LAPORAN PENDAHULUAN HEMODIALISA Ismie [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN HEMODIALISA



Disusun Oleh: Ismie NIM: 20300043



PROGRAM STUDI PROFESI NERS STIKES CITRA DELIMA BANGKA BELITUNG TAHUN 2020/2021



TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease 1. Pengertian Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan penurunan fungsi ginjal progresif yang ireversibel ketika ginjal tidak mampu mempertahankan keseimbangan metabolik, cairan, dan elektrolit yang menyebabkan terjadinya uremia dan azotemia (Bayhakki, 2013). Chronic Kidney Disease adalah kemunduran fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel dimana terjadi kegagalan kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolit yang mengakibatkan uremia atau azotemia (Wijaya dan Putri, 2017). Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Chronic Kidney Disease adalah suatu keadaan klinis yang terjadi penurunan fungsi ginjal dengan ditandai terjadinya penurunan GFR selama



>3 bulan yg bersifat progresif dan irreversibel, ginjal tidak dapat mempertahankan



keseimbangan metabolik, cairan, dan elektrolit yang menyebabkan terjadinya uremia dan azotemia. 2. Etiologi a. Gangguan pembuluh darah ginjal : Berbagai jenis lesi vaskular dapat menyebabkan iskemik ginjal dan kematian jaringan ginjal. Lesi yang paling sering adalah aterosklerosis pada arteri renalis yang besar, dengan kontriksi skleratik progresif pada pembuluh darah hiperplasia fibromuskular pada satu atau lebih arteri besar yang juga menimbulkan sumbatan pembuluh darah nefrosklerosis yaitu saatu kondisi yang disebabkan oleh hipertensi lama yang tidak diobati, dikarakteristikan oleh penebalan, hilangnya elastisitas sistem, perubahan darah ginjal mengakibatkan penurunan aliran darah dan akhirnya gagal ginjal. b. Gangguan imunologis: Seperti glomerulonefritis & SLE c. Infeksi : Dapat disebabkan oleh beberapa jenis bakteri



terutama E. Coli yang berasal dari



kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri. Bakteri ini mencapai ginjal melalui aliran darah atau yang lebih sering secara asceden dari traktus urinarius bagian bawah lewat ureter ke ginjal sehingga dapat menimbulkan kerusakan irreversibel ginjal yang disebut plenlonefritis. d. Gangguan metabolik : seperti DM (Diabetes Melitus) yang menyebabkan mobilisasi lemak meningkat sehingga terjadi penebalan membran kapiler dan di ginjal dan berkelanjut dengan disfungsi endotel sehingga terjadi nefripati amiliodosis yang disebabkan oleh endapan zat-zat proteinemia abnormal pada dinding pembuluh darah secara serius merusak membran glomerulus. e. Gangguan tubulus primer : terjadi nefrotoksis akibat analgesik atau logam berat. f. Obstruksi taktus urinarius : oleh batu ginjal, hipertrofi prostat, dan kontriksi uretra. g. Kelainan kongenetal dan herediter: penyakit polikistik = kondisi keturunan yang dikarakteristik oleh terjadinya kista/kantong berisi cairan di dalam ginjal dan organ lain, serta tidak adanya jar. Ginjal yang bersifat kongenetal (hipoplasia renalis) serta adanya asidosis. 3. Patofisiologi 2



Fungsi renal menurun, produksi akhir metabolisme protein (yang normalnya diekresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengarui setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka grjala akan semakin berat. Dan banyak gejala uremia membaik setelah dialisis (Wijaya dan putri, 2017) Penyebab yang mendasari CKD bermacam-macam seperti penyakit glomerulus baik primer maupun sekunder, penyakit vaskular, infeksi, nefritis interstisial, obstruksi saluran kemih. Patofisiologi penyakit ginjal kronik melibatkan 2 mekanisme kerusakan : (1) mekanisme pencetus spesifik yang mendasari kerusakan selanjutnya seperti kompleks imun dan mediator inflamasi pada glomerulo nefritis, atau pajanan zat toksin pada penyakit tubulus ginjal dan interstitium; (2) mekanisme kerusakan progresif yang ditandai dengan adanya hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang tersisa. Ginjal kita memiliki 1 juta nefron, dan masing – masing memiliki kontribusi terhadap total GFR. Pada saat terjadi renal injury karena etiologi seperti yang telah dijelaskan di atas, pada awalnya ginjal masih memiliki kemampuan untuk mempertahankan GFR. Namun pada akhirnya nefron sehat yang tersisa ini akan mengalami kegagalan dalam mengatur autoregulasi tekanan glomerular, dan akan menyebabkan hipertensi sistemik dalam glomerulus. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan menyebabkan  hipertrofi nefron yang sehat sebagai mekanisme kompensasi. Pada tahap ini akan terjadi poliuria, yang bisa menyebabkan dehidrasi dan hiponatremia akibat ekskresi Na melalui urin meningkat. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan menyebabkan proteinuria. Derajat proteinuria sebanding dengan tingkat progresi dari gagal ginjal. Reabsorpsi protein pada sel tubuloepitelial dapat menyebabkan kerusakan langsung terhadap jalur lisosomal intraselular, meningkatkan stres oksidatif, meningkatkan ekspresi lokal growth faktor, dan melepaskan faktor kemotaktik yang pada akhirnya akan menyebabkan inflamasi dan fibrosis tubulointerstitiel melalui pengambilan dan aktivasi makrofag.



Gambar 2.3 Piramid Iskemik dan Sklerosis Arteri dan Arteriol pada Patogan lintang Ginjal (McAlexander, 2015) Inflamasi kronik pada glomerulus dan tubuli akan meningkatkan sintesis matriks ektraseluler dan mengurangi degradasinya, dengan akumulasi kolagen tubulointerstitiel yang berlebihan. Glomerular sklerosis, fibrosis tubulointerstitiel, dan atropi tubuler akan menyebabkan massa ginjal yang sehat menjadi berkurang dan akan menghentikan siklus progresi penyakit oleh hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron. 3



Kerusakan struktur ginjal tersebut akan menyebabkan kerusakan fungsi ekskretorik maupun non-ekskretorik ginjal.  Kerusakan fungsi ekskretorik ginjal antara lain penurunan ekskresi sisa nitrogen, penurunan reabsorbsi Na pada tubuli, penurunan ekskresi kalium, penurunan ekskresi fosfat, penurunan ekskresi hidrogen. Kerusakan fungsi non-ekskretorik ginjal antara lain kegagalan mengubah bentuk inaktif Ca, menyebabkan penurunan produksi eritropoetin (EPO), menurunkan fungsi insulin, meningkatkan produksi lipid, gangguan sistem imun, dan sistem reproduksi. Angiotensin II memiliki peran penting dalam pengaturan tekanan intraglomerular. Angiotensin II diproduksi secara sistemik dan secara lokal di ginjal dan merupakan vasokonstriktor kuat yang akan mengatur tekanan intraglomerular dengan cara meningkatkan irama arteriole efferent. Angiotensin II akan memicu stres oksidatif yang pada akhirnya akan meningkatkan ekspresi sitokin, molekul adesi, dan kemoaktraktan, sehingga angiotensin II memiliki peran penting dalam patofisiologi CKD. Gangguan tulang pada CKD terutama stadium akhir disebabkan karena banyak sebab, salah satunya adalah penurunan sintesis 1,25-dihydroxyvitamin D atau kalsitriol, yang akan menyebabkan kegagalan mengubah bentuk inaktif Ca sehingga terjadi penurunan absorbsi Ca. Penurunan absorbsi Ca ini akan menyebabkan hipokalsemia dan osteodistrofi. Pada CKD akan terjadi hiperparatiroidisme sekunder yang terjadi karena hipokalsemia, hiperfosfatemia, resistensi skeletal terhadapPTH. Kalsium dan kalsitriol merupakan feedback negatif inhibitor, sedangkan hiperfosfatemia akan menstimulasi sintesis dan sekresi PTH. Karena penurunan laju filtrasi glomerulus, maka ginjal tidak mampu untuk mengekskresikan zat – zat tertentu seperti fosfat sehingga timbul hiperfosfatemia. Hiperfosfatemia akan menstimulasi FGF-23, growth faktor ini akan menyebabkan inhibisi 1- α  hydroxylase. Enzim ini digunakan dalam sintesis kalsitriol. Karena inhibisi oleh FGF-23 maka sintesis kalsitriol pun akan menurun. Akan terjadi resistensi terhadap vitamin D. Sehingga feedback negatif terhadap PTH tidak berjalan. Terjadi peningkatan



hormon



parathormon.



Akhirnya



akan



timbul



hiperparatiroidisme



sekunder.



Hiperparatiroidisme sekunder akan menyebabkan depresi pada sumsum tulang sehingga akan menurunkan pembentukan eritropoetin yang pada akhirnya akan menyebabkan anemia. Selain itu hiperparatiroidisme sekunder juga akan menyebkan osteodistrofi yang diklasifikasikan menjadi osteitis fibrosa cystic, osteomalasia, adinamik bone disorder, dan mixed osteodistrofi. Penurunan ekskresi Na akan menyebabkan retensi air sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan oedem, hipertensi. Penurunan ekskresi kalium juga terjadi terutama bila GFR < 25 ml/mnt, terlebih pada CKD stadium 5. Penuruan ekskresi ini akan menyebabkan hiperkalemia sehingga meningkatkan resiko terjadinya kardiak arrest pada pasien. Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya merupakan kombinasi adanya anion gap yang normal maupun peningkatan anion gap.  Pada CKD, ginjal tidak mampu membuat ammonia yang cukup pada tubulus proksimal untuk mengekskresikan asam endogen ke dalam urin dalam bentuk ammonium. Peningkatan anion gap biasanya terjadi pada CKD stadium 5. Anion gap terjadi karena akumulasi dari fosfat, sulfat, dan anion – anion lain yang tidak terekskresi dengan baik. Asidosis metabolik pada CKD 4



dapat menyebabkan gangguan metabolisme protein. Selain itu asidosis metabolic juga merupakan salah satu faktor dalam perkembangan osteodistrofi ginjal. Pada CKD terutama stadium 5, juga dijumpai penurunan ekskresi sisa nitrogen dalam tubuh. Sehingga akan terjadi uremia. Pada uremia, basal urea nitrogen akan meningkat, begitu juga dengan ureum, kreatinin, serta asam urat. Uremia yang bersifat toksik dapat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mengenai sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat. Selain itu sindrom uremia ini akan menyebabkan trombositopati dan memperpendek usia sel darah merah. Trombositopati akan meningkatkan resiko perdarahan spontan terutama pada GIT, dan dapat berkembang menjadi anemia bila penanganannya tidak adekuat. Uremia bila sampai di kulit akan menyebabkan pasien merasa gatal – gatal. Pada CKD akan terjadi penurunan fungsi insulin, peningkatan produksi lipid, gangguan sistem imun, dan gangguan reproduksi. Karena fungsi insulin menurun, maka gula darah akan meningkat. Peningkatan produksi lipid akan memicu timbulnya aterosklerosis, yang pada akhirnya dapat menyebabkan gagal jantung. Anemia pada CKD terjadi karena depresi sumsum tulang pada hiperparatiroidisme sekunder yang akan menurunkan sintesis EPO. Selain itu anemia dapat terjadi juga karena masa hidup eritrosit yang memendek akibat pengaruh dari sindrom uremia, anemia dapat juga terjadi karena malnutrisi (Kirana, 2015) 4. Klasifikasi Berdasarkan Derajat Penyakitnya Dibawah ini 5 stadium penyakit Chronic Kidney Disease sebagai berikut : a. Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min) b. Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min) c. Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat (30 s/d 59 ml/min) d. Stadium 4, dengan penurunan GFR parah ( 15 s.d 29 ml/min) e. Stadium 5, gagal ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min) Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance Creatinin Test) dapat digunakan dengan rumus : Clearance creatinin ( ml/menit ) =



( 140-umur ) x berat badan ( kg ) 72 x creatini serum



Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85



5. Manifestasi Klinik a. Gangguan kardiovaskuler 5



Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema. Pada gagal ginjal kronik hampir selalu disertai hipertensi, mekanisme terjadinya hipertensi pada CKD oleh karena penimbunan garam dan air, atau sistem renin angiostensin aldosteron (RAA). Sesak nafas merupakan gejala yang sering dijumpai akibat kelebihan cairan tubuh, dapat pula terjadi perikarditis yang disertai efusi perikardial. Gangguan irama jantung sering dijmpai akibat gangguan elektrolit. b. Gangguan pulmoner Nafas dangkal, kusmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekles. c. Gangguan gastrointestinal Anoreksia, nausea, fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia. akibat metabolisme protein yang terganggu oleh bakteri usus sering pula faktor uremikum akibat bau amoniak dari mulut. Disamping itu sering timbul stomatitis, cegukan juga sering yang belum jelas penyebabnya. Gastritis erosif hampir dijumpai pada 90 % kasus CKD, bahkan kemungkinan terjadi ulkus peptikum dan kolitis uremik. d. Gangguan muskuluskeletal Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakkan), burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki), tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi otot-otot ekstremitas. Penderita sering mengeluh tungkai bawah selalu bergerak-gerak (restlesslessleg syndrome), kadang tersa terbakar pada kaki, gangguan syaraf dapat pula berupa kelemahan, gangguan tidur, gangguan konsentrasi, tremor, kejang sampai penurunan kesadaran atau koma. e. Gangguan integumen kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat penimbunan urokrom. Gatal-gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh. Kulit berwarna pucat, mudah lecet, rapuh, kering, timbul bintik-bintik hitam dan gatal akibat uremik atau pengendapan kalsium pada kulit. f. Gangguan endokrin Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak dan vitamin D. g. Sistem hematologi Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum-sum tulang berkurang, hemodialisi akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosit dan trombositopeni. selain anemi pada CKD sering disertai pendarahan akibat gangguan fungsi trombosit atau dapat pula disertai trombositopeni. Fungsi leukosit maupun limposit dapat pula terganggu sehingga pertahanan seluler terganggu, sehingga pada penderita CKD mudah terinfeksi, oleh karena imunitas yang menurun. h. Gangguan lain 6



Akibat hipertiroid sering terjadi osteoporosis, osteitis, fibrasi, gangguan elektrolit dan asam basa hampir selalu dijumpai, seperti asidosis metabolik, hiperkalemia, hiperforfatemi, hipokalsemia. (Wijaya dan Putri, 2017) Pasien dengan stadium I atau II tidak memiliki gejala atau gangguan metabolik seperti asidosis, anemia, dan penyakit tulang. Selain itu, pengukuran yang paling umum dari gangguan fungsi ginjal yaitu serum kreatininmungkin hanya sedikit meningkat pada tahap awal CKD . akibatnya, estimasi GFR sangat penting bagi pengenalan tahap awal CKD. Karena tahap awal CKD sering tidak terdeteksi, dibutuhkan diagnosis pada pasien dengan tingkat kecurigaan yang tinggi yaitu yang mengalami kondisi kronis seperti hipertensi dan diabetes militus. Tanda dan gejala terkait dengan CKD menjadi lebih umum pada stage III, IV, V. Anemia, kelainan metabolisme kalsium dan fosfor (hiperparatiroidisme sekunder), malnutrisi, abnormalitas cairan dan elektrolit menjadi lebih umum seiring fungsi ginjal memburuk. Umumnya pada pasien CKD stadium V juga mengalami gagal-gagal, intoleransi dingin, berat badan menurun, neuropati perifer (Joy et al, 2008). 6. Pemeriksaan Penunjang a. Urine 1) Volume : < 400 ml/24 jam(oliguria)/anuria 2) Warna : urin keruh 3) Berat jenis < 1, 015 4) Osmolalitas< 350 m osm/ kg 5) Klirens kreatinin : turun 6) Na++ > 40 mEq/lt 7) Protein : proteinuria (3-4+) b. Darah 1) BUN/Kreatinin : >0,6-1,2 mg/dL(untuk laki-laki), >0,5-1,1 mg/dL (wanita) 2) Ureum : 5-25 mg/dL 3) Hitung darah lengkap : Ht turun, Hb < 7-8 gr% 4) Eritrosit : waktu hidup menurun 5) GDA, Ph menurun : asidosis metabolik 6) Na ++ serum : menurun 7) K+ : meningkat 8) Mg +/ fosfat : meningkat 9) Protein (khusus albumin) : menurun c. Osmolalitas serum > 285 m osm/kg d. KUB foto : ukuran ginjal / ureter/KK dan obstruksi ( batas) e. Pielogram retrograd : identifikasi ekstravaskuler, massa. 7



f. Sistouretrogram berkemih : ukuran KK, refluks kedalaman ureter, retensi. g. Ultrasono ginjal : sel. Jaringan untuk diagnosis histologist. h. Endoskopi ginjal, nefroskopi : batu, hematuria, tumor i. EKG : ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa. j. Foto kaki, tengkorak, kulomna spinal (Wijaya dan Putri, 2017) 7. Penatalaksanaan a. Pengaturan minum : pemberian cairan b. Pengendalian hipertensi=200mg%, kreatinin serum>6mEq/l, Kelebihan cairan, Mual dan muntah yang hebat c. Intoksikasi obat dan zat kimia d. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berat e. Sindrom hepatorenal dengan kriteria : K+pH darah 5 hari, GFR 200mg/dl (Wijaya dan Putri, 2017) Pada umumnya indikasi dialisis pada CKD adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG sudah kurang dari 5 mL/menit, yang di dalam praktek dianggap demikian bila (TKK)200/100mmHg) b. Hipotensi (TD 94% 10.Kadar elektrolit membaik  Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis, jika perlu 11.Keseimbangan asam basa membaik  Berikan posisi syok (trandenberg) 12.Biing usus membaik  Pasang jalur IV 13.Fungsi hati membaik  Pasang kateter urine untuk menilai produksi urine  Pasang selang lambung untuk dekompresi lambung Kolaborasi  Kolaborasi pemberian infus cairan kristaloid 1-2 liter pada dewasa  Kolaborasi pemberian infus cairan kristaloid 20mg/kgBB pada anak Kolaborasipemberian tranfusi darah jika perlu Keseimbangan cairan (L.03020) Manajemen gipervolemia (I.03114) Tujuan: Observasi Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1. Monitor intak dan output 3x24 jam keseimbangan cairan meningkat 2. Monitor kecepatan infus secra tepat 16



dengan Kriteria Hasil: 1. Asupan cairan meningkat 2. Output urine meningkat 3. Membrane mukosa lembab meningkat 4. Asupan makanan meningkat 5. Edema menurun 6. Dehidrasi menurun 7. Ascites menurun 8. Konfusi menurun 9. Tekanan darah membaik 10. Frekuensi nadi membaik 11. Kekuatan nadi membaik 12. Tekanan arteri rata-rata embaik 13. Mata cekung membaik 14. Turgor kulit membaik 15. Berat badan membaik



3.



3. Monitor efek samping diuretic 4. Periksa tanda gejala hypervolemia 5. Identifikasi penyebab hypervolemia 6. Monitor status haemodinamik Terapeutik 1. Timbang BB setiap hari pada waktu yang sama 2. Batasi asupan cairan dan garam 3. Tinggikan kepala dan tempat tidur Edukasi 1. Anjurkan melapor jika keluaran urine 1 kg sehari 3. Anjurkan mencatat asupan dan haluaran urine setiap hari 4. Anjurkan membatasi cairan Kolaborasi 1. Kolaborasi pemberian diuretic 2. Kolaborasi penggantian kehilangan kalium akibat diuretic 3. Kolaborasi pemberian CRRT jika perlu Gangguan integritas kulit Integritas kulit dan jaringan (L14125) Perawatan integritas kulit (I.11353) Tujuan : Observasi berhubungan dengan kelebihan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1. Identifikasi penyebab gangguan integritas asupan cairan (D.0129) 3x24 jam diharapkan integritas kulit Terapeutik meningkat dengan Kriteria Hasil: 1. Ubah posisi tiap 2jam jika tirah baring 1. Elatisitas meningkat 2. Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang jika perlu 2. Hidrasi meningkat 3. Bersihkan perineal dengan air hangat terutama selama periode 3. Perfusi jaringan meningkat diare. 4. Kerusakan jaringan menurun 4. Gunakan produk berbahan petroleum atau minyak pada kulit 5. Kerusakan lapisan kulit menurun kering 6. Nyeri menurun 5. Gunakan produk berbahan ringan/alami dan hipoalergik pada 7. Perdarahan menurun kulit sensitive 8. Kemerahan menurun 6. Hindari produk berbahan dasar alcohol pada kulit kering 9. Hematoma menurun Edukasi 10.Pigmentasi abnormal menurun 1. Anjurkan penggunaan pelembab 17



4.



11.Jaringan parut menurun 12.Nerkosis menurun 13.Abrasi kornea menurun 14.Suhu kulit membaik 15.Sensasi membaik 16.Tekstur membaik 17.Pertumbuhan rambut membaik Intoleransi aktivitas Toleransi aktivitas (L.05047) Tujuan : berhubungan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ketidakseimbangan antara 3x24 jam toleransi aktivitas meningkat dengan Kriteria Hasil: suplai dan kebutuhan oksigen 1. Kemudahan melakukan aktivitas sehari(D.0056) hari meningkat 2. Kecepatan berjalan meningkat 3. Jarak berjalan meningkat 4. Kekuatan tubuh bagian atas meningkat 5. Kekuatan tubuh biagian bawah meningkat 6. Toleransi menaiki tangga meningkat 7. Keluhan kelelahan menurun 8. Dyspnea saat aktivitas menurun 9. Dyspnea setelah aktivitas menurun 10. Aritmia saat aktivitas menurun 11. Aritmia setelah aktivitas menurun 12. Sianosis menurun 13. Perasaan lemah menurun 14. Frekuensi nadi membaik 15. Warna kulit membaik 16. Tekanan darah membaik 17. Saturasi oksigen membaik 18. Frekuensi nafas membaik 19. EKG iskemia membaik 18



2. 3. 4. 5. 6.



Anjurkan minum air yang cukup Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrim Anjurkan penggunaan tabir surya minimal SPF 30 saat berada diluar rumah 7. Anjurkan mandi dan menggunakan sabun secukupnya Manajemen Energi (I.05178) Observasi :  Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelemahan  Monitor kelelahan fisik dan emosional  Monitior pola dan jam tidur  Monitor lokasi dan ketidak nyamanan selama melakukan aktivitas Terapautik :  Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus  Lakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif  Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan  Fasilitas duduk disisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah atau berjalan Edukasi :  Anjurkan tirah baring  Anjurkan melakukan aktivitas secarabertahap  Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan tidak berkurang  Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan Kolaborasi : Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan



5



Pola



nafas



tidak



efektif Tujuan: Manajemen jalan napas (.I01011) Setelah dilakukan tindakan keperawata Observasi berhubungan hambatan upaya selema 2x24 jam pasien diharapkan masalah  Monitor pola nafas (frekuensi, usaha napas) nafas (D.0005) intoleransi aktivitas dapat teratasi dengan  Monitor bunyi napas (mis,gurgling, mengi, wheezing, ronki kering) Kriteria Hasil :  Monitor sputum ( jumlsh, warna, aroma) 1. Mampu melakukan aktivitas sehari hari Terapeutik (ADLS) secara mandiri  Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head tilt, chin lift . 2. Berpartipasi dalam aktivitas fisik tampa jika curiga cedera cervical. disertai peningkatan tekanan darah, nadi  Posiskan semi fowler dan fowler dan RR  Lakukan fisioterapi dada jika perlu 3. Status respirasi : pertukaran gan dan  Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik ventilasi adekuat  Berikan oksigen 4. Mampu berpindah : dengan atau tampa  Keluarkan sumbatan benda padat dengan forcep McGill bantuan alat  Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal Edukasi  Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari jika tidak ada kontraindikasi  Ajarkan tehnik batuk efektif Kolaborasi  Kolaborasi dalam pemberian bronkodilator, ekspektoran dan mukolitik



19



DAFTAR PUSTAKA



Anonim.



Akses Pembuluh Darah, diakses tanggal



20



juni



2018,melalui



Bayhakki. 2013. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gagal Ginjal Kronik. Jakarta: EGC Heardman. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017. EGC: Jakarta Huddak and Gallo 2010, Fahmi 2016. Pengaruh Self Management Dietary Counseling Terhadap Self Care Dan Status Cairan Pada Pasien Hemodialisa, Tesis, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Ika 2015.Laporan Pendahuluan “Chronic Kidney Disease (CKD)”dilihat 4 Mei 2018, melalui



Joy et al (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha Publishig Kirana 2015. Laporan pendahuluan Asuhan Keperawatan pada pasien Chronic Kidney Disease diakses pada tanggal 4 mei 2018 melalui