Laporan Perdarahan Saluran Cerna Atas [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERDARAHAN SALURAN CERNA ATAS 1. Definisi Perdarahan saluran cerna bahagian atas (didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi di sebelah proksimal ligamentum Treitz pada duodenum distal. Sebagian besar perdarahan saluran cerna bahagian atas terjadi sebagai akibat penyakit ulkus peptikum (PUD, peptic ulcer disease) (yang disebabkan oleh H. Pylori atau penggunaan obat-obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) atau alkohol). Robekan Mallory-Weiss, varises esofagus, dan gastritis merupakan penyebab perdarahan saluran cerna bahagian atas yang jarang. (Dubey, S., 2008)



2. Etiologi Banyak kemungkinan penyebab perdarahan saluran cerna bahagian atas pada buku The Merck Manual of Patient Symptoms (Porter, R.S., et al., 2008): a. Duodenal ulcer (20 – 30 %) b. Gastric atau duodenal erosions (20 – 30 %) c. Varices (15 – 20 %) d. Gastric ulcer (10 – 20 %) e. Mallory – Weiss tear (5 – 10 %) f.



Erosive esophagitis (5 – 10 %)



g. Angioma (5 – 10 %) h. Arteriovenous malformation (< 5 %) i.



Gastrointestinal stromal tumors



Penyakit penyebab : a. Stress ulcer Dari buku “Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology” dikatakan bahwa hingga saat ini masih belum dipahami bagaimana terjadinya stress ulcer, tetapi banyak dikaitkan dengan hipersekresi daripada asam pada beberapa pasien, mucosal ischemia, dan alterasi pada mucus gastric. (Jutabha, R., et al. 2003) b. Medication-Induced Ulcer Berbagai macam pengobatan berperan penting dalam perkembangan daripada penyakit peptic ulcer dan perdarahan saluran cerna bahagian atas akut. Paling sering, aspirin



dan NSAIDs dapat menyebabkan erosi gastroduodenal atau ulcers, khususnya pada pasien lanjut usia. (Jutabha, R., et al. 2003) c. Mallory-Weiss Tear Mallory-



Weiss



Tear



muncul



pada



bagian



distal



esophagus



di



bagian



gastroesophageal junction. Perdarahan muncul ketika luka sobekan telah melibatkan esophageal venous atau arterial plexus. Pasien dengan hipertensi portal dapat meningkatkan resiko daripada perdarahan oleh Mallory-Weiss Tear dibandingkan dengan pasien hipertensi non-portal. Sekitar 1000 pasien di University of California Los Angeles datang ke ICU dengan perdarahan saluran cerna bahagian atas yang berat, Mallory-Weiss Tear adalah diagnosis keempat yang menyebabkan perdarahan saluran cerna bahagian atas, terhitung sekitar 5 % dari seluruh kasus. (Jutabha, R., et al. 2003 d. Gastroesophageal Varices Esophageal varices dan gastric varices adalah vena collateral yang berkembang sebagai hasil dari hipertensi sistemik ataupun hipertensi segmental portal. Beberapa penyebab dari hipertensi portal termasuk prehepatic thrombosis, penyakit hati, dan penyakit postsinusoidal. Hepatitis B dan C serta penyakit alkoholic liver adalah penyakit yang paling sering menimbulkan penyakit hipertensi portal intrahepatic di Amerika Serikat. (Jutabha, R., et al. 2003) e. Pengaruh Obat NSAIDs Penggunaan NSAIDs merupakan penyebab umum terjadi tukak gaster. Penggunaan obat ini dapat mengganggu proses peresapan mukosa, proses penghancuran mukosa, dan dapat menyebabkan cedera. Sebanyak 30% orang dewasa yang menggunakan NSAIDs mempunyai GI yang kurang baik. Faktor yang menyebabkan peningkatan penyakit tukak gaster dari penggunaan NSAIDs adalah usia, jenis kelamin, pengambilan dosis yang tinggi atau kombinasi dari NSAIDs, penggunaan NSAIDs dalam jangka waktu yang lama, penggunaan disertai antikoagulan, dan severe comorbid illness. (Anand, B.S., 2011B.S. Anand, 2011)



3. Faktor resiko Menurut The American Society for Gastrointestinal Endoscopy (ASGE), ada beberapa faktor resiko yang menyebabkan kematian, perdarahan berulang, kebutuhan akan endoskopi hemostasis ataupun operasi, yaitu:



a. Usia lebih dari 60 tahun b. Comorbidity berat c. Perdarahan aktif (contoh, hematemesis, darah merah per nasogastric tube, darah segar per rectum)



d. Hipotensi e. Coagulopathy berat Pasien dengan hemorrhagic shock memiliki angka kematian yang mencapai 30 %. (Caestecker, JD, 2011)



4. Manifestasi klinis Ada 3 gejala khas, yaitu: a. Hematemesis Muntah darah dan mengindikasikan adanya perdarahan saluran cerna atas, yang berwarna coklat merah atau “coffee ground”. (Porter, R.S., et al., 2008) b. Hematochezia Buang air besar berwarna merah marun, biasanya dijumpai pada pasien pasien dengan perdarahan masif dimana transit time dalam usus yang pendek. Keluarnya darah dari rectum yang diakibatkan perdarahan saluran cerna bahagian bawah, tetapi dapat juga dikarenakan perdarahan saluran cerna bahagian atas yang sudah berat. (Porter, R.S., et al., 2008) c. Melena Kotoran (feses) yang berwarna gelap yang dikarenakan kotoran bercampur asam lambung; biasanya mengindikasikan perdarahan saluran cerna bahagian atas, atau perdarahan daripada usus-usus ataupun colon bahagian kanan dapat juga menjadi sumber lainnya. (Porter, R.S., et al., 2008) Disertai gejala anemia, yaitu: pusing, syncope, angina atau dyspnea. (Laine, L., 2008). Penampilan klinis lainnya yang dapat terjadi adalah sinkope, instabilitas hemodinamik karena hipovolemik dan gambaran klinis dari komorbid seperti penyakit hati kronis, penyakit paru, penyakit jantung, penyakit ginjal dsb (Djumhana, HA. 2005) .



5. Patofisiologi (terlampir)



6. Pemeriksaan penunjang a. Aspirat dari Naso Gastric Tube (NGT). Aspirat berwarna putih keruh menandakan perdarahan tidak aktif,aspirat berwarna merah marun menandakan perdarahan masif sangat mungkin perdarahan arteri. Seperti halnya warna feses maka warna aspirat pun dapat memprediksi mortalitas pasien. Walaupun demikian pada sekitar 30% pasien dengan perdarahan tukak duodenum ditemukan adanya aspirat yang jernih pada NGT. Diagnosis



dapat



dibuat



berdasarkan



inspeksi



muntahan



pasien



atau



pemasangan selang nasogastric (NGT, nasogastric tube) dan deteksi darah yang jelas terlihat; cairan bercampur darah, atau “ampas kopi”’ Namun, aspirat perdarahan telah berhenti, intermiten, atau tidak dapat dideteksi akibat spasme pilorik. (Dubey S., 2008) Pada semua pasien dengan perdarahan saluran gastrointestinal (GIT) perlu dimasukkan pipa nasogastrik dengan melakukan aspirasi isi lambung. Hal ini terutama penting apabila perdarahan tidak jelas. Tujuan dari tindakan ini adalah: o



Menentukan tempat perdarahan.



o



Memperkirakan jumlah perdarahan dan apakah perdarahan telah berhenti. (Soeprapto, P., et al., 2010)



b. Laboratorium darah lengkap, faal hemostasis, faal hati, faal ginjal, gula darah ,elektrolit , golongan darah,RÖ dada dan elektrokardiografi. c. Pemeriksaan endoskopi merupakan gold standard Tindakan endoskopi selain untuk diagnostik dapat dipakai pula untuk terapi. Prosedur ini tidak perlu dilakukan segera (bukan prosedur emergensi), dapat dilakukan dalam kurun waktu 12 - 24 jam setelah pasien masuk dan keadaan hemodinamik stabil . Tidak ada keuntungan yang nyata bila endoskopi dilakukan dalam keadaan darurat. Dengan pemeriksaan endoskopi ini lebih dari 95% pasien-pasien dengan hemetemesis, melena atau hematemesis –melena dapat ditentukan lokasi perdarahan dan penyebab perdarahannya. Lokasi dan sumber perdarahan o



Esofagus :Varises,erosi,ulkus,tumor



o



Gaster :Erosi,ulkus,tumor,polip,angiodisplasia,Dilafeuy,varises,gastropati kongestif



o



Duodenum :Ulkus,erosi,tumor,diverticulitis Hasil pemeriksaan endoskopi untuk pasien-pasien perdaahan non varises mempunyai nilai prognostik.



d. Untuk kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan karena ruptur varises dan perdarahan bukan karena ruptur varises (variceal bleeding dan non variceal bleeding). Identifikasi varises biasanya memakai cara red whale marking. Yaitu dengan menentukan besarnya varises (F1-F2-F3), jumlah kolom (sesuai jam), lokasi di esophagus (Lm,Li,Lg) dan warna ( biru,cherry red, hematocystic). Untuk ulkus memakai kriteria Forrest. o



Forrest Ia :Tukak dengan perdarahan aktif dari arteri



o



Forrest Ib :Tukak dengan perdarahan aktif berupa oozing



o



Forrest IIa :Tukak dengan visible vessel



o



Forrest IIb :Tukak dengan ada klot diatasnya yang sulit dilepas



o



Forrest IIc :Tukak dengan klot diatasnya yang dapat dilepas



o



Forrest III :Tukak dengan dasar putih tanpa klot.



e. Pada beberapa keadaan dimana pemeriksaan endoskopi tidak dapat dilakukan, pemeriksaan dengan kontras barium (OMD) mungkin dapat membantu. f.



Angiografi Untuk pasien yang tidak mungkin dilakukan endoskopi dapat dilakukan pemeriksaan dengan angiografi atau skintigrafi (Djumhana, HA. 2005). Angiography dapat digunakan untuk mendiagnosa dan menatalaksana perdarahan berat, khususnya ketika penyebab perdarahan tidak dapat ditentukan dengan menggunakan endoskopi atas maupun bawah. (Savides, T.J., et al., 2010)



g. CT Scan Dapat mengidentifikasi adanya lesi massa, seperti tumor intra-abdominal ataupun abnormalitas pada usus yang mungkin dapat menjadi sumber perdarahan. (Savides, T.J., et al., 2010)



7. Penatalaksanaan 1) Tindakan umum: Tindakan umum terhadap pasien diutamakan untuk ABC. Terhadap pasien yang stabil setelah pemeriksaan dianggap memadai,pasien dapat segera dirawat untuk terapi lanjutan atau persiapan endoskopi. Untuk pasien-pasien risiko tinggi perlu tindakan lebih agresif seperti: a. Mempertahankan saluran nafas paten dan restorasi volume intravascular adalah tujuan tata laksana awal. Infus kristaloid awal, sampai 30 mL/ kg, dapat diikuti transfusi darah O-negatif atau yang crossmatched jika diperlukan.



b. Pemasangan IV line paling sedikit 2 dengan jarum(kateter) yang besar minimal no 18. Hal ini penting untuk keperluan transfusi. Dianjurkan pemasangan CVP c. Oksigen sungkup/ kanula.Bila ada gangguan A-B perlu dipasang ETT d. Mencatat intake output,harus dipasang kateter urine e. Memonitor Tekanan darah, Nadi,saturasi oksigen dan keadaan lainnya sesuai dengan komorbid yang ada. f.



Melakukan bilas lambung agar mempermudah dalam tindakan endoskopi



Dalam melaksanakan tindakan umum ini,terhadap pasien dapat diberikan terapi a. Transfusi untuk mempertahankan hematokrit > 25% b. Pemberian vitamin K c. Obat penekan sintesa asam lambung (PPI) d. Terapi lainnya sesuai dengan komorbid



Terhadap pasien yang diduga kuat karena ruptura varises gastroesofageal dapat diberikan oktreotid bolus 50 μg dilanjutkan dengan drip 50 μg tiap 4 jam. Sebagian besar pasien dengan perdarahan SCBA dapat berhenti sendiri, tetapi pada 20% dapat berlanjut. Walaupun sudah dilakukan terapi endoskopi pasien dapat mengalami perdarahan ulang. Oleh karena itu perlu dilakuka assessmen yang lebih akurat untuk emprediksi perdarahan ulang dan mortalitas.



Dalam hal ini tampak bahwa makin tinggi skor makin tinggi risiko perdarahan ulang dan mortalitasnya. Untuk pasien dengan skor > 4 harus dilakukan penanganan secara tim dengan melibatkan penyakit dalam, bedah, ICU, radiologi dan laboratorium.



2) Terapi khusus a. Varises gastroesofageal -



Terapi medikamentosa dengan obat vasoaktif yaitu : 



Otreotid. Oktreotid dapat digunakan untuk menurunkan tekanan vena porta, dan pipa Sengstaken-Blakmore dapat dipasang sebagai tindakan sementara untuk bertahan. (Dubey S., 2008)







Somatostatin







Glipressin (Terlipressin)



-



Terapi mekanik dengan balon Sengstaken Blackmore atau Minesota



-



Terapi endoskopi 



Skleroterapi







Ligasi



-



Terapi secara radiologik dengan pemasangan TIPS( Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunting) dan Perkutaneus obliterasi spleno – porta.



-



Terapi pembedahan 



Shunting







Transeksi esofagus + devaskularisasi + splenektomi







Devaskularisasi + splenektomi



Outcome pasien ruptura varises gastroesofageal sangat bergantung pada berbagai faktor antara lain :  Beratnya penyakit hati (Kriteria Child-Pugh)  Ada tidak adanya varises gaster, walupun disebutkan dapat diatasi dengan semacam glue(histoakrilat)  Komorbid yang lain seperti ensefalopati,koagulopati, hepato renal sindrom dan infeksi b. Tukak peptic -



-



-



Terapi medikamentosa 



PPI







Obat vasoaktif



Terapi endoskopi 



Injeksi (adrenalin-saline, sklerosan,glue,etanol)







Termal (koagulasi, heatprobe,laser







Mekanik (hemoklip,stapler)



Terapi bedah



Untuk pasien-pasien yang dilakukan terapi non bedah perlu dimonitor akan kemungkinan perdarahan ulang. Second look endoscopy masih kontroversi. Realimentasi bergantung pada hasil endoskopi. Pasien-pasien bukan risiko tinggi dapat diberikan diit segera setelah endoskopi sedangkan pasen dengan risiko tinggi perlu puasa antara 24-48 jam , kemudian baru diberikan makanan secara berthap.



3) Pencegahan perdarahan ulang a. Varises esofagus  Terapi medik dengan betabloker nonselektif  Terapi endoskopi dengan skleroterapi atau ligasi b. Tukak peptik  Tukak gaster PPI selama 8-12 minggu dan tukak duodeni PPI 6-8 minggu



 Bila ada infeksi helicobacter pilory perlu dieradikasi  Bila pasien memerlukan NSAID,diganti dulu dengan analgetik dan kemudian dipilih NSAID selektif(non selektif?) + PPI atau misoprostol



4) Memulangkan pasien Sebagian besar pasien umumnya pulang pada hari ke 1 – 4 perawatan. Adanya perdarahan ulang atau komorbid sering memperpanjang masa perawatan. Apabila tidak ada komplikasi, perdarahan telah berhenti dan hemodinamik stabil serta risiko perdarahan ulang rendah pasien dapat dipulangkan . Pasien biasanya pulang dalam keadaan anemis, karena itu selain obat untuk mencegah perdarahan ulang perlu ditambahkan preparat Fe (Djumhana, HA. 2005)



8. Komplikasi a. Syok hipovolemik (syok preload) Ditandai



dengan



menurunnya



volume



intravaskuler



oleh



karena



perdarahan dapat terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang lain. Menurunnya volume intravaskuler menyebabkan penurunan volume intraventrikel.Pada klien dengan syok berat,volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam. b. Gagal ginjal akut Terjadi sebagai akibat syok yang tidak teratasi dengan baik. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume intravaskuler. c. Penurunan kesadaran Terjadi penurunan transportasi O2 ke otak sehingga terjadi penurunan kesadaran d. Ensefalopati Terjadi akibat kerusakan fungsi hati di dalam menyaring toksin di dalam darah.Racun-racun tidak dibuang karena fungsi hati terganggu.Dan suatu kelainan dimana fungsi otak mengalami kemunduran akibat zat-zat racun di dalam darah yang dalam keadaan normal dibuang oleh hati.



ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian a. Riwayat penyakit dahulu : penyakit hati kronis, riwayat dyspepsia, penyakit ginjal,riwayat penyakit paru dan adanya perdarahan ditempat lainnya



b. Riwayat obat-obatan : riwayat mengkonsumsi NSAID,obat rematik,alkohol,jamu – jamuan,obat untuk penyakit jantung,obat stroke c. Riwayat penyakit sekarang : muntah-muntah sebelum terjadinya hematemesis sangat mendukung kemungkinan adanya sindroma Mallory Weiss. d. Aktivitas / istirahat Gejala : kelemahan,kelelahan, kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak e. Sirkulasi Gejala : riwayat kehilangan darah kronis misalnya GI kronis,ekstremitas pucat pada kulit dan membrane mukosa, pengisian kapiler melambat. Evaluasi jumlah perdarahan :  Perdarahan < 8% hemodinamik stabil  Perdarahan 8%-15% hipotensi ortostatik  Perdarahan 15-25% renjatan (shock)  Perdarahan 25%-40% renjatan + penurunan kesadaran  Perdarahan >40% moribund f.



Eliminasi Gejala : hematemesis, feses dengan darah segar,melena,distensi abdomen



g. Makanan / cairan Gejala : anoreksia,mual h. Neurosensori Gejala : penurunan kesadaran, sakit kepala i.



Nyeri Gejala : nyeri abdomen,sakit kepala



j.



Pernafasan Gejala : pernafasan pendek pada istirahat dan aktivitas



k. Integumen Gejala : kulit dingin, kering, dan pucat, CRT ≥ 3 detik l.



Pemeriksaan fisik :



Mencari stigmata penyakit hati kronis (i kterus,spider nevi, asites, splenomegali, eritema palmaris, edema tungkai), massa abdomen, nyeri abdomen, rangsangan peritoneum, penyakit paru, penyakit jantung, penyakit rematik.



2. Diagnosa keperawatan a. Defisit volume cairan b/d kehilangan darah akut b. Gangguan rasa nyaman nyeri b/d iritan mukosa gaster c. Resiko tinggi kerusakan perfusi jaringan b/d hipovolemia.



3. Rencana keperawatan a. Defisit volume cairan b/d kehilangan darah akut Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan keseimbangan cairan dapat terpenuhi Kriteria hasil :  Membrane mukosa lembab  Turgor kulit elastic  Intake dan output balance  BAB normal Rencana tindakan : a) Monitor hasil lab dan observasi tanda-tanda perdarahan R : mendeteksi homeostasis atau ketidakseimbangan dan membantu menentukan kebutuhan penggantian. b) Awasi masukan haluaran R : memberikan informasi tentang keseimbangan cairan, fungsi ginjal,dan kontrol penyakit usus juga merupakan pedoman untuk penggantian cairan c) Pertahankan tirah baring, jadwalkan aktivitas untuk memberikan periode istirahat tanpa gangguan R : aktivitas / muntah dapat meningkatkan tekanan intra abdominal dan dapat mencetuskan perdarahan lanjut d) Observasi kulit kering, membrane mukosa, penurunan turgor kulit R : menunjukkan kehilangan cairan berlebihan



e) Monitor tingkat kesadaran R : perubahan dapat menunjukkan penurunan perfusi jaringan infuse sekunder terhadap hipovolemia f) Observasi tanda-tanda syok R : mencegah terjadinya perdarahan yang berlebihan g) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi cairan dan anti perdarahan R : mengatasi kehilangan cairan berlebihan h) Kolaborasi dengan tim dalam pemberian WB atau PRC R : WB diindikasikan untuk perdarahan akut karena darah klien dapat kekurangan faktor pembekuan.



b. Gangguan rasa nyaman nyeri b/d iritan mukosa gaster Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan nyeri dapat berkurang/hilang. Kriteria hasil :  Klien menunjukkan postur tubuh rileks  Klien mampu tidur atau istirahat dengan tepat Rencana tindakan : a) Catat keluhan nyeri (PQRST) R : nyeri tidak selalu ada tetapi bila ada harus dibandingkan dengan gejala nyeri pasien sebelumnya dimana dapat membantu mendiagnosa etiologi perdarahan dan terjadinya komplikasi b) Kaji ulang faktor yang meningkatkan atau menurunkan nyeri R : membantu dalam membuat diagnose dan kebutuhan terapi c) Bantu ROM aktif/pasif R : menurunkan kekakuan sendi, meminimalkan nyeri atau ketidaknyamanan d) Kolaborasi dengan tim dalam pemberian obat sesuai indikasi, misal antasida R : menurunkan keasaman gaster dengan absorpsi atau dengan menetralisir kimia.



c. Resiko tinggi kerusakan perfusi jaringan b/d hipovolemia. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan klien menunjukkan perfusi jaringan yang adekuat Kriteria hasil :  Ekstremitas hangat  TTV stabil  CRT < 2 detik  Membran mukosa merah muda  Tidak lemas Rencana tindakan : a) Awasi TTV, kaji CRT,warna kulit / membrane mukosa R : memberikan informasi mengenai derajat / keadekuatan perfusi jaringan dan membantu menentukan kebutuhan intervensi b) Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi R : meningkatkan ekspansi paru dan memaksimalkan oksigenasi untuk kebutuhan seluler c) Kaji untuk respon verbal melambat, mudah terangsang,agitasi, gangguan memori, bingung R : dapat mengindikasikan gangguan fungsi serebral karena hipoksia atau defisiensi vitamin B12. d) Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan, dan tubuh hangat sesuai indikasi R : vasokontriksi ke organ vital menurunkan sirkulasi perifer. Kenyamanan pasien / kebutuhan rasa hangat harus seimbang dengan kebutuhan untuk menghindari panas berlebihan pencetus vasodilatasi (penurunan perfusi organ) e) Kolaborasi dalam pemeriksaan lab R : mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan pengobatan / respons terhadap alergi.



DAFTAR PUSTAKA Djumhana A;Hadi S;Abdurachman SA;Wijojo J;Saketi R: Upper GI bleeding in Hasan Sadikin Hospital during 1996 – 1998 . Analysis of 605 cases. Workshop on Therapeuetic Endoscopy .Hong Kong 1998 Djumhana, HA. 2005. Perdarahan Akut Saluran Cerna Bagian Atas. Bandung : FK Unpad RS Dr Hasan Sadikin. Galley HF;Webster NR;Lawler PGP;Soni N;Singer M:Critical care Focus 9 Gut. BMJ.Publishing Group . London.2002 Krasner N: Gastrointestinal bleeding.BMJ Publishing Group. London 1996 Elta GH:Approach to the patient with gross gastrointestinal bleeding in Yamada T;Alpers DH;Kaplowitz N;Laine L;Owyang C;Powell DW eds: Text Book of Gastroenetrology 4 edition.Lippincot William & Wilkins. Philadelphia.2003 Rockey DC: Gastrointestinal bleeding in Feldman M;Friedman LS;Sleisenger MH eds: Sleisenger



&



Fordtran’s



Gastrointestinal



and



Liver



Disease



7



edition.



WB



Gilbert DA;Silverstein FE: Acute upper gastrointestinal bleeding in SivaK MV



ed:



Sauders.Philadelphia.2002



Gastroenetrologic endoscopy.WB Sauders.Philadelphia. 2000



LAPORAN DEPARTEMEN PEDIATRIK RUANG 7 HCU RSSA



OLEH: Yosepha Esti S.



105070200111013



(Kelompok 15)



PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014