht, Leukosit, Trombosit, PT/APTT/TT/INR, Na/K,Cl, KGDad. 2. Lakukan pemeriksaan X foto Thorax. 3. Operasi untuk : a. Mengeluarkan darah yang terperangkap dalam epidural dan menurunkan TIK. b. Posisi head up 40 derajat, ETT bebas, posisi leher netral tdk hiperflexy c. Pertahankan MAP > 60 mmHg d. Monitoring ventilasi dgn pulse oximetri dan AGDA e. Perdarahan : Hindari hemodilusi, hipovolemi, sedia darah 4. Post operasi : a. Infeksi Antibiotik Adekuat b. Nyeri  Analgetik Adekuat



Teknik anestesi : a. Head up 400 b. nj. Midazolam 5 mg



7



c. Inj. Fentanyl 100 ug d. Lidocain 60 mg e. Oksigenasi 8 l/i f. Inj. Propofol 100 mg – Sleep non apnoe g. Inj. Roculax 40 mg – Sleep apnoe h. Intubasi ETT no 5,0 cuff (+) i. SP ka = ki – Fiksasi j. Inhalasi Anestesi Sevofluran 1 %, O2 : Air = 2 L/I : 2 L/i k. Roculax 10 mg/20 menit (maintenance) l. Inj Fentanyl 50 ug/30 – 45 menit (maintenance) Terapi Post op di Pasca Bedah : a. Bed rest , Head up 400 b. O2 nasal canul 2 L/i c. IVFD R Sol15 gtt/menit d. Diet MB e. nj. Fentanyl 200 ug + NaCl 0,9% 50 cc  3 cc /jam via syringe pump f. Inj. Ketorolac 30 mg/8jam (IV) g. Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam (IV) h. Cek Darah Rutin, AGDA, Elektrolit, KGD ad random 2.7



Kesimpulan Epidural hematoma adalah perdarahan akut pada lokasi epidural.



Fraktur



tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara duramater dan tulang di permukaan dalam os temporale. Tanda Diagnostik Klinik Epidural Hematoma : 1. Lucid interval (+) 8



2. Kesadaran makin menurun 3. Late hemiparese kontralateral lesi 4. Pupil anisokor 5. Babinsky (+) kontralateral lesi 6. Fraktur daerah temporal Diagnosis epidural hematoma didasarkan gejala klinis serta pemeriksaan penunjang seperti foto Rontgen kepala dan CT scan kepala. Prognosis epidural hematoma biasanya baik. Mortalitas pasien dengan epidural hematoma yang telah dievakuasi mulai dari 16% - 32%.



9



BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Anatomi Kepala



10



3.1.1



Kulit Kepala Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu : 1. Skin



atau kulit 2. Connective tissue atau jaringan penyambung 3. Aponeuresis atau galea aponeurotika 4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar 5. Perikranium Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal). Kulit kepala banyak memiliki pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak. 3.1.2



Tulang Tengkorak Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria



khususnya di regio temporal sangat tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior, fosa media dan fosa posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media adalah tempat lobus temporalis dan fosa posterior adalah ruang untuk bagian bawah batang otak dan serebelum.



11



3.1.3



Meningen Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan



yaitu : dura mater, arakhnoid, dan pia mater. Dura mater adalah selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari cranium. Karena tidak melekat pada selaput arakhnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural) yang terletak antara dura mater dan arakhnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dapat menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media). Dibawah dura mater terdapat lapisan kedua dari meningen yang tipis dan tembus pandang disebut selaput arakhnoid. Lapisan ketiga adalah pia mater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang subarachnoid.



12



3.1.4



Otak Otak manusia terdiri darii serebrum, serebelum dan batang otak. Serebrum



terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri, yaitu lipatan dura mater dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia yang bekerja dengan tangan kanan, dan juga pada lebih dari 85% orang kidal. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Pada semua orang yang bekerja dengan tangan kanan dan sebagian besar orang kidal, lobus temporal kiri bertanggung jawab dalam kemampuan penerimaan rangsang dam integrasi bicara. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan.



13



3.1.5



Cairan Serebrospinal Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus (terletak di



atap ventrikel) dengan kecepatan produksi sebanyak 20ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III akuaduktus dari Sylvius menuju ventrikel IV. Selanjutnya CSS keluar dari sistim ventrikel dan masuk ke dalam ruang subarachnoid yang berada diseluruh permukaan otak dan medulaa spinalis. CSS akan di reabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat



14



pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial (hidrosefalus komunikans pasca trauma)



3.1.6



Tentorium Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial



(terdiri dari fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior). Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri dengan baatang otak (pons dan medulla oblongata) dan berjalan melalui celah lebar tentorium serebeli yang disebut incisura tentorial. Nervus okulomotorius (Nervus III) berjalan di sepanjang tepi tentorium, dan saraf ini dapat tertekan bila terjadi herniasi lobus temporal, umumnya di akibatkan oleh adanya massa supratentorial atau edema otak.



15



Serabut-serabut parasimpatik yang berfungsi melakukan konstriksi pupil mata berjalan pada sepanjang permukaan nervus okulomotorius. Paralisis serabut-serabut ini yang disebabkan oleh penekanan nervus III akan mengakibatkan dilatasi pupil oleh karena tidak adanya hambatan aktivitas serabut simpatik.



3.2 Fisiologi 3.2.1



Tekanan Intrakranial Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat menyebabkan kenaikan tekanan intracranial (TIK). Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan



16



menyebabkan atau memperberat iskemia. TIK normal pada keadaan istirahat sebesar 10 mmhg. TIK lebih tinggi dari 20 mmhg, terutama bila menetap, berhubungan langsung dengan hasil akhir yang buruk. 3.2.2



Doktrin Monro-Kellie Adalah suatu konsep sederhana yang dapat menerangkan pengertian dinamika



TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intracranial harus selalu konstan. Hal ini jelas karena rongga cranium pada dasarnya merupakan rongga yang rigid, tidak mungkin mekar. Segera setelah trauma, massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam batas normal. Saat pengaliran CSS dan darah intravascular mencapai titik dekompensasi, TIK secara cepat akan meningkat.



3.2.3



Aliran Darah ke Otak (ADO) ADO normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gr per



menit. Pada anak, ADO bias lebih besar bergantung pada usianya. Pada usia 1 tahun ADO hamper sebesar dewasa, tapi pada usia 5 tahun ADO bisa mencapai 90 17



ml/100gr/menit, dan secara gradual akan menurun sebesar ADO dewasa saat mencapai pertengahan sampai akhir masa remaja. Cedera otak berat sampai koma dapat menurunkan 50% dari ADO dalam 6-12 jam pertama sejak trauma. ADO biasanya akan meningkat dalam 2-3 hari sebelumnya, tetapi pada penderita yang tetap koma, ADO tetap dibawah normal sampai beberapa hari atau minggu setelah trauma. Terdapat bukti bahwa ADO yang rendah tidak dapat mencukupi kebutuhan metabolisme otak segera setelah trauma, sehingga akan mengakibatkan iskemi otak fokal ataupun menyeluruh. Pembuluh darah prekapiler normal memiliki kemampuan untuk berkonstriksi ataupun dilatasi sebagai respon terhadap perfusi otak/TPO (CPP= Cerebral perfusion pressure), yang secara klinis didefinisikan sebagai tekanan darah arteri rata-rata dikurangi tekanan intracranial. CPP sebesar 50-150 mmHg diperlukan untuk memelihara aliran darah otak tetap konstan (autoregulasi tekanan). Konsekuensinya, otak yang cedera akan mengalami iskemia dan infark sehubungan dengan penurunan ADO sebagai akibat cedera itu sendiri. Keadaan iskemi awal tersebut akan dengan mudah diperberat oleh adanya hipotensi, hipoksia, dan hipokapnia sebagai akibat hiperventilasi agresif yang kita lakukan. Oleh karena itu, semua tindakan ditujukan untuk meningkatkan aliran darah dan perfusi otak dengan cara menurunkan TIK, memelihara kecukupan volume intrakranial, mempertahankan tekanan darah arteri rata-rata (MAP= Mean Arterial Blood Pressure) dan memperbaiki oksigenasi serta mengusahakan normokapnia.



Perdarahan dan lesi lain yang meningkatkan volume intrakranial harus segera dievakuasi. Mempertahankan tekanan perfusi otak diatas 60 mmHg sangat membantu untuk memperbaiki ADO (namun tekanan yang sangat tinggi dapat memperburuk keadaan paru-paru). Sekali mekanisme kompensasi terlewati dan terdapat peningkatan eksponensial TIK, maka perfusi otak akan terganggu, terutama 18



pada pasien yang mengalami hipotensi. Akhirnya akan



berkontribusi



pada



terjadinya cedera sekunder yang dapat terjadi pada jaringan otak yang masih bertahan pada beberapa hari pertama setelah cedera otak berat. Proses patofisiologi tersebut ditandai oleh proses inflamasi progresif, permeabilitas pembuluh darah, dan pembengkakan jaringan otak, dan kemudian peningkatan TIK yang menetap dan mengakibatkan kematian. 3.3 Definisi Epidural Hematoma (EDH) Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi olek tulang tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai pembungkus yang di sebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinussinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika seorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan sebutan epidural hematom. Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat emergency dan biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi pada middle meningeal artery yang terletak di bawah tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural, bila terjadi perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi. 3.4 Insiden dan Epidemiologi



19



Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan hematoma epidural dan sekitar 10%



mengakibatkan koma. Secara Internasional frekuensi



kejadian hematoma epidural hampir sama dengan angka kejadian di Amerika Serikat. Orang yang beresiko mengalami EDH adalah orang tua yang memiliki masalah berjalan dan sering jatuh. Sekitar 60 % penderita hematoma epidural adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada umur kurang dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Angka kematian meningkat pada pasien yang berusia kurang dari 5 tahun dan lebih dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 4:1. Tipe- tipe : 1. Epidural hematoma akut (58%) perdarahan dari arteri 2. Subacute hematoma (31%) 3. Chronic hematoma (11%) perdarahan dari vena 3.5 Etiologi Hematoma Epidural (EDH) Kebanyakan hematoma epidural ini disebabkan oleh adanya fraktur tulang kepala yang dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara duramater dan tulang di permukaan dalam os temporal.



3.6 Patofisiologi EDH Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan dura meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang 20



tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital. Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar.8 Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.1 Tekanan dari herniasi unkus pda sirkulasi arteria yang mengurus formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski positif.1 Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.1 Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di sebut interval lucid.



21



Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hamper selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.8 Sumber perdarahan :8  Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )  Sinus duramatis  Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan vena diploica



Hematom epidural akibat perdarahan arteri meningea media,terletak antara duramater dan lamina interna tulang pelipis.8 Os Temporale (1), Hematom Epidural (2), Duramater (3), Otak terdorong kesisi lain (4)



Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah saraf karena progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada sutura sehingga langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah herniasi trans dan infra tentorial. Karena itu setiap penderita dengan trauma kepala yang mengeluh



22



nyeri kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif memberat, harus segera di rawat dan diperiksa dengan teliti.8,10 3.7 Gambaran Klinis Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti.3 Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala. Gejala yang sering tampak : 3,8 



Penurunan kesadaran, bisa sampai koma







Bingung







Penglihatan kabur







Susah bicara







Nyeri kepala yang hebat







Keluar cairan darah dari hidung atau telinga







Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.







Mual







Pusing







Berkeringat







Pucat







Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.



Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada 23



tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.8,11 Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal batang otak. Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.8,11 3.8 Pemeriksaan Penunjang a. Foto polos Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria meningea media.10



Fraktur impresi dan linier pada tulang parietal, frontal dan temporal. 7



b. CT Scan Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk



24



bikonfeks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang akut (60 – 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah.6,8



Gambar 1. Gambaran CT-Scan Hematoma Epidural di Lobus Fronal kanan. 9



Gambar 2. Gambaran CT-Scan fraktur tulang frontal kanan di anterior sutura coronalis. 9



c. MRI MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga



25



dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.9,10



Gambar 3. Gambaran MRI Hematoma Epidural.4



3.9 Diagnosa Banding a. Hematoma subdural Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara dura mater dan arachnoid. Secara klinis hematoma subdural akut sukar dibedakan dengan hematoma epidural yang berkembang lambat. Bisa di sebabkan oleh trauma hebat pada kepala yang menyebabkan bergesernya seluruh parenkim otak mengenai tulang sehingga merusak a. kortikalis. Biasanya di sertai dengan perdarahan jaringan otak. Gambaran CT-Scan hematoma subdural, tampak penumpukan cairan ekstraaksial yang hiperdens berbentuk bulan sabit.10



26



Hematoma Subdural Akut 4



b. Hematoma Subarachnoid Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh darah di dalamnya.10



Kepala panah menunjukkan hematoma subarachnoid, panah hitam menunjukkan hematoma subdural dan panah putih menunjukkan pergeseran garis tengah ke kanan. 4



3.10 Penatalaksanaan EDH a. Penanganan darurat : 



Dekompresi dengan trepanasi sederhana







Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom



b. Terapi medikamentosa



27



Elevasi kepala 300 dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada cedera spinal atau gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk mengurang tekanan intracranial dan meningkakan drainase vena.9 Pengobatan yang lazim



diberikan pada cedera kepala adalah golongan



dexametason (dengan dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam), mannitol 20% (dosis 1-3 mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi edema cerebri yang terjadi akan tetapi hal ini masih kontroversi dalam memilih mana yang terbaik. Dianjurkan untuk memberikan terapi profilaksis dengan fenitoin sedini mungkin (24 jam pertama) untuk mencegah timbulnya focus epileptogenic dan untuk penggunaan jangka panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin. Trihidroksimetil-amino-metana (THAM) merupakan suatu buffer yang dapat masuk ke susunan saraf pusat dan secara teoritis lebih superior dari natrium bikarbonat, dalam hal ini untuk mengurangi tekanan intracranial. Barbiturat dapat dipakai unuk mengatasi tekanan inrakranial yang meninggi dan mempunyai efek protektif terhadap otak dari anoksia dan iskemik dosis yang biasa diterapkan adalah diawali dengan 10 mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian dilanjutkan dengan 5 mg/ kgBB setiap 3 jam serta drip 1 mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar serum 3-4mg%.8



c. Terapi Operatif Operasi di lakukan bila terdapat : 8 



Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)







Keadaan pasien memburuk







Pendorongan garis tengah > 3 mm



28



Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi emergenci. Biasanya keadaan emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak ruang.8 Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume : 



> 25 cc  desak ruang supra tentorial







> 10 cc  desak ruang infratentorial







> 5 cc  desak ruang thalamus



Sedangakan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan : 



Penurunan klinis







Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan klinis yang progresif.







Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan klinis yang progresif.



3.11 Prognosis EDH Prognosis tergantung pada :8 



Lokasinya (infratentorial lebih jelek)







Besarnya







Kesadaran saat masuk kamar operasi.



29



Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi.2



30



Daftar Pustaka 1.



Liebeskind David, Lutsep Helmi, Epidural Hematom in Emergency Medicine



www. emedicine.medscape.com/article/824029-overview : 2016 2.



Prawirohardjo P, patofisiologi peningkatan tekanan intrakranial pada cedera



otak traumatik. Dalam buku Neurotrauma. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2015;1-2 3.



Netter, F. H., Craig, J. A., Perkins, J., Hansen, J. T., & Koeppen, B. M. (n.d.).



Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology Special Edition:Arteries to Brains and Meningens, NJ : 2012 4.



Ganz, Jeremy, The lucid interval associated with epidural bleeding: evolving



understanding, page 739–745, United Kingdom: 2013 5.



Shah, M. V, Commentary Conservative Management of Epidural Hematoma:



Is It Safe and Is It Cost-Effective?, page 115–116, Indianapolis: 2011 6.



Abelsen Nadine, Mitchell, Neurotrauma: Managing Patients with Head



Injuries, A John Wiley & Sons, Ltd., Publication, Wichester USA:2013 7.



Lee Kewon, NeuroICU book Neurocritical Care Disease Section : Neurotrauma,



The McGraw-Hill Companies, Inc, USA : 2012



31



8.



Visocchi, M., & Iacopino, D. G, Conservative vs . Surgical Management of Post-



Traumatic Epidural Hematoma : A Case and Review of Literature, 811–817: 2015, http://doi.org/10.12659/AJCR.895231 9.



Bullock, Chesnut, R., & Gordon, D, Surgical Management of Acute Epidural



Hematome : 2006, http://doi.org/10.1227/01.NEU.0000210363.91172.A8 10.



Lo, C., Chen dkk, Spontaneous Spinal Epidural Hematoma : A Case Report and



Review of the Literatures, 21(386), 31–34: 2012 11.



Yi, K., Paeng dkk, Spontaneous Resolution of a Traumatic Lumbar Epidural



Hematoma with Transient Paraparesis, 2(October), 71–73: 2016



32