Laporan Magang Kerja Institusional Odih Diedit Yo Di [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN MAGANG KERJA INSTITUSIONAL MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BENGKULU JAKARTA 15 SAMPAI DENGAN 21 OKTOBER 2017



Disusun Oleh : Serly Wulandari B1A014066



KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS BENGKULU FAKULTAS HUKUM 2017



HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN KEGIATAN MAGANG KERJA INSTITUSIONAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BENGKULU TAHUN AKADEMIK 2017/2018



Disusun Oleh : Serly Wulandari B1A014066 Mengetahui,



Disetujui oleh,



Ketua Laboratorium Hukum



Dosen Pembimbing Lapangan



M. Yamani, S.H.,M.Hum



DR. Nursulistiyo B.A, S.H.,M.Hum



NIP. 19650310199203 1 005



NIP. 19600923198703 2 001



KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nyalah penulis dapat menyelesaikan Laporan Magang Kerja Institusional yang dilaksanakan dari tanggal 15 s/d 21 Oktober 2017 di Jakarta. Kegiatan ini merupakan salah satu mata kuliah pilihan wajib, yang harus diambil oleh setiap mahasiswa sesuai dengan kurikulum Program Studi Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Bengkulu. Untuk pembahasan individu yang dianggap menarik dan diangkat sebagai judul yakni, “Efektifitas Peran Badan Narkotika Nasional Dalam Menanggulang/ Mencegah Terjadinya Penyalagunaan Narkotika Di Masyarakat” Tujuan dari kegiatan ini adalah dalam upaya untuk meningkatkan wawasan, pengalaman, keterampilan kerja, meningkatkan disiplin pribadi dan ilmu pengetahuan mahasiswa Fakultas Hukum Lembaga yang dikunjungi meliputi, Pusat Pelaporan Analisi Taransaksi Keuangan RI, Dirjen Hak Kekayaan Intelektual Kemenkumham RI (HKI RI), Badan Narkotika Nasional RI, Badan Kordinasi Penanaman Modal RI, Direktorat Jendral Pajak Kementerian Keuangan RI, dan Mahkamah Konstitusi RI Pada kesempatan ini Penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang mendalam kepada : Allah SWT, para dosen tim dari Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) Magang Kerja Institusional tahun 2016, kepada staf Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Kedua Orang Tua atas dukungan moril maupun materil dan do’anya selama ini. Teman-teman Mahasiswa Fakultas Hukum UNIB Angkatan 2013.Dan semua pihak yang telah mendukung.



Dalam penulisan laporan ini Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan karena keterbatasan pengetahuan dan tidak lengkapnya sumber-sumber informasi untuk melengkapi literatur dalam pembuatan laporan. Namun Penulis berharap laporan ini dapat dijadikan alternatif dalam mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai Lembaga/Instansi pemerintahan yang dimaksud Penulis diatas. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca terutama bagi kalangan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.



Bengkulu, November 2016



M. ISNIN PRATAMA



DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................................. HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………….. i KATA PENGANTAR……………………………………………………………. ii DAFTAR ISI……………………………………………………………………… v BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 Bab II. DESKRIPSI INSTITUSI………………………………………………..3 A. PUSAT PELAPORAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN…3 B. KOMISI PEMBERANTASAN KORUPS RI (KPK)....................8 C. KEJAKSAAN AGUJNG RI ...............………………………… 10 D. BADAN NARKOTIKA NASIONAL RI…………......................15 E. BADAN



KOORDINASI



PENANAMAN



MODAL



(BKPM)



……………........................................................................19 F. DIREKTORAT JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN RI ...………………………………………..23 G. DIREKTORAT JENDERAL BEA CUKAI KEMENTERIAN KEUANGAN RI ................................................................... H. LPSK RI .............................................................................. BAB III. EFEKTIFITAS PERAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL DALAM MENANGGULANGI/ MENCEGAH TERJADINYA PENYALAGUNAAN NARKOTIKA DI MASYARAKAT…............................................................29



BAB IV. PENUTUP…………………………………………………………….. A. KESIMPULAN…………………………………………………….33 B. SARAN………………………………………………………….….34 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….35 BIODATA…………………………………………………………………….….36 LAMPIRAN…………………………………………………………………......37



BAB I PENDAHULUAN Kegiatan Magang Kerja Institusional ini merupakan mata kuliah wajib bagi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu. Kegiatan magang ini bertujuan untuk: a. Memberikan keterampilan kerja, pengalaman praktik kerja serta bersosialisasi dan berinteraksi dalam dunia kerja. b. Memberikan pengetahuan prosedur pelayanan baik secara formal dan dasar-dasar yuridis yang menjadi dasar pijakan untuk melaksanakan aktifitas/operasional suatu instansi. c. Mengeal instansi/institusi yang menangani masalah-masalah tertentu dengan baik secara berjenjang (dari unit terbawah sampai unit yang tertinggi). d. Dapat meningkatkan disiplin dan tanggungjawab serta mengenal dunia kerja sebelum mahasiswa tersebut masuk ke pasar kerja yang sesungguhnya. Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Bengkulu Nomor: 26/J30.1.11/HK/2004 tanggal 6 januari 2004, Kegiatan Magang Mahasiswa Fakultas Hukum dibagi ke dalam tiga bentuk/jenis yaitu: 1. Magang Perkantoran, yaitu bekerja dan ditempatkan di kantor pada dinas pemerintah atau perusahaan swasta atau LSM. 2. Magang di daerah dan kelompok masyarakat bermasalah, yaitu kegiatan magang mahasiswa yang ikut memformulasikan serta menyelesaikan konflik massal di suatu daerah. 3. Magang Kerja Institusional (MKI) yaitu; magang mahasiswa yang dilakukan pada beberapa instansi pemerintah pusat dan atau lembaga-lembaga tinggi negara maupun instansi swasta di Jakarta.



Dengan adanya tiga jenis/bentuk pelaksanaan magang tersebut dan usulan mahasiswa regular dan ekstensi, maka panitia pelaksana yang diangkat dengan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Bengkulu Nomor: 1376/UN30.8/HK/2017 tanggal 29 Mei 2017, telah sepakat untuk melaksanakan kegiatan magang jenis/bentuk ke-tiga yaitu: Magang Kerja Institusional di beberapa lembaga tinggi negara dan instansi swasta di Jakarta yang dilaksanakan pada tanggal 15 s/d 21 Oktober 2017.



BAB II INSTANSI YANG DIKUNJUNGI 1. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Republik Indonesia Hari/Tanggal



: Senin, 16 Oktober 2017



Waktu



: 08.00 - 11.30 WIB



Alamat



: Jl. Ir. H Juanda No.35A Kel. Petojo Utara, Kec. Gambir Jakarta Pusat



Judul Materi



: Kerjasama PPATK dengan Aparat Penegak Hukum dalam Menindak



Pelaku Money Loundering Nama Pemateri



: Boby Mokoginta



Ringkasan Materi



:



Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Lembaga ini memiliki kewenangan untuk melaksanakan kebijakan pencegahan dan pemberantasaan pencucian uang sekaligus membangun rezim anti pencucian uang dan kontra pendanaan terorisme di Indonesia. Hal ini tentunya akan sangat membantu dalam upaya menjaga stabilitas sistem keuangan dan menurunkan terjadinya tindak pidana asal (predicate crimes). PPATK, yang bertanggung jawab kepada Presiden RI, dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari campur tangan dan pengaruh kekuasaan mana pun. PPATK berkedudukan di Jakarta, Indonesia. Berdasarka ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Pasal 2, hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:



a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan imigran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. Pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. Di bidang kelautan dan perikanan; atau



z. Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih.



Pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang berdimensi internasional merupakan hal baru di banyak negara termasuk Indonesia. Sebegitu besar dampak negatif terhadap perekonomian suatu negara yang dapat ditimbulkannya, mendorong negara-negara di dunia dan organisasi internasional menaruh perhatian serius dan khusus terhadap pencegahan dan pemberantasan masalah ini. Pencucian uang atau



money laundering adalah rangkaian



kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram , yaitu uang dimaksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana , dengan cara antara lain dan terutama memasukan uang tersebut kedalam keuangan (financial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari system keuangan itu sebagai uang yang halal. Tahap-tahap proses pencucian uang: a. Placement; Penempatan dana yang dihasilkan dari tindak kejahatan ke dalam sistem keuangan. b. Layering; Memindahkan atau mengubah bentuk dana melalui transaksi keuangan yang kompleks dalam rangka mempersulit pelacakan (audit trail) asal usul dana. c. Integration;



Mengembalikan dana yang telah tampak sah kepada si pelaku



sehingga dapat digunakan dengan aman. Transaksi Keuangan sesuai Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian adalah transaksi untuk melakukan



atau



menerima



penempatan,



penyetoran,



penarikan,



pemindahbukuan,



pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang. Sedangkan Transaksi Keuangan Mencurigakan sesuai Pasal 1 angka 5 adalah:



a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karateristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan. b. Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. c. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana. d. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana. Dalam melaksanakan tugasnya, PPATK mempunyai fungsi sebagai berikut (Pasal 40 UU No. 8 Tahun 2010): a.



pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;



b.



pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK;



c.



pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor;



d.



analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain (predicate crimes). Tujuan akhir dari PPATK itu sendiri adalah untuk Membantu Meningkatkan



Integritas dan Stabilitas Sistem Keuangan.



2. Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) Hari/ Tanggal



: Senin, 16 Oktober 2017



Waktu



: 13.00 – 16.00 WIB



Alamat



: Jl. HR Rasuna Said Kav. C1 Kuningan. Jakarta Selatan



Judul Materi



: Peran KPK RI dalam Mengembalikan Kerugian Negara Akibat



Korupsi di Indonesia Nama Pemateri



: Ahmad Burhanudin, Rommy, dan Handri



Ringkasan Materi



:



Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK.



Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan Negara. Terhadap kerugian keuangan negara ini membuat UU korupsi, baik yang lama yaitu UU No.03 tahun 1971 maupun yang baru yaitu UU no.31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001, menetapkan kebijakan bahwa kerugian keuangan negara itu harus dikembalikan atau diganti oleh pelaku korupsi.



3. Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Republik Indonesia



Hari/Tanggal



: Selasa, 17 Oktober 2017



Waktu



: 08.00 – 11.30 WIB



Alamat



: Jl. Sultan Hasanudin No. 1, Kebayoran Baru, Jakarta



Judul Materi



: Wewenang Kejaksaan sebagai Pengacara Negara di Indonesia



Nama Pemateri



: Maria dan Cahyani



Ringkasan Materi



:



Tugas Dan Wewenang Kejaksaan di bidang perdata sudah dimulai pada zaman Penjajahan Belanda, yang termuat antara lain : a. Dalam buku I BW pasal 27 dan 65 di mana Jaksa dapat mencegah perkawinan yang melanggar ketentuan. b. Dalam peraturan kepailitan Failisement Verordeming Stbl 1905 Nomor 217 yang mana Jaksa berwenang pula mengajukan tuntutan pailit demi umum. Di masa awal kemerdekaan Indonesia tugas-tugas pengacara negara terus berlangsung berdasarkan undang-undang buatan jaman kolonial Belanda yang mana disesuaikan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Pada masa tersebut posisi dan fungsi pengacara negara tidak mewakili dan membela kepentingan perdata pemerintah kolonial akan tetapi mewakili dan membela kepentingan perdata pemerintah yang mendasarkan pada kedaulatan rakyat dan tidak mengenal diskriminasi bagi rakyat. Sejak ditetapkannya Undang-undang Kejaksaan Nomor 15 tahun 1961 dasar hukum tugas dan wewenang kejaksaan di bidang perdata tidak diatur secara jelas, hanya berdasarkan



pasal 2 ayat (4) yang menyatakan bahwa Kejaksaan melaksanakan tugas-tugas khusus lainnya yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan negara. Para pembuat undang-undang tersebut tidak menyadari dan tidak ingat bahwa Kejaksaan sebelumnya telah memiliki tugastugas perdata. Karena itulah tugas-tugas keperdataan tidak lagi diindahkan oleh Kejaksaan, yang



mengakibatkan



pelaksanaan



peraturan-peraturan



pada



jaman



Belanda



tidak



dipergunakan lagi. Eksistensi Jaksa Pengacara Negara di bidang perdata dan tata usaha negara dimungkinkan untuk berkembang mengingat adanya pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dimana Jaksa Pengacara Negara diberi wewenang untuk memeriksa, membubarkan dan memohon pergantian likuidator dari suatu perseroan yang dibubarkan. Dalam KEPJA Nomor : Kep-225/A//JA/3/2003 ditentukan mengenai fungsi Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara yang kaitannya dengan tugas dan wewenang Jaksa Pengacara Negara, antara lain : 1)



Penegakkan wewenang



hukum,



Jaksa



Pengacara



Negara



mempunyai



tugas



dan



memelihara ketertiban hukum, kepastian hukum dan melindungi



kepentingan negara dan pemerintah serta hak-hak keperdataan. 2) Bantuan hukum, dapat diberikan oleh Jaksa Pengacara Negara dalam rangka usaha menyelesaikan masalah atau sengketa perdata atau tata usaha negara yang dihadapi oleh instansi pemerintah/BUMN/BUMD; baik melalui litigasi



maupun non litigasi.



3) Pertimbangan hukum adalah kegiatan Jaksa Pengacara Negara dalam memberikan nasehat hukum atau pendapat hukum ( Legal Opinion ). Dalam pelayanan hukum, nasehat hukum atau pendapat hukum itu diberikan oleh Jaksa Pengacara Negara



kepada anggota masyarakat. Dalam pertimbangan hukum, nasehat hukum atau pendapat hukum tersebut diberikan kepada instansi pemerintah / BUMN / BUMD. 4) Pelayanan hukum, adalah semua bentuk pelayanan yang diperlukan oleh instansi negara atau pemerintah atau masyarakat yang berkaitan dengan kasus perdata atau tata usaha negara. Misalnya konsultasi, opini dan sebagainya. 5) Tindakan hukum lain, merupakan tindakan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara dalam rangka menyelamatkan kekayaan negara atau dalam rangka memulihkan dan melindungi kepentingan masyarakat maupun kewibawaan pemerintah. Contohnya : apabila terjadi sengketa antar lembaga negara/lembaga pemerintah/BUMN/BUMD, yang mana Jaksa Pengacara Negara tidak dapat mewakili salah satunya, namun dapat melakukan tugasnya sebagai mediator atau fasilitator bagi para pihak. Sehingga tujuan utama dibentuknya JAM DATUN antara lain : a. Menjamin tegaknya hukum dan mewujudkan keadilan (filosofi), memelihara serta melindungi kepentingan umum. b. Menyelamatkan kekayaan negara dengan menggunakan istrumen perdata c. Menegakkan kewibaan pemerintah dengan menggunakan istrumen tata usaha negara. Secara umum, tugas dan fungsi Jaksa Pengacara Negara dalam memberikan pertimbangan hukum Adalah kegiatan Jaksa Pengacara Negara dalam memberikan nasehat hukum atau pendapat hukum ( Legal Opinion ). Dalam pertimbangan hukum, nasehat hukum atau pendapat hukum tersebut diberikan kepada instansi pemerintah / BUMN / BUMD sehingga tidak terjadi gugatan yang merugikan terhadap keputusan dan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh instansi pemerintah. Diharapkan didalam melaksanakan tugas wewenang ini



perlu dihindari adanya kesan “intervensi” Kejaksaan terhadap instansi lain, sebaiknya perlu diciptakan serta ditumbuhkan suasana dimana instansi lain mempercayai dan memerlukan Kejaksaan sebagai rekan kerja dan memperoleh pertimbangan hukum.



4. Deputi Bidang Pencegahan Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia Hari/Tanggal



: Selasa, 17 Oktober 2017



Waktu



: 13.30 – 16.00 WIB



Alamat



: Jl. MT. Haryono No. 11 Cawang Jakarta Timur



Judul Materi



: Upaya Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia dalam



Mencegah Masuknya Narkotika ke Wilayah Republik Indonesia Nama Pemateri



: Drs. Ali Johardi, S.H.



Ringkasan Materi



:



Badan Narkotika Nasional (BNN) adalah sebuah Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) Indonesia yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol. BNN dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui koordinasi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dasar hukum BNN adalah Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Sebelumnya, BNN merupakan lembaga nonstruktural yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002, yang kemudian diganti dengan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007.



Sejarah penanggulangan bahaya Narkotika dan kelembagaannya di Indonesia dimulai tahun 1971 pada saat dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelligen Nasional (BAKIN) untuk menanggulangi 6 (enam) permasalahan nasional yang menonjol, yaitu pemberantasan uang palsu,



penanggulangan



penyalahgunaan



narkoba,



penanggulangan



penyelundupan,



penanggulangan kenakalan remaja, penanggulangan subversi. Berdasarkan Inpres tersebut Kepala BAKIN membentuk Bakolak Inpres Tahun 1971 yang salah satu tugas dan fungsinya adalah menanggulangi bahaya narkoba. Bakolak Inpres adalah sebuah badan koordinasi kecil yang beranggotakan wakil-wakil dari Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung, dan lain-lain, yang berada di bawah komando dan bertanggung jawab kepada Kepala BAKIN. Badan ini tidak mempunyai wewenang operasional dan tidak mendapat alokasi anggaran sendiri dari ABPN melainkan disediakan berdasarkan kebijakan internal BAKIN. Menghadapi permasalahan narkoba yang berkecenderungan terus miningkat, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Berdasarkan kedua Undang-undang tersebut, Pemerintah (Presiden Abdurahman Wahid) membentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN), dengan Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999. BKNN adalah suatu Badan Koordinasi penanggulangan narkoba yang beranggotakan 25 Instansi Pemerintah terkait. BKNN diketuai oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) secara exofficio. Sampai tahun 2002 BKNN tidak mempunyai personil dan alokasi anggaran sendiri. Anggaran BKNN diperoleh dan dialokasikan dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri), sehingga tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal. BKNN sebagai badan koordinasi dirasakan tidak memadai lagi untuk menghadapi



ancaman bahaya narkoba yang makin serius. Oleh karenanya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional, BKNN diganti dengan Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN, sebagai sebuah lembaga forum dengan tugas mengoordinasikan 25 instansi pemerintah terkait dan ditambah dengan kewenangan operasional, mempunyai tugas dan fungsi: 1. mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba; dan 2. mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba. Merespon perkembangan permasalahan narkoba yang terus meningkat dan makin serius, maka Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan



Rakyat



Republik



Indonesia



(MPR-RI)



Tahun



2002



telah



merekomendasikan kepada DPR-RI dan Presiden RI untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR-RI mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 1997. Berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2009 tersebut, BNN diberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika. Berdasarkan undang-undang tersebut, status kelembagaan BNN menjadi Lembaga Pemerintah



Non-Kementrian



(LPNK)



dengan



struktur



vertikal



ke



propinsi



dan



kabupaten/kota. Di propinsi dibentuk BNN Propinsi, dan di kabupaten/kota dibentuk BNN Kabupaten/Kota. BNN dipimpin oleh seorang Kepala BNN yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. BNN berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Kepala BNN dibantu oleh seorang Sekretaris Utama, Inspektur Utama, dan 5 (lima) Deputi yaitu Deputi Pencegahan, Deputi Pemberdayaan Masyarakat, Deputi Rehabilitasi, Deputi Pemberantasan, dan Deputi Hukum dan Kerja Sama.



Visi dan Misi BNN : 1. Visi Menjadi lembaga yang profesional dan mampu berperan sebagai focal point Indonesia di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya di Indonesia”. 2. Misi a. Menyusun kebijakan nasional P4GN; b. Melaksanakan operasional P4GN sesuai bidang tugas dan kewenangannya; c. Mengkoordinasikan



pencegahan



dan



pemberantasan



penyalahgunaan



dan



peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya (narkoba); d. Memonitor dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan nasional P4GN; e. Menyusun laporan pelaksanaan kebijakan nasional P4GN dan diserahkan kepada Presiden. Tugas Pokok BNN : a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; b. Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; c. Berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;



d. Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat; e. Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; f. Memantau, mengarahkan dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Psikotropika Narkotika; g. Melalui kerja sama bilateral dan multiteral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; h. Mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika; i. Melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; j. Membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang. Fungsi BNN : a. Penyusunan dan perumusan kebijakan nasional di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan prekursor serta bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang selanjutnya disingkat dengan P4GN. b. Penyusunan, perumusan dan penetapan norma, standar, kriteria dan prosedur P4GN. c. Penyusunan perencanaan, program dan anggaran BNN. d. Penyusunan dan perumusan kebijakan teknis pencegahan, pemberdayaan masyarakat, pemberantasan, rehabilitasi, hukum dan kerjasama di bidang P4GN.



e. Pelaksanaan kebijakan nasional dan kebijakna teknis P4GN di bidang pencegahan, pemberdayaan masyarakat, pemberantasan, rehabilitasi, hukum dan kerjasama. f. Pelaksanaan pembinaan teknis di bidang P4GN kepada instansi vertikal di lingkungan BNN. g. Pengoordinasian instansi pemerintah terkait dan komponen masyarakat dalam rangka penyusunan dan perumusan serta pelaksanaan kebijakan nasional di bidang P4GN. h. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi di lingkungan BNN. i. Pelaksanaan fasilitasi dan pengkoordinasian wadah peran serta masyarakat. j. Pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. k. Pelaksanaan pemutusan jaringan kejahatan terorganisasi di bidang narkotika, psikotropika dan prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol. l. Pengoordinasian instansi pemerintah terkait maupun komponen masarakat dalam pelaksanaan rehabilitasi dan penyatuan kembali ke dalam masyarakat serta perawatan lanjutan bagi penyalahguna dan/atau pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol di tingkat pusat dan daerah. m. Pengkoordinasian peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat. n. Peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi penyalahguna dan/atau pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif



tembakau dan alkohol berbasis komunitas terapeutik atau metode lain yang telah teruji keberhasilannya. o. Pelaksanaan penyusunan, pengkajian dan perumusan peraturan perundangundangan serta pemberian bantuan hukum di bidang P4GN. p. Pelaksanaan kerjasama nasional, regional dan internasional di bidang P4GN. q. Pelaksanaan pengawasan fungsional terhadap pelaksanaan P4GN di lingkungan BNN. r. Pelaksanaan koordinasi pengawasan fungsional instansi pemerintah terkait dan komponen masyarakat di bidang P4GN. s. Pelaksanaan penegakan disiplin, kode etik pegawai BNN dan kode etik profesi penyidik BNN. t. Pelaksanaan pendataan dan informasi nasional penelitian dan pengembangan, serta pendidikan dan pelatihan di bidang P4GN. u. Pelaksanaan pengujian narkotika, psikotropika dan prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol. v. Pengembangan laboratorium uji narkotika, psikotropika dan prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif tembakau dan alkohol. w. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kebijakan nasional di bidang P4GN.



5. Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia (BKPM RI) Hari/Tanggal



: Rabu, 18 Oktober 2017



Waktu



: 08.00 – 11.30 WIB



Alamat



: Jl. Gatot Subroto No. 44, Jakarta



Judul Materi



: Koordinasi antara BKPM RI dengan BKPMD dalam mempromosikan



Potensi Investasi di Daerah Nama Pemateri



: Himawan Hariyoga



Ringkasan Materi



:



BKPM adalah Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang dipimpin oleh seorang Kepala BKPM yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. (Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal). A. Tugas BKPM a. Melaksanakan Koordinasi Kebijakan dan Pelayanan dibidang Penanaman Modal berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan. B. Fungsi BKPM a. Pengkajian dan pengusulan perencanaan penanaman modal nasional. b. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional dibidang penanaman modal. c. Pengkajian dan pengusulan kebijakan pelayanan penanaman modal. d. Penetapan norma, standar, dan prosedur pelaksanaan kegiatan dan pelayanan penanaman modal. e. Pengembangan peluang dan potensi penanaman modal didaerah dengan memberdayakan badan usaha. f. Pembuatan Peta penanaman modal di Indonesia; g. Koordinasi Pelaksanaan promosi serta kerjasama penanaman modal; h. Mengembangkan sektor usaha melalui pembinaan penanaman modal;



i. Pembinaaan pelaksanaan penanaman modal dan pemberian bantuan penyelesaian berbagai hambatan dan konsultasi permasalahan yang dihadapi penanaman modal dalam menjalankan kegiatan penanaman modal; j. Koordinasi pelayanan dan pelaksanaan terpadu satu pintu; k. Koordinasi pm dalam negri yang menjalankan kegiatan penanaman modal di luar wilayah indonesia; l. Pemberian fasilitas pelayanan perizinan dan fasilitas penanaman modal; m. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, pendidikan dan pelatihan, keuangan, hukum, kehumasan, kearsipan, pengolahan data dan informasi, perlengkapan dan rumah tangga; n. Pelaksanaan fungsi lain di bidang PM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. C. Tujuan Investasi a. Mendukung pertumbuhan ekonomi; b. Menciptakan lapangan kerja; c. Mengubah ekonomi yang berbasis konsumsi menjadi ekonomi berbasis produksi; d. Meningkatkan pendapatan nasional melalui pajak; e. Mendorong pemerataan ekonomi.



6. Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Hari/Tanggal



: Rabu, 18 Oktober 2017



Waktu



: 13.30 – 16.00 WIB



Alamat



: Jl. Medan Merdeka Timur Nomor 16 Jakarta Pusat



Judul Materi



:



Peranan



Kementerian



Kelautan



dan



Perikanan



RI



dalam



Menanggulangi IUU (Illegal Unreported, Unregulated) Fishing di Perairan Indonesia. Nama Pemateri



: Syafrizal S.H.,M.H



Ringkasan Materi



:



llegal, Unreported dan Unregulated (IUU) Fishing secara harfiah dapat diartikan sebagai Kegiatan perikanan yang tidak sah, Kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang ada, atau Aktivitasnya tidak dilaporkan kepada suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia. IUU Fishing dapat terjadi disemua kegiatan perikanan tangkap tanpa tergantung pada lokasi, target spesies, alat tangkap yang digunakan serta intensitas exploitasi. Dapat muncul di semua tipe perikanan baik skala kecil dan industri, perikanan di zona juridiksi nasional maupun internasional seperti high seas. a) Illegal Fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan : 1. Yang dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu perairan yang menjadi yurisdiksi suatu negara tanpa izin dari negara tersebut atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2. Yang bertentangan dengan peraturan nasional yang berlaku atau kewajiban internasional;



3. Yang dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota organisasi pengelolaan perikanan regional tetapi beroperasi tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi tersebut atau ketentuan hukum internasional yang berlaku. Kegiatan Illegal Fishing yang umum terjadi di perairan Indonesia adalah : a) penangkapan ikan tanpa izin; b) penangkapan ikan dengan mengunakan izin palsu; c) Penangkapan Ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang; d) Penangkapan Ikan dengan jenis (spesies) yang tidak sesuai dengan Izin. Penyebab Illegal Fishing:



1. Meningkat dan tingginya permintaan ikan (DN/LN) 2. Berkurang/Habisnya SDI di negara lain 3. Lemahnya armada perikanan nasional 4. Izin/dokumen pendukung dikeluarkan lebih dari satu instansi 5. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di laut 6. Lemahnya delik tuntutan dan putusan pengadilan 7. Belum ada visi yang sama aparat penegak hukum 8. Lemahnya peraturan perundangan dan ketentuan pidana



b) Unreported Fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan : 1. Yang tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar kepada instansi yang berwenang, tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional; 2. Yang dilakukan di area yang menjadi kompetensi organisasi pengelolaan perikanan regional, namun tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar, tidak sesuai dengan prosedur pelaporan dari organisasi tersebut.



Kegiatan Unreported Fishing yang umum terjadi di Indonesia: a) penangkapan ikan yang tidak melaporkan hasil tangkapan yang sesungguhnya atau pemalsuan data tangkapan; b) penangkapan ikan yang langsung dibawa ke negara lain (transhipment di tengah laut)



Penyebab Unreported Fishing:



1. Lemahnya peraturan perundangan 2. Belum sempurnanya sistem pengumpulan data hasil tangkapan/ angkutan ikan 3. Belum ada kesadaran pengusaha terhadap pentingnya menyampaikan data hasil tangkapan/angkutan ikan 4. Hasil Tangkapan dan Fishing Ground dianggap rahasia dan tidak untuk diketahui pihak lain (saingan) 5. Lemahnya Ketentuan Sanksi dan Pidana 6. Wilayah kepulauan menyebabkan banyak tempat pendaratan ikan yang sebagian besar tidak termonitor dan terkontrol 7. Unit penangkapan di bawah 8. Sebagian besar perusahaan yang memiliki armada penangkapan memiliki pelabuhan / tangkahan tersendiri. 9. Laporan produksi yang diberikan oleh pengurus perusahaan kepada dinas terkait cenderung lebih rendah dari sebenarnya. Menurut petugas retribusi laporan produksi umumnya tidak pernah mencapai 20% dari produksi yang sebenarnya.



c) Unregulated Fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan : 1. pada suatu area atau stok ikan yang belum diterapkan ketentuan pelestarian dan pengelolaan dan kegiatan penangkapan tersebut dilaksanakan dengan cara yang tidak



sesuai dengan tanggung-jawab negara untuk pelestarian dan pengelolaan sumberdaya ikan sesuai hukum internasional; 2. pada area yang menjadi kewenangan organisasi pengelolaan perikanan regional, yang dilakukan oleh kapal tanpa kewarganegaraan, atau yang mengibarkan bendera suatu negara yang tidak menjadi anggota organisasi tersebut, dengan cara yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan dari organisasi tersebut. Kegiatan Unregulated Fishing di perairan Indonesi, antara lain masih belum diaturnya: a) mekanisme pencatatan data hasil tangkapan dari seluruh kegiatan penangkapan ikan yang ada; b) wilayah perairan-perairan yang diperbolehkan dan dilarang; c) pengaturan aktifitas sport fishing; kegiatan-kegiatan penangkapan ikan menggunakan modifikasi dari alat tangkap ikan yang dilarang. Penyebab Unregulated Fishing



1. Potensi SDI di perairan Indonesia masih dianggap memadai dan belum membahayakan 2. Sibuk mengatur yang ada karena banyak masalah 3. Orientasi jangka pendek 4. Beragamnya kondisi daerah perairan dan SDI 5. Belum masuknya Indonesia menjadi anggota organisasi perikanan internasional



Kerugian Akibat IUU FISHING: a)



Subsidi BBM dinikmati oleh kapal-kapal yang tidak berhak;



b)



Pengurangan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP);



c)



Peluang kerja nelayan Indonesia (lokal) berkurang, karena kapal-kapal illegal adalah kapal-kapal asing yang menggunakan ABK asing;



d)



Hasil tangkapan umumnya dibawa langsung ke luar negeri (negara asal kapal), sehingga mengakibatkan: (a) hilangnya sebagian devisa negara dan (b) berkurangnya peluang nilai tambah dari industri pengolahan;



e)



Ancaman terhadap kelestarian sumberdaya ikan karena hasil tangkapan tidak terdeteksi, baik jenis, ukuran maupun jumlahnya;



f)



Merusak citra Indonesia pada kancah International karena IUU fishing yang dilakukan oleh kapal asing berbendera Indonesia maupun kapal milik warga negara Indonesia. Hal ini juga dapat berdampak ancaman embargo terhadap hasil perikanan Indonesia yang dipasarkan di luar negeri.



7. Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan RI Hari/Tanggal



: Kamis, 19 Oktober 2017



Waktu



: 08.00 – 11.30 WIB



Alamat



: Jl. Jend. A Yani, Jakarta Timur, DKI Jakarta



Judul Materi



: Peranan Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan RI dalam



Pencegahan Produk Impor Ilegal ke Wilayah Republik Indonesia. Nama Pemateri



: Abdul Karim



Ringkasan Materi



:



Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Instansi Kepabeanan Indonesia) adalah suatu instansi yang memiliki peran yang cukup penting dari negara dalam melakukan tugas dan fungsinya untuk :



1. Melindungi masyarakat dari masuknya barang-barang berbahaya;



2. Melindungi industri tertentu di dalam negeri dari persaingan yang tidak sehat dengan industri sejenis dari luar negeri;



3. Memberantas penyeludupan;



4. Melaksanakan tugas titipan dari instansi-instansi lain yang berkepentingan dengan lalu lintas barang yang melampaui batas-batas negara;



5. Memungut bea masuk dan pajak dalam rangka impor secara maksimal untuk kepentingan penerimaan keuangan negara



a. Tugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan dan dipimpin oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan, penegakan hukum, pelayanan dan optimalisasi penerimaan negara di bidang kepabeanan dan cukai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Fungsi



1. Perumusan kebijakan di bidang penegakan hukum, pelayanan dan pengawasan, optimalisasi penerimaan negara di bidang kepabeanan dan cukai; 2. Pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan, penegakan hukum, pelayanan dan optimalisasi penerimaan negara di bidang kepabeanan dan cukai;



3. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengawasan, penegakan hukum, pelayanan dan optimalisasi penerimaan negara di bidang kepabeanan dan cukai; 4. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengawasan, penegakan hukum, pelayanan dan optimalisasi penerimaan negara di bidang kepabeanan dan cukai; 5. Pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang pengawasan, penegakan hukum, pelayanan dan optimalisasi penenmaan negara di bidang kepabeanan dan cukai; 6. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; dan 7. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri Keuangan.



c. Visi Menjadi Institusi Kepabeanan dan Cukai Terkemuka di Dunia.



Visi DJBC mencerminkan cita-cita tertinggi DJBC dengan lebih baik melalui penetapan target yang menantang dan secara terus-menerus terpelihara di masa depan.



d. Misi



1. Kami memfasilitasi perdagangan dan industri;



2.Kami



menjaga



perbatasan



dan



melindungi



masyarakat



Indonesia



penyelundupan dan perdagangan illegal; dan



3. Kami optimalkan penerimaan negara di sektor kepabeanan dan cukai.



dari



Misi ini merupakan langkah spesifik yang harus dikerjakan DJBC demi tercapainya visi DJBC. peran serta secara keseluruhan terkait dengan besaran perdagangan, keamanan dan penerimaan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.



e. Fungsi Utama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai:



a. Meningkatkan pertumbuhan industri dalam negeri melalui pemberian fasilitas di bidang kepabeanan dan cukai yang tepat sasaran;



b. Mewujudkan iklim usaha dan investasi yang kondusif dengan memperlancar logistik impor dan ekspor melalui penyederhanaan prosedur kepabeanan dan cukai serta penerapan sistem manajemen risiko yang handal;



c. Melindungi masyarakat, industri dalam negeri, dan kepentingan nasional melalui pengawasan dan/atau pencegahan masuknya barang impor dan keluarnya barang ekspor yang berdampak negatif dan berbahaya yang dilarang dan/atau dibatasi oleh regulasi;



d. Melakukan pengawasan kegiatan impor, ekspor dan kegiatan di bidang kepabeanan dan cukai lainnya secara efektif dan efisien melalui penerapan sistem manajemen risiko yang handal, intelijen, dan penyidikan yang kuat, serta penindakan yang tegas dan audit kepabeanan dan cukai yang tepat;



e. Membatasi, mengawasi, dan/atau mengendalikan produksi, peredaran dan konsumsi barang tertentu yang mempunyai sifat dan karakteristik dapat membahayakan kesehatan, lingkungan, ketertiban, dan keamanan masyarakat melalui instrumen cukai yang memperhatikan aspek keadilan dan keseimbangan; dan



f. Mengoptimalkan penerimaan negara dalam bentuk bea masuk, bea keluar, dan cukai guna menunjang pembangunan nasional.



8. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia (LPSK RI) Hari/Tanggal



: Kamis, 19 Oktober 2017



Waktu



: 13.30 – 16.00 WIB



Alamat



: Jl. Raya Bogor Susukan Ciracas, Jakarta Timur



Judul Materi



: Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi whistle blower dan justice



collaborator dalam kasus Tindak Pidana Korupsi. Nama Pemateri



: Syahrial Martanto Wiryawan S.H.



Ringkasan Materi



:



Tindak Pidana Korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa (Ekstra ordinary Crime) yang dilakukan oleh perseorangan atau korporasi dan pegawai negeri atau pejabat negara. Tindak pidana/kejahatan ini dilakukan untuk memperkaya diri sendiri atau suatu korporasi yang dilakukan dengan berbagai cara. Perbuatan ini erat kaitannya dengan dapat menimbulkan kerugian negara atau perekonomian negara. Dalam proses pemeriksaan tindak pidana ini banyak kasus-kasus yang tidak terselesaikan mapun pemberian putusan yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Koruptor-koruptor sepertinya begitu pintar dan licik dalam menyembunyikan perbuatannya hingga para aparatur penegak hukum yang telah memiliki kualitas dan keahlian dibidanganya dalam menangani kasus-kasus kejahatan tidak dapat menemukan atau membuktikan suatu perbuatan tindak pidana korupsi yang telah merugikan keuangan negara atau yang dapat merugikan keuangan negara tersebut. Padahal koruptor-koruptor tidak memiliki pendidikan khusus korupsi, dibandingkan dengan apara penegak hukum yang masingmasing memiliki keahlian khusus, misalnya Hakim, Jaksa Penuntut Umum, Penyidik yang telah dipersiapkan dengan matang-matang dengan berbagai pelatihan.



Alasan yang sering diungkapkan oleh para aparatur ketika menangani kasus korupsi yaitu tidak cukup bukti. Alasan ini sebenarnnya bukanlah alasan yang dapat diterima begitu saja, karena hal ini dapat melemahkan kedudukan masyarakat yang selalu mendukung kinerja aparatur dalam penegakan hukum untuk memberantas korupsi. Namun pada faktanya, perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia masih lemah karena masih banyaknya koruptor-koruptor yang diputus tidak sesuai dengan harapan dan bahkan ada koruptor yang bebas dari jeratan hukum. Sebuah ironi yang sangat memilukan seperti terkena bencana ketika mendengarkan seorang koruptor harus bebas dari segala tuntutan hukum dan dibiarkan begitu saja berkeliaran menikmati uang negara yang merupakan uang masyarakat Indonesia. Ini merupakan PR bagi masyarakat Indonesia maupun aparatur penegak hukum untuk memberantas Korupsi, agar bersih dari penyelenggara negara ini. Searah dengan perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia, telah banyak terobosan hukum atau strategi yang digunakan dalam penegakan hukum. Terobosan baru yang digunakan dalam pemberantasan korupsi, seperti pemberian perlindungan hukum bagi setiap orang lazimnya korban yang kemudian bersaksi memberikan keterangan kepada penyidik mengenai seluk beluk tindak pidana yang ia ketahui dan dengar sendiri bahkan ia alami sendiri, terobosan ini biasa dikenal dengan istilah Whistle blower. Lain halnya dengan Justice Collaborator, yaitu pemberian perlindungan hukum yang tidak hanya sebatas fisik melainkan juga “keringanan-keringanan” yang bisa ditawar, dan ini biasanya diberikan kepada salah seorang tersangka/terdakwa yang perannya paling ringan dapat dijadikan sebagai saksi dalam perkara yang sama dan bisa saja dibebaskan dari penuntutan pidana, jika ia dapat membantu mengungkap tindak pidana korupsi tersebut.



A. Whistleblower Istilah whistleblower dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “peniup peluit”, disebut demikian karena sebagaimana halnya wasit dalam pertandingan sepak bola atau olahraga lainnya yang meniupkan peluit sebagai pengungkapan fakta terjadinya pelanggaran. Dalam tulisan ini, istilah “peluit peluit “ diartikan sebagai orang yang mengungkap fakta kepada public mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik atau korupsi. Dalam perkembangan penegakan pemberantasan korupsi Whistle blower sering disamakan dengan pengungkap aib yaitu istilah bagi karyawan, mantan karyawan atau pekerja, anggota dari suatu institusi atau organisasi yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap melanggar ketentuan kepada pihak yang berwenang. Secara umum segala tindakan yang melanggar ketentuan berarti melanggar hukum, aturan dan persyaratan yang menjadi ancaman pihak publik atau kepentingan publik. Termasuk di dalamnya korupsi, pelanggaran atas keselamatan kerja, dan masih banyak lagi. Whistleblower berkembang diberbagai Negara dengan seperangkat aturan masing-masing, diantaranya ialah : a.



Amerikat Serikat, whistleblower diatur dalam Whistleblower Act 1989, Whistleblower di Amerika Serikat dilindungi dari pemecatan, penurunan pangkat, pemberhentian sementara, ancaman, gangguan dan tindak diskriminasi.



b.



Afrika Selatan, Whistleblower diatur dalam Pasal 3 Protected Dsdosures Act Nomor 26 Tahun 2000, Whistleblower diberi perlindungan dari accupational detriment atau kerugian yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan.



c.



Canada, Whistleblower diatur dalam Section 425.1 Criminal Code of Canada. Whistleblower dilindungi dari pemberi pekerjaan yang memberikan hukuman disiplin, menurunkan pangkat, memecat atau melakukan tindakan apapun yang merugikan dari segi pekerjaan dengan tujuan untuk mencegah pekerja



memberikan informasi kepada pemerintah atau badan pelaksanaan hukum atau untuk membalas pekerja yang memberikan informasi. d.



Australia, Whistleblower diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21 Protected Dsdosures Act 1994. Whistleblower identitasnya dirahasiakan, tidak ada pertanggungjawban secara pidana atau perdata, perlindungan dari penceraman nama baik perlindungan dari pihak pembalasan dan perlindungan kondisional apabila namanya dipublikasikan ke media.



e.



Inggris, Whistleblower diatur Pasal 1 dan Pasal 2 Public Interes Disclouse Act 1998. Whistleblower tidak boleh dipecah dan dilindungi dari viktimisasi serta perlakuan yang merugikan.



Jika dilihat di Indonesia, pengertian Whistleblower menurut PP No.71 Tahun 2000 adalah orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor. Adapun istilah pengungkap fakta (whistleblower) dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pelindungan Saksi dan Korban tidak memberikan pengertian tentang “pengungkap fakta”, dan berkaitan dengan itu hanya memberikan pengertian tentang saksi. Adapun yang disebut dengan saksi menurut UU No. 13 Tahun 2006 adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan / atau ia alami sendiri. Dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011, Whistle Blower diartikan sebagai pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Namun demikian dalam praktiknya kadang whistleblower juga terlibat dan memiliki peran yang kecil dalam kejahatan tersebut. Banyak pandangan-pandangan yang sering mengungkapkan bahwa Whistle Blower merupakan saksi pelapor, atau orang yang melaporkan suatu tindak pidana korupsi atau permufakatan jahat kepada aparatur penegak



hukum atau penyidik. Namun sebenarnya seseorang disebut Wistle Blower, apabila memenuhi dua kriteria yaitu Whistleblower menyampaikan atau mengungkap laporan kepada otoritas yang berwenang atau kepada media massa atau publik. Dengan mengungkapkan kepada otoritas yang berwenang atau media massa diharapkan dugaan suatu kejahatan dapat diungkap dan terbongkar. Seorang whistleblower merupakan orang ‘dalam’, yaitu orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di tempatnya bekerja atau ia berada. Karena skandal kejahatan selalu terorganisir, maka seorang whistleblower kadang merupakan bagian dari pelaku kejahatan atau kelompok mafi a itu sendiri. Dia terlibat dalam skandal



lalu



mengungkapkan



kejahatan



yang



terjadi. Dengan



demikian,



seorang whistleblower benar-benar mengetahui dugaan suatu pelanggaran atau kejahatan karena berada atau bekerja dalam suatu kelompok orang terorganisir yang diduga melakukan kejahatan, di perusahaan, institusi publik, atau institusi pemerintah. Laporan yang disampaikan oleh whistleblower merupakan suatu peristiwa faktual atau benar-benar diketahui si peniup peluit tersebut. Bukan informasi yang bohong atau fitnah. Whistleblower berperan untuk memudahkan pengungkapan tindak pidana korupsi, karena Whistleblower itu sendiri tidak lain adalah orang dalam didalam institusi di mana ditengerai telah terjadi praktik korupsi. Sebagai orang dalam, seorang Whistleblower merupakan orang yang memberikan informasi telah terjadi pidana korupsi dimana ia bekerja. Seorang Whistleblower ini biasanya merupakan orang yang tidak terlibat dalam perbuatan korupsi namun mengetahui tentang terjadinya korupsi atau pemufakatan jahat. Dalam konteks hukum positif kita, kehadiran Whistleblower perlu mendapatkan perlindungan agar kasus-kasus korupsi bisa diendus dan dibongkar. Hak-hak whistleblower yang juga seorang saksi (pelapor) telah diatur dalam UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Haknya meliputi: Memperoleh perlindungan dari lembaga perlindungan saksi. Bahkan, keluarga whistleblower pun bisa memperoleh perlindungan. Bentuk perlindungan



pun bermacam-macam. Misalnya, mendapat identitas baru, tempat kediaman baru yang aman (safe house), pelayanan psikologis, dan biaya hidup selama masa perlindungan. a.



Memberikan keterangan atau kesaksian mengenai suatu pelanggaran atau kejahatan yang diketahui dengan bebas, tanpa rasa takut atau terancam.



b.



Mendapatkan informasi



mengenai



tindaklanjut



atau perkembangan



penanganan Lembaga Perlindungan Saksi terhadap pelanggaran atau kejahatan yang telah diungkap. c.



Mendapatkan balas jasa atau reward dari negara atas kesaksian yang telah diungkap karena kesaksian mampu membongkar suatu kejahatan yang lebih besar.



d.



Selanjutnya sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, LPSK juga melindungi whistleblower berupa:



e.



saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata;



f.



saksi yang juga tersangka tidak dapat dibebaskan dari tuntutanpidana apabila ternyata terbukti bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dij adikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dij atuhkan Selain itu, Wistle Blower juga mendapatkan perlindungan baik fisik maupun non fisik. Perlindungan secara fisik misalnya terkait dengan penempatan whistleblower di



tempat



yang aman, perubahan identitas,



termasuk



perlindungan terhadap keluarga whistleblower. Melalui perlindungan fisik itu, diharapkan whistleblower dapat terhindari dari tindakan balas dendam, intimidasi, atau ancaman lainnya. Perlindungan non



fisik menyangkut



perlindungan whistleblower dari resiko pemecatan dari tempat ia bekerja, dikriminalisasikan, pendampingan secara psikologis, dan komunikasi yang



efektif dengan lembaga yang menangani laporan untuk memastikan perkembangan penangangan laporan. Sistem perlindungan juga terkait dengan pemberian balas jasa atau reward terhadap whistleblower. Dengan adanya wistle blower ini diharapkan bahwa pengungkapan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat berjalan lancar sesuai yang diharapkan. Hal ini membutuhkan dengan adanya peraturan perundang-undangan yang memadai untuk memberikan penjelasan serta mekanisme tentang adanya whistle blower ini. Serta adanya dukungan dari berbagai pihak seperti lembaga swasta maupun pemerintahan dalam pembentukan lembaga penerimaan laporan dari whistle blower serta memberikan perlindungan. B. Justice Collaborator Pengertian Justice Collaborator secara yuridis dapat ditemukan pada Surat Edaran MA (SEMA) No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator. Pada SEMA tersebut, Justice Collaborator dimaknai sebagai seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan. Dalam Surat Keputusan Bersama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, KPK dan Mahkamah Agung, Justice Collaborator adalah seorang saksi, yang juga merupakan pelaku, namun mau bekerjasama dengan penegak hukum dalam rangka membongkar suatu perkara bahkan mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi apabila aset itu ada pada dirinya. Untuk menentukan seseorang sebagai Justice Collaborator, sesuai SEMA No. 4 Tahun 2011, ada beberapa pedoman, yaitu : Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalamSEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.



Jaksa penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan assetaset/hasil suatu tindak pidana. Atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang bekerja sama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut : a. Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus, dan/atau b.



Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara dimaksud



c.



Dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.



Justice collaborator merupakan setiap tersangka yang terlibat organisasi kejahatan dan telah melakukan suatu tindak pidana baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan aparatur hukum untuk bekerja sama dengan penegak hukum menemukan alat-alat bukti dan barang bukti sehingga penyidikan dan penuntutan dapat berjalan efektif. Dalam RUU Tipikor 2011, justice collaborator telah diatur dalam Pasal 52 ayat (1):”Salah seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya paling ringan dapat dijadikan saksi dalam perkara yang sama dan dapat dibebaskan dari penuntutan pidana, jika ia dapat membantu mengungkap tindak pidana korupsi tersebut.Pasal 52 ayat (2):” Jika tidak ada tersangka atau terdakwa yang pernannya ringan dalam tindak pidana korupsi ….maka yang membantu mengungkap tindak pidana korupsi dapat dikurangi pidananya.” Namun dalam Hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) belum mengatur ketentuan mengenai baik whistle blower maupun justice collaborator kecuali UU RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi/Korban. UU ini pun tidak memberikan “hak istimewa”



kepada seorang justice collaborator, kecuali “peniup peluit”. Perlindungan hukum bagi justice collaborator tidak sebatas fisik melainkan juga “keringanan-keringanan” yang bisa ditawarkan. Keringanan itu baik dalam menentukan besarnya tuntutan penuntut atau hukuman yang akan dijatuhkan oleh hakim di persidangan atau bahkan kemungkinan untuk dibebaskan dari penuntutan. Keringanan-keringanan bagi justice collaborator telah diatur dalam Konvensi PBB Antik korupsi 2003 dan Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Terorganisasi 2000 yang telah diratifikasi Indonesia.



BAB III PERLINDUNGAN BAGI WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATORS TINDAK PIDANA KORUPSI A. Whistleblower Istilah whistleblower dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “peniup peluit”, disebut demikian karena sebagaimana halnya wasit dalam pertandingan sepak bola atau olahraga lainnya yang meniupkan peluit sebagai pengungkapan fakta terjadinya pelanggaran. Dalam tulisan ini, istilah “peluit peluit “ diartikan sebagai orang yang mengungkap fakta kepada public mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik atau korupsi. Dalam perkembangan penegakan pemberantasan korupsi Whistle blower sering disamakan dengan pengungkap aib yaitu istilah bagi karyawan, mantan karyawan atau pekerja, anggota dari suatu institusi atau organisasi yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap melanggar ketentuan kepada pihak yang berwenang. Secara umum segala tindakan yang melanggar ketentuan berarti melanggar hukum, aturan dan persyaratan yang menjadi ancaman pihak publik atau kepentingan publik. Termasuk di dalamnya korupsi, pelanggaran atas keselamatan kerja, dan masih banyak lagi. Whistleblower berkembang diberbagai Negara dengan seperangkat aturan masing-masing, diantaranya ialah : a.



Amerikat Serikat, whistleblower diatur dalam Whistleblower Act 1989, Whistleblower di Amerika Serikat dilindungi dari pemecatan, penurunan pangkat, pemberhentian sementara, ancaman, gangguan dan tindak diskriminasi.



b.



Afrika Selatan, Whistleblower diatur dalam Pasal 3 Protected Dsdosures Act Nomor 26 Tahun 2000, Whistleblower diberi perlindungan dari accupational detriment atau kerugian yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan.



c.



Canada, Whistleblower diatur dalam Section 425.1 Criminal Code of Canada. Whistleblower dilindungi dari pemberi pekerjaan yang memberikan hukuman disiplin, menurunkan pangkat, memecat atau melakukan tindakan apapun yang merugikan dari segi pekerjaan dengan tujuan untuk mencegah pekerja memberikan informasi kepada pemerintah atau badan pelaksanaan hukum atau untuk membalas pekerja yang memberikan informasi.



d.



Australia, Whistleblower diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21 Protected Dsdosures Act 1994. Whistleblower identitasnya dirahasiakan, tidak ada pertanggungjawban secara pidana atau perdata, perlindungan dari penceraman nama baik perlindungan dari pihak pembalasan dan perlindungan kondisional apabila namanya dipublikasikan ke media.



e.



Inggris, Whistleblower diatur Pasal 1 dan Pasal 2 Public Interes Disclouse Act 1998. Whistleblower tidak boleh dipecah dan dilindungi dari viktimisasi serta perlakuan yang merugikan.



Jika dilihat di Indonesia, pengertian Whistleblower menurut PP No.71 Tahun 2000 adalah orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor. Adapun istilah pengungkap fakta (whistleblower) dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pelindungan Saksi dan Korban tidak memberikan pengertian tentang “pengungkap fakta”, dan berkaitan dengan itu hanya memberikan pengertian tentang saksi. Adapun yang disebut dengan saksi menurut UU No. 13 Tahun 2006 adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan / atau ia alami sendiri. Dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011, Whistle Blower diartikan sebagai pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang



dilaporkannya. Namun demikian dalam praktiknya kadang whistleblower juga terlibat dan memiliki peran yang kecil dalam kejahatan tersebut. Banyak pandangan-pandangan yang sering mengungkapkan bahwa Whistle Blower merupakan saksi pelapor, atau orang yang melaporkan suatu tindak pidana korupsi atau permufakatan jahat kepada aparatur penegak hukum atau penyidik. Namun sebenarnya seseorang disebut Wistle Blower, apabila memenuhi dua kriteria yaitu Whistleblower menyampaikan atau mengungkap laporan kepada otoritas yang berwenang atau kepada media massa atau publik. Dengan mengungkapkan kepada otoritas yang berwenang atau media massa diharapkan dugaan suatu kejahatan dapat diungkap dan terbongkar. Seorang whistleblower merupakan orang ‘dalam’, yaitu orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di tempatnya bekerja atau ia berada. Karena skandal kejahatan selalu terorganisir, maka seorang whistleblower kadang merupakan bagian dari pelaku kejahatan atau kelompok mafi a itu sendiri. Dia terlibat dalam skandal



lalu



mengungkapkan



kejahatan



yang



terjadi. Dengan



demikian,



seorang whistleblower benar-benar mengetahui dugaan suatu pelanggaran atau kejahatan karena berada atau bekerja dalam suatu kelompok orang terorganisir yang diduga melakukan kejahatan, di perusahaan, institusi publik, atau institusi pemerintah. Laporan yang disampaikan oleh whistleblower merupakan suatu peristiwa faktual atau benar-benar diketahui si peniup peluit tersebut. Bukan informasi yang bohong atau fitnah. Whistleblower berperan untuk memudahkan pengungkapan tindak pidana korupsi, karena Whistleblower itu sendiri tidak lain adalah orang dalam didalam institusi di mana ditengerai telah terjadi praktik korupsi. Sebagai orang dalam, seorang Whistleblower merupakan orang yang memberikan informasi telah terjadi pidana korupsi dimana ia bekerja. Seorang Whistleblower ini biasanya merupakan orang yang tidak terlibat dalam perbuatan korupsi namun mengetahui tentang terjadinya korupsi atau pemufakatan jahat. Dalam konteks hukum positif kita, kehadiran Whistleblower perlu mendapatkan perlindungan agar



kasus-kasus korupsi bisa diendus dan dibongkar. Hak-hak whistleblower yang juga seorang saksi (pelapor) telah diatur dalam UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Haknya meliputi: Memperoleh perlindungan dari lembaga perlindungan saksi. Bahkan, keluarga whistleblower pun bisa memperoleh perlindungan. Bentuk perlindungan pun bermacam-macam. Misalnya, mendapat identitas baru, tempat kediaman baru yang aman (safe house), pelayanan psikologis, dan biaya hidup selama masa perlindungan. a.



Memberikan keterangan atau kesaksian mengenai suatu pelanggaran atau kejahatan yang diketahui dengan bebas, tanpa rasa takut atau terancam.



b.



Mendapatkan informasi



mengenai



tindaklanjut



atau perkembangan



penanganan Lembaga Perlindungan Saksi terhadap pelanggaran atau kejahatan yang telah diungkap. c.



Mendapatkan balas jasa atau reward dari negara atas kesaksian yang telah diungkap karena kesaksian mampu membongkar suatu kejahatan yang lebih besar.



d.



Selanjutnya sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, LPSK juga melindungi whistleblower berupa:



e.



saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata;



f.



saksi yang juga tersangka tidak dapat dibebaskan dari tuntutanpidana apabila ternyata terbukti bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dij adikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dij atuhkan Selain itu, Wistle Blower juga mendapatkan perlindungan baik fisik maupun non fisik. Perlindungan secara fisik misalnya terkait dengan penempatan whistleblower di



tempat



yang aman, perubahan identitas,



termasuk



perlindungan terhadap keluarga whistleblower. Melalui perlindungan fisik itu,



diharapkan whistleblower dapat terhindari dari tindakan balas dendam, intimidasi, atau ancaman lainnya. Perlindungan non



fisik menyangkut



perlindungan whistleblower dari resiko pemecatan dari tempat ia bekerja, dikriminalisasikan, pendampingan secara psikologis, dan komunikasi yang efektif dengan lembaga yang menangani laporan untuk memastikan perkembangan penangangan laporan. Sistem perlindungan juga terkait dengan pemberian balas jasa atau reward terhadap whistleblower. Dengan adanya wistle blower ini diharapkan bahwa pengungkapan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat berjalan lancar sesuai yang diharapkan. Hal ini membutuhkan dengan adanya peraturan perundang-undangan yang memadai untuk memberikan penjelasan serta mekanisme tentang adanya whistle blower ini. Serta adanya dukungan dari berbagai pihak seperti lembaga swasta maupun pemerintahan dalam pembentukan lembaga penerimaan laporan dari whistle blower serta memberikan perlindungan. B. Justice Collaborator Pengertian Justice Collaborator secara yuridis dapat ditemukan pada Surat Edaran MA (SEMA) No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator. Pada SEMA tersebut, Justice Collaborator dimaknai sebagai seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan. Dalam Surat Keputusan Bersama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, KPK dan Mahkamah Agung, Justice Collaborator adalah seorang saksi, yang juga merupakan pelaku, namun mau bekerjasama dengan penegak hukum dalam rangka membongkar suatu perkara bahkan mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi apabila aset itu ada pada dirinya. Untuk menentukan seseorang sebagai Justice Collaborator, sesuai SEMA No. 4 Tahun 2011, ada



beberapa pedoman, yaitu : Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalamSEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. Jaksa penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan assetaset/hasil suatu tindak pidana. Atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang bekerja sama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut : a. Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus, dan/atau b.



Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara dimaksud



c.



Dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.



Justice collaborator merupakan setiap tersangka yang terlibat organisasi kejahatan dan telah melakukan suatu tindak pidana baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan aparatur hukum untuk bekerja sama dengan penegak hukum menemukan alat-alat bukti dan barang bukti sehingga penyidikan dan penuntutan dapat berjalan efektif. Dalam RUU Tipikor 2011, justice collaborator telah diatur dalam Pasal 52 ayat (1):”Salah seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya paling ringan dapat dijadikan saksi dalam perkara yang sama dan dapat dibebaskan dari penuntutan pidana, jika ia dapat membantu mengungkap tindak pidana korupsi tersebut.Pasal 52 ayat (2):” Jika tidak ada tersangka atau terdakwa yang pernannya



ringan dalam tindak pidana korupsi ….maka yang membantu mengungkap tindak pidana korupsi dapat dikurangi pidananya.” Namun dalam Hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) belum mengatur ketentuan mengenai baik whistle blower maupun justice collaborator kecuali UU RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi/Korban. UU ini pun tidak memberikan “hak istimewa” kepada seorang justice collaborator, kecuali “peniup peluit”. Perlindungan hukum bagi justice collaborator tidak sebatas fisik melainkan juga “keringanan-keringanan” yang bisa ditawarkan. Keringanan itu baik dalam menentukan besarnya tuntutan penuntut atau hukuman yang akan dijatuhkan oleh hakim di persidangan atau bahkan kemungkinan untuk dibebaskan dari penuntutan. Keringanan-keringanan bagi justice collaborator telah diatur dalam Konvensi PBB Antik korupsi 2003 dan Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Terorganisasi 2000 yang telah diratifikasi Indonesia. Tindak Pidana Korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa (Ekstra ordinary Crime) yang dilakukan oleh perseorangan atau korporasi dan pegawai negeri atau pejabat negara. Tindak pidana/kejahatan ini dilakukan untuk memperkaya diri sendiri atau suatu korporasi yang dilakukan dengan berbagai cara. Perbuatan ini erat kaitannya dengan dapat menimbulkan kerugian negara atau perekonomian negara. Dalam proses pemeriksaan tindak pidana ini banyak kasus-kasus yang tidak terselesaikan mapun pemberian putusan yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Koruptor-koruptor sepertinya begitu pintar dan licik dalam menyembunyikan perbuatannya hingga para aparatur penegak hukum yang telah memiliki kualitas dan keahlian dibidanganya dalam menangani kasus-kasus kejahatan tidak dapat menemukan atau membuktikan suatu perbuatan tindak pidana korupsi yang telah merugikan keuangan negara atau yang dapat merugikan keuangan negara tersebut. Padahal koruptor-koruptor tidak memiliki pendidikan khusus korupsi, dibandingkan dengan apara penegak hukum yang masing-masing memiliki keahlian khusus, misalnya Hakim, Jaksa



Penuntut Umum, Penyidik yang telah dipersiapkan dengan matang-matang dengan berbagai pelatihan. Alasan yang sering diungkapkan oleh para aparatur ketika menangani kasus korupsi yaitu tidak cukup bukti. Alasan ini sebenarnnya bukanlah alasan yang dapat diterima begitu saja, karena hal ini dapat melemahkan kedudukan masyarakat yang selalu mendukung kinerja aparatur dalam penegakan hukum untuk memberantas korupsi. Namun pada faktanya, perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia masih lemah karena masih banyaknya koruptor-koruptor yang diputus tidak sesuai dengan harapan dan bahkan ada koruptor yang bebas dari jeratan hukum. Sebuah ironi yang sangat memilukan seperti terkena bencana ketika mendengarkan seorang koruptor harus bebas dari segala tuntutan hukum dan dibiarkan begitu saja berkeliaran menikmati uang negara yang merupakan uang masyarakat Indonesia. Ini merupakan PR bagi masyarakat Indonesia maupun aparatur penegak hukum untuk memberantas Korupsi, agar bersih dari penyelenggara negara ini. Searah dengan perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia, telah banyak terobosan hukum atau strategi yang digunakan dalam penegakan hukum. Terobosan baru yang digunakan dalam pemberantasan korupsi, seperti pemberian perlindungan hukum bagi setiap orang lazimnya korban yang kemudian bersaksi memberikan keterangan kepada penyidik mengenai seluk beluk tindak pidana yang ia ketahui dan dengar sendiri bahkan ia alami sendiri, terobosan ini biasa dikenal dengan istilah Whistle blower. Lain halnya dengan Justice Collaborator, yaitu pemberian perlindungan hukum yang tidak hanya sebatas fisik melainkan juga “keringanan-keringanan” yang bisa ditawar, dan ini biasanya diberikan kepada salah seorang tersangka/terdakwa yang perannya paling ringan dapat dijadikan sebagai saksi dalam perkara yang sama dan bisa saja dibebaskan dari penuntutan pidana, jika ia dapat membantu mengungkap tindak pidana korupsi tersebut. Peran LPSK RI dalam hal ini adalah;



a. Perlindungan kepada saksi dan korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan (Pasal 2 UU No.13/2006). b. Perlindungan saksidan/atau korban bertujuan memberikan rasa aman dalam memberikan keterangn pada setiap proses peradilan pidana(Pasal 4 UU No. 13/2006). c. LPSK bertugas menangani pemberian perlindungan dan bantuan bagi saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam UU ini (Pasal 12 UU No.13/2006). Kewenangan LPSK RI; 1. Meminta keterangan lisan/tertulis dari pemohon 2. Menelaah keterangan untuk dapatkan keterangan 3. Meminta salinan surat/dokumen dari instansi manapun 4. Meminta informasi perkembangan kasus dari Aparat Penegak Hukum 5. Mengubah identitas terlindung 6. Mengelola rumah aman 7. Merelokasi terlindung ke tempat lebih aman 8. Melakukan pengamanan dan pengawalan 9. Mendampingi saksi/korban dalam peradilan 10. Penilaian dalam pemberian restitusi dan kompensasi Pentingnya perlindungan dari LPSK RI terhadap tindak pidana korupsi karena dilihat dari tingginya angka korupsi, perlu penanganan tepat bagi saksi dan pelapor agar bisa



aman dan nyaman memberikan kesaksian, dan perlindungan saksi dan pelapor korupsi penting mengingat ancaman bagi mereka yang sangat besar.



BAB III PERLINDUNGAN BAGI WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATORS TINDAK PIDANA KORUPSI A. Whistleblower Istilah whistleblower dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “peniup peluit”, disebut demikian karena sebagaimana halnya wasit dalam pertandingan sepak bola atau olahraga lainnya yang meniupkan peluit sebagai pengungkapan fakta terjadinya pelanggaran. Dalam tulisan ini, istilah “peluit peluit “ diartikan sebagai orang yang mengungkap fakta kepada public mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik atau korupsi. Dalam perkembangan penegakan pemberantasan korupsi Whistle blower sering disamakan dengan pengungkap aib yaitu istilah bagi karyawan, mantan karyawan atau pekerja, anggota dari suatu institusi atau organisasi yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap melanggar ketentuan kepada pihak yang berwenang. Secara umum segala tindakan yang melanggar ketentuan berarti melanggar hukum, aturan dan persyaratan yang menjadi ancaman pihak publik atau kepentingan publik. Termasuk di dalamnya korupsi, pelanggaran atas keselamatan kerja, dan masih banyak lagi. Whistleblower berkembang diberbagai Negara dengan seperangkat aturan masing-masing, diantaranya ialah : a.



Amerikat Serikat, whistleblower diatur dalam Whistleblower Act 1989, Whistleblower di Amerika Serikat dilindungi dari pemecatan, penurunan pangkat, pemberhentian sementara, ancaman, gangguan dan tindak diskriminasi.



b.



Afrika Selatan, Whistleblower diatur dalam Pasal 3 Protected Dsdosures Act Nomor 26 Tahun 2000, Whistleblower diberi perlindungan dari accupational detriment atau kerugian yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan.



c.



Canada, Whistleblower diatur dalam Section 425.1 Criminal Code of Canada. Whistleblower dilindungi dari pemberi pekerjaan yang memberikan hukuman disiplin, menurunkan pangkat, memecat atau melakukan tindakan apapun yang merugikan dari segi pekerjaan dengan tujuan untuk mencegah pekerja memberikan informasi kepada pemerintah atau badan pelaksanaan hukum atau untuk membalas pekerja yang memberikan informasi.



d.



Australia, Whistleblower diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21 Protected Dsdosures Act 1994. Whistleblower identitasnya dirahasiakan, tidak ada pertanggungjawban secara pidana atau perdata, perlindungan dari penceraman nama baik perlindungan dari pihak pembalasan dan perlindungan kondisional apabila namanya dipublikasikan ke media.



e.



Inggris, Whistleblower diatur Pasal 1 dan Pasal 2 Public Interes Disclouse Act 1998. Whistleblower tidak boleh dipecah dan dilindungi dari viktimisasi serta perlakuan yang merugikan.



Jika dilihat di Indonesia, pengertian Whistleblower menurut PP No.71 Tahun 2000 adalah orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor. Adapun istilah pengungkap fakta (whistleblower) dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pelindungan Saksi dan Korban tidak memberikan pengertian tentang “pengungkap fakta”, dan berkaitan dengan itu hanya memberikan pengertian tentang saksi. Adapun yang disebut dengan saksi menurut UU No. 13 Tahun 2006 adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan / atau ia alami sendiri. Dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011, Whistle Blower diartikan sebagai pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang



dilaporkannya. Namun demikian dalam praktiknya kadang whistleblower juga terlibat dan memiliki peran yang kecil dalam kejahatan tersebut. Banyak pandangan-pandangan yang sering mengungkapkan bahwa Whistle Blower merupakan saksi pelapor, atau orang yang melaporkan suatu tindak pidana korupsi atau permufakatan jahat kepada aparatur penegak hukum atau penyidik. Namun sebenarnya seseorang disebut Wistle Blower, apabila memenuhi dua kriteria yaitu Whistleblower menyampaikan atau mengungkap laporan kepada otoritas yang berwenang atau kepada media massa atau publik. Dengan mengungkapkan kepada otoritas yang berwenang atau media massa diharapkan dugaan suatu kejahatan dapat diungkap dan terbongkar. Seorang whistleblower merupakan orang ‘dalam’, yaitu orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di tempatnya bekerja atau ia berada. Karena skandal kejahatan selalu terorganisir, maka seorang whistleblower kadang merupakan bagian dari pelaku kejahatan atau kelompok mafi a itu sendiri. Dia terlibat dalam skandal



lalu



mengungkapkan



kejahatan



yang



terjadi. Dengan



demikian,



seorang whistleblower benar-benar mengetahui dugaan suatu pelanggaran atau kejahatan karena berada atau bekerja dalam suatu kelompok orang terorganisir yang diduga melakukan kejahatan, di perusahaan, institusi publik, atau institusi pemerintah. Laporan yang disampaikan oleh whistleblower merupakan suatu peristiwa faktual atau benar-benar diketahui si peniup peluit tersebut. Bukan informasi yang bohong atau fitnah. Whistleblower berperan untuk memudahkan pengungkapan tindak pidana korupsi, karena Whistleblower itu sendiri tidak lain adalah orang dalam didalam institusi di mana ditengerai telah terjadi praktik korupsi. Sebagai orang dalam, seorang Whistleblower merupakan orang yang memberikan informasi telah terjadi pidana korupsi dimana ia bekerja. Seorang Whistleblower ini biasanya merupakan orang yang tidak terlibat dalam perbuatan korupsi namun mengetahui tentang terjadinya korupsi atau pemufakatan jahat. Dalam konteks hukum positif kita, kehadiran Whistleblower perlu mendapatkan perlindungan agar



kasus-kasus korupsi bisa diendus dan dibongkar. Hak-hak whistleblower yang juga seorang saksi (pelapor) telah diatur dalam UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Haknya meliputi: Memperoleh perlindungan dari lembaga perlindungan saksi. Bahkan, keluarga whistleblower pun bisa memperoleh perlindungan. Bentuk perlindungan pun bermacam-macam. Misalnya, mendapat identitas baru, tempat kediaman baru yang aman (safe house), pelayanan psikologis, dan biaya hidup selama masa perlindungan. a.



Memberikan keterangan atau kesaksian mengenai suatu pelanggaran atau kejahatan yang diketahui dengan bebas, tanpa rasa takut atau terancam.



b.



Mendapatkan informasi



mengenai



tindaklanjut



atau perkembangan



penanganan Lembaga Perlindungan Saksi terhadap pelanggaran atau kejahatan yang telah diungkap. c.



Mendapatkan balas jasa atau reward dari negara atas kesaksian yang telah diungkap karena kesaksian mampu membongkar suatu kejahatan yang lebih besar.



d.



Selanjutnya sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, LPSK juga melindungi whistleblower berupa:



e.



saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata;



f.



saksi yang juga tersangka tidak dapat dibebaskan dari tuntutanpidana apabila ternyata terbukti bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dij adikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dij atuhkan Selain itu, Wistle Blower juga mendapatkan perlindungan baik fisik maupun non fisik. Perlindungan secara fisik misalnya terkait dengan penempatan whistleblower di



tempat



yang aman, perubahan identitas,



termasuk



perlindungan terhadap keluarga whistleblower. Melalui perlindungan fisik itu,



diharapkan whistleblower dapat terhindari dari tindakan balas dendam, intimidasi, atau ancaman lainnya. Perlindungan non



fisik menyangkut



perlindungan whistleblower dari resiko pemecatan dari tempat ia bekerja, dikriminalisasikan, pendampingan secara psikologis, dan komunikasi yang efektif dengan lembaga yang menangani laporan untuk memastikan perkembangan penangangan laporan. Sistem perlindungan juga terkait dengan pemberian balas jasa atau reward terhadap whistleblower. Dengan adanya wistle blower ini diharapkan bahwa pengungkapan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat berjalan lancar sesuai yang diharapkan. Hal ini membutuhkan dengan adanya peraturan perundang-undangan yang memadai untuk memberikan penjelasan serta mekanisme tentang adanya whistle blower ini. Serta adanya dukungan dari berbagai pihak seperti lembaga swasta maupun pemerintahan dalam pembentukan lembaga penerimaan laporan dari whistle blower serta memberikan perlindungan. B. Justice Collaborator Pengertian Justice Collaborator secara yuridis dapat ditemukan pada Surat Edaran MA (SEMA) No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator. Pada SEMA tersebut, Justice Collaborator dimaknai sebagai seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan. Dalam Surat Keputusan Bersama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, KPK dan Mahkamah Agung, Justice Collaborator adalah seorang saksi, yang juga merupakan pelaku, namun mau bekerjasama dengan penegak hukum dalam rangka membongkar suatu perkara bahkan mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi apabila aset itu ada pada dirinya. Untuk menentukan seseorang sebagai Justice Collaborator, sesuai SEMA No. 4 Tahun 2011, ada



beberapa pedoman, yaitu : Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalamSEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. Jaksa penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan assetaset/hasil suatu tindak pidana. Atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang bekerja sama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut : a. Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus, dan/atau b.



Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara dimaksud



c.



Dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.



Justice collaborator merupakan setiap tersangka yang terlibat organisasi kejahatan dan telah melakukan suatu tindak pidana baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan aparatur hukum untuk bekerja sama dengan penegak hukum menemukan alat-alat bukti dan barang bukti sehingga penyidikan dan penuntutan dapat berjalan efektif. Dalam RUU Tipikor 2011, justice collaborator telah diatur dalam Pasal 52 ayat (1):”Salah seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya paling ringan dapat dijadikan saksi dalam perkara yang sama dan dapat dibebaskan dari penuntutan pidana, jika ia dapat membantu mengungkap tindak pidana korupsi tersebut.Pasal 52 ayat (2):” Jika tidak ada tersangka atau terdakwa yang pernannya



ringan dalam tindak pidana korupsi ….maka yang membantu mengungkap tindak pidana korupsi dapat dikurangi pidananya.” Namun dalam Hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) belum mengatur ketentuan mengenai baik whistle blower maupun justice collaborator kecuali UU RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi/Korban. UU ini pun tidak memberikan “hak istimewa” kepada seorang justice collaborator, kecuali “peniup peluit”. Perlindungan hukum bagi justice collaborator tidak sebatas fisik melainkan juga “keringanan-keringanan” yang bisa ditawarkan. Keringanan itu baik dalam menentukan besarnya tuntutan penuntut atau hukuman yang akan dijatuhkan oleh hakim di persidangan atau bahkan kemungkinan untuk dibebaskan dari penuntutan. Keringanan-keringanan bagi justice collaborator telah diatur dalam Konvensi PBB Antik korupsi 2003 dan Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Terorganisasi 2000 yang telah diratifikasi Indonesia. Tindak Pidana Korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa (Ekstra ordinary Crime) yang dilakukan oleh perseorangan atau korporasi dan pegawai negeri atau pejabat negara. Tindak pidana/kejahatan ini dilakukan untuk memperkaya diri sendiri atau suatu korporasi yang dilakukan dengan berbagai cara. Perbuatan ini erat kaitannya dengan dapat menimbulkan kerugian negara atau perekonomian negara. Dalam proses pemeriksaan tindak pidana ini banyak kasus-kasus yang tidak terselesaikan mapun pemberian putusan yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Koruptor-koruptor sepertinya begitu pintar dan licik dalam menyembunyikan perbuatannya hingga para aparatur penegak hukum yang telah memiliki kualitas dan keahlian dibidanganya dalam menangani kasus-kasus kejahatan tidak dapat menemukan atau membuktikan suatu perbuatan tindak pidana korupsi yang telah merugikan keuangan negara atau yang dapat merugikan keuangan negara tersebut. Padahal koruptor-koruptor tidak memiliki pendidikan khusus korupsi, dibandingkan dengan apara penegak hukum yang masing-masing memiliki keahlian khusus, misalnya Hakim, Jaksa



Penuntut Umum, Penyidik yang telah dipersiapkan dengan matang-matang dengan berbagai pelatihan. Alasan yang sering diungkapkan oleh para aparatur ketika menangani kasus korupsi yaitu tidak cukup bukti. Alasan ini sebenarnnya bukanlah alasan yang dapat diterima begitu saja, karena hal ini dapat melemahkan kedudukan masyarakat yang selalu mendukung kinerja aparatur dalam penegakan hukum untuk memberantas korupsi. Namun pada faktanya, perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia masih lemah karena masih banyaknya koruptor-koruptor yang diputus tidak sesuai dengan harapan dan bahkan ada koruptor yang bebas dari jeratan hukum. Sebuah ironi yang sangat memilukan seperti terkena bencana ketika mendengarkan seorang koruptor harus bebas dari segala tuntutan hukum dan dibiarkan begitu saja berkeliaran menikmati uang negara yang merupakan uang masyarakat Indonesia. Ini merupakan PR bagi masyarakat Indonesia maupun aparatur penegak hukum untuk memberantas Korupsi, agar bersih dari penyelenggara negara ini. Searah dengan perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia, telah banyak terobosan hukum atau strategi yang digunakan dalam penegakan hukum. Terobosan baru yang digunakan dalam pemberantasan korupsi, seperti pemberian perlindungan hukum bagi setiap orang lazimnya korban yang kemudian bersaksi memberikan keterangan kepada penyidik mengenai seluk beluk tindak pidana yang ia ketahui dan dengar sendiri bahkan ia alami sendiri, terobosan ini biasa dikenal dengan istilah Whistle blower. Lain halnya dengan Justice Collaborator, yaitu pemberian perlindungan hukum yang tidak hanya sebatas fisik melainkan juga “keringanan-keringanan” yang bisa ditawar, dan ini biasanya diberikan kepada salah seorang tersangka/terdakwa yang perannya paling ringan dapat dijadikan sebagai saksi dalam perkara yang sama dan bisa saja dibebaskan dari penuntutan pidana, jika ia dapat membantu mengungkap tindak pidana korupsi tersebut. Peran LPSK RI dalam hal ini adalah;



a. Perlindungan kepada saksi dan korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan (Pasal 2 UU No.13/2006). b. Perlindungan saksidan/atau korban bertujuan memberikan rasa aman dalam memberikan keterangn pada setiap proses peradilan pidana(Pasal 4 UU No. 13/2006). c. LPSK bertugas menangani pemberian perlindungan dan bantuan bagi saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam UU ini (Pasal 12 UU No.13/2006). Kewenangan LPSK RI; 1. Meminta keterangan lisan/tertulis dari pemohon 2. Menelaah keterangan untuk dapatkan keterangan 3. Meminta salinan surat/dokumen dari instansi manapun 4. Meminta informasi perkembangan kasus dari Aparat Penegak Hukum 5. Mengubah identitas terlindung 6. Mengelola rumah aman 7. Merelokasi terlindung ke tempat lebih aman 8. Melakukan pengamanan dan pengawalan 9. Mendampingi saksi/korban dalam peradilan 10. Penilaian dalam pemberian restitusi dan kompensasi Pentingnya perlindungan dari LPSK RI terhadap tindak pidana korupsi karena dilihat dari tingginya angka korupsi, perlu penanganan tepat bagi saksi dan pelapor agar bisa



aman dan nyaman memberikan kesaksian, dan perlindungan saksi dan pelapor korupsi penting mengingat ancaman bagi mereka yang sangat besar.



BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan Dari pembahasan yang bersumber dari materi ataupun diskusi yang dilakukan pada saat Kegiatan Magang Kerja Institusional ke beberapa lembaga negara, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa setiap lembaga



mempunyai tugas dan fungsi masing-masing dalam



melaksanakan wewenang yang diamanahkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tugas dan fungsi tersebut harus dilakukan sesuai dengan porsi masing-masing dan profesional, sehingga dalam pelaksanaannya sesuai yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia dan amanat UUD Negara Republik Indonesia yang tentunya harus didukung dengan kualitas SDM yang baik dan profesional. 2. Saran Harus adanya penekanan terhadap peningkatan Moral dan Perilaku masing-masing individu di



setiap lembaga, karena dengan



memperlancar visi dan misi yang ingin dicapai.



Moral dan Perilaku yang baik dapat



BIODATA Nama



: Serly Wulandari



Tempat/Tanggal Lahir



: Talang Pito, 14 September 1995



Jenis Kelamin



: Perempuan



Agama



: Islam



Golongan darah



:O



Pekerjaan



: Mahasiswa



Kewarganegaraan



: Indonesia



Anak ke



: 3 dari 6 bersaudara



Nama Orang Tua



:



- Ayah



: Idrus



- Ibu



: Ris Maladewi



Alamat



: Jl. Merpati 5 Kelurahan Rawa Makmur Kecamatan Muara



Bangkahulu Kota Bengkulu No. Handphone



: 082371443484



LAMPIRAN