Laporan Praktikum Pengujian Aktivitas Analgesik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI PENGUJIAN AKTIVITAS ANALGESIK



KELOMPOK 6 KELAS EXTENSI FA 1 Anggota :



Melani Modeong



201FF04008



Sita Mardiyani



201FF04016



Teguh Nurakmal Maulana



201FF04018



Marselina Nedja



201FF04025



Fitria Lufti Azhana



201FF04027



Maya Aulia Rahma



201FF04028



Salsha Rosilopya



201FF04031



Erinna Putri Damayanti



201FF04037



UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG FAKULTAS FARMASI PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI 2021



MODUL III PENGUJIAN AKTIVITAS ANALGESIK



1. Tujuan Praktikum 1.1.



Kompetensi yang Dicapai Mampu mempraktikkan metode pengujian analgesik non narkotik dan narkotik



1.2.



Tujuan Praktikum a. Mahasiswa dapat mengetahui aktivitas pengujian dengan metode jentik ekor dan metode geliat terhadap pengaruh efektivitas obat analgesik b. Mahasiswa mampu mengetahui pengaruh efektivitas obat analgesik



2. Prinsip Pada metode pengujian aktivasi analgetika dilakukan dengan cara menilai kemampuan zat uji untuk menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi pada hewan percobaan, yang meliputi induksi secara mekanik dan kimia. (Melani Modeong_201FF04008)



3. Dasar Teori Rasa nyeri merupakan masalah yang umum terjadi di masyarakat dan salah satu penyebab paling sering pasien datang berobat ke dokter karena rasa nyeri mengganggu fungsi sosial dan kualitas hidup penderitanya. Hasil penelitian The U.S. Centre for Health Statistic selama 8 tahun menunjukkan 32% masyarakat Amerika menderita nyeri yang kronis dan hasil penelitian WHO yang melibatkan lebih dari 25.000 pasien dari 14 negara menunjukkan 22% pasien menderita nyeri, minimal selama 6 bulan. Pada populasi orang tua, prevalensi nyeri meningkat menjadi 50%. Rasa nyeri akan disertai respon stress, antara lain berupa meningkatnya rasa cemas, denyut jantung, tekanan darah, dan frekuensi napas. Nyeri yang berlanjut atau tidak ditangani secara kuat, memicu respon stress yang berkepanjangan, yang akan menurunkan daya tahan tubuh dengan menurunkan fungsi imun, mempercepat kerusakan jaringan, laju metabolisme, pembekuan darah dan retensi cairan, sehingga akhirnya akan memperburuk kualitas kesehatan (Hartwig & Wilson, 2006). Nyeri adalah suatu sensasi yang tidak menyenangkan dan bisa dirasakan sebagai rasa sakit. Nyeri dapat timbul di bagian tubuh manapun sebagai respon terhadap stimulus yang



berbahaya bagi tubuh, seperti suhu yang terlalu panas atau terlalu dingin, tertusuk benda tajam, patah tulang, dan lain-lain. Rasa nyeri timbul apabila terjadi kerusakan jaringan akibat luka, terbentur, terbakar, dan lain sebagainya. Hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan cara memindahkan posisi tubuhnya (Guyton & Hall, 1997). Pada dasarnya, rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh. Meskipun nyeri berguna bagi tubuh, namun dalam kondisi tertentu, nyeri dapat menimbulkan ketidaknyamanan bahkan penderitaan bagi individu yang merasakan sensasi ini. Sensasi nyeri yang terjadi mendorong individu yang bersangkutan untuk mencari pengobatan, antara lain dengan mengkonsumsi obat-obatan penghilang rasa nyeri (Analgetik). Analgetik adalah obat yang digunakan untuk menghambat atau mengurangi rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran Saat ini telah banyak beredar obat-obatan sintetis seperti obat anti inflamasi non steroid (AINS). Sebanyak 25% obat yang dijual bebas di pasaran adalah analgetik asetaminofen. Obat ini banyak dipakai untuk bayi, anak-anak, dewasa, dan orang lanjut usia untuk keluhan nyeri ringan dan demam (Kee, 1994). Obat analgesik adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dan akhirnya akan memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita. Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan ancaman kerusakan jaringan. Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi sebagai isyarat bahaya tentang adanya gangguan di jaringan seperti peradangan, rematik, encok atau kejang otot (Tjay 2007). Reseptor nyeri (nociceptor) merupakan ujung saraf bebas, yang tersebar di kulit, otot, tulang, dan sendi. Impuls nyeri disalurkan ke susunan saraf pusat melalui dua jaras, yaitu jaras nyeri cepat dengan neurotransmiternya glutamat dan jaras nyeri lambat dengan neurotransmiternya substansi P (Guyton & Hall 1997; Ganong 2003). Semua senyawa nyeri (mediator nyeri) seperti histamine, bradikin, leukotriendan prostaglandin merangsang reseptor nyeri (nociceptor) di ujung-ujung saraf bebas di kulit, mukosa serta jaringan lain dan demikian menimbulkan antara lain reaksiradang dan kejangkejang. Nociceptor ini juga terdapat di seluruh jaringan dan organtubuh, terkecuali di SSP. Dari tempat ini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sangat banyak sinaps via sumsum belakang, sumsum-lanjutan dan otak



tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay & Rahardja 2007). Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang adanya ganguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejangkejang yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Nocireseptor ini terdapat diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan di salurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan amat benyak sinaps via sumsumtulang belakang, sumsum lanjutan, dan otak tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay 2007). Berdasarkan aksinya, obat-abat analgetik dibagi menjadi 2 golongan yaitu : a. Analgesik Nonopioid/Perifer (Non-Opioid Analgesics) Secara farmakologis praktis dibedakan atas kelompok salisilat (asetosal, diflunisal) dan non salisilat. Sebagian besar sediaan–sediaan golongan non salisilat termasuk derivat asam arylalkanoat. b. Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan



rasa



nyeri.



Tetap



semua



analgesik



adiksi/ketergantungan. Ada 3 golongan obat ini yaitu: 1) Obat yang berasal dari opium-morfin 2) Senyawa semisintetik morfin 3) Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.



Mekanisme Kerja Obat Analgesik a) Analgesik Nonopioid/Perifer (Non-Opioid Analgesics)



opioid



menimbulkan



Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang terluka dengan demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri . Mekanismenya tidak berbeda dengan NSAID dan COX-2 inhibitors. Efek samping yang paling umum dari golongan obat ini adalah gangguan lambung usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal serta reaksi alergi di kulit. Efek samping biasanya disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu lama dan dosis besar. b) Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika Mekanisme kerja utamanya ialah dalam menghambat enzim sikloogsigenase dalam pembentukan prostaglandin yang dikaitkan dengan kerja analgesiknya dan efek sampingnya. Kebanyakan analgesik OAINS diduga bekerja diperifer . Efek analgesiknya telah kelihatan dalam waktu satu jam setelah pemberian per-oral. Sementara efek antiinflamasi OAINS telah tampak dalam waktu satu-dua minggu pemberian, sedangkan efek maksimalnya timbul berpariasi dari 1-4 minggu. Setelah pemberiannya peroral, kadar puncaknya NSAID didalam darah dicapai dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian, penyerapannya umumnya tidak dipengaruhi oleh adanya makanan. Volume distribusinya relatif kecil (< 0.2 L/kg) dan mempunyai ikatan dengan protein plasma yang tinggi biasanya (>95%). Waktu paruh eliminasinya untuk golongan derivat arylalkanot sekitar 2-5 jam, sementara waktu paruh indometasin sangat berpariasi diantara individu yang menggunakannya, sedangkan piroksikam mempunyai waktu paruh paling panjang (45 jam). Mekanisme kerja Paracetamol Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda (Wilmana, 1995). Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer (Dipalma, 1986). Inilah yang menyebabkan parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol tidak



mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. (Wilmana, 1995). MONOGRAFI Pemerian



: serbuk hablur, putih; tidak berbau; rasa sedikit pahit



Kelarutan



: larut dalam air mendidih , mudah larut dalam etanol.



Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat tidak tembus cahaya (Anonim,1995). Khasiat



: Analgetik, antipiretik



Dosis



: 500 – 2000 mg per hari (Anonim, 1979).



Mekanisme kerja Asetosal Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal adalah analgesik dan antiinflamasi yang sangat luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas. Selain sebagai prototipe, obat ini merupakan standar dalam menilai efek obat sejenis (Wilmana dan Gan, 2007). MONOGRAFI Pemerian



: hablur tidak berwarna atau serbuk hablur putih, tidak berbau atau hampir



tidak berbau, rasa asam Kelarutan



: Sukar larut dalam air; mudah larut dalam etanol; larut dalam koroform,



dan dalam eter; agak sukar arut dalam eter mutlak Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat tidak tembus cahaya (Anonim,1995). Khasiat



: Analgetik, antipiretik



Dosis



: 500 - 650 mg setiap 4 jam (maksimal 4 g/hari) (Anonim, 1979).



Asetosal adalah asam organik lemah yang unik diantara obat-obat AINS dalam asetilasi siklooksigenase ireversibel. Asetosal cepat diasetilasi oleh esterase dalam tubuh, menghasilkan salisilat yang mempunyai efek antiinflamasi, antipiretik, dan analgesik (Mycek et al., 2001).



Farmakokinetik Pada pemberian oral, sebagian salisilat diabsorpsi dengan cepat dalam bentuk utuh di lambung dan usus kecil bagian atas. Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian. Obat ini mudah menembus sawar darah otak dan sawar uri (plasenta). Kira-



kira 80-90 % salisilat plasma terikat pada albumin. Biotransformasi salisilat terjadi dibanyak jaringan terutama di mikrosom dan mitokondria hati. Salisilat diekskresi dalam bentuk metabolitnya terutama melalui ginjal, sebgian kecil melalui keringat dan empedu (Katzung,1998; Wilmana dan Gan, 2007).



Farmakodinamik Obat-obat AINS termasuk asetosal mempunyai 3 efek terapi utama yaitu mengurangi inflamasi (antiinflamasi), rasa sakit (analgesik), dan demam (antipiretik). a) Efek antiinflamasi Sebagai antiinflamasi asetosal menghambat aktivitas siklooksigenase sehingga asetosal mengurangi pembentukan prostaglandin dan memodulasi beberapa aspek inflamasi (Mycek et al, 2001). Selain mengurangi sintesis mediator-mediator eicosanoid, asetosal juga mempengaruhi mediator kimia dari sistem kallikrein. Sebagai akibatnya, asetosal menghambat melekatnya granulosit pada vasculature yang rusak, menstabilkan lysosome dan menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear dan makrofag daerah inflamasi (Katzung, 1998). b) Efek analgesik Prostaglandin E2 (PGE2) diduga mensensitasi ujung syaraf terhadap efek bradikinin, histamin, dan mediator kimiawi lainnya yang dilepaskan secara lokal oleh proses inflamasi. Jadi dengan menurunkan sintesis PGE2, asetosal dan AINS lainnya menekan sensasi rasa sakit (Mycek et al., 2001). Asetosal paling efektif untuk mengurangi nyeri dengan intensitas ringan sampai sedang. Ia bekerja secara perifer melalui efeknya terhadap inflamasi, tetapi mungkin juga menghambat rangsangan nyeri pada daerah subkortikal (Katzung, 1998). c) Efek antipiretik Demam yang menyertai infeksi dianggap sebagai akibat dari dua kerja. Pertama, pembentukan prostaglandin di dalam susunan saraf pusat sebagai respon terhadapa bakteri pirogen. Kedua, efek interleukin-1 (IL-1) pada hipotalamus. IL-1 dihasilkan oleh makrofag dan dilepaskan selama respon peradangan, yang peranan utamanya adalah untuk mengaktivasi limfosit. Asetosal akan menghambat pirogen yang diinduksi oleh PG maupun respon susunan saraf pussat terhadap IL-1, sehingga dapat mengatur



kembali pengontrol suhu di hipotalamus (Katzung, 1998). Asetosal mengembalikan termostat kembali ke normal dan cepat menurunkan suhu tubuh penderita demam dengan meningkatkan pengeluaran panas akibat vasodilatasi perifer dan berkeringat (Mycek et a., 2001).



Efek Samping Pada dosis yang biasa, efek asetosal yang paling berbahaya adalah gangguan lambung. Efek ini bisa dikurangi dengan penyanggaan (buffering) yang sesuai (Katzung, 2002). Pada orang sehat asetosal menyebabkan perpanjangan masa perdarahan. Hal ini dikarenakan asetilasi ireversibel siklooksigenase trombosit menurunkan kadar trombosit TXA2, mengakibatkan penghambatan agregasi trombosit dan perpanjangan waktu perdarahan (Wilmana dan Gan, 2007). Asetosal bersifat hepatotoksik dan ini berkaitan dengan dosis. Gejala yang sering terlihat hanya kenaikan SGOT (Serum Glutamic Oksaloacetic Transaminase) dan SGPT (Serum Glutamic Piruvic Transaminase). Beberapa pasien dilaporkan menunjukkan hepatomegali, anoreksia, mual, dan ikterus. Oleh karena itu asetosal tidak dianjurkan diberikan kepada penderita penyakit hati kronik. Penggunaan asetosal selama infeksi virus dihubungkan dengan peningkatan insiden sindrom Reye. Walaupun belum dapat dibuktikan secara jelas, penelitian secara epidemiologis menunjukkan ada hubungan antara asetosal dan sindrom Reye. Pada sindrom ini terjadi kerusakan hati dan ensefalopati (Wilmana dan Gan, 2007). Sekitar 15 % pasien yang minum asetosal mengalami reaksi hipersensitivitas. Gejala alergi yang asli adalah urtikaria, bronkokonstriksi, atau edema angioneurotik (Mycek et al., 2001). Mekanisme kerja Na-diklofenak Penghambatan biosintesa prostaglandin, yang telah dibuktikan pada beberapa percobaan, mempunyai hubungan penting dengan mekanisme kerja kalium diklofenak. Prostaglandin mempunyai peranan penting sebagai penyebab dari inflamasi, nyeri dan demam. Pada percobaan-percobaan klinis Kalium Diklofenak juga menunjukkan efek analgesik yang nyata pada nyeri sedang dan berat. Dengan adanya inflamasi yang disebabkan oleh trauma atau setelah operasi, kalium diklofenak mengurangi nyeri spontan dan nyeri pada waktu bergerak serta bengkak dan luka dengan edema. Kalium diklofenak



secara in vitro tidak menekan biosintesa proteoglikan di dalam tulang rawan pada konsentrasi setara dengan konsentrasi yang dicapai pada manusia. Diklofenak Na (Voltaren, Neurofenac), mempunyai aktivitas antirematik, antiradang dan analgesik-antipiretik, digunakan terutama untuk mengurangi rasa nyeri akibat keradangan pada berbagai keadaan rematik dan kelainan degeneratif pada sistem otot rangka. Diklofenak diserap secara cepat dan sempurna didalam lambung, kadar plasma tertinggi dicapai 2 jam setelah pemberian oral, dengan waktu paruh antara 6-15 jam. (Erina Putri Damayanti_201FF04037) 4. Alat & Bahan a. Alat ▪



Alat Suntik 1 mL







Penangas Air







Beaker Glass







Stopwatch







Restriktor







Timbangan Hewan



b. Bahan ▪



Kodein Hcl 120 Mg/KgBB







Antalgin 300 Mg/KgBB Asam







Asetat 0,7% (Zat Penginduksi Nyeri)







Aspirin 500 Mg (Obat Standar)







Parasetamol 500 Mg







Asam Mefenamat 500 Mg







NaCl Fis



c. Hewan Uji ▪



Mencit (Sita Mardiyani_201FF04016)



5. Prosedur Kerja (Bagan Alir) a) Metode Jentik Ekor Siapkan 3 ekor mencit, lalu timbang masing-masing mencit



Masukkan ekor mencit kedalam air hangat (50oC)



Catat waktu saat mencit menjentikkan ekornya



Tiap rangkaian pengamatan dilakukan 3 kali selang 2 menit. Pengamatan pertama diabaikan dan hasil pengamatan terakhir dirata-ratakan → dicatat sebagai respon normal masingmasing mencit terhadap stimulus nyeri



Masing-masing mencit diberikat zat uji (obat) yang berbeda, diberikan secara intraperitoneal



Mencit 1 : (+) NaCl



Mencit 2 : (+) Kodein



Mencit 3 : (+) Antalgin



Tunggu selama 10 menit, lalu ulangi pengujian dalam air hangat setiap 10 menit sekali



Jika mencit tidak menjentikkan keluar ekornya dalam waktu 10 detik setelah pemberian stimulus nyeri → dianggap tidak merasakan stimulus nyeri tersebut. Note : jangan biarkan ekornya melampaui batas waktu dalam air panas



b) Metode Geliat Siapkan 4 ekor mencit, lalu timbang masing-masing mencit



Masing-masing mencit diberikat zat uji (obat) yang berbeda, diberikan secara oral



Mencit 1 : (+) NaCl



Mencit 2 : (+) Aspirin



Mencit 1 : (+) PCT



Mencit 1 : (+) Asmef



Setelah 30 menit, masing-masing mencit disuntikkan Asam Asetat 0.7% secara intraperitoneal



Dicatat jumlah mencit menggeliat dalam 5 menit selama 60 menit (Maya Aulia Rahma_201FF04028)



6. Data Pengamatan ZAT UJI Nacl Kodein Antalgin



BB MENCIT (G) 25 25 25



PENGAMATAN PADA MENIT KE – (DETIK) 0 10 20 30 40 50 60 1 2 1



1 2 1



1 3 1



Perhitungan Dosis Diketahui : BB Mencit 25 Kg Kodein 120mg/KgBB dalam 10ml aquades Antalgin 300mg dalam 50ml aquades



1 3 2



1 4 2



1 4 2



1 5 2



JUMLAH JENTIK (DETIK) 7 23 11



Jawab : 1. Kodein 120mg/KgBB dilarutkan dalam 10 ml aquades 120 mg



× 25 kg = 3 mg



Dosis



=



V. Pemberian



= 120 mg × 10 ml = 0,25 mg



1000 g 3 mg



2. Antalgin 300mg dilarutkan dalam 50 ml aquades = 300𝑚𝑔 × 0,0026 = 0,78 mg



Dosis



25 g



Dosis untuk hewan uji = 20 g × 0,78 mg = 0,0975 mg V. Pemberian



KELOMPOK Nacl Aspirin Parasetamol As.Mefen



05 1 1 1 1



610 2 0 2 1



=



0,0975 mg 300 mg



× 50 ml = 0,01625 ml



JUMLAH GELIAT PADA MENCIT KE – (KALI) 11- 16- 21- 26- 31- 36- 41- 46- 5115 20 25 30 35 40 45 50 55 3 0 3 0 4 5 5 6 0 1 0 1 0 2 0 0 2 0 0 0 2 0 3 0 3 4 0 0 1 0 2 2 0 3 3 0



5660 7 0 0 0



JUMLAH GELIAT KALI 36 7 15 11



1. %proteksi 7



%proteksi Aspirin



= 100 – (36 × 100%) = 80,5 %



%proteksi Parasetamol



= 100 – ( 36 × 100%) = 58,3 %



%proteksi Asam mefenamat



= 100 – ( 36 × 100%) = 69,4 %



15 11



2. %efektivitas analgesik 80,5



%efektivitas Aspirin



= 80,5 × 100% = 100 %



%efektivitas Parasetamol



= 80,5 × 100% = 72,42 %



%efektivitas Asam Mefenamat



= 80,5 × 100% = 86,21 %



58,3 69,4



(Teguh Nurakmal Maulana_201FF04018)



7. Pembahasan Pada praktikum ini dilakukan pengujian efektivitas dari beberapa obat analgesik. Obat analgesik merupakan obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dan akhirnya akan memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita. Pada praktikum ini digunakan hewan uji mencit. Mencit merupakan hewan uji yang sering digunakan dalam praktikum atau penelitian dikarenakan karakteristik dan tingkah laku mencit mirip dengan manusia, reaksi obat atau zat yang diberikan cepat terlihat efeknya, mudah dilakukan perlakuan atau mudah ditangani serta harganya yang lebih murah (Putri, 2018). Metode yang digunakan dalam pengujian analgesik adalah metode jentik ekor dan metode geliat. Metode jentik ekor atau tail flick test menggunakan panas sebagai penginduksi nyerinya. Prinsip metode ini adalah dengan mencatat waktu yang dibutuhkan hewan uji untuk bertahan pada rangsangan termal (temperatur 50°C) pada ekor, respons yang diberikan berupa penjentikan atau penarikan ekor hewan uji secara tiba-tiba (Keswara & Handayani, 2019). Sebelum perlakuan hewan uji diuji pendahuluan terlebih dahulu dan dicatat waktunya sebagai T0. Uji pendahuluan ini untuk melihat apakah hewan uji tidak memiliki gangguan atau ketahanan terhadap panas. Apabila T0 lebih dari 10 detik maka hewan uji tidak bisa digunakan, karena akan mempengaruhi hasil yang diperoleh. Pada praktikum ini metode jentik ekor digunakan untuk membanding analgetik opioid yaitu kodein dan analgetik non opioid yaitu antalgin. Kedua obat ini dilarutkan dalam pembawa NaCl, sehingga dalam praktikumnya digunakan NaCl sebagai kontrol negatif untuk memastikan bahwa pembawa tidak memiliki aktivitas yang dapat mempengaruhi hasil pengamatan. Pemberian larutan uji dilakukan secara intraperitoneal atau injeksi ke rongga perut. Pemberiaan secara intraperitoneal akan mempercepat reaksi obat, hal ini disebabkan karena rongga peritoneum mempunyai permukaan yang sangat luas sehingga obat dapat cepat masuk diabsorbsi dan masuk ke peredaran darah Hasil pengujian menunjukan bahwa mencit yang diberikan NaCl sebagai kontrol negatif tidak memiliki aktivitas antinyeri. Hal ini dapat dilihat dari cepatnya waktu mencit menjentikan ekornya, artinya mencit masih dapat merasakan nyeri dari menit ke 0 hingga menit ke-60. Hasil uji untuk mencit yang diberikan obat kodein dan antalgin menunjukan peningkatan waktu bertahan di suhu panas, hal ini menunjukan adanya aktivitas analgesik yang terus meningkat seiring lamanya waktu obat bekerja. Waktu jentik ekor mencit yang



diberi kodein lebih lama dibandingkan mencit yang diberi antalgin pada setiap interval waktu. Hal ini menunjukan aktivitas analgesik kodein lebih tinggi dibandingkan antalgin, karena mampu mengurangi/menghilangkan rasa nyeri lebih lama. Kodein merupakan analgesik opioid yang memiliki daya analgetik yang kuat dengan tempat kerja di sistem saraf pusat. Berdasarkan mekanisme kerjanya, kodein termasuk kedalam agonis opiat, yang mana dapat menghilangkan rasa nyeri dengan cara mengikat reseptor opioid pada sistem saraf. Sehingga efek yang yang dihasilkan akan lebih kuat, lebih cepat dan lebih lama. Sedangkan antalgin merupakan analgesik non opioid golongan NSAID yang bekerja di perifer dengan mekanisme kerja menghambat produksi hormon prostaglandin penyebab nyeri, sehingga efeknya lebih lemah dibandingkan kodein yang langsung ke sistem saraf pusat (Tjay dan Rahardja, 2007). Metode pengujian yang kedua adalah metode geliat atau writhing test. Uji geliat merupakan uji yang paling banyak digunakan untuk mengukur respon aktivitas analgesik pada saraf perifer dengan menggunakan rangsangan kimiawi berupa injeksi asam asetat intraperitoneal. Asam asetat digunakan karena dapat menyebabkan kerusakan jaringan sekitar untuk sementara waktu, sehingga rangsangan akan dibawa ke otak dan diinterpretasikan sebagai rasa nyeri perifer oleh serabut saraf tipe C (Guyton dan Hall, 2011). Mencit yang merasa nyeri akan bereaksi dengan perilaku peregangan atau yang disebut geliat. Pada praktikum ini metode geliat digunakan untuk membandingankan aktivitas analgesik paracetamol dan asam mefenamat, dengan kontrol pembanding yaitu aspirin. Hasil pengujian dilihat dari jumlah geliat, mencit yang diberikan NaCl memiliki jumlah geliat yang paling banyak, hal ini disebabkan karena pada pemberiaan NaCl mencit diberi asam asetat tetapi tidak diberi obat dan hasil ini menunjukan NaCl yang digunakan tidak memiliki aktivitas analgesik. Aspirin yang merupakan obat pembanding memiliki jumlah geliat yang paling sedikit, artinya aspirin memiliki aktivitas analgesik yang lebih kuat dibandingkan paracetamol dan asam mefenamat. Asam mefenamat memiliki jumlah geliat yang lebih sedikit daripada paracetamol, sehingga asam mefenmat memiliki aktivitas analgesik yang lebih kuat daripada paracetamol. Selain dilihat dari jumlah geliat dapat pula dilihat dari persen proteksi dan efektivitasnya. Persen proteksi geliat dihitung untuk mengetahui dan membandingkan aktifitas analgesik pada masing-masing kelompok



dibandingkan dengan kelompok kontrol nyeri (NaCl), sedangkan persen efektivitas dibandingkan dengan kelompok kontrol pembanding (Aspirin). Hasil perhitungan %proteksi diperoleh data, %proteksi yang paling besar terdapat pada aspirin yaitu sebesar 80,5%, dibandingkan dengan kelompok uji paracetamol 58,3% dan asam mefenamat 69,4%. Hal ini menunjukan bahwa efek analgesic yang dihasilkan oleh aspirin lebih besar dibandingkan dengan paracetamol dan asam mefenamat. Oleh karena itu aspirin digunakan sebagai obat standar dalam menentukan efek analgetic perifer. Sehingga dalam perhitungan presentasi efektivitasnya diperoleh efektivitas analgesic paracetamol terhadap aspirin sebesar 72,42% dan efektivitas analgesic asam mefenamat terhadap aspirin sebesar 86,21%. Ini menunjukan bahwa asam mefenamat memiliki efek analgesic yang lebih besar dari paracetamol. Aspirin, paracetamol dan asam mefenamat merupakan analgesik yang bekerja secara non selektif dengan menghambat enzim siklooksigenase (cox-1 dan cox-2) sehingga menghambat produksi prostaglanding penyebab nyeri. Aspirin termasuk kedalam NSAID golongan salisilat sedangakan asam mefenamat merupakan turunan asam antranilat (Tjay dan Rahardja, 2007). Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai analgesik ringan pada siklooksigenase perifer, inilah yang menyebabkan parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. Oleh karena itu aspirin dan asam mefenamat memiliki aktivitas analgesik yang lebih kuat daripada paracetamol. (Marselina Nedja_201FF04025 dan Salsha Rosilopya_201FF04031) 8. Kesimpulan 1. Pada metode jentik ekor aktivitas analgesik codein lebih tinggi dibanding antalgin karena dapat mengurangi rasa nyeri lebih lama dan pada metode geliat memberikan % proteksi dan aktivitas dimana asam mefenamat memiliki analgesik yang lebih kuat dibanding paracetamol.



2. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa presentase analgesik dari paling tinggi hingga paling rendah yaitu aspirin 100%, asam mefenamat 86,21%, dan parasetamol 72,42%. Ini menunjukan bahwa asam mefenamat memiliki efek analgesic yang lebih besar dari paracetamol. (Fitria Lufti Azhana_201FF04027) 9. Daftar pustaka – Proses Penyakit, Terjemahan dari Huriawati Hartanto et all, Ed 6. Hal : 1063 -1103. EGC, Jakarta Anonim, 1979, Farmakope Indonesi Edisi 3, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Anonim, 1995, Farmakope Indonesi Edisi 4, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Diphalma, J. R., Digregorio, G. J, 1986. Basic Pharmacology in Medicine. 3th ed. Mcgraw-hill Publishing Company: 319-20, New York Ganong, William F, 2003, Fisiologi Saraf & Sel Otot. Dalam H. M. Djauhari Widjajakusumah: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20, EGC, Jakarta. Guyton, A.C. & Hall, J.E. , 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran , EGC, Jakarta. Guyton, A.C., Hall, J.E. (2011). Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 12th ed. Singapore: Elsevier Saunders. Hartwig, Wilson, Lorraine M, Mary S, 2006, Nyeri Dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses Katzung, G. Bertram, 1998, Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi keenam, EGC,Jakarta. Katzung, G. Bertram, 2002, Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi kedelapan, EGC,Jakarta. Kee, Evelyn R.Hayes, 1994, Farmakologi, EGC, Jakarta. Keswara, Y. D., & Handayani, S. R. (2019). Uji Aktivitas Analgetik Ekstrak Etanol Daun Inggu (Ruta angustifolia [l.] Pers) Pada Tikus Putih Jantan. Journal Syifa Sciences and Clinical Research, 1(2), 57-69. Lacy, C.F., Amstrong , L.L, Goldman, M.R.2003, Drug Information Handbook , 11st Edition, Apja, Lexi-Comp Inc, Canada, pp 25, 129



Mycek, M.J., Harvey, R.A., Champe, P.C, 2001, Farmakologi Ulasan Bergambar (edisi 2) (Agus, A., penerjemah), Widya Medika, Jakarta Putri, F. M. S. (2018). Urgensi Etika Medis dalam Penanganan Mencit Pada Penelitian Farmakologi. Jurnal Kesehatan Madani Medika, Vol 9 No 2 Desember 2018. Tjay, H.T., dan Rahardja K. (2007). Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek sampingnya. Jakarta: Elex Media. Tjay,Tan Hoan dan K. Rahardja, 2007, Obat-obat Penting, PT Gramedia, Jakarta. Wilmana, P. F,1995, Analgesik Antipiretik Antiinflamasi Non Steroid dan Obat Piri, Dalam Ganiswarna, S. G. (Ed.). Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Wilmana, P. F. dan Gan, S., 2007, Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Jakarta: FK UI (Fitria Lufti Azhana_201FF04027)