Laporan Nekropsi Kambing 1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB 1 PEMBAHULUAN 1.1.Latar Belakang Ruminansia kecil terutama kambing menjadi salah satu hewan ternak yang cukup populer di Indonesia. Kambing relatif mudah dipelihara karena dapat memakan limbah pertanian maupun leguminosa yang tumbuh di sekitar. Kebutuhan daging kambing juga selalu ada sehingga peternak tidak perlu kebingungan memasarkan ternaknya. Kambing juga lebih cepat berkembang biak dibanding sapi. Pemeliharaan kambing saat ini umumnya masih bersifat tradisional. Tidak seperti sapi yang saat ini mulai banyak dilakukan pemeliharaan secara intensif dengan manajemen yang baik. Resiko dari pemeliharaan secara tradisional adalah penyakit tidak mudah dideteksi. Salah satu penyakit yang tidak mudah dideteksi adalah helminthiasis atau cacingan. Parasit cacing saluran pencernaan merupakan masalah utama yang menyebabkan gangguan kesehatan pada ternak khususnya ruminansia kecil. Kambing dan domba merupakan ternak yang mudah terinfestasi oleh parasit cacing saluran pencernaan baik secara klinis maupun subklinis. Kerugian yang ditimbulkan akibat infestasi cacing saluran pencernaan diantaranya adalah menurunkan performa produksi dan reproduksi disamping juga menurunkan feed intake dan feed conversion efficiency. Pada kondisi penyerapan nutrien yang tidak baik akan menghambat pertumbuhan akan memicu terjadinya anemia dan bahkan kematian pada infestasi parasit cacing yang berat. Lebih jauh lagi,



infestasi parasit cacing akan menimbulkan lemahnya kekebalan tubuh, sehingga ternak lebih rentan terhadap infeksi penyakit pathogen lain dan akhirnya akan menyebabkan kerugian ekonomi (Purwaningsih, dkk, 2017). Keberadaan parasit saluran pencernaan pada suatu daerah tertentu sangat tergantung kepada curah hujan, kelembaban, dan temperatur yang bervariasi di setiap daerah. Adanya infestasi tunggal, ganda, dan campuran pada satu ekor kambing yang disebabkan oleh infestasi cacing tidak menyebabkan kematian terhadap inang namun hanya menyebabkan penurunan sistem imun inang sehingga memungkinkan terjadinya infestasi sekunder oleh jenis cacing lainnya. Penularan cacing dapat terjadi melalui pakan dan minum yang tercemar oleh tinja ternak yang terinfestasi cacing. Penyakit saluran pencernaan pada umumnya disebabkan oleh cacing dari golongan Nematoda, Trematoda dan Cestoda (Mulyadi, 2018). Infestasi cacing pada kambing menjadi salah satu penyebab ganguan kesehatan pada kambing yang perlu diperhatikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan nekropsi pada salah satu kambing sakit pada populasi yang dicurigai mengalami penyakit cacingan. 1.2.Tujuan 1. Mengetahui perubahan-perubahan patologi anatomi dan histologis pada kambing 2. Mengetahui cara diagnosa penyakit pada kambing



1.3.Manfaat Sebagai langkah awal untuk menentukan terapi yang baik dan benar untuk kambing dan menentukan manajemen pemeliharaan yang tepat untuk kambing.



BAB 2 METODE NEKROPSI



2.1.Waktu Nekropsi Kamis, 26 Desember 2019 2.2.Tempat Nekropsi Laboratorium Nekropsi Patologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga 2.3.Jenis hewan Kambing Jawa 2.4.Jenis kelamin Jantan 2.5.Usia ± 3 bulan 2.6.Metode Eutanasi Eutanasia didefinisikan sebagai mengakhiri kehidupan hewan dengan cara meminimalkan atau menghilangkan rasa sakit dan penderitaan. Eutanasia harus menggunakan teknik yang mendorong kematian paling cepat, tidak menyakitkan, dan tanpa tekanan. Kriteria utama untuk eutanasia dalam hal kesejahteraan hewan adalah bahwa metode ini tidak menimbulkan rasa sakit, mencapai ketidaksadaran yang cepat dan kematian, membutuhkan pengekangan minimum, sesuai untuk usia, spesies, dan kesehatan hewan, harus meminimalkan rasa takut dan tekanan psikologis pada hewan, dapat diandalkan, direproduksi, ireversibel, mudah diberikan (dalam dosis



kecil jika mungkin) dan aman untuk operator, dan, sejauh mungkin, dapat diterima secara estetika untuk operator. Pada nekropsi kambing yang akan kami lakukan, hewan dieutanasi dengan cara penyembelihan secara agama Islam. Kambing dikeringkan atau dibuang darahnya dengan cara digorok lehernya tanpa terlebih dahulu dibuat tak sadarkan diri. Dalam penyembelihan, hewan dikekang atau restrain dengan cara tidak sesuai dengan prinsip kesejahteraan hewan karena membuat hewan stres dan tidak nyaman, tetapi dengan cara ini akan menutupi reaksi hewan terhadap luka. Penyembelihan dilakukan dengan memotong putus 3 bagian dari leher secara cepat yaitu saluran makanan dan minuman yang berada di bawah tenggorokan, saluran pernafasan atau tenggorokan, dan dua pembuluh darah arteri dan vena. Alat penyembelihan merupakan salah satu syarat yang diharuskan dalam proses penyembelihan. Alat penyembelihan disyaratkan merupakan alat yang tajam dan sekiranya mempercepat kematian hewan serta meringankan rasa sakit hewan yang disembelih. Alat penyembelihan diwajibkan selalu dalam keadaan tajam supaya dapat memotong dan mengalirkan darah dengan deras sekali dari sayatan pada leher agar tidak terlalu menyakitkan dan mempercepat kematian hewan sembelihan. Penghentian respirasi dan detak jantung, dan hilangnya refleks adalah indikator yang baik untuk kematian. Personil harus dilatih untuk mengenali dan memastikan kematian ketika membunuh hewan-hewan ini.



2.7.Metode Nekropsi Nekropsi adalah salah satu cara diagnosis suatu penyakit pada hewan yang telah mati, dapat dilakukan dengan pemeriksaan secara sistematis dan cermat, sehingga dapat diketahui perubahan-perubahan yang terjadi, khususnya pada penyakitpenyakit yang mengakibatkan perubahan karakteristik di dalam tubuh hewan. Cara nekropsi sering dibutuhkan, sebab diagnosis ini adalah diagnosis lapangan. Bila kurang yakin akan hasil diagnosis, dapat dikuatkan dengan bantuan diagnosis laboratoris. Sifat pemeriksaan nekropsi berdasarkan perubahan anatomis histologis, yang untuk penyakit tertentu diagnosis dapat ditentukan dengan hanya melihat perubahan makroskopis. Nekropsi harus dilakukan secepat mungkin setelah hewan mati, untuk mencegah terjadinya perubahan setelah kematian. Apabila tidak dapat dilakukan langsung, bangkai dapat disimpan dalam tumpukan es atau tempat yang dingin, untuk mencegah pencemaran. Hewan yang dinekropsi adalah kambing kacang berusia 2 bulan. Alat yang digunakan adalah pisau untuk menyembelih hewan, scalpel dan blade, pinset anatomis, gunting untuk nekropsi. Langkah kerja nekropsi, yaitu : 1. Melakukan inspeksi eksternal terlebih dahulu pada tubuh hewan. Lakukan



palpasi untuk memeriksa konsistensi, struktur tulang dan kelainan lainnya, kemudian periksa mukosa mata, bulu, kaki, mulut, dan kondisi kulit. 2. Hewan dieutanasi dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan dan



kesejahteraan hewan. 3. Telentangkan hewan dan iris bagian bahu dan paha. 4. Buka rongga abdomen dan amati organnya kemudian ambil organ di cavum



abdomen 5. Buka rongga thorak, amati organnya dan ambil semua organnya.



6. Untuk memeriksa otak, dapat dikeluarkan dengan cara kulit daerah kepala



dibuka, buat irisan longitudianal dari foramen magnum ke os frontal pada sisi kanan kiri, irisan transversal dari sudut mata luar kanan dan kiri sehingga akan bertemu. Setelah terbuka selaput otak dibuka dan amati perubahannya. Keluarkan otak dengan memotong perlekatan pada lobus olfaktorius, balikkan kepala. 7. Periksa semua organ secara makroskopis. 8. Masukkan dalam formalin 10% 9. Lakukan pembuatan preparat histopatologi. 10. Amati perubahan patologis secara mikroskopis dan buat diagnosa patologis.



BAB 3 HASIL



3.1.Pembahasan Gambaran Histopatologis Antigen parasit akan mengaktifkan sistem imun Th2 pada inang. Antigen parasit akan dikenali oleh epitel usus pada lokasi tertentu. Hal ini kemudian akan mengaktivasi pembentukan alarmin, yakni interleukin25 (IL25), IL33, dan thymic stromal lymphopoietin (TSLP). Alarmin TSLP akan mengaktivasi sel dendritik (DC) yang merupakan antigen presenting cell (APC). Sel dendritik memiliki peranan penting dalam mengawali respon imun alami (innate) maupun adaptif. Sel ini dapat mengekspresikan beberapa kelas pattern recognition receptors (PRR), seperti tolllike receptors (TLR), Ctype lectin receptors, nodlike receptors, dan RIGI like receptor yang dapat mengenali komponen patogen yang spesifik (Figueiredo et al, 2010). Komponen dari cacing yang dikenali akan berikatan dengan PRR yang sesuai, kemudian diterjemahkan oleh sel dendritik menjadi suatu stimulus untuk sel T. Stimulus tersebut merupakan kaskade sinyal yang diawali dengan aktivasi mitogen activated protein kinase (MAPK) dan nuclear factorB (NFB) dan menginduksi ekspresi gen yang terlibat dalam maturasi sel dendritik dan kemampuannya untuk mengarahkan respon sel T menuju respon imun Th2. Hal ini akan mengawali respon sel T yang produktif. Stimulus sel T yang diterima dari sel dendritik mencakup peptida MHC II (sinyal 1), ekspresi atau tidak adanya polarisasi



molekul kostimulator (sinyal 2) dan ekspresi atau tidak adanya polarisasi sitokin (sinyal 3) (Acevedo et al, 2011). Antigen yang disajikan akan dikenali oleh PRR pada sel dendritic kemudian akan mengaktivasi kaskade sinyal, salah satunya adalah sinyal untuk mengaktifkan NfkB1. NfkB1 merupakan faktor transkripsi yang terdapat pada sitoplasma dengan diikat oleh protein inhibitorkappaB (IB). Sinyal aktivasi akan menyebabkan IB terfosforilasi dan didegradasi sehingga NFB dapat bertranslokasi ke inti sel yang kemudian berperan dalam transkripsi berbagai gen respon imun yang mendukung aktivasi respon imun Th2 (Moynagh, 2005). Alarmin IL25 dan IL33 akan menginduksi amplifikasi sel helper innate yang juga disebut dengan nuocyte atau natural helper. Sel ini kemudian akan melepaskan IL13 yang kemudian akan mendukung aktivasi imunitas tipe 2. IL3 akan berikatan dengan reseptor IL13 (IL13R) yang akan menginduksi respon pada beberapa tempat. Respon pertama adalah hiperkontraktilitas pada otot polos saluran pencernaan. Respon ke dua merupakan hiperproliferasi pada sel epitel usus. IL13 akan meningkatkan turnover sel epitel usus sehingga menghasilkan epithelial escalator dan menginduksi diferensiasi sel goblet. Sel goblet akan



memproduksi musin5AC (MUC5AC) dan protein anti nematoda



resitinlike molecule (RELM). MUC5AC dan RELM akan menghambat kemampuan parasit cacing dalam mengambil nutrisi dari tubuh inang (Rao et al, 2000).



Respon lainnya adalah pembentukan IL5 dan alternatively activated macrophage (AAM). IL5 dan CC-chemokine ligand (CCL11) akan mendukung pembentukan eosinofil yang diharapkan dapat mematikan parasit cacing. Hal ini dapat terjadi setelah eosinofil berikatan dengan IgE yang menempel pada permukaan tubuh parasit cacing kemudian eosinofil akan mengeluarkan granulanya yang dapat bersifat toksik (Allen et al, 2011). AAM memiliki karakteristik yang dengan makrofag klasik. AAM



berbeda



dapat menekan proliferasi sel lain apabila di kultur



bersama. Pada tempat diproduksinya nitrat oksida, sel ini akan mengupregulasi ekspresi arginase, RELM dan dua protein baru, yakni YM1 dan FIZZ1. YM1 telah diidentifikasi sebagai faktor kemotaktik eosinofil sehingga dapat menjelaskan mengapa seringkali terdapat infiltrasi lokal eosinofil di sekitar AAM (Maizels et al, 2003). Diferensiasi Th0 menjadi Th2 akan menghasilkan IL4, IL3, dan IL9. IL4 kemudian akan berikatan dengan reseptor IL4 (IL4R) sehingga menginduksi respons yang mendukung pembentukan AAM dan produksi IL6 yang akan mendukung respon humoral melalui aktivasi sel B yang akan menghasilkan imunoglobulinG1 (IgG1), IgG4, IgE dan IgA.IgG1 berperan dalam



mengurangi tingkat kesuburan



parasit cacing. Peningkatan IgE dalam sirkulasi darah sering ditemukan pada inang penderita infeksi cacing usus. IL3 dan IL9 akan menyebabkan amplifikasi pula efektor innate, diantaranya adalah sel mast yang juga memiliki granulgranul untuk upaya eradikasi parasit cacing dari tubuh pejamu. Selain sel mast, akan terjadi pula



aktivasi pada sel basofil. Protease sel mast akan mendegradasi tight junction pada lapisan sel epitel sehingga terdapat celah untuk perpindahan cairan ke dalam usus. Hal ini akan mendukung terjadinya proses ‘weep and sweep’ (Allen, 2011). Infeksi parasit cacing juga mampu menginduksi populasi sel T yang supresif yang dikenal sebagai sel T regulator (Treg). Sel ini dapat mengendalikan morbiditas dan melemahkan resistensi pada reinfeksi melalui mekanisme regulator imun potennya.



Beberapa jenis dari sel Treg telah diketahui diantaranya adalah Treg



natural, Tr1, dan Th3. Sel tersebut mengekspresikan penanda, seperti Foxp3, CD25, CTLA4, dan GITR, dan seringkali menyekresikan IL10 dan/atau TGF. Treg memiliki peranan yang penting dalam mengatur respon imun dan menjaga homeostasis pada beberapa keadaan penyakit termasuk penyakit autoimun, inflamasi, kanker, dan infeksi mikroba. Treg mengatur imunitas melalui mekanisme yang tergantung dan tidak tergantung sitokin. Sel Th3 membuat TGF, yang menghambat perkembangan sel Th1 dan Th2. Sel Tr1 dapat mengatur imunitas melalui mekanisme yang dipengaruhi oleh keberadaan IL10 yang juga dapat menghambat respon Th1 dan Th2 (D’Elia et al, 2009).



3.2



HISTOPATOLOGI



Gambar 3.2.1 Infiltrasi Sel Radang. Terdapat infiltrasi sel radang pada lamina propria usus. HE, 40x (kiri) dan 100x (kanan).



Gambar 3.2.2 Proliferasi Sel Goblet. Terdapat proliferasi sel goblet pada epitel usus. HE, 40x (kiri) dan 100x (kanan).



BAB 4 PEMBAHASAN 4.1. Pembahasan Patologi Anatomi



Gambaran patologi usus kambing yang terinfeksi helmint terlihat berwarna merah pada permukaan mukosa usus disertai cairan kental menyerupai pepaya. Cacing yang terdapat di dalam usus merupakan faktor penting dalam patogenisitas dari helminthiasis ini. Mukosa usus yang terinfeksi helmint terlihat kemerahan akibat gigitan cacing dewasa. Perubahan akibat gigitan ini kemungkinan akan bisa menyebabkan gangguan terhadap kerja usus, sehingga akibat infeksi helmint bila dibiarkan berlarut-larut bisa menjadi cukup serius, sehingga dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Javed et al., 2008). Selain itu, infeksi parasit ini dapat juga menyebabkan kerusakan jaringan dan organ, menurunnya produksi susu, daging dan kulit serta lambatnya pertumbuhan ternak (Anosike et al., 2005). Perubahan patologi pada usus yang terinfestasi helmint yang diteliti termasuk berat. Pada fase intestinal, parasit melakukan perforasi masuk ke mukosa pada waktu itulah terjadi perdarahan. Cacing saluran pencernaan merupakan salah satu jenis penyakit yang sering dijumpai dalam usaha peternakan. Kejadian ini dapat menurunkan laju pertumbuhan dan kesehatan ternak, sebab sebagian zat makanan di dalam tubuhnya juga dikonsumsi oleh cacing hingga menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Keadaan ini dapat pula menyebabkan ternak menjadi lebih rentan terhadap berbagai penyakit yang mematikan.



4.1. Pembahasan Histopatologi



Antigen parasit akan mengaktifkan sistem imun Th2 pada inang. Antigen parasit akan dikenali oleh epitel usus pada lokasi tertentu. Hal ini kemudian akan mengaktivasi pembentukan alarmin, yakni interleukin25 (IL25), IL33, dan thymic stromal lymphopoietin (TSLP). Alarmin TSLP akan mengaktivasi sel dendritik (DC) yang merupakan antigen presenting cell (APC). Sel dendritik memiliki peranan penting dalam mengawali respon imun alami (innate) maupun adaptif. Sel ini dapat mengekspresikan beberapa kelas pattern recognition receptors (PRR), seperti tolllike receptors (TLR), Ctype lectin receptors, nodlike receptors, dan RIGI like receptor yang dapat mengenali komponen patogen yang spesifik (Figueiredo et al, 2010). Komponen dari cacing yang dikenali akan berikatan dengan PRR yang sesuai, kemudian diterjemahkan oleh sel dendritik menjadi suatu stimulus untuk sel T. Stimulus tersebut merupakan kaskade sinyal yang diawali dengan aktivasi mitogen activated protein kinase (MAPK) dan nuclear factorB (NFB) dan menginduksi ekspresi gen yang terlibat dalam maturasi sel dendritik dan kemampuannya untuk mengarahkan respon sel T menuju respon imun Th2. Hal ini akan mengawali respon sel T yang produktif. Stimulus sel T yang diterima dari sel dendritik mencakup peptida MHC II (sinyal 1), ekspresi atau tidak adanya polarisasi molekul kostimulator (sinyal 2) dan ekspresi atau tidak adanya polarisasi sitokin (sinyal 3) (Acevedo et al, 2011).



Antigen yang disajikan akan dikenali oleh PRR pada sel dendritic kemudian akan mengaktivasi kaskade sinyal, salah satunya adalah sinyal untuk mengaktifkan NfkB1. NfkB1 merupakan faktor transkripsi yang terdapat pada sitoplasma dengan diikat oleh protein inhibitorkappaB (IB). Sinyal aktivasi akan menyebabkan IB terfosforilasi dan didegradasi sehingga NFB dapat bertranslokasi ke inti sel yang kemudian berperan dalam transkripsi berbagai gen respon imun yang mendukung aktivasi respon imun Th2 (Moynagh, 2005). Alarmin IL25 dan IL33 akan menginduksi amplifikasi sel helper innate yang juga disebut dengan nuocyte atau natural helper. Sel ini kemudian akan melepaskan IL13 yang kemudian akan mendukung aktivasi imunitas tipe 2. IL3 akan berikatan dengan reseptor IL13 (IL13R) yang akan menginduksi respon pada beberapa tempat. Respon pertama adalah hiperkontraktilitas pada otot polos saluran pencernaan. Respon ke dua merupakan hiperproliferasi pada sel epitel usus. IL13 akan meningkatkan turnover sel epitel usus sehingga menghasilkan epithelial escalator dan menginduksi diferensiasi sel goblet. Sel goblet akan



memproduksi musin5AC (MUC5AC) dan protein anti nematoda



resitinlike molecule (RELM). MUC5AC dan RELM akan menghambat kemampuan parasit cacing dalam mengambil nutrisi dari tubuh inang (Rao et al, 2000). Respon lainnya adalah pembentukan IL5 dan alternatively activated macrophage (AAM). IL5 dan CC-chemokine ligand (CCL11) akan mendukung pembentukan eosinofil yang diharapkan dapat mematikan parasit cacing. Hal ini



dapat terjadi setelah eosinofil berikatan dengan IgE yang menempel pada permukaan tubuh parasit cacing kemudian eosinofil akan mengeluarkan granulanya yang dapat bersifat toksik (Allen et al, 2011). AAM memiliki karakteristik yang dengan makrofag klasik. AAM



berbeda



dapat menekan proliferasi sel lain apabila di kultur



bersama. Pada tempat diproduksinya nitrat oksida, sel ini akan mengupregulasi ekspresi arginase, RELM dan dua protein baru, yakni YM1 dan FIZZ1. YM1 telah diidentifikasi sebagai faktor kemotaktik eosinofil sehingga dapat menjelaskan mengapa seringkali terdapat infiltrasi lokal eosinofil di sekitar AAM (Maizels et al, 2003). Diferensiasi Th0 menjadi Th2 akan menghasilkan IL4, IL3, dan IL9. IL4 kemudian akan berikatan dengan reseptor IL4 (IL4R) sehingga menginduksi respons yang mendukung pembentukan AAM dan produksi IL6 yang akan mendukung respon humoral melalui aktivasi sel B yang akan menghasilkan imunoglobulinG1 (IgG1), IgG4, IgE dan IgA.IgG1 berperan dalam



mengurangi tingkat kesuburan



parasit cacing. Peningkatan IgE dalam sirkulasi darah sering ditemukan pada inang penderita infeksi cacing usus. IL3 dan IL9 akan menyebabkan amplifikasi pula efektor innate, diantaranya adalah sel mast yang juga memiliki granulgranul untuk upaya eradikasi parasit cacing dari tubuh pejamu. Selain sel mast, akan terjadi pula aktivasi pada sel basofil. Protease sel mast akan mendegradasi tight junction pada lapisan sel epitel sehingga terdapat celah untuk perpindahan cairan ke dalam usus. Hal ini akan mendukung terjadinya proses ‘weep and sweep’ (Allen, 2011).



Infeksi parasit cacing juga mampu menginduksi populasi sel T yang supresif yang dikenal sebagai sel T regulator (Treg). Sel ini dapat mengendalikan morbiditas dan melemahkan resistensi pada reinfeksi melalui mekanisme regulator imun potennya.



Beberapa jenis dari sel Treg telah diketahui diantaranya adalah Treg



natural, Tr1, dan Th3. Sel tersebut mengekspresikan penanda, seperti Foxp3, CD25, CTLA4, dan GITR, dan seringkali menyekresikan IL10 dan/atau TGF. Treg memiliki peranan yang penting dalam mengatur respon imun dan menjaga homeostasis pada beberapa keadaan penyakit termasuk penyakit autoimun, inflamasi, kanker, dan infeksi mikroba.



Treg mengatur imunitas melalui mekanisme yang



tergantung dan tidak tergantung sitokin. Sel Th3 membuat TGF, yang menghambat perkembangan sel Th1 dan Th2. Sel Tr1 dapat mengatur imunitas melalui mekanisme yang dipengaruhi oleh keberadaan IL10 yang juga dapat menghambat respon Th1 dan Th2 (D’Elia et al, 2009).



BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN



Diagnosa kambink



Kambing yang telah di nekropsi diduga mengalami Helminthiasis yang dibuktikan dengan penemuan cacing pada usus halus kambing tersebut.



Saran Diharapkan para peternak memberikan obat antihelmintik setiap 6 bulan sekali pada ternak, sehingga dapat mencegah penyakit helminthiasis. Serta menjaga kebersihan kandang dan peralatannya, agar terhindar dari agen penyakit seperti parasit, bakteri, dan jamur. Pemberian vitamin juga dapat dilakukan, agar kekebalan kambing menjadi baik dan tidak mudah sakit.



DAFTAR PUSTAKA Acevedo N, Caraballo L. 2011. IgE crossreactivity between Ascaris lumbricoides and mite allergens: Possible influences on allergic sensitization and asthma. Parasite Immunol. 33(6):30921. Allen JE, Maizels RM. 2011. Diversity and dialogue in immunity to helminths. Nat Publ Gr. 11(6):37588. D’Elia R, Behnke JM, Bradley JE, Else KJ. 2009 Regulatory T cells: a role in the control of helminthdriven intestinal pathology and worm survival. J Immunol. 82(4):23408. Figueiredo CA, Barreto ML, Rodrigues LC, Cooper PJ, Silva NB, Amorim LD. Chronic intestinal helminth infections are associated with immune hyporesponsiveness and I nduction of a regulatory network. Infect Immun. 2010; 78(7):31607. Maizels RM, Yazdanbakhsh M. Immune regulation by helminth parasites: cellular and molecular mechanisms. Nat Rev Immunol. 2003. 3(9):73344. Moynagh PN. The NFB pathway. J Cell Sci. 2005; 118(20):458992. Mulyadi, T. 2018. Prevalensi Cacing Saluran Pencernaan Pada Kambing Peranakan Etawa (PE) Di Kelompok Tani Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Lampung. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. (skripsi)



Purwaningsih, Noviyanti, Priyo Sambodo. 2017. Infestasi Cacing Saluran Pencernaan Pada Kambing Kacang Peranakan Ettawa di Kelurahan Amban Kecamatan Manokwari Barat Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 5(1): 8 – 12. Rao A, Avni O. Molecular aspects of Tcell differentiation. Br Med Bull. 2000. 56(4):96984.