Laporan Pendahuluan Hiperpireksia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam (pireksi) yaitu peninggian suhu tubuh di atas 38,3o C, sejak dahulu sudah dikenal sebagai tanda penyakit. Penderita atau orang tua biasanya menyamakan tingginya demam dengan beratnya penyakit. 30 – 35,8% alasan kunjungan ke dokter ialah demam. Walaupun sebagian penderita dapat menahan suhu tubuh antara 39,4oC – 40oC, demam dapat menimbulkan efek yang merusak. Pada 3% anak yang berumur kurang daripada 5 tahun terdapat kejang demam, yang merupakan separuh daripada seluruh kejang pada kelompok umur ini. Orang tua biasanya cemas bila anaknya demam karena beranggapan bahwa tingginya suhu sejajar dengan gawatnya penyakit yang diderita dan berusaha meminta pertolongan untuk pengobatan demamnya. Keadaan demam yang lebih berat, yaitu hiperpireksi dimana suhu tubuh lebih daripada 41,1oC atau 106oF, terdapat pada 0,476/ 1000 kasus demam. Kenaikan suhu di atas 41,1oC sebenarnya jarang terjadi, oleh karena adanya set point pengatur suhu yang diatur oleh hipotalamus di otak. Kenaikan suhu di atas 41,1oC ini umumnya masih dapat ditoleransi oleh anak, kecuali anak yang memang peka terhadap timbulnya kejang. Dalam keadaan kejang, hiperpireksia menyebabkan kebutuhan untuk metabolisme yang lebih tinggi dan memperburuk keadaan. Dari penderita yang datang ke ruang darurat terdapat 0,048% yang menderita hiperpireksia, sedang dari 1761 penderita dengan infeksi berat, misalnya tifus abdominalis dan pneumonia lobaris ternyata 5% di antaranya menderita hiperpireksia. Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa meningkatnya suhu disertai dengan meningkatnya kasus bakterimia. Hal ini dibuktikan bahwa pada kasus dengan hiperpireksia terdapat 26% bakterimia (kultur positif dibanding dengan hanya 13% penderita dengan demam di bawah 40oC. Baik hipertermia dan hipotermia dapat menyebabkan MOD (Multiorgan system Dysfunction). Terapi untuk hipertermia meliputi mencari agen penyebab dan mendiagnosa serta penanganan penyakit yang mendasari dengan perawatan keseluruhan secara simultan. Pasien dengan hipertermia dapat mengalami myoglobinuria dan gagal ginjal. Hiperpireksi meningkatkan metabolisme tubuh dan kerja system kardiopulmoner dan menyebabkan kerusakan jaringan sehingga harus ditanggulangi sebagai kasus



emergensi. Malignant hyperthermia pada anestesi dapat menyebabkan kematian pada 60 – 80% kasus. Angka kematian penderita hiperpireksia cukup tinggi tetapi lebih daripada separuhnya bukan disebabkan oleh tingginya suhu, melainkan disebabkan oleh penyebab hiperpireksia. Pada percobaan penggunaan hipertermia sebagai pengobatan penderita keganasan yang lanjut, meninggikan suhu tubuh sampai 42oC, tidak menyebabkan terjadinya disfungsi otak. Kenaikan suhu di atas 41oC pada anak disertai frekuensi yang tinggi daripada infeksi berat atau bakterimia, misalnya meningitis purulen, pneumonia lobaris, tifus abdominalis dan lain-lain. Penyelidikan tentang demam telah banyak dilakukan, sungguhpun begitu belum dapat ditentukan peranan demam terhadap penyakit. Buku teks pediatric yang terpenting hampir tidak membicarakan sama sekali gejala demam dan pengobatannya. Selain merupakan alat diagnostic yang penting, demam mungkin merupakan bagian pertahanan tubuh yang dapat dipakai pada pengobatan. Pengobatan hiperpireksi tidak selalu menyenangkan, efektif dan berguna, malahan mungkin berbahaya. Pengobatan yang rasionil memerlukan pengertian yang baik tentang mekanisme pengaturan suhu tubuh, patogenesis dan patofisiologi demam serta pengetahuan tentang mekanisme pengobatan yang dapat menurunkan suhu tubuh. Pengobatan yang ditujukan terhadap penyakit yang menyebabkan hiperpireksi tentu saja tetap merupakan hal yang utama. 1.2 Tujuan Penulisan Untuk mengetahui asuhan keperawatan apa yang diberikan pada anak dengan hiperpireksia. 1.3 Manfaat Dapat mengetahui asuhan keperawatan pada anak dengan hiperpireksia.



BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Konsep Dasar Teoritis 2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Organ yang Berhubungan 2.1.2 Defenisi



Demam adalah salah satu gejala yang dapat membedakan apakah seorang itu sehat atau sakit. Demam adalah kenaikan suhu badan di atas 38oC. Hiperpireksia adalah suatu keadaan dimana suhu tubuh lebih dari 41,1oC atau 106oF (suhu rectal). 2.1.3 Etiologi 29-59% demam berhubungan dengan infeksi, 11-20% dengan penyakit kolagen, 6-8% dengan neoplasma, 4% dengan penyakit metabolik dan 11-12% dengan penyakit lain. Penyebab hiperpireksi ialah : infeksi 39%, infeksi dengan kerusakan pusat pengatur suhu 32%, kerusakan pusat pengatur suhu saja 18%, dan pada 11% kasus disebabkan oleh Juvenille Rheumatoid Arthritis, infeksi virus dan reaksi obat. Dari 28 penderita hiperpireksia terdapat 11 penderita (39%) disebabkan oleh infeksi diantaranya 7 penderita disebabkan oleh kuman gram negatif yang mengenai traktus urinaria 4 penderita, intraabdominal 2 penderita dan penderita pada paru. Sedang 9 penderita (32%) disebabkan oleh gabungan antara infeksi dan kerusakan pusat pengatur suhu. Selain itu 5 penderita (18%) disebabkan oleh kerusakan pusat pengatur suhu. Tiga penderita (11%) tidak diketahui penyebabnya. Sesuai dengan patogenesis, etiologi demam yang dapat mengakibatkan hiperpireksia dapat dibagi sebagai berikut: 1. Set point hipotalamus meningkat a. Pirogen endogen  Infeksi  Keganasan  Alergi  panas karena steroid  penyakit kolagen b. Penyakit atau zat     



kerusakan susunan saraf pusat keracunan DDT racun kalajengking penyinaran keracunan epinefrin



2. Set point hipotalamus normal a. Pembentukan panas melebihi pengeluaran panas    



hipertermia malignan hipertiroidisme hipernatremia keracunan aspirin



b. Lingkungan lebih panas daripada pengeluaran panas   



mandi sauna berlebihan panas di pabrik pakaian berlebihan



c. Pengeluaran panas tidak baik (rusak)    



displasia ektoderm kombusio (terbakar) keracunan phenothiazine heat stroke



3. Rusaknya pusat pengatur suhu a. Penyakit yang langsung menyerang set point hipotalamus:    



ensefalitis/ meningitis trauma kepala perdarahan di kepala yang hebat penyinaran



2.1.4 Manifestasi Klinis 2.1.5 Patofisiologi Manusia ialah makhluk yang homeotermal, artinya makhluk yang dapat mempertahankan suhu tubuhnya walaupun suhu di sekitarnya berubah. Yang dimaksud dengan suhu tubuh ialah suhu bagian dalam tubuh seperti viscera, hati, otak. Suhu rectal merupakan penunjuk suhu yang baik. Suhu rectal diukur dengan meletakkan thermometer sedalam 3 – 4 cm dalam anus selama 3 menit sebelum dibaca. Suhu mulut hampir sama dengan suhu rectal. Suhu ketiak biasanya lebih rendah daripada suhu rectal. Pengukuran suhu aural pada telinga bayi baru lahir lebih susah dilakukan dan tidak praktis. Suhu tubuh manusia dalam keadaan istirahat berkisar antara 36oC – 37oC, yang dapat dipertahankan karena tubuh mampu mengatur keseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran panas. Panas dapat berasal dari luar tubuh seperti iklim atau suhu udara di sekitarnya yang panas. Panas dapat berasal dari tubuh sendiri. Pembentukan panas oleh tubuh (termogenesis) merupakan hasil metabolisme tubuh. Dalam keadaan basal tubuh membentuk panas 1 kkal/ kg BB/ jam. Jumlah panas yang dibentuk alat tubuh, seperti hati dan jantung relative tetap, sedangkan panas yang dibentuk otot rangka berubahubah sesuai dengan aktifitas. Bila tidak ada mekanisme pengeluaran panas, dalam



keadaan basal suhu tubuh akan naik 1oC/ jam, sedang dalam aktivitas normal suhu tubuh akan naik 2oC/ jam. Pengeluaran panas terutama melalui paru dan kulit. Udara ekspirasi yang dikeluarkan paru jenuh dengan uap air yang berasal dari selaput lendir jalan nafas. Untuk menguapkan 1 ml air diperlukan panas sebanyak 0,58 kkal. Pengeluaran panas melalui kulit dapat dengan dua cara yaitu: a. Konduksi – konveksi : pengeluaran panas melalui cara ini bergantung kepada perbedaan suhu kulit dan suhu udara sekitarnya. b. Penguapan air : air keluar dari kulit terutama melalui kelenjar keringat. Dapat juga melalui perspirasi insensibilitas, difusi air melalui epidermis. Suhu tubuh diatur oleh hipotalamus melalui sistem umpan balik yang rumit. Hipotalamus karena berhubungan dengan talamus akan menerima seluruh impuls eferen. Saraf eferen hipotalamus terdiri atas saraf somatik dan saraf otonom. Karena itu hipotalamus dapat mengatur kegiatan otot, kelenjar keringat, peredaran darah dan ventilasi paru. Keterangan tentang suhu bagian dalam tubuh diterima oleh reseptor di hipotalamus dari suhu darah yang memasuki otak. Keterangan tentang suhu dari bagian luar tubuh diterima reseptor panas di kulit yang diteruskan melalui sistem aferen ke hipotalamus. Keadaan suhu tubuh ini diolah oleh thermostat hipotalamus yang akan mengatur set point hipotalamus untuk membentuk panas atau untuk mengeluarkan panas. Hipotalamus anterior merupakan pusat pengatur suhu yang bekerja bila terdapat kenaikan suhu tubuh. Hipotalamus anterior akan mengeluarkan impuls eferen sehingga akan terjadi vasodilatasi di kulit dan keringat akan dikeluarkan, selanjutnya panas lebih banyak dapat dikeluarkan dari tubuh. Hipotalamus posterior merupakan pusat pengatur suhu tubuh yang bekerja pada keadaan dimana terdapat penurunan suhu tubuh. Hipotalamus posterior akan mengeluarkan impuls eferen sehingga pembentukan panas ditingkatkan dengan meningkatnya metabolisme dan aktifitas otot rangka dengan menggigil (shivering), serta pengeluaran panas akan dikurangi dengan cara vasokonstriksi di kulit dan pengurangan keringat.



2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik 2.1.7 Penatalaksanaan Medis 2.1.8 Komplikasi 2.1.9 Prognosis



Prognosis hiperpireksi bergantung kepada penyakit yang menyebabkan hiperpireksi itu. Bila penatalaksanaannya baik, kebanyakan kasus dapat sembuh daripada hiperpireksinya dan fungsi basal kembali normal. Kematian karena hiperpireksi saja 3-7%, sedangkan kematian karena penyakit utamanya 20%. Jadi pengobatan yang ditujukan terhadap penyakit yang menyebabkan hiperpireksi tetap merupakan hal yang utama. Pada keadaan heat stroke yang mengalami komplikasi dan hipertermia malignan prognosisnya buruk. 2.1.10 WOC 2.2 Asuhan Keperawatan 2.2.1 Pengkajian Keperawatan 2.2.2 Kemungkinan Diagnosis Keperawatan (NANDA) 2.2.3 Label dan Indikator (NOC) 2.2.4 Rumusan Perencanaan Keperawatan dan Aktivitas (NIC)



BAB III DAFTAR PUSTAKA