Laporan Kasus Kelompok [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS KELOMPOK STATUS EPILEPTIKUS EC HIDROCEPHALUS, S.SEPSIS



Pembimbing : dr. Taufiqur Rahman, Sp.A. Disusun Oleh : Fidya Ayu Riyastivani Carla Dora Calista KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2017



KATA PENGANTAR



Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmatNya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus anak yang mengambil topik “ Status Epileptikus ec Hidrochepalus, Suspect Sepsis” Laporan ini disusun dalam rangka menjalani kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan Anak di RS Muhammadiyah Lamongan. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan responsi kasus ini, terutama kepada dr.Taufiqur Rahman, Sp.A selaku dokter pendamping yang telah memberikan bimbingan kepada



saya dalam penyusunan dan



penyempurnaan laporan kasus ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dalam bidang kedokteran khususnya Bagian Ilmu Kesehatan Anak.



Lamongan, Juni 2017



Penyusun



DAFTAR ISI



Kata Pengantar .....................................................................................



2



Daftar Isi...............................................................................................



3



BAB 1. Pendahuluan ............................................................................



4



BAB 2. Laporan Kasus ........................................................................



6



BAB 3. Pembahasan ............................................................................



8



BAB 4. Kesimpulan ............................................................................. 10 Daftar Pustaka ...................................................................................... 11



BAB 1 PENDAHULUAN



Hidrosefalus merupakan suatu kondisi dimana meningkatnya tekanan intrakranial akibat akumulasi cairan serebro spinalis (CSS) pada sistem ventrikel otak karena tidak seimbangnya produksi, aliran, dan penyerapan cairan serebrospinal. Hal ini dapat pula disebabkan oleh gangguan hidrodinamik CSS.



( Espay, 2010 )



Prevalensi hydrocephalus di Indonesia mencapai 10 permil pertahun, sumber lain menyebutkan insiden hidrosefalus di Indonesia berkisar antara 0,2- 4 setiap 1000 kelahiran ( Maliawan, 2008). Insiden hydrosephalus sama pada wanita dan laki-laki, kecuali pada Bickers-Adams syndrome, X-linked hydrocephalus yang bermanifestasi pada laki-laki. Insiden hydrocephalus pda kelompok usia membentuk suatu kurva bimodal dengan dua puncak. Satu puncak terjadi pada anak-anak yang berhubungan dengan malformasi congenital.



Puncak yang lain terjadi pada dewasa yang



berhubungan dengan normal pressure hydrocephalus ( Espay, 2010 ) Hidrosefalus diklasifikasikan menjadi 2 yaitu hidrosefalus obstruktif dan hidrosefalus komunikan. Hidrosefalus obstruktif terjadi ketika terdapat sumbatan aliiran CSS di dalam ventrikel sehingga CSS tidak dapat mencapai rongga sub arachnoid. Sumbatan pada hidrocefalus obstruktif terjadi di foramen ventrikular, biasanya disebabkan oleh massa intra ventrikular atau extra ventrikular. Hidrosefalus komunikan terjadi apabaila masih didapatkan komunikasi antara ventrikel dan sub arachnoid. Hidrosefalus komunikan disebabkan karena produksi berlebihan CSS (



jarang terjadi ), gangguan absorbsi CSS ( sering ), atau insufisiensi drainase vena ( jarang terjadi ) ( Sitorus, 2004 ). Hidrosefalus dapat terjadi sejak lahir ( congenital hydrocephalus ) dan dapat juga terjadi karena didapat di kemudian hari ( acquired hydrocephalus ). Congenital hydrocephalus dapat disebabkan karena malformasi brainstem yang menyebabkan stenosis



aquaduct of Sylvius, Dandy-Walker malformation, Arnold-Chiari



malformation tipe 1 dan tipe 2, Agenesis of the foramen of Monro, Congenital toxoplasmosis, Bickers-Adams syndrome. Acquired hydrocephalus pada bayi dan anak-anak dapat disebabkan karena massa, hemorrhage, infeksi, peningkatan tekanan sinus venous ( achondroplasia, craniostenoses ), iatrogenik, idiopatik. Acquired hydrocephalus pada dewasa dapat disebabkan karena subarachnoid hemorrhage (SAH), idiopatik, tumor, congenital aqueductal stenosis, meningitis ( Espay, 2010 ) Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk melaporkan dan membahas laporan kasus bayi perempuan usia 1 bulan 28 hari dengan “ status epileptikus ec hidrochepalus, suspect sepsis” dengan menitik beratkan terhadap kompetensi dokter umum yaitu pada penegakan diagnois dan penatalaksanaan.



BAB 2 LAPORAN KASUS Bayi F umur 1 bulan 28 hari rujukan dari RS ngimbang dengan diagnosis kejang demam. Bayi datang ke RSML dengan berat aktual 4.5 kg dengan keluhan kejang. Pasien kejang 1 hari saat perawatan di RS ngimbang. Kejang generalisata selama kurang lebih 5 menit, lalu kejang kembali 2 kali berupa kejang parsial selama 5 menit. Saat di RSML pasien kejang di IGD 2 kali parsial selama 3 menit tapi tidak disertai dengan demam. Suhu saat kejang 35.9 C. batuk + kadang – kadang, sesak -, mual -, muntah-, demam + naik turun. Sebelumya pasien berobat ke spesialis anak dengan keluhan demam naik turun selama 10 hari. Pasien dibawa ke speisalis anak dan hasil lab normal. Pasien disarankan rawat jalan. Lalu pasien memutuskan untuk rawat inap dan terjadi kejang saat rawat inap. Riwayat penyakit dahulu pasien tidak pernah mengalami kejang sebelumnya. Riwayat penyakit dalam keluarga tidak ada yang pernah mengalami kejang. Anak lahir di bidan, berat 3700 gr usia kehamilan aterm dan langsung menangis kuat. Riwayat minum ASI eksklusif. Riwayat imunisasi bayi diberikan imunisasi hepatitis B, polio, DPT. Hasil dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak apatis dan kesan gizi cukup. Pada pemeriksaan vital sign didapatkan: nadi 169x/menit, respiratory rate 28x/menit, suhu tubuh 38.30C, dan SpO2 100% dengan oksigen support. Pada pemeriksaan kepala dan leher, didapatkan lingkar kepala 40 (makrocephal), ubu-ubun menonjol, anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dyspneu (-). Reflek cahaya +/+ pupil bulat isokor Ф 3mm/3mm, pembesaran kelenjar KGB (-).



Pada pemeriksaan paru, didapatkan suara nafas yang vesikuler pada kedua lapang paru. Terdapat



rhonki positif kedua lapang paru, wheezing negative. Pada



pemeriksaan jantung tidak didapatkan S1 dan S2 tunggal dan tidak didapatkan murmur dan gallop. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen flat simetris, soepel, liver, lien, dan renal tidak teraba, meteorismus (-), dan bising usus (+) dalam batas normal. Pada pemeriksaan akral teraba hangat, kering, merah. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil darah lengkap leukosit 24.9, Hs CRP 133.20, natrium serum 119, Hb 9.3, IT Ratio 0.18. Hasil foto Ct scan didapatkan kesimpulan brain edema. Hodrocepalus. Hasil dari foto thorax didapatkan kesimpulan pneumonia dan peningkatan gas usus. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan clue, Bayi F, Perempuan 1 bulan 28 hari 4,5 kg dengan keluhan



kejang, demam naik turun 10 hari. KU



lemah.kesadaran apatis. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan lekosit 24.900 uL, Hs CRP 133.20, natrium serum 119, Hb 9.3, IT Ratio 0.18. Hasil foto Ct scan didapatkan kesimpulan brain edema. Hodrocepalus. Hasil dari foto thorax didapatkan kesimpulan pneumonia dan peningkatan gas usus. Dapat ditegakkan diagnosis hidrochepalus suspect sepsis. Planning terapi diberikan O2 nasal 3 lpm, inf D 10 0.18 NS 250cc/3 jam, lanjut Kaen 1B 500cc/24 jam. Inf Nacl 3% 140cc/24 jam. Inj ceftriaxon 2x250 mg, inj santagesik 50 mg prn, ranitidin 2 x 5 mg, inj miloz 0,5 mg iv prn, inj kutoin 2 x 10 mg, transfusi PRC 1 kolf, sanmol drops 4 x 5 cc prn demam. Operasi VP shunt.untuk penatalaksanaan hodrochepalus. Planning monitoring yang dilakukan adalah keadaan umum pasien, tanda-tanda vital (nadi, respiratory rate, suhu tubuh).



BAB 3 PEMBAHASAN Bayi F datang dengan keluhan demam, batuk kadang – kadang, kejang. Pasien datang dengan keluhan tersebut memiliki diagnosis banding diantaranya : 1. Status epileptikus SE adalah kejang yang berlangsung terus-menerus selama periode waktu tertentu atau berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang. Kekurangan definisi menurut ILAE tersebut adalah batasan lama kejang tersebut berlangsung. Oleh sebab itu, sebagian para ahli membuat kesepakatan batasan waktunya adalah selama 30 menit atau lebih. Secara umum, etiologi SE dibagi menjadi: 1. Simtomatis: penyebab diketahui a. Akut: infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan elektrolit, trauma kepala, perdarahan, atau stroke. b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya: ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi, atau kelainan otak kongenital. c. Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan metabolik, otoimun (contohnya vaskulitis) d. Epilepsi 2. Idiopatik/kriptogenik: penyebab tidak dapat diketahui Berikut adalah beberapa kelompok pasien yang berisiko mengalami status epileptikus: 1. Epilepsi



Sekitar 10-20% penderita epilepsi setidaknya akan mengalami satu kali episode status epileptikus dalam perjalanan sakitnya. Selain itu, SE dapat merupakan manifestasi epilepsi pertama kali pada 12% pasien baru epilepsi. 2. Pasien sakit kritis Pasien yang mengalami ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi SSP, penyakit kardiovaskular, penyakit jantung bawaan (terutama post-operatif ), dan ensefalopati hipertensi. 2. Sepsis Sepsis biasa diartikan sebagai gejala sistematik infeksi oleh bakteri, virus, dan jamur. The International Sepsis Definition Conferences (ISDC,2001), sepsis adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses berkelanjutan mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik, disfungsi multiorgan, dan akhirnya kematian. Menurut Buku Pedoman Integrated Management of Childhood Illnesses tahun 2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis Sepsis Neonatorum Berat bila ditemukan satu atau lebih dari gejala-gejala berikut ini:55 • Laju napas > 60 kali per menit • Retraksi dada yang dalam • Cuping hidung kembang kempis • Merintih • Ubun ubun besar membonjol



• Kejang • Keluar pus dari telinga • Kemerahan di sekitar umbilikus yang melebar ke kulit • Suhu >37,7°C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5°C (atau akral teraba dingin) • Letargi atau tidak sadar • Penurunan aktivitas /gerakan • Tidak dapat minum • Tidak dapat melekat pada payudara ibu • Tidak mau menetek Ini sesuai dengan teori bahwa pasien dengan sepsis mengalami hipertermia >38 C, nadi > 160x/menit dan pada pasien ini terdapat peningkatan Hs CRP> 133.20. dan dari pemeriksaan penunjang foto thorak terdapat sumber infeksi dari sepsis yaitu berupa bronkopnrumonia. Dari pemeriksaan CT scan terdapat kesimpulan terdapat hydrocephalus. Hidrosefalus diambil dari bahasa Yunani yaitu Hydro yang berarti air, dan cephalus yang berarti kepala. Secara umum hidrosefalus dapat didefiniskan sebagai suatu gangguan pembentukan, aliran, maupun penyerapan dari cairan serebrospinal sehingga terjadi kelebihan cairan serebrospinal pada susunan saraf pusat, kondisi ini juga dapat diartikan sebagai gangguan hidrodinamik cairan serebrospinal.



Secara teoritis, terdapat tiga penyebab terjadinya hidrosefalus, yaitu: 1. Produksi likuor yang berlebihan. Kondisi ini merupakan penyebab paling jarang dari kasus hidrosefalus, hampir semua keadaan ini disebabkan oleh adanya tumor pleksus koroid (papiloma atau karsinoma), namun ada pula yang terjadi akibat dari hipervitaminosis vitamin A. 2. Gangguan aliran likuor yang merupakan awal kebanyakan kasus hidrosefalus. Kondisi ini merupakan akibat dari obstruksi atau tersumbatnya sirkulasi cairan serebrospinalis yang dapat terjadi di ventrikel maupun vili arakhnoid. Secara umum terdapat tiga penyebab terjadinya keadaan patologis ini, yaitu: a. Malformasi yang menyebabkan penyempitan saluran likuor, misalnya stenosis akuaduktus sylvii dan malformasi Arnold Chiari. b. Lesi massa yang menyebabkan kompresi intrnsik maupun ekstrinsik saluran likuor, misalnya tumor intraventrikel, tumor para ventrikel, kista arakhnoid, dan hematom. c. Proses inflamasi dan gangguan lainnya seperti mukopolisakaridosis, termasuk reaksi ependimal, fibrosis leptomeningeal, dan obliterasi vili arakhnoid. 3. Gangguan penyerapan cairan serebrospinal. Suatu kondisi seperti sindrom vena cava dan trombosis sinus dapat mempengaruhi penyerapan cairan serebrospinal. Kondisi jenis ini termasuk hidrosefalus tekanan normal atau pseudotumor serebri. Dari penjelasan di atas maka hidrosefalus dapat diklasifikasikan dalam beberapa sebutan diagnosis. Hidrosefalus interna menunjukkan adanya dilatasi ventrikel, sedangkan



hidrosefalus



eksterna



menunjukkan



adanya



pelebaran



rongga



subarakhnoid di atas permukaan korteks. Hidrosefalus komunikans adalah keadaan di mana ada hubungan antara sistem ventrikel dengan rongga subarakhnoid otak dan spinal, sedangkan hidrosefalus non-komunikans yaitu suatu keadaan dimana terdapat blok dalam sistem ventrikel atau salurannya ke rongga subarakhnoid. Hidrosefalus obstruktif adalah jenis yang paling banyak ditemui dimana aliran likuor mengalami obstruksi. Terdapat pula beberapa klasifikasi lain yang dilihat berdasarkan waktu onsetnya, yaitu akut (beberapa hari), subakut (meninggi), dan kronis (berbulan-bulan). Terdapat dua pembagian hidrosefalus berdasarkan gejalanya yaitu hidrosefalus simtomatik dan hidrosefalus asimtomatik.



Diagnosis dapat ditegakkan melalui tanda dan gejala klinis. Makrokrania merupakan salah satu tanda dimana ukuran kepala lebih besar dari dua deviasi standar di atas ukuran normal atau persentil 98 dari kelompok usianya. Hal ini disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial dan menyebabkan empat gejala hipertensi intrakranial yaitu fontanel anterior yang sangat tegang (37%), sutura tampak atau teraba melebar, kulit kepala licin, dan sunset phenomenon dimana kedua bola mata berdiaviasi ke atas dan kelopak mata atas tertarik. Pada pasien didapatkan makrochepali dari pemeriksaan fisik. Gejala hipertensi intrakranial lebih menonjol pada anak yang lebih besar daripada bayi, gejala ini mencakup nyeri kepala, muntah, gangguan okulomotor, dan gejala gangguan batang otak (bradikardia, aritmia respirasi). Gejala lainnya yaitu spastisitas pada eksremitas inferior yang berlanjut menjadi gangguan berjalan dan gangguan endokrin. Penatalaksanaan untuk hidrochepalus dapat dilakukan operasi shunt. Sebagian besar pasien memerlukan tindakan ini untuk membuat saluran baru antara aliran likuor (ventrikel atau lumbar) dengan kavitas drainase (seperti peritoneum, atrium kanan, dan pleura). Komplikasi operasi ini dibagi menjadi tiga yaitu infeksi, kegagalan mekanis, dan kegagalan fungsional. Tindakan ini menyebabkan infeksi sebanyak >11% pada anak setelahnya dalam waktu 24 bulan yang dapat merusak intelektual bahkan menyebabkan kematian Metode Endoscopic third ventriculostomy (ETV) semakin sering digunakan di masa sekarang dan merupakan terapi pilihan bagi hidrosefalus obstruktif serta



diindikasikan untuk kasus seperti stenosis akuaduktus, tumor ventrikel 3 posterior, infark serebral, malformasi Dandy Walker, syringomyelia dengan atau tanpa malformasi Arnold Chiari tipe 1, hematoma intraventrikel, myelomeningokel, ensefalokel, tumor fossa posterior dan kraniosinostosis. ETV juga diindikasikan pada kasus block shunt atau slit ventricle syndrome. Kesuksesan ETV menurun pada kondisi hidrosefalus pasca perdarahan dan pasca infeksi. Perencanaan operasi yang baik, pemeriksaan radiologis yang tepat, serta keterampilan dokter bedah dan perawatan pasca operasi yang baik dapat meningkatkan kesuksesan tindakan ini. Pada anak dengan hidrosefalus obstruktif yang memiliki korteks serebral intak, perkembangan yang adekuat dapat dicapai hanya dengan ETV, meskipun pencapaian tersebut lebih lambat. Pada anak dengan perkembangan otak tidak adekuat atau serebrum telah rusak oleh hidrosefalus maka perkembangan yang optimal tidak dapat dicapai hanya dengan terapi ETV meskipun tekanan intrakranial terkontrol. Prognosis pada pasien hidrosefalus, kematian dapat terjadi akibat herniasi tonsilar yang dapat menyebabkan penekanan pada batang otak dan terjadinya henti nafas. Sedangkan ketergantungan pada shunt sebesar 75% dari kasus hidrosefalus yang diterapi dan 50% pada anak dengan hidrosefalus komunikans. Kejang atau status epileptikus pada pasien sesuai teori dapat disebabkan oleh imbalance elektrolit yaitu hiponatremia, dari hydrocephalus yang dia menyebabkan peningkatan



intracranial



sehingga



mendesak



dari



korteks



sehingga



dapat



menyebabkan kejang, dan juga dapat dari sepsis yang menyebar ke organ otak yang dapat menyebabkan anak kejang. Patofisiologi Status epileptikus terjadi akibat kegagalan mekanisme untuk membatasi penyebaran kejang baik karena aktivitas neurotransmiter eksitasi yang berlebihan dan atau aktivitas neurotransmiter inhibisi yang tidak efektif. Neurotransmiter eksitasi utama tersebut adalah neurotran dan asetilkolin, sedangkan neurotransmiter inhibisi adalah gamma-aminobutyric acid (GABA).



Keterangan: Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit. Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan. Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan yang sama Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan kelompok usia; • 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan) • 5 mg (usia 1 – 5 tahun) • 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun) • 10 mg (usia ≥ 10 tahun) Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang. Medazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun disesuaikan dengan kondisi rumah sakit Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan tidak kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan dengan pemberian rumatan bila diperlukan.



Komplikasi primer akibat langsung dari status epileptikus Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron dan memicu reaksi inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik, perubahan reseptor glutamat dan GABA, serta perubahan lingkungan sel neuron lainnya. Perubahan pada sistem jaringan neuron, keseimbangan metabolik, sistem saraf otonom, serta kejang berulang dapat menyebabkan komplikasi sistemik.Proses kontraksi dan relaksasi otot yang terjadi pada SE konvulsif dapat menyebabkan kerusakan otot, demam, rabdomiolisis, bahkan gagal ginjal. Selain itu, keadaan hipoksia akan menyebabkan metabolisme anaerob dan memicu asidosis. Kejang juga menyebabkan perubahan fungsi saraf otonom dan fungsi jantung (hipertensi, hipotensi, gagal jantung, atau aritmia). Metabolisme otak pun terpengaruh; mulanya terjadi hiperglikemia akibat pelepasan katekolamin, namun 30-40 menit kemudian kadar glukosa akan turun. Seiring dengan berlangsungnya kejang, kebutuhan otak akan oksigen tetap tinggi, dan bila tidak terpenuhi akan memperberat kerusakanotak. Edema otak pun dapat terjadi akibat proses inflamasi, peningkatan vaskularitas, atau gangguan sawar darah-otak. Komplikasi sekunder Komplikasi sekunder akibat pemakaian obat anti-konvulsan adalah depresi napas serta hipotensi, terutama golongan benzodiazepin dan fenobarbital. Efek samping propofol yang harus diwaspadai adalah propofol infusion. syndrome yang ditandai dengan rabdomiolisis, hiperkalemia, gagal ginjal, gagal hati, gagal jantung, serta asidosis metabolik. Pada sebagian anak, asam valproat dapat memicu ensefalopati hepatik dan hiperamonia. Selain efek samping akibat obat antikonvulsan, efek samping terkait perawatan intensif dan imobilisasi seperti emboli paru, trombosis



vena dalam, pneumonia, serta gangguan hemodinamik dan pernapasan harus diperhatikan. Prognosis Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE simtomatis; 37% menderita deficit neurologis permanen, 48% disabilitas intelektual. Sekitar 3-56% pasien yang mengalami SE akan mengalami kembali kejang yang lama atau status epileptikus yang terjadi dalam 2 tahun pertama. Faktor risiko SE berulang adalah; usia muda, ensefalopati progresif, etiologi simtomatis remote, sindrom epilepsi.



BAB 4 KESIMPULAN



Setelah saya laporkan pasien Bayi F, perempuan, usia 1 bulan 28 hari dengan berat badan actual 4.5 kg dari anamnesis diketahui pasien mengeluhkan kejang, demam, dan batuk terkadang. Dari hasil pemeriksaan penunjang berupa foto thorak didapatkan hasil bronkopneumonia dan CT scan dengan hasil terdapat hidrochepalus. Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat di tegakkan diagnosisstatus epileptikus ec hidrochepalus, suspect sepsis. Karena dari itu pasien harus diberikan antibiotik yang bertujuan untuk eliminasi kuman dan dilaukan operasi VP shunt untuk penanganan hidrocephalus. Untuk itu berikan edukasi mengenai bagaimana cara penularannya, penyebabnya dan pencegahannya.



DAFTAR PUSTAKA